• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENDEKATAN PEMBENTUKAN KONSEP DENGAN METODE REFUTATIONAL TEXT, PENGUASAAN KONSEP, KEMAMPUAN BERPIKIR LOGIS SISWA, KONSEP SUHU DAN KALOR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II PENDEKATAN PEMBENTUKAN KONSEP DENGAN METODE REFUTATIONAL TEXT, PENGUASAAN KONSEP, KEMAMPUAN BERPIKIR LOGIS SISWA, KONSEP SUHU DAN KALOR"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PENDEKATAN PEMBENTUKAN KONSEP DENGAN METODE REFUTATIONAL TEXT, PENGUASAAN KONSEP,

KEMAMPUAN BERPIKIR LOGIS SISWA, KONSEP SUHU DAN KALOR

A. Pendekatan Pembentukan Konsep dengan Metode Refutational Text

Menurut Klausmeier (1980, dalam Arneds, R.I, 1989), untuk mencapai level pembelajaran konsep lebih tinggi, siswa harus (1) mendefenisikan konsep dan mengetahui sifat-sifat pentingnya, (2) dapat mengenali contoh dan bukan contoh, dan (3) mengevaluasi contoh dan bukan contoh menyangkut sifat-sifat pentingnya. Menurut Rosser (1984, dalam Dahar, 1996:80), konsep adalah suatu abstraksi yang mewakili satu kelas objek-objek, kejadian-kejadian, kegiatan-kegiatan, atau hubungan-hubungan, yang mempunyai atribut-atribut yang sama. Abstraksi berarti suatu proses pemusatan perhatian seseorang pada situasi tertentu dan mengambil elemen-elemen tertentu, serta mengabaikan elemen-elemen yang lain. Sehingga untuk dapat menguasai konsep seseorang harus mampu membedakan antara satu dengan peristiwa yang lain, sehingga siswa dapat menggolongkan dunia sekitarnya menurut konsep itu, misalnya warna, bentuk, besar, jumlah dan sebagainya.

Menurut Gagne (Arends, 1989:320), secara essensial belajar konsep merupakan “menempatkan sesuatu kedalam suatu kelas” dan kemudian mampu mengenali kelasnya, sehingga dalam prosesnya dibutuhkan penilaian apakah sebuah situasi khusus merupakan sebuah contoh dalam kelas yang

(2)

besar. Menurutk Gagne, ada enam hakekat konsep yaitu : a. Konsep memiliki defenisi dan label (nama).; b. Konsep mempunyai atribut (ciri) kritis.; c. Konsep mempunyai atribut nonkritis.; d. Konsep dapat ditempatkan kedalam kategori.; e. Konsep dipelajari melalui contoh dan bukan contoh.; f. Konsep dipengaruhi oleh konteks sosial.; g. Pembelajaran konsep meliputi pembelajaran pengetahuan konseptual dan pengetahuan prosedural.

Menurut Arends, R. I (1989), ada tiga pendekatan dalam mengajarkan konsep yaitu pengajaran langsung (direct presentation), pembentukan konsep (concept formation) dan pencapaian konsep (concept attainment). Setiap pendekatan di mulai dengan guru membuat set dan diakhiri dengan usaha untuk meluaskan pemikiran siswa mengenai berpikir mereka sendiri, perbedaan terdapat pada penahapan internal. Masing-masing tiga pendekatan itu memiliki tujuan-tujuannya sendiri dan struktur internalnya sendiri. Pelajaran pembentukan konsep adalah yang paling bersifat induktif dan mengharuskan siswa untuk menghasilkan daftar objek dan gagasan dari dasar-dasar informasi mereka sendiri sebelum mengaitkannya dengan defenisi dan penamaan konsep. Pembentukan konsep adalah suatu pendekatan yang lebih inventif dimana aktivitas utama berpusat pada kegiatan memasukan dan mengelompokkan contoh dan bukan contoh dari konsep-konsep ke dalam kategori (Arends, R. I, 1989). Pendekatan ini bertujuan membantu siswa untuk membedakan antara apa yang menjadi sifat suatu objek atau terhadap kelompoknya dan membentuk kategori sendiri dengan membuat skema sehingga menghasilkan perbedaan dan kemampuan mengklasifikasikan atau

(3)

mengelompokkan. Langkah-langkah dalam pembentukan konsep yaitu: (1) Mengajukan pertanyaan kepada siswa yang dapat menghasilkan daftar objek atau gagasan.; (2) Meminta siswa mengelompokkan objek-objek kedalam kelas.; (3) Meminta siswa memberi nama beragam kelas objek (Arneds, R.I, 1989).

Syntax dalam pendekatan pembentukan konsep (PPPG IPA 1999 dalam Syamsu, 2005) adalah :

Fase 1 : Menyebutkan dan menyusun daftar konsep (proses mental membedakan)

Fase 2 : Mengelompokkan (proses mental : mengenai ciri-ciri umum dan mengabstraksikan)

Fase 3 : Memberi label dan mengkategorikan (proses mental menentukan urutan secara hierarkis)

Bahan bacaan refutational text dibagikan sebelum ketiga fase tersebut dilaksanakan. Menurut Hydn dan Alvermann (Hardigaluh, B. & Judin, T.,2002), bahan bacaan refutational text merupakan suatu metode dan sebagai bahan remidiasi kesalahan konsep siswa. Metode refutational text yang umum adalah teks yang langsung menunjukkan kesalahpahaman. Hal ini hanya berlaku apabila ada kesalahpahaman yang umum terjadi. Pengetahuan yang bertentangan setidaknya benar-benar harus langsung ditunjukkan. Menurut Sinatra, G.M, & Pintrich, P.R (2003) penggunaan teks-teks yang memberikan keyakinan yang umum, menyangkalnya dan kemudian menyajikan keyakinan yang ilmiah sebagai alternatif dapat mengubah

(4)

keyakinan siswa yang intuitif tetapi tidak bersifat ilmiah. Teks penyangkalan ini bertujuan untuk merubah opini seseorang mengenai suatu isu. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Sinatra, G.M, dan kolega-koleganya dalam mempelajari pembelajaran perubahan konseptual dalam sains, telah memunculkan sedikitnya satu kesimpulan yang stabil yaitu siswa mengubah konsepsi-konsepsi mereka yang bersifat intuitif tetapi tidak ilmiah menjadi konsepsi-konsepsi yang lebih bersifat ilmiah dengan lebih banyak membaca teks penyangkalan daripada membaca teks-teks informasi sederhana (Sinatra, G.M, & Pintrich, P.R, 2003). Tidak hanya terdapat bukti eksperimen bahwa siswa bergerak dalam arah teori ilmiah setelah membaca penyangkalan, tetapi juga terdapat bukti dari wawancara dan observasi bahwa perubahan terjadi dan siswa memilih penyangkalan dibandingkan bentuk-bentuk teks sains lainnya. Sehingga teks penyangkalan itu sebagai suatu bentuk persuasif argumen daripada sekedar deskripsi informasi (Sinatra, G.M, & Pintrich, P.R, 2003).

Menurut Sutrisno (Hardigaluh, B. & Judin, T., 2002 ), refutation text adalah teks yang membandingkan antara ide yang benar dan ide yang salah. Menurut Sutrisno (Hardigaluh, B. & Judin, T., 2002), dalam kerangka pemahaman konstruktivisme ide yang benar itu berupa penjelasan terbaik yang diterima oleh banyak orang. Sedangkan menurut Anders, P.L & Guzzetti, B. J (2005), refutation text (teks penyangkalan) adalah merupakan salah satu strategi pengajaran yang memperlihatkan efek-efek jangka panjang dan paling konsisten dalam meningkatkan perubahan konseptual. Teks

(5)

penyangkalan adalah suatu bagian yang mengidentifikasikan kesalahan konsepsi atau konsepsi alternatif dan secara langsung menyangkalnya dengan menjelaskan konsepsi yang diterima. Siswa-siswa yang membaca teks penyangkalan cenderung mempertahankan belajar mereka sepanjang waktu. Menurut pendapat Sinatra, G.M & Pintrich, P.R (2003), ada beberapa alasan mengapa teks penyangkalan itu efektif, yaitu :

(1) Dari peneliti (Dole, Niederhauser & Hayes, 1990) menspekulasikan bahwa kekuatan teks penyangkalan adalah membantu para pembaca untuk mengidentifikasikan kapankan gagasan-gagasan teks itu berbeda dari gagasan-gagasan mereka sendiri yang telah ada sebelumnya. Ini mungkin menyebabkan siswa untuk menjadi tidak puas dengan konsepsi-konsepsi alternatif mereka (konflik kognitif ), dan mungkin memotivasi siswa untuk mengujikan hal yang masuk akal (plausibility) dan kemampuan diterapkannya konsepsi-konsepsi baru.

(2) Barbara dan rekan-rekannya menemukan bahwa siswa lebih memilih teks eksposisi penyangkalan untuk mempelajari konsep-konsep kompleks. Siswa mungkin lebih dapat belajar dari teks yang mereka sukai.

(3) Penulis teks penyangkalan berusaha untuk lebih berinteraksi dengan pembaca dengan mempertimbangkan gagasan-gagasannya.

Oleh karena itu teks penyangkalan meningkatkan proses transaksi pembuatan makna antara pembaca dan penulis. Akhirnya, teks penyangkalan juga memberikan pandangan otoratif terhadap informasi “benar” yang

(6)

mungkin dianggap pembaca lebih kredibel dibandingkan teks bukan penyangkalan.

Menurut Anders, P.L & Guzzetti, B. J (2005), teks penyangkalan mungkin bervariasi dalam strukturnya, bisa struktur naratif (cerita), atau mungkin menggambarkan struktur eksposisi (informasi tanpa dialog). Kebanyakan textbook ditulis sebagai teks eksposisi bukan penyangkalan dan tidak berisi penyangkalan terhadap kesalahan-kesalahan umum. Teks penyangkalan naratif cukup efektif untuk siswa-siswa sekolah dasar, tetapi tidak penting pada level-level sekolah menengah pertama dan atas. Cara paling umum untuk menuliskan teks penyangkalan adalah dengan mengutip konsepsi alternatif, kemudian penyangkalan, tetapi penyangkalan mungkin muncul terlebih dahulu, diikuti oleh konsepsi alternatif (Anders, P.L & Guzzetti, B. J (2005).

Menurut Mikkila-Erdmann (Suping, Shanah M, 2003), penggunaan pertanyaan dan pernyataan tertulis atau teks yang membimbing siswa untuk menerima konsep lebih baik untuk mengubah konseptual sains siswa. Menurut Tekin, S., Kolomuc, A., dan Ayas, A. (2004), teks perubahan konseptual cukup berhasil untuk mengatasi kesulitan belajar siswa dan miskonsepsi. Teks pengubah konseptual bertujuan untuk menyusun dan mengganti konsep yang miskonsepsi dengan konsep yang benar. Ketika ditemukan miskonsepsi dalam proses pembelajaran, teks pengubah konseptual merupakan salah satu cara yang efektif untuk meningkatkan keberhasilan pendidikan. Dalam penelitian Tastan, I., Dikmenli, M., dan

(7)

Cardak, O. (2008), menyarankan dilakukan studi yang sama pada berbagai pelajaran dan berbagai tingkat kelas.

Menurut Strike dan Posner (Hynd, C., Alvermann, D., & Qian, G., 1997), berpendapat bahwa perubahan konseptual lebih mungkin terjadi ketika siswa percaya bahwa ilmu pengetahuan adalah logis dan berguna untuk sehari-hari mereka dalam berurusan dengan dunia. Posner, et al. (1982) berhipotesis bahwa ada empat syarat untuk perubahan konseptual, yaitu: (a) tidak puas dengan satu konsepsi saat ini, diikuti oleh sejauh mana konsepsi baru bisa dianggap (b) dimengerti, (c) masuk akal, dan (d) berbuah (dalam arti bahwa ini akan menyediakan kerangka kerja bagi solusi masalah baru) (Hynd, C., Alvermann, D., & Qian, G., 1997). Untuk mengubah konseptual siswa menurut Guzzetti, et al., (1993), salah satu strategi adalah mendukung penggunaan teks-teks refutational yang membantah konsep-konsep intuitif siswa yang biasa atau lazim untuk menjadi konsep yang ilmiah. Teks yang membantah ide nonscientific terbukti efektif dalam membantu siswa belajar prinsip-prinsip ilmiah yang tampak berlawanan (Hynd, C., Alvermann, D., & Qian, G., 1997). Teks adalah satu-satunya faktor yang menghasilkan perubahan konseptual jangka panjang.

Sebuah refutational text memperkenalkan teori umum, keyakinan, atau ide, hal yang menyangkal, dan menawarkan alternatif teori, keyakinan, atau ide yang muncul untuk menjadi lebih memuaskan (Hynd, C. R., 2001). Refutational text juga harus digunakan untuk menunjukkan bentuk-bentuk tulisan persuasif, sehingga siswa bisa melihat apa efek sangkalan terhadap

(8)

ide-ide mereka dan menolong mereka untuk berpikir kritis tentang apa yang mereka pelajari. Menurut Pinarbas, T., Canpolat, et al (2006), refutation text yang ditulis sebelumnya dan pandangan dominan saat ini digunakan sebagai solusi untuk menangani konsep siswa.

Menurut Deliani (Hardigaluh, B. & Judin, T., 2002), adapun struktur yang dinamakan refutation text ini diawali dengan membicarakan konsepsi-konsepsi siswa lebih dahulu kemudian dilanjutkan dengan argumentasi dengan mengubah atau mempertajam konsepsi-konsepsi siswa sehingga sesuai dengan konsepsi para ahli (yang dianggap benar). Adapun langkah-langkah pengembangan bacaan yang berbentuk refutation text sebagai berikut:

1. Menyajikan jenis-jenis kesalahan yang banyak dilakukan siswa dalam menyelesaikan soal tes diagnostik.

2. Membahas anggapan-anggapan siswa atau konsepsi awal siswa (prakonsepsi) terhadap materi ajar yang dijaring dengan tes diagnostik. 3. Membahas alternatif penyajian materi yang mungkin diterima oleh

kebanyakan siswa dan konsepsi-konsepsi yang salah dapat diperbaiki. Di sini dapat dilakukan dengan pemberian arahan atau peringatan kepada siswa dari setiap langkah pekerjaan agar tidak dapat melupakan konsep-konsep yang digunakan (Hardigaluh, B. & Judin, T., 2002). Dalam penelitian Hardigaluh, B. & Judin, T. bahan bacaan refutation text memberikan pengaruh terhadap pemahaman siswa tentang konsep suhu dan kalor.

(9)

Berdasarkan pemaparan di atas maka pembelajaran pendekatan pembentukan konsep dengan metode refutational text adalah suatu cara mengajar yang lebih inventif dimana aktivitas utama berpusat pada kegiatan memasukkan dan mengelompokkan contoh dan bukan contoh dari konsep-konsep ke dalam kategori, yang dihubungkan dengan struktur teks yang langsung memperlihatkan kesalahpahaman. Struktur teks tersebut berupa bahan bacaan refutational text pada materi suhu dan kalor pada siswa SMP.

B. Pendekatan Pembentukan Konsep dengan Metode Ceramah

Metode ceramah merupakan suatu cara mengajar yang digunakan untuk menyampaikan keterangan atau informasi, atau uraian tentang suatu pokok persoalan serta masalah secara lisan (Roestiyah N.K., 2008). Metode ceramah merupakan metode pengajaran yang sangat sederhana karena kesederhanaannya inilah metode ini paling banyak digunakan (Gulo, W, 2002). Pada metode ceramah guru memberikan penerangan atau penuturan secara lisan kepada sejumlah siswa (Wartono, 2003). Siswa mendengarkan dan mencatat seperlunya. Pada umumnya murid bersifat pasif, yaitu menerima saja apa yang dijelaskan oleh guru. Metode caramah mempunyai keuntungan-keuntungan antara lain :

a. Dapat diberikan sejumlah besar murid.

b. Dapat menyelesaikan suatu mata pelajaran dengan cepat.

c. Guru akan lebih mudah mengawasi ketertiban siswa dalam mendengarkan pelajaran.

(10)

d. Perhatian guru tidak terbagi-bagi. e. Perhatian guru terpusat pada kelas.

Kekurangan-kekurangannya antara lain bahwa:

a. Murid sering kali tidak ikut aktif dalam proses belajar itu, sehingga pelajaran menjadi kurang efektif.

b. Terutama bagi murid yang belum cukup dewasa, metode ceramah ini sering menimbulkan kebosanan.

c. Guru tidak mampu mengontrol sejauh mana siswa telah memahami uraiannya, apakah ketenangan/kediaman siswa dalam mendengarkan pelajaran itu berarti bahwa siswa telah memahami pelajaran yang diberikan.

Metode ceramah diperlukan ketika guru hendak menjelaskan hal-hal bersikap teoritis. Metode ceramah juga dipergunakan untuk mengulang suatu pelajaran yang telah lalu secara cepat, untuk memberikan penjelasan-penjelasan yang diperlukan sebelum melakukan suatu percobaan atau demonstrasi. Untuk menjaga jangan sampai siswa bersikap pasif dalam proses belajar, metode ceramah biasanya diselinggi dengan tanya jawab atau diskusi yang mengusahakan agar siswa ikut juga dalam proses pengembangan pengertian baru itu. Dengan mengajukan pertanyaan guru dapat meneliti apakah siswa telah menguasai pengertian dari setiap pokok persoalan yang telah diuraikan, serta dapat membangkitkan perhatian siswa kepada pelajaran itu.

(11)

Berdasarkan pemaparan di atas maka pendekatan pembentukan konsep dengan metode ceramah adalah merupakan suatu cara mengajar yang lebih inventif dimana aktivitas utama berpusat pada kegiatan memasukkan dan mengelompokkan contoh dan bukan contoh dari konsep-konsep ke dalam kategori, informasi atau uraian tentang suatu pokok materi dan masalah disampaikan secara lisan kepada sejumlah siswa.

C. Penguasaan Konsep

Penguasaan konsep diperoleh melalui proses belajar sedangkan belajar merupakan proses kognitif yang melibatkan tiga proses yaitu memperoleh informasi baru, mentransformasikan informasi dan menguji relevansi dan ketetapan pengetahuan, proses tersebut berlangsung secara bersamaan (Dahar, 1996). Menurut Anderson dan Krathwohl (Dirgantara, Y., 2008), penilaian penguasaan konsep mengacu pada Taksonomi Bloom. Penguasaan konsep

menurut revisi taksonomi Bloom untuk aspek kognitif terdiri dari: 1) mengingat (remember); meliputi mengenali (recognizing), mengingat

(recalling); 2) pemahaman/mengerti (understand); meliputi menafsirkan (interpreting), memberikan contoh (exemplifying), mengklasifikasikan (classifying), merangkum/meringkas (summarizing), menyimpulkan (inferring), membandingkan (comparing), dan menjelaskan (explaining); 3) menerapkan (apply), meliputi melaksanakan/menjalankan (executing), menerapkan (implementing); 4) menganalisis (analyze), meliputi

(12)

menyusun/mengorganisasikan (organizing), menghubungkan (attributing); 5) mengevaluasi/menilai (evaluate), meliputi mencek (cheking), mengkritik (criticuing); 6) menciptakan (create), meliputi membangkitkan/menghasilkan (generating), merencanakan (planing), menghasilkan (producing). Menurut Rustaman (dalam Suwarna, 2005), untuk Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama lebih ditekankan pada tiga jenjang kognitif yang pertama yaitu pengetahuan atau ingatan (C1), pemahaman (C2), dan penerapan konsep (C3). Penguasaan konsep sangat perlu bagi siswa karena jika siswa sudah menguasai konsep materi pelajaran dengan baik maka siswa tersebut akan mampu membawa konsep tersebut ke dalam bentuk persoalan lain yang ada hubungannya dengan konnsep itu.

D. Kemampuan Berpikir Logis

Kemampuan berpikir logis setiap individu atau siswa pada dasarnya tidak sama, tergantung dari tingkat perkembangan intelektulnya. Piaget (Zahar, 2000) menyatakan bahwa seseorang yang mempunyai kemampuan berpikir logis memiliki perkembangan intelektualnya pada tingkat operasi formal yaitu pada umur lebih dari 12 tahun. Pada tahap ini siswa sudah mempunyai kemampuan berpikir abstrak. Menurut Albrecht (dalam Zahar, 2000), mengemukakan bahwa dalil logika merupakan peta verbal yang terdiri dari tiga bagian yaitu : (1) Dasar pemikiran atau “fakta” tempat berpijak.; (2) Argumentasi atau cara kita menempatkan dasar pemikiran bersama-sama.; (3) Kesimpulan atau hasil yang dicapai dengan menerapkan argumentasi pada

(13)

dasar pemikiran. Sehingga dalil logis adalah suatu pernyataan proses berpikir lengkap yang terdiri dari sejumlah dasar pemikiran, sebuah argumentasi dan sebuah kesimpulan. Proses berpikir tersebut didapat melalui berpikir induktif dan deduktif. Berpikir deduktif bekerja dari atas ke bawah, sedangkan berpikir deduktif bekerja sebaliknya, dari bawah ke atas.

Dalam penelitian Zahar (2002), untuk kriteria penalaran logis induktif dan deduktif dilihat dari kriteria soal mudah, soal sedang dan sukar. Menurut Ratnata (1995), kriteria untuk menentukan soal mudah, sedang dan sukar dirinci dalam Tabel 2.1 dan Tabel 2.2 dibawah ini.

Tabel 2.1

Kriteria Soal untuk Berpikir Induktif

Kriteria soal Tujuan

A. Soal Mudah : 1. Sifat soal mudah

2. Mengandung dua variabel yang hubungannya linier

3. Argumentasi yang dituntut pada taraf sederhana

Untuk menjaring berpikir induktif siswa pada taraf daya pikir sederhana logis, siswa diharapkan mampu : 1. Melihat fakta-fakta dalam soal

2. Berargumentasi berdasarkan fakta tersebut

3. Menarik inferensi (kesimpulan) sederhana dan logis

B. Soal sedang :

1. Sifat soal tidak terarah

2. Mengandung dua variabel yang hubungannya terbalik

3. Kemampuan berargumentasi yang dituntut pada tahap mendekati kompleks sedang

Untuk menjaring berpikir induktif siswa pada taraf daya nalar sedang logis, siswa diarapkan mampu :

1. Melihat fakta-fakta dalam soal

2. Berargumentasi berdasarkan fakta tersebut

3. Menarik kesimpulan mendekati kompleks dan logis

C. Soal sukar :

1. Sifat soal tidak terarah

2. Mengandung lebih dari dua variabel 3. Ada unsur variabel yang linier dan terbalik 4. Siswa dituntut mampu berargumentasi yang

kompleks

Untuk menjaring penalaran induktif siswa pada taraf daya nalar ketat (tinggi) logis, siswa diharapkan mampu : 1. Melihat fakta-fakta dalam soal

2. Berargumentasi berdasarkan variabel yang kompleks dan logis

(14)

Tabel 2.2

Kriteria Soal untuk Berpikir Deduktif

Kriteria soal Tujuan

A. Soal Mudah : 1. Sifat soal terarah

2. Siswa dituntut mampu memahami hukum-hukum, konsep-konsep dan persamaan yang bersifat sederhana tentang suhu dan kalor 3. Argumentasi yang dituntut pada taraf sederhana

Untuk menjaring berpikir deduktif siswa pada taraf daya pikir sederhana logis, siswa diharapkan mampu : 1. Mengemukakan hukum-hukum dan konsep-konsep

sederhana tentang suhu dan kalor berdasarkan pernyataan dan pertanyaan dalam soal

2. Berargumentasi berdasarkan hukum-hukum dan konsep sederhana

3. Menarik kesimpulan yang logis B. Soal sedang :

1. Argumentasi yang dituntut pada taraf sederhana Sifat soal tidak terarah

2. Siswa dituntut mampu memahami hukum-hukum dan konsep-konsep suhu dan kalor yang sedikit rumit

3. Kemampuan berargumentasi yang dituntut pada tahap mendekati kompleks sedang

Untuk menjaring berpikir deduktif siswa pada taraf daya nalar sedang logis, siswa diarapkan mampu :

1. Mengemukakan konsep-konsep yang berhubungan erat dengan persoalaan

2. Berargumentasi melalui berpikir yang sedikit rumit, berdasarkan fakta-fakta, hukum-hukum dan teori-teori maupun konsep yang ada

3. Menarik kesimpulan mendekati kompleks dan logis C. Soal sukar :

1. Sifat soal tidak terarah

2. Siswa dituntut dapat mengemukakan hukum-hukum, konsep-konsep yang rumit (kompleks) 3. Siswa dituntut mampu berargumentasi secara

kompleks

Untuk menjaring penalaran deduktif siswa pada taraf daya nalar ketat (tinggi) logis, siswa diharapkan mampu : 1. Memahami hukum-hukum, konsep-konsep yang

kompleks untuk memecahkan persoalan

2. Berargumentasi berdasarkan hukum-hukum, konsep-konsep yang kompleks

3. Menarik kesimpulan yang kompleks dan logis

Berdasarkan penjelasan pada Tabel 2.1 dan 2.2, peneliti memahami bahwa secara keseluruhan kriteria untuk berpikir induktif adalah siswa mampu melihat fakta-fakta dalam soal kemudian dapat berargumentasi dan dapat menarik kesimpulan yang logis. Sedangkan kriteria untuk berpikir deduktif adalah siswa dapat mengemukakan hukum-hukum, konsep-konsep untuk memecahkan masalah dalam soal, kemudian dapat berargumentasi

(15)

berdasarkan hukum-hukum, konsep-konsep tersebut dan kemudian dapat menarik kesimpulan dengan benar. Berdasarkan penjelasan di atas maka indikator yang menunjukkan siswa mampu berpikir logis adalah siswa mampu berpikir induktif dan deduktif.

E. Materi Suhu dan Kalor

1. Suhu (temperatur) dan Termometer

Suhu adalah ukuran derajat panas atau dinginya suatu benda. Konsep suhu (temperatur) berakar dari ide kualitatif yaitu panas dan dingin yang berdasarkan pada indera sentuhan kita. Benda yang terasa panas umumnya memiliki suhu yang lebih tinggi dari pada benda yang dingin. Hal ini tidak cukup jelas dan indera dapat terkelabui. Untuk menggunakan suhu sebagai ukuran panas atau dingin perlu dibuat suatu skala suhu, yaitu dibuat termometer (alat yang dirancang untuk mengukur temperatur).

Untuk mengukur suhu sebuah benda, sentuhkan termometer dengan benda tersebut. Jika kita ingin mengetahui suhu secangkir kopi panas, masukkan termometer ke dalam kopi, saat keduannya berinteraksi termometer menjadi lebih panas dan kopi sedikit menjadi lebih dingin. Setelah termometer mencapai nilai tunaknya baca suhunya. Sistem telah mencapai kondisi kesetimbangan, di mana interaksi antara termometer dan kopi tidak menyebabkan perubahan lebih jauh pada sistem. Untuk mengukur suhu secara kuantitatif maka perlu dibuat semacam skala numerik yang dalam pembacaanya tidak menggunakan ukuran panas dan dingin tetapi dalam skala

(16)

angka yang menyatakan tinggi rendahnya suhu suatu benda. Alat yang digunakan untuk mengukur suhu benda dengan tepat dan menyatakannya dengan angka disebut termometer.

2. Kalor

Menurut beberapa sumber kalor didefinisikan sebagai energi yang dipindahkan di antara sebuah sistem dan sekelilingnya sebagai akibat dari adanya perbedaan suhu (Giancoli, 2001 & Halliday, 1997). Kalor hanya digunakan bila menjelaskan perpindahan energi dari satu benda ke benda yang lain (Tipler, 2001). Energi dalam adalah jumlah dari semua energi yang dimiliki tiap molekul di sebuah benda. Dengan demikian maka kalor adalah energi yang dipindahkan akibat adanya perbedaan temperatur. Sedangkan energi dalam merupakan jumlah dari semua energi yang dimiliki tiap molekul di sebuah benda yang ditransfer dari sistem yang panas ke sistem yang dingin dalam bentuk panas karena adanya perbedaan temperatur bila suatu sistem bersinggungan dengan sistem yang lain.

Menurut Joseph Black kenaikan suhu suatu benda dapat digunakan untuk menentukan kalor yang tersimpan dalam benda tersebut. Besarnya kalor yang diserap atau yang dilepaskan oleh suatu benda (Q) sebanding dengan massa benda, kalor jenis dan perubahan suhu. Secara matematis dapat dinyatakan dalam persamaan:

(17)

Keterangan:

Q = banyaknya kalor yang diserap atau yang dilepaskan dengan satuan joule atau kalori

m = massa benda dengan satuan kg

c = kalor jenis benda dengan satuan joule/kg0C ∆T = perubahan suhu dengan satuan 0

C atau K

Kalor jenis (c) merupakan besaran karakteristik dari suatu zat. Kalor jenis suatu zat didefenisikan sebagai banyaknya kalor yang diperlukan untuk menaikkan suhu 1 kg sesuatu zat sebesar 1 K atau 1C0 (Giancoli, 2001: 492). Jika hasil yang didapat positif, panas memasuki benda dan suhunya naik. Jika hasilnya negatif, panas keluar dari benda dan suhunya turun (Young dan Freedman, 2002: 468).

Pada umumnya jika suatu benda diberi kalor, maka dalam waktu tertentu zat tersebut wujudnya akan berubah menjadi wujud lain. Perubahan fase (phase change) adalah transisi dari satu fase ke fase lainnya. Fase tersebut adalah fase padat, fase cair dan fase gas yang pada prinsipnya merupakan suatu proses reversibel (dapat berbalik) seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.1.

Keterangan:

1 = mencair/melebur 4 = mengembun

2 = membeku 5 = menyublim

3 = menguap 6 = mengkristal

Gambar 2.1. Proses Perubahan Wujud Zat Cair, Padat dan Gas 2 GAS CAIR PADAT 1 4 3 6 5

(18)

Kalor yang dibutuhkan untuk mengubah 1 kg zat dari padat menjadi cair disebut kalor lebur dinyatakan dengan L. Kalor yang dibutuhkan untuk merubah suatu zat dari fase cair ke uap disebut kalor penguapan U. Pada saat terjadi perubahan fase, tidak terjadi kenaikkan suhu meskipun pada zat tersebut ada kalor yang diberikan, kalor yang diterima digunakan untuk merubah wujud zat sehingga tidak nampak adanya kalor (yang biasanya ditandai dengan perubahan suhu). Itulah sebabnya kalor ini dinamakan kalor laten (artinya kalor tersembunyi). Kalor yang terlibat dalam perubahan fase tidak hanya bergantung pada kalor laten, tetapi juga pada massa total zat tersebut sehingga banyaknya kalor yang diperlukan dalam perubahan fase suatu benda adalah:

Q = mL (2.2) Q = mU (2.3) Keterangan:

L = kalor laten pada proses peleburan dari zat tertentu dalam satuan joule/kg U = kalor laten pada proses penguapan dari zat tertentu dalam satuan joule/kg m = massa zat dengan satuan kg

Q = kalor yang diperlukan atau dilepaskan selama perubahan fase

Untuk sembarang bahan pada tekanan tertentu, suhu pembekuan sama dengan suhu peleburan. Pada suhu unik ini fase cair dan padat (misalnya air dan es) dapat muncul bersamaan pada kondisi yang disebut kesetimbangan fase ( phase equilibrium) (Young dan Freedman, 2002: 470). Gambar 2.2 di bawah ini menunjukkan bagaimana suhu berubah ketika ditambahkan panas secara

(19)

kontinu pada spesimen es dengan suhu awal -250C (titik a). Suhu naik hingga tercapai titik lebur (titik b). Lalu ketika panas terus ditambahkan, suhu tetap konstan hingga seluruh es mencair (titik c). kemudian suhu mulai naik lagi sampai suhu didih tercapai (titik d). Pada titik ini suhu kembali konstan hingga seluruh air berubah menjadi gas (titik e) (Young dan Freedman, 2002: 471).

Gambar 2.2. Grafik Suhu terhadap Waktu untuk Spesimen Air dengan Wujud Awal Padat (es). (Young dan Freedman, 2002: 471).

3. Hukum Kekekalan Energi dan Asas Black

Dalam aktivitas sehari-hari misalnya pada saat kita menuang air dingin ke dalam kopi panas dan kemudian diaduk rata sampai terjadi kesetimbangan termal maka akan diperoleh air hangat yang suhunya antara air panas dan air dingin. Pertukaran kalor pada contoh ini sesuai dengan hukum kekekalan energi, banyaknya kalor yang diserap oleh zat yang suhunya lebih tinggi sama dengan banyaknya kalor yang diserap oleh zat yang suhunya lebih rendah, yang secara matematis dinyatakan sebagai berikut:

T (0C) Fase gas (uap) 125 d e 100 Titik didih 75

Fase cair (air) 50

25 b c

0 Titik lebur

Fase padat (es)

(20)

Qlepas = Qserap (2.4) Persamaan 2.4 di atas dikenal dengan asas Black, disesuaikan dengan ilmuwan yang pertama kali menyelidiki tentang pertukaran kalor yakni

Joseph Black (1728-1799).

4. Perpindahan Kalor

Bila dua benda atau lebih terjadi kontak termal maka akan terjadi aliran kalor dari benda yang bertemperatur lebih tinggi ke benda yang bertemperatur lebih rendah, hingga tercapainya kesetimbangan termal. Proses perpindahan panas ini berlangsung dalam 3 mekanisme, yaitu: konduksi, konveksi dan radiasi.

a. Perpindahan Kalor Secara Konduksi

Konduksi adalah perpindahan kalor melalui suatu zat tanpa disertai perpindahan partikel-partikel zat tersebut.

Berdasarkan daya hantar kalor, benda dibedakan menjadi dua, yaitu :

(1) Konduktor adalah zat yang memiliki daya hantar kalor baik. Contoh : besi, baja, tembaga, aluminium, dll.

(2) Isolator adalah zat yang memiliki daya hantar kalor kurang baik. Contoh : kayu, plastik, kertas, kaca, air, dll.

Adapun dalam kehidupan sehari-hari, banyak peralatan rumah tangga yang prinsip kerjanya memanfaatkan konsep perpindahan kalor secara konduksi, antara lain : setrika listrik, solder.

(21)

b. Perpindahan Kalor Secara Konveksi

Konveksi adalah perpindahan kalor pada suatu zat yang disertai perpindahan partikel-partikel zat tersebut. Konveksi terjadi karena perbedaan massa jenis zat. Dari peristiwa berikut, maka dapat dipahami peristiwa konveksi yaitu:

(1) Pada zat cair karena perbedaan massa jenis zat, misalnya sistem pemanasan air, sistem aliran air panas.

(2) Pada zat gas karena perbedaan tekanan udara, misal terjadinya angin darat dan angin laut, sistem ventilasi udara, untuk mendapatkan udara yang lebih dingin dalam ruangan dipasang AC atau kipas angin, dan cerobong asap pabrik.

Peristiwa angin laut dan angin darat merupakan contoh peristiwa alam yang melibatkan arus konveksi pada zat gas. Pada siang hari daratan lebih cepat panas daripada lautan. Hal ini mengakibatkan udara panas di daratan akan naik dan tempat tersebut diisi oleh udara dingin dari permukaan laut, sehingga terjadi gerakan udara dari laut menuju ke darat yang biasa disebut angin laut. Angin laut terjadi pada siang hari, biasa digunakan oleh nelayan tradisional untuk pulang ke daratan. Sedangkan pada malam hari daratan lebih cepat dingin daripada lautan. Hal ini mengakibatkan udara panas di permukaan air laut akan naik dan tempat tersebut diisi oleh udara dingin dari daratan, sehingga terjadi gerakan udara dari darat menuju ke laut yang disebut angin darat. Angin darat terjadi pada

(22)

malam hari, biasa digunakan oleh nelayan tradisional untuk melaut mencari ikan.

c. Perpindahan Kalor Secara Radiasi

Radiasi adalah perambatan atau perpindahan panas melalui gelombang elektromagnetik. Energi yang dipancarkan oleh benda berupa gelombang elektromagnetik dinamakan energi radiasi. Setiap benda yang mempunyai suhu di atas 0 K memancarkan energi radiasi. Setiap orang merasakan kehangatan radiasi matahari dan panas yang intens dari permukaan kayu atau dari batu bara yang membara di perapian. Kebanyakan panas yang sangat panas tersebut mencapai tubuh tidak dengan konduksi atau konveksi melalui udara melainkan dengan radiasi. Perpindahan panas ini akan terjadi bahkan jika tidak ada media (hampa udara) di antara tubuh dan sumber panas. Oleh karena itu radiasi juga sering disebut sebagai perpindahan kalor tanpa melalui zat perantara. Alat yang digunakan untuk mengetahui adanya radiasi kalor atau energi pancaran kalor disebut termoskop. Termoskop terdiri dari dua buah bola kaca yang dihubungkan dengan pipa U berisi alkohol yang diberi warna. Salah satu lampu dicat hitam, sedangkan yang lain dicat putih. Apabila pancaran kalor mengenai bola yang dicat hitam, hal ini mengakibatkan tekanan gas pada bola tersebut menjadi besar, sehingga mengakibatkan turunnya permukaan zat cair yang ada di bawahnya.

Dari hasil pengamatan yang dilakukan bila menggunakan alat termoskop ini maka dapat disimpulkan bahwa permukaan benda hitam,

(23)

kusam, dan kasar merupakan pemancar dan penyerap kalor yang baik. Permukaan benda putih, mengkilap dan halus merupakan pemancar dan penyerap kalor yang buruk.

Penerapan perpindahan kalor secara radiasi dalam kehidupan sehari-hari adalah sebagai berikut :

(1) Pada siang hari yang cerah orang lebih suka memakai baju cerah daripada baju gelap, agar mengurangi penyerapan kalor.

(2) Cat mobil atau motor dibuat mengkilap untuk mengurangi penyerapan kalor.

(3) Mengenakan jaket tebal atau meringkuk di bawah selimut tebal saat udara dingin badan akan terasa hangat. Udara termasuk isolator yang baik. Dalam selimut terdapat bulu-bulu kecil atau serat yang akan menjebak udara sehingga kalor mengumpul di bawah selimut membuat lebih hangat.

(4) Dinding termos dilapisi oleh perak, hal ini bertujuan untuk mencegah hilangnya kalor secara radiasi. Ruang hampa antara dinding kaca pada termos bertujuan untuk mencegah perpindahan kalor secara konveksi.

Gambar

Gambar 2.1. Proses Perubahan Wujud Zat Cair, Padat dan Gas
Gambar 2.2. Grafik Suhu terhadap Waktu untuk Spesimen Air dengan Wujud  Awal Padat (es)

Referensi

Dokumen terkait

1. Pengaruh norma subyektif terhadap sikap personal wirausaha siswa SMK. Pengaruh norma subyektif terhadap persepsi kontrol perilaku wirausaha siswa. SMK. Pengaruh sikap personal,

Dana Yang Digunakan Untuk Jasa Pelayanan Kebersihan, Jasa Narasumber, Sewa Gedung, Sewa Perlengkapan dan Peralatan Kantor, dan Perjalanan Dinas. 9 Penataan Susunan Organisasi

Dengan kata lain, risk bearing ability merupakan kemampuan seorang wirausaha untuk mengatasi berbagai risiko yang dihadapi dalam upaya mencapai kesuksesan usahanya..

Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 1983, tentang Petunjuk Pelaksanaan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 261 Tahun 1982, tentang Ketentuan, Bentuk dan Penggunaan

“Pengaruh Efikasi Diri, Faktor Kontekstual, dan Sikap Intensi Kewirausahaan pada Mahasiswa pada Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara”. Skripsi Program

Sehingga akhirnya dapat ditarik kesimpulan bahwa dengan memanfaatkan fasilitas yang tersedia di dalam Microsoft Visual Basic 6.0 maka, dapat dibuat sebuah program sederhana

Zeithaml dan Mary Jo Bither ( 2003 : 93 ) yaitu dilihat dari sisi : kehandalan, ketanggapan, jaminan, dan empati, dengan cara membagikan kuesioner kepada 50 responden atau

seperlunya agar tidak menimbulkan kesan “memanjakan”, yang akan menimbulkan efek negatif. Subyek partisipasi hendaknya relevan atau berkaitan dengan organisasi di mana individu