BUKU AJAR II
MANUSIA, AKHLAK, BUDI PEKERTI
DAN MASYARAKAT
MATA AJAR
PENGEMBANGAN KEPRIBADIAN TERINTEGRASI (MPKT) PROGRAM PENDIDIKAN DASAR PERGURUAN TINGGI (PDPT)
UNIVERSITAS INDONESIA
OLEH:
R. ISMALA DEWI, SH.MH DR. DRS. H. ZAKKY MUBARAK, MA
DRA. HUSMIATY HASYIM, M.Ag DRS. ARI HARSONO, M.M.
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK 2009
Mata Ajar Pengembangan Kepribadian
Terintegrasi
Editor :
Dr. Maria Josephine K. Mantik, M.Hum
KATA PENGANTAR
Dengan bersyukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas karunia dan rahmat-Nya, Tim Penulis Buku Ajar “Manusia, Akhlak, Budi Pekerti dan Masyarakat” dapat menyelesaikan tugasnya, sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Buku tersebut merupakan bahan bacaan mahasiswa pada Program Dasar Pendidikan Tinggi (MPK) Terintegrasi Universitas Indonesia, yang merupakan penyempurnaan dari Modul MPK Terintegrasi yang telah disusun sejak tahun 2004. Sejak awal tersusunnya, materi buku ini terus-menerus diadakan perbaikan, berdasarkan komentar, asupan, dan kritik dari kalangan yang berkompeten. Perbaikan dilakukan dari segi teknik penulisan, bahasa, dan penyempurnaan materi, sehingga terwujudnya bahan bacaan ini.
Buku Ajar II (Manusia, Akhlak, Budi Pekerti dan Masyarakat) merupakan lanjutan dari Buku Ajar I (Logika, Filsafat Ilmu, dan Pancasila) dan diteruskan dengan Buku Ajar III ( Negara Indonesia dan Lingkungan Hidup). Ketiga buku ajar ini merupakan satu kesatuan yang bersifat saling melengkapi, saling mengisi antara yang satu dan yang lainnya, serta tidak dapat diceraipisahkan. Buku Ajar II merupakan pengembangan nilai etika dan nilai Pancasila yang dijelaskan pada Buku Ajar I, yang harus dimiliki oleh manusia dalam pengembangan kepribadiannya di masyarakat. Buku Ajar III merupakan pengembangan lebih lanjut dari Buku Ajar I dan II mengenai Ideologi, Pancasila, UUD 1945, negara hukum, dan pemerintahan.
Dalam kesempatan ini, Tim Penyusun Buku Ajar II MPKT 2008 mengucapkan terima kasih kepada: (1) Direktur Pendidikan Universitas Indonesia, Ibu Prof. Dr. Multamia RMT Louder, DEA, (2) Kasubdit Pengelolaan Matakuliah Universitas, Ibu Miranda D. Zarfiel, M. Psi. yang telah mendukung dan memfasilitasi penulisan Buku Ajar MPKT 2008, juga kepada: (3) Ibu Dr. Elsa Krisanti Mulia, (4) Ibu Dr.Susiani Purbaningsih, DEA., dan (5) Ibu Dr.Uswatun Hasanah, MA., yang sejak awal pembuatan Modul MPKT telah banyak memberikan kontribusi dalam memprakarsai penyusunannya dan menyampaikan arahan-arahan yang bermanfaat.
Ucapan terima kasih kami sampaikan juga kepada: Bapak Slamet Soemiarno, Bapak Suharto, Bapak Zaenal Abidin Anwar, Bapak Ariya Chandra, Bapak I Wayan Suwira Satria, Bapak Mujilan, tim Sekretariat PMU/PDPT dan berbagai pihak yang telah ikut berpartisipasi dalam penyusunan buku ini.
Dalam menyiapkan karya tulis, baik berupa Buku, Modul, maupun Laporan Ilmiah, biasanya tidak pernah lepas dari kekurangan dan kekhilafan. Karena itu, dalam kesempatan ini, penulis mengharapkan saran dan kritik untuk perbaikan Buku Ajar ini dan mohon maaf atas segala kekurangan dan kekhilafan.
Depok, 11 Mei 2009
KATA PENGANTAR ... 1
DAFTAR ISI ... 3
PENDAHULUAN ... 5
BAB I MANUSIA MAKHLUK INDIVIDU, SOSIAL, DAN BUDAYA 1.1 Manusia sebagai Makhluk Individu ... 9
1.2 Manusia sebagai Mahluk Sosial ... 13
1.3 Manusia sebagai Mahluk Budaya ... 18
BAB II AKHLAK DAN BUDI PEKERTI 2.1 Pengertian Akhlak dan Budi Pekerti ... 24
2.2. Ruang Lingkup Akhlak dan Budi Pekerti ... 27
2.3. Sumber Akhlak dan Budi Pekerti ... 33
BAB III NILAI-NILAI AKHLAK DAN BUDI PEKERTI 3.1 Nilai Spiritual ...49
3.2 Nilai Kemanusiaan ...49
BAB IV FUNGSI AKHLAK DAN BUDI PEKERTI 4.1 Penanaman Kesadaran tentang Hak dan Kewajiban ...83
4.2 Pemantapan Kehidupan Sosial ...92
4.3 Toleransi dalam Kemajemukan ...94
4.4 Filter dalam Interaksi Lintas Budaya ...95
BAB V PENERAPAN AKHLAK DAN BUDI PEKERTI 5.1 Kehidupan Pribadi dan Sosial Budaya ...96
5.2 Akhlak dalam Masyarakat Majemuk dan Globalisasi ...105
5.3 Akhlak dalam Kehidupan Akademik dan Profesi ...107
5.4 Akhlak dalam Pelestarian Lingkungan Hidup ...111
BAB VI NORMA SOSIAL DAN HUKUM 6.1 Norma Sosial dan Norma Hukum ...118
6.2 Proses Norma Sosial Menjadi Norma Hukum ...119
6.3 Pengertian, Tujuan, dan Fungsi Hukum ...122
6.4 Disiplin Hukum ...123
BAB VII MASYARAKAT DAN MULTIKULTURALISME
7.1 Pengertian Masyarakat dan Masyarakat Majemuk ...128
7.2 Multikulturalisme ...134
7.3 Etika Kemajemukan ...148
7.4 Dampak Kemajemukan ...151
7.5 Masyarakat dan Pembentukan sebuah Bangsa ...154
PENDAHULUAN
Manusia sebagai makhluk individu, sosial, dan budaya memiliki akhlak dan budi pekerti yang menempatkan dirinya pada kedudukan yang luhur dan terpuji, sekaligus dapat membedakannya dari makhluk-makhluk lain dalam kehidupan alam semesta. Akhlak dan budi pekerti memiliki peran yang sangat penting dalam membentuk karakter manusia Indonesia, termasuk para
mahasiswanya. Sebagai calon sarjana lulusan Universitas Indonesia (UI), mahasiswa diharapkan dapat memiliki akhlak yang mulia, budi pekerti yang terpuji, serta memiliki kepedulian terhadap masalah kemasyarakatan, lingkungan, bangsa, dan negara. Kepedulian yang dimiliki mahasiswa hendaknya dilandasi dengan iman dan takwa, budi pekerti yang luhur, etika akademik, dan
diaplikasikan melalui keterampilan intelektual yang terus mengikuti perkembangan paling mutakhir dari sains, teknologi, dan seni.
Akhlak dan budi pekerti berorientasi pada nilai-nilai spiritual, nilai-nilai kemanusiaan, dan kelestarian lingkungan hidup. Nilai-nilai itu selalu berada dan tidak pernah terpisahkan dari kehidupan manusia, karena ia merupakan makhluk yang terdiri atas dua unsur yang menyatu, yaitu fisik dan rohani. Nilai rohani merupakan nilai individual dan universal yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, sedangkan nilai kemanusiaan merupakan nilai yang berada di tengah masyarakat sebagai realisasi dari sifat sosial yang ada pada diri manusia. Kehidupan manusia di tengah masyarakatnya akan lebih bermakna apabila setiap individu memperhatikan tanggung jawab terhadap dirinya sendiri dan terhadap masyarakat lingkungannya yang didasari oleh nilai-nilai akhlak dan budi pekerti. Perwujudan nilia-nilai itu harus dibuktikan dalam kehidupan sehari-hari di tengah masyarakat.
Manusia sebagai makhluk individu, sosial, dan budaya, merupakan satu kesatuan yang utuh, yang tidak dapat diceraipisahkan. Sebagai individu, manusia memiliki sikap dan tanggung jawab serta perilaku yang baik terhadap
masyarakatnya. Setiap diri manusia tidak mungkin dapat melakukan aktivitas tanpa berada dalam komunitas dan lingkungannya. Ketergantungan manusia terhadap adanya sosialisasi dan aktualisasi diri bersama individu-individu lainnya, merupakan wujud dari kenyataannya bahwa manusia merupakan makhluk sosial yang tidak hidup secara terpisah dengan lingkungannya.
Sebagai makhluk sosial, manusia hidup dan berada dalam sistem
kehidupan masyarakat, yang berdasarkan pada aturan dan kesepakatan bersama dalam suatu lingkungan, tempat, dan ruang lingkup tertentu. Ia menjalankan kehidupan dengan memanfaatkan potensi dirinya secara optimal, baik berupa pemanfaatan dan penazaman akal, maupun pengembangan dan penazaman hati nurani, sehingga terbentuklah karakter yang kokoh dalam kehidupannya dan berkembang secara baik. Dengan demikian, akan terbentuklah sebuah budaya yang tinggi. Sebagai makhluk budaya, manusia dapat menciptakan suatu kebudayaan melalui akal pikiran, kalbu, budi pekerti yang luhur, yang
berkembang di lingkungannya. Dengan demikian, terbentuklah kebudayaan yang lebih berkembang dan lebih maju serta menjelma sebagai sebuah masyarakat.
Kesatuan manusia sebagai makhluk individu, sosial, dan budaya, maka proses pembelajaran akhlak budi pekerti dan masyarakat tidak lepas dari tujuan untuk mengembangkan nilai-nilai spiritual, nilai kemanusiaan, dan lingkungan hidup, sehingga terciptalah apa yang diistilahkan dewasa ini: (1) learning to know; (2) learning to do; (3) learning to be; dan (4) learning to live together. Melalui materi akhlak dan budi pekerti dan materi-materi lainnya, lulusan Universitas Indonesia tidak hanya memiliki kemampuan yang tinggi di bidang sains, teknologi, dan seni, tetapi juga memiliki kepedulian dalam mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, memiliki kepedulian terhadap masyarakat, bangsa, dan negara, serta lingkungan hidupnya.
Buku Ajar “Manusia, Akhlak, Budi Pekerti, dan Masyarakat” disiapkan sebagai buku teks pembelajaran di Universitas Indonesia. Namun demikian tidak menutup referensi lain yang harus dipelajari yang berkaitan dengan akhlak dan budi pekerti. Buku Ajar merupakan buku panduan mahasiswa agar mengetahui arah dan sasaran pembelajaran MPKT pada pokok bahasan tersebut. Oleh karena itu, buku ini hanya memuat garis-garis besar dan kerangka dasar materi.
Mahasiswa diharapkan mengembangkan materi ini dalam proses pembelajaran melalui sumber bacaan yang terdapat dalam buku ini, maupun melalui sumber-sumber lainnya.
Garis-garis besar materi “Manusia, Akhlak, Budi Pekerti, dan Masyarakat” dalam buku ini terdiri atas:
1. Manusia Makhluk Individu, Sosial, dan Budaya.
Sebagai makhluk individu, manusia memiliki pribadi, sikap, motivasi, dan perilaku dalam kehidupan yang berkait dan berkelindan dengan kehidupan masyarakat, serta sebagai makhluk sosial yang melakukan interaksi antarindividu. Manusia memiliki keterkaitan antarindividu dan saling membutuhkan dalam menjalani hidup dan kehidupannya serta memerlukan ruang lingkupnya. Manusia sebagai makhluk budaya, mempunyai akal dan jiwa yang mengatur atau menentukan bagaimana seharusnya ia berperilaku. Karena manusia sebagai makhluk budaya, ia tidak dapat hidup seorang diri, dan aktivitas yang dilakukannya harus memiliki aturan-aturan yang pasti, yang perlu ditaati sebagai pedoman hidup bersama. Perilaku manusia sebagai individu dan anggota masyarakat membudaya dalam kehidupan, sebagai suatu sistem nilai masyarakat itulah yang disebut suatu kebudayaan.
2. Akhlak dan Budi Pekerti
Pemahaman yang baik terhadap pengertian serta ruang lingkup akhlak dan budi pekerti diharapkan dapat berfungsi dalam menumbuhkan kesadaran antara hak dan kewajiban, sehingga kehidupan sosial akan lebih
mantap dan terjalin toleransi yang teguh di tengah masyarakat majemuk. Selain itu, akhlak dan budi pekerti juga berfungsi dalam menyaring budaya asing atau budaya dari dalam dengan memilih yang baik dan menolak yang buruk. Semua itu terjadi karena adanya interaksi lintas budaya. 3. Nilai-Nilai Akhlak dan Budi Pekerti
Nilai yang paling fundamental dalam akhlak dan budi pekerti adalah nilai spiritual dan nilai kemanusiaan, yaitu meliputi nilai
kebersamaan, keadilan, kejujuran, tanggung jawab, dan pandangan hidup yang melahirkan kestabilan dan kemaslahatan, sedangkan nilai keindahan cinta kasih, penderitaan, kegelisahan, dan harapan dapat diatur dengan baik sehingga dapat melahirkan kebahagiaan yang hakiki. Implementasi nilai-nilai tersebut akan dapat menghindarkan kehidupan manusia dari kekeringan makna dan kekosongan jiwa. Dengan demikian, hidup dan kehidupan manusia akan menjadi lebih bermakna. Hubungan antarmanusia dengan Tuhan, hubungan antarmanusia dengan sesamanya, dan hubungan manusia dengan makhluk lainnya juga makin harmonis, serasi, dan seimbang.
4. Fungsi Akhlak dan Budi Pekerti
Pemahaman dan penghayatan terhadap akhlak dan budi pekerti, diharapkan dapat berfungsi dalam menumbuhkembangkan kesadaran tentang hak dan kewajiban, sehingga kehidupan sosial akan lebih mantap dan terjalin toleransi yang baik di tengah masyarakat majemuk. Akhlak dan budi pekerti juga sangat bermanfaat bagi manusia untuk beradaptasi dengan budaya asing, sekaligus membedakan antara yang baik dan buruk, memiliki kemauan dan kemampuan untuk memilih yang baik dan terpuji, serta dapat menghindari yang buruk dan tercela.
5. Penerapan Akhlak dan Budi Pekerti: Permasalahan dan Solusinya Akhlak dan budi pekerti diaplikasikan dalam seluruh aspek kehidupan manusia. Pengaplikasian itu berguna bagi diri seseorang sebagai kehidupan pribadi maupun kehidupan sosial, dalam kehidupan akademik dan profesi. Penerapan akhlak dan budi pekerti sangat penting dalam pengembangan iptek dan seni. Dalam penerapannya, ternyata banyak dijumpai permasalahan, seperti yang terjadi dalam kehidupan sosial budaya, akademik dan profesi, juga dalam pengembangan sains, teknologi, dan seni. Permasalahan tersebut diharapkan dapat dihindari secara maksimal atau setidaknya dapat diminimalisir melalui kesadaran individu terhadap nilai akhlak dan budi pekerti.
Pembahasan mengenai akhlak dan budi pekerti diawali dengan mengangkat berbagai kasus yang muncul dalam kehidupan masyarakat dengan menawarkan berbagai alternatif untuk mengatasinya. Materi dalam
pembahasan ini bersifat sederhana dan hanya berfungsi sebagai contoh karena permasalahan penerapan akhlak dan budi pekerti akan didapati dalam kehidupan sehari-hari dan berkembang terus sepanjang sejarah kehidupan manusia.
6. Norma Sosial dan Norma Hukum
Dalam pergaulan hidup di masyarakat, baik yang homogen maupun heterogen, pada masyarakat desa maupun kota, akan dijumpai norma-norma sosial yang mengatur kehidupan masyarakat agar
menimbulkan keteraturan dalam hidup secara harmonis di tengah perbedaan masyarakat. Norma sosial akan berproses menjadi norma hukum sebagai kelembagaan berganda, yaitu nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, dilembagakan sebagai norma sosial apabila dipatuhi, dan adanya sanksi sosial. Norma sosial kemudian dilembagakan sebagai norma hukum apabila memiliki sanksi hukum. Norma sosial sebagai tingkatan yang paling awal selanjutnya menjadi sistem hukum yang berkembang di masyarakat. Dalam bab ini dibahas pengertian, tujuan, dan fungsi hukum agar mudah dipahami, terutama mereka yang baru belajar memahami norma-norma hukum. Demikian juga dikemukakan tentang disiplin ilmu hukum dan perbedaan hukum.
7. Masyarakat dan Multikulturalisme
Setelah diperkenalkan norma sosial dan norma hukum, buku ini membahas tentang pengertian masyarakat dan masyarakat majemuk yang terdiri atas berbagai macam ras, bangsa, suku, agama, keyakinan, dan pengalaman hidup yang berbeda-beda. Dengan demikian, kemajemukan akan disadari oleh setiap anggota mayarakat sebagai suatu keniscayaan dan kenyataan yang harus diterima dengan lapang dada. Pembahasan selanjutnya berkisar pada pengertian multikulturalisme, etika
kemajemukan, dampak yang ditimbulkannya dalam kehidupan
masyarakat, dan diakhiri dengan perkembangan suatu masyarakat dalam pembentukan suatu bangsa dan negara.
Materi Buku Ajar ini telah mengakomodasi muatan liberal arts, yang terdiri atas critical thinking, academic writing, presentation skill, dan information
literacy, yang tersebar dalam berbagai kajian penting. Buku ini dibuat serba
singkat, sesuai dengan tujuan penyusunannya sebagai panduan dan buku teks bagi mahasiswa Universitas Indonesia. Terlaksana atau tidaknya sasaran pembelajaran akan sangat ditentukan oleh kesungguhan mahasiswa mengembangkan sendiri materi dalam Buku Ajar ini, dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
BAB I
MANUSIA MAKHLUK INDIVIDU, SOSIAL,
DAN BUDAYA
1.1. Manusia sebagai Mahluk Individu 1.1.1 Pengertian individu
Untuk memahami manusia sebagai mahluk individu sebaiknya perlu dipahami arti kata individu itu sendiri. Kata ‘individu’ berasal dari kata latin, ‘individuum’ artinya ‘yang tidak terbagi’. Jadi, individu merupakan suatu sebutan yang dapat dipakai untuk menyatakan suatu kesatuan yang paling kecil dan terbatas. Dalam ilmu sosial, paham individu menyangkut tabiat dengan kehidupan dan jiwa yang majemuk, serta memegang peranan dalam pergaulan hidup
manusia. Individu menekankan penyelidikan kepada kenyataan-kenyataan hidup yang istimewa, dan seberapa mempengaruhi kehidupan manusia (Abu Ahmadi, 1991: 23). Individu bukan berarti manusia sebagai suatu keseluruhan yang tidak dapat dibagi, melainkan sebagai kesatuan yang terbatas, yaitu sebagai manusia perseorangan. Dengan demikian, sering digunakan sebutan ‘orang-seorang’ atau ‘manusia perseorangan’.
Di sini jelas bahwa individu adalah seorang manusia yang tidak hanya memiliki peranan khas di dalam lingkungan sosialnya, melainkan juga
mempunyai kepribadian, serta pola tingkah laku spesifik dirinya. Persepsi terhadap individu atau hasil pengamatan manusia dengan segala maknanya merupakan suatu keutuhan ciptaan Tuhan yang mempunyai tiga aspek yang melekat pada dirinya, yaitu aspek organik jasmaniah, aspek psikis rohaniah, dan aspek sosial. Apabila terjadi kegoncangan pada salah satu aspek, maka akan membawa akibat pada aspek yang lainnya.
Masih terkait dengan persoalan antara individu satu dengan individu lainnya, maka manusia menjadi lebih bermakna apabila pola tingkah lakunya hampir identik dengan tingkah laku massa yang bersangkutan. Proses yang meningkatkan ciri-ciri individualitas pada seseorang sampai pada dirinya sendiri disebut proses individualisasi atau aktualisasi diri. Dalam proses ini, individu dibebani berbagai peranan yang berasal dari kondisi kebersamaan hidup, yang akhirnya muncul suatu kelompok yang akan menentukan kemantapan satu masyarakat. Individu dalam tingkah laku menurut pola pribadinya memiliki tiga kemungkinan: pertama menyimpang dari norma kolektif kehilangan
individualitasnya; kedua takluk terhadap kolektif, dan ketiga mempengaruhi masyarakat (Hartomo, 2004: 64).
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa “manusia merupakan makhluk individual tidak hanya dalam arti makhluk keseluruhan jiwa-raga, melainkan juga
merupakan pribadi yang khas, menurut corak kepribadiannya, dan termasuk kecakapannya sendiri.”
Individu mempunyai ciri-ciri memiliki suatu pikiran dan diri, tetapi keduanya dikonsepkan sebagai proses, bukan sebagai kesatuan yang statis. Orang tidak mempunyai pikiran tetapi harus dalam proses berpikir, memiliki pengertian pada kesanggupan untuk berbicara dengan dirinya dan kesanggupan memberikan rangsangan selektif dari lingkungannya. Mampu menetapkan kenyataan,
interpretasi situasi, menetapkan aksi dari luar dan dari dirinya. Manusia mempunyai banyak diri, masing-masing berhubungan dan berinteraksi, tetap dalam perubahan proses interaksi.
Individu tidak akan jelas identitasnya tanpa adanya suatu masyarakat yang menjadi latar belakang keberadaannya karena dari sinilah kita baru akan dapat memahami individu seseorang. Kehadiran individu dalam suatu masyarakat biasanya ditandai oleh perilaku individu yang berusaha menempatkan dirinya di hadapan individu-individu lainnya yang telah mempunyai pola-pola perilaku yang sesuai dengan norma-norma dan kebudayaan di tempat ia berada. Di sini individu berusaha mengambil jarak dan memproses dirinya untuk membentuk perilakunya yang selaras dengan keadaan dan kebiasaan yang sesuai dengan perilaku yang telah ada pada dirinya.
Manusia sebagai individu selalu berada di tengah-tengah kelompok individu yang sekaligus mematangkannya untuk menjadi pribadi. Proses dari individu menjadi pribadi memerlukan lingkungan yang dapat membentuk pribadinya. Namun tidak semua lingkungan menjadi faktor pendukung pembentukan pribadi, bahkan adakalanya menjadi penghambat dalam proses pembentukan pribadi. Mengenai pendukung dan penghambat proses pembentukan individu tidak hanya didukung dan dihambat oleh kelompok sekitarnya, tetapi didukung dan dihambat juga oleh dirinya sendiri.
1.1.2. Perkembangan individu
Manusia sebagai makhluk yang paling sempurna di antara makhluk
ciptaan Tuhan terdiri atas unsur jasmani dan rohani. Dalam rangka perkembangan individu, diperlukan suatu keterpaduan antara pertumbuhan jasmani dan rohani.
Individu tidak mampu berdiri sendiri, melainkan hidup dalam hubungan antarsesama individu. Dengan demikian dalam hidup dan kehidupannya, manusia selalu mengadakan kontak dengan manusia lain. Karena itu manusia sebagai individu juga merupakan makhluk sosial yang hidup dalam masyarakat. Sejak lahir sampai pada akhir hayatnya, manusia hidup di tengah-tengah kelompok sosial atau kesatuan sosial juga dalam situasi sosial yang merupakan bagian dari ruang lingkup suatu kelompok sosial. Kelompok sosial yang merupakan awal kehidupan manusia individu adalah keluarga. Dalam keluarga ada rasa saling
tergantung di antara sesama manusia yang membentuk individu berkembang untuk beradaptasi dengan kehidupan dalam masyarakat. Hal ini menandakan bahwa manusia sebagai individu tidak mampu hidup sendiri, tetapi diperlukan keberadaan dalam suatu kelompok (masyarakat) sehingga individu merupakan makhluk sosial. Ini berarti antara individu dan kelompok terdapat hubungan timbal balik dan hubungan yang sangat erat yang merupakan hubungan fungsional.
Apabila diperhatikan, manusia pada waktu lahir tampaknya sangat lemah. Keadaan yang tampaknya lemah itu tidak berarti bahwa bayi tidak mempunyai potensi apa-apa atau tidak mampunyai kemungkinan untuk berkembang. Bayi mempunyai banyak kemungkinan untuk berkembang menjadi anak-anak, mempunyai masa muda, mempunyai masa untuk mempersiapkan diri menjadi dewasa bersama dengan lingkungan yang dekat dengannya. Bayi berproses menjadi anak, dan anak akan berkembang menjadi dewasa. Dalam fase
perkembangan yang dilalui anak menuju dewasa, potensi diri yang dimiliki anak juga terus berkembang sesuai dengan tumbuhnya fisik pada anak dan interaksi sosial yang membentuk kepribadiannya.
Ketika anak telah menjadi dewasa kepribadiannya akan menjadi jelas terlihat yang tampil bersama perilakunya. Pribadi menjadi ciri penampilan seseorang di tengah lingkungan sosialnya setelah melalui proses perkembangan bersama lingkungan sosial lainnya. Pada masa dewasa, manusia lebih banyak menghadapi masalah hidup yang heterogen di tengah kelompok sosial yang besar. Manusia mempunyai potensi diri dan kemampuan yang dapat berkembang ke segala arah untuk menyesuaikan diri dengan keadaan yang silih berganti. Manusia mempunyai berbagai pembawaan, kesadaran, perasaan, cita-cita, pikiran, dan sebagainya yang kesemuanya sangat berpengaruh terhadap kehidupan dewasa (Hartomo, 2004: 65).
Prinsip-prinsip perkembangan pada manusia adalah sebagai berikut. 1) Perkembangan mengikuti pola-pola tertentu dan berlangsung secara
teratur. Dalam hal ini perkembangan mulai dari kepala ke kaki, dari pusat ke bagian-bagian lainnya.
2) Perkembangan menuju diferensiasi dan integrasi. Dari gerakan-gerakan yang bersifat masal, bekembang menjadi gerakan-gerakan khusus (dapat makan dengan sendok, memungut benda kecil, dan lain-lain), dan terjadi koordinasi dan integrasi antara organ yang satu dan organ yang lain. 3) Pertumbuhan dan perkembangan tidak terjadi secara tiba-tiba, tetapi
berlangsung secara berangsur-angsur, secara teratur dan terus menerus. Sebagai contoh, perkembangan anak normal akan nampak berturut-turut: memiringkan badan dan telungkup, mengangkat kepala, duduk, merangkak, berjalan dengan bantuan, kemudian berjalan. Dalam berbahasa, perkembangan anak akan nampak mulai dari: meraban,
kemudian mengucapkan kalimat satu kata, kalimat lebih sempurna, lalu kalimat sempurna.
4) Suatu tingkat perkembangan dipengaruhi oleh sifat perkembangan
sebelumnya. Terlambatnya suatu tingkat perkembangan akan menghambat pula perkembangan pada tingkat berikutnya. Sebaliknya, sukses dalam suatu tingkat perkembangan, akan sukses pula pada perkembangan berikutnya.
5) Perkembangan antara anak yang satu dan anak lain tentu berbeda, baik dalam perkembangan masing-masing organ/aspek kejiwaannya, maupun cepat atau lambatnya perkembangan tersebut (Hartomo, 2004: 69). Dengan demikian, diyakini bahwa anak mempunyai kemungkinan untuk berkembang. Pribadi anak berkembang sebagai suatu totalitas (kesatuan). Banyak faktor yang mempengaruhi perkembangan anak, dan perkembangan anak
dipelajari berdasarkan pengalaman (empiris). Hal ini tidak akan dibahas lebih lanjut dalam tulisan ini. Manusia dikatakan menjadi individu apabila pola tingkah lakunya sudah bersifat spesifik di dalam dirinya dan bukan lagi menuruti pola tingkah laku umum. Di dalam sebuah massa, manusia cenderung menyingkirkan individualitasnya karena tingkah lakunya hampir identik dengan tingkah laku massa yang bersangkutan. Dalam hubungan ini dapat dicirikan, apabila manusia dalam tindakan-tindakannya menjurus kepada kepentingan pribadi, maka disebut manusia sebagai makhluk individu. Sebaliknya, apabila tindakan-tindakannya merupakan hubungan dengan manusia lainnya, maka manusia itu dikatakan makhluk sosial.
Pengalaman menunjukkan bahwa jika seseorang pengabdiannya kepada diri sendiri besar, maka pengabdiannya kepada masyarakat akan kecil.
Sebaliknya, jika seseorang pengabdiannya kepada diri sendiri kecil, maka
pengabdian kepada masyarakat akan besar. Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa proses yang meningkatkan ciri-ciri individualitas pada seseorang sampai ia menjadi dirinya sendiri disebut sebagai proses individualitas, atau sering juga dinamakan proses aktualisasi diri. Selama proses perkembangan manusia menjadi individu, manusia mengalami dirinya dibebani berbagai peranan. Peranan-peranan itu terutama berasal dari kondisi kebersamaan hidup dengan sesama manusia yang disebut sebagai makhluk sosial. Tidak jarang dapat timbul konflik pada diri individu karena pola tingkah laku yang spesifik dalam dirinya dapat bercorak atau bertentangan dengan peranan yang dituntut oleh masyarakat. Jika individu tidak mau mengingkari dirinya sendiri dan tetap bertingkah laku menurut pola
pribadinya, maka ia pun disebut menyimpang dari norma kolektif. Sebaliknya, jika ia takluk dan menuruti kehendak kolektif dengan cara bertingkah laku seperti diinginkan oleh lingkungan, maka disebut ia kehilangan individualitasnya.
Dalam kenyataan hidup di tengah-tengah masyarakat, setiap warga masyarakat wajar untuk menyesuaikan tingkah lakunya menurut situasi aktual yang ada di hatinya dan mengadaptasikan dengan situasi lingkungan tempat ia
berada. Peranan yang paling tepat ialah bilamana ia mampu bertindak multi peranan, peranan silih berganti, ia harus mampu memerankan diri sebagai individu dan juga sebagai anggota masyarakat. Keberhasilan seseorang dalam mempertemukan titik optimum, yakni peran individu dan peran sosial, telah sampai pada tingkat “matang” atau “dewasa” dalam arti sosial. Matang atau dewasa dalam arti sosial tidak diukur dari tingkat usia dan tinggi besar fisik, tetapi dilihat dari “tingkat berpikir”. Pengalaman menunjukkan bahwa ada saja
seseorang yang tingkat usianya sudah tinggi, tetapi cara berpikirnya sangat kekanak-kanakan. Sebaliknya, ada orang yang relatif muda, tetapi dalam cara berpikir sudah matang.
Meskipun pengaruh lingkungan masyarakat terhadap individu, dan khususnya terhadap pembentukan individualitasnya adalah besar, namun sebaliknya individu pun berkemampuan untuk mempengaruhi masyarakat. Pengaruh individu yang sangat kuat atau menonjol dalam lingkungan masyarakat akan membuatnya ia menjadi seorang tokoh, pahlawan, atau bahkan menjadi seorang pengacau. Keinginan untuk menjadi seseorang yang berpengaruh,
dihormati oleh orang lain, seorang yang dituakan olah rekan lainnya, dan lain-lain akan melekat di dalam diri individu masing-masing. Berhasil tidaknya mencapai sasaran tersebut adalah soal kemampuan masing-masing individu. Jadi,
kemampuan individu merupakan hal yang utama dalam hubungannya dengan manusia. Sebutan baik atau tidak baik, pengaruh individu terhadap masyarakat merupakan hal yang bersifat relatif. Relativitas ini ditentukan oleh relasi individu dengan masyarakat lingkungannya. Oleh karena itu, makna individu di dalam sebuah sistem masyarakat pancasila, liberal, dan komunis adalah berbeda. Begitu pula makna individu dalam suatu musyawarah adalah lain dengan makna individu yang tengah diberi pendidikan doktrin atau ajaran-ajaran. Demikianlah akhirnya bahwa pengertian individu dapat ditinjau dari beberapa aspek atau segi sesuai dengan kepentingan masing-masing.
1.2. Manusia sebagai Makhluk Sosial
Sebelumnya telah dikemukakan bahwa manusia adalah mahluk individu dan juga mahluk sosial. Sebagai mahluk individu dan sekaligus sosial, manusia tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya, karena merupakan satu kesatuan utuh dalam diri manusia. Tidak mungkin manusia secara individu berkembang tanpa ada lingkungan atau tempat untuk berkembang dan berinteraksi. Manusia sejak lahir sampai mati selalu hidup dalam masarakat, tidak mungkin manusia hidup di luar masyarakat. Aristoteles mengatakan bahwa mahluk hidup yang tidak hidup dalam masyarakat dapat diumpamakan sebagai seorang malaikat atau seorang hewan (Hartomo, 2004: 75).
Beberapa penelitian yang telah dilakukan sebagai bahan kajian
mengungkapkan bahwa manusia memang betul merupakan mahluk sosial yang membutuhkan interaksi dengan lingkungan sekitar. Lingkungan dapat membentuk
kepribadian dan perilaku manusia dalam perkembangan dirinya. Hasil penelitian yang dilakukan pada tahun 1828 mengungkapkan kisah ditemukannya seorang bayi yang telah tinggal dalam sebuah gua tertutup selama 18 tahun. Setelah gua dibuka, anak tersebut sangat bingung dan terkejut melihat keadaan kota. Ia berjalan menggunakan empat kaki dan tidak dapat berbicara. Sifat anak itu tidak ubahnya seperti rusa masuk kampung. Anak tersebut bernama Casper Hauser, anak seorang petani.
Di India, Mr.Singh menemukan dua orang anak yang berumur 8 tahun dan 1,5 tahun. Pada waktu bayi, anak-anak tersebut diasuh oleh serigala dalam sebuah gua. Tidak lama setelah ditemukan, anak yang kecil akhirnya meninggal.
Tinggallah anak yang besar. Tetapi walaupun anak tersebut sudah dilatih hidup bermasyarakat, sifatnya masih seperti serigala. Terkadang ia meraung-raung di tengah malam, suka makan daging mentah, dan sebagainya.
Ada pula kejadian di Amerika. Pada tahun 1938 seorang anak berumur 5 tahun ditemukan tinggal di atas loteng. Karena terasing dari lingkungan, meskipun berusia 5 tahun anak tersebut belum juga dapat berjalan dan bercakap-cakap. Jadi jelas bahwa manusia, meskipun mempunyai bakat dan kemampuan, namun bakat tersebut tidak dapat berkembang jika tidak ada lingkungan. Itulah sebabnya manusia dikatakan sebagai mahluk sosial (Hartomo, 200:77).
Sebenarnya telah banyak penelitian dijalankan untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan “Mengapa manusia itu selalu hidup bermasyarakat?” Beberapa kesimpulan yang didapat adalah manusia itu tidak dapat hidup sendiri, misalnya hidup di gua atau di dalam hutan yang sunyi. Ia selalu tertarik untuk hidup bersama atau bermasyarakat. Hal ini disebabkan karena pada hakikatnya manusia adalah mahluk sosial yang memiliki dorongan atau hasrat, dan
mempengaruhi hidup manusia dalam bergaul dengan manusia lainnya di dalam hidup bermasyarakat. Semua tingkah laku dan perbuatan manusia ditimbulkan karena ada hasrat-hasrat pada manusia. Hidup bermasyarakat bentuk dan coraknya banyak dipengaruhi oleh perbuatan dan tingkah laku manusia sebagai realisasi dari hasrat-hasrat yang ada pada manusia.
Bagaimana hubungan antara hasrat-hasrat itu? Misalnya hasrat harga diri dengan hasrat hidup dengan manusia lain?
Umpamanya, hasrat harga diri dengan hasrat kemasyarakatan. Kedua hasrat ini saling mengisi dan tidak dapat dilepaskan satu sama lain, sebab dalam kenyataan harga diri itu baru dapat diketahui apabila ada orang lain yang memberi harga diri. Misalnya, seseorang yang hidup sendirian, tidak mungkin harga diri ini dapat terpenuhi. Kalau dia ingin mendapatkan harga diri pasti harus hidup dengan orang lain yang dapat memberikan harga diri. Selanjutnya, hubungan antarkedua hasrat apabila dilihat sepintas nampak adanya pertentangan antara hasrat yang satu dan hasrat yang lain. Misalnya, ingin hidup dengan manusia lain (hasrat kemasyarakatan) dengan hasrat berkuasa. Mungkinkah itu? Tetapi apabila
direnungkan, sebenarnya semua hasrat-hasrat ini tidak terjadi pertentangan-pertentangan, melainkan saling mengisi.
Contoh lain, hasrat ingin berkuasa tidak mungkin terjadi apabila tidak berhubungan dengan manusia lain. Seorang manusia dapat berkuasa pasti karena ada yang dikuasai, tidak mungkin ia berkuasa sendirian. Oleh sebab itu, orang yang berada di tengah hutan sendirian, misalnya, maka hasrat kekuasaan ini tak mungkin dapat terpenuhi. Dengan demikian hasrat-hasrat yang nampaknya dari luar saling bertentangan, kalau ditinjau dari dalam, sebenarnya saling mengisi dan melengkapi.
Di samping adanya hasrat-hasrat atau golongan instingtif pada manusia, masih terdapat faktor-faktor yang lain yang mendorong manusia untuk hidup bermasyarakat. Faktor-faktor itu adalah sebagai berikut.
1. Adanya dorongan seksual, yaitu dorongan manusia untuk mengembangkan keturunan atau jenisnya.
2. Adanya kenyataan bahwa manusia itu adalah “serba tidak dapat” atau “sebagai makhluk lemah”. Oleh karena itu, ia selalu mendesak atau menarik kekuatan bersama yang terdapat dalam perserikatan dengan orang lain, sehingga mereka berlindung bersama-sama, dan mengejar kebutuhan hidup sehari-hari,
termasuk pula perlindungan keluarga itu sehari-hari terhadap bahaya dari luar. 3. Terjadinya “habit” pada tiap-tiap diri manusia. Manusia bermasyarakat
karena ia telah biasa mendapat bantuan yang diterimanya sejak kecil dari lingkungannya. Tegasnya, manusia telah merasakan betapa manisnya hidup bermasyarakat, sehingga ia tidak mau keluar lagi dari lingkungan masyarakat yang telah memberikan bantuan yang bermanfaat baginya.
4. Adanya kesamaan keturunan, kesamaan teritorial, kesamaan nasib, kesamaan keyakinan/cita-cita, kesamaan kebudayaan dan lain-lain.
Selanjutnya manusia sebagai mahluk sosial memperlihatkan sifat-sifat yang paradoks. Sifat-sifat tersebut, misalnya di satu pihak ia menjadi produk masyarakat, sedangkan di pihak lain ia juga menjadi produser masyarakat. Di satu pihak ia menjadi pengendali masyarakat, sedangkan dipihak lain ia juga menjadi objek yang dikendalikan masyarakat. Di satu pihak ia menjadi pengaman
masyarakat, sedangkan di pihak lain ia juga menjadi perusak masyarakat. Di pihak yang lain, pada saat yang sama, manusia merupakan anggota dari jenisnya, menjadi mahluk sosial yang diatur oleh norma sosial yang membatasi cara
berpikir, pengungkapan perasaan, dan tindakannya sesuai dengan peraturan, serta pola masyarakat. Manusia sebagai individu, bertindak dan bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri, sedangkan sebagai mahluk sosial ia harus bertindak sesuai dengan pola masyarakat dan bertanggung jawab serta mempertanggung jawabkan perbuatannya kepada masyarakat.
Masyarakat sebagai Tempat antar-Hubungan Sosial
Dalam kehidupan sehari-hari, kita menemukan kenyataan bahwa manusia sebagai makhluk sosial ada kecenderungan saling membutuhkan dan memiliki kepentingan. Dari kecenderungan ini manusia seringkali melakukan kesalahan terhadap sesama manusia. Kecenderungan yang bersifat sosial ini selalu timbul pada diri manusia. Dari kenyataan ini timbullah suatu struktur antarhubungan yang beraneka ragam. Keragaman itu berbentuk kolektivitas serta kelompok. Tiap-tiap kelompok terdiri atas kelompok-kelompok yang lebih kecil. Apabila kolektivitas-kolektivitas dan kelompok-kelompok mengadakan persekutuan dalam bentuk yang lebih besar, maka terbentuklah sebuah “masyarakat“.
Pada setiap masyarakat, jumlah kelompok dan kesatuan sosial tidak hanya satu. Di samping individu, warga masyarakat juga dapat menjadi bagian dari berbagai kelompok dan kesatuan sosial yang hidup dalam masyarakat. Adanya penggolongan dalam masyarakat menyebabkan beraneka ragam bentuk dan kriteria sebuah masyarakat. Hal ini terletak pada peran dan hubungan sosial manusia di dalamnya.
Dalam hubungannya dengan penggolongan-penggolongan dan tempat manusia berinteraksi sosial, maka kelompok masyarakat sangat beraneka ragam, di antaranya adalah sebagai berikut.
1) Kelompok Primer dan Sekunder
Kelompok primer adalah kelompok yang ditandai ciri-ciri saling mengenal antara anggota-anggotanya, serta kerja sama erat dan bersifat pribadi. Salah satu hasil yang bersifat pribadi adalah adanya peleburan individu-individu dalam satu kelompok, sehingga tujuan individu juga menjadi tujuan kelompok. Adanya kebersamaan yang mempersatukan sifat-sifat perseorangan dan dikomunikasikan secara simpati dan empati dengan sederhana dinyatakan dalam istilah “kami” Misalnya kelompok keluarga.
Kelompok sekunder adalah kelompok yang para anggotanya tidak saling mengenal antarhubungan langsung, hubungan sosial yang tidak akrab, atau hanya dengan hubungan rasional (Soerjono Soekanto, 1982).
2) Gemeinschaft dan Gesellschaft
Gemeinschaft adalah bentuk kehidupan bersama. Unsur pengikatnya
berupa hubungan batin yang murni dan bersifat alamiah. Faktor ikatannya berupa rasa cinta dan kesatuan batin yang bersifat kodrati. Dalam hal ini Tonnies
membedakan menjadi tiga tipe, yaitu:
Gemeincshaft by blood, merupakan ikatan yang didasarkan pada ikatan darah atau
Gemeinschaft of place, yaitu kelompok yang terdiri atas orang-orang yang
berdekatan tempat tinggal, sehingga dapat saling tolong-menolong. Contoh: Rukun Tetangga, Rukun Warga.
Gemeinschaft of mind, kelompok yng tidak mempunyai hubungan darah atau
tempat tinggal tidak berdekatan, tetapi mempunyai jiwa dan pikiran yang sama karena memiliki kesamaan ideologi.
Gesellschaft diartikan bentuk ikatan bersama berupa ikatan lahir yang
bersifat pokok dalam jangka waktu tertentu, didasarkan pada adanya kebutuhan timbal balik, seperti ikatan pedagang, serikat buruh, dan sebagainya (Soerjono Soekanto, 1982 : 86).
3). Formal Group dan Informal Group
Formal Group adalah suatu kelompok sosial yang di dalamnya terdapat tata aturan yang tegas yang sengaja dibuat dalam rangka mengatur hubungan antar-anggotanya. Dalam tata aturan itu dicantumkan tentang hak, kewajiban, dan kedudukan para anggotanya. Contoh kelompok sosial seperti ini adalah ikatan kelompok professional, seperti Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI). Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI), dan sebagainya.
Sementara, kelompok informal (informal group) adalah kelompok sosial yang mempunyai struktur dan organisasi pasti (permanent). Kelompok semacam ini didorong oleh suatu pertemuan-pertemuan yang terjadi berulang kali untuk kepentingan-kepentingan tertentu atas dasar pengalaman yang sama. Misalnya Clique yang ditandai dengan pertemuan-pertemuan timbal balik antara para anggotanya. Seperti anggota serikat buruh (kelompok kecil tanpa struktur formal) mengadakan pertemuan-pertemuan dalam membicarakan kepentingan tertentu (Kamanto Sunarto, 1993 : 35).
4). Community
Community adalah kelompok yang memperhitungkan keanggotaannya
berdasarkan hubungan anggotanya dengan lingkungan setempat (lokal). Setiap usaha untuk mendefinisikan community (masyarakat) itu selalu menemui dilemma yang sama, yaitu hadirnya masyarakat (community) dalam kelompok primer maupun sekunder, dan masyarakat memiliki kriteria yang bersifat fisik dan kriteria itulah menentukan masyarakat (community).
Orang hidup itu tidak pernah lepas dari masalah tempat tinggal. Mereka selalu berdiam dalam suatu tempat yang tertentu. Interaksi di antara para penghuni tempat itu dipandang lebih mudah dilakukan daripada dengan orang lain. Pada dasarnya penghuni tempat itu dapat saja berurusan dengan orang lain, tetapi tidaklah sesering dan semudah dengan penghuni lainnya. Nampaknya hubungan di antara sesama penghuni itu dapat dipergunakan untuk memperoleh kesenangan, kunjungan, pekerjaan dan hal-hal lainnya. Dengan mempergunakan alat-alat komunikasi yang sederhana mereka mengadakan hubungan yang sifatnya primer
dalam wilayah yang terbatas. Orang yang masuk ke dalam suatu masyarakat merasa lebih senang berhubungan dengan sesama anggota kelompok daripada dengan lain.
Community merupakan kelompok territorial terkecil yang dapat
menampung semua aspek kehidupan sosial yang memiliki aspek yang lengkap. Adapun rumah tangga merupakan kelompok yang lebih kecil yang memiliki ruang lingkup yang lebih tebatas. Selanjutnya community adalah kelompok lokal yang merupakan masyarakat berkat adanya institusi, status, dan minat, sehingga
community itu dapat disebut sebagai sebuah masyarakat yang lengkap.
5). Masyarakat Desa dan Masyarakat Kota
Salah satu perbedaan yang ada dalam masyarakat modern adalah antara desa dan kota. Hal ini karena pada umumnya desa atau dusun selalu menerima pengaruh kota. Sementara itu masyarakat primitif adalah masyarakat yang berada sepenuhnya bersifat pedesaan, dan masyarakat yang selalu merupakan masyarakat kekotaan. Selanjutnya perbedaan antara desa dan kota adalah tidak tetap, karena yang dimaksud dengan desa itu tak akan pernah memiliki sifat pedesaan secara terus-menerus.
Secara sosial, kota adalah suatu cara hidup (way of life). Kekotaan atau urban memang menunjukan suatu cara hidup, berkenan dengan pengetahuan tentang barang dan orang, serta sejumlah tata krama yang timbul dalam lingkungan kosmopolitan. Orang kota harus mampu bersikap sesuai dengan lingkungan, hormat, dan sopan, serta mampu menahan suara hati. Mereka harus belajar tentang bagaimana mengendalikan perbedaan dalam situasi yang berbeda-beda dan mengambil manfaat dari persahabatan. Dengan demikian, orang
merupakan produk dari berbagai jenis lingkungan khusus yang berlatar belakang kekotaan (Kamanto Sunarto, 1993 : 72).
1.3. MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK BUDAYA 1.3.1 Hakikat Keberadaan Manusia
Sebelumnya telah dibahas bahwa manusia sebagai mahluk individu dan sosial, namun tidak ada salahnya perlu dikemukakan juga mengenai hakikat manusia itu sendiri. Manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang tertinggi dan paling beradab dibandingkan dengan ciptaan Tuhan lainnya. Keberadaan manusia tersebut apabila dibandingkan dengan ciptaan Tuhan lainnya, yaitu benda mati, tumbuh-tumbuhan, dan juga binatang. Benda mati tidak dapat berbuat apa-apa, kecuali ada dorongan atau tindakan dari ciptaan Tuhan lainnya sebagai makhluk hidup terhadap benda mati itu, sehingga benda mati ini seringkali dijadikan alat untuk membantu atau menopang kehidupan manusia.
Sebagaimana makhluk hidup, tumbuh-tumbuhan juga tumbuh dan
berkembang, namun ia tidak dapat berpindah, mempunyai emosi, atau berinteraksi langsung dengan pihak lain yang memberikan suatu aksi atau tindakan pada dirinya. Misalnya tumbuh-tumbuhan tidak dapat: berjalan, berlari, marah ketika ditebang, tertawa ketika disiram atau diberi pupuk, meresponss ketika diajak berinteraksi atau berkomunikasi. Demikian pula dengan binatang, yang walaupun dapat berpindah-pindah, mempunyai emosi, dan dapat berinteraksi maupun berkomunikasi, namun apa yang dilakukannya hanya dalam lingkup dan proses belajar yang terbatas, serta lebih karena adanya dorongan nalurinya saja.
Sementara itu, manusia mempunyai tingkatan lebih tinggi lagi karena selain mempunyai ciri-ciri sebagaimana makhluk hidup di atas, manusia juga mempunyai akal yang dapat memperhitungkan tindakannya yang kompleks melalui proses belajar yang terus menerus. Selain itu manusia dikatakan pula sebagai makhluk budaya. Budaya diartikan sebagai pikiran atau akal budi (Pusat Bahasa Diknas, 2001: 169), sehingga makhluk budaya dapat diartikan sebagai makhluk yang memiliki pikiran atau akal budi.
Aspek yang terkait dengan hakikat manusia sebagai makhluk budaya antara lain adalah unik dan universal. Secara umum, siapapun dan di manapun manusia berada ia adalah makhluk budaya yang mempunyai akal pikiran, sehingga dalam lingkup yang lebih luas sebagai bagian dari kumpulan/kelompok manusia atau masyarakat akan mempunyai kebudayaan yang beragam karena mereka berpikir atau mengalami proses belajar dalam berinteraksi dan menyesuaikan diri dengan lingkungan dan kebutuhannya masing-masing. Sedangkan dalam konteks
individual, manusia adalah makhluk budaya yang unik. Unik karena antara makhluk hidup yang satu dan lainnya berbeda, dalam berperilaku, menciptakan dan mengekspresikan simbol-simbol. Oleh karena itu, manusia juga dikatakan sebagai animal simbolikum yang mempunyai dorongan untuk mencipta simbol-simbol tersebut.
Dalam hubungannya dengan manusia dikatakan juga sebagai makhluk budaya maka manusia diartikan juga sebagai makhluk yang dengan kegiatan akalnya dapat mengubah dan bahkan dapat menciptakan realitas melalui simbol-simbol atau sistem perlambangan. Contoh dari sistem perlambangan di sini adalah bahasa, yang melambangkan sesuatu berdasarkan sistem pola hubungan antara benda, tindakan, dan sebagainya dengan yang apa yang dilambangkan. Bahasa di sini tidak hanya yang verbal tapi juga berupa tulisan, lukisan, tanda-tanda, atau isyarat-isyarat. Selain bahasa, sistem perlambangan digunakan manusia sebagai makhluk budaya dalam segala bidang dalam berinteraksi dan berkomunikasi dengan manusia atau makhluk lainnya.
Dengan demikian sebagai animal simbolikum manusia adalah unik karena tiap manusia mempunyai kebutuhan dan kemampuan menciptakan atau
mengekspresikan segala sesuatu dengan lambang atau simbol-simbol itu secara berbeda-beda. Sementara sebagai makhluk budaya manusia adalah universal
karena setiap manusia dianugerahi Tuhan akal yang dapat berkembang terus melalui proses belajar kebudayaan dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan
hidupnya. Secara universal, perilaku manusia sebagai makhluk budaya merupakan gabungan dari adanya unsur fisik/raga dan mental/kepribadiannya. Sehingga yang berkembang dalam diri manusia adalah tidak hanya raganya namun juga ia
berkembang secara emosional dan intelektual.
1.3.2. Manusia Budaya dan Nilai Budaya
Kehidupan manusia dapat dilihat dari sisi dirinya sebagai individu (pribadi) dan sebagai makhluk sosial. Sebagai individu, ia merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang bagian dirinya terdiri atas tubuh biologis yang secara kasat mata dapat kita amati. Selain itu, sebagai manusia budaya iapun mempunyai akal dan jiwa yang mengatur atau menentukan bagaimana berperilaku. Tiap orang secara individu mempunyai kekhasan perilaku dan pembawaan sifat atau karakter yang berbeda satu sama lain yang disebut sebagai kepribadian. Keberadaan keduanya, yaitu tubuh biologis dan kepribadian, merupakan satu kesatuan dalam diri manusia yang tidak terpisahkan satu sama lain.
Dengan adanya kepribadian, sebagaimana telah dikemukakan di atas, perilaku manusia satu dengan lainnya secara individual maupun berkelompok mempunyai pola-pola yang beragam. Hal itu pula yang membedakan perilaku manusia dengan hewan, karena perilakunya tidak hanya ditentukan oleh sistem organik biologisnya saja, melainkan dipengaruhi juga oleh akal dan jiwanya atau yang disebut kepribadian.
Dalam bahasa populer, kepribadian diartikan sebagai ciri-ciri watak seorang individu yang konsisten, yang memberikan kepadanya suatu identitas sebagai individu yang khusus. Dalam keseharian, kadang kita mendengar istilah “ia seorang yang berkepribadian”, maka yang dimaksudkan adalah orang tersebut mempunyai ciri watak yang diperlihatkannya secara lahir, konsisten, dan
konsekuen dalam tingkah lakunya sehingga tampak bahwa individu tersebut memiliki identitas khusus yang berbeda dari individu-individu lainnya.
Isi dari kepribadian manusia terdiri atas 1) pengetahuan ; 2)perasaan, dan; 3) dorongan naluri. Pengetahuan merupakan unsur-unsur atau segala sesuatu yang mengisi akal dan alam jiwa seorang manusia yang sadar, secara nyata terkandung di dalam otak manusia melalui penerimaan pancaindranya serta alat penerima atau reseptor organismanya yang lain (Koentjaraningrat, 1986: 101-111).
Selain oleh pengetahuan, alam kesadaran manusia juga diisi oleh perasaannya. Yang dimaksudkan dengan perasaan di sini adalah suatu keadaan dalam kesadaran manusia yang karena pengaruh pengetahuannya dinilai sebagai keadaan positif atau negatif. Misalnya, seorang dari daerah Jawa menyukai tari Gambyong yang lemah lembut, atau bagi orang dari Bali menyukai tari Kecak yang dinamis. Semua perasaan suka atau positif itu dipengaruhi oleh
pengetahuannya yang sudah disosialisasikan terhadap dirinya melalui proses belajar kebudayaan. Sebaliknya, seseorang tidak menyukai makanan tertentu atau bau tertentu, sebagai perasaan negatif, disebabkan oleh pengetahuan atau
pengalaman dirinya melalui proses belajar tadi. Sehingga suatu perasaan selalu bersifat subjektif karena adanya unsur penilaian tadi. Dari perasaan ini kemudian dapat berkembang menjadi suatu kehendak untuk mencapainya atau sebaliknya menghindari sesuatu itu, tergantung dari perasaannya apakah sebagai perasaan yang positif atau negatif terhadap sesuatu hal.
Kalau unsur perasaan di atas muncul karena dipengaruhi oleh pengetahuan manusia, maka kesadaran manusia yang tidak ditimbulkan oleh pengaruh
pengetahuan manusia melainkan karena sudah terkandung dalam organismanya disebut sebagai naluri. Sehubungan dengan naluri tersebut, kemauan yang sudah merupakan naluri pada tiap manusia disebut sebagai “dorongan” (drive), maka disebut juga sebagai dorongan naluri.
Macam-macam dorongan naluri manusia, antara lain adalah: 1. dorongan untuk mempertahankan hidup;
2. dorongan seks;
3. dorongan untuk usaha mencari makan;
4. dorongan untuk bergaul atau berinteraksi dengan sesama manusia; 5. dorongan untuk meniru tingkah laku sesamanya;
6. dorongan untuk berbakti;
7. dorongan akan keindahan, dalam arti keindahan bentuk, warna, suara, atau gerak (Koentjaraningrat, 1986 : 109-111).
Dorongan-dorongan naluriah tersebut kemudian berkembang menjadi kebutuhan-kebutuhan hidup lainnya yang disesuaikan dengan keadaan lingkungan maupun status dirinya dalam konteks makhluk sosial. Selain itu tinjauan
kebutuhan hidup inipun berkaitan erat dengan keberadaan manusia yang
mempunyai ragam hubungan, yaitu dengan pencipta alam, manusia lain (sebagai makhluk sosial), dan dengan diri sendiri.
Dalam pemenuhan kebutuhan hidup tadi, sebagai suatu permasalahan, manusia memerlukan penyelesaian atau penyaluran. Mengingat manusia tidak hidup seseorang diri, dan mengingat pula keberadaan dirinya sebagai manusia budaya yang berakal budi, maka tindakan-tindakan yang dilakukannya harus memiliki aturan-aturan yang perlu ditaati sebagai acuan atau pedoman hidup bersama. Aturan-aturan perilaku hidup bersama tadi dijiwai oleh suatu nilai yang dianggap tinggi, penting dan berharga oleh suatu masyarakat yang dinamakan sebagai nilai budaya. Nilai-nilai budaya yang mewarnai pola-pola kehidupan bersama di dalam mayarakat yang satu akan berbeda dengan nilai budaya masyarakat di wilayah atau negara lain. Perbedaan-perbedaan itu terjadi karena cara pandang yang berbeda, tergantung bagaimana masyarakat tersebut
memandang suatu acuan hidup itu bernilai atau tidak, yang ditunjukkan dengan penundukkan diri pada nilai budaya itu.
Dengan demikian di tiap masyarakat mempunyai nilai budaya tertentu yang berbeda-beda. Sebagai contoh, pada masyarakat Indonesia yang agraris mempunyai nilai budaya kebersamaan atau komunalistik. Wujud dari nilai ini melahirkan suatu nilai gotong royong, musyawarah untuk mufakat, dan lain-lain. Nilai budaya ini berbeda dengan masyarakat di Eropa atau Amerika Serikat sebagai negara industri yang mempunyai nilai kemandirian yang individualistik. Nilai-nilai budaya ini ada atau berkembang di suatu wilayah atau negara karena masyarakatnya menganggap hal itulah yang paling bernilai atau sesuai dengan kondisi atau kebutuhan masyarakat yang bersangkutan. Dengan demikian, pada tahap selanjutnya nilai-nilai budaya yang bersifat abstrak dan berada dalam alam pikiran warga masyarakat ini akan menjiwai atau menjadi inti dari aturan-aturan atau norma-norma berperilaku lainnya yang lebih konkret untuk diterapkan. Nilai-nilai budaya tersebut adalah suatu sistem Nilai-nilai budaya masyarakat. Dikatakan sebagai sistem karena merupakan himpunan nilai yang tidak terdiri atas satuan gagasan yang masing-masing berdiri sendiri, melainkan suatu kesatuan yang berkaitan erat satu sama lain.
Sebagaimana telah disebutkan di atas, sistem nilai budaya sebagai inti yang menjiwai semua pedoman yang mengatur tingkah laku warga masyarakat yang bersangkutan. Pedoman tingkah laku itu adalah adat istiadatnya, sistem normanya, aturan etikanya/moralnya, aturan sopan santunnya, pandangan hidup, ideologi pribadi, ideologi nasionalnya, dan sebagainya.
Sebagai inti, sistem nilai budaya berbeda dengan pedoman-pedoman tingkah laku itu sendiri. Pedoman tingkah laku menyangkut soal-soal yang terbatas ruang lingkupnya, dapat didefinisikan dengan ketat dan bersifat rasional, serta dapat diubah apabila perlu, misalnya aturan adat perkawinan, aturan sopan santun, dan sebagainya. Sedangkan sistem nilai budaya bersifat umum, sangat luas ruang lingkupnya, bersifat kabur dan sangat sulit didefinisikan, dihinggapi rasa emosional dan sangat sulit diubah, misalnya nilai gotong royong. Dengan demikian sistem nilai budaya dikatakan juga sebagai bagian dari suatu
kebudayaan yang paling abstrak, paling “dalam”, dan paling sulit diubah. Oleh karena itu, mengubah orientasi nilai budaya suatu masyarakat sangat sulit dilakukan, dan memerlukan waktu relatif lama.
Sistem nilai budaya dan pedoman tingkah laku lainnya merupakan wujud ideal dari kebudayaan. Secara lebih khusus wujud ideal tersebut dibagi dalam empat tingkatan, yaitu:
1. tingkat nilai budaya, bersifat paling abstrak yang berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia, contoh: nilai gotong royong; 2. tingkat norma, bersifat abstrak;
3. tingkat sistem hukum, baik tertulis maupun tidak tertulis, bersifat agak konkrit, contoh: undang-undang;
4. tingkat aturan-aturan khusus, bersifat konkrit, contoh: aturan-aturan pelaksanaan dari suatu undang-undang.
1.3.3. Orientasi Nilai Budaya
Nilai-nilai yang hidup dalam suatu kehidupan manusia mempunyai bentuk yang tergantung pada ragam hubungan dalam keberadaan manusia. Berkaitan dengan hubungan manusia dengan Tuhannya, maka nilai-nilai yang ditaati adalah nilai-nilai yang sesuai dengan keyakinannya atau disebut sebagai nilai agama atau nilai spiritual. Dalam konteks diri manusia sebagai makhluk sosial, maka nilai yang dianutnya adalah nilai-nilai yang hidup dan didukung oleh sebagian besar warga masyarakatnya sebagai nilai budaya. Sebagai suatu sistem nilai, nilai budaya dari warga masyarakat ini juga dipengaruhi oleh nilai-nilai agama atau spiritual tadi.
Kemudian telah dikemukakan juga bahwa tiap masyarakat mempunyai nilai budaya yang berbeda satu sama lain. Perbedaan nilai budaya suatu
masyarakat atau warga masyarakat ini dikarenakan adanya pengaruh dari orientasi nilai budayanya. Bentuk-bentuk orientasi nilai budaya yang ada dalam berbagai masyarakat dapat kita lihat dalam bagan berikut ini.
Kerangka Kluckhohn mengenai Lima Masalah Dasar Dalam Hidup yang Menentukan Orientasi Nilai Budaya Manusia
Masalah Dasar Dalam Hidup
Orientasi Nilai Budaya
Hakikat Hidup
(MH) Hidup itu buruk Hidup itu baik Hidup itu buruk tetapi manusia wajib berikhtiar supaya hidup itu menjadi baik
Hakikat karya
(MK) Karya itu untuk nafkah hidup Karya itu untuk kedudukan, kehormatan, dan sebagainya.
Karya itu untuk menambah karya
Persepsi manusia tentang waktu (MW)
Orientasi ke masa kini Orientasi ke masa lalu Orientasi ke masa depan
Pandangan manusia terhadap alam
(MA)
Manusia tunduk kepada alam yang dasyat Manusia berusaha menjaga keselarasan dengan alam Manusia berhasrat menguasai alam Hakikat hubungan antara manusia dengan sesamanya (MM) Orientasi kolateral (horizontal), rasa ketergantungan kepada sesamanya (berjiwa gotong royong) Orientasi vertikal, rasa ketergantungan kepada tokoh-tokoh atasan dan berpangkat
Individualisme, menilai tinggi usaha atas kekuatan sendiri
BAB II
AKHLAK DAN BUDI PEKERTI
2.1. Pengertian Akhlak dan Budi Pekerti2.1.1 Pengertian Akhlak
Kata ’akhlak’ merupakan bentuk jamak (plural) dari kata ’khuluk’, berasal dari bahasa Arab yang berarti ”perangai”, ”tingkah laku”, atau ”tabiat”. Secara terminologi, ’akhlak’ berarti tingkah laku seseorang yang didorong oleh suatu keinginan secara sadar untuk melakukan suatu perbuatan yang baik. Tiga pakar di bidang akhlak, yaitu Ibnu Miskawaih, Al Gazali, dan Ahmad Amin menyatakan bahwa akhlak adalah perangai yang melekat pada diri seseorang yang dapat memunculkan perbuatan baik tanpa mempertimbangkan pikiran terlebih dahulu (Rahmat Djatnika, 1992 : 27)
Dalam kehidupan sehari-hari sering dijumpai kata akhlak, moral, dan etika yang ketiganya merupakan tingkah laku manusia, hampir sama, namun jika dilihat dari sumbernya, ketiga kata tersebut akan berbeda. Akhlak bersumber dari agama wahyu. Moral bersumber dari adat istiadat masyarakat. Sementara etika
bersumber dari filsafat moral dan akal pikiran
Jika dikaji lebih mendalam dan dihubungkan dengan konteks kalimat, kata moral, etika, dan akhlak memiliki pengertian yang berbeda. Moral artinya ajaran tentang baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, budi pekerti. Moral adalah istilah yang digunakan untuk menentukan batas-batas suatu sifat, perangai, kehendak, pendapat atau perbuatan yang layak dikatakan benar, salah, baik, buruk. Yang dimaksud penilaian benar atau salah dalam moral, adalah masyarakat secara umum. Sedangkan akhlak, tingkah laku baik, buruk, salah benar adalah penilaian dipandang dari sudut hukum yang ada dalam ajaran agama. Dalam Ensiklopedi Pendidikan (1976) Sugarda Purbakawatja
menyebutkan, sesuai dengan makna aslinya moral dalam bahasa latin disebut mos, artinya adalah adat istiadat yang menjadi dasar untuk mengukur apakah perbuatan seseorang baik atau buruk. Oleh karena itu, apabila untuk mengukur tingkah laku manusia, baik atau buruk dapat dilihat apakah perbuatan itu sesuai dengan adat istiadat yang umum diterima kesatuan sosial atau lingkungan tertentu. Karena itu dapat dikatakan baik buruk suatu perbuatan secara moral, bersifat lokal (Daud Ali,1998 : 354).
Perbedaannya dengan “etika” dalam Kamus Bahasa Indonesia
(Departemen Pendidikan dan Kebudayaan) edisi ke-3 (2001), etika dimengerti sebagai ilmu tentang etik. Jadi etika, yaitu ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk, tentang hak dan kewajiban moral. Etika merupakan cabang dari filsafat yang mempelajari tingkah laku manusia untuk menentukan nilai perbuatan baik dan buruk, ukuran yang dipergunakannya adalah akal pikiran. Akallah yang
menentukan apakah perbuatan manusia itu baik atau buruk. Jika diperbandingkan ketiga kata tersebut, maka etika adalah ilmu, moral adalah ajaran, akhlak adalah tingkah laku manusia (sikap etis).
Kata “akhlak” dapat diartikan sebagai perangai. Kata tersebut memiliki arti yang lebih mendalam karena telah menjadi sifat dan watak yang dimiliki seseorang. Sifat dan watak yang telah melekat pada diri pribadi akan menjadi kepribadian. Dapat juga dikatakan bahwa perangai adalah sifat dan watak yang merupakan bawaan seseorang. Pembentukan perangai ke arah baik atau buruk, ditentukan oleh faktor dari dalam diri sendiri maupun dari luar, yaitu
lingkungannya. Keluarga merupakan lingkungan pertama dan terdekat bagi seseorang. Melalui keluarga dapat terbentuk kepribadian. Perangai dalam penerapannya mungkin menimbulkan penilaian positif atau negatif tergantung pada perilaku orang yang melakukan.
Kata akhlak apabila diartikan sebagai tingkah laku, maka tingkah laku itu harus dilakukan secara berulang-ulang tidak cukup hanya sekali melakukan perbuatan baik, atau hanya sewaktu-waktu saja. Seperti halnya orang berbuat sosial dengan memberikan uang pada orang miskin atau memberikan bantuan pada korban bencana alam, hanya sekali dia melakukan tidak dapat disebut berakhlak, ia hanya dikatakan sebagai seorang dermawan. Apabila terus menerus melakukan kebaikan dan memperlihatkan tingkah laku yang baik maka seseorang disebut berakhlak. Selanjutnya orang dapat dikatakan berakhlak jika timbul dengan sendirinya didorong oleh motivasi dari dalam diri dan dilakukan tanpa banyak pertimbangan pemikiran apalagi pertimbangan yang sering diulang-ulang, sehingga terkesan sebagai keterpaksaan untuk berbuat. Jika perbuatan itu terpaksa bukanlah pencerminan akhlak (Ensiklopedi Islam, I, 1993, 102).
Dengan demikian, seseorang dikatakan berahklak jika memenuhi empat hal. Pertama perbuatan yang baik atau buruk; kedua kemampuan melakukan perbuatan; ketiga kesadaran akan perbuatan itu; dan keempat kondisi jiwa yang membuat cenderung melakukan perbuatan baik atau buruk. Dalam Encyclopedia
Brittanica, akhlak disebut sebagai ilmu akhlak, yaitu studi yang sistematik tentang
tabiat dari pengertian nilai baik, buruk, seharusnya benar, salah dan sebagainya tentang prinsip umum dan dapat diterapkan terhadap sesuatu, selanjutnya dapat disebut juga sebagai filsafat moral (Ensyclopaedi of Britannica, “Etics”, jilid VIII: 752)
2.1.2 Pengertian Budi Pekerti
Budi pekerti dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan kata majemuk dari kata “budi” dan “pekerti”. Budi berarti yang sadar atau yang menyadarkan atau alat kesadaran. Pekerti berarti kelakuan. Secara terminologi, kata ‘budi’ ialah yang ada pada manusia, berhubungan dengan kesadaran, yang didorong oleh pemikiran, rasio disebut karakter. Pekerti ialah apa yang terlihat pada manusia, karena didorong oleh perasaan hati, yang disebut behavior. Jadi budi pekerti adalah perpaduan dari hasil rasio dan rasa yang bermenifestasi pada karsa dan tingkah laku manusia (Rahmat Djatnika, 1992 : 25)
Kata budi pekerti dalam kamus Bahasa Indonesia ialah tingkah laku, perangai, akhlak. Budi pekerti mengandung makna perilaku yang baik, bijaksana dan manusiawi. Di dalam perkataan itu tercermin sifat, watak seseorang dalam perbuatan sehari hari. Budi pekerti sendiri mengandung pengertian positif. Namun penggunaan atau pelaksanaannya yang mungkin negatif. Penerapannya tergantung pada manusia. Karena itu, apabila orang mengatakan budi pekerti si Badu baik kata-kata itu menunjukkan penilaian positif yang diberikan orang lain pada pribadi si Badu. Sebaliknya kalau orang mengatakan budi pekerti si Badu buruk, perkataan itu menunjukkan penilaian negatif terhadap pribadi si Badu. Apabila dihubungkan dengan akhlak yang berarti perangai adalah sama mengandung pengertian tingkah laku manusia.
Budi pekerti didorong oleh kekuatan rohani manusia, yaitu rasio, rasa, dan karsa yang akhirnya muncul menjadi perilaku yang dapat terukur dan menjadi kenyataan dalam kehidupan. Ratio mempunyai tabiat kecenderungan kepada ingin tahu dan mau menerima yang logis, yang masuk akal dan sebaliknya tidak mau menerima yang anlogis, yang tidak masuk akal. Untuk mengisi kebutuhan rasio dengan memberi pengetahuan dan mengisinya dengan hal yang masuk akal. Manusia diberi kesempatan berpikir dan mengembangkan, serta membimbing akal ke arah yang benar. Oleh karena itu, belajar menuntut ilmu merupakan pemenuhan kebutuhan rasio. Dalam hal ini yang terpenting adalah ilmu pengetahuan tentang benar dan salah atau tentang baik dan buruk.
Di samping unsur rasio, manusia mempunyai unsur rasa. Perasaan manusia selalu berhubungan dengan pengalaman, pendidikan, pengetahuan dan suasana lingkungan. Demikian pula perasaan manusia dipengaruhi oleh keyakinan yang diyakini tentang kebenaran dan kebaikan.
Rasa mempunyai tabiat kecenderungan pada keindahan. Letak keindahan adalah pada keharmonisan susunan sesuatu, harmonis antara unsur jasmani dengan rohani, harmonis antara cipta, rasa, dan karsa, harmonis antara mental dan tingkah laku, harmonis antara individu dengan masyarakat, harmonis susunan keluarga, harmonis hubungan antara keluarga. Keharmonisan akan menimbulkan rasa nyaman dalam kalbu dan tenteram dalam hati. Jika tidak ada keharmonisan akan timbul gejolak dalam hati, timbul keresahan dan kegelisahan yang
mengganggu ketenteraman dan kenyamanan dalam hati.
Rasa manusia tidak terlepas dari hubungan dengan rasio dan
keyakinannya. Rasa yang berhubungan dengan kesadaran adalah perasan hati nurani murni yang keluar dari lubuk hati dan merupakan sesuatu kekuatan, pelita hati, yang menyinari hidupnya. Perasaan hati itu sering disebut “hati kecil” atau disebut “suara kata hati”, lebih umum lagi disebut hati nurani. Suara hati selalu mendorong untuk berbuat baik dan yang bersifat keutamaan serta
memperingatkan perbuatan yang buruk dan berusaha mencegah perbuatan yang bersifat buruk dan hina. Setiap orang mempunyai suara hati, walaupun suara hati
masing-masing kadang berbeda. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan keyakinan, perbedaan pengalaman, perbedaan lingkungan, perbedaan pendidikan dan sebagainya. Namun suara hati mempunyai kesamaan, yaitu keinginan
mencapai kebahagiaan dan keutamaan kebaikan yang tertinggi sebagai tujuan hidup.
Manusia memiliki karsa berhubungan dengan rasio dan rasa. Karsa disebut kemauan atau kehendak. Hal ini berbeda dengan keinginan. Keinginan lebih mendekati pada senang atau cinta yang kadang-kadang berlawanan antara satu keinginan dengan keinginan lainnya dari seseorang pada suatu waktu yang sama, keinginan belum menuju pada pelaksanaan. Kehendak atau kemauan adalah keinginan yang dipilih di antara keinginan-keinginan yang banyak untuk
dilaksanakan. Dengan kata lain, kehendak adalah keinginan yang dimenangkan di antara keinginan-keinginan yang banyak setelah mengalami kebimbangan.
Adapun kehendak muncul melalui sebuah proses sebagai berikut. 1) Ada stimulan ke dalam panca indra.
2) Timbul keinginan-keinginan.
3) Timbul kebimbangan, proses memilih.
4) Menentukan pilhan kepada salah satu keinginan.
5) Keinginan yang dipilih menjadi salah satu kemauan, selanjutnya akan dilaksanakan (Rahmat Djatnika, 1992 : 167).
Dalam kehidupan manusia, ada perbuatan yang dilaksanakan dengan kehendak dan ada pula perbuatan yang dilaksanakan tanpa kehendak. Perbuatan yang dilaksanakan dengan kesadaran dan dengan kehendak inilah yang disebut perbuatan budi pekerti.
2.2 Ruang Lingkup Ahklak dan Budi Pekerti
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, akhlak merupakan tingkah laku manusia yang identik dengan perkataan budi pekerti, maka mempunyai ruang lingkup yang sesuai dengan aktivitas manusia dalam kehidupan sehari-hari. Manusia sebagai mahluk individu dan sekaligus mahluk sosial ciptaan Tuhan, dalam kehidupannya senantiasa berhubungan dengan Tuhan dan berhubungan dengan sesama manusia lain dan alam sekitar. Oleh karena itu, akhlak tidak semata-mata kelakuan manusia yang nampak, tetapi banyak aspek yang berkaitan dengan sikap batin maupun pikiran.
Ketika manusia ingin melakukan komunikasi dengan Tuhan, ia membutuhkan norma-norma yang mengatur bagaimana pola bertingkah laku kepada Tuhan, agar perbuatannya dinilai baik untuk menghadap kepada penciptanya. Selanjutnya sebagai mahluk sosial, manusia berperilaku untuk memelihara diri sendiri, berkomunikasi dengan sesama manusia lain dalam kehidupan keluarga dalam bertetangga, bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Selain dengan manusia sebagai mahluk hidup, manusia juga hidup dalam
tumbuhan, hewan, batu-batuan, sungai, gunung, hasil seni budaya, peninggalan peninggalan budaya, hasil temuan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan
sebagainya. Semua hal tersebut memerlukan keteraturan yang membuat manusia dapat berbuat baik dan benar.
Dengan demikian ruang lingkup akhlak meliputi hal-hal berikut ini.
2.2.1 Akhlak terhadap Tuhan Yang Mahaesa
Tuhan adalah pelindung dan memberi makna dalam setiap kehidupan manusia, terutama bagi manusia yang beragama, karena inti agama adalah Tuhan. Agama tanpa kepercayaan kepada Tuhan tidak disebut agama. Dalam agama-agama wahyu, Tuhan dapat dilihat dari aspek eksistensi Tuhan. Agama Yahudi menekankan pada Tuhan yang hidup (The Living God). Agama Kristen menyebut Tuhan dengan tripersonal, yaitu Tuhan Bapak, Anak, dan Roh Kudus. Menurut agama Kristen, tiga person merupakan satu kesatuan tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Dalam bahasa Indonesia sering disebut dengan istilah Satu dalam Tiga dan Tiga dalam Satu (Amsal Bahtiar, 1999 : 203). Dalam agama Islam Tuhan adalah maha pencipta, maha pemberi kehidupan, maha tinggi. Oleh karena itu, Tuhan berdimensi serba maha jika dibandingkan dengan manusia. Semua pemeluk agama selalu memberikan penghormatan dan kedudukan yang tertinggi kepada Tuhan. Sebagai wujud dari penghormatan dan kedudukan yang tinggi, ummat dari masing-masing agama memanjatkan dan memohon doa kepada Tuhan untuk memperoleh perlindungan serta mohon keselamatan dalam kehidupannya. Untuk itu, perilaku terhadap Tuhan perlu diatur berdasarkan pada norma-norma yang berlaku bagi agama masing-masing. Berakhlak kepada Tuhan merupakan pengembangan kehidupan kerohanian bagi pribadi manusia. Dengan memelihara kehidupan rohani manusia akan merasa hidup tenang, tenteram di bawah
lindungan Tuhan.
Akhlak yang baik terhadap Tuhan adalah berkata-kata dan bertingkah laku yang terpuji, baik melalui penyembahan langsung maupun melalui perilaku-perilaku tertentu yang mencerminkan komunikasi dengan Tuhan di luar penyembahan sebagai wujud penghormatan kepada Tuhan.
2.2.2 Akhlak Terhadap Manusia
2.2.2.1 Akhlak terhadap Rasul utusan Allah, karena Rasul adalah manusia
pilihan Allah yang juga memiliki sifat sifat kemanusiaan sebagaimana manusia pada umumnya. Bedanya Rasul adalah perilakunya senantiasa dijaga agar tidak berbuat yang salah dan jelek. Adapun akhlak terhadap Rasul adalah meneladani Rasul dalam setiap perilakunya. Dalam hal ini Rasul sebagai pembawa ajaran Tuhan agar dapat sampai pada manusia dan dapat dimengerti oleh manusia sebagai penganut agama Wahyu yang diturunkan oleh Tuhan.
2.2.2.2 Akhlak terhadap diri sendiri. Akhlak kepada diri sendiri adalah
menyayangi diri sendiri dengan menjaga diri dari perbuatan buruk. Berakhlak pada diri sendiri di antaranya melakukan perbuatan berikut ini.
1) Menjaga dan memelihara hati agar memiliki hati yang bersih dan jernih, selalu berbicara sesuai dengan hati nuraninya sendiri. Membersihkan hati berupa
menahan dan mengendalikan keinginan-keinginan atau dorongan-dorongan hati yang membawa kearah tidak baik.
Hati yang bersih akan melahirkan ucapan ucapan dan perilaku yang baik yang merupakan gambaran akhlak yang mulia. Ucapan yang baik digambarkan dalam tutur kata yang sopan dan dapat menempatkan orang lain lebih tinggi dari dirinya sendiri. Jika hati bersih dan sehat pikiranpun dapat menjadi cerdas, karena tidak ada waktu untuk berpikir licik, dengki, atau keingnan untuk menjatuhkan orang lain. Kebencian terhadap orang lain memakan waktu produktivitas dan
kebahagiaan. Akibat hati dan pikiran bersih akan memilki akses data yang tinggi, akses informasi yang berlimpah. Akses ilmu yang benar-benar meluas yang akhirnya akan mampu mengambil ide-ide yang cemerlang dan gagasan yang baru. Wajah akan memancarkan kecerahan dan penuh keramahan, murah senyum. 2) Menata keikhlasan hati merupakan hakikat diri seseorang, perbuatan apa pun akan sia-sia tanpa ada keikhlasan hati. Ikhlas berarti bersih dari segala maksud maksud pribadi yang buruk, bersih dari pamrih, dan riya. Manusia yang ikhlas berkarakter kuat dan tidak mengenal lelah. Perilakunya sama sekali tidak dipengaruhi oleh ada atau tidaknya kedudukan maupun penghargaan. Orientasi hidupnya jelas dan tegas, langkahnya pasti dan penuh harapan, tidak ada kata frustasi dalam hidupnya, tidak ada putus asa dalam usahanya. Orang yang paling menikmati hidupnya adalah orang yang bersungguh-sungguh menjaga
keikhlasannya. Orang yang ikhlas hanya memiliki dua kewajiban, yaitu pertama meluruskan niat dan kedua menyempurnakan ikhtiar
3) Menjadikan diri mau bersyukur (berterima kasih). Terima kasih disampaikan kepada semua orang yang telah memberikan kenikmatan hidup, baik berupa harta kedudukan, kesejahteraan, maupun kebahagiaan. Berterima kasih kepada orang yang lebih tinggi sering dilakukan orang, tetapi berterima kasih pada orang rendah dan kecil sulit dilakukan, sekalipun telah memberikan kenikmatan hidup. Seperti kepada orang yang menjadi tukang sapu, membuang sampah, menjadi pembantu rumah tangga.
4) Melatih diri menjadi penyabar. Sabar dapat diartikan sebagai upaya manusia secara sungguh-sungguh untuk dapat terus berada di jalan Allah. Salah satu jenis kesabaran adalah sabar menghadapi rasa sakit. Jadikanlah sabar sebagai
penolongmu. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar. Sabar menghadapi kenyataan-kenyataan hidup, seperti menemui kemacetan, harus antri panjang berurusan dengan bank, harus menunggu giliran, berobat ke dokter harus menunggu panggilan, dan sebagainya.
5) Melatih pola hidup bersih. Kesungguhan untuk senantiasa hidup bersih merupakan salah satu cara untuk meraih kesuksesan dan kemuliaan hidup.