• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMASARAN MEBEL KAYU JATI JEPARA KASMALIA SARI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMASARAN MEBEL KAYU JATI JEPARA KASMALIA SARI"

Copied!
108
0
0

Teks penuh

(1)

KASMALIA SARI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pemasaran Mebel Kayu Jati Jepara ini adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Pebruari 2010 Kasmalia Sari NIP E151070171

(3)

KASMALIA SARI. Pemasaran Mebel Kayu Jati Jepara. Dibimbing oleh DODIK

RIDHO NURROCHMAT dan BAHRUNI

Industri perkayuan memegang peranan penting terhadap perolehan devisa dan

pembangunan ekonomi negara. Sejalan dengan penuruan ketersediaan bahan baku

untuk industri dan meningkatnya biaya tenaga kerja pada industri berbasis kayu maka

mebel kayu merupakan industri kecil yang berpeluang untuk dikembangkan. Industri

mebel kayu tidak hanya diharapkan untuk memperoleh devisa tetapi juga akan

menstimulasi pertumbuhan ekonomi nasional karena memiliki nilai tambah yang

tinggi, mempunyai keterkaitan yang cukup kuat dengan sektor lain, menciptakan

lapangan kerja, memiliki pertumbuhan pasar yang baik, dan berdaya saing cukup

tinggi. Data statistik UN COMTRADE (2008) mermperlihatkan bahwa sektor

industri mebel terus mengalami peningkatan ekspor mebel dari tahun 2003 sampai

tahun 2007. Negar

a tujuan ekspor mebel Indonesia yang utama adalah Amerika

Serikat (37%), Jepang (12%), Inggris (8%) dan Belanda (8%), Jerman (7%), dan

Perancis (7%). Selain itu, ekspor juga ditujukan ke negara-negara Italia, Belgia,

Spanyol, dan Australia.

Sebagai sentra industri mebel kayu di Indonesia, Kabupaten Jepara

mempunyai peranan yang sangat penting di dalam perekonomian nasional. Menurut

Roda

et al

(2007) industri mebel kayu yang terdapat di Jepara adalah 15.271 industri

dan menyerap tenaga kerja sebanyak 176.470 orang. Berdasarkan data BPS

Kabupaten Jepara tahun 2007, total perdagangan mebel dari Jepara untuk tahun 2007

mencapai 37.894.523,92 kg mebel dengan nilai produksi US$ 94.604.782,15.

Melihat kontribusi yang diberikan oleh industri mebel maka industri mebel

harus mendapatkan perhatian tidak hanya pada aspek pasar mebel kayu jati di Jepara

tetapi juga aspek pemasarannya. Tujuan dilaksanakannya penelitian ini adalah untuk

menganalisis keterkaitan manajemen usaha pengrajin terhadap keberlangsungan

industri mebel pengrajin, (2) menganalisis pasar (marjin pemasaran, struktur pasar,

dan rasio keuntungan terhadap biaya) dan pemasaran mebel kayu jati Jepara (saluran

pemasaran, preferensi konsumen dan preferensi produsen).

Pengumpulan data dilakukan secara survei. Data yang digunakan dalam

penelitian ini berasal dari data primer dan sekunder. Data primer dalam penelitian ini

dikumpulkan melalui wawancara langsung dengan para responden sedangkan data

sekunder diperoleh dari Badan Pusat Statistik, ASMINDO dan instansi-instansi

pemerintah atau lembaga-lembaga terkait lainnya. Langkah-langkah dalam

pengambilan sampel tergantung dari kelompok responden yang diambil. Analisis

data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif meliputi manajemen usaha pengrajin,

saluran pemasaran, marjin pemasaran, efisiensi pemasaran, struktur pasar, preferensi

konsumen dan preferensi produsen.

Berdasarkan hasil analisis pada penelitian ini diperoleh bahwa saluran

pemasaran yang banyak terdapat di Kabupaten Jepara adalah saluran pemasaran satu

tingkat (pengrjain-eksportir+gudang-konsumen) dan saluran pemasaran empat

(4)

(pengrajin-pengumpur/

broker-showroom

di luar Jepara+

finishing

-konsumen). Hasil

analisis marjin pemasaran yang dilakukan terhadap produk mebel kayu jati yang

umum terdapat di pasar (rak, set meja dan kursi tamu, lemari pajang dan meja makan)

memperlihatkan bahwa distribusi marjin pemasaran paling besar terdapat pada

lembaga pemasaran akhir. Hal ini karena adanya proses nilai tambah yang dilakukan

oleh lembaga pemasaran akhir tersebut. Besarnya sebaran marjin pemasaran tersebut

adalah rak (50%), set meja dan kursi tamu (60%), lemari pajangan (68%) dan meja

makan (63%). Adapun hasil analisis rasio keuntungan terhadap biaya yang dilakukan

pada masing-masing lembaga pemasaran diketahui bahwa nilai rasio tertinggi

terdapat pada pengumpul. Hal ini karena biaya yang dikeluarkan oleh pengumpul

lebih sedikit dari biaya yang dikeluarkan oleh pengrajin dan pemilik toko. Struktur

pasar yang terbentuk pada tingkat pengrajin dan pemilik toko/

showroom

berdasarkan

hasil perhitungan dengan menggunakan indeks Herfindahls adalah struktur pasar

persaingan monopolistik. Hal ini karena pada tingkat pengrajin dan toko/

showroom

,

pasar mebel kayu jati di Jepara tersegmentasi berdasarkan harga, produk dan lokasi.

Analisis yang dilakukan terhadap manajemen usaha pengrajin mebel kayu jati

Jepara memperlihatkan bahwa keberlangsungan usaha pengrajin dipengaruhi oleh

pengelolaan keuangan pengrajin dan manajemen produksi pengrajin. Para pengrajin

sering menggunakan uang dana operasional perusahaan untuk memenuhi kebutuhan

rumah tangga. Hal ini menyebabkan pengrajin mengalami kesulitan keuangan ketika

mendapatkan order. Manajemen produksi pengrajin pada penelitian ini ditinjau dari

bentuk kerjasama dengan pembeli, kemampuan menentukan harga dan negosiasi dan

pengrajin akses terhadap pembeli. Pengrajin yang menjalin kerjasama dengan

pembeli secara bebas akan memperoleh harga jual yang lebih rendah jika dijual pada

lembaga pemasaran pada tingkat yang sama. Rendahnya harga beli ini disebabkan

(1) adanya kekhawatiran dari pembeli terhadap kualitas mebel yang diperoleh selain

dari langganan mereka, (2) mebel yang dijual tidak mempunyai spesifik produk, (3)

mebel yang sejenis banyak diproduksi oleh pengrajin lain, dan (4) pembelian mebel

konsumen lebih sedikit dibandingkan dengan mebel yang diproduksi oleh pengrajin.

Sebaliknya mebel yang dijual secara berlangganan memperoleh harga jual yang pasti.

Para pemilik toko dan para pengumpul menyatakan dengan membeli secara

langganan maka kualitas mebel mereka akan terjaga sehingga kepercayaan konsumen

terhadap mebel mereka juga akan terjaga.

Para pengrajin mebel usaha skala kecil pada umumnya telah berinisiasi dalam

menentukan harga mebel dalam bernegosiasi. Namun terdapat hal-hal tertentu yang

menyebabkan pada akhirnya harga jual lebih ditentukan oleh pembeli atau pedagang

perantara yaitu kualitas mebel yang rendah, model yang sama, dan tidak adanya

bentuk kerjasama penjualan mebel. Adanya kebutuhan belanja rumah tangga yang

mendesak seringkali menyebabkan mebel juga dijual dengan harga yang murah.

Kemampuan para pengrajin mebel yang rendah dalam mengakses pembeli

selain disebabkan rendahnya kualitas sumber daya pengrajin juga karena tertutupnya

akses informasi pasar mebel dari tingkat pengumpul dan lembaga pemasaran lainnya.

Kerahasiaan ini dilakukan para pengumpul dan lembaga pemasaran lainnya dengan

tujuan untuk pertahankan kelangsungan usaha mereka. Selain itu lokasi para

pengrajin yang jauh dari pasar juga menyebabkan akses ke pembeli menjadi rendah.

(5)

Pada aspek pemasaran, terdapat beberapa tahapan proses yang dilakukan oleh

konsumen sebelum melakukan pembelian yaitu tahapan proses pengenalan

kebutuhan, pencarian informasi, evaluasi alternatif, proses pembelian dan perilaku

pascapembelian. Pada tahap pengenalan kebutuhan, motivasi pembelian mebel oleh

konsumen disebabkan mebel yang dimiliki oleh konsumen telah rusak dan manfaat

yang diinginkan adalah fungsi sesuai kebutuhan. Pada tahap pencarian informasi,

media yang banyak digunakan oleh konsumen untuk memperoleh informasi

mengenai mebel yang akan dibeli adalah bersumber dari keluarga/kolega. Evaluasi

alternatif dilakukan oleh konsumen terhadap kualitas dan harga mebel jati Jepara.

Pada umumnya konsumen lebih menyukai membeli mebel di toko yang terdapat di

sepanjang jalan. Adapun pertimbangan konsumen lebih disebabkan lokasi tersebut

mudah dijangkau oleh konsumen dan tersedianya banyak pilihan produk. Keputusan

konsumen dalam membeli mebel lebih bergantung kepada situasi yaitu hanya jika

produk mebel mereka telah rusak. Produk mebel jati Jepara yang paling disukai oleh

konsumen adalah set meja dan kursi tamu dengan harga lebih dari Rp 2.000.000.

Konsumen pada penelitian ini menyatakan puas terhadap mebel yang mereka beli dan

sebagian besar menyatakan akan kembali membeli mebel di tempat yang sama.

Ketidakpuasan konsumen disebabkan harga beli mebel tidak sesuai dengan kualitas

mebel dimana mebel tersebut seringkali terlihat retak-retak pada permukaan mebel

setelah beberapa bulan pembelian.

Hasil analisis terhadap atribut bauran pemasaran pada konsumen dan produsen

diketahui bahwa terdapat beberapa hal yang harus mendapat perhatian produsen

untuk meningkatkan pemasaran mebel kayu jati Jepara seperti tanggapan terhadap

keluhan setelah pembelian, harga mebel yang mahal, kemudahan memperoleh

produk, dan jaringan distribusi.

.

Kata Kunci: Pasar mebel kayu jati Jepara, manajeman usaha pengrajin, preferensi

konsumen dan preferensi produsen.

(6)

KASMALIA SARI. Marketing of Jepara Teak Furniture. Under direction of DODIK RIDHO NURROCHMAT and BAHRUNI.

Teak furniture has been a special product of Jepara District, Province of Central Java. It is not only contributed to foreign exchange revenue, but also it is stimulating national economic growth. Thus, it is important to obtain information about various aspects of teak furniture’s market including market channels, market margin, industrial management, and consumers and producers preference. The aims of this study are to analyze: (1) the financial management of small scale industries related to sustainability of their furniture industries. (2) management of small scale industries, (3) market channels, marketing margin, profit margin ratio, market structure, and consumer’s preference. This study was conducted through a survey method. Primary data were collected by direct interview, and then analyzed using quantitative and qualitative analyses. Secondary data were collected from several related institutions. The results show that: (1) small scale industries in Jepara have low capability in managing their financial and their production system, (2) there is a variability in marketing margin of the furniture product caused by additional operational cost at the broker level and additional production cost at the semi-finished product in furniture outlet, (3) the highest profit margin ratio is at the broker level because the broker spend less operational cost than the others (4) Market structure at small-scale industries and furniture outlet is monopolistic since it is characterised by segmented on price, product and location. There are some different preferences between producers and consumers in marketing mix strategy. The producers have to give more intention to: (1) complaint after buying, (2) high price of teak furniture, (3) availability of the product, (4) distribution of outlet/showroom.

Key word: teak furniture market, management of small scale enterprises,

(7)

©Hak cipta milik IPB, tahun 2010

Hak cipta dilindungi undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

(8)
(9)

NRP : E151070171

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Dodik Ridho Nurrochmat, M.Sc.F.Trop Ketua

Dr. Ir. Bahruni, M.S. Anggota

Diketahui Ketua Program Studi

Ilmu Pengelolaan Hutan

Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, M.S.

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Khairil A Notodiputro, M.S.

(10)

Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas segala karunia-Nya penulis mampu menyelesaikan karya ilmiah ini. Tema dari penelitian ini adalah “Pemasaran Mebel Kayu Jati Jepara”.

Penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada semua pihak yang banyak membantu dalam penyelesaian karya tulis ini yaitu:

1. Dr. Ir. Dodik Ridho Nurrochmat, M.Sc.F.Trop. dan Dr. Ir. Bahruni,M.S. selaku dosen pembimbing serta Dr. Ir. Budi Kuncahyo, M.S. selaku dosen penguji.

2. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor Departemen Manajemen Hutan yang telah banyak membantu dalam penyelesaian karya tulis ini

3. Departemen Kehutanan sebagai sponsor dan pimpinan Pusat Kerjasama Luar Negeri yang memberikan kepercayaan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang S2 ini.

4. Teman-teman IPH angkatan 2007 untuk kebersamaan, persahabatan serta bantuannya dalam penyelesaian karya tulis ini.

5. Toko mebel Anditya Furniture, Toko Cahaya Rumah, dan Bogor Trade Mall

serta toko yang lainnya atas fasilitas yang diberikan selama peneliti melakukan penelitian.

6. Papa, mama dan adik-adik serta seluruh keluarga khususnya suamiku tercinta Erwin Prasetyo, S.H. atas segala doa,kesabaran dan dukungannya selama ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat, Insya Allah. Penulis berharap, semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Amin.

Bogor, Pebruari 2010 Kasmalia Sari

(11)

Penulis dilahirkan di Medan, 6 Juni 1974 dari Papa H. Zainun Zainal dan Mama Hj. Syofnimar. Penulis menempuh dan menyelesaikan pendidikan SD, SMP dan SMA di Medan. Sementara itu, Pendidikan Sarjana Strata 1 ditempuh di Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor pada tahun 1992 dan lulus tahun 1998.

Penulis saat sekarang bekerja di Pusat Kerjasama Luar Negeri, Departemen Kehutanan. Selanjutnya pada tahun 2007 penulis melanjutkan pendidikan S2 pada program studi Ilmu Pengelolaan Hutan, Sekolah Pascasarjana IPB.

(12)

Halaman

DAFTAR ISI ...

xii

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ...

xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang ...

1

1.2. Perumusan Masalah ...

3

1.3. Tujuan Penelitian ...

5

1.4. Hipotesis ...

5

1.5. Manfaat Penelitian ...

5

1.6. Ruang Lingkup Penelitian ...

6

1.7. Kerangka Pemikiran ...

6

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Mebel ...

8

2.2. Sumber Bahan Baku Kayu ...

9

2.3. Pemasaran ...

10

2.4. Saluran dan Lembaga Pemasaran ...

11

2.5. Margin Pemasaran ...

13

2.6. Rasio Keuntungan Terhadap Biaya ...

14

2.7. Struktur Pasar ...

14

2.8. Preferensi Konsumen ...

16

3. METODE

3.1. Lokasi dan Waktu ...

21

3.2. Tehnik Pengumpulan Data ...

21

3.3. Analisis Data ...

22

3.3.1. Manajemen Usaha Pengrajin ...

22

3.3.2. Analisis Saluran Pemasaran ...

22

3.3.3. Analisis Marjin Pemasaran ...

22

3.3.4. Struktur Pasar ...

24

3.3.5. Rasio Keuntungan Terhadap Biaya ...

25

(13)

4.

KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

4.1 Kondisi Umum Kabupaten Jepara, Kota Bogor, Kabupaten Bogor dan

Kota Jakarta ...

28

4.2. Gambaran Umum Perusahaan ...

31

4.3. Karakteristik Responden ...

32

5. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Pemasaran Mebel Kayu Jati Jepara ...

39

5.1.1. Saluran Pemasaran ...

39

5.1.2. Analisis Marjin Pemasaran ...

42

5.1.3. Rasio Keuntungan Terhadap Biaya ...

43

5.1.4. Struktur Pasar ...

44

5.2. Manajemen Usaha Pengrajin ...

45

5.2.1. Pengelolaan Keuangan ...

45

5.2.2. Manajemen Perencanaan Sistem Produksi ...

47

5.3. Preferensi Konsumen ...

52

5.3.1. Pengenalan Kebutuhan ...

53

5.3.2. Mencari Informasi ...

55

5.3.3. Evaluasi Alternatif ...

57

5.3.4. Proses Pembelian ...

62

5.3.5. Perilaku Pasca Pembelian ...

69

5.4. Bauran Pemasaran Konsumen ...

71

5.4.1. Indeks Kepuasan Konsumen Terhadap Atribut Produk ...

71

5.4.2. Indeks Kepuasan Konsumen Terhadap Atribut Harga ...

73

5.4.3. Indeks Kepuasan Konsumen Terhadap Atribut Lokasi Penjualan

75

5.4.4. Indeks Kepuasan Konsumen Terhadap Atribut Promosi ...

76

5.5. Bauran Pemasaran Produsen ...

78

5.5.1. Indeks Kepuasan Konsumen Terhadap Atribut Produk ...

78

5.5.2. Indeks Kepuasan Konsumen Terhadap Atribut Harga ...

80

5.5.3. Indeks Kepuasan Konsumen Terhadap Atribut Lokasi Penjualan

81

5.5.4. Indeks Kepuasan Konsumen Terhadap Atribut Promosi ...

82

6.

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan ... 84

6.2. Saran ... 85

DAFTAR PUSTAKA

...

86

(14)

Halaman

1. Statistik kayu bulat tahun 2007 ...

10

2. Perkiraan margin keuntungan mebel kayu ...

14

3. Karakteristik struktur pasar ...

15

4. Rataan marjin pemasaran rak, set kursi tamu, lemari pajangan dan

meja makan ...

43

5. Distribusi sebaran marjin pemasaran rata-rata ...

43

6. Nilai indeks konsumen untuk atribut produk ...

72

7. Nilai indeks konsumen untuk atribut harga ...

73

8. Nilai indeks konsumen untuk atribut lokasi penjualan ...

76

9. Nilai indeks konsumen untuk atribut promosi ...

78

10. Nilai indeks produsen untuk atribut produk ...

80

11. Nilai indeks produsen untuk atribut harga ...

81

12. Nilai indeks produsen untuk atribut lokasi penjualan ...

82

(15)

Halaman

1. Nilai validitas ... 86

2. Hasil pengujian reabilitas ... 87

3. Nilai indeks Herfindahls pengrajin ... 88

4. Nilai indeks Herfindahls showroom/toko ... 89

(16)

1.1. Latar Belakang

Industri perkayuan mempunyai peranan yang sangat penting terhadap

perolehan devisa dan pembangunan ekonomi negara. Perkembangan industri

kayu di Indonesia dimulai pada tahun 1970-an dengan mengekspor log. Pada awal tahun 1980-an, industri perkayuan berkembang ke arah industri pengergajian. Pada pertengahan tahun 1980-an pemerintah melarang ekspor log dan kayu gergajian yang mendorong tumbuhnya industri kayu olahan. Namun krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1998 menyebabkan industrti kayu olahan menjadi kurang berkembang. Hal ini disebabkan oleh kurang tersedianya bahan baku (Nurrochmat et al. 2008).

Sejalan dengan penurunan ketersediaan bahan baku untuk industri dan meningkatnya biaya tenaga kerja pada industri berbasis kayu, mebel kayu merupakan industri kecil yang berpeluang untuk dikembangkan yang tidak hanya diharapkan untuk memperoleh devisa tetapi juga akan menstimulasi pertumbuhan ekonomi nasional karena memiliki nilai tambah yang tinggi, mempunyai keterkaitan yang cukup kuat dengan sektor lain, menciptakan lapangan kerja, memiliki pertumbuhan pasar yang baik, dan berdaya saing cukup tinggi. Berdasarkan data statistik tahun 2000 – 2005 industri mebel memberikan kontribusi sebesar 17% terhadap penerimaan negara. Pada tahun 2005 ekspor mebel mencapai US$ 1,78 milyar (ASMINDO dalam Departemen Kehutanan 2007a) dengan rincian mebel kayu 75%, mebel rotan 20% dan mebel dari logam atau plastik 5%. Ekspor dari mebel kayu memberikan kontribusi sebesar 2,6% terhadap total pertumbuhan, dimana Indonesia berada pada peringkat ke-11 dari 20 besar eksportir mebel dunia. Negara tujuan ekspor mebel Indonesia yang utama adalah Amerika Serikat (37%), Jepang (12%), Inggris (8%) dan Belanda (8%), Jerman (7%), dan Perancis (7%). Selain itu, ekspor juga ditujukan ke negara-negara Italia, Belgia, Spanyol, dan Australia.

Menurut data ASMINDO (2008) ekspor mebel dari Indonesia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Statistik UN COMTRADE (2008) memperlihatkan peningkatan nilai perdagangan mebel kayu dari tahun 2003

(17)

sampai tahun 2007. Pada tahun 2007 nilai perdagangan yang diperoleh dari mebel kayu adalah sebesar US$ 1.100.910.720. Jumlah ini lebih besar dari nilai perdagangan mebel tahun 2006 (US$ 1.051.207.049).

Gambar 1. Nilai perdagangan mebel kayu indonesia tahun 2003 – 2007 (US$) Sumber: Data Statistik UN COMTRADE (Mebel dengan kode HS 1996)1

Sebagai sentra industri mebel kayu di Indonesia, Kabupaten Jepara mempunyai peranan yang sangat penting di dalam perekonomian nasional. Menurut Roda et al. (2007) industri mebel kayu yang terdapat di Jepara adalah 15.271 industri dan menyerap tenaga kerja sebanyak 176.470 orang. Berdasarkan data BPS Kabupaten Jepara tahun 2007, total perdagangan mebel dari Jepara untuk tahun 2007 mencapai 37.894.523,92 kg perabotan dengan nilai produksi US$ 94.604.782,15.

Loebis dan Schmitz (2005) menyatakan bahwa industri mebel kayu adalah salah satu industri yang sanggup bertahan ketika terjadi krisis ekonomi tahun 1997. Hal ini diketahui dari pertumbuhan industri mebel kayu Jepara dan peningkatan penyerapan tenaga kerja. Jumlah industri mebel kayu pada tahun 1997 sebanyak 2.439. Jumlah industri pada tahun 2007 meningkat menjadi 3.710 (Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi Kabupaten Jepara, 2008). Begitu juga dengan jumlah tenaga kerja pada tahun 1997 sebanyak 38.264 tenaga kerja meningkat menjadi 49.192 tenaga kerja pada tahun 2007. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Roda et al (2007) memberikan hasil yang berbeda, dimana jumlah

1

kode HS1996 (furniture, woodes, nes (940360); Office furniture, wooden, nes (940330); bedroom furniture, wooden, nes (940350); kitchen furniture, wooden, nes (940340)

(18)

industri dan tenaga kerja pada tahun 2002 adalah sebanyak 12.000 industri dan 140.000 tenaga kerja. Pertumbuhan industri mebel kayu pasca krisis ekonomi memberikan kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi nasional.

Melihat kontribusi yang diberikan oleh industri mebel maka industri mebel harus mendapatkan perhatian tidak hanya pada aspek pasar mebel kayu jati di Jepara tetapi juga aspek pemasarannya. Pada aspek pasar mebel kayu jati Jepara yang perlu diketahui adalah saluran pemasaran mebel kayu jati, marjin pemasaran, struktur pasar dan rasio keuntungan terhadap biaya. Dalam kaitannya dengan pemasaran mebel kayu Jepara, hal lain yang perlu diketahui adalah preferensi konsumen rumah tangga terhadap mebel kayu Jepara. Selain itu, penelitian ini juga akan menganalisis manajemen usaha pengrajin.

1.2. Perumusan masalah

Secara umum, permasalahan yang dihadapi industri kayu Jepara dapat dibedakan menjadi dua kategori, yaitu masalah internal dan masalah eksternal. Masalah internal yang terdapat pada pengrajin adalah perilaku pengrajin dalam mengelola keuangan yang mengakibatkan pengrajin mengalami kesulitan modal untuk kelangsungan usaha jangka panjang. Masalah internal lainnya adalah ketidakmampuan pengrajin dalam mencari informasi untuk mengembangkan pasar. Ketidakmampuan ini mengakibatkan pengrajin tidak bisa mengantisipasi perubahan-perubahan yang terjadi, dimana perubahan harga mebel di tingkat pengrajin jauh lebih rendah dari perubahan harga di tingkat lembaga pemasaran akhir. Lembaga pemasaran yang sekaligus melakukan kegiatan finishing pada produk akhir memperoleh keuntungan tertinggi yaitu antara 22% sampai 75% (Nurrochmat et al. 2008; Purnomo 2006) sedangkan pengrajin hanya memperoleh keuntungan antara 4% sampai 15% (Nurrochmat et al. 2008; Purnomo 2006).

Permintaan mebel yang tinggi telah mendorong pertumbuhan industri mebel dan industri pendukung mebel. Kondisi ini menyebabkan banyak pelaku baru memasuki usaha industri mebel. Keadaan ini didukung dengan terjadinya krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997 yang mengakibatkan peningkatan nilai dollar terhadap rupiah dan peningkatan keuntungan dari ekspor. Sesuai dengan teori harga, peningkatan harga menyebabkan banyak pelaku-pelaku baru

(19)

memasuki industri tersebut sehingga pada satu sisi mencerahkan dunia usaha mebel. Namun disisi lain menyebabkan harga produk menjadi tereduksi disebabkan terjadinya persaingan di antara sesama produsen.

Loebis dan Schmitz (2005) menyatakan jumlah industri mebel mengalami peningkatan dari 2.439 industri pada tahun 1997 menjadi 12.000 industri pada tahun 2007 (Roda et al. 2007). Perkembangan industri mebel ini mengakibatkan tingkat persaingan yang semakin tinggi antara industri mebel kayu Jepara dengan industri mebel kayu non Jepara. Seiring dengan kenaikan suplai mebel menyebabkan harga-harga mebel menjadi tereduksi. Bahkan dampak yang diakibatkan oleh kelebihan suplai mebel juga menyebabkan keuntungan yang diperoleh pengrajin mebel menjadi sedikit. Selain itu terdapat juga pengrajin yang menutup usaha mebelnya disebabkan keuntungan yang diperoleh tidak dapat menutupi biaya produksi. Hal ini juga dipengaruhi oleh kenaikan harga bahan baku yang mencapai 70% tetapi kenaikan harga mebel hanya 30%. Penjelasan permasalahan di atas merupakan permasalahan eksternal yang terdapat pada industri mebel kayu Jepara. Masalah eksternal lainnya adalah produksi pengrajin yang berbasis order dari pedagang perantara. Pola produksi pengrajin yang berbasiskan order mengakibatkan pola produksi intermetan atau tidak kontinue sehingga volume produksi pengrajin tergantung pada perkembangan permintaan. Keadaan ini menimbulkan tidak adanya suatu pola manajemen bahan baku dalam mengantisipasi perkembangan permintaan. Pada sistem ini pengrajin tidak berada pada posisi tawar yang kuat dalam menentukan harga. Jumlah pengrajin yang banyak menyebabkan pembeli mempunyai banyak pilihan terhadap pengrajin lainnya, jika pengrajin yang dituju tidak sepakat dengan harga yang ditawarkan. Adanya desakan kebutuhan ekonomi menyebabkan pengrajin menerima harga yang ditetapkan oleh pembeli atau pedagang perantara.

Keberhasilan pemasaran mebel tidak terlepas dari penguasaan produsen terhadap preferensi konsumen. Tingkat persaingan yang tinggi di sektor mebel mengharuskan produsen untuk mengetahui keinginan konsumen. Kepuasan konsumen terhadap suatu produk mebel dari Jepara akan berujung kepada peningkatan pangsa pasar dari mebel tersebut. Untuk tetap dapat mempertahankan pangsa pasar mebel kayu Jepara, maka produsen harus

(20)

menerapkan satu strategi untuk menarik minat konsumen membeli produk mebel kayu dari Jepara. Produsen harus senantiasa memahami konsumen, mengetahui apa yang dibutuhkan konsumen, selera konsumen dan bagaimana mengambil keputusan sehingga perusahaan mampu mengambil strategi yang tepat untuk memberikan kepuasan kepada konsumen.

Berdasarkan kendala-kendala internal dan eksternal, yaitu kendala manajemen usaha pengrajin, kendala pasar dan kendala pemasaran sebagaimana yang diuraikan tersebut di atas, diperlukan langkah penyesuaian agar industri mebel dapat bertahan dan berkembang serta dapat mendukung perekonomian rumah tangga pengrajin.

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah tersebut di atas maka penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menganalisis keterkaitan manajemen usaha pengrajin terhadap keberlangsungan industri mebel pengrajin.

2. Menganalisis pasar (margin pemasaran, struktur pasar, dan rasio keuntungan terhadap biaya) dan pemasaran produk mebel (saluran pemasaran, preferensi konsumen dan preferensi produsen).

1.4. Hipotesis

Hipotesis dari penelitian ini adalah:

1. Kekurangtepatan manajemen usaha pengrajin mebel jati mengakibatkan terhambatnya perkembangan industri mebel.

2. Perubahan-perubahan yang perlu dilakukan dalam pasar dan pemasaran akan dapat mendorong perkembangan industri mebel kayu jati sehingga pengrajin mempunyai kesempatan untuk berkembang dan bertahan.

1.5. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran bagi pengambil kebijakan dalam merencanakan, membentuk dan mengevaluasi sistem

(21)

pemasaran mebel kayu jati Jepara dalam rangka meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan pengrajin.

1.6. Ruang Lingkup Penelitian

Aspek yang dipelajari dalam penelitian ini meliputi semua unsur-unsur di dalam bisnis mebel yang mencakup manajemen usaha pengrajin, pasar (margin pemasaran, struktur pasar, dan rasio keuntungan terhadap biaya), dan pemasaran (saluran pemasaran, preferensi konsumen dan preferensi produsen) dengan batasan penelitian sebagai berikut :

1. Lokasi penelitian untuk manajemen usaha pengrajin dan pasar mebel kayu jati meliputi pengrajin mebel jati, toko mebel dan eksportir mebel di Kabupaten Jepara. Sedangkan lokasi penelitian preferensi konsumen dilakukan di Bogor dan Jakarta.

2. Lingkup pelaku pemasaran mebel kayu meliputi pengrajin, pedagang pengumpul, toko/showroom di Jepara dan di luar Jepara.

1.7. Kerangka Pemikiran

Industri mebel kayu jati Jepara memberikan konstribusi yang cukup besar tidak hanya untuk perekonomian kabupaten Jepara tetapi juga untuk perekonomian nasional. Perkembangan industri mebel kayu jati Jepara dan tingginya tingkat persaingan menyebabkan produksi mebel menjadi berkurang seiring dengan menurunnya tingkat keuntungan yang diperoleh pengrajin. Analisis manajemen usaha pengrajin meliputi analisis pengenai pengelolaan keuangan pengrajin dan analisis perencanaan produksi pengrajin. Adapun analisis pasar berupa analisis margin pasar, rasio keuntungan terhadap biaya dan struktur pasar. Untuk pemasaran produk mebel dilakukan dengan menganalisis saluran pemasaran, preferensi konsumen dan preferensi produsen. Keseluruhan hasil analisis ini akan dipergunakan untuk mengembangkan usaha pengrajin mebel kayu jati Jepara.

Kerangka pemikiran dari penelitian Pemasaran Mebel Kayu Jati Jepara seperti terlihat pada Gambar 2.

(22)

Gambar 2. Bagan kerangka pemikiran penelitian pemasaran mebel kayu Jepara Pedagang Kayu Pengrajin Lembaga pemasaran: - Pengumpul - Toko/showroom - Eksportir Konsumen akhir Pengembangan usaha pengrajin mebel A ru s p er m in ta an P re fe re n si k o n su m en d an p re fe re n si p ro d u se n A ru s d is tr ib u si p ro d u k -s tr u k tu r p as ar -m ar g in p em as ar an -r as io k eu n tu n g an te rh ad ap b ia y a -m an aje m en u sa h a p en g ra ji n Analisis :

- pemasaran (marketing mix) - potensi pasar dan struktur

pasar

- manajemen usaha pengrajin

K o n d is i sa at in i

(23)

2.1. Mebel

Kata mebel atau furnitur di dalam Kamus Bahasa Indonesia adalah perabot yang diperlukan, berguna, atau disukai, seperti barang-barang yang dipindah-pindah, digunakan untuk melengkapi rumah dan kantor (Anonim 2009).

Indonesia dikenal sebagai salah satu negara eksportir mebel terbesar di dunia. Pada awal tahun 2000, Indonesia masuk dalam urutan ke 15 diantara eksportir mebel di dunia. Data dari Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) dalam USAID (2007) menunjukkan pada tahun 2006 posisi ekspor produk mebel Indonesia di dunia berada pada peringkat 8 dengan urutan dari peringkat tertinggi Cina, Kanada, Meksiko, Italia, Vietnam, Malaysia, dan Taiwan.

Industri mebel telah memberikan kontribusi yang cukup besar dalam perekonomian nasional, dimana perkembangan ekspor mebel Indonesia tahun 2001 sampai dengan 2006 menunjukkan trend meningkat. Pada tahun 2004 nilai ekspor mebel Indonesia mencapai US$ 1,129,502,649 dan meningkat menjadi US$ 1,326,300,209 pada tahun 2005. Pertumbuhan nilai ekspor mebel Indonesia dari tahun 2004 dan 2005 sebesar 6,14%. Sedangkan rata-rata pertumbuhan nilai ekspor tersebut selama 6 tahun sebesar 7,37% (USAID 2007).

Usaha mebel telah lama dikenal di Indonesia dan merupakan budaya turun-temurun. Kabupaten Jepara merupakan sentra industri mebel di Indonesia. Industri permebelan ini didominasi oleh Usaha Kecil dan Menengah (UKM)

dengan sistem home industry yang bekerjasama dengan industri - industri besar.

Penyerapan tenaga kerja per US$ 100 investasi adalah yang terbanyak diantara seluruh sektor industri kehutanan (Departemen Kehutanan 2007).

Kebutuhan bahan baku kayu industri mebel dan kerajinan adalah sekitar 7 –

7,5 juta m3 per tahun dan umumnya jenis kayu jati, mahoni, pinus, acasia,

gmelina, durian, mangga, mbacang, kuweni, bungur, sonokeling, mindi, waru, kayu karet dan sebagian kecil kayu-kayu yang berasal dari hutan alam, seperti

meranti, nyatoh, bangkirai, kempas (Departemen Kehutanan 2007).

(24)

permintaan bahan baku kayu. Kebutuhan bahan baku kayu untuk industi mebel di

Jepara adalah sebanyak 1.5 juta – 2.2 juta m3 (Roda et al. 2007). Kebutuhan ini

melebihi kemampuan produksi log oleh Departemen Kehutanan untuk Pulau Jawa yaitu sebesar 923.632 m3 pada tahun 2004. Permintaan bahan baku kayu diperkirakan meningkat drastis sehubungan dengan peningkatan jumlah industri mebel sebanyak 15.271 pada tahun 2007.

Seiring dengan pertumbuhan industri mebel kayu Jepara maka industri pendukung juga bertambah banyak. Roda et al. (2007) menyatakan bahwa perusahaan mebel di Jepara mempunyai satu atau lebih perusahaan mitra. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat satu atau lebih lembaga pemasaran mebel yang terdapat di Jepara. Lebih lanjut dinyatakan bahwa jumlah perusahaan yang terkait dengan pembuatan mebel di Jepara berdasarkan kegiatan ekonomi dan ukuran terdiri atas bengkel, ruang pamer, tempat penimbunan kayu, tempat penggergajian kayu, gudang dan toko perlengkapan mebel. Berdasarkan struktur produksi perusahaan di Jepara dikategorikan dalam tiga kelompok yaitu: (1) perusahaan terpadu, yang menghasilkan produk jadi atau produk setengah jadi dari kayu bulat yang belum diolah, (2) perusahaan (tempat penimbunan kayu dan tempat penggergajian kayu) yang berfokus pada pengolahan awal bahan baku dan menghasilkan kayu gergajian untuk keperluan pihak ketiga, (3) bengkel yang menggunakan kayu gergajian serta berbagai komponen dan menghasilkan produk jadi. Selain hal tersebut di atas, industri yang terkait dengan mebel Jepara juga dilihat berdasarkan sumber bahan kayu, yaitu: (1) bengkel yang memperoleh bahan baku secara langsung dari luar Jepara dan (2) bengkel yang memperoleh bahan baku secara tidak langsung dengan membelinya dari tempat penimbunan kayu atau penjual di Jepara. Pada umumnya, kelompok kedua tidak mempunyai modal yang cukup untuk membeli semua kayu bulat yang diperlukannya sehingga mereka mendapatkan pinjaman dari pembelinya.

2.2. Sumber Bahan Baku Kayu

Produksi mebel kayu Jepara dipengaruhi oleh ketersediaan bahan baku kayu. Sumber bahan baku kayu secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu kayu yang berasal dari Perum Perhutani dan hutan rakyat. Kayu yang

(25)

berasal dari Perum Perhutan seperti Jati dan Mahoni. Sementara, kayu yang berasal dari hutan rakyat sangat beragam seperti kayu mangga, durian dan lain-lain. Selain dari daerah Jepara terdapat juga kayu yang berasal dari luar Jepara diantaranya seperti dari Yogyakarta, Cepu, dan Wonogiri (Roda et al. 2007).

Berdasarkan data statistik Departemen Kehutanan (2008), produksi kayu bulat yang dihasilkan oleh Provinsi Jawa Tengah untuk jati adalah sebanyak 186.613 m3 dan untuk mahoni sebanyak 21.200 m3 (Tabel 1). Produksi kayu bulat Provinsi Jawa Barat dan Banten untuk jenis jati adalah 137.173 m3 dan mahoni 16.180 m3. Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta menghasilkan kayu bulat jati sebanyak 1.229 m3. Data statistik Dinas Kehutanan Kabupaten Jepara (2008) menyatakan bahwa jumlah produksi kayu di Kabupaten Jepara adalah sebesar 21.841,5 m3. Produksi hasil hutan tersebut berasal dari hutan rakyat, yang terdiri dari jati (135.7803 m3), mahoni (2.255,2 m3), sengon (10.102,6 m3) dan jenis lain (9.347,9 m3). Adapun produksi kayu yang berasal dari Perhutani untuk kayu jati adalah 491.262m3 dan kayu mahoni sebanyak 51.202m3.

Tabel 1 Statistik kayu bulat tahun 2007

No Provinsi Jenis Kayu Bulat Realisasi (m3) Keterangan

1 Jawa Barat dan Banten

Jati 137.173 Sumber: Perum Perhutani Unit III

Mahoni 16.180

2 Jawa Tengah Jati 186.613 Sumber: Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah

Mahoni 21.200

3 Daerah Istimewa Yogyakarta

Jati 1.229 Sumber: Dinas Kehutanan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

4 Jawa Timur Jati 191.269 Sumber: Perum Perhutani Unit III

Mahoni 14.543

Jumlah 568.207

Sumber: Statistik Departemen Kehutanan (2008)

2.3. Pemasaran

Menurut Kotler dan Keller (2007) pemasaran adalah suatu proses sosial dan manajemen, dimana individu-individu atau kelompok dapat memenuhi kebutuhan

(26)

dan keinginannya melalui pembuatan dan pertukaran suatu produk dan uang dengan individu-individu atau kelompok-kelompok lainnya. Sudiyono (2002) menyatakan bahwa pemasaran di dalam pertanian adalah proses aliran barang dari produsen ke konsumen yang terjadi di dalam pasar, dimana terjadi penambahan guna bentuk melalui proses pengolahan, guna tempat melalui proses pengangkutan dan guna waktu melalui proses penyimpanan.

Pemasaran menurut Bell (1996) dalamSudiyono (2002) merupakan bagian manajemen yang diterapkan secara strategis dalam perencanaan, pengaturan dan pengawasan dengan motivasi untuk mencapai keuntungan dengan jalan memenuhi kebutuhan konsumen secara baik dengan melakukan integrasi ke belakang (backward linkage) maupun integrasi ke depan (forward linkage). Integrasi usaha ke belakang pada umumnya bertujuan untuk menjamin ketersediaan bahan baku, sedangkan integrasi ke depan lebih menekankan aspek pemasaran.

2.4. Saluran dan Lembaga Pemasaran

Kotler dan Keller (2007) mendefinisikan saluran pemasaran sebagai suatu serangkaian organisasi yang saling tergantung, yang terlibat dalam proses untuk menjadikan suatu produk barang dan jasa siap untuk digunakan atau dikonsumsi. Sebuah saluran pemasaran melaksanakan tugas memindahkan barang dari produsen ke konsumen. Saluran pemasaran tersebut bertujuan untuk mengatasi kesenjangan waktu, tempat dan kepemilikan yang memisahkan barang dan jasa dari orang-orang yang membutuhkan.

Limbong dan Sitorus (1987) menyatakan bahwa di dalam saluran pemasaran terdapat lembaga-lembaga pemasaran yaitu badan-badan atau lembaga baik perorangan maupun kelembagaan, yang berusaha dalam bidang pemasaran yang menggerakkan barang dari titik produsen sampai ke titik konsumen melalui penjualan. Lebih lanjut dinyatakan bahwa dalam memilih saluran pemasaran, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan, seperti :

1. Pertimbangan pasar yang meliputi konsumen sebagai sasaran akhir, yaitu mencakup potensi pembeli, geografi pasar, kebiasaan membeli dan volume pesanan.

(27)

2. Pertimbangan produk yang meliputi nilai barang per unit, berat barang, tingkat kesukaran, sifat teknis barang, apakah barang tersebut memenuhi pesanan dan pasar.

3. Pertimbangan internal perusahaan yang meliputi besarnya modal dan sumber permodalan, pengalaman manajemen, pengawasan, penyaluran dan pelayanan. 4. Pertimbangan terhadap lembaga dalam rantai pemasaran yaitu kesesuaian

lembaga perantara dengan kebijaksanaan perusahaan.

Selain pertimbangan tersebut di atas, banyaknya tingkat saluran pemasaran juga merupakan hal yang perlu menjadi bahan pertimbangan di dalam memilih saluran pemasaran. Panjangnya suatu saluran pemasaran ditentukan oleh banyaknya tingkat perantara yang dilalui oleh suatu barang dan jasa. Tingkat saluran pemasaran tersebut sebagai berikut:

1. Saluran non tingkat (zero level channel) atau dinamakan sebagai saluran pemasaran langsung, adalah saluran dimana produsen atau pabrikan langsung menjual produknya ke konsumen.

2. Saluran satu tingkat (one level channel) adalah saluran yang menggunakan satu perantara.

3. Saluran dua tingkat (two level channel), saluran yang mempunyai dua perantara

4. Saluran tiga tingkat (three level channel), saluran dengan 3 perantara.

Lembaga-lembaga pemasaran yang terdapat pada saluran pemasaran biasanya terdiri atas produsen, tengkulak, pedagang pengumpul, broker, eksportir, importir atau lainnya. Adanya lembaga pemasaran ini di negara berkembang memperlihatkan lemahnya pemasaran pertanian, dimana kompetisi pasar yang terjadi akan menentukan mekanisme pasar (Soekartiwi 1993).

Saluran pemasaran mebel kayu Jepara dilihat dari aspek bahan baku dan aspek produk mebel. Saluran pemasaran kayu untuk bahan baku mebel kayu di Pulau Jawa pada umumnya dapat terjadi secara langsung dan tidak langsung. Saluran pemasaran langsung terdapat pada industri skala besar yang langsung membeli kayu dari Perum Perhutani atau dari hutan rakyat. Sebaliknya industri skala kecil membeli log atau kayu gergajian dari agen atau middlemen. Pembelian kayu jati dari Perum Perhutani dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu (1)

(28)

pembelian langsung di tempat penimbunan kayu, (2) penawaran di tempat penimbunan kayu, (3) penjualan berdasarkan kontrak, dan (4) penjualan dalam bentuk kayu gergajian atau produk lain.

Pada umumnya rumah tangga membeli mebel kayu melalui lembaga pemasaran seperti outlet/toko mebel (59%), pesan langsung dari pengrajin (25%), lembaga pemasaran lain (14%) dan pameran mebel (2%). Berdasarkan data tersebut di atas, outlet atau toko mebel adalah lembaga pemasaran yang paling efektif untuk menjual mebel kayu di Indonesia. Pemasaran melalui pameran mebel lebih difokuskan untuk konsumen kelas atas dan biasanya terdapat di kota-kota besar. Produk mebel yang dibeli toko mebel diperoleh melalui beberapa cara, yaitu membeli langsung di industri skala kecil (35%), membuat sendiri (27%), diperoleh dari agen khusus untuk mebel pabrikan (23%), dan pesanan khusus (15%) (Departemen Kehutanan 2007a).

2.5. Marjin Pemasaran

Marjin pemasaran merupakan selisih harga yang dibayarkan oleh konsumen dan harga yang diterima oleh produsen (Sudiyono 2002). Tomek dan Robinson (1977) dalam Sallatu (2006) serta Friendman (1962) dalam Sudiyono (2002) mendefinisikan marjin pemasaran sebagai berikut: (1) marjin pemasaran merupakan perbedaan harga antara produsen dengan konsumen, dan (2) marjin pemasaran merupakan kumpulan balas jasa yang diterima oleh lembaga pemasaran. Berdasarkan definisi yang pertama, Limbong dan Sitorus (1987) menyatakan bahwa marjin pemasaran terdiri dari biaya pemasaran dan keuntungan pemasaran. Pada definisi kedua membawa konsekuensi berbeda, dimana jasa penawaran sering dikaitkan dengan penambahan utility dari guna bentuk (form utility), guna tempat (place utility), guna waktu (time utility) serta guna kepemilikan (possesion utility). Penentuan distribusi marjin pemasaran dilakukan untuk mengetahui berapa persen bagian total marjin yang digunakan masing-masing lembaga pemasaran ke-i (Sudiyono 2002).

Marjin keuntungan yang terdapat pada lembaga-lembaga pemasaran mebel kayu memiliki nilai yang berbeda antara satu lembaga pemasaran dengan lembaga pemasaran yang lain. Nurrochmat et al. (2008) menyatakan bahwa marjin

(29)

keuntungan tertinggi terdapat pada industri pengolahan akhir atau penjual akhir yaitu sebesar 75% sedangkan marjin keuntungan paling kecil terdapat pada lembaga pemasaran berupa outlet. Perkiraan marjin pemasaran pada lembaga pemasaran mebel kayu sebagaimana tertera pada Tabel 2.

Tabel 2 Perkiraan marjin keuntungan mebel kayu Lembaga Pemasaran Perkiraan Marjin

Keuntungan (%)

Perkiraan rata-rata marjin keuntungan (%) Terendah Tertinggi

Lembaga penjual (outlet) 5 25 15

Lembaga pemasaran produk bermerek

10 30 20

Lembaga pemroses akhir dan penjual akhir

50 100 75

Sumber: Nurrochmat et al. 2008

Pada tabel di atas, mebel kayu mempunyai interval marjin pemasaran yang panjang, antara 5% sampai 100%. Level marjin pemasaran dipengaruhi oleh jenis aktifitas pasar dari masing-masing aktor. Jika aktifitas dari aktor atau outlet adalah menjual (penjual), marjin pasar hanya akan menjadi 5% - 25%. Hal senada juga dinyatakan oleh Purnomo (2006) dimana marjin keuntungan terbesar diperoleh eksportir (21,9%). Sementara produsen mebel sebagai pembuat mebel hanya memperoleh marjin keuntungan sebesar 3,6%.

2.6. Rasio Keuntungan Terhadap Biaya

Penilaian rasio keuntungan terhadap biaya dilakukan untuk mengetahui distribusi keuntungan yang terdapat pada masing-masing lembaga pemasaran.

2.7. Struktur Pasar

Struktur pasar penting diketahui untuk melihat bagaimana kekuatan pasar dalam sistem pemasaran. Struktur pasar adalah suatu dimensi yang menjelaskan pengambilan keputusan oleh perusahaan, jumlah perusahaan dalam suatu pasar, konsentrasi pasar, jenis-jenis dan diferensiasi produk serta syarat masuk pasar.

Struktur pasar suatu komoditas yang diperjualbelikan akan menentukan pembentukan harga suatu komoditas bagi setiap lembaga pemasaran sehingga

(30)

hubungan harga yang diterima produsen dan harga yang harus dibayar konsumen akhir akan menentukan seberapa besar marjin pemasarannya.

Menurut Hammond dan Dahl (1997) dalam Setyawan (2002) struktur pasar ditentukan oleh empat karakteristik pasar, yaitu jumlah dan ukuran perusahaan, pandangan pembeli terhadap sifat produk, kondisi keluar masuk pasar, tingkat pengetahuan seperti biaya, harga dan kondisi pasar di antara partisipan. Karakterisik yang membedakan struktur pasar disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Karakteristik struktur pasar

Karakteristik Struktur Pasar

Jumlah Pembeli atau Penjual

Sifat Produk Sudut Pandang Pembeli

Sudut Pandang Penjual Banyak Homogen Pasar Persaingan

Murni

Pasar Persaingan Murni

Banyak Terdiferensiasi Pasar Persaingan Monopolistik

Pasar Persaingan Monopolistik Sedikit Homogen Oligopoli Murni Oligopsoni Murni Sedikit Terdiferensiasi Oligopoli

terdiferensiasi

Oligopsoni terdiferensiasi

Satu Unik Monopoli Monopsoni

Struktur pasar industri mebel kayu berbeda dengan struktur pasar pada bahan baku kayu untuk mebel. Perum Perhutani yang memiliki peranan utama dalam menyediakan bahan baku kayu berupa jati dan mahoni menyebabkan struktur pasar lebih bersifat monopoli. Hal yang berbeda terjadi pada strukur pasar mebel kayu. Tingginya tingkat pertumbuhan mebel kayu Jepara menyebabkan pasar mebel menjadi lebih bersaing. Struktur pasar yang terdapat pada industri mebel kayu dapat diklasifikasikan atas struktur pasar bersaing sempurna dan struktur pasar bersaing monopolistik. Struktur pasar persaingan monopolistik terbentuk disebabkan banyaknya penjual dan pembeli mebel kayu, dimana masing-masing pembeli dan penjual tersegmentasi pada model, kualitas dan harga mebel tertentu. Adapun segmentasi konsumen mebel adalah rumah tangga (64%), perusahaan (14%), lembaga pemerintah (17%), dan lain-lain (5%) (Nurrochmat et al. 2008).

(31)

2.8. Preferensi konsumen

Menurut Kotler dan Keller (2007) preferensi konsumen merupakan suatu proses pilihan suka atau tidak suka oleh konsumen terhadap suatu produk (barang dan jasa) yang dikonsumsi. Sedangkan Assael (1992) menyatakan bahwa preferensi konsumen terbentuk dari persepsi konsumen terhadap produk. Persepsi yang telah mengendap dan melekat dalam pikiran akan menjadi preferensi. Persepsi dapat dipengaruhi oleh rangsangan dari produk tersebut dan rangsangan yang berasal dari simbol, kesan, dan informasi tentang produk.

Preferensi konsumen terhadap produk barang dan jasa dapat diukur dengan model pengukuran yang dapat menganalisis hubungan antara produk yang dimiliki konsumen dan sikap atas produk sesuai dengan ciri atau atribut produk.

Menurut Supranto (1991) perubahan preferensi konsumen disebabkan oleh faktor-faktor seperti adanya kegiatan advertensi, pendapatan yang berbeda dengan waktu sebelumnya karena kenaikan gaji atau upah, dan karena adanya barang-barang baru yang masuk di pasar. Perubahan-perubahan tersebut disebabkan kesempatan yang lama hilang dan muncul kesempatan-kesempatan yang baru.

Kotler dan Keller (2007) menyarankan menggunakan 4 P penjualan untuk mengetahui preferensi konsumen terhadap costumer needs and wants, cost to the costumer, convenience, dan communication (4C) atau yang disebut kebutuhan dan biaya konsumen, kepuasan konsumen dan komunikasi terhadap konsumen suatu produk. Konsep 4P ini lebih dikenal dengan bauran pemasaran (marketing mix) yaitu perencanaan produk (product planning), distribusi (place), harga (price), dan promosi (promotion) (Kotler dan Keller 2007). Empat P menggambarkan pandangan penjual tentang alat pemasaran yang tersedia untuk mempengaruhi pembeli (Gambar 3).

Menurut Barners (2000) dalam Kaplinsky dan Morris (2000), penelitian terhadap preferensi konsumen sebaiknya diikuti dengan penilaian terhadap preferensi produsen. Adapun tujuannya adalah untuk menyatukan antara keinginan konsumen dan keinginan produsen. Pada umumnya terdapat perbedaan antara preferensi konsumen dan preferensi produsen. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa perusahaan kurang memperhatikan faktor lokasi, fasilitas kredit, proses inovasi, dan kemasan yang menjadi keinginan konsumen dalam

(32)

pemasaran produk. Sebaliknya produsen telah mengakomodir keinginan konsumen terkait dengan kualitas produk, harga, pemesanan, dan conformance to standard.

Gambar 3 4 P dalam bauran pemasaran (Kotler dan Keller 2007)

2.8.1 Preferensi Konsumen Terhadap Produk

Assael (1992) menyatakan produk adalah sesuatu yang kompleks, baik dapat diraba maupun tidak dapat diraba, termasuk kemasan, warna, harga, prestise, layanan perusahaan dan pengecer yang diterima oleh pembeli untuk memuaskan konsumen.

Sebelum memutuskan untuk membeli atau tidak membeli barang, menurut Kotler dan Keller (2007) terdapat lima faktor yang menjadi pertimbangan

Produk (Product) Keragaman produk Kualitas Design Ciri Nama merek Kemasan Ukuran Pelayanan Garansi Imbalan Promosi (Promotion) Promosi penjualan Periklanan Tenaga penjualan Kehumasan/Public relation Pemasaran langsung Tempat (place) Saluran pemasaran Cakupan pasar Pengelompokan Lokasi Persediaan Transportasi Harga (Price) Daftar harga Rabat/diskon

Potongan harga khusus Periode pembayaran Syarat kredit

Bauran pemasaran

(33)

konsumen yaitu : (1) atribut, yaitu mutu, harga, fungsi (fitur), desain, dan layanan purna jual; (2) merek, merek (branding) sangat penting bagi keberhasilan produk; (3) kemasan, kemasan (packaging) berpengaruh terhadap daya tarik konsumen, sehingga menimbulkan citra (image) produk; (4) label, pemberian label (labeling) berhubungan dengan kebutuhan konsumen dan atau ketentuan pemerintah; (5) pendesainan layanan produk pendukung. Dzięgielewski dan Fabisiak (2008)

menyatakan bahwa desain merupakan faktor penting yang akan meningkatkan pendapatan dan penjualan mebel. Selain itu desain juga dapat meningkatkan pangsa pasar, memperbaiki citra perusahaan, meningkatkan daya saing perusahaan dan meningkatkan kepuasan konsumen. Kaplinsky dan Morris (2000) menyatakan hal yang sama dengan Kotler bahwa preferensi konsumen atas suatu produk diantaranya didasarkan atas kualitas, harga, layanan pemesanan, pengepakan, inovasi dan lain-lain.

Namun sesungguhnya konsumen cenderung kurang mengetahui produk yang sebenarnya dibutuhkan, tetapi memilih berdasarkan kebiasaan, tingkat keterlibatan rendah dan tidak dapat membedakan merek, sehingga tidak membentuk sikap yang kuat terhadap merek produk dan menimbulkan perasaan yakin bahwa produk tersebut bermanfaat bagi dirinya (Kotler dan Keller 2007).

2.8.2. Preferensi Konsumen Terhadap Harga

Penentuan harga oleh suatu perusahaan dilakukan untuk mencapai keseimbangan antara laba dengan tingkat kepuasaan konsumen, disamping segmen pasar yang jelas dan mencapai tingkat penjualan yang sesuai dengan perencanaan perusahaan (Assael 1992). Artinya harga tidak boleh lebih rendah dari biaya rataan per produk jika produsen ingin memperoleh keuntungan. Zhang

et al. (2002) dalam Mohamed dan Yi (2008) menyatakan bahwa harga merupakan faktor penting yang berpengaruh ketika melakukan pembelian mebel.

Namun Simamora (2003) menyatakan bahwa faktor harga tidak selalu dapat digunakan untuk memenangkan persaingan karena harga tidak dapat digunakan sebagai alat untuk memenangkan persaingan. Harga rendah bukan andalan jika atribut yang diperhatikan konsumen adalah keindahan produk. Produk mebel yang terbuat dari kayu yang berkualitas/bernilai tinggi atau kayu mewah (fancy

(34)

wood) maka harga untuk suatu mebel lebih ditentukan oleh persepsi konsumen (Nurrochmat et al. 2008). Begitu juga dengan konsumen di negara-negara seperti Kanada, Kolombia dan Eropa yang lebih mengutamakan kualitas dan desain dari pada harga (Kozak et al. 2004; Forsyth et al. 1999 dan Anonim 2000

dalam Mohamed dan Yi 2008)

2.8.3. Preferensi Konsumen Terhadap Tempat

Menurut Kotler dan Amstrong (1995), pemilihan tempat membeli suatu produk merupakan fungsi dari karakteristik konsumen dan toko. Keputusan tentang tempat dimana konsumen akan membeli suatu produk dipengaruhi oleh atribut yang mencolok dari tempat tersebut, seperti harga, iklan, dan promosi, personil penjualan, pelayanan yang diberikan, atribut fisik, pelanggan toko dan pelayanan sesudah transaksi. Preferensi konsumen terhadap tempat ini berkaitan dengan jaringan distribusi. Distribusi dalam hal ini adalah pemilihan saluran distribusi yang akan digunakan mencapai pelanggan, baik secara langsung maupun tidak langsung atau kombinasi keduanya. Pendistribusian produk membutuhkan lokasi yang mudah dijangkau oleh konsumen seperti penjualan di showroom, toko, atau mall.

Hasil penelitian Mohamed dan Yi (2008) menyatakan bahwa faktor tempat atau lokasi mebel mempengaruhi pembelian mebel oleh konsumen di Malaysia. Pada umumnya konsumen lebih banyak membeli mebel di toko-toko mebel yang dekat dengan pemukiman atau toko mebel yang mempunyai kemudahan akses transportasi.

2.8.4 Preferensi Konsumen Terhadap Promosi

Salah satu cara untuk merubah persepsi konsumen diantaranya adalah dengan kegiatan promosi. Menurut Cravens (1996) dalam Listyanti (2003) kegiatan promosi merupakan kegiatan yang bertujuan untuk mengkomunikasikan, menginformasikan, dan memperkenalkan produk kepada konsumen, dan pihak lain yang terkait dengan produk yang dihasilkan. Promosi juga bertujuan untuk memberitahukan, mengingatkan dan membujuk pembeli, serta pihak lain yang berpengaruh dalam proses pembelian. Kotler dan Keller (2007) mengemukakan

(35)

bahwa promosi adalah kegiatan yang ditujukan untuk mempengaruhi konsumen agar menjadi kenal dan senang untuk membeli produk tersebut. Promosi untuk suatu produk pada umumnya dilakukan melalui media masa seperti radio, televisi, pamflet, iklan dan sebagainya (Sutisna 2001).

(36)

3.1. Lokasi dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Jepara Propinsi Jawa Tengah yang

merupakan sentra mebel, serta Jakarta dan Bogor sebagai daerah pemasaran mebel

Jepara. Penelitian dilakukan selama dua bulan (Juni-Juli 2009).

3.2. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan secara survey. Data yang digunakan dalam

penelitian ini berasal dari data primer dan sekunder. Data primer dalam penelitian

ini dikumpulkan melalui wawancara langsung dengan para responden. Data

sekunder diperoleh dari Badan Pusat Statistik, ASMINDO, dan instansi-instansi

pemerintah atau lembaga-lembaga terkait lainnya.

Langkah-langkah dalam pengambilan sampel tergantung dari kelompok

responden, sebagai berikut:

1.

Penentuan sampel pertama dilakukan secara

stratified sampling

terhadap

kecamatan-kecamatan yang menjadi sentra industri mebel Jepara.

2.

Penentuan sampel selanjutnya adalah pengrajin yang dilakukan secara

purposive sampling

terhadap populasi pengrajin yang terdapat di

kecamatan-kecamatan yang menjadi sentra industri mebel. Jumlah sampel untuk

pengrajin diambil sebanyak 30 pengrajin.

3.

Penentuan sampel selanjutnya adalah pedagang pengumpul, toko mebel,

eksportir yang dilakukan secara

purposive sampling

.

4.

Penentuan sampel kedua terhadap daerah yang menjadi tujuan pemasaran

mebel kayu Jepara dilakukan secara

purposive sampling

. Pemilihan lokasi

Jakarta dan Bogor didasarkan atas pertimbangan heteroginitas konsumen dan

variasi kemampuan membeli dari konsumen.

5.

Sampel selanjutnya adalah toko atau showroom mebel di luar Kabupaten

Jepara dilakukan secara

stratified sampling

yaitu (1) toko atau showroom yang

hanya menjual mebel Jepara murni, (2) toko atau showroom yang menjual

(37)

mebel kombinasi Jepara, (3) toko atau showroom yang menjual mebel non

Jepara.

6.

Penentuan responden untuk mengetahui preferensi konsumen terhadap mebel

dari Jepara dilakukan secara acak berdasarkan konsumen yang berbelanja di

showroom atau toko dengan jumlah masing-masing 30 responden.

3.3. Analisis Data

Analisis data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif

dilakukan untuk melihat gambaran umum dan khusus dari manajemen usaha

pengrajin, saluran pemasaran, struktur pasar, preferensi konsumen dan preferensi

produsen. Analisis kuantitatif untuk melihat struktur pasar dan analisis marjin

pemasaran. Sedangkan preferensi konsumen disajikan dalam bentuk tabulasi dan

dianalisa.

3.3.1 Manajemen Usaha Pengrajin

Manajemen usaha mebel kayu Jepara yang menjadi fokus penelitian ini

ditinjau dari aspek manajemen keuangan dan perencanaan produksi pengrajin

mebel skala kecil. Untuk melihat manajemen produksi ini dilakukan dengan

membandingkan data antara manajemen usaha pengrajin yang masih berproduksi

dengan pengrajin yang sudah tidak berproduksi.

3.3.2. Analisis Saluran Pemasaran

Saluran pemasaran adalah sekumpulan pelaku pasar yang terlibat dalam

kegiatan pemasaran, mulai dari pedagang kayu, pengrajin, hingga ke konsumen

akhir. Saluran pemasaran dianalisis dengan mengamati lembaga pemasaran yang

digunakan. Saluran-saluran pemasaran akan memperlihatkan perilaku

masing-masing tingkat. Beberapa hal yang diukur dalam analisis saluran pemasaran,

seperti harga beli, biaya, keuntungan dan harga jual di setiap saluran pemasaran.

(38)

3.3.3. Analisis Marjin Pemasaran

Mebel kayu jati yang terdapat di Jepara memiliki beragam jenis mebel.

Keragaman mebel di Jepara tidak hanya ragam dari jenis produk tetapi juga

beragam dalam model dan ukuran. Salah satu ragam dari set meja dan kursi tamu

seperti kursi rafles, kursi hongkong, kursi romawi dan kursi betawi. Walaupun

produk-produk mebel yang diproduksi oleh para pengrajin mebel di Jepara sangat

beragam namun secara umumnya produk ini terklasifikasi pada set meja dan kursi

tamu, lemari, meja makan, tempat tidur dan rak.

Melihat beragamnya berbagai mebel yang dihasilkan oleh pengrajin mebel

Jepara maka pada penelitian ini jenis mebel yang digunakan untuk menghitung

marjin pemasaran adalah jenis mebel yang umum diproduksi oleh pengrajin yaitu

rak, set meja dan kursi tamu, lemari dan meja makan. Kemudian berdasarkan atas

beragamnya produk mebel tersebut maka dalam perhitungan marjin pemasaran

yang digunakan pada penelitian ini adalah margin pemasaran rata-rata pada setiap

klasifikasi produk tersebut. Marjin pemasaran rata-rata dihitung berdasarkan

harga rata-rata pada lima jenis produk mebel pada satu klasifikasi produk yang

diterima oleh konsumen terhadap harga rata-rata di tingkat produsen atau

pengrajin.

Secara sistematis perhitungan marjin pasar dalam penelitian ini dilakukan

menurut metode yang dilakukan oleh Hukama (2003) dan Rachma (2008) adalah

sebagai berikut:

M

i

= Pr

i

– Pf

i

... (1)

Keterangan:

M

i

= Marjin pemasaran rata-rata pada lembaga pemasaran tingkat

ke-i (Rp/mebel)

Pr

i

= Harga jual rata-rata mebel di lembaga pemasaran tingkat ke-i

(Rp/mebel)

Pf

i

= Harga beli rata-rata mebel di lembaga pemasaran tingkat ke-i

(Rp/mebel)

i

= 1, 2, 3 ...n

Dengan demikian total marjin pemasaran (M) adalah:

,

1

n i

i

i = 1,2,3, ...n ... (2)

(39)

Penentuan marjin pemasaran di atas dilakukan dimulai dari produsen

sampai kepada lembaga pemasaran akhir. Penentuan margin pemasaran pada

penelitian ini adalah marjin pemasaran rata-rata yang dominan terdapat di Jepara.

Marjin pemasaran ini dinilai berdasarkan produk yang umum terdapat di Jepara

yaitu set meja kursi tamu, meja makan, lemari dan rak buku.

Konsep pengukuran dalam analisis ini adalah sebagai berikut :

1.

Marjin pemasaran dihitung berdasarkan perbedaan harga beli mebel rata-rata

dengan harga jual rata-rata dalam rupiah.

2.

Tingkat harga beli dihitung berdasarkan harga rata-rata pembelian mebel yang

sejenis

3.

Tingkat harga jual dihitung berdasarkan harga rata-rata penjualan mebel yang

sejenis

Distribusi marjin pada masing-masing lembaga pemasaran dirumuskan

sebagai berikut :

Mij = ((Hj-Hi) / Hk) x 100% ... (3)

Keterangan:

Mij = Marjin pemasaran lembaga pemasaran ke-i (Rp/mebel)

Hj = Harga jual rata-rata lembaga pemasaran ke-j (Rp/mebel)

Hi = Harga jual rata-rata lembaga pemasaran ke-i (Rp/mebel)

Hk = Harga jual rata-rata di tingkat konsumen (Rp/mebel)

3.3.4. Struktur Pasar

Struktur pasar diketahui dengan menganalisis jumlah lembaga pemasaran,

kondisi keluar masuk pasar, konsentrasi pasar, karakteristik dan diferensiasi

produk. Selain dengan cara deskriptif struktur pasar juga dapat dianalisis dengan

menggunakan Indeks Herfindahl. Indeks Herfindahl mengukur tingkat

konsentrasi pasar yang terjadi dengan memperhitungkan penjumlahan hasil

kuadrat dari pangsa pasar setiap lembaga pemasaran. Secara matematis Indeks

Herfindahl adalah sebagai berikut :

n i

T

Xi

1 2

... (4)

(40)

Keterangan:

H =

Indeks Herfindahl; jika H mendekati satu berarti pasar terkonsentrasi; jika

H =1 berarti pasar monopoli; dan jika H mendekati nol berarti pasar

semakin kompetitif

Xi = volume penjualan yang dikuasai pedagang ke-i (m

3

)

(i = 1, 2, ..., n) n = jumlah pedagang

T = Total volume penjualan pedagang (m

3

)

3.3.5. Rasio Keuntungan Terhadap Biaya

Rasio keuntungan terhadap biaya dilakukan menggunakan rumus sebagai

berikut :

Rasio K-

B = π / C ...

... (5)

Keterangan:

π = keuntungan pemasaran lembaga pemasaran ke

-i (Rp/m

3

)

C = Biaya pemasaran lembaga pemasaran ke-i (Rp/m

3

)

3.3.6.. Preferensi Konsumen dan Preferensi Produsen

Penilaian preferensi konsumen dan produsen dilakukan terhadap produk

mebel, harga, lokasi penjualan dan promosi berdasarkan tingkat kepuasan

konsumen dan kepuasan produsen. Penentuan tingkat kepuasan konsumen dan

produsen dengan menggunakan skala Likert, yaitu:

1

= Sangat tidak puas

2

= Tidak puas

3

= Biasa saja

4

= Puas

5

= Sangat puas

Sebelum pertanyaan diberikan kepada responden terlebih dahulu kuisioner

disebarkan kepada responden untuk dilakukan uji validitas dan uji reliabilitas

terhadap keseluruhan pertanyaan yang mempengaruhi konsumen dalam proses

keputusan pembelian. Uji validitas digunakan untuk mengukur kesahihan suatu

instrumen. Suatu instrumen dianggap valid apabila mampu mengukur apa yang

diinginkan atau dengan kata lain mampu memperoleh data yang tepat dari variabel

yang diteliti. Uji reliabilitas digunakan untuk mengetahui konsistensi alat ukur

dalam mengukur gejala yang sama atau untuk mengetahui tingkat kesalahan

Gambar

Tabel 1  Statistik kayu bulat tahun 2007
Tabel 2  Perkiraan marjin keuntungan mebel kayu  Lembaga Pemasaran  Perkiraan Marjin
Gambar 3  4 P dalam bauran pemasaran (Kotler dan Keller 2007)
Gambar  4.    Perbandingan  jenis  kelamin  responden  di  tiga  kategori  tempat  pembelian produk mebel
+7

Referensi

Dokumen terkait

Program Studi Teknik Informatika Fakultas Teknologi Industri Universitas Kristen Petra Jl. Pada saat ini pencatatan data yang ada pada Toko Mon Delice Boulangerie ini

Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa proses bisnis adalah aktivitaslintas fungsi di dalam perusahaan di mana pekerjaan diatur, dikoordinasikan, dan

Menurut pendapat kami, berdasarkan audit kami dan laporan auditor independen lain tersebut, laporan keuangan konsolidasi tahun 2006 yang kami sebut di

Berdasarkan hasil dari analisis Derajat Desentralisasi Fiskal yang diukur dari Pendapatan Asli Daerah terhadap Total Penerimaan Daerah dari tahun 20142018 memiliki rata-rata 6,48%

Semoga sholawat serta salam senantiasa tercurah kepada junjungan kita, suri teladan kita Nabi Muhammad SAW pembawa risalah kebenaran, keluarganya, para

Jika setiap elemen pada suatu baris atau kolom dari suatu matriks determinan dikalikan dengan suatu skala k, maka nilai determinan akan menjadi k kali nilai

digunakan bagi siswa kelas V di SD Negeri 1 Kaliprau Kecamatan Ulujami Kabupaten Pemalang. Produk model permainan tradisional bontengan adu sudah dapat digunakan

Puji Syukur kepada Tuhan Yang maha Esa, penulis ucapkan karena skripsi dengan judul “Perancangan Sistem Informasi Akuntansi pada Koperasi Kencana Mulya Semarang Menggunakan