• Tidak ada hasil yang ditemukan

GAMBARAN RADIOGRAFI POLOS OLLIER S DISEASE

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "GAMBARAN RADIOGRAFI POLOS OLLIER S DISEASE"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN KASUS

Diajukan sebagai salah satu persyaratan PPDS 1 Radiologi

GAMBARAN RADIOGRAFI POLOS OLLIER’S DISEASE

Oleh : dr.Rima Saputri NIM : 09/308802/PKU/11959

Pembimbing : dr.Anita Ekowati, Sp.Rad

BAGIAN RADIOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVESITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA 2014

(2)

DAFTAR ISI

BAB I. Pendahuluan ... 1

BAB II. Tinjauan Pustaka ... 3

A. Sejarah dan Definisi ... 3

B. Epidemiologi ... 3

C. Anatomi dan Fisiologi ... 3

D. Etiologi dan Patogenesis ... 6

E. Tempat Predileksi ... 8

F. Diagnosis ... 9

G. Diagnosis Banding ... 11

BAB III. Laporan Kasus ... 15

BAB IV. Pembahasan ... 18

BAB V. Kesimpulan ... 21

Daftar Pustaka ... 22

(3)

BAB I PENDAHULUAN

Enchondroma merupakan neoplasma kartilago benigna, yang berkembang didekat kartilago lempeng pertumbuhan (growth plate cartilage). Enchondroma biasanya memberikan gambaran lesi soliter; ketika ditemukan lesi enchondroma dengan jumlah yang banyak/multiple maka kondisi ini disebut dengan enchondromatosis (enchondromatosis) atau Ollier’s disease.1,2

Ollier’s disease dikenal juga dengan nama dyschondroplasia, multiple cartilaginous enchondroses dan multiple enchondromatosis.3 Tetapi beberapa penulis membuat perbedaan antara Ollier’s disease dengan enchondromatosis atas dasar distribusi lesi. Dalam pengertian aslinya Ollier’s disease merupakan enchondroma dengan lokasi predominan pada satu sisi dan terbatas pada ekstremitas. Dengan demikian, para penulis lebih suka menggunakan istilah Ollier’s disease ketika ditemukan gambaran tersebut, dan menggunakan istilah enchondromatosis atau multiple enchondromatosis untuk kasus-kasus dengan distribusi lesi yang lebih simetris.4,5

Enchondroma multiple sendiri dapat muncul dengan tiga kelainan yang berbeda, yaitu: Ollier’s disease, Maffucci syndrome, dan metachondromatosis. Maffucci syndrome merupakan penyakit non herediter dimana kelainannya terdiri dari enchondroma multiple pada ekstremitas yang disertai dengan hemangioma jaringan lunak multiple (soft tissue haemangiomas), sedangkan metachondromatosis merupakan penyakit herediter yang terdiri dari enchondroma multiple disertai dengan lesi multiple yang menyerupai osteochondroma (osteochondroma-like lesion).4,5,6

Transformasi sarcomatous maligna (chondrosacroma) merupakan gambaran yang umum dalam beberapa kasus Ollier’s disease dan telah dilaporkan pada sekitar 50% kasus, biasanya ditemukan pada dewasa muda. Transformasi maligna secara klinis ditandai dengan pertambahan ukuran tumor dan terasa nyeri pada tumor saat usia pasien dewasa. Transformasi maligna tersebut hampir tidak

(4)

pernah ditemukan pada tangan dan kaki. Biopsi dan pemeriksaan histopatologis dibutuhkan untuk membuktikan adanya transformasi sarkomatous tersebut.7,8

Karena Ollier’s disease merupakan kasus yang jarang dan temuan radiologis pada pasien kasus sesuai dengan yang dipaparkan dalam pustaka, maka tujuan dari dilaporkannya kasus ini adalah untuk memaparkan dan menganalisis temuan radiologis, khususnya pada radiografi polos, Ollier’s disease. Dengan ini maka dapat dilakukan analisis yang tepat pada foto pasien laporan kasus, yaitu dengan mengidentifikasi gambaran-gambaran yang ditemukan pada foto pasien laporan kasus, sehingga diagnosis banding dapat disingkirkan dan ditegakkan diagnosis secara tepat. Selain itu, dari laporan kasus ini diharapkan akan menambah wawasan dan pemahaman pembaca tentang temuan-temuan radiologis Ollier’s disease pada radiografi polos dan cara menganalisis suatu temuan lesi pada radiografi polos, sehingga diharapkan pemahaman tersebut dapat diaplikasikan dalam praktek sehari-hari.

(5)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. SEJARAH & DEFINISI

Ollier’s disease pertama kali dilaporkan oleh seorang ahli bedah berkebangsaan prancis bernama Louis Leopold Ollier pada tahun 1899. Kemudian pada tahun 1958 Jaffe mendeskripsikan Ollier’s disease sebagai foci berbatas tegas atau massa besar kartilago yang berada dibagian dalam tulang dengan kemungkinan transformasi maligna, predominan mengenai satu sisi tubuh, menunjukkan beberapa perbedaan dengan enchondroma pada umumnya (lesi multiple, keterlibatan tulang pipih, lesi intrakortikal dan peri/par-osteal/jukstakortikal, transformasi maligna yang lebih tinggi, muncul pada umur yang lebih muda, dan lain-lain). Sedangkan menurut WHO, Ollier’s disease didefinisikan sebagai kelainan skeletal yang jarang, non herediter dengan karakteristik lesi kartilago benigna multiple, dengan distribusi asimetris, yang dapat sangat bervariasi dalam hal ukuran, jumlah, lokasi, evolusi, onset usia, dan kebutuhan terapi operatif.1,2,9,10

B. EPIDEMIOLOGI

Ollier’s disease dapat terjadi pada pria dan wanita tanpa predileksi jenis kelamin, biasanya terlihat pada usia anak-anak, dan dapat mengenai semua ras. Enchondroma soliter paling umum ditemukan antara umur 20 dan 40 tahun, tetapi Ollier’s disease cenderung terjadi sebelum usia 10 tahun. Estimasi prevalensi Ollier’s disease sebesar 1/100.000 orang.1,4,11

C. ANATOMI DAN FISIOLOGI

Tulang merupakan bagian tubuh yang berfungsi untuk penyokong mekanis, gerakan pasif, pelindung organ-organ vital, pemberi bentuk tubuh dan penyimpan mineral natrium dan kalsium sebagai bagian dari mekanisme tubuh untuk mepertahankan metabolisme homeostasis. Tulang tersusun atas sel-sel

(6)

penyokong (sel-sel osteoprogenitor, osteoblas, osteoklas, dan osteosit), matriks non-mineral pada osteoid, dan mineral-mineral anorganik yang tersimpan di dalam matriks. Dengan adanya struktur-stuktur mikro dalam tulang tersebut maka tulang dapat mengalami remodeling secara konstan selama hidup. Berdasarkan bentuknya tulang diklasifikasikan atas tulang panjang, tulang pendek, tulang pipih, tulang ireguler, dan tulang sesamoid.12

Tulang panjang mempunyai ukuran panjang yang lebih besar dibandingkan lebarnya. Permukaan luarnya ditutupi oleh membran tipis yang disebut periosteum, yang terbuat dari dua lapisan jaringan ikat padat. Lapisan luar berisi pembuluh darah, persarafan, dan sistem limfatik, sedangkan lapisan dalam berisi sejumlah kecil osteoblas dan osteoklas. Selain periosteum, tulang panjang juga dilapisi oleh endosteum, yang merupakan lapisan tunggal dan berada di antara korteks tulang dan permukaan luar dari trabekula tulang. Lapisan endosteum juga berisi osteoblast dan osteoklas. Tulang panjang berbentuk tubuler, terbagi atas 3 bagian yaitu diafisis, epifisis, dan metafisis. Diafisis, yang merupakan batang (corpus) dari tulang panjang, terdiri atas rongga medula dibagian dalamnya yang dikelilingi oleh dinding tebal dari tulang kompakta yang membentuk suatu pipa. Sejumlah kecil tulang spongiosa terdapat di permukaan bagian dalam dari tulang kompakta tersebut dan membentuk jala-jala trabekula. Pada saat lahir seluruh rongga medula terisi oleh sumsum tulang merah (red marrow), tetapi ketika usia dewasa sebagian besar sumsum tulang merah berubah menjadi sumsum tulang kuning (yellow marrow) dan rongga medula tersebut diisi dengan sumsum tulang kuning, yang sebagian besar terdiri atas jaringan lemak. Sedangkan sumsum tulang merah, yang terdiri atas prekusor sel darah, mengisi bagian tulang spongiosa di epifisis. Pada kondisi kehilangan darah yang berat sumsum tulang kuning dapat diubah kembali oleh tubuh menjadi sumsum tulang merah untuk meningkatkan produksi sel darah merah. Bagian selanjutnya dari tulang panjang adalah metafisis. Metafisis merupakan ujung dari diafisis yang melebar kesamping dan kaya vaskularisasi. Metafisis menghubungkan diafisis dengan ujung tulang panjang, yaitu epifisis. Epifisis sendiri sebagian besar terdiri dari tulang

(7)

spongiosa dan memiliki selubung tipis tulang kompakta dibagian luarnya. Permukaan epifisis yang merupakan bagian dari persendian ditutupi oleh lapisan kartilago hialin atau disebut tulang subkondral. Pada usia pertumbuhan, tempat pemanjangan tulang, yang bertanggung jawab terhadap pertumbuhan tulang panjang, dan dikenal sebagai fisis (lempeng pertumbuhan), merupakan suatu kartilago epifiseal dan terletak diantara epifisis dan metafisis. Ketika tulang berhenti tumbuh, lempeng pertumbuhan tersebut menjadi keras dan membentuk lempeng epifiseal (epiphyseal line).12

Bentuk tulang selanjutnya adalah tulang pendek, mempunyai ukuran panjang dan lebar yang sama serta berbentuk kuboid atau bulat. Tulang pendek ini misalnya didapati pada tulang-tulang metakarpal dan metatarsal. Tulang pendek tersusun atas tulang spongiosa yang dikelilingi oleh lapisan tipis tulang kompakta, dan ditutupi oleh periosteum, dengan kartilago hialin menutupi permukaan tulang yang menjadi bagian dari persendian.12

Tulang pipih (flat bone) adalah bentuk tulang yang berikutnya, biasanya berbentuk tipis, pipih dan melengkung. Dapat ditemukan pada cranium, costae, sternum, dan scapula. Tulang pipih terdiri atas tulang kompakta pada lapisan dalam dan luar yang dipisahkan oleh lapisan tulang spongiosa yang disebut diploë. Tulang spongiosa pada tulang-tulang pipih ini juga terisi oleh sumsum tulang merah.12

Dua bentuk tulang yang terakhir adalah tulang ireguler dan tulang sesamoid. Tulang ireguler dapat ditemukan pada vertebrae dan tulang sfenoid, terdiri atas tulang spongiosa yang ditutupi oleh tulang kompakta tipis. Sedangkan tulang sesamoid adalah tulang-tulang kecil yang ditemukan pada beberapa tendon yang bersinggungan dengan permukaan tulang, misalnya tendon quadriceps femoris dan flexor pollicis brevis. Sebagian besar tulang sesamoid tertanam pada tendon dengan bagian tulang yang bebas ditutupi oleh kartilago.12

Berdasarkan pola penyimpanan kolagen tulang dibagi menjadi 2, yaitu tulang imatur (woven bone) dan tulang matur (lamellar bone). Tulang imatur tersusun atas serat kolagen kasar dan memiliki komponen mineral yang rendah

(8)

sehingga secara mekanis menjadi lemah. Tulang ini dibentuk pada kondisi ketika osteoid dibentuk dengan cepat, misalnya ketika terjadi penyembuhan fraktur atau selama perkembangan embrionik dari kerangka. Tulang imatur secara bertahap akan mengalami remodeling dan digantikan oleh tulang matur. Sedangkan tulang matur terdiri atas serat kolagen yang tersusun paralel, rapi, dan memiliki infrastruktur yang teratur, sehingga membuat tulang menjadi kuat secara mekanis. Tulang imatur ini dapat berbentuk sebagai tulang kompakta atau tulang spongiosa.12

Seluruh tulang berasal dari mesenkim, tetapi berkembang melalui satu diantara dua mekanisme. Tulang dapat berkembang secara langsung dari sel mesenkim primitif, yaitu suatu lembaran yang bertindak sebagai membran pembentuk tulang (osifikasi intramembran), misalnya pada cranium dan clavicula. Tetapi tulang juga dapat berkembang secara tidak langsung yaitu dengan mengubah kartilago menjadi tulang (osifikasi endokondral). Osifikasi endokondral terjadi pada sebagian besar tulang manusia. Kedua proses tersebut menghasilkan mikrostruktur tulang yang identik, dimana tulang kompakta dan tulang spongiosa dapat terbentuk melalui kedua mekanisme tersebut. Setelah proses osifikasi, tulang imatur tumbuh dan mengalami remodeling secara terus menerus karena adanya osteoklas dan osteoblas sampai tulang menjadi matur. Remodeling tulang terjadi karena adanya keseimbangan antara pembentukan tulang oleh osteoblas dan resorbsi tulang oleh osteoklas. Proses ini berlangsung secara terus menerus sepanjang hidup dengan pola homeostatik. Perkembangan tulang sendiri dikontrol oleh hormon-hormon yang ada dalam tubuh, seperti hormon pertumbuhan, hormon thyroid, dan hormon-hormon seksual (estrogen dan testoteron).12,13

D. ETIOLOGI & PATOGENESIS

Ollier’s disease merupakan kelainan non familial, terjadi secara spontan, dan tidak diturunkan. Walaupun merupakan penyakit non familial dan non herediter, tetapi menurut beberapa penelitian penyakit ini dapat terjadi pada anak laki-laki dengan ayah yang memiliki riwayat penyakit skeletal dysplasia

(9)

ringan tanpa bukti adanya penyakit enchondroma, dimana mutasi zigotik pada anak laki-laki tersebut diwariskan dari sang ayah.14

Etiologi pasti dari Ollier’s disease tidak diketahui. Tetapi distribusi lesi Ollier’s disease yang tidak teratur dan melibatkan banyak tulang (polyostotic) menunjukkan dengan kuat bahwa hal itu merupakan akibat dari gangguan osifikasi endokondral, yang terjadi karena adanya mutasi somatik post zigotik yang menghasilkan ketidakteraturan (mosaism). Osifikasi endokondral sendiri merupakan proses yang sangat teratur, dimana pada proses osifikasi tersebut terjadi perkembangan sel mesenkimal yang tak terdeferensiasi menjadi kondrosit hipertrofik dan selanjutnya terjadi penggantian matriks kartilago oleh tulang termineralisasi. Sehingga diduga bahwa enchondroma terjadi sebagai hasil dari abnormalitas jalur sinyal dalam mengendalikan proliferasi dan diferensiasi kondrosit, yang menyebabkan perkembangan foci kartilago intraosseous. Beberapa penelitian evaluasi sitogenetik dari enchondroma benigna pada Ollier’s disease menunjukkan tidak ada abnormalitas kromosom tumor spesifik yang dikaitkan dengan enchondroma atau kondrosarkoma pada penyakit ini.1,3,8,14

Dalam proses osifikasi endokondral, Parathyroid hormone-related protein (PTHrP) dan Indian Hedgehog (IHH) memegang peranan yang sangat penting. PTHrP disintesis oleh kondrosit dan sel perikondrial di lempeng pertumbuhan periartikuler (periarticular growth plate). PTHrP berdifusi menuju zona prehipertofik, dimana pada zona tersebut PTHrP akan mengikat dan mengaktifkan reseptornya, yaitu Parathyroid hormone receptor 1 (PTHR1), sehingga akan mempertahankan proliferasi kondrosit dan menunda diferensiasi kondrosit menjadi kondrosit prehipertrofik dan hipertrofik. Setelah kondrosit berhenti berproliferasi, pada saat transisi dari proliferasi menjadi fenotip hipertrofik, IHH kemudian disintesis. IHH berfungsi secara tidak langsung meningkatkan sintesis PTHrP. IHH dan PTHrP selanjutnya berperan dalam putaran umpan balik negatif (negative feed-back loop) yang berfungsi untuk mengatur tingkat dan keselarasan kondrosit lempeng pertumbuhan. Disamping meningkatkan sintesis PTHrP, IHH secara langsung atau tidak langsung juga

(10)

menstimulasi proliferasi kondrosit dan menghambat terminal diferensiasinya.8,14

Abnormalitas gen pada jalur sinyal PTHR1 berpotensi berperan dalam patogenesis Ollier’s disease. Beberapa penelitian mengidentifikasi adanya mutasi yang merusak PTHR1 secara fungsional pada kasus-kasus Ollier’s disease. Mutasi pada gen PTHR1 ini akan menyebabkan ekspresi berlebih (overexpression) Gli2 yang merupakan faktor transkripsi pada jalur sinyal IHH. Temuan ini memberikan dukungan lebih lanjut terhadap pendapat yang menyatakan bahwa mutasi heterozigot pada PTHR1 yang merusak reseptor berperan dalam patogenesis Ollier’s disease. Selain itu beberapa penelitian ternyata juga mengidentifikasi mutasi lain yang melibatkan gen PTHR1. Penelitian-penelitian tersebut mengemukakan bahwa penyebab Ollier’s disease adalah heterogen dan kemungkinan terdapat dua atau lebih mutasi genetik yang menyebabkan berkembangnya penyakit ini.1,2,8,14

E. TEMPAT PREDILEKSI

Tempat predileksi lesi Ollier’s disease khususnya di metafisis tulang-tulang panjang dan tulang-tulang-tulang-tulang pendek pada tangan dan kaki. Awalnya lesi berlokasi di dekat kartilago lempeng pertumbuhan dan kemudian bermigrasi secara progresif menuju diafisis. Daerah epifisis yang berdekatan dengan metafisis yang terlibat akan tampak ireguler. Meskipun jarang lesi juga dapat mengenai daerah epifisis tersebut. Pada tangan, lesi hampir tidak pernah mengenai seluruh tulang-tulang metacarpal dan phalang. Selain itu lesi juga dapat ditemukan pada tulang-tulang pipih, khususnya pada pelvis, dan walaupun jarang dapat pula ditemukan pada costae, sternum, dan atau cranium. Walaupun ciri Ollier’s disease adalah lesi yang terletak unilateral, tetapi tetap terdapat kemungkinan ditemukan lesi di kontralateralnya dengan kecenderungan lesi yang lebih berat pada satu sisi ekstremitas.1,3,7,14

(11)

F. DIAGNOSIS

Diagnosis Ollier’s disease ditegakkan berdasarkan atas gejala klinis dan pemeriksaan radiografi konvensional. Analisis histopatologis memiliki peran yang terbatas dan dilakukan jika dicurigai adanya malignansi. Pelacakan tambahan, seperti dengan menggunakan scintigrafi, USG, dan MRI tidak begitu bermanfaat untuk menegakkan diagnosis. Pemeriksaan-pemeriksaan tersebut diindikasikan untuk mengevaluasi dan mengamati lesi yang menjadi simtomatik (misalnya: nyeri dan atau ukuran lesi bertambah).11

1. Gejala dan Tanda Klinis

Ollier’s disease merupakan penyakit yang tanpa gejala (asymptomatic), dan biasanya ditemukan secara kebetulan. Gejala timbul jika terjadi komplikasi penyakit berupa fraktur patologis atau terjadi transformasi maligna pada lesi. Gejala tersebut antara lain nyeri dan pembengkakan.15

Pada pemeriksaan fisik akan dijumpai adanya massa tulang yang palpable, extremitas unilateral yang terlibat mengalami deformitas dan memendek, dan jika melibatkan tungkai akan menyebabkan pincang pada saat berjalan. Pemendekan tulang mungkin merupakan satu-satunya tanda klinis dari penyakit ini. Pemendekkan tulang tersebut sering dihubungkan dengan kondisi tulang yang lemah dan bengkok, yang dapat menyebabkan keterbatasan dalam gerakan sendi. Adanya massa tumor intraosseous akan menyebabkan terjadinya penipisan korteks tulang, sehingga dapat menyebabkan tulang menjadi rapuh dan mudah mengalami fraktur patologis.1,3,16

2. Radiografi polos tulang

Radiografi polos tulang merupakan pencitraan standar yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis Ollier’s disease. Gambaran yang ditemukan pada pencitraan radiografi polos adalah adanya lesi lusen, multiple, batas tegas, pola geografik, zona transisi sempit, dengan atau tanpa tepi sklerotik, ekspansil, dengan endosteal scalloping, tanpa reaksi periosteal,

(12)

bentuk oval atau memanjang, dan berjalan sejajar dengan sumbu tulang panjang. Lesi bisa terletak sentral, sehingga dapat menyebabkan pelebaran kontur tulang, atau terletak eksentrik, yang akan menonjol dan menipiskan korteks tulang. Lesi dapat disertai matriks chondroid dengan bentuk cincin (ring) atau menyerupai busur/semilunar (arc-like), dan dapat pula dengan bentuk pungtata atau bercak-bercak yang difus. Lesi sering berkumpul membentuk suatu klaster sehingga menyebabkan pelebaran metafisis. Jika lesi berada di perbatasan tulang maka akan tampak gambaran menyerupai takik (notch-like image). Pada tulang panjang dan pelvis lesi dapat berbentuk striata sehingga menyerupai gambaran kipas angin (fan-like appearance).1,14,17,18,19

Ollier’s disease menyebabkan gangguan perkembangan yang lebih berat dibandingkan dengan multiple eksostosis. Diafisis yang terlibat akan memendek dan membesar secara masif. Pemendekan ulna umumnya lebih sering dibandingkan dengan pemendekan radius, dengan jari-jari tangan berbentuk ireguler.14

Lesi pada tangan umumnya lebih ekspansil dan agresif dibandingkan lesi pada tulang-tulang panjang. Tetapi walaupun demikian, kemungkinan terjadinya transformasi maligna pada lesi ditangan lebih rendah dibandingkan dengan lesi pada tulang-tulang panjang. Tanda-tanda transformasi maligna yang dapat ditemukan pada radiografi polos meliputi erosi kortikal, perluasan tumor ke jaringan lunak, dan iregularitas atau pengaburan permukaan tumor. Lesi Ollier’s disease sendiri cenderung berbatas tegas dan menunjukkan pola kalsifikasi yang seragam, sementara lesi yang mengalami transformasi maligna (chondrosarcoma) menunjukkan gambaran lesi dengan batas tak tegas dengan pola kaslifikasi yang tidak seragam.1,14

3. MRI

Pemeriksaan CT scan dan MRI umumnya tidak digunakan sebagai penegakan diagnosis. Keduanya dilakukan jika dicurigai terjadi fraktur

(13)

patologis yang tidak dapat dinilai dengan radiografi polos tulang, atau jika diagnosis Ollier’s disease meragukan.1

Kartilago terutama terdiri atas air, maka pada pemeriksaan MRI sekuen T1W akan ditemukan gambaran hipointens dan pada sekuen T2W akan tampak gambaran lesi hiperintens lobulated dengan gambaran kalsifikasi yang hipointens.1,20

4. Pemeriksaan Histopatologi

Pada pemeriksaan histopatologi akan ditemukan gambaran nodul kartilago bentuk oval atau bulat multiple di intraosseous. Masing-masing nodul dibatasi oleh tulang imatur (woven bone) dan tulang matur (lamellar bone) di bagian perifernya, dan satu sama lain dipisahkan oleh ruang sumsum intratrabekular. Matriks tumor kartilago biasanya solid, dengan perubahan miksoid, yang bermanifestasi sebagai matriks yang berjumbai (fraying of the matrix). Ollier’s disease ditandai dengan tingkat selularitas dan fenotip kondrosit yang sangat heterogen dan beragam.1,14

Karena heterogenitas seluler tersebut, maka sangat sulit untuk membedakan antara enchondroma benigna dan chondrosarcoma dengan menggunakan kriteria histokimia saja. Kriteria histologis malignansi yang digunakan untuk enchondroma konvensional tidak dapat digunakan pada Ollier’s disease karena adanya peningkatan selularitas, dan oleh karena itu perbedaan antara enchondroma dan chondrosarcoma derajat I dalam konteks enchondromatosis sangat sulit atau bahkan mustahil. Oleh karena itu diagnosis malignansi tergantung pada kombinasi temuan radiografi, klinis, dan kriteria histologis.1,14

H. DIAGNOSIS BANDING

Berdasarkan kemiripannya dalam gambaran radiografi polos maka diagnosis banding dari Ollier’s disease adalah Maffuci syndrome dan polyostotic fibrous dysplasia. (Silve)(Adam)(jones ollier disease)

(14)

Maffucci syndrome adalah kelainan skeletal kongenital non herediter yang terdiri atas enchondromatosis dan hemangioma. Etiologi Maffucci syndrome tidak diketahui. Biasanya terjadi pada rerata onset usia 4 tahun (kisaran usia dari lahir sampai usia 30 tahun) dan tanpa predileksi jenis kelamin. Lokasi predileksi Maffucci syndrome sama dengan Ollier’s disease, dengan tangan dan kaki merupakan area yang paling sering terlibat. Manifestasi klinis berupa pembengkakan yang tidak terasa nyeri, deformitas dan atau fraktur patologis pada sistema tulang yang terlibat. Malformasi kapiler umumnya tampak sebagai nodul subkutan yang menonjol dengan bentuk ireguler dan berwarna biru gelap, yang biasanya terletak di bagian distal ekstremitas, tetapi dapat pula muncul di beberapa tempat lain. Lesi skeletal dan vaskuler tersebut biasanya asimetris. Sekitar 25% kasus menunjukkan gejala klinis pada saat lahir atau di tahun pertama kehidupan; 45% sebelum usia 6 tahun, dan 78% sebelum pubertas. Maffucci syndrome dipercaya memiliki potensial malignansi yang lebih besar dibandingkan dengan Ollier’s disease. Selain itu Maffucci syndrome juga sering dihubungkan dengan beberapa tumor benigna dan maligna, antara lain: goiter, adenoma parathyroid, adenoma pituitary, tumor adrenal, tumor ovarium, kanker payudara, atau astrocytoma.20,21,22,23,24

Pada pemeriksaan radiografi polos akan tampak gambaran lesi tulang yang sama dengan Ollier’s disease. Lesi lusen, multiple, pola geografik, zona transisi sempit, dengan atau tanpa tepi sklerotik, dengan endosteal scalloping, tanpa reaksi periosteal, disertai gambaran matriks chondroid (kalsifikasi arc-like, ring atau pungtata), ekspansil, yang dapat menipiskan korteks tulang dan menyebabkan fraktur patologis, merupakan karakteristik dari enchondromatosis. Selain karakteristik enchondromatosis tersebut, pada radiografi polos Maffucci syndrome dapat ditemukan gambaran massa jaringan lunak di sekitar lesi tulang yang dapat disertai dengan phlebolith dan kalsifikasi jaringan lunak.18,20,21,24

Diagnosis banding yang kedua adalah polyostotic fibrous dysplasia. Fibrous dysplasia merupakan kelainan skeletal benigna non herediter, dimana sumsum tulang normal secara progresif digantikan oleh jaringan ikat fibrosa.

(15)

Tempat predileksi yang paling sering adalah di metafisis dan diafisis tulang-tulang panjang, costae, tulang-tulang-tulang-tulang craniofacial, dan pelvis. Namun walaupun sangat jarang, lesi dapat pula ditemukan pada epifisis. Sebagian besar lesi hanya melibatkan satu tulang (monostotic), tetapi lesi juga dapat melibatkan banyak tulang (polyostotic). Fibrous dysplasia umumnya ditemukan anak-anak dan dewasa muda, yaitu pada dekade 1 dan 2, dengan 75% pasien fibrous dysplasia ditemukan pada umur < 30 tahun (insiden tertinggi antara usia 3 dan 15 tahun), dan tanpa predileksi jenis kelamin. Monostotic fibrous dysplasia sering asimptomatik, tetapi sering juga menunjukkan manifestasi klinis berupa nyeri tulang yang terlokalisasi, terutama jika telah terjadi deformitas yang berat atau fraktur patologis pada sistema tulang yang terlibat. Manifestasi klinis tersebut biasanya ditemukan setelah usia 10 tahun sampai 30 tahun. Sedangkan manifestasi klinis pada polyostotic fibrous dysplasia biasanya muncul sebelum usia 10 tahun.25,26,27,28

Sepertiga sampai setengah persen penderita polyostotic fibrous dysplasia menderita kelainan pigmentasi kulit sebagai suatu kondisi koeksistensi, yaitu berupa makula berwarna kekuningan atau kecoklatan (café au lait spot) di tubuh atau di ekstremitas penderita. Lokasi pigmentasi kulit tersebut biasanya ipsilateral dengan lesi tulang. Selain itu polyostotic fibrous dysplasia juga dihubungkan dengan adanya disfungsi endokrin, dimana manifestasi yang paling sering adalah adanya pubertas prekok pada anak perempuan. Jika ditemukan trias: polyostotic fibrous dysplasia, café au lait spot, dan disfungsi endokrin, maka kondisi ini disebut dengan McCune-Albright syndrome.25,2628

Pada radiografi polos dapat ditemukan lesi intramedular yang ekspansil, berbatas tegas, multiple, dengan atau tanpa tepi sklerotik, disertai endosteal scalloping, kontur korteks yang halus dan tanpa reaksi periosteal. Lesi pada fibrous dysplasis menunjukkan variasi derajat densitas pengkabutan (hazy) dengan gambaran ground glass, meskipun beberapa lesi tampak sebagai lusensi komplit dan atau sklerotik. Matriks pada fibrous dysplasia merupakan matriks fibrosa, yang sulit dinilai pada radiografi polos. Beberapa pustaka menyebutkan bahwa gambaran ground glass pada lesi menujukkan pola

(16)

mineralisasi matriks intermediet, sebagai hasil dari proses dysplasia dan spikulasi tulang, bukan karena mineralisasi matriks fibrosa. Lesi pada polyostotic fibrous dysplasia biasanya unilateral, tetapi dapat pula bilateral. Selain itu dapat ditemukan gambaran bowing dan angulasi valgus di femur pars proximal. Kondisi deformitas ini dikenal dengan nama shepherd’s crook deformity. Jika polyostotic fibrous dysplasia melibatkan tulang-tulang craniofacial maka dapat menyebabkan deformitas pada wajah sehingga menyerupai wajah singa, yang disebut dengan leontiasis ossea.27,28,29

(17)

BAB III LAPORAN KASUS

Dilaporkan seorang pasien perempuan, An.HAN, usia 6 tahun, datang dengan keluhan utama benjolan di tangan kanan bawah dan tungkai kanan bawah. Benjolan tersebut muncul sejak ± 3 tahun yang lalu. Awalnya ukuran benjolan sebesar biji kacang, semakin lama benjolan semakin membesar. Benjolan tidak terasa nyeri, riwayat jatuh atau benturan dan riwayat demam disangkal. Os kemudian dibawa orangtuanya berobat ke pengobatan alternatif dan dipijat, tetapi ukuran benjolan tidak mengecil. Kurang lebih 1 bulan SMRS os kemudian dibawa orangtuanya berobat ke RS P. Di RS P tersebut os diperiksa oleh dr.SpB dan dilakukan foto rontgen. Hasil interpretasi foto rontgen menyatakan bahwa benjolan di tangan dan kaki mengarah keganasan. Os kemudian dirujuk ke bagian orthopedi RSUP dr.Sardjito untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut.

Pada pemeriksaan fisik keadaan umum pasien tampak baik, kesadaran compos mentis, dengan tanda vital nadi 92 kali/menit, respirasi 20 kali/menit, dan suhu 36,5°C. Hasil pemeriksaan kepala, leher, thorax dan abdomen dalam batas normal. Pemeriksaan ekstremitas atas dextra : pada antebrachii tampak deformitas valgus dengan bowing dan sorthening. Tak tampak massa dan venektasi, tidak ada nyeri tekan, tidak ada keterbatasan gerak. Selanjutnya pemeriksaan ekstremitas bawah dextra tampak deformitas dan shorthening pada cruris dextra. Tak tampak massa dan venektasi, tidak ada nyeri tekan, tidak ada keterbatasan gerak. Ekstremitas atas dan bawah sinistra dalam batas normal.

Pada pemeriksaan laboratorium menunjukkan adanya peningkatan SGOT (49 u/l), Ca 12-5 (76,75 u/ml), CEA (14,3 ng/ml), dan AFP (3,24 ng/ml). Diagnosis kerja untuk pasien adalah primary benign bone tumor. Pemeriksaan radiologi yang dilakukan pada pasien meliputi radiografi polos thorax, antebrachii dextra et sinistra, cruris dextra et sinistra dan pelvis. Pada radiografi polos thorax tampak lesi lusen di epifisis sampai diafisis os humerus dextra pars proximal, batas tegas, sebagian lesi dengan tepi sklerotik dan sebagian lain tanpa tepi

(18)

sklerotik dan dengan pola geografik, zona transisi sempit serta gambaran matriks chondroid, tak tampak reaksi periosteal, tak tampak gambaran massa jaringan lunak disekitar lesi tulang, tak tampak kelainan pada pulmo dengan besar cor normal. Radiografi polos antebrachii dextra et sinistra menunjukkan lesi lusen di metafisis yang meluas sampai diafisis os radius dextra pars distal, batas tegas, tanpa tepi sklerotik, pola geografik, zona transisi sempit, dengan penipisan korteks, tak tampak gambaran matriks tulang dan reaksi periosteal. Tampak lesi lusen di epifisis sampai diafisis os ulna dextra pars distal, batas tegas, sebagian lesi dengan tepi sklerotik sebagian lain tanpa tepi sklerotik, pola geografik, zona transisi sempit, matriks chondroid (+), dengan penipisan dan destruksi sebagian korteks tulang, tak tampak reaksi periosteal, tak tampak gambaran massa jaringan lunak disekitar lesi tulang. Tampak bowing dan shorthening pada os radius dan ulna dextra. Selain itu pada manus dextra tampak gambaran lesi lusen di phalanx proximal digiti II dan phalanx media digiti III, batas tegas, tanpa tepi sklerotik, pola geografik, dengan destruksi sebagian korteks tulang, tanpa reaksi periosteal. Tak tampak kelainan pada antebrachii sinistra.

Pada radiografi cruris dextra et sinistra tampak gambaran lesi lusen di metafisis sampai diafisis os tibia dextra pars tertia proximal dan epifisis sampai diafisis os tibia dextra pars tertia distal, batas tegas, sebagian lesi dengan tepi sklerotik, pola geografik, zona transisi sempit, tanpa gambaran matriks chondroid, tak tampak reaksi periosteal, tak tampak gambaran massa jaringan lunak disekitar lesi tulang. Tampak lesi lusen di epifisis sampai diafisis os fibula sinistra pars pars tertia proximal, batas tegas, sebagin lesi dengan tepi sklerotik, pola geografik, dengan penipisan korteks dan destruksi sebagian korteks tulang, matriks chondroid (+), zona transisi sempit, tak tampak reaksi periosteal, tak tampak gambaran massa jaringan lunak disekitar lesi tulang. Radiografi pelvis menunjukkan gambaran lesi lusen di os illii dextra, batas tegas, bentuk striated disertai penipisan korteks sehingga membentuk gambaran fan-like appearance, dan lesi lusen batas tegas di ramus inferior os pubis dextra dan di epifisis sampai diafisis os femur dextra pars tertia proximal, batas tegas tanpa tepi sklerotik, pola geografik, zona transisi sempit, tanpa gambaran matriks chondroid, tak tampak

(19)

reaksi periosteal, tak tampak gambaran massa jaringan lunak disekitar lesi tulang. Berdasarkan temuan radiografi polos di thorax, antebrachii dextra et sinistra, cruris dextra et sinistra dan pelvis maka diagnosis radiologis pasien kasus adalah multiple enchondroma, suspect Ollier’s disease.

Pasien kemudian menjalani pemeriksaan aspirasi jarum halus (AJH) pada regio antebrachii dextra. Tetapi ternyata AJH tidak dapat dilakukan karena korteks tulang tidak dapat ditembus oleh jarum yang digunakan pada saat pemeriksaan. Oleh sebab itu pasien kemudian direncanakan untuk menjalani biopsi. Biopsi tidak dikerjakan pada pasien karena sampai laporan kasus ini dibuat pasien tidak kontrol kembali ke RS dr.Sardjito. Berdasarkan manifestasi klinis dan temuan radiologis yang khas maka diagnosis akhir dari bagian bedah orthopedi sesuai dengan diagnosis radiologis, yaitu primary benign bone tumor due to multiple enchondroma (Ollier’s disease).

(20)

BAB IV PEMBAHASAN

Ollier’s disease merupakan kelainan skeletal benigna yang jarang. Tetapi gambaran radiologis, terutama pada radiografi polos, yang ditemukan biasanya cukup patognomonis untuk dapat menegakkan diagnosis Ollier’s disease. Laporan kasus ini memaparkan suatu kasus pasien dengan Ollier’s disease yang memiliki gambaran yang khas pada radiografi polosnya.

Radiografi polos merupakan modalitas pencitraan pertama yang paling sering dilakukan pada pasien yang dicurigai menderita kelainan skeletal. Oleh karena itu sangat penting untuk bisa mengidentifikasi setiap temuan lesi pada radiografi polos, khususnya radiografi polos tulang. Identifikasi lesi tulang yang baik memungkinkan diagnosis radiologis yang tajam dengan menyingkirkan berbagai diagnosis banding. Oleh sebab itu diperlukan suatu pendekatan yang sistematis untuk menganalisis suatu lesi tulang. Pendekatan yang sistematis tersebut meliputi penilaian densitas lesi, lokasi lesi, batas lesi, pola dan zona transisi lesi, ukuran dan jumlah lesi, reaksi periosteal, mineralisasi matriks, keterlibatan korteks, dan keterlibatan jaringan lunak. Pertimbangan terhadap usia pasien dan diagnosis banding juga merupakan hal penting dan tidak boleh dilupakan dalam menilai dan menentukan diagnosis radiologis suatu lesi tulang.30 Berdasarkan pendekatan sistematis tersebut dan diagnosis banding yang telah dikemukakan pada tinjauan pustaka, maka dapat dilakukan analisis pada temuan radiografi polos laporan kasus. Hal pertama yang perlu diperhatikan sebelum menilai temuan radiologis, adalah melihat usia pasien. Usia pasien laporan kasus adalah 6 tahun. Dengan memperhatikan data usia pasien laporan kasus maka lesi tulang pasien laporan kasus dapat ditemukan pada Ollier’s disease, Maffucci syndrome dan polyostotic fibrous dysplasia. Setelah menilai data usia pasien maka langkah analisis selanjutnya adalah menilai lesi tulang yang ditemukan pada radiografi polos pasien laporan kasus.

(21)

Analisis pertama pada temuan radiografi polos pasien laporan kasus adalah densitas lesi. Pada radiografi pasien laporan kasus ditemukan lesi lusen (litik). Lesi lusen ini dapat ditemukan pada Ollier’s disease dan kedua diagnosis bandingnya. Analisis kedua adalah lokasi lesi. Lesi pasien laporan kasus terletak di epifisis, diafisis dan metafisis tulang-tulang panjang, tulang pendek (manus), dan pelvis. Lokasi lesi yang sama dapat ditemukan pada Ollier’s disease, Maffuci syndrome dan polyostotic fibrous dysplasia.

Hal selanjutnya yang perlu dicermati adalah batas lesi, pola dan zona transisi lesi. Pada radiografi polos pasien laporan kasus didapatkan lesi dengan batas yang tegas, sebagian lesi dengan tepi sklerotik dan sebagian tanpa tepi sklerotik, pola geografik dengan zona transisi yang sempit. Selain itu pada os illii dextra dapat ditemukan lesi dengan gambaran fan-like appearance. Temuan ini sesuai dengan gambaran Ollier’s disease. Pada Maffuci syndrome gambaran lesi tulangnya memang serupa dengan Ollier’s disease, hanya pada Maffucci syndrome tidak ditemukan gambaran fan-like appearance. Sedangkan lesi pada polyostotic fibrous dysplasia memberikan gambaran ground glass. Sehingga temuan radiografi polos pasien laporan kasus tidak sesuai dengan kedua diagnosis banding tersebut.

Analisis selanjutnya adalah mengenai jumlah lesi, reaksi periosteal, dan mineralisasi matriks. Radiografi pasien laporan kasus menunjukkan lesi yang multiple dengan distribusi lesi di beberapa tulang (polyostotic), dan tidak ditemukan gambaran reaksi periosteal. Baik Ollier’ disease maupun kedua diagnosis bandingnya memiliki jumlah lesi yang multiple dan polyostotic, serta tidak menunjukkan adanya reaksi periosteal. Mineralisasi matriks pada Ollier’s disease dan Maffucci syndrome adalah chondroid. Hal ini sesuai dengan temuan radiografi polos laporan kasus, dimana pada radiografi polos ditemukan adanya mineralisasi matriks dengan bentuk pungtata dan arc-like, yang merupakan ciri dari mineralisasi matriks chondroid. Sedangkan matriks pada polyostotic fibrous dysplasia merupakan matriks fibrosa, sehingga tidak sesuai dengan temuan radiografi pasien laporan kasus.

(22)

Keterlibatan korteks dan jaringan lunak adalah hal yang perlu dianalisis selanjutnya. Pada radiografi polos laporan kasus tampak penipisan korteks sampai terjadi destruksi korteks, tetapi tidak ditemukan gambaran massa jaringan lunak di sekitar lesi tulang. Hal ini sesuai dengan gambaran yang ditemukan pada Ollier’s disease. Temuan radiografi polos pasien laporan kasus tidak sesuai dengan Maffucci syndrome dan polyostotic fibrous dysplasia, karena meskipun dapat ditemukan penipisan korteks dan destruksi korteks tulang pada kedua diagnosis banding tersebut, namun ada hal yang menjadi ciri khas pada Maffucci syndrome yaitu adanya massa jaringan lunak (hemangioma) subcutan, dan café au lait spot pada polystotic fibrous dysplasia, dimana hal tersebut tidak ditemukan pada radiografi pasien laporan kasus.

Gambaran radiologis lain yang juga patognomonis untuk Ollier’s disease adalah distribusi lesi unilateral dan atau bilateral dengan kecenderungan lebih berat pada satu sisi ekstremitas. Pada radiografi polos laporan kasus tampak distribusi lesi bilateral dengan lesi di sisi exktremitas dextra lebih berat dibandingkan sinistra. Hal ini sesuai untuk distribusi lesi pada Ollier’s disease dan Maffucci syndrome. Pada polyostotic fibrous dysplasia distribusi lesi bisa unilateral atau bilateral dan tidak terdapat kecenderungan lesi di satu sisi ekstremitas lebih berat dibandingkan sisi lainnya.

Radiografi polos tulang pasien laporan kasus juga menunjukkan gambaran bowing dan shortening pada os radius dan ulna dextra. Gambaran ini juga sesuai pada Ollier’s disease dan Maffucci syndrome. Pada polyostotic fibrous dysplasia juga dapat ditemukan gambaran bowing, terutama pada os femur, tetapi biasanya disertai dengan angulasi valgus di pars proximal dari os femur tersebut. Oleh sebab itu maka temuan radiografi pasien kasus tidak sesuai dengan polyostotic fibrous dysplasia.

Pada pasien laporan kasus tidak dilakukan pemeriksaan histopatologi, karena jarum yang dipergunakan pada saat tindakan aspirasi jarum halus (AJH) tidak dapat menembus korteks tulang. Pemeriksaan histopatologis sendiri menurut pustaka sebaiknya dilakukan jika terdapat kecurigaan terjadi transformasi maligna pada lesi.11

(23)

BAB V KESIMPULAN

Analisis kasus dengan menggunakan pendekatan sistematis penilaian lesi tulang pada radiografi polos pasien laporan kasus sesuai dengan Ollier’s disease. Temuan radiografi polos tersebut antara lain lesi lusen di epifisis, metafisis dan atau diafisis, multiple, batas tegas, sebagian lesi tanpa tepi sklerotik dan sebagian lain dengan tepi sklerotik, pola geografik, zona transisi sempit, dengan gambaran matriks chondroid, penipisan korteks sampai terjadi fraktur patologis. Pada pelvis (os illii dextra) lesi membentuk gambaran fan-like appearance. Distribusi lesi polyostotic dan bilateral, dengan lesi di ekstremitas dextra lebih berat dibandingkan dengan ekstremitas sinistra.

Pemeriksaan histopatologi tidak dapat dilakukan pada pasien kasus karena pada saat tindakan jarum AJH tidak dapat menembus korteks tulang. Namun demikian temuan radiologis yang khas pada radiografi polos pasien kasus sudah dapat digunakkan untuk menegakkan diagnosis kelainan skeletal yang diderita oleh pasien kasus.

(24)

DAFTAR PUSTAKA

1. Adam O, Boia ES, Mandrusca R, Medji R. Enchondromatosis-Ollier disease-Case report. J Pediatr 2009; 7(47-48): 60-4

2. Patel A, Shah U, Kumar S, Vaghela DU, Barad U, Shah AK. A large benign juxtacortical chondroma in Ollier’s disease. Gujarat Med J 2009; 64(2): 91-3 3. The National Organization for Rare Disorder (NORD). Ollier disease. (Cited

May 26th, 2014). Available from http://www.rarediseases.org

4. Jones J, Weerakkody Y. Ollier disease. (Cited May 23rd, 2014). Available from www.radiopaedia.org

5. Pansuriya TC, Kroon HM, Bovée JVMG. Enchondromatosis: insight on the different subtypes. Int J Clin Exp Pathol 2010; 3(6): 557-69

6. Chew FS. Enchondroma and enchondromatosis imaging. (Cited May 26th, 2014). Available from http://emedicine.medscape.com/article

7. Wani I, Gupta R, Gupta N, Gupta V, Bashir S, Salaria. Multiple enchondromatosis: Ollier’s disease-A case report. Internet J Orthop Surg 2008; 13(1)

8. Couvineau A, Wouters V, Bertrand G, Rouyer C, Gérard B, Boon LM, et al. PTHR1 mutations associated with Ollier disease result in receptor loss of function. Hum Mol Genet 2008; 17(18): 2766-75

9. Anon. Enchondromatosis (Ollier’s disease). (Cited May 25th, 2014). Available from http://ashlandscience.shoutwiki.com

10. Raupp P, Kemperdick H. Neonatal radiological aspect of enchondromatosis (Ollier’s disease). Pediatr Radiol 1990; 20: 337-8

11. Shaheen F, Ahmad N, Gojwari T, Teli MA, Resold R, Singh M. Multiple enchondromatosis: Ollier’s disease. JK science 2010; 12(4): 207-9

12. Ritchie JE. Muscle, bones, and skin. 3rd ed. Philadelphia, Mosby Elsevier, 2008: 63-79

(25)

13. Isadore M. Radiolucent bone disease of multiple bones or regions. In: Roentgen signs in diagnostic imaging. Vol 2. Philadelphia, W.B. Saunders Company, 1985: 206-45

14. Silve C, Jüppner H. Ollier disease. Orphanet J Rare Dis 2006; 1: 37

15. Anon. Enchondroma. (Cited May 23rd, 2014). Available from http://www.learningradiology.com

16. Choh SA, Choh NA. Multiple enchondromatosis (Ollier disease). Ann Saudi Med 2009; 29(1): 65-7

17. Gagliardi J. Musculoskeletal cartilage lesions encounter clinical practice: part one. (Cited June 2nd, 2014). Available from http://radiologyweb.com

18. Gaillard F. Enchondroma. (Cited June, 22nd 2014). Available from www.radiopaedia.org

19. Duckworth LV, Reith JD. Well-differentiated central cartilage tumors of bone: an overview. In: John DR, ed. Surgical pathology clinics: Current concept in bone pathology. Philadelphia, W.B. Saunders, 2012: 147-61

20. Manaster BJ, May DA, David GD. Cartilage-forming tumor. In: James HT, ed. Musculoskeletal imaging: The requisites in radiology. 3rd ed. Philadelpia, Mosby Elsevier, 2007: 442-59

21. Flach HZ, Ginai AZ, Oosterhuis IW. Maffucci syndrome: Radiologic and pathologic finding. RadioGraphics 2001; 21: 1311-6

22. Harold C. Enchondromatosis (Maffucci syndrome; Ollier syndrome). In: Atlas of genetic diagnosis and counseling. New York, Humana press, 2006; 355-9

23. Anon. Maffucci syndrome. (Cited June, 19th 2014). Available from Orphanet: The portal of rare disease and orphan group. www.orpha.net

24. Jones J, D’Souza D. Maffucci syndrome. (Cited June, 22nd 2014). Available from www.radiopaedia.org

25. Kransdorf MJ, Moser RP, Gilkey FW. Fibrous dysplasia. RadioGraphics 1990; 10: 519-37

26. DiCaprio MR, Enneking WF. Fibrous dysplasia: Pathophysiology, evaluation, and treatment. J Bone Joint Surg Am 2005; 87: 1848-64

(26)

27. Singh G. Fibrous dysplasia. (Cited June 17th, 2014). Available from www.radiopaedia.org

28. Fitzpatrick KA, Taljanovic MS, Speer DP, Graham AR, Jacobson JA, Barnes GR, et al. Imaging findings of fibrous dysplasia with histopathologic and intraoperative correlation. AJR 2004; 182: 1389-98

29. Chew FS. Approach to bone lesion. In: Skeletal radiology: The bare bones. Philadelpia, Wolter Kluwer, 2010: 126-35

30. Herring W. Recognizing abnormalities of bone density. In: Learning radiology: Recognizing the basic. 1st ed. Philadelphia, Mosby Elsevier, 2007; 225-28

31. Anonymous. Skeletal system: Bone structure and development. (Cited June 25th, 2014). Available from www.legacy.owensboro.kctcs.htm

(27)

LAMPIRAN

Gbr 2. Lokasi predileksi enchondroma.20 Gbr 1. Anatomi tulang.31

(28)

Gbr 3. Enchondroma pada tangan.

(A) Radiografi AP phalanx media laki-laki usia 35 tahun. Tampak lesi dengan pola geografik dan zona transisi sempit, kalsifikasi, dan fraktur patologis (tanda panah). (B) Radiografi AP digiti empat dan lima pada pasien yang berbeda, laki-laki usia 23 tahun. Tampak matriks dengan densitas yang rendah dan gambaran lesi yang ekspansil.20

Gbr 4. Pencitraan MRI coronal T2W pada femur distal. Tampak gambaran tumor chondroid bentuk lobulated multiple dengan intensitas sinyal yang tinggi.20

(29)

Gbr 5. Enchondroma dengan transformasi maligna. Radiografi AP femur proksimal laki-laki usia 58 tahun. Tampak matriks chondroid pada bagian proksimal lesi yang mencerminkan suatu enchondroma benigna. Namun, perubahan litik di bagian distal matriks mencerminkan suatu destruksi tulang. Bagian distal dari matriks tersebut telah bertransformasi menjadi chondrosarcoma.20

Gbr 6. Ollier’s disease.

(A) Radiografi AP manus laki-laki usia 13 tahun menunjukkan beberapa enchondroma (kepala panah). Tampak matriks chondroid di beberapa enchondroma.

(B) Radiografi AP femur laki-laki usia 9 tahun dengan Ollier’s disease. Tampak dysplasia yang melibatkan metafisis dan epifisis tetapi tidak melibatkan diafisis. Pada kasus ini pasien menjalani pemanjangan ekstremitas, yang mengakibatkan pemasangan plate.

(C) Detail dari femur proksimal gambar B. Tampak striated vertikal yang dapat ditemukan pada enchondromatosis (kepala panah). 20

(30)

Gbr 7. Radiografi frontal (a) dan oblique (b) pada manus pasien umur 18 tahun. Tampak matriks chondroid dengan bentuk arc-like dan ring di lesi tulang. Kalsifikasi bulat berbatas tegas pada massa jaringan lunak merupakan gambaran khas phlebolith.21

(31)

Gbr 9. Radiografi pelvis laki-laki usia 15 tahun menunjukkan gambaran klasik Shepherd’s

crook deformity dari femur proksimal dan lesi

fibrous dysplasia (tanda panah) yang melibatkan ala ossis ilii bilateral. 28

Gbr 8. Perempuan usia 17 tahun dengan lesi klasik fibrous dysplasia. Radiografi frontal genu menunjukkan lesi batas tegas dengan tepi sklerotik halus dan matriks berkabut (hazy) di femur distal.28

Gbr 10. Radiografi thorax

- Corakan bronchovascular normal - Cor, CTR < 0,5

- Tampak lesi lusen di epifisis sampai diafisis os humerus dextra pars proximal, batas tegas sebagian lesi dengan tepi sklerotik, sebagian lain tanpa tepi sklerotik, pola geografik, zona transisi sempit, matriks chondroid (+), tak tampak reaksi periosteal, tak tampak gambaran massa jaringan lunak disekitar lesi tulang.

(32)

Gbr 11. Radiografi Antebrachii dextra et sinistra

 Tak tampak gambaran massa jaringan lunak.

 Tampak lesi lusen di metafisis yang meluas sampai diafisis os radius dextra pars distal, batas tegas, tanpa tepi sklerotik, pola geografik, zona transisi sempit, dengan penipisan korteks, tak tampak gambaran matriks tulang dan reaksi periosteal.

 Tampak lesi lusen di epifisis sampai diafisis os ulna dextra pars distal, batas tegas, sebagian lesi dengan tepi sklerotik sebagian lain tanpa tepi sklerotik, pola geografik, zona transisi sempit, matriks chondroid (+), dengan penipisan dan destruksi sebagian korteks tulang, tak tampak reaksi periosteal.

Tampak bowing dan shorthening pada os radius dan ulna dextra.

 Pada manus dextra tampak gambaran lesi lusen di phalanx proximal digiti II dan phalanx media digiti III, batas tegas, tanpa tepi sklerotik, pola geografik, dengan destruksi sebagian korteks tulang, tak tampak reaksi periosteal.

 Tak tampak kelainan pada antebrachii sinistra.

Gbr 12. Radiografi pelvis

o Tak tampak gambaran massa jaringan lunak.

o Tampak lesi lusen di os illii dextra, batas tegas, bentuk striated disertai penipisan korteks, gambaran fan-like appearance (+).

o Tampak lesi lusen batas tegas di ramus inferior os pubis dextra dan di epifisis sampai diafisis os femur dextra pars tertia proximal, batas tegas tanpa tepi sklerotik, pola geografik, zona transisi sempit, tanpa gambaran matriks chondroid, tak tampak reaksi periosteal.

(33)

Gbr 13. Radiografi Cruris dextra et sinistra:

 Tampak lesi lusen di metafisis sampai diafisis os tibia dextra pars tertia proximal dan epifisis sampai diafisis os tibia dextra pars tertia distal, batas tegas, sebagian lesi dengan tepi sklerotik, pola geografik, zona transisi sempit, tanpa gambaran matriks chondroid, tak tampak reaksi periosteal, tak tampak gambaran massa jaringan lunak disekitar lesi tulang.

 Tampak lesi lusen di epifisis sampai diafisis os fibula sinistra pars tertia proximal, batas tegas, sebagian lesi dengan tepi sklerotik, pola geografik, dengan penipisan korteks, dan destruksi sebagian korteks tulang, matriks chondroid (+), zona transisi sempit, tak tampak reaksi periosteal, tak tampak gambaran massa jaringan lunak disekitar lesi tulang.

(34)

Tabel 1. Analisis Data Klinis dan Gambaran Radiografi Polos Pasien Laporan Kasus

No. Penilaian data klinis dan lesi tulang Ollier’s Disease (OD) Maffucci Syndrome (MS) Polyostotic Fibrous Dysplasia (PFD) Pasien Kasus Data klinis dan

gambaran radiografi

Analisis

1. Usia Usia > 10 tahun Onset usia 4 tahun (lahir-30 tahun)

Dekade 1-2 ( >> usia 3

dan15 tahun) 6 tahun

1. OD 2. MS 3. PFD 2. Densitas lesi Lesi lusen Lesi lusen Lesi lusen ground

glass appearance Lesi lusen

1. OD 2. MS 3. Batas /Tepi / Pola / Zona

transisi

Batas tegas, tepi sklerotik atau tidak, pola geografik, zona transisi sempit

Batas tegas, tepi sklerotik atau tidak, pola geografik, zona transisi sempit

Batas tegas, tepi sklerotik atau tidak, pola geografik, zona transisi sempit

Batas tegas, tepi sklerotik atau tidak, pola geografik, zona transisi sempit 1. OD 2. MS 3. PFD 4. Lokasi lesi Epimetadiafisis tulang panjang & pendek, tulang pipih (t.u pelvis)

Epimetadiafisis tulang panjang & pendek, tulang pipih (t.u pelvis)

Epimetadiafisis tulang panjang, costae, tulang-tulang craniofacial, pelvis Epimetadiafisis tulang panjang , tulang pendek & pelvis

1. OD 2. MS 3. PFD

5. Jumlah lesi Multiple,

Polyostotic

Multiple,

Polyostotic Multiple, Polyostotic Multiple, Polyostotic

1. OD 2. MS 3. PFD 6. Mineralisasi matriks

Arc-like, ring &

pungtata (Chondroid)

Arc-like, ring &

pungtata (Chondroid)

Fibrosa Arc-like & pungtata (Chondroid)

1. OD 2. MS

7. Reaksi periosteal Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada 1. OD

(35)

3. PFD 8. Keterlibatan korteks Penipisan korteks – destruksi – fraktur patologis Penipisan korteks – destruksi korteks-fraktur patologis Penipisan korteks – destruksi korteks- fraktur patologis Penipisan korteks – destruksi korteks 1. OD 2. MS 3. PFD 9. Keterlibatan jaringan lunak Tidak ada Hemangioma Café au lait spot (±) Tidak ada 1. OD 10. Deformitas tulang Bowing dan atau

shorthening

Bowing dan atau shorthening

Bowing dan angulasi

valgus femur proximal

(shepherd’s crook deformity) Bowing dan shorthening antebrachii dextra 1. OD 2. MS

Kesimpulan analisis kasus

1. OD 2. MS 3. PFD

Gambar

Tabel 1. Analisis Data Klinis dan Gambaran Radiografi Polos Pasien Laporan Kasus

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh waktu gilir kerja terhadap produktivitas karyawan pada SPBU Pertamina Pasti Pas Jl.. Data yang digunakan

Setelah dilakukan penelitian terhadap pemilih Etnis Karo yang ada di Desa Ketaren, maka didapatkan kesimpulan bahwa, pada Pemilihan Umum Kepala Daerah Karo Putaran Pertama

Berdasarkan penelitian dapat diketahui bahwa dari 14 jenis rokok yang dujual pada grosir tembakau di Pasar Bawah Bukittingi, ada 3 jenis merek tembakau rokok yang dikonsumsi

The International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences, Volume XLI-B5, 2016 XXIII ISPRS Congress, 12–19 July 2016, Prague, Czech

Struktur Atas jembatan adalah bagian dari elemen-elemen konstruksi yang dirancang untuk memindahkan beban-beban yang diterima oleh lantai jembatan hingga ke

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam thesis yang berjudul “ THE CAUSES AND SIDE EFFECTS OF LANDON C ARTER’S LACK OF NEEDS IN ADAM SHANKMAN’S (2002) A WALK TO

Novel Hikayat Panglima Nikosa pertama yang diterbitkan pada 1876 oleh Ahmad Shawal bin Abdul Hamid dan novel Melati Sarawak oleh Muhammad Rakawi Yusuf

Laju rata-rata pertambahan panjang secara linier di kedalaman 9 meter, 6 meter, dan 3 meter selama empat bulan yaitu dari bulan agustus- november meningkat