MASYARAKAT DAN MULTIKULTURALISME
7.2.2 Beberapa Isu dalam Multikulturalisme
Dalam tataran konseptual, perbedaan definisi dan pengertian tentang multikulturalisme tidak terhindarkan akan memunculkan problem jika dijabarkan dalam kebijakan publik di suatu masyarakat majemuk. Dalam masyarakat majemuk, perbedaan kebudayaan muncul dalam beraneka wujud dan aspeknya sementara itu multikulturalisme menghendaki adanya pengakuan (recognition) yang sama atas keberagaman. Tuntutan akan pengakuan (juga perlakuan dan penerimaan) yang sama inilah, di tengah-tengah adanya keanekaragaman budaya, yang memunculkan banyak isu multikulturalisme. Tuntutan ini sesungguhnya tidak dapat diberlakukan secara mutlak sebab kehidupan selalu memilki batas-batas, atau paling tidak ada kekecualian. Batas itu antara lain berupa kaidah atau prinsip tidak merugikan pihak lain maupun kepentingan umum.
Secara faktual beberapa isu besar multikulturalisme antara lain berupa kemajemukan (vs ketunggalan) identitas/afiliasi/asosiasi individu dan kelompok,
kebebasan dalam berbudaya (gaya hidup), salah paham dan kekerasan antarbudaya serta perbedaan perwujudan nilai dalam kebudayaan dan agama. Seiring perkembangan psikologis dan sosialnya setiap diri individu dalam masyarakat memiliki berbagai macam identitas, afiliasi, asosiasi, atau kategori keanggotaan sehingga menjadi makhluk multidimensi. Selain sebagai manusia ciptaan Tuhan, makhluk sosial, makhluk individual, seseorang misalnya dapat dilekati berbagai identitas sekaligus seperti seorang keturunan Jawa-Toraja, lulusan UI, seseorang yang meminati filsafat, musik jazz, klasik, keroncong, gamelan, seorang feminis yang heteroseksual, seorang yang religius, humanis dan puritan, seorang yang bebas dan aktif dalam berpikir dan berilmu, seorang yang olah raganya senam di rumah, seorang yang tidak merokok dan jarang minum kopi, seorang yang berpolitik di luar partai politik dan LSM, seorang yang mengekang diri dalam kebutuhan harta, tahta maupun wanita, seorang yang mengindahkan homo homini socius.
Semua keragaman identitas yang dimiliki sekaligus oleh seseorang atau kelompok tersebut dapat saja tinggal satu yakni bilamana terjadi konflik antarbudaya (antar-subbudaya), antarperadaban, atau antaretnis. Terjadinya konflik seringkali berpangkal pada rasa iri atau perebutan akan harta, tahta (pengaruh, reputasi), dan cinta asmara (sesekali) di antara individu maupun kelompok. Penyebab lainnya adalah ketiadaan pengetahuan yang memadai (utuh-menyeluruh-mewujud) pada diri individu, kelompok, maupun sistem yang lebih besar tempat mereka hidup.
Untuk mendapatkan dukungan dalam menghadapi konflik, untuk unggul atau memulihkan ketertinggalan harta dan tahta), senjata yang paling mudah digunakan adalah mereduksi keragaman identitas lawan atau musuh menjadi identitas tunggal. Identitas tunggal ini tentu saja sengaja dipilih yang berbeda atau bahkan bertentangan dari identitas kelompok sendiri serta yang diberi arti buruk dan bersalah. Dengan menunggalkan identitas seperti ini pada pihak ‘lawan’ yang berkonflik, hasutan mengobarkan permusuhan serta tipu daya untuk memperoleh dukungan menjadi lebih mudah dilakukan. Kekerasan fisik pun mudah merebak menyusulnya.
Dalam tataran yang lebih terbatas, keragaman identitas seseorang dapat saja lebih sederhana. Misalnya sekelompok orang memiliki identitas warga RT, mempunyai ‘gaya hidup’ (sebagai wujud budaya atau subbudaya) penyuka musik dangdut dengan volume suara yang terdengar sampai di ujung gang, suka main gaple, merokok, dan keramaian malam hari. Kelompok ini dapat saja berkonflik dengan seseorang atau sekelompok orang lainnya yang masih satu RT tetapi berseberangan gang oleh karena memiliki subbudaya atau kebiasaan yang berbeda. Misalnya mereka lebih menyukai ketenangan, memiliki kegiatan rohani, tidak merokok sehingga dapat menyisihkan untuk berkorban, mendengarkan musik dengan volume suara yang cukup terdengar di dalam rumah sendiri saja. Kelompok ini boleh jadi akan merasa terganggu ketenangannya sementara kelompok lainnya merasa berhak melakukan apa saja dengan alasan apa pun dapat dilakukan sepanjang di rumahnya sendiri.
Isu yang muncul menyangkut pengakuan yang sama, misalnya, terjadi pada kelompok yang memiliki orientasi seksual pada jenis kelamin yang sama. Dalam hal tertentu seperti pendidikan, pekerjaan, dan tempat tinggal, pengakuan dan perlakuan yang sama untuk mereka mudah diberikan. Namun, untuk pengakuan yang sama dalam hal perkawinan kontroversi amat mudah timbul, bahkan banyak pihak menolaknya. Salah satu alasan yang mendasar adalah perkawinan sejenis bukanlah kelakuan spesies yang alamiah, bukan kelakuan yang sesuai dengan sunatullah. Perkawinan yang alamiah antara lain berfungsi menjamin keberlanjutan spesies (perkawinan sejenis tidak menghasilkan keturunan, jika ini dilakukan secara konsisten manusia pelakunya akan punah). Dalam hal ini alasan kebebasan, bebas memilih gaya hidup, berhadapan dengan alasan yang eksistensial. Belum lagi adanya alasan “tidak ada kebebasan yang sebebas-bebasnya”.
Isu serupa terjadi pada seseorang atau sekelompok orang yang membiasakan diri hidup (dapat mapan menjadi gaya hidup) dengan materi-materi porno atau cenderung pornografis. Berhadapan dengan orang lain, yang menjauhkan diri dari materi seperti itu karena alasan agama maupun etika, tidak terhindarkan muncul polemik yang dapat mengarah ke konflik. Persoalan ini
tampaknya berakar pada pengetahuan yang tidak memadai lagi berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dasar cinta-asmara (khususnya antara pria-wanita); pengetahuan yang dimaksud yakni definisi pornografi. Tentang definisi ini sudah terdapat tawaran alternatif baru pendefinisian pornografi (Harsono P, 2008) yang berbasis pada persepsi dan reaksi anak-anak dan remaja (dipilih yang relatif sedikit terpapar materi pornografi) tentang apa yang porno (membangkitkan gairah berahi atau nafsu seksual).
Isu multikulturalisme yang melibatkan hubungan antaragama di Indonesia sempat muncul (dan masih dimunculkan oleh segelintir pihak) yakni menyangkut UU Sisdiknas yang ketika itu masih merupakan RUU. Yang menjadi bahan polemik saat itu adalah pasal 13 ayat 1a dan penjelasannya yang isinya yakni “setiap peserta didik pada satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama”. Isu seperti ini, yang sempat menjadi polemik panjang, agar tidak terulang membutuhkan saling pemahaman tentang pengertian agama, khususnya dimensi horisontal (hubungan sesama makhluk) dan vertikalnya (hubungan makhluk dan penciptanya). Tampaknya muncul pemahaman yang kurang memperhitungkan dimensi horisontal agama; sebaliknya agama hanya dipahami sebagai kepercayaan kepada hubungan Tuhan dan manusia.
Isu lain adalah budaya kepemimpinan, wujud kelakuan berpola dalam organisasi. Memang saat ini budaya kepemimpinan yang berlaku di manapun dan sangat dominan adalah gaya model, atau paradigma kepemimpinan ketua. Akan tetapi, sudah lama muncul percik-percik ketidakpuasan di antara mereka yang dipimpin maupun “pemimpin” di tingkat bawah. Sebuah kesimpulan penelitian tentang hubungan karyawan dan para pemimpinnya yakni bahwa dua dari tiga pekerja mengharapkan bos-nya keluar sebab merupakan sumber malapetaka (Tempo, 2002). Ketidakpuasan seperti ini berkembang menjadi tuntutan perubahan pola atau gaya manajemen (dan kepemimpinan) ke arah yang lebih partisipatif untuk menghindari mismanagement dan misleadership yang lebih parah. Ini berarti juga berarti sebagai tuntutan yang lebih tinggi atas budaya berdemokrasi kepada pihak-pihak yang masih mempraktikkan gaya hidup (baca:
wujud budaya kelakuan berpola) otoriter (membuat keputusan dengan mengandalkan otoritas/jabatan) dan feodalistis dalam kepemimpinan.
Untuk mengatasi problem multikulturalisme perlu kembali disadari bahwa budaya baik atau buruk adalah hasil daya dari budi, kekuatan dan kecerdasan akal budi manusia. Maka akal budilah yang harus diasah dan ditingkatkan penggunaannya. Salah satu cara utamanya adalah berlatih menerapkan kaidah-kaidah logika secara nyata dalam membuat keputusan, besar maupun kecil. Kaidah-kaidah logika harus nyata-nyata dipelajari. Banyak orang, apalagi kalau sarjana dan diberi jabatan, yang menganggap dirinya telah berpikir logis tetapi tidak pernah membuktikannya dengan mengujinya secara rinci berdasarkan kaidah-kaidah logika seperti hukum mengenai term dan hukum mengenai proposisi misalnya (Hayon, 2005:140-149). Akibatnya, alih-alih berpikir logis, mereka hanya merasa sudah berpikir logis dan malah melakukan sesat pikir
(logical fallacy).