BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang Masalah
Kata politik berasal dari bahasa Yunani (Gerika): polis yang berarti negara. Dari kata polis menjadi kata polites, yaitu warga negara. Dari polites menjadi politeia, yaitu
hak-hak warga negara. Disamping politeia dan polites terbentuk pula perkataan politike, yang berarti segala apa yang bertalian dengan polis atau negara. Di satu pihak timbul
kebiasaan mempergunakan istilah politike techne, yaitu seni untuk memimpin dan membentuk kekuatan-kekuatan sosial dalam negara. Di pihak lain timbul istilah politike
episteme, yaitu ilmu pemerintahan negara. Ilmu politik ini disaring dan diperoleh dari praktek pemerintahan negara – politike techne – disusun secara sistematis teratur dan menyeluruh. Notohamijoyo mengutip, Dr.W. Banning dalam Encyclopaedisch
Handbook memberikan rumusan politik sebagai praktek: seni untuk memimpin dan membentuk kekuatan-kekuatan dalam masyarakat, yang ruwet dan dinamis dengan mempergunakan pemerintahan negara.1 Dengan demikian antara negara dan masyarakat
mempunyai kesepakatan yang sama untuk saling berhubungan dalam rangka mewujudkan kehidupan bersama untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran.2
Sehubungan dengan pengertian tersebut di atas, Aristoteless mengatakan bahwa manusia adalah Zoon Politicon yang berarti dalam kehidupan bersama, manusia memiliki hubungan yang khusus yang diwarnai oleh adanya aturan yang mengatur
kehidupan itu. Ada kekuasaan dan wewenang yang dipegang oleh negara sekaligus melahirkan aturan-aturan, serta menentukan sanksi serta ganjaran bagi yang melanggar
aturan tersebut.3
Dalam negara, manusia merumuskan tujuan-tujuan kehidupan masyarakat secara bersama demi kebaikan mereka.4 Itu berarti segala tindakan manusia yang berorientasi
masyarakat sebagai keseluruhan dikatakan bersifat politis. Frans Magnis-Suseno mengatakan bahwa:
“Dimensi politik manusia” adalah dimensi masyarakat sebagai keseluruhan. Jadi yang menjadi ciri khas suatu pendekatan yang disebut “politis” adalah bahwa
pendekatan itu terjadi dalam kerangka acuan yang berorientasi pada masyarakat sebagai keseluruhan. Sebuah keputusan bersifat politis apabila diambil dengan memperharikan kepentingan masyarakat sebagai keseluruhan. Suatu tindakan harus disebut politis apabila menyangkut masyarakat sebagai keseluruhan. Dengan demikian dimensi politis manusia dapat ditentukan sebagai dimensi dimana manusia menyadari diri sebagai anggota masyarakat sebagai keseluruhan yang menentukan kerangka kehidupannya dan ditentukan kembali oleh tindak tanduknya.5
Secara eksistensial, hakekat manusia adalah politis. Seperti yang dikatakan Eka
Darmaputera mengutip Juergen Moltmann (On Human Dignity) bahwa Allah yang diberitakan dalam Alkitab tidak bersifat apolitis. Allah bukanlah sekedar pengamat netral terhadap situasi manusia, melainkan bersifat partisan (berpihak) dalam
perjuangan melawan ketidakadilan. Oleh karena itu, tidak ada teologi yang apolitis. Bahkan kalau ia mengklem bersifat netral atau tidak mau tahu soal-soal politik
sekalipun, sikap tersebut adalah sebuah sikap politis pula-tidak dapat tidak. Sebuah teologi yang tidak menyerukan perubahan, secara tidak langsung dan mungkin tidak bermaksud begitu, berarti melegitimasikan dan ingin melestarikan status quo. Ini adalah
3
Suyatno, Ilmu Politik (Suatu Pengantar), (Salatiga: Widya Sari Press, 2006), 1.
4 Ibid., 35.
5 Franz Magnis Suseno, Etika Politik-Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern,
sikap politik.6 Sebab Keputusan bersama dalam masyarakat untuk membawa perubahan hidup menuju kepada kedamain, dan kesejahteraan itulah yang dimaksudkan dengan
teologi politik.
Teologi politik menekankan hakekat publik dari berita-berita eskatologis kristiani. Apa yang dijanjikan Allah (dan kita perjuangkan) bukanlah sekedar „manusia baru‟
dalam arti indifidual, melainkan sebuah masyarakat baru. Bumi baru, langit Baru, Yerusalem Baru adalah masyarakat baru itu.7 Di sinilah letak kesalahan kita memahami hubungan agama dan politik. Hal ini yang dimaksudkan Yesus dengan “kerajaan
Allah”.8
John B Cobb Jr, mengatakan bahwa teologi politik itu adalah upaya untuk merumuskan pesan eskatologis dalam kondisi masyarakat saat ini. Dengan demikian
gereja harus bisa mengambil sikap kritis terhadap realitas sosial dalam masyarakat. Meskipun dalam masyarakat yang majemuk sekalipun sikap kritis gereja itu harus jelas.
Ia juga tidak boleh memaksakan pemikirannya untuk diterima menjadi sesuatu tatanan
6 Ibid., 4. 7
Eka Darmaputera, Teologi Politik, Sebuah Bungarampai Yesus Dan Politik, (Jakarta: Komunitas Nisita, 2004), 3.
8 Dalam Kamus Alkitab karangan, W.R.F.Browning, terbitan BPK mengatakan bahwa maksud utama dari „kerajaan‟ disini adalah pemerintahan, atau „kedaulatan‟ atau „kekuasaan‟ raja-raja, dan orang Yahudi tidak dapat percaya bahwa kenyataan negara mereka yang ada, dibawa penguasaan Roma, sudak
cocok dengan keadilan Allah dan dengan „perjanjian Allah dengan umatNya”. Maka Allah atau raja
mereka, akan bertindak segera. Pemberitaan Yesus adalah bahwa sesungguhnya pemerintahan Allah segera memasuki dunia ini. Albert Schweitzer menuliskan karangan klasik yang menjelaskan pandangan bahwa bagi Yesus pemerintahan/Kerajaan Allah ini sudah ada dio depan pintu. Dalam apa yang dikenal
sebagai “ucapan-ucapan bahagia”. Kerajaan Allah itu dijadikan sebagai imbalan masa depan. Dalam
“Doa Bapa kami” para murid harus berdoa supaya kerajaan Allah datang. Schwetzer berpendapat bahwa
Yesus mengerti diriNya sendiri sebagai “Mesias yang akan datang dan bahwa Yesus naik ke Yerusalem
untuk menanggung sengsara mesianik”, yang dibanyangkan mendahuui kedatangan Kerajaan Allah”.
Suatau pengertian lain dari berita injil-injil Sinoptik adalah Yesus memberitakan bahwa Kerajaan Allah
sesungguhnya sudah hadir dalam kegiatan “pelayananNya”, seperti tampak dalam “pengusiran setan,
atau norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Yang terpenting adalah ia telah mengambil sikap kristis dengan memberikan masukan-masukan bagi perbaikan dan perubahan suatu kehidupan masyarakat yang tidak sesuai dengan aturan dan
norma-norma yang berlaku. Pada bagian lain ia mengatakan bahwa teologi politk tidak berorientasi hanya kepada kekuasaan dan ekonomi. Tetapi hal itu juga menjadi penting
untuk disoroti dalam teologi politik. Artinya jangan sampai membuat orang tidak lagi berdoa, hanya mengurusi politik. Jika agama kristen mengajarkan orang untuk berpolitik, karena ia sangat memperhatikan harkat dan martabat manusia. Baginya
laki-laki dan perempuan siapa saja sama di hadapan Allah, tidak ada pribadi-pribadi yang merasa terancam, karena arogansi dan denominasi manusia yang lain.9
Kehadiran Yesus di tengah masyarakat Yahudi terutama para pimpinan agama yahudi, dengan menyatakan diri-Nya sebagai “Mesias” adalah suatu tindakan yang nyata yakni ingin melawan segala perbuatan kejahatan dan diskriminasi bangsa Yahudi.
Agama dan Tuhan dipakai sebagai alat untuk melegitimasi kekuasaan dan kesewenangannya. Hal itu tampak dalam perlakuan terhadap sesama bangsa Yahudi
yang dinilai tidak kudus lantaran memiliki cacat sejak lahir, seperti orang buta, timpang, berpenyakit kusta, pelacur, para pemungut pajak, dan berbagai pendosa dalam masyarakat Yahudi. Karena cacat yang mereka miliki baik sewaktu lahir maupun dalam
kehidupan, mereka tidak layak disebut bangsa kudus.10 Mereka bukan umat Allah. Mereka harus disisihkan dan tidak boleh bergaul dengan sesama bangsa Yahudi yang
suci dan kudus. Kehadiran mereka dalam pergaulan masyarakat itu hanya akan membuat yang suci dan kudus itu ternoda menjadi yang tidak kudus lagi. Terjadilah
9
John B. Cobb, Jr, Proses Theology as Political Theology, (Philadelphia: Manchester University, 1982), 83.
diskriminasi besar-besaran dalam kehidupan bangsa Yahudi yang disebut umat Allah itu. Mereka itu korban-korban dari sesama yang berkuasa. Pertanyaan yang dapat dimunculkan kemudian, apakah memang Allah menghendaki diskriminasi seperti itu?
Atau tidakkah diskriminasi itu terjadi lantaran rekayasa manusia yang berkuasa terhadap sesama yang lemah dan tidak berdaya?. Bila memang benar demikian, untuk Allahkah
penegakan konsep kekudusan itu atau tidakkah itu terjadi karena para penguasa sedang mendemonstrasikan kesewenangan mereka selama berkuasa?. Jika hal yang terakhir ini yang benar, sangat celaka nasib orang-orang kecil. Celaka lantaran mereka disisihkan
dengan legitimasi nama Allah, sehingga mereka tidak mempunyai harapan sama sekali selama hidup ini.11
Bertitik tolak dari pengertian politik yang dijelaskan di atas, maka Indonesia sebagai suatu negara memilki kenyataan politik, bahwa ia dapat menentukan nasibnya sendiri sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat. Kenyataan sebagai bangsa yang
merdeka dapat disebut juga sebagai identitas nasional yang dimilikinya. Sebab sebelum kemerdekaan 17 Agustus 1945 masyarakat Indonesia masih berada dalam identitas
sukuisme kedaerahan. Melalui identitas nasional ini dapat membebaskan (liberating)
manusia-manusia pada aras identitas primordialnya, karena di dalam identitas primordialnya itu kita jumpai adanya kelas-kelas sosial dalam masyarakat, seperti
bangsawan, orang bebas, hamba, dan sebagainya. Karenanya, tinggal tetap di dalam identitas primordial memang perlu, tetapi mengandung potensi diskriminatif.12
Pertanyaan selanjutnya bagaimana Teologi Politik gereja-gereja di Indonesia khususnya GPIB, dalam kerangka memaknai kehadirannya di Indonesia sebagai gereja
11 Ibid.
12 John Titaley, Persoalan KeIndonesiaan:Implikasinya bagi Upaya Berteologi kita, (Kumpulan
yang diutus Allah untuk bersaksi di tengah masyarakat dan bangsa. Untuk menjawab persoalan politik yang dihadapi gereja maka GPIB harus punya Teologi Politik sehingga ia dapat ikut berpartisipasi bersama pemerintah dalam menciptakan keadilan,
kesejahteraan dan kemakmuran bagi seluruh masyarakat. Hal ini perlu dilakukan mengingat kondisi dan keberadaan GPIB sangatlah majemuk dan plural di tengah
kehidupan berbangsa dan bernegara. GPIB sering disebut sebagai gereja semi-nasioanal. Wilayah pelayanannya yang cukup luas, karena meliputi 25 propinsi. Kenyataan yang semi-nasional ini tidak dimiliki oleh gereja-gereja lain, karena sekalipun ada gereja lain
ada yang mempunyai wilayah pelayanan seluas GPIB, akan tetapi kenyataan kesukuannya masih nampak, seperti HKBP misalnya. Ini berbeda dengan GPIB, yang
selain mempunyai wilayah yang luas, juga mempunyai kenyataan yang nasional karena menggunakan Bahasa Indonesia dalam pelayanannya.
Dengan melihat keberadaan gereja yang demikian, maka pada satu sisi gereja
terus menerus diperhadapkan dengan perubahan demi perubahan baik pada bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya bahkan idiologi kebangsaan, tetapi, pada sisi lain
gereja harus menunjukan eksistensinya sebagai gereja yang terpanggil menciptakan tanda-tanda kerajaan Allah.
2.
Rumusan Masalah
Setelah kita melihat latar belakang masalah di atas, maka tulisan ini diarahkan untuk menjawab beberapa pertanyaan sebagai berikut :
1. Apakah rumusan Teologi Politik GPIB?
3.
Tujuan Penelitian
Adapun tulisan ini bertujuan untuk :
a. Mendeskripsikan Teologi Politik GPIB
b. Mengetahui rumusan itu sesuai tidaknya dengan Teologi Politik dalam kehidupan gereja.
4.
Metode Penelitian
Tulisan ini berusaha mengkaji secara teologis-sosiologis terhadap teologi politik GPIB.
Dengan pendekatan demikian maka hadirnya suatu teologi disorot secara tajam dari
latar belakang pengakuan mana ajaran (teologi) yang diikutinya, dilihat bagaimana gereja mengelola interaksi sosial dengan konteks kehadirannya di Indonesia yang dapat
menjawab tantangan dan persoalan politik. Kajian dimualai dengan menggambarkan apa itu teologi politik menurut pendapat beberapa ahli. Langkah kedua, kita melihat
teologi politik GPIB dalam konteks Indonesia yang majemuk. Kemudian tulisan ini akan dinilai berdasarkan teori dan akan diarahkan untuk memahami teologi politik GPIB. Sehingga dapat membantu gereja mengambil sikap terhadap persoalan yang
timbul dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam tulisan ini, kita akan mengkajinya dengan menggunakan metode deskriptif. Dengan metode yang demikian kita akan menggambarkan suatu fakta yang
sebagaimana adanya.13 Penggambaran fakta yang dimaksudkan adalah suatu
13 Handari Nawawi, Metode P enelitian Bidang Sosial, (Yogyakarta: Gadjah Mada University
penggambaran dengan analisa dan interpretasi terhadap data-data (dokumen), bukan fakta telanjang (kasat mata). Analita terhadap suatu dokumen adalah mencari sebab atau alasan suatu dokumen dibuat, sedangkan interpretasi mau mencari makna terdalam dari
dokumen tersebut. Analisa dan interpretasi yang akan dilakukan bersifat kualitatif, yaitu; mencakup pendekatan interpretatif dan naturalistik terhadap subjek kajiannya,
dengan mempelajari benda-benda di dalam konteks alaminya, yang berupaya untuk memahami, atau menafsirkan fenomena dilihat dari sisi makna. Metode kualitatif mencakup penggunaan subjek yang dikaji dan kumpulan berbagai data emperis–study
kasus, pengalaman pribadi, introspeksi, perjalanan hidup, wawancara, teks-teks hasil pengamatan, historis, dalam suatu kajian yang sedang dihadapi,14 dan bertumpu pada
penelitian pustaka (library research). Penelitian pustaka yang dimaksudkan merupakan penelitian dokumenter (documentary research) terhadap dokumen-dokumen GPIB. Antara lain: 1). Pemahaman Iman (Hubungan gereja dan Negara) 2. Materi Katekisasi
(Hubungan gereja dan negara) 3. Akta Gereja (Sumpah/Janji Jabatan).
Kemudian data yang diperoleh dibandingkan dengan hasil wawancara terhadap
beberapa orang yang membidangi lahirnya rumusan-rumusan tersebut, khususnya mereka yang terlibat dalam penyusunan dokumen-dokumen di atas, para mantan dan fungsionaris Majelis Sinode dan beberapa orang yang dianggap relevan. Dalam
kerangka mempertajam analisa dan kajian teologi politik GPIB.
14 Norman K.Denzin Yvonna S.Lincoln, Handbook of Qualitative Research, (Yogyakarta:
3.
Alur dan Batasan Kajian
Kajian ini dikerjakan dalam lima Bab.
Bab I, Pendahuluan, merupakan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan,
metode dan alur dan batasan kajian.
Bab II, Bab Teori, memberikan pengertian apa dan bagaimana teologi politik,
Bab III, Bab Teologi Politik yang akan dikaji, penulis berusaha untuk mendeskripsikan dan menggambarkan Teologi Politik GPIB.
Bab IV, Bab Analisa, Penulis berusaha untuk melihat teologi politik GPIB dalam
perspektif teori (Bab II).
Bab V, Merupakan Bab terakhir, berupa kesimpulan seluruh kajian dan