49 Airi Safrijal & Rizki Amanda PERLINDUNGAN HUKUM BAGI ANAK KORBAN TINDAK PIDANA
Airi Safrijal1
Rizki Amanda2 1
Lecturer at Faculty of Law, University of Muhammadiyah Aceh 2
Student at Faculty of Law, University of Muhammadiyah Aceh Corresponding author: [email protected].
Abstract
Article 15 letter f of Law Number 35 of 2014 on Child Protection states that every child has the right to get protection against sexual crimes. Legal protection for child victims of sexual crimes has been given but not fully due to lack of information and economic factors, The form of protection provided for child sexual victims is, (1) separating children from the defendant at trial, (2) names of children are obscured, (3) recovery child trauma, and (4) medical needs are sought if needed.
Key words: Legal protection, Child victims, Crimes.
I. PENDAHULUAN
Anak sangat rentan terhadap kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang di sekitarnya, di ruang publik, bahkan di rumahnya sendiri. Kekerasan pada anak dominan terjadi di dalam rumah tangga yang sebenarnya dapat memberikan rasa aman, dan yang sangat disesalkan adalah kasus-kasus kekerasan terhadap anak yang selama ini dianggap sebagai masalah yang wajar dan tidak dianggap sebagai tindak pidana kejahatan, dan yang sering terjadi yaitu tindak kekerasan terhadap anak disertai dengan tindak pidana pencabulan terhadap anak.1
Tindak pidana pencabulan merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang sama sekali tidak dapat dibenarkan baik dari segi moral maupun susila dan agama,
1 Primautama Dyah Savitri, 2006, Benang Merah Tindak Pidana Pelecehan Seksual, Yayasan
50 Airi Safrijal & Rizki Amanda terutama yang dilakukan oleh pelaku terhadap anak, baik perempuan maupun laki-laki. Kejahatan pencabulan saat ini memiliki arti kejahatan terhadap norma kesopanan dan kesusilaan atau lebih rinci kejahatan seksual, baik pelecehan seksual dan pemerkosaan.
Dalam Pasal 76E dan Pasal 82 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak mengatur tentang perbuatan cabul terhadap anak yang berbunyi sebagai berikut Pasal 76E : “Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul”. Pasal 82 Ayat (1) : “Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)”.
Perlindungan Hukum terhadap anak sebagai korban tindak pidana pencabulan selanjutnya telah diatur secara khusus di dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak sebagaimana diatur dalam Pasal 15, yaitu :
Pasal 15 yang berbunyi
“Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari : a. Penyalahgunaan dalam kegiatan politik;
b. Pelibatan dalam sangketa bersenjata; c. Pelibatan dalam kerusuhan social;
d. Pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsure Kekerasan; e. Pelibatan dalam peperangan; dan
f. Kejahatan seksual.
Pemberlakuan undang-undang tersebut dikarenakan masih banyak orang dewasa yang melakukan tindak pidana terhadap anak, oleh sebab itu undang-undang itu juga bertujuan untuk memberikan hak terhadap anak yang dijelaskan di
51 Airi Safrijal & Rizki Amanda dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Negara, Pemerintah, Pemerintah Daerah, Masyarakat, Keluarga, dan Orang Tua atau Wali berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan Perlindungan Anak. Arti penting perlindungan hukum bagi masyarakat yaitu untuk menciptakan stabilitas, mengatur hubungan-hubungan sosial dengan cara khusus, dan menghindarkan manusia dari kekacauan di dalam segala aspek kehidupannya, dan hukum diperlukan guna menjamin dan menghindarkan manusia dari kekacauan.2 Tindak pidana pencabulan itu terus berkembang hingga sekarang, dapat dikatakan tidak ada perubahan yang berarti meski struktur dan budaya masyarkat berkembang menuju modern.
Berdasarkan latarbelakang yang telah diuraikan di atas, maka menarik untuk diteliti lebih jauh tentang perlindungan hukum terhadap anak. Adapun permasalahan yang ingin diteliti adalah perlindungan hukum bagi anak korban seksual, dan bentuk perlindungan hukum terhadap anak korban seksual.
II. METODE PENELITIAN
1. Definisi Operasional Variabel
a. Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat
2 Mardjono Reksodiputro, 1994, Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Melihat Kejahatan dan
Penegakan Hukum dalam Batas-batas Toleransi, Pusat Keadilan dan Pengabdian
52 Airi Safrijal & Rizki Amanda dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
b. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak c. Korban adalah orang yang telah mendapat penderitaan fisik atau
penderitaan mental, kerugian harta benda atau mengakibatkan mati atas perbuatan atau usaha pelanggaran ringan dilakukan oleh pelaku tindak pidana dan lainnya
d. Pencabulan adalah pencabulan adalah kata dasar dari cabul, yaitu kotor dan keji sifatnya tidak sesuai dengan sopan santun (tidak senonoh), tidak susila, bercabul: berzinah, melakukan tindak pidana asusila, mencabul, menzinahi, memperkosa, mencemari kehormatan perempuan.
2. Ruang Lingkup Penelitian
Sesuai dengan judul yang dipilih “Perlindungan Hukum Bagi Anak Korban Tindak Pidana Seksual” maka penelitian ini termasuk dalam bidang hukum pidana.
3. Lokasi dan Populasi Penelitian a. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini dilakukan di Wilayah Hukum Kota Banda Aceh. b. Populasi Penelitian
Populasi dalam penelitian ini terdiri dari Penyidik Polresta Banda Aceh, Hakim Anak, BP2A, Dinas Sosial dan Orang Tua Wali.
53 Airi Safrijal & Rizki Amanda 4. Cara Pengambilan Sampel
Teknik pengambilan sampel ditentukan berdasarkan secara Purposive Sampling yaitu berdasarkan kriteria yang dimiliki oleh sampel yang telah peneliti tetapkan dalam penelitian ini yang dianggap dapat mewakili keseluruhan populasi yang ada.
5. Cara Pengumpulan Data a. Data Sekunder
Data sekunder diperoleh melalui penelitian kepustakaan (library Research). Data primer diperoleh melalui penelitian lapangan (field research) dilakukan untuk mendapatkan data primer dengan cara wawancara (interview) dengan jumlah sampel yang telah ditetapkan. 6. Cara Menganalisis Data
Dari keseluruhan data yang diperoleh baik dari penelitian kepustakaan maupun penelitian lapangan dianalisis dengan menggunakan pendekatan kualitatif yaitu dengan menganalisa yang menghasilkan data deskriptif dan analisa dari apa yang ditanyakan kepada responden dan informan secara tertulis dan lisan dipelajari dan diteliti sebagai sesuatu yang utuh sehingga menghasilkan sebuah karya tulis3
3
Bambang Sunggono, 2006, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, Hal.12
54 Airi Safrijal & Rizki Amanda III. HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
A. Pengertian Anak, Anak Sebagai Korban dan Hak-Hak Anak 1. Pengertian Anak
Secara umum apa yang dimaksud dengan anak adalah keturunan atau generasi sebagai suatu hasil dari hubungan kelamin atau persetubuhan (sexual intercoss) antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan baik dalam ikatan perkawinan maupun diluar perkawinan. Kemudian di dalam hukum adat sebagaimana yang dinyatakan oleh Soerojo Wignjodipoero yang dikutip oleh Tholib Setiadi, dinyatakan bahwa:
”kecuali dilihat oleh orang tuanya sebagai penerus generasi juga anak itu dipandang pula sebagai wadah di mana semua harapan orang tuanya kelak kemudian hari wajib ditumpahkan, pula dipandang sebagai pelindung orang tuanya kelak bila orang tua itu sudah tidak mampu lagi secara fisik untuk mencari nafkah”4
2. Anak Sebagai Korban
Menurut kamus Crime Dictionary yang dikutip seorang ahli Abdussalam bahwa Victim adalah “orang yang telah mendapat penderitaan fisik atau penderitaan mental, kerugian harta benda atau mengakibatkan mati atas perbuatan atau usaha pelanggaran ringan dilakukan oleh pelaku tindak pidana dan lainnya”.
Disini jelas yang dimaksud “orang yang mendapat penderitaan fisik dan seterusnya” itu adalah korban dari pelanggaran atau tindak pidana. Selaras dengan pendapat diatas, menyatakan yang dimaksud dengan korban
4 Tholib Setiady, 2010, Pokok-Pokok Hukum Penitensier Indonesia, Alfabeta, Bandung, Hlm
55 Airi Safrijal & Rizki Amanda adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita.5
Ini menggunakan istilah penderitaan jasmaniah dan rohaniah (fisik dan mental) dari korban dan juga bertentangan dengan hak asasi manusia dari korban. Selanjutnya secara yuridis pengertian korban termaktub dalam Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban, yang dinyatakan bahwa korban adalah “seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana”.
Ternyata pengertian korban disesuaikan dengan masalah yang diatur dalam beberapa perundang-undangan tersebut. Jadi tidak ada satu pengertian yang baku, namun hakikatnya adalah sama, yaitu sebagai korban tindak pidana. Tentunya tergantung sebagai korban tindak pidana apa, misalnya kekerasan dalam rumah tangga, pelanggaran HAM yang berat dan sebagainya.
Secara etiologis korban adalah merupakan orang yang mengalami kerugian baik kerugian fisik, mental maupun kerugian finansial yang merupakan akibat dari suatu tindak pidana (sebagai akibat) atau merupakan sebagai salah satu faktor timbulnya tindak pidana (sebagai sebab).
56 Airi Safrijal & Rizki Amanda 3. Hak Anak Sebagai Korban
Seorang anak yang menjadi korban kejahatan dari suatu tindak pidana mempunyai berbagai hak dan kewajiban yang harus dilakukan sesuai dengan kemampuan yang berhubungan dengan usianya. Hak dan kewajiban tersebut menurut Arief Gosita antara lain sebagai berikut :6
a. Hak-hak anak yang menjadi korban perbuatan kriminal yaitu :
1) Mendapat bantuan fisik (pertolongan pertama kesehatan, pakaian, naungan dan sebagainya).
2) Mendapat bantuan penyelesaian permasalahan yang (melapor, nasihat hukum, dan pembelaan).
3) Mendapat kembali hak miliknya.
4) Mendapatkan pembinaan dan rehabilitasi.
5) Menolak menjadi saksi, bila hal ini akan membahayakan dirinya. 6) Memperoleh perlindungan dari ancaman pihak pembuat korban
bila melapor atau menjadi saksi.
7) Memperoleh ganti kerugian (restitusi, kompensasi) dari pihak pelaku (sesuai kemampuan) atau pihak lain yang bersangkutan demi keadilan dan kesejahteraan yang bersangkutan.
8) Menolak ganti kerugian demi kepentingan bersama. 9) Menggunakan upaya hukum (rechtsmiddelen). b. Kewajiban-kewajiban korban adalah :
1. Tidak sendiri membuat korban dengan mengadakan pembalasan (main hakim sendiri).
2. Berpartisipasi dengan masyarakat mencegah pembuatan korban lebih banyak lagi.
3. Mencegah kehancuran si pembuat korban baik oleh diri sendiri maupun oleh orang lain.
4. Ikut serta membina pembuat korban.
5. Bersedia dibina atau membina diri sendiri untuk tidak menjadi korban lagi.
6. Tidak menuntut ganti kerugian yang tidak sesuai dengan kemampuan pembuat korban.
7. Memberi kesempatan pada pembuat korban untuk memberi ganti kerugian pada pihak korban sesuai dengan kemampuannya (mencicil bertahap/imbalan jasa).
8. Menjadi saksi jika tidak membahayakan diri sendiri dan ada jaminan keamanan untuk dirinya.
6 Arif Gosita, Op.Cit, hlm.58.
57 Airi Safrijal & Rizki Amanda 4. Pengertian Victimologi
Viktimologi berasal dari bahasa latin victima yang berarti korban dan logos yang berarti ilmu. Secara terminologi, viktimologi berarti suatu studi yang mempelajari tentang korban, penyebab timbulnya korban dan akibat-akibat penimbulan korban yang merupakan masalah manusia sebagai suatu kenyataan sosial.7
Pada dasarnya perkembangan ilmu pengetahuan tentang korban kejahatan (viktimologi), tidak dapat dipisahkan dari lahirnya pemikiran-pemikiran brilian dari Hans Von Hentig,8 seorang ahli kriminologi pada tahun 1941 serta Mendelshohn pada tahun 1947 yang sangat mempengaruhi setiap fase perkembangan viktimologi.
Made Darma Weda membagi fase perkembangan viktimologi dalam tiga fase yakni pada tahap pertama, viktimologi hanya mempelajari korban kejahatan saja, pada fase ini dikatakan sebagai “penal of special victimology” sementara itu pada fase kedua viktimologi tidak hanya mengkaji masalah korban kejahatan, tetapi juga meliputi korban kecelakaan.9
Viktimologi sebagai cabang ilmu pengetahuan yang cukup baru menjadi ruang tersendiri bagi para ilmuan dan para ahli untuk mengembangkan berbagai rumusan mengenai viktimologi. Salah satunya
7 Dikdik M.Arief Mansur & Elisatris Gultom, 2007, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan:
Antara Norma dan Realita, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, hlm 34
8 Siswanto Sunarso, 2012, Viktimologi dalam Sistem Peradilan Pidana, Sinar Grafika, Jakarta,
hlm 32
58 Airi Safrijal & Rizki Amanda ialah J.E Sahetapy yang mengartikan viktimologi adalah ilmu atau disiplin ilmu yang membahas permasalahan korban dalam segala aspek.
Sedangkan Arif Gosita menjelaskan bahwa:
“Viktimologi merupakan bagian dari kriminologi yang mempunyai obyek studi yang sama yaitu kejahatan atau pengorbanan criminal (viktimisasi kriminal) dan segala sesuatu yang berkaitan dengan pengorbanan kriminal tersebut, antara lain sebab dan akibatnya yang dapat merupakan faktor viktimogen atau krimminogen (menimbulkan korban dan kejahatan). Salah satu akibat pengorbanan yang mendapatkan perhatian viktimologi adalah penderitaan, kerugian mental, kerugian fisik, kerugian sosial, kerugian ekonomi, dan kerugian moral. Kerugian-kerugian tersebut hampir sama sekali dilupakan atau diabaikan oleh kontrol sosial yang melembaga seperti penegak hukum, polisi, jaksa, hakim, dan pembina pemasyarakatan”.10
B. PERLINDUNGAN HUKUM BAGI ANAK KORBAN TINDAK PIDANA SEKSUAL
1. Perlindungan Hukum Bagi Anak Korban Seksual Menurut Peraturan Perundang-undangan.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Pengadilan Negeri Banda Aceh diketahui terdapat 50 (lima puluh) kasus tindak pidana Seksual yang korbanya adalah anak-anak sebagaimana ditampil dalam tabel di bawah ini:
Tabel.1
Data Anak Sebagi korban Tindak Pidana Seksual. Data Tahun 2014 s/d 2016 NO Tahun Kasus Sudah mendapatkan Perlindungan Belum mendapatkan Perlindungan Jenis Perlindungan
1. 2014 20 Kasus 15 Kasus 5 Kasus Hukum
2. 2015 8 Kasus 4 Kasus 4 Kasus Kesehatan
3. 2016 22 Kasus 17 Kasus 5 Kasus Pemulihan
Psikologi
Jumlah kasus 36 Kasus 14 Kasus 50 Kasus
Sumber : Pengadilan Negeri Banda Aceh
10Muhadar, 2006, Viktimisasi Kejahatan Pertanahan, LaksBang PRESSindo, Yogyakarta, hlm
59 Airi Safrijal & Rizki Amanda Dari data diatas dapat dilihat bahwa tindak pidana seksual terhadap anak terjadi penurunan di tahun 2015 sedangkan di tahun 2016 terjadi peningkatan dan ini merupakan permasalahan yang harus serius serta menjadi perhatian bersama untuk diatasi dan perlu peran semua pihak terutama orang tua, penegak hukum dan masyarakat. Hasil pengambilan data yang penulis lakukan di Dinas Sosial hanya 36 Kasus yang sudah mendapatkan perlindungan terhadap anak korban tindak pidana seksual, adapun bentuk perlindungan yang diberikan adalah perlindungan hukum, kesehatan dan pemulihan psikologi anak sebagai korban tindak pidana seksual.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Eddy selaku Hakim Pengadilan Negeri Banda Aceh menjelaskan bahwa, untuk perlindungan hukum bagi anak korban seksual sudah diberikan, namun masih ada kekurangan dalam pelaksanaanya.11 Erlita Zahra selaku Manager Kasus di Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (BP2A) menjelaskan dalam hal pemberian perlindungan anak sebagai korban seksual sudah diberikan.12 Beliau juga menambahkan untuk perlindungan sudah diberikan tetapi belum maksimal karena masih banyak anak yang belum diberikan perlindungan, dikarenakan kurangya informasi akan perlindungan yang akan didapatkan.
Menurut Febrina Adriyani selaku Pekerja Sosial di Kantor Dinas Sosial dan Ketenagakerjaan hasil wawancara dengan penulis menerangkan untuk
11
Wawancara dengan Eddy, Selaku Hakim pada Pengadilan Negeri Banda Aceh, Pada Hari Jum’at Tanggal 17 Februari 2017
12 Wawancara dengan Erlita Zahra Selaku Manager Kasus di Badan Pemeberdayaan
60 Airi Safrijal & Rizki Amanda penerapan perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban tindak pidana seksual sudah diberikan namun belum maksimal dikarenakan faktor ekonomi.13
Selain itu Azhari Surya selaku penyidik mengatakan dalam hal pemberian perlindungan hukum terhadap anak korban tindak pidana seksual pihaknya sudah memberikan perlindungan hukum secara maksimal dan telah sesuai dengan prosedur hukum yang ada apalagi pihaknya adalah selaku penegak hukum harus memberikan pelayanan dan perlindungan yang terbaik terhadap masyarakat apalagi yang menjadi korban adalah anak-anak dan itu menjadi tugas penting dalam menyelesaikan kasus sehingga pelaku dapat ditangkap dan dihukum sesuai dengan aturan yang ada.14
Menurut Nurul Akmal selaku ibu dari anak korban tindak pidana seksual menjelaskan selama proses hukum yang berjalan anaknya sebagai korban selalu mendapatkan pendampingan dari pihak pekerja Dinas Sosial. Baik dari proses tingkat Kapolsek maupun ke tingkat Pengadilan saat anaknya menjalani proses persidangan.15
2. Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Seksual
Dalam hal penegakan hukum terhadap perlindungan hukum bagi anak sebagai korban seksual menurut Eddy pihaknya sudah memberikan beberapa bentuk perlindungan terhadap anak korban tindak pidana seksual.16 Selanjutnya hal yang sama juga diungkapkan oleh Erlita Zahra menjelaskan utuk
13
Wawancara dengan Febrina Adriyani, S.Sos Selaku Pekerja Sosial di Kantor Dinas Sosial dan Ketenagakerjaan, Pada Hari Rabu Tanggal 22 Februari 2017.
14 Wawancara dengan Azhari Surya, Selaku Penyidik Unit PPA Sat Reskrim Polresta Banda
Aceh, Pada hari Selasa 14 Maret 2017.
15
Wawancara dengan Nurul Akmal, Selaku Orang Tua Anak Korban Tindak Pidan Seksual, Pada hari Selasa Tanggal 14 Maret 2017.
16
Wawancara dengan Eddy, Selaku Hakim pada Pengadilan Negeri Banda Aceh, Pada Hari Jum’at Tanggal 17 Februari 2017.
61 Airi Safrijal & Rizki Amanda perlindungan yang diberikan terhadap anak sebagai korban seksual sudah diberikan sebagaimana mestinya.17
Ada beberapa bentuk perlindungan yang diberikan terhadap anak korban pidana seksual yaitu:
a. Menepatkan anak pada ruang teleconference, maksudnya pemisahan anak di ruang tersebut agar mental anak tidak tergoncang ketika dimintai keterangan.
b. Memisahkan anak dengan terdakwa pada saat persidangan, ini dimaksudkan agar anak tidak depresi ketika melihat pelaku.
c. Anak harus didampingi oleh petugas sosial, tujuannya adalah agar anak merasa tenang dan tidak malu.
d. Nama anak disamarkan dan tidak boleh memakai nama asli.18 Tujuan tersebut agar anak nantinya bisa kembali bergaul dengan lingkungannya tanpa terbeban dengan kasus yang telah dialaminya.
e. Menerima pengaduan, setiap kasus yang diadukan akan segera ditindak lanjuti oleh pihak yang berwajib.
f. Mendampingi korban, baik di tingkat penyidikan maupun dipersidangan g. Pemulihan trauma untuk membangun kembali kepercayaan diri anak
selaku korban seksual
h. Melihat kebutuhan si anak sebagai korban apabila si anak menagalami luka fisik maka akan diupayakan kebutuhan medis.19
Hal tersebut dilakukan adalah untuk melindungi dan menjaga psikologi anak agar tidak terganggu sehingga dalam proses persidangan bisa berjalan dengan baik dan sesuai yang diharapkan oleh keluarga anak sebagai korban seksual.20
17Wawancara dengan Erlita Zahra Selaku Manager Kasus di Badan Pemeberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak (BP2A) Aceh, Pada Hari Senin Tanggal 20 Februari 2017.
18
Wawancara dengan Eddy, Selaku Hakim pada Pengadilan Negeri Banda Aceh, Pada Hari Jum’at Tanggal 17 Februari 2017.
19 Wawancara Erlita Zahra Selaku Manager Kasus di Badan Pemeberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak (BP2A) Aceh, Pada Hari Senin Tanggal 20 Februari 2017.
20
Wawancara dengan Eddy, Selaku Hakim pada Pengadilan Negeri Banda Aceh, Pada Hari Jum’at Tanggal 17 Februari 2017.
62 Airi Safrijal & Rizki Amanda Febrina Adriyani wawancara selaku Pekerja Sosial di tempat penelitian juga menjelaskan tentang perlindungan yang di berikan pihak dinas sosial terhadap anak sebagai korban tindak pidana seksual antara lain21:
a. Pendampingan terhadap anak sebagai korban. b. Penguatan bagi keluarga agar mendukung sianak.
c. Mengantarkan anak sebagai korban ke rumah perlindungan sejahtera anak apabila diperlukan.22
Menurut Azhari Surya adapun salah satu bentuk perlindungan yang diberikan pihaknya terhadap anak korban tindak pidana seksual. Pihaknya membuat surat permohonan yang ditujukan kepada pekerja Dinas Sosial agar anak sebagai korban mendapat pendampingan dan anak juga harus didampingi oleh orang tua. Karena hal tersebut dapat mengurangi goncangan psikologi anak sebagai korban tindak pidana seksual.23
IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan
Bahwa dalam rangka penegakan hukum dan Perlindungan hukum bagi anak korban seksual sudah diberikan namun belum maksimal dikarenakan kurangnya informasi dan faktor ekonomi. Adapun bentuk perlindungan yang diberikan terhadap anak korban seksual yaitu, (1) memisahkan anak dengan terdakwa pada saat persidangan, (2) nama anak disamarkan, (3) pemulihan trauma anak, dan (4) diupayakan kebutuhan medis jika diperlukan.
21
Wawancara dengan Febrina Adriyani, Selaku Pekerja Sosial di Kantor Dinas Sosial dan Ketenagakerjaan, Pada Hari Rabu Tanggal 22 Februari 2017.
22 Wawancara dengan Febrina Adriyani, Selaku Pekerja Sosial di Kantor Dinas Sosial dan
Ketenagakerjaan, Pada Hari Rabu Tanggal 22 Februari 2017.
23 Wawancara dengan Azhari Surya, Selaku Penyidik Unit PPA Sat Reskrim Polresta Banda
63 Airi Safrijal & Rizki Amanda B. Saran
Diharapkan kepada Pemerintah, Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (BP2A), Dinas Sosial dan Instansi-instansi lainya dan peran orang tua untuk memberikan perhatian khusus dalam melindungi anak dari kekerasan seksual dan menjamin hak-hak anak, serta melakukan pemulihan bagi anak yang menjadi korban dan pelaku seksual. Selanjutnya juga diharapkan masyarakat, keluarga, dan orang tua perlu ditingkatkan pemahaman dan kapasitasnya dalam mengenali dan merespon pola-pola terkini kekerasan seksual dan pornografi, mengikuti perkembangan teknologi informasi agar tidak berdampak negatif bagi anak, dan selanjutnya berperan aktif khususnya dalam pencegahan kekerasan seksual pada anak dan pornografi.
DAFTAR PUSTAKA A. Buku
Arif Gosita, 1989, Masalah Perlindungan Anak, Akademi Presindo, Jakarta. Bambang Sunggono, 2006, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo
Persada, Jakarta.
Dikdik M.Arief Mansur & Elisatris Gultom, 2007, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan: Antara Norma dan Realita, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta.
Muhadar, 2006, Viktimisasi Kejahatan Pertanahan, LaksBang PRESSindo, Yogyakarta.
Mardjono Reksodiputro, 1994, Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Melihat Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam Batas-batas Toleransi, Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum, Jakarta.
Primautama Dyah Savitri, 2006, Benang Merah Tindak Pidana Pelecehan Seksual, Yayasan obor, Jakarta.
64 Airi Safrijal & Rizki Amanda Siswanto Sunarso, 2012, Viktimologi dalam Sistem Peradilan Pidana, Sinar
Grafika, Jakarta.
Tholib Setiady, 2010, Pokok-Pokok Hukum Penitensier Indonesia, Alfabeta, Bandung.
B. Perundang-Undangan.
Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak