• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Faktor Manajemen Terhadap Hasil Pemberantasan Penyakit Demam Berdarah Dengue Di Kota Medan Tahun 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Faktor Manajemen Terhadap Hasil Pemberantasan Penyakit Demam Berdarah Dengue Di Kota Medan Tahun 2014"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Salah satu penyakit menular yang masih menjadi permasalahan adalah

Penyakit Demam Berdarah Dengue atau Dengue Haemorragic Fever (DHF), yang

disebabkan oleh virus Dengue dan ditularkan lewat gigitan nyamuk Aedes aegypti

dan Aedes albopictus. Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah suatu penyakit

menular mempunyai potensi untuk menimbulkan wabah, memerlukan suatu sistem

surveilans atau kegiatan pencegahan maupun pemberantasan sehingga dapat

memperkecil kemungkinan terjadinya penularan yang lebih luas (Depkes RI, 2005).

Penyakit DBD pertama kali di Indonesia ditemukan di Surabaya pada tahun

1968, akan tetapi konfirmasi virologis baru didapat pada tahun 1972. Sejak itu

penyakit tersebut menyebar ke berbagai daerah, sehingga sampai tahun 1980 seluruh

propinsi di Indonesia kecuali Timor-Timur telah terjangkit penyakit. Sejak pertama

kali ditemukan, jumlah kasus menunjukkan kecenderungan meningkat baik dalam

jumlah maupun luas wilayah yang terjangkit dan secara sporadis selalu terjadi KLB

(Kejadian Luar Biasa) setiap tahun ( Depkes RI, 1995).

Kegiatan pencegahan dan pemberatasan terhadap penyakit ini akan berhasil

baik bila ditunjang oleh sistem surveilans DBD yang efektif, karena fungsi utama dari

sistem adalah menyediakan informasi epidemiologi penyakit yang akurat dan tepat

(2)

surveilans DBD dapat dipergunakan untuk menentukan prioritas masalah,

menentukan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang perlu diambil, perencanaan; baik

perencanaan program maupun perencanaan dalam pengembangan sistem yang ada,

pelaksanaan dan menggerakkan sumber daya yang ada serta dapat mendeteksi lebih

awal akan terjadinya Kejadian Luar Biasa Demam Berdarah Dengue (KLB-DBD)

(Depkes RI, 2003).

Demam Berdarah Dengue di Indonesia masih menjadi masalah kesehatan

masyarakat dan merupakan penyakit endemis hampir di seluruh provinsi. Dalam

kurun waktu 5 tahun terakhir jumlah kasus dan daerah terjangkit terus meningkat dan

menyebar luas serta sering menimbulkan KLB (Depkes, 2008). Pada tahun 2013,

jumlah penderita DBD yang dilaporkan sebanyak 112.511 kasus dengan jumlah

kematian 871 orang (Incidence Rate = 45,85 per 100.000 penduduk dan CFR =

0,77%). Terjadi peningkatan jumlah kasus pada tahun 2013 dibandingkan tahun 2012

yang sebesar 90.245 kasus dengan IR 37,27 padahal target Renstra Kementerian

Kesehatan untuk angka kesakitan DBD tahun 2013 sebesar ≤ 52 per 100.000

penduduk (Kemenkes, 2014).

Fenomena insidens kasus DBD yang masih tinggi menjadi masalah kesehatan

di berbagai provinsi di Indonesia pada tahun 2013. Salah satu provinsi yang memiliki

kejadian kasus kesakitan dan kematian akibat DBD yang cukup tinggi yaitu Provinsi

Sumatera Utara bersama dengan Provinsi Jawa Barat, Provinsi DKI Jakarta, Provinsi

Jawa Tengah, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Sulawesi Selatan dan Provinsi Provinsi

(3)

Pada tahun 2012 di Provinsi Sumatera Utara terdapat kasus DBD sebanyak

sebanyak 4.747 kasus kesakitan dengan jumlah kasus meninggal sebanyak 36 orang,

sementara pada tahun 2013 di Provinsi Sumatera Utara terdapat kasus DBD sebanyak

4.732 kasus kesakitan dengan jumlah kasus meninggal sebanyak 45 orang (Dinkes

Prov Sumut, 2014). Penyakit DBD telah menyebar luas ke seluruh wilayah Provinsi

Sumatera Utara sebagai KLB dengan angka kesakitan dan kematian yang relatif

tinggi. Berdasarkan KLB wilayah Provinsi Sumatera Utara dapat diklasifikasikan

menjadi daerah endemis DBD, sporadis DBD dan daerah potensial/bebas DBD

(Dinkes Prov Sumut, 2014).

Kota Medan merupakan salah satu daerah yang dikategorikan endemis di

Provinsi Sumatera Utara. Data laporan Dinas Kesehatan Kota Medan Tahun 2013

terdapat kasus DBD sebanyak 1270 kasus DBD dengan kematian sebanyak 9 kasus.

Pada tahun 2014 prevalensi kasus DBD sebanyak 1698 kasus dengan kematian

sebanyak 15 kasus. Kecamatan yang ada di Kota Medan semuanya sudah diklasifikan

menjadi aerah endemis DBD. Kecamatan Medan Helvetia, Medan Sunggal, Medan

Baru, Medan Denai dan Medan Selayang merupakan lima kecamatan yang paling

tinggi kasusnya (Dinkes Kota Medan, 2014).

Penyebaran penyakit DBD semakin meningkat , disebabkan oleh beberapa

faktor di antaranya yaitu meningkatnya mobilitas penduduk yang memudahkan

migrasi vektor, rendahnya kebersihan lingkungan, kurangnya pengetahuan penduduk

terhadap penyakit ini dan kebiasaan penduduk menampung air karena kurangnya

(4)

memerlukan perhatian dan upaya yang integratif dari Puskesmas sebagai suatu

institusi pelayanan kesehatan yang mempunyai kewajiban untuk melakukan upaya

kesehatan masyarakat (UKM).

Upaya pemberantasan demam berdarah dapat dibagi dalam 3 kegiatan yaitu 1)

Peningkatan kegiatan surveilans penyakit dan surveilans vektor, 2) Diagnosis dini dan

pengobatan dini, 3) Peningkatan upaya pemberantasan vektor penular penyakit DBD.

Upaya pemberantasan DBD dititik beratkan pada penggerakan potensi masyarakat

untuk dapat berperan serta dalam pemberantasan sarang nyamuk (PSN) melalui 3 M

plus (menguras, menutup dan mengubur) plus menabur larvasida, penyebaran ikan

pada tempat penampungan air, penggerakan juru pemantau jentik (jumantik) serta

pengenalan gejala DBD dan penanganannya di rumah tangga (Dinkes Prov Sumut,

2014).

Angka Bebas Jentik (ABJ) digunakan sebagai tolak ukur upaya

pemberantasan vektor melalui PSN-3M menunjukkan tingkat partisipasi masyarakat

dalam mencegah DBD. Pendekatan pemberantasan DBD yang berwawasan

kepedulian masyarakat merupakan salah satu alternatif pendekatan baru. Upaya

pencegahan dan penanggulangan DBD yang dapat dilakukan seperti kegiatan

PSN-DBD. Masyarakat seharusnya memahami bahwa PSN-DBD adalah cara yang paling

utama, efektif dan sederhana, karena vaksin untuk mencegah dan obat untuk

membasmi virusnya belum tersedia. (Dinkes Prov Sumut, 2014)

Kegiatan Pemberantasan Dan Pencegahan Demam Berdarah Dengue ini akan

(5)

material, method) seperti sumber daya yang memadai baik sumber daya manusia, sarana prasarana dan teknik atau metode yang digunakan. Petugas pelaksana di

lapangan dengan dukungan pengetahuan dan keahlian yang cukup akan mampu

melaksanakan kegiatan tersebut dengan baik. Demikian juga dukungan dana, sarana,

bahan terutama bubuk abate yang cukup akan membantu keberhasilan program

PSN-DBD.

Sistem surveilans DBD akan berfungsi dengan baik bila didukung oleh

unsur-unsur dari sistem yang memadai baik bila didukung oleh unsur-unsur-unsur-unsur dari sistem

yang memadai baik dari Input, Proses maupun Out put. Pada Input; pelaksanaan

sistem surveilans DBD di Kota Medan ditunjang oleh data, tenaga, sarana, biaya dan

metode. Pada bagian proses, pelaksanaan sistem surveilans DBD di kota Medan

berupa pengumpulan data, kompilasi data, analisis data dan interprestasi data. Pada

output, sistem surveilans DBD Kota Medan menghasilkan Informasi epidemiologi.

Untuk lebih memaksimalkan program pemberantasan DBD melalui

peningkatan angka bebas jentik dan penurunan angka insiden, diperlukan manajemen

berupa man, money, material dan method. Man (manusia) adalah faktor utama yang

melakukan kegiatan dan akivitas surveilans. Siagian mengatakan manusia merupakan

titik sentral dari manajemen. Keterbatasan dan ketidakpastian unsur manusia terletak

kepada jumlah, mutu, dan terutama perilakunya. Manusia dengan perilakunya itu

justru memiliki keistimewaan tersendiri dibandingkan dengan unsur-unsur

manajemen lainnya. Manusia bukan hanya sekedar merupakan suatu gejala atau

(6)

Dalam pelaksanaan sistem surveilans DBD di Kota Medan bila dilihat dari

Input, pertama unsur tenaga (man) pengelola surveilans DBD di Dinas Kesehatan

Kota Medan secara kuantitatif di Dinas Kesehatan maupun Puskesmas mencukupi

namun dari segi kualitas masih kurang seperti yang dipersyaratkan Kep. Menkes

Nomor 1116 Menkes / SK / VIII / 2003, dimana setiap puskesmas harus mempunyai

1 tenaga epidemiolog yang terampil. (Depkes, 2003)

Kedua, dari unsur money sistem surveilans DBD di Kota Medan yaitu

anggaran biaya untuk usaha pencegahan dan pemberantasan termasuk pelaksanaan

surveilans DBD sudah tersedia. Anggaran biaya untuk puskesmas tidak diberikan

langsung, tetapi diatur oleh Dinas secara proposional. Adapun anggaran untuk

P2DBD juga tersedia untuk program penyemprotan/fogging sarang nyamuk dan

untuk pemantauan jentik berkala. Pada pelaksanaannya pembagian dana ke setiap

Puskesmas belum merata untuk kegiatan P2DBD dikarenakan pembagian dana

berdasarkan tingkat kasus yang ada. Imbalan dana bagi petugas DBD di Puskesmas

untuk melakukan usaha pencegahan dan pemberantasan belum diketahui.

Ketiga, dari unsur material yaitu dari sarana dan prasarana penunjang

pelaksanaan surveilans DBD di Kota Medan sudah ada seperti alat transportasi, alat

tulis kantor dan sarana telekomunikasi. Akan tetapi kecukupan bahan untuk

pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan seperti bubuk abate dan insektisida tidak

diketahui. Bahan apa yang dikelola untuk mencapai tujuan, berarti bahan yang

diperlukan untuk menunjang manajerial harus cukup tersedia baik dari segi kuantitas

(7)

Keempat, dari unsur method pelaksanaan sistem surveilans dalam mendapat

data informasi tentang DBD Kota Medan dilakukan secara manual yang di dapat dari

pengumpulan data, kompilasi data, analisis dan interprestasi data belum

mempergunakan jaringan informasi seperti internet. Dalam kompilasi data, analisis

dan interpretasi data hanya mempergunakan program Word dan Excel. Pelaksanaan

penyuluhan, fogging dan abatisasi di setiap Puskesmas juga tidak sama dikarenakan

dilakukan berdasarkan jumlah kasus yang timbul. Method adalah cara apa yang harus

ditempuh untuk melaksanakan proses tersebut agar tercapainya tujuan.

Uraian tersebut merupakan tatalaksana dari sistem surveilans DBD,

sedangkan metode dalam melakukan upaya pencegahan dan pemberantasan DBD

dapat dilakukan dengan cara fisik seperti gerakan 3M, secara kimia dengan abatisasi,

fogging dan disertai dengan kegiatan penyuluhan. Semua kegiatan tersebut belum diketahui besar pengaruhnya dalam menurunkan kasus DBD dan dalam

meningkatkan ABJ.

Dari uraian tersebut dapat diketahui mengenai pelaksanaan sistem surveilans

dan usaha-usaha pencegahan dan pemberantasan dari penyakit DBD yang dilakukan

di Kota Medan. Dalam penelitian ini akaan dipelajari hanya komponen input dari

manajemen pengelolaan program DBD yang terdiri dari man, money, material,

method di mana akan dilihat mengenai besarnya pengaruh faktor manajemen tersebut terhadap Angka Bebas Jentik dan Angka Insiden yang merupakan hasil upaya

(8)

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, masalah penelitian ini dapat

dirumuskan sebagai berikut : Apakah ada pengaruh faktor manajemen (man, money,

material, method) terhadap hasil upaya pemberantasan penyakit DBD?

1.3. Hipotesis Penelitian

Adapun hipotesis (H0) dari penelitian ini adalah : tidak ada pengaruh faktor

manajemen (man, money, material, method) terhadap hasil upaya pemberantasan

penyakit DBD

1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian adalah untuk menganalisis pengaruh faktor

manajemen (man, money, material, method) terhadap upaya pemberantasan penyakit

DBD dengan peningkatan Angka Bebas Jentik dan penurunan Angka Insiden.

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Menganalisis pengaruh faktor manusia (man) dari petugas yang meliputi

pengetahuan, sikap, tindakan, pendidikan dan pelatihan yang pernah

diikuti terhadap peningkatan Angka Bebas Jentik dan penurunan Angka

Insiden DBD.

2. Menganalisis besar pengaruh faktor imbalan (money) terhadap

pemberantasan DBD dengan peningkatan Angka Bebas Jentik dan

(9)

3. Menganalisis besar pengaruh faktor bahan (material) seperti abate

terhadap pemberantasan DBD dengan peningkatan Angka Bebas Jentik

dan penurunan Angka Insiden penyakit DBD.

4. Menganalisis besar pengaruh faktor metode (method) pemberantasan DBD

yang meliputi abatisasi, fogging dan penyuluhan terhadap pemberantasan

DBD dengan peningkatan Angka Bebas jentik dan penurunan Angka

Insiden penyakit DBD.

1.5 Manfaat Penelitian

1. Bagi instansi tempat kerja (Dinas Kesehatan) agar dapat dijadikan bahan

masukan untuk penentuan kebijakan lebih lanjut dalam upaya pemberantasan

DBD.

2. Bagi penulis, untuk menambah dan memperdalam pengetahuan penulis dalam

bidang pemberantasan DBD melalui pemanfaatan fungsi manajemen (man,

money, material and method).

3. Bagi peneliti lanjutan, diharapkan hasil penelitian ini dapat ditindaklanjuti

sebagai bahan referensi bagi peneliti lain yang ingin melakukan penelitian

dengan fokus penelitian yang sama.

Referensi

Dokumen terkait

Program P2 DBD (pemberantasan Penyakit Demam Berdarah Dengue) di Puskesmas sudah jelas dan telah dilaksanakan sejak tahun 1968, namun angka morbiditas dan mortalitas penyakit

Selayang II bahwa Pelaksanaan Manajemen Program P2M dalam Pencegahan DBD di wilayah kerja tersebut belum berjalan dengan maksimal hal ini dapat dilihat dari

Adapun wilayah dengan Angka Bebas Jentik (ABJ) rendah terdapat pada Kecamatan Jenggawah dan Sumberjambe. Hubungan autokorelasi negatif terjadi pada kasus DBD dan kepadatan

Mengenai upaya pencegahan penyakit Demam Berdarah Dengue yang dilakukan oleh instansi pemerintah dalam hal ini Dinas Kesehatan Kota Pekanbaru dan instansi kesehatan

Hubungan Persentase Angka Bebas Jentik dengan kejadian DBD Menurut di Tingkat Puskesmas di Kota Medan Tahun 2012.

Angka Bebas Jentik (ABJ) di Dusun Ngebel juga masih dibawah 95% yang menandakan bahwa Dusun Ngebel adalah daerah yang belum bebas jentik sehingga daerah tersebut merupakan

Selayang II bahwa Pelaksanaan Manajemen Program P2M dalam Pencegahan DBD di wilayah kerja tersebut belum berjalan dengan maksimal hal ini dapat dilihat dari

Pada kelas angka bebas jentik kelas 1 atau angka bebas jentik tinggi (keadaan lingkungan bersih tidak ada jentik) tidak terdapat kasus penyakit demam berdarah karena di