• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI. relevansi teori terhadap masalah yang diteliti dalam penelitian ini yakni gejala

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI. relevansi teori terhadap masalah yang diteliti dalam penelitian ini yakni gejala"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

Peneliti menggunakan beberapa teori gabungan dari para ahli bahasa untuk mendukung penelitian ini. Pemilihan teori tersebut mempertimbangkan relevansi teori terhadap masalah yang diteliti dalam penelitian ini yakni gejala bahasa prokem di lingkungan remaja Desa Kalisapu Kecamatan Slawi Kabupaten Tegal. Teori-teori tersebut adalah penelitian relevan, hakikat bahasa, konsep teori sosiolinguistik, variasi bahasa dan ragamnya, bahasa prokem, tipe gejala bahasa, dan hakikat remaja.

A. Penelitian Relevan

Dalam rangka membedakan penelitian berjudul “Gejala Bahasa Prokem di Lingkungan Remaja Desa Kalisapu Kecamatan Slawi Kabupaten Tegal” dengan penelitian sejenis lain yang telah dilakukan sebelumnya, peneliti telah meninjau dua laporan penelitian lain. Kedua penelitian tersebut dilakukan oleh mahasiswa Universitas Muhammadiyah Purwokerto yakni Fita Triyanasari pada tahun 2016 dan Hartini pada tahun 2003.

1. “Proses Perubahan Bentuk Kata dalam Tuturan Siswa PAUD Ar-Rochmah Karang Banjar, Purbalingga pada Semester Satu Tahun Pelajaran 2015 – 2016” oleh Fita Triyanasari.

Penelitian yang dilakukan oleh Fita Triyanasari (2016) tersebut bertujuan untuk mendeskripsikan perubahan bentuk kata pada tuturan siswa

(2)

PAUD Ar-Rochmah Karang Banjar, Purbalingga. Konsep pemikiran yang digunakan oleh penelitian tersebut ialah pendapat Masnur Muslich dalam bukunya yang berjudul Tata Bentuk Bahasa Indonesia dan J.S. Badudu dalam bukunya yang berjudul Pelik-Pelik Bahasa Indonesia. Perbedaan mendasar penelitian yang telah dilakukan oleh Fita Triyanasari dengan penelitian ini terletak pada tujuan, data, dan sumber data penelitian. Pada penelitian tersebut, Fita Triyanasari menggunakan tuturan anak usia dini di PAUD Ar-Rochmah Desa Karang Banjar, Purbalingga sebagai data dan sumber data penelitian. Penelitian tersebut berlangsung selama dua bulan yakni pada Oktober 2015 – Desember 2015. Pada penelitian berjudul “Gejala Bahasa Prokem Dialek Tegal di Lingkungan Remaja Desa Kalisapu Kecamatan Slawi Kabupaten Tegal” ini peneliti menggunakan data tuturan yang diperoleh dari para remaja di Desa Kalisapu Kecamatan Slawi Kabupaten Tegal sebagai data dan sumber data penelitian. Penelitian ini berlangsung selama satu bulan yakni pada 2 April 2016 hingga 1 Mei 2016.

2. “Deskripsi Penggunaan Bahasa Gaul dalam Kajian Etnolinguuistik” oleh Hartini.

Penelitian yang dilakukan oleh Hartini (2003) bertujuan untuk mendeskripsikan proses pembentukan istilah dalam bahasa gaul dan memaparkan hubungan bahasa gaul dengan pandangan hidup, cara memandang kenyataan, struktur pemikiran, dan keterkaitan bahasa gaul dengan perubahan dalam masyarakat. Konsep pemikiran yang digunakan dalam penelitian ini ialah pendapat Derby Sahertian, Abdul Chaer dan Leonie Augustina dalam buku

(3)

majalah Kawanku dan tabloid Keren Beken, Gaul, dan Fantasi periode September – Desember 2002. Tahap analisis data menggunakan metode padan dan metode pustaka sedangkan tahap penyediaan data menggunakan metode formal dan informal. Perbedaan penelitian Hartini dengan penelitian ini terletak pada tujuan penelitian, tahap penyediaan data, data, dan sumber data. Pada penelitian berjudul “Gejala Bahasa Prokem Dialek Tegal di Lingkungan Remaja Desa Kalisapu Kecamatan Slawi Kabupaten Tegal” ini peneliti menggunakan data tuturan yang diperoleh dari para remaja di Desa Kalisapu Kecamatan Slawi Kabupaten Tegal sebagai data dan sumber data penelitian. Penelitian ini berlangsung selama satu bulan yakni pada 2 April 2016 hingga 1 Mei 2016 dengan tujuan untuk mendeskripsikan gejala bahasa pada tuturan bahasa prokem remaja Desa Kalisapu Kecamatan Slawi Kabupaten Tegal.

B. Hakikat Bahasa

Bahasa merupakan alat komunikasi yang paling baik dan paling sempurna dibanding dengan alat komunikasi lain. Bahasa memiliki ciri sebagai alat interaksi sosial dan sebagai alat untuk mengidentifikasi diri. Dengan bahasa, seseorang dapat mengungkapkan pikiran, perasaan dan kemauannya kepada orang lain dalam suatu kelompok masyarakat. Menurut Chaer (2004: 11) bahasa adalah suatu sistem lambang bunyi, bersifat arbitrer, digunakan oleh suatu masyarakat tutur untuk bekerja sama, berkomunikasi dan mengidentifikasi diri. Setiap bahasa mempunyai pola dan aturan-aturan tertentu dalam hal tata bunyi, kata, kalimat, dan makna. Berbagai faktor yang terdapat di dalam masyarakat pemakai bahasa,

(4)

seperti usia, pendidikan, agama, profesi, dan latar belakang budaya daerah, juga bisa menyebabkan adanya variasi bahasa.

Nababan (1993: 46) memberikan pengertian bahasa sebagai suatu sistem perisyaratan (semiotik) yang terdiri atas unsur-unsur isyarat dan hubungan antara unsur-unsur itu. Unsur bahasa dari yang terkecil sampai terbesar adalah fonem, morfem, kata, frasa, klausa, dan kalimat. Menurut Kridalaksana (2008: 24) bahasa didefinisikan sebagai sistem lambang bunyi yang digunakan oleh para anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri. Chaer (2004: 11) mendefinisikan bahasa sebagai sebuah sistem, yang artinya bahasa itu dibentuk oleh sejumlah komponen yang berpola secara tetap dan dapat dikaidahkan. Bahasa itu bersifat manusiawi. Artinya, bahasa sebagai alat komunikasi verbal yang hanya dimiliki oleh manusia. Chaer (1998: 2) mengungkapkan fungsi utama bahasa adalah sebagai alat untuk bekerja sama atau berkomunikasi di dalam kehidupan manusia bermasyarakat. Dengan menggunakan bahasa komunikasi dapat berlangsung lebih baik dan lebih sempurna.

C. Hakikat Sosiolinguistik

Secara umum sosiolinguistik merupakan sebuah kajian mengenai hubungan antara bahasa dengan masyarakat sebagai penutur bahasa. Hal ini mengaitkan fungsi bahasa secara umum yaitu sebagai alat komunikasi. Menurut Kridalaksana (2008: Sosiolinguistik ialah cabang linguistik yang mempelajari hubungan dan saling pengaruh antara pelaku bahasa dan perilaku sosial. Dell

(5)

Hymess (dalam Sumarsono, 2008: 3) mengatakan “Sociolinguistics could be

taken to refer to use of linguistic and analysis in other disciplice concerned with social life coversely, to use of social data and analysis in linguistics.”Sosiolinguistik dapat mengacu kepada pemakaian data kebahasaan

dan menganalisis ke dalam ilmu-ilmu lain yang menyangkut kehidupan sosial dan sebaliknya, mengacu kepada data kemasyarakatan dan menganalisis ke dalam linguistik. Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa sosiolinguistik menyangkut tiga hal yang penting yakni bahasa, masyarakat, dan hubungan bahasa dengan masyarakat. Bahasa dan masyarakat merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak dapat terpisahkan. Bahasa sebagai sarana terpenting dalam berkomunikasi akan selalu hadir di setiap kebutuhan hidup manusia.

Fishman (dalam Chaer, 2004: 3) mengemukakan bahwa sosiolinguistik adalah kajian tentang ciri khas variasi bahasa, fungsi-fungsi variasi bahasa, dan pemakai bahasa karena ketiga unsur ini selalu berinteraksi, berubah, dan saling mengubah satu sama lain dalam satu masyarakat tutur. Platt (dalam Siregar dkk, 1998: 54) berpendapat bahwa dimensi identitas sosial merupakan sebuah faktor yang mempengaruhi penggunaan bahasa di dalam masyarakat yang multilingual, dimensi ini mencakup umur, jenis kelamin, tingkat dan sarana pendidikan, dan latar sosial ekonomi. Hal tersebut senada dengan definisi sosiolinguistik yang diungkapkan oleh Nababan dalam bukunya yang berjudul Sosiolinguistik. Nababan (1994: 2) yang mengungkapkan bahwa sosiolinguistik adalah pengkajian-pengkajian bahasa dengan dimensi kemasyarakatan. Sosiolinguistik memfokuskan penelitian pada variasi ujaran dan mengkajinya dalam suatu

(6)

konteks sosial. Sosiolinguistik meneliti korelasi antara faktor-faktor sosial tersebut dengan variasi bahasa.

Berdasarkan beberapa pengertian para ahli yang telah disebutkan di atas maka dapat disimpulkan bahwa sosiolinguistik adalah cabang ilmu linguistik yang mengkaji mengenai ciri khas variasi bahasa, fungsi-fungsi variasi bahasa, dan pemakai bahasa. Kajian ilmu sosiolinguistik sangat erat kaitannya dengan ilmu sosiologi. Hal tersebut dikarenakan bahasa memiliki hubungan yang begitu erat dengan faktor sosial yang ada di dalam masyarakat. Hubungan tersebut membuat bahasa dapat dikaji dari segi ragam dan variasi bahasa yang muncul di dalam sebuah masyarakat.

1. Variasi Bahasa

Menurut Chaer (2004: 61), sebuah bahasa mempunyai sistem dan subsistem yang dipahami sama oleh semua penutur bahasa itu. Namun, karena penutur bahasa tersebut, meski berada dalam masyarakat tutur, tidak merupakan kumpulan manusia yang homogen, maka wujud bahasa yang konkret, yang disebut parole, menjadi tidak seragam. Bahasa pun menjadi beragam dan bervariasi. Terjadinya keragaman atau kevariasian bahasa ini bukan hanya disebabkan oleh para penuturnya yang tidak homogen, tetapi juga karena kegiatan interaksi sosial yang mereka lakukan sangat beragam. Keberagaman variasi bahasa tersebut dapat terjadi di setiap masyarakat tutur.

Chaer (2004: 62) mengungkapkan dalam variasi bahasa, terdapat dua pandangan. Pertama, variasi dilihat sebagai akibat adanya keragaman sosial

(7)

penutur bahasa dan keragaman fungsi bahasa. Jadi, variasi tersebut terjadi sebagai akibat dari adanya keragaman sosial dan keragaman fungsi bahasa. Kedua, variasi atau ragam bahasa sudah ada untuk memenuhi fungsinya sebagai alat interaksi dalam kegiatan masyarakat yang beraneka ragam. Sementara itu, Soeparno (2002, 49) mengungkapkan bahwa variasi bahasa adalah keanekaragaman bahasa yang disebabkan oleh faktor tertentu. Kridalaksana (2008: 253) menyebut variasi bahasa sebagai satuan yang sekurang-kurangnya mempunyai dua variasi yang dipilih oleh penutur bahasa. Variasi tersebut tergantung dari faktor-faktor seperti jenis kelamin, umur, status sosial, dan situasi. Variasi itu dianggap sistematis karena merupakan interaksi antara faktor sosial dan faktor bahasa.

Allen (dalam Pateda, 1992:52) mengatakan “A variety is any body of

human speech patterns which is sufficiently homogeneous to be analysed by available technique of synchronic description and their arrgements or processes with broad enough semantic scope to function in all normal contexts of communication”. Kutipan tersebut menjelaskan bahwa variasi adalah keseluruhan

pola-pola ujaran manusia yang cukup sama untuk dianalisis dengan teknik-teknik pemerian sinkronik yang ada dan memiliki perbendaharaan unsur-unsur yang cukup besar dan penyatuan-penyatuan atau proses dengan cakupan semantik yang cukup luas bagi fungsinya dalam segala konteks komunikasi yang normal. Chaer (2004: 62-64) dalam bukunya yang berjudul Sosiolinguistik Perkenalan Awal mengungkapkan bahwa variasi bahasa dari segi pemakai atau penuturnya dapat dibedakan menjadi empat jenis yakni idiolek (perorangan), dialek (kelompok),

(8)

Ideolek adalah variasi bahasa yang bersifat perorangan sedangkan dialek

adalah variasi bahasa dari sekelompok penutur yang jumlahnya relatif, yang berada pada satu tempat, wilayah, atau area tertentu. Kronolek atau dialek

temporal adalah variasi bahasa yang digunakan oleh kelompok sosial pada masa

tertentu. Variasi bahasa yang keempat berdasarkan penuturnya disebut sosiolek atau dialek sosial, yakni variasi bahasa yang berkenaan dengan status, golongan, dan kelas sosial para penuturnya. Berdasarkan beberapa pengertian mengenai variasi bahasa dari para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa variasi bahasa merupakan keragaman bahasa yang lazim digunakan dan tidak bertentangan dengan kaidah kebahasaan. Keragaman bahasa tersebut justru akan dapat menambah khazanah kebahasaan yang sudah ada sebelumnya.

2. Sosiolek dan Ragamnya

Variasi bahasa berdasarkan penuturnya disebut sosiolek atau dialek sosial yakni variasi bahasa yang berkenaan dengan status, golongan, dan kelas sosial para penuturnya. Chaer (2004:66) mengatakan sehubungan dengan variasi bahasa yang berkenaan dengan tingkat, golongan, status, dan kelas para penuturnya, biasanya dikemukakan orang variasi bahasa dengan sebutan akrolek, basilek,

vulgar, slang, kolokial, jargon, argot, dan ken. Ada juga yang menambahkan

dengan yang disebut bahasa prokem. Akrolek adalah variasi sosial yang dianggap lebih tinggi atau lebih bergengsi daripada variasi sosial lainnya. Sebagai contoh adalah bahasa bagongan, yaitu variasi bahasa Jawa yang khusus digunakan oleh para bangsawan kraton Jawa. Basilek adalah variasi sosial yang dianggap dan

(9)

dipandang rendah. Bahasa Inggris yang digunakan oleh para coboy dan kuli tambang dapat dikatakan sebagai basilek. Begitu juga bahasa Jawa “kramandesa”. Bahasa vulgar adalah variasi sosial yang ciri-cirinya tampak pemakaian bahasa oleh mereka yang kurang terpelajar, atau dari kalangan mereka yang tidak berpendidikan (kurang terdidik).

Chaer (2004: 67) mengungkapkan bahasa kolokial adalah variasi sosial yang digunakan dalam percakapan sehari-hari. Pengertian mengenai bahasa

kolokial tersebut sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Alwasilah (1985:

59-60) bahwa bahasa kolokial adalah bahasa informal yang lazim digunakan dalam percakapan, bukan dalam bentuk tulisan. Dalam bahasa Indonesia banyak percakapan yang menggunakan bentuk kolokial seperti Dok (dokter), Prof (profesor), Let (letnan), ndak ada (tidak ada), dan sebagainya. Bahasa jargon adalah variasi sosial yang digunakan secara terbatas oleh kelompok-kelompok sosial tertentu. Ungkapan-ungkapan yang digunakan seringkali tidak dapat dipahami oleh masyarakat umum atau masyarakat di luar kelompoknya. Namun, ungkapan-ungkapan tersebut tidak bersifat rahasia. Umpamanya, dalam kelompok montir atau perbengkelan ada ungkapan-ungkapan seperti roda gila, didongkrak,

dices, dibalas, dan dipoles.

Chaer (2004: 68) mengungkapkan Argot adalah variasi sosial yang digunakan secara terbatas pada profesi-profesi tertentu dan bersifat rahasia. Letak kekhususan argot adalah pada kosakata. Umpamanya, dalam dunia kejahatan (pencuri, tukang copet) pernah digunakan ungkapan seperti barang dalam arti ‘mangsa’, kacamata dalam arti ‘polisi’, daun dalam arti ‘uang’, gemuk dalam arti

(10)

‘mangsa besar’, dan tape dalam arti ‘mangsa yang empuk’. Chaer (2004: 68) juga mendefinisikan apa yang dimaksud dengan ken. Ken adalah variasi sosial tertentu yang bernada “memelas”, dibuat merengek-rengek, penuh dengan kepura-puraan. Biasanya digunakan oleh para pengemis, seperti tercermin dalam ungkapan the

cont of beggar (bahasa pengemis). Chaer, (2004: 67) juga mengungkapkan slang

adalah variasi sosial yang bersifat khusus dan rahasia. Artinya, variasi ini digunakan oleh kalangan tertentu yang sangat terbatas, dan tidak tidak boleh diketahui oleh kalangan di luar kelompok itu. Oleh karena itu, kosakata yang digunakan dalam slang ini selalu berubah-ubah. Slang bersifat temporal dan lebih umum digunakan oleh para kaula muda, meski kaula tua pun ada pula yang menggunakan bahasa tersebut.

D. Bahasa Prokem 1. Pengertian Prokem

Bahasa prokem sebenarnya sudah ada sejak tahun 1970-an. Awalnya, istilah-istilah dalam bahasa gaul itu untuk merahasiakan isi pembicaraan dalam komunitas tertentu namun karena sering digunakan di luar komunitasnya, semakin lama istilah-istilah tersebut menjadi bahasa sehari-hari yang digunakan oleh masyarakat. Menurut Mastuti (2008: 45) bahasa prokem awalnya digunakan oleh para preman yang kehidupannya dekat sekali dengan kekerasan, kejahatan, narkoba, dan minuman keras. Istilah-istilah baru mereka ciptakan agar orang-orang di luar komunitas mereka tidak tahu makna dari istilah tersebut. Dengan begitu mereka tidak sembunyi-sembunyi lagi untuk membicarakan hal-hal negatif

(11)

yang akan atau telah mereka lakukan. Akhirnya mereka yang bukan preman mengikuti untuk menggunakan bahasa tersebut dalam pembicaraan sehari-hari sehingga bahasa prokem tidak lagi menjadi bahasa rahasia. Bahasa prokem berbeda dengan bahasa slang karena terdapat kemungkinan orang di luar kelompok pengguna bahasa prokem tersebut mengikuti untuk menggunakan bahasa tersebut.

Menurut Sumarsono (2014: 154) prokem merupakan bahasa yang awalnya digunakan oleh kaum pencoleng, pencopet, bandit, dan sebangsanya yang memiliki fungsi sebagai bahasa rahasia, namun sekarang bahasa tersebut digunakan oleh remaja khususnya di Jakarta. Kridalaksana (2008: 28-29) yang mengungkapkan prokem adalah ragam nonstandar bahasa Indonesia yang lazim digunakan di Jakarta pada tahun 1970-an kemudian digantikan oleh ragam yang disebut bahasa gaul. Dari beberapa pengertian mengenai bahasa prokem di atas, dapat disimpulkan bahwa bahasa prokem berbeda dengan bahasa slang dan

jargon. Perbedaan bahasa prokem dengan bahasa slang adalah dari sifat

kerahasiaan kedua bahasa tersebut. Menurut pengertian yang diungkapkan para ahli di atas, bahasa slang benar-benar dirahasiakan oleh penggunanya dan tidak menginginkan orang dari luar kelompoknya mengetahui bahasa mereka sehingga sangat jarang masyarakat di luar kelompoknya mengetahui bahasa tersebut sedangkan bahasa prokem seiring dengan intensitas penggunaanya semakin dikenal di kalangan masyarakat. Bahasa prokem juga berbeda dengan bahasa

jargon karena bahasa jargon digunakan di kelompok tertentu saja sedangkan prokem digunakan di kalangan masyarakat.

(12)

Bahasa prokem berkembang sesuai dengan latar belakang budaya pemakainya sekaligus menjadi ragam bahasa yang digunakan ketika dalam sebuah percakapan yang santai atau tidak resmi. Kosakata bahasa prokem yang tercipta sering diambil dari kosakata yang ada di lingkungan tertentu. Para pengguna bahasa prokem cenderung mencampuradukkan segala macam pola ke dalam bahasa prokem, bahkan terdapat kosakata prokem yang tidak dapat secara jelas diidentifikasi. Hal tersebut dikarenakan antara kata dengan maknanya tidak saling berhubungan atau lebih bersifat arbitrer. Pembentukan kata dan makanya begitu beragam dan bergantung pada kreativitas pemakai bahasa prokem tersebut.

Berdasarkan beberapa definisi mengenai bahasa prokem di atas, dapat disimpulkan bahwa bahasa prokem merupakan salah satu ragam nonstandar bahasa Indonesia. Bahasa prokem muncul atau terbentuk dalam sebuah kelompok tertentu namun seiring tingginya intensitas penggunaan bahasa tersebut membuat bahasa prokem menjadi salah satu jenis bahasa gaul di kalangan remaja. Terbentuknya kosakata bahasa prokem merupakan sebuah bentuk kreativitas dari para remaja. Bahasa prokem tersebut digunakan oleh para remaja sebagai bahasa gaul ketika berkomunikasi dengan remaja lain. Para remaja tersebut tidak menggunakan bahasa prokem tersebut ketika mereka berbicara dengan orang tua dan anak-anak.

2. Karakteristik Bahasa Prokem

Sebagai salah satu jenis variasi bahasa, prokem memiliki ciri-ciri yang membedakannya dengan jenis bahasa lain. Flexner (dalam Untoro, 1999: 5) mencirikan prokem sebagai berikut:

(13)

a. Merupakan ragam bahasa tidak resmi.

b. Berupa kosakata yang ditemukan oleh kelompok orang muda atau kelompok sosial tertentu.

c. Menggunakan kata-kata lama atau baru dengan cara baru atau arti baru. d. Dapat berwujud pemendekan kata seperti akronim dan singkatan. e. Dapat diterima sebagai kata populer.

f. Merupakan kreasi bahasa yang terkesan kurang wajar.

g. Berupa kata atau kalimat yang tidak lazim dalam bahasa Indonesia.

h. Mempunyai bentuk yang khas melalui berbagai macam proses pembentukan. i. Berdasarkan proses pembentukannya, ada kemiripan bunyi dengan kata

asalnya.

E. Gejala Bahasa

Perubahan bentuk kata, baik bahasa Indonesia maupun bahasa daerah sehingga menjadi bahasa prokem dapat disebut dengan gejala bahasa. Hal tersebut senada dengan pendapat Muslich (2009: 101) yang mengungkapkan bahwa perubahan-perubahan bentuk kata apapun dalam suatu bahasa lazim disebut dengan gejala bahasa. Selain Muslich, Badudu (1985: 47) menjelaskan bahwa gejala bahasa ialah peristiwa yang menyangkut bentukan-bentukan kata atau kalimat dengan segala macam proses pembentukannya. Muslich (2009: 101-109) memaparkan macam-macam gejala bahasa yaitu analogi, adaptasi, kontaminasi, hiperkorek, varian, asimilasi, disimilasi, adisi, reduksi, metatesis, diftongisasi, monoftongisasi, anaptiksis, haplologi, dan kontraksi. J.S. Badudu (1985: 47 – 65)

(14)

dalam bukunya Pelik-Pelik Bahasa juga memaparkan beberapa jenis gejala bahasa yaitu analogi, kontaminasi, hiperkorek, penambahan fonem, penghilangan fonem, kontraksi, metatesis, dan adaptasi.

Berdasarkan dua pendapat ahli di atas maka dapat disimpulkan bahwa gejala bahasa merupakan perubahan bentuk dalam sebuah kata. Perubahan bentuk tersebut memungkinkan munculnya sebuah kosakata baru bahkan memiliki makna yang berbeda. Gejala bahasa tersebut dapat dibagi menjadi 15 jenis yakni analogi, adaptasi, kontaminasi, hiperkorek, varian, asimilasi, disimilasi, adisi (penambahan fonem), reduksi (penghilangan fonem), metatesis, diftongisasi, monoftongisasi, anaptiksis, haplologi, dan kontraksi.

1. Analogi

Muslich (2009: 101) mengungkapkan analogi adalah suatu bentukan bahasa dengan meniru contoh yang sudah ada. Dalam suatu bahasa yang sedang tumbuh dan berkembang, pembentukan kata-kata baru (analogi) sangat penting sebab bentukan kata baru dapat memperkaya perbendaharaan bahasa. Pengertian analogi menurut Masnur Muslich tersebut senada dengan pengertian yang dikemukakan oleh Badudu (1985: 47) yang mendefinisikan analogi sebagai suatu bentukan bahasa yang meniru contoh yang sudah ada. Berdasarkan dua pendapat ahli tersebut maka dapat disimpulkan bahwa gejala bahasa analogi merupakan suatu bentuk bahasa yang meniru bahasa yang sudah ada. Misalnya: dewa-dewi,

putra-putri, mahasiswa-mahasiswi, siswa-siswi, muda-mudi, hartawan, rupawan, olahragawan, dan bangsawan.

(15)

2. Adaptasi

Menurut Badudu (1985: 65) gejala adaptasi ialah kata-kata pungut yang diambil dari bahasa asing yang berubah bunyinya sesuai dengan penerimaan pendengaran atau ucapan lidah orang Indonesia. Pengertian adaptasi tersebut sesuai dengan pengertian gejala adaptasi yang diungkapkan oleh Masnur Muslich dalam bukunya yang berjudul Tata Bentuk Bahasa Indonesia. Muslich (2009: 103) mengungkapkan bahwa gejala adaptasi adalah perubahan bunyi dan struktur bahasa asing menjadi bunyi dan struktur yang sesuai dengan penerimaan pendengaran atau ucapan lidah bangsa pemakai bahasa yang dimasukinya. Berdasarkan dua pendapat ahli tersebut maka dapat disimpulkan bahwa gejala adaptasi merupakan penyesuaian bunyi dan struktur bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia. Adaptasi atau penyesuaian dapat dibedakan menjadi dua, yaitu

adaptasi fonologis dan adaptasi morfologis.

a. Adaptasi fonologis adalah penyesuaian perubahan bunyi bahasa asing menjadi bunyi yang sesuai dengan ucapan lidah bangsa pemakai bahasa yang dimasukinya. Adaptasi ini menekankan pada lafal bunyi, misalnya sebagai berikut:

voolopoer (Belanda) pelopor

dhahir (Arab) lahir

b. Adaptasi morfologis adalah penyesuaian struktur bentuk kata. Perubahan struktur kata ini tentu saja berpengaruh pada perubahan bunyi. Misalnya pada kata berikut ini:

parameswari (Sanskerta)  permaisuri

(16)

3. Kontaminasi

Muslich (2009: 103) mengungkapkan bahwa dalam bahasa Indonesia, kata kontaminasi sama dengan kerancuan. Kata rancu berarti ‘campur aduk’, ‘tumpang-tindih’, kacau’. Dalam bidang bahasa, kata rancu (kerancuan) dipakai sebagai istilah yang berkaitan dengan pencampuradukan dua unsur bahasa (imbuhan, kata, frasa, atau kalimat) yang tidak wajar. Hal tersebut senada dengan pengertian kontaminasi yang diungkapkan oleh Badudu (1985: 51) mengungkapkan bahwa kontaminasi ialah suatu gejala bahasa yang dalam bahasa Indonesia diistilahkan dengan kerancuan. Berdasarkan dua pendapat ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa gejala kontaminasi ialah bentukan kata yang tidak wajar atau rancu dikarenakan pencampuradukan dua unsur bahasa yang tidak wajar. Ketidakwajaran yang menunjukkan bentuk rancu tersebut (khususnya bentukan kata) dapat dilihat pada contoh sebagai berikut:

dinasionalisirkan dipublisirkan diperluaskan dipertinggikan

4. Hiperkorek

Menurut Muslich (2009: 104) gejala hiperkorek merupakan proses pembetulan bentuk yang sudah betul lalu malah menjadi salah. Maksudnya, sesuatu yang sudah betul dibetulkan lagi yang akhirnya justru menjadi salah atau setidaknya dianggap bentuk yang tidak baku. Hal tersebut sesuai dengan pengertian gejala hiperkorek menurut Badudu (1985: 58) yang mengungkapkan bahwa gejala hiperkorek adalah proses bentukan betul dibalik betul. Maksudnya,

(17)

yang sudah betul dibetul-betulkan lagi akhirnya menjadi salah. Kridalaksana (2008: 83) mengungkapkan bahwa gejala hiperkorek bersangkutan dengan bentuk atau pemakaian kata secara salah karena menghindari pemakaian substandar. Berdasarkan pengertian hiperkorek dari para ahli tersebut maka dapat disimpulkan bahwa gejala hiperkorek ialah pembetulan bentuk kata yang sudah benar atau baku namun justru menjadi salah dan tidak lagi benar. Gejala hiperkorek dapat dilihat pada contoh berikut ini:

a. Fonem /s/ menjadi /sy/: sehat menjadi syehat;

insaf menjadi insyaf;

saraf menjadi syaraf. b. Fonem /h/ menjadi /kh/:

ahli menjadi akhli;

rahim menjadi rakhim;

hewan menjadi khewan.

5. Varian

Muslich (2009: 105) mengungkapkan bahwa gejala varian merupakan gejala bahasa yang sering ditemukan dan diucapkan oleh para pejabat pada masa Orde Baru. Gejala ini sangat identik dengan perubahan vokal /a/ pada surfiks –kan menjadi /Ə/. Meskipun demikian tidak jarang pula ditemukan gejala varian pada masyarakat penutur yang bukan berasal dari kalangan pejabat. Kridalaksana (1992: 253) mengungkapkan bahwa varian ialah bunyi yang ditentukan oleh lingkungannya dalam distribusi komplementer. Berdasarkan pengertian dua ahli tersebut maka dapat disimpulkan bahwa varian merupakan sebuah bentuk gejala

(18)

bahasa yang ditunjukkan dengan adanya perubahan vokal /a/ menjadi /Ə/ pada surfiks –kan. Gejala varian dapat dilihat pada contoh berikut ini:

direncanakan menjadi direncanaken; diambilkan menjadi diambilken;

6. Asimilasi

Menurut Muslich (2009: 105) gejala asimilasi adalah proses penyamaan atau penghampirsamaan bunyi yang tidak sama. Pendapat tersebut senada dengan pendapat Harimurti Kridalaksana dalam bukunya yang berjudul Kamus Linguistik. Kridalaksana (2008: 21) mengungkapkan bahwa asimilasi adalah proses perubahan bunyi yang mengakibatkannya mirip atau sama dengan bunyi lain. Berdasarkan pengertian asimilasi menurut dua ahli tersebut maka dapat disimpulkan bahwa gejala asimilasi ialah perubahan dua fonem atau bunyi yang tidak sama menjadi sama atau setidaknya hampir sama. Gejala asimilasi dapat dilihat pada contoh berikut ini:

inmoral immoral imoral;

alsalam assalam asalam

7. Disimilasi

Menurut Kridalaksana (2008: 51) disimilasi adalah perubahan yang terjadi bila dua bunyi yang sama berubah menjadi tak sama. Pengertian disimilasi tersebut sesuai dengan pengertian menurut Muslich (2009: 105) yang mengungkapkan disimilasi adalah proses berubahnya dua buah fonem yang sama menjadi tidak sama. Berdasarkan pendapat para ahli tersebut maka dapat disimpulkan bahwa gejala disimilasi merupakan kebalikan dari asimilasi. Gejala

(19)

disimilasi adalah perubahan dua fonem atau bunyi yang sama menjadi tidak sama. Gejala disimilasi dapat dilihat pada contoh berikut ini:

sajjana sarjana;

rapport lapor;

berajar belajar.

8. Adisi

Muslich (2009: 106) mengungkapkan gejala adisi ialah perubahan yang terjadi dalam suatu tuturan yang ditandai oleh penambahan fonem. Adisi dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu protesis, epentesis, dan paragog. Hal tersebut senada dengan gejala bahasa penambahan fonem yang diungkapkan Badudu (1985: 63) yang mengungkapkan bahwa gejala penambahan fonem dapat dibedakan menjadi tiga macam yakni protesis, epentesis, dan paragog. Berdasarkan pendapat dua ahli tersebut maka dapat disimpulkan bahwa gejala adisi merupakan perubahan bentuk kata yang terjadi yang ditandai dengan adanya penambahan fonem pada kata tersebut.

a. Protesis adalah proses penambahan fonem di awal kata. Gejala adisi protesis dapat dilihat pada contoh berikut ini:

lang elang;

mas emas;

smara asmara.

b. Epentesis adalah proses penambahan fonem di tengah kata. Gejala adisi epentesis dapat dilihat pada contoh berikut ini:

general jenderal;

upama umpama;

(20)

c. Paragog adalah proses penambahan fonem pada akhir kata. Gejala adisi paragog dapat dilihat pada contoh berikut ini:

lamp lampu;

adi adik;

ina inang.

9. Reduksi

Muslich (2009: 106) gejala reduksi adalah peristiwa pengurangan fonem dalam suatu kata. Gejala reduksi dapat dibedakan menjadi tiga yaitu aferesis, sinkop, dan apokop. Penghilangan fonem juga diungkapkan Badudu (1985: 63) yang mengungkapkan bahwa gejala penghilangan atau penanggalan fonem dapat dibagi menjadi tiga jenis yakni aferesis, sinkop, dan apokop. Berdasarkan pendapat kedua ahli tersebut maka dapat disimpulkan bahwa gejala bahasa reduksi merupakan perubahan bentuk kata yang ditandai dengan adanya pengurangan atau penghilangan fonem dalam sebuah kata.

a. Aferesis ialah proses penghilangan fonem pada awal kata. Gejala reduksi aferesis dapat dilihat pada contoh berikut ini:

upawasa  puasa;

tatapi tetapi  tapi.

b. Sinkop adalah proses penghilangan fonem di tengah-tengah kata. Gejala reduksi sinkop dapat dilihat pada contoh berikut ini:

sahaya  saya;

kelamarin  kemarin;

c. Apokop adalah proses penghilangan fonem pada akhir kata. Gejala adisi apokop dapat dilihat pada contoh berikut ini:

(21)

pelangit  pelangi;

import  impor;

mpulaut  pulau.

10. Metatesis

Muslich (2009: 107) mengungkapkan bahwa metatesis suatu pertukaran, adalah perubahan kata yang fonem-fonemnya bertukar tempatnya. Badudu (1985: 64) mengungkapkan bahwa gejala metatesis memperlihatkan pertukaran tempat satu atau beberapa fonem. Kedua pendapat ahli tersebut senada dengan pengertian metatesis menurut Kridalaksana (1992: 153) yang menyebutkan bahwa metatesis adalah perubahan letak huruf, bunyi, atau suku kata dalam kata. Berdasarkan pendapat para ahli tersebut maka dapat disimpulkan metatesis adalah sebuah pertukaran maka dapat disimpulkan bahwa gejala metatesis merupakan gejala bahasa yang ditunjukkan dengan adanya pertukaran fonem dalam sebuah kata. Gejala metatesis dapat dilihat pada contoh berikut ini:

rontal lontar;

lebat tebal.

11. Diftongisasi

Muslich (2009: 107) mengungkapkan diftongisasi adalah proses perubahan suatu monoftong menjadi diftong. Hal serupa juga diungkapkan Kridalaksana (1992: 50) yang menyebutkan diftongisasi adalah proses perubahan vokal menjadi diftong. Monoftong adalah bunyi vokal yang dihasilkan tanpa gerajan lidah sedangkan diftong ialah bunyi bahasa yang pada waktu pengucapannya ditandai oleh perubahan gerak lidah dan perubahan tamber satu kali, dan yang berfungsi sebagai inti dari suku kata. Berdasarkan dua pendapat

(22)

ahli tersebut maka dapat disimpulkan bahwa diftongisasi ialah gejala bahasa pada sebuah kata yang ditunjukkan dengan berubahnya monoftong menjadi diftong. Monoftong adalahGejala diftongisasi dapat dilihat pada contoh berikut ini:

sodara saudara;

pete petai;

gule gulai.

12. Monoftongisasi

Menurut Muslich (2009: 108) monoftongisasi adalah proses perubahan suatu diftong (gugus vokal) menjadi monoftong. Kridalaksana (1992: 157) mengungkapkan monoftongisasi adalah proses perubahan dari sebuah diftong menjadi sebuah monoftong. Berdasarkan pendapat dari dua ahli tersebut maka dapat disimpulkan bahwa monoftongisasi merupakan kebalikan dari diftongisasi. Monoftongisasi ialah perubahan bentuk kata yang ditunjukkan dengan berubahnya suatu diftong menjadi monoftong. Gejala monoftongisasi dapat dilihat pada contoh berikut ini:

gurau guro; danau dano; tunai tune.

13. Anaptiksis

Muslich (2009: 108) mengungkapkan gejala anaptiksis adalah proses penambahan suatu bunyi dalam suatu suku kata guna melancarkan ucapannya. Menurut Kridalaksana (1992: 15) anaptiksis adalah penyisipan vokal pendek di antara dua konsonan atau lebih untuk menyederhanakan struktur suku kata. Berdasarkan pendapat dari dua ahli tersebut maka dapat disimpulkan bahwa

(23)

anaptiksis merupakan gejala bahasa pada suatu kata yang ditunjukkan dengan penambahan vokal pendek di tengah-tengah kata. Penambahan tersebut berguna untuk melancarkan pengucapan kata tersebut. Gejala anaptiksis dapat dilihat pada contoh berikut ini:

putra  putera; candra  candera;

14. Haplologi

Muslich (2009: 108) mengungkapkan bahwa haplologi adalah proses penghilangan suku kata yang ada di tengah-tengah kata. Kridalaksana (1992: 80) mengungkapkan bahwa haplologi adalah penghilangan satu atau dua bunyi yang sama dan berurutan. Penghilangan tersebut berada di tengah kata. Berdasarkan pendapat dari dua ahli tersebut maka dapat disimpulkan bahwa gejala haplologi adalah penghilangan atau pengurangan suku kata yang terletak di tengah-tengah kata. Gejala haplologi dapat dilihat pada contoh berikut ini:

budhidaya  budaya;

mahardhika  merdeka;

sarnannantara  sementara.

15. Kontraksi

Menurut Muslich (2009: 109) kontraksi adalah gejala yang memperlihatkan adanya satu atau lebih fonem yang dihilangkan. Kadang-kadang ada perubahan atau penggantian fonem. Hal tersebut senada dengan pengertian kontraksi yang diungkapkan Kridalaksana (1992: 162) yang mengungkapkan bahwa kontraksi adalah proses pemendekan yang meringkaskan leksem dasar atau

(24)

gabungan leksem. Berdasarkan pendapat dua ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa kontraksi ialah gejala bahasa yang ditunjukkan dengan adanya pemendekan sebuah kata dan terkadang terdapat perubahan atau penggantian fonem. Gejala kontraksi dapat dilihat pada contoh berikut ini:

perlahan-lahan  pelan-pelan;

tidak ada  tiada;

tetapi tapi.

F. Hakikat Remaja 1. Pengertian Remaja

Menurut Hurlock (1980: 206) istilah kata remaja atau adolescence berasal dari kata Latin adolescrere (kata bendanya, adolescentia yang berarti remaja) yang berarti ‘tumbuh’ atau ‘tumbuh menjadi dewasa’. Bangsa primitif demikian pula orang-orang zaman purbakala memandang masa puber dan masa remaja tidak berbeda dengan periode-periode lain dalam rentang kehidupan; anak dianggap sudah dewasa apabila sudah mampu mengadakan reproduksi. Istilah

adolescence, mempunyai arti yang lebih luas, termasuk mencakup kematangan

mental, emosional, sosial, dan fisik. Piaget (dalam Hurlock, 1980: 206) mengatakan:

“Secara psikologis, masa remaja adalah usia individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa. Usia di mana anak tidak lagi merasa di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak.... Integrasi dalam masyarakat (dewasa) mempunyai banyak aspek efektif, kurang lebih berhubungan dengan masa puber.... Termasuk juga perubahan intelektual yang mencolok.... Transformasi intelektual yang khas dari cara berpikir remaja ini memungkinkannya untuk mencapai integrasi dalam hubungan sosial orang dewasa, yang kenyatannya merupakan ciri khas yang umum dari periode perkembangan ini.”

(25)

Berdasarkan kutipan tersebut, lazimnya masa remaja dianggap mulai pada saat anak secara seksual menjadi dan berakhir saat ia mencapai usia matang secara hukum. Anak yang telah memasuki tahap remaja secara sadar akan mulai mempunyai tanggung jawab terhadap kehidupannya. Masa remaja memiliki karakteristik yang cenderung unik, antara lain; petualangan, pengelompokan, dan kenakalan. Ciri ini juga tercermin dalam bahasa sehari-hari yang digunakan mereka untuk berkomunikasi. Keinginan para remaja untuk membuat kelompok eksklusif menyebabkan mereka mampu menciptakan bahasa sendiri. Kartono (1995: 148) mengungkapkan bahwa masa remaja disebut pula sebagai penghubung antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa. Pada periode ini terjadi perubahan-perubahan besar dan esensial mengenai kematangan fungsi-fungsi rohaniah dan jasmaniah, terutama seksual.

Papalia (2008: 535) mengungkapkan bahwa remaja memiliki peran besar dalam perkembangan bahasa karena remaja adalah saat di mana aspek kognitif berkembang pesat. Pada tahap ini manusia cenderung lebih menunjukkan kapasitas abstraknya, yakni dengan menggunakan bahasa yang hanya bisa dimengerti oleh mereka sendiri. Sumarsono (2014: 150) mengungkapkan bahwa remaja memiliki keinginan untuk membuat kelompok eksklusif yang menyebabkan mereka menciptakan bahasa sendiri. Sejalan dengan perkembangan kognitifnya, perkembangan bahasa remaja mengalami peningkatan pesat. Kosakata yang digunakan para remaja terus mengalami perkembangan seiring dengan bertambahnya referensi bacaan dengan topik-topik yang begitu kompleks. Menurut Owen (dalam Papalia, 2008: 559) remaja mulai peka dengan kata-kata

(26)

yang memiliki makna ganda. Mereka menyukai penggunaan metafora ironi dan bermain dengan kata-kata untuk mengekspresikan pendapat mereka. Terkadang mereka menciptakan ungkapan-ungkapan baru yang sifatnya tidak baku. Bahasa seperti inilah yang kemudian banyak dikenal dengan istilah bahasa gaul.

2. Batasan Usia Remaja

Terdapat batasan usia pada masa remaja yang difokuskan pada upaya meninggalkan sikap dan perilaku kekanak-kanakan untuk mencapai kemampuan bersikap dan berperilaku dewasa. Menurut Kartono (1995: 36) batasan usia dibagi menjadi tiga yaitu:

a. Remaja awal (12-15 tahun)

Pada masa ini, remaja mengalami perubahan jasmani yang sangat pesat dan perkembangan intelektual yang sangat intensif, sehingga minat anak pada dunia luar sangat besar dan pada saat ini remaja tidak mau dianggap kanak-kanak lagi namun belum bisa meninggalkan pola kekanak-kanakannya. Selain itu pada masa ini remaja sering merasa sunyi, ragu-ragu, tidak stabil, tidak puas, dan merasa kecewa.

b. Remaja pertengahan (15-18 tahun)

Kepribadian remaja pada masa ini masih kekanak-kanakan tetapi pada masa remaja ini timbul unsur baru yaitu kesadaran akan kepribadian dan kehidupan badaniah sendiri. Remaja mulai menentukan nilai-nilai tertentu dan melakukan perenungan terhadap pemikiran filosofis dan etis. Maka dari perasaan yang penuh keraguan pada masa remaja awal ini rentan akan timbul kemantapan pada diri

(27)

sendiri. Rasa percaya diri pada remaja menimbulkan kesanggupan pada dirinya untuk melakukan penilaian terhadap tingkah laku yang dilakukannya. Selain itu pada masa ini remaja menemukan diri sendiri atau jati dirinya.

c. Remaja akhir (18-21 tahun)

Pada masa ini remaja sudah mantap dan stabil. Remaja sudah mengenal dirinya dan ingin hidup dengan pola hidup yang digariskan sendiri dengan keberanian. Remaja mulai memahami arah hidupnya dan menyadari tujuan hidupnya. Remaja sudah mempunyai pendirian tertentu berdasarkan satu pola yang jelas yang baru ditemukannya.

G. Kerangka Pikir

Variasi bahasa memang lazim muncul di kalangan masyarakat sebagai sebuah bentuk berkembangnya sebuah bahasa. Kemunculan berbagai variasi bahasa tersebut tidak dilarang penggunaannya justru akan mampu menambah khazanah dalam berbahasa, baik dalam berbahasa Indonesia maupun bahasa daerah. Prokem adalah salah satu jenis variasi bahasa yang dapat muncul atau terbentuk di tengah-tengah masyarakat. Kosakata bahasa prokem dapat terbentuk atau berasal dari kosakata bahasa Indonesia, bahasa daerah, maupun bahasa asing bahkan tidak jarang ditemukan kosakata bahasa prokem yang tidak dapat secara jelas diidentifikasi atau dengan kata lain lebih bersifat arbitrer. Pembentukan kata seperti itu memiliki makna yang beragam dan bergantung pada kreativitas pemakai bahasa prokem tersebut. Bahasa prokem kini tidak menjadi sebuah bahasa yang digunakan untuk merahasiakan pembicaraan namun justru menjadi salah satu bahasa gaul yang digunakan oleh masyarakat penggunanya.

(28)

Salah satu pengguna bahasa prokem tersebut ialah kelompok remaja di Desa Kalisapu Kecamatan Slawi Kabupaten Tegal. Bahasa prokem yang digunakan merupakan bentukan dari kosakata bahasa Indonesia dan bahasa daerah yakni bahasa Jawa dialek Tegal. Perubahan bentuk dan makna dari asal kata bentukan kosakata bahasa prokem tersebut dapat diklasifikasikan berdasarkan gejala-gejala bahasa pada bahasa Indonesia dan bahasa daerah tersebut. Teori yang digunakan dalam penelitian ini ialah teori Sosiolinguistik yang didalamnya mencakup teori mengenai keragaman atau variasi bahasa dimana prokem menjadi salah satu bahasa di dalam variasi bahasa tersebut. Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah kualitatif deskriptif dengan sumber data yakni tuturan masyarakat pengguna prokem di Desa Kalisapu Kecamatan Slawi Kabupaten Tegal.

Teknik dasar pada penelitian ini menggunakan teknik sadap sedangkan teknik lanjutan menggunakan Teknik Simak Libat Cakap (SLC), teknik rekam, dan teknik catat. Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan metode agih dengan teknik dasar Bagi Unsur Langsung (BUL) dan teknik lanjutan yakni teknik ganti. Dari rangkaian proses tersebut, penelitian ini diharapkan akan mampu mengklasifikasikan gejala bahasa yang terkandung di dalam kosakata bahasa prokem di lingkungan remaja Desa Kalisapu Kecamatan Slawi Kabupaten Tegal. Kerangka berpikir dalam penelitian ini dapat dilihat pada bagan 1 berikut ini:

(29)

Bagan 1: Kerangka Berpikir

Gejala Bahasa Prokem Dialek Tegal Di Lingkungan Remaja Desa Kalisapu Kecamatan Slawi

Kabupaten Tegal

Variasi Bahasa

Bahasa Prokem

Gejala Bahasa

Pengertian Gejala Bahasa Gejala Bahasa: 1. Analogi 2. Adaptasi 3. Kontaminasi 4. Hiperkorek 5. Varian 6. Asimilasi 7. Disimilasi 8. Adisi 9. Reduksi 10. Metatesis 11. Diftongisasi 12. Monoftongisasi 13. Anaptiksis 14. Haplologi 15. Kontraksi 16.

Kosakata Bahasa Prokem Remaja Desa Kalisapu Kecamatan Slawi Kabupaten Tegal

Referensi

Dokumen terkait

Suspensi ibuprofen yang dihasilkan mempunyai organoleptis, massa jenis dan viskositas yang tidak  stabil setelah penyimpanan selama 30 hari. F2 mempunyai ketabilan fisik

Tahun 2003 menjadi awal titik balik dari perkembangan BMT Ki Ageng Pandanaran, dibawah pengurus baru ini BMT dapat berkembang dengan baik, karena pengurus dan anggota koperasi

Sertifikat Akreditasi Komite Akreditasi Nasional (KAN) Nomor : LPPHPL-013-IDN tanggal 1 September 2009 yang diberikan kepada PT EQUALITY Indonesia sebagai Lembaga

 Dalam welfare state, hak kepemilikan diserahkan kepada swasta sepanjang hal tersebut memberikan insentif ekonomi bagi pelakunya dan tidak merugikan secara sosial,

Buton Utara surat izin belajar/pernyataan mengikuti studi lanjut 365 15201002710242 DARWIS SDN 5 Wakorumba Utara Kab... Peserta Nama Peserta

Tujuan peneltian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara kualitas pelayanan makanan dan tingkat kepuasan dengan sisa makanan pasien DM tipe II rawat inap

Lagian saya seneng karena kalau guru saya ngajak saya maen bareng pasti menurut dia saya sudah cukup bagus, coz kalau baru belajar, maennya masih berhenti-henti,

Inkubasi tabung mikrosentrifus kedua selama 10 menit pada temperatur ruang (bolak-balikkan tabung 2-3 kali selama masa inkubasi) untuk melisis sel-sel darah