• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Definisi atau pengertian pajak menurut Prof. Dr. P. J. A. Andriani dalam buku

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Definisi atau pengertian pajak menurut Prof. Dr. P. J. A. Andriani dalam buku"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

14 2.1. Landasan Teori

2.1.1. Perpajakan

2.1.1.1. Pengertian Pajak

Definisi atau pengertian pajak menurut Prof. Dr. P. J. A. Andriani dalam buku Konsep Dasar Perpajakan Diana Sari (2013: 34) adalah sebagai berikut:

“Pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran umum berhubung tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.”

Menurut Prof. Dr. Soemitro, SH dalam buku Mardiasmo (2011: 1) adalah sebagai berikut:

“Pajak adalah iuran kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dilaksanakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.”

Sedangkan menurut Undang Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagai mana telah

(2)

diubah terakhir dengan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009 menjelaskan bahwa:

“Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang sifatnya memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapat timbal balik secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara untuk sebesar-besarnya kemampuan rakyat.”

2.1.1.2. Ciri-ciri Pajak

Dalam buku Perpajakan Teori dan Kasus Resmi (2014: 2) ciri-ciri yang melekat pada definisi pajak adalah:

1. Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang serta aturan pelaksanaannya.

2. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah.

3. Pajak dipungut oleh negara, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

4. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah yang bila pemasukannya masih terdapat surplus, digunakan untuk membiayai public investment.

(3)

2.1.1.3. Fungsi Pajak

Menurut Diana Sari (2013: 37) pajak memiliki 2 fungsi utama, yaitu:

1. Fungsi Penerimaan (Budgeter)

Yaitu sebagai alat (sumber untuk memasukkan uang sebanyak-banyaknya dalam Kas Negara dengan tujuan untuk membiayai pengeluaran negara yaitu pengeluaran rutin dan pembangunan. Sebagai sumber pendapatan negara, pajak berfungsi untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara. Untuk menjalankan tugas-tugas rutin negara dan melaksanakan pembangunan negara membutuhkan biaya. Biaya ini dapat diperoleh dari penerimaan pajak. Pajak digunakan untuk pembiayaan rutin seperti belanja pegawai, belanja barang, pemeliharaan, dan lain sebagainya. Untuk pembiayaan pembangunan, uang dikeluarkan dari tabungan pemerintah yakni penerimaan dalam negeri dikurangi pengeluaran rutin. Tabungan pemerintah ini dari tahun ke tahun harus ditingkatkan sesuai kebutuhan pembiayaan pembangunan yang semakin meningkat dan ini terus diharapkan dari sektor pajak.

2. Fungsi Mengatur (Regulerend)

Yaitu sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu di bidang keuangan (umpamanya bidang ekonomi, politik, sosial, budaya, pertahanan keamanan

(4)

misalnya: mengadakan perubahan tarif, memberikan pengecualian- pengecualian, keringanan-keringanan atau sebaliknya pemberatan-pemberatan yang khusus ditunjukkan kepada masalah tertentu). Pemerintah bisa mengatur pertumbuhan ekonomi melalui kebijaksanaan pajak. Dengan fungsi mengatur, pajak bisa digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Pelaksanaan fungsi ini bisa positif dan negatif. Pelaksanaan fungsi pajak yang positif maksudnya jika suatu kegiatan yang dilakukan masyarakat oleh pemerintah dipandang sebagai sesuatu yang positif, oleh karena itu didorong oleh pemerintah dengan memberikan dorongan berupa insentif pajak (tax incentive) yang dilakukan dengan cara pemberian fasilitas perpajakan. Sementara itu, pelaksanaan fungsi mengatur yang bersifat negatif dimaksudkan untuk mencegah atau menghalangi perkembangan yang menjuruskan kehidupan masyarakat kearah tujuan tertentu. Hal itu dapat dilakukan dengan membuat peraturan di bidang perpajakan yang menghambat dan memberatkan masyarakat untuk melakukan suatu kegiatan yang ingin di berantas oleh pemerintah.

Selain dua fungsi diatas, pajak juga memiliki fungsi lain yaitu:

a. Fungsi Stabilitas

Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat dikendalikan. Hal ini bisa dilakukan antara lain dengan jalan

(5)

mengatur peredaran uang di masyarakat, pemungutan pajak, penggunaan pajak yang efektif dan efisien.

b. Fungsi Redistribusi Pendapatan

Pajak yang sudah dipungut oleh negara akan digunakan untuk membiayai semua kepentingan umum, termasuk juga membiayai pembangunan sehingga dapat membuka kesempatan kerja, yang pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan masyarakat.

c. Fungsi Demokrasi

Pajak yang sudah dipungut oleh negara merupakan wujud sistem gotong royong. Fungsi ini dikaitkan dengan tingkat pelayanan pemerintah kepada masyarakat pembayar pajak.

(6)

2.1.1.4. Pengelompokan Pajak

Menurut Mardiasmo (2009: 5), pajak dibagi dalam beberapa kelompok diantaranya adalah:

1. Menurut Golongan

a. Pajak langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh:

Pajak Penghasilan.

b. Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang akhirnya dapat dilimpahkan atau dibebankan kepada orang lain. Contoh: Pajak Pertambahan Nilai.

2. Menurut Sifat

a. Pajak subjektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya, dalam arti memerhatikan keadaan diri Wajib Pajak. Contoh:

Pajak Penghasilan.

b. Pajak objektif, yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa memerhatikan keadaan dari Wajib Pajak. Contoh: Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

(7)

3. Menurut Lembaga Pemungut

a. Pajak pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. Contoh: Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan Bea Materai.

b. Pajak daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Contoh: Pajak Provinsi (misalnya Pajak Kendaraan Bermotor dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor) dan pajak Kabupaten/Kota (Misalnya Pajak Hotel, Pajak Restoran, dan Pajak Hiburan).

2.1.1.5. Tarif Pajak

Menurut Mardiasmo (2009: 9) terdapat empat macam tarif pajak yaitu:

1. Tarif Sebanding/Proporsional

Tarif berupa persentase yang tetap, terhadap berapapun jumlah yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang terutang proporsional terhadap besarnya nilai yang dikenai pajak.

(8)

2. Tarif Tetap

Tarif berupa jumlah yang tetap (sama) terhadap berapapun jumlah yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang terutang tetap.

3. Tarif Progresif

Persentase tarif yang digunakan semakin besar bila jumlah yang dikenai pajak semakin besar. Menurut kenaikan persentase tarifnya, tarif progresif dibagi:

a. Tarif progresif progresif : kenaikan persentase semakin besar.

b. Tarif progresif tetap : kenaikan persentase tetap.

c. Tarif progresif degresif : kenaikan persentase semakin kecil.

4. Tarif Degresif

Persentasi tarif yang digunakan semakin kecil bila jumlah yang dikenai pajak semakin besar.

(9)

2.1.1.6. Sistem Pemungutan Pajak

Menurut Mardiasmo (2011: 7), terdapat tiga macam sistem pemungutan pajak yaitu:

1. Official Assessment System

Adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.

Cirinya-cirinya:

a. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada fiskus

b. Wajib Pajak bersifat pasif

c. Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus.

2. Self-Assessment System

Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi kewenangan kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang.

Ciri-cirinya:

a. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada Wajib Pajak sendiri

(10)

b. Wajib Pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor, dan melaporkan sendiri pajak yang terutang

c. Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi.

3. Witholding System

Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.

2.1.1.7. Syarat Pemungutan Pajak

Menurut Mardiasmo (2009: 2) agar pemungutan pajak tidak menimbulkan hambatan atau perlawanan, maka pemungutan pajak harus memenuhi syarat sebagai berikut:

1. Pemungutan pajak harus adil (Syarat Keadilan)

Sesuai dengan tujuan hukum, yakni mencapai keadilan, undang-undang dan pelaksanaan pemungutan harus adil. Adil dalam perundang-undangan diantaranya mengenakan pajak secara umum dan merata, serta disesuaikan dengan kemampuan masing-masing. Sedangkan adil dalam pelaksanaannya yakni dengan memberikan hak bagi Wajib Pajak untuk mengajukan

(11)

keberatan, penundaan dalam pembayaran dan mengajukan banding kepada Majelis Pertimbangan Pajak.

2. Pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang (Syarat Yuridis)

Di Indonesia, pajak diatur dalam UUD 1945 pasal 23 ayat 2. Hal ini memberikan jaminan hukum untuk menyatakan keadilan, baik bagi negara maupun warganya.

3. Tidak mengganggu perekonomian (Syarat Ekonomis)

Pemungutan tidak boleh mengganggu kelancaran kegiatan produksi maupun perdagangan, sehingga tidak menimbulkan kelesuan perekonomian masyarakat.

4. Pemungutan pajak harus efisien (Syarat Finansiil)

Sesuai fungsi budgeter, biaya pemungutan pajak harus dapat ditekan sehingga lebih renah dari hasil pemungutannya.

5. Sistem pemungutan pajak harus sederhana

Sistem pemungutan yang sederhana akan memudahkan dan mendorong masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Syarat ini telah dipenuhi oleh undang-undang yang baru.

(12)

2.1.2. Pengertian Wajib Pajak

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009 Tentang perubahan keempat atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan disebutkan bahwa:

“Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan”.

2.1.2.1. Wajib Pajak Orang Pribadi

Menurut Mardiasmo (2013: 56) subjek pajak orang pribadi dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu sebagai berikut:

a. Subjek Pajak Orang Pribadi dalam negeri, yaitu orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan atau berada di Indonesia dalam satu tahun pajak dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.

b. Subjek Pajak Orang Pribadi luar negeri, yaitu orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, tetapi memperoleh penghasilan dari Indonesia.

(13)

2.1.2.2. Wajib Pajak Badan

Pengertian badan menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) Pasal 1 Ayat 3 yaitu:

“Badan adalah sekumpulan orang pribadi dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koprasi, dan pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap”.

2.1.3. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)

2.1.3.1. Pengertian NPWP

Nomor Pokok Wajib Pajak adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya (Mardiasmo, 2009).

(14)

2.1.3.2. Fungsi NPWP

Menurut Diana Sari (2013: 180) fungsi NPWP antara lain adalah sebagai berikut:

1. Sarana dalam administrasi perpajakan.

2. Tanda pengenal diri atau identitas WP dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.

3. Dicantumkan dalam setiap dokumen perpajakan. Setiap dokumen perpajakan sebagai contoh Surat Setoran Pajak (SSP), Faktur Pajak, Surat Pemberitahuan, harus mencantumkan NPWP.

4. Menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan pengawasan administrasi perpajakan.

5. Untuk mendapatkan pelayanan dari instansi-instansi tertentu yang mewajibkan pencantuman NPWP dalam dokumen yang diajukan, seperti dokumen impor.

6. Menjadi persyaratan dalam pelayanan umum, misalnya paspor, kredit bank, dan lelang.

Dengan memiliki NPWP, Wajib Pajak memperoleh beberapa manfaat langsung lainnya, seperti:

(15)

1. Memenuhi salah satu persyaratan ketika melakukan pengurusan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP);

2. salah satu syarat pembuatan Rekening Korang di bank-bank; dan

3. memenuhi persyaratan untuk bisa mengikuti tender-tender yang dilakukan oleh pemerintah.

2.1.3.3. Pendaftaran NPWP

Dalam Mardiasmo (2009) semua Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan berdasarkan sistem self-assessment, wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak untuk dicatat sebagai Wajib Pajak dan sekaligus untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak. Berdasarkan Undang- Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan pasal 2 (1) menyebutkan bahwa:

1. Persyaratan subjektif adalah persyaratan yan sesuai dengan ketentuan mengenai subjek pajak dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan perubahannya.

2. Persyaratan objektif adalah persyaratan bagi subjek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan atau diwajibkan untuk melakukan

(16)

pemotongan/pemungutan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan perubahannya.

Menurut Mardiasmo (2011: 26) kewajiban mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP dibatasi jangka waktunya, karena hal ini berkaitan dengan saat pajak terutang dan kewajiban mengenakan pajak terutang. Jangka waktu pendaftaran NPWP adalah:

1. Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dan Wajib Pajak badan, wajib mendaftarkan diri paling lambat satu bulan setelah saat usaha mulai dijalankan.

2. Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak menjalankan suatu usaha atau tidak melakukan pekerjaan bebas apabila jumlah penghasilannya sampai dengan satu bulan yang disetahunkan telah melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak, Wajib mendaftarkan diri paling lambat pada akhir bulan berikutnya. Terhadap Wajib Pajak yang tidak mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP akan dikenakan sanksi perpajakan.

2.1.3.4. Penghapusan NPWP

NPWP dapat dihapuskan. Dengan penghapusan NPWP ini tidak berarti menghilangkan kewajiban perpajakan yang harus dilakukan. Pengertian penghapusan

(17)

NPWP adalah tindakan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dari Tata Usaha Kantor Pelayanan Pajak. Beberapa kondisi yang memungkinkan terhapus dan tercabutnya NPWP, yakni:

1. WP meninggal dunia dan tidak meninggalkan warisan.

2. Wanita kawin tidak dengan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan diisyaratkan adanya surat nikah/akta perkawinan dari catatan sipil.

3. Warisan yang belum terbagi dalam kedudukan sebagai Subjek Pajak.

4. WP badan yang telah dibubarkan secara resmi.

5. Badan Usaha Tetap (BUT) yang karena suatu hal kehilangan statusnya sebagai BUT.

6. WP Orang Pribadi lainnya yang tidak memenuhi syarat lagi sebagai WP.

Penghapusan NPWP ini dilakukan apabila utang pajak telah dilunasi, kecuali dari hasil pemeriksaan pajak diketahui adanya utang pajak yang tidak dapat atau tidak mungkin ditagih, Diana Sari (2013: 185).

(18)

2.1.4. Surat Pemberitahuan (SPT)

2.1.4.1. Pengertian SPT

Disamping berkewajiban dalam meimiliki NPWP, Wajib Pajak juga berkewajiban dalam menghitung, membayar, dan melaporkan pajak terutangnya dalam bentuk Surat Pemberitahuan (SPT). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009 tentang Perubahan keempat atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Pasal 1 (11)menyebutkan bahwa:

“Surat pemberitahuan adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan perhitungan pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan”.

2.1.4.2. Fungsi SPT

Fungsi SPT menurut Mardiasmo (2011:31) adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan perhitungan pajak yang sebenarnya terutang untuk melaporkan tentang:

a. Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan/atau melalui pemotongan atau pemungutan pihak lain dalam 1 (satu) Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak;

b. Penghasilan yang merupakan objek pajak dan/atau bukan objek pajak;

(19)

c. Harta dan kewajiban; dan/atau

d. Pembayaran dari pemotong atau pemungut tentang pemotongan atau pemungutan pajak Orang Pribadi atau Badan lain dalam 1 (satu) Masa Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Bagi Pengusaha Kena Pajak, fungsi SPT adalah sebagai saran untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan perhitungan jumlah Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang:

a. Pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran;

b. Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak dan/atau melalui pihak lain dalam satu Masa Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Bagi pemotong atau pemungut pajak,fungsi SPT adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan pajak yang telah dipotong atau dipungut dan disetorkannya.

(20)

2.1.5. Good Governance

2.1.5.1. Pengertian Good Governance

Good Governance diartikan sebagai kepemerintahan yang baik. Secara teori good governance telah didefinisikan oleh berbagai lembaga yang diakui oleh dunia.

Salah satunya, yaitu United Nations Development Program (UNDP) dalam dokumen kebijakannya yang berjudul “Governance for sustainable human development”

(1997) mendefinisikan good governance sebagai hubungan yang sinergis dan konstruktif di antar negara, sektor swasta, dan society (Dwiyanto, 2005:82).

2.1.5.2. Prinsip-prinsip Good Governance

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000 prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik terdiri dari:

1. Profesionalitas, meningkatkan kemampuan dan moral penyelenggara pemerintahan agar mampu memberi pelayanan yang mudah, cepat, tepat dengan biaya terjangkau.

2. Akuntabilitas, meningkatkan akuntabilitas para pengambil keputusan dalam segala bidang yang menyangkut kepentingan masyarakat.

(21)

3. Transparansi, menciptakan kepercayaan timbal balik antar pemerintah dan masyarakat melalui penyediaan informasi dan menjamin kemudahan di dalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai.

4. Pelayanan prima, penyelenggara pelayanan publik yang mencakup prosedur yang baik, kejelasan tarif, kepastian waktu, kemudahan akses, kelengkapan sarana dan prasarana, serta pelayanan yang ramah dan disiplin.

5. Demokrasi dan partisipasi, mendorong setiap warga untuk mempergunakan hak dalam menyampaikan pendapat dalam proses pengambilan keputusan, yang menyangkut kepentingan masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung.

6. Efisiensi dan efektivitas, menjamin terselenggaranya pelayanan kepada masyarakat dengan menggunakan sumber daya yang tersedia secara optimal dan bertanggung jawab.

7. Supremasi hukum dan dapat diterima oleh seluruh masyarakat, mewujudkan adanya penegakkan hukum yang adil bagi semua pihak tanpa pengecualian, menjunjung tinggi HAM dan memerhatikan nilai-nilai hidup dalam masyarakat.

(22)

Karakteristik atau prinsip-prinsip yang harus dianut dan dikembangkan dalam praktek penyelenggaraan kepemerintahan yang baik (good governance) dikemukakan oleh UNDP (1997) yaitu meliputi:

1. Partisipasi (participation)

Setiap orang atau warga masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak suara yang sama dalam proses pengambilan keputusan, baik secara langsung melalui lembaga perwakilan sesuai dengan kepentingan dan aspirasinya masing-masing.

2. Akuntabilitas (accountability)

Para pengambil keputusan dalam sektor publik, swasta, dan masyarakat madani memiliki pertanggungjawaban (akuntabilitas) kepada publik, sebagaimana halnya kepada stakeholders.

3. Aturan hukum (rule of law)

Kerangka aturan hukum dan perundang-undangan harus berkeadilan, ditegakkan dan dipatuhi secara utuh, terutama aturan hukum tentang hak azasi manusia.

4. Transparansi (transparency)

Transparansi harus dibangun dalam rangka kebebasan aliran informasi.

Informasi harus dapat dipahami dan dapat monitor.

(23)

5. Daya tangkap (responsiveness)

Setiap intuisi dan prosesnya harus diarahkan pada upaya untuk melayani berbagai pihak yang berkepentingan (stakeholders).

6. Berorientasi konsensus (consensus oriented)

Pemerintah yang baik akan bertindak sebagai penengah bagi berbagai kepentingan yang berbeda untuk mencapai konsensus atau kesempatan yang terbaik bagi kepentingan yang berbeda untuk mencapai konsensus atau kesempatan yang terbaik bagi kepentingan masing-masing pihak, dan berbagai kebijakan dan prosedur yang akan ditetapkan pemerintah.

7. Berkeadilan (equity)

Pemerintah yang baik akan memberikan kesempatan yang baik terhadap laki-laki maupun perempuan dalam upaya mereka untuk meningkatkan kualaitas hidupnya.

8. Efektifitas dan Efisiensi (effectivity and efficiency)

Setiap proses kegiatan dan kelembagaan diarahkan untuk menghasilkan sesuatu yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan melalui pemanfaatan yang sebaik-baiknya dengan berbagai sumber yang tersedia.

(24)

9. Visi strategis (strategic vision)

Para pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif yang luas dan jangka panjang tentang penyelenggaraan pemerintah yang baik dan pembangunan manusia, bersamaan dengan dirasakannya kebutuhan untuk pembangunan tersebut.

Dwiyanto (2005) mengadopsi dan menguraikan prinsip-prinsip good governance yang dituangkannya kedalam pelayanan publik, yaitu:

1. Pelayanan yang Akuntabel (Accountabililty)

Menurut Dwiyanto (2005: 102) bahwa akuntabilitas adalah suatu derajat yang menunjukkan besarnya tanggung jawab aparat atas kebijakan maupun proses pelayanan publik yang dilaksanakan oleh birokrasi pemerintah. Dalam hal ini, ada dua bentuk akuntabilitas, yaitu akuntabilitas eksplisit dan implisit.

Akuntabilitas eksplisit adalah pertanggungjawaban seorang pejabat atau menanggung konsekuensi dari cara-cara yang mereka gunakan dalam melaksanakan tigas-tugas kedinasan. Sedangkan akuntabilitas implisit berarti bahwa setiap pejabat atau pegawai pemerintahan secara implisit bertanggung jawab atas setiap kebijakan, tindakan, atau proses pelayanan public yang dilaksanakan. Termasuk di dalam tanggung jawab implisit yang harus dipikul oleh setiap pegawai atau pejabat pemerintah ialah menghindari penyakit-

(25)

penyakit birokrasi yang senantiasa dikeluhkan oleh masyarakat saat ini, yaitu korupsi, kolusi, dan nepotisme.

2. Pelayanan yang Efektif dan Efisien (Effectivity and Efficiency)

Dwiyanto (2005: 150-151) mendefinisikan efisiensi sebagai perbandingan yang terbaik antara input dan output. Ini berarti suatu output dapat dicapai dengan input yang minimal maka tingkat efisiensi semakin baik. Input dalam pelayanan publik dapat berupa uang, tenaga, waktu, dan materi lain yang digunakan untuk menghasilkan atau mencapai suatu output. Artinya, harga pelayanan publik harus dapat terjangkau oleh kemampuan ekonomi masyarakat. Disamping itu, masyarakat dapat memperoleh pelayanan publik, dalam waktu yang relatif singkat dan tidak banyak membutuhkan tenaga.

Dengan menggunakan bantuan teknologi modern maka proses pelayanan publik dapat dilakukan dengan cepat dan hemat tenaga. Efisiensi dalam pelayanan publik dapat dilihat dari perspektif pemberi layanan, organisasi pemberi layanan harus mengusahakan agar pelayanan murah dan tidak terjadi pemborosan sumberdaya publik. Pelayanan publik sebaiknya melibatkan sedikit mungkin pegawai dan diberikan waktu yang singkat. Demikian juga dari perspektif pengguna layanan, mereka menghendaki pelayanan publik dapat dicapai dengan biaya murah, waktu singkat, dan tidak banyak membuang energi.

(26)

3. Pelayanan yang Responsif (Responsiveness)

Dwiyanto (2005: 152) mendefinisikan responsif atau daya tanggap sebagai kemampuan organisasi untuk mendefinisikan kebutuhan masyarakat, menyusun prioritas kebutuhan, dan mengembangkan ke dalam berbagai program pelayanan. Responsivitas mengukur daya tanggap organisasi terhadap harapan, keinginan dan aspirasi, serta tuntutan warga pengguna layanan. Tujuan utama pelayanan publik adalah memenuhi kebutuhan warga pengguna agar dapat memperoleh pelayanan yang diinginkan dan memuaskan karena itu, penyedia layanan harus mampu mengidentifikasi kebutuhan dan keinginan warga pengguna, kemudian memberikan pelayanan yang sesuai dengan keinginan dan kebutuhan warga tersebut.

4. Pelayanan yang Non Partisan atau Keadilan (Equity) Merata

Dwiyanto (2005: 158-159) mendefinisikan pelayanan publik non-partisan sebagai suatu sistem pelayanan yang memperlakukan semua pengguna layanan secara adil tanpa membeda-bedakan berdasarkan status sosial- ekonomi, kesukuan, etnik, agama dan sebagainya. Latar belakang pengguna layanan tidak boleh dijadikan pertimbangan dalam memberikan pelayanan.

Penyelenggaraan pelayanan harus berdasarkan asas equal before the law (kesamaan di depan hukum). Prinsip ini memberikan akses yang sama bagi semua warga negara di dalam menerima pelayanan publik.

(27)

5. Pelayanan yang Partisipatif (Participation)

Pada pelayanan publik, prinsip partisipasi dalam upaya mewujudkan good governance sejalan dengan pandangan baru yang berkembang di dalam upaya meningkatkan pelayanan publik dengan cara melihat masyarakat tidak hanya sebagai pelanggan (customer) melainkan sebagai warga negara yang memiliki negara dan sekaligus pemerintahan yang ada di dalamnya (owner). Pergeseran pandangan ini mengisyaratkan bahwa masyarakat sejak awal harus dilibatkan dalam merumuskan berbagai hal yang menyangkut pelayanan publik, misalnya mengenai jenis pelayanan publik yang mereka butuhkan, cara terbaik untuk penyelenggaraan pelayanan publik, mekanisme untuk mengawasi proses pelayanan, dan yang tak kalah pentingnya adalah mekanisme untuk mengevaluasi pelayanan, Purwanto (2008: 190).

Dwiyanto (2005: 199) mengungkapkan beberapa instrument yang dapat dipakai untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam penyediaan pelayanan public, yaitu membuat saluran untuk menampung keluhan konsumen, membuat saluran untuk menampung saran-saran dari konsumen, melakukan survei konsumen, melakukan kontak atau pertemuan dengan konsumen, membuat forum untuk memperoleh masukan kualitatif dari konsumen, misalnya membentuk forum konsumen.

(28)

6. Pelayanan yang Transparan (Trasparency)

Dwiyanto (2005: 242) menjelaskan bahwa konsep transparansi menunjuk pada suatu keadaan dimana segala aspek dari proses penyelenggaraan pelayanan bersifat terbuka dan dapat diketahui dengan mudah oleh para pengguna dan stakeholders yang membutuhkan. Jika segala aspek proses penyelenggaraan pelayanan seperti persyaratan, biaya dan waktu yang diperlukan, cara pelayanan, serta hak dan kewajiban penyelenggara dan pengguna layanan dipublikasikan secara terbuka sehingga mudah diakses dan dipahami oleh publik, maka praktik penyelenggara layanan itu dapat dinilai memiliki transparansi yang tinggi. Sebaliknya, bila sebagian atau semua aspek dari proses penyelenggaraan pelayanan itu tertutup dan informasinya sulit diperoleh oleh para pengguna dan stakeholder lainnya, maka penyelenggaraan pelayanan itu tidak memenuhi kaidah transparansi. Oleh karena itu, setidak- tidaknya ada tiga indikator yang dapat digunakan untuk mengukur transparansi pelayanan public (hlm. 242-248), yaitu: mengukur tingkat keterbukaan proses penyelenggaraan pelayanan publik, seberapa mudah peraturan dan prosedur pelayanan dapat dipahami oleh pengguna dan stakeholder lainnya, kemudahan untuk memperoleh informasi mengenai berbagai aspek penyelenggaraan pelayanan publik.

(29)

2.1.6. Kepatuhan Wajib Pajak

2.1.6.1. Pengertian Kepatuhan Wajib Pajak

Keputusan Menteri keuangan Nomor 192/PMK.03/2007 tentang kriteria Wajib Pajak Patuh menyatakan bahwa:

“Kepatuhan perpajakan adalah tindakan Wajib Pajak dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan dan peraturan pelaksanaan perpajakan yang berlaku umum dalam suatu negara.”

Kepatuhan Wajib Pajak dikemukakan oleh Norman D. Nowak (Mohamad Zain, 2007:31) sebagai suatu iklim kepatuhan dan kesadaran pemenuhan kewajiban perpajakan tercermin dalam situasi dimana:

1. Wajib Pajak paham atau berusaha untuk memahami semua ketentuan peraturan perundang-undangan.

2. Mengisi formulir pajak dengan lengkap dan jelas.

3. Menghitung jumlah pajak yang terutang dengan benar.

4. Membayar pajak yang terutang tepat pada waktunya.

2.1.6.2. Jenis-jenis Kepatuhan Wajib Pajak

Menurut pengamatan yang dilakukan oleh Nurmantu (2005: 148-149) adalah sebagai berikut:

(30)

“Terdapat dua macam kepatuhan yakni kepatuhan formal dan kepatuhan material. Kepatuhan formal merupakan suatu keadaan dimana Wajib Pajak memenuhi kewajiban perpajakan secara formal sesuai dengan ketentuan undang-undang perpajakan. Misalnya ketentuan tentang batas waktu penyetoran pajak terhutang dan penyampaian SPT. Sedangkan kepatuhan material merupakan suatu keadaan dimana Wajib Pajak secara substantif memenuhi semua keadaan material perpajakan, yakni sesuai isi dan jiwa undang-undang perpajakan. Kepatuhan material dapat meliputi juga kepatuhan formal”.

Adapun jenis-jenis kepatuhan Wajib Pajak menurut Rahayu (2010:138):

1. Kepatuhan formal, yaitu suatu keadaan dimana Wajib Pajak memenuhi kewajiban secara formal sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang perpajakan. Misalnya ketentuan batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT).

2. Kepatuhan material, yaitu suatu keadaan dimana Wajib Pajak secara substantif memenuhi semua ketentuan material perpajakan yakni sesuai dengan isi dan jiwa Undang-Undang Perpajakan. Kepatuhan material dapat meliputi kepatuhan formal.

2.1.6.3. Kriteria Wajib Pajak yang Patuh

Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 74/PMK.03/2012 menyatakan bahwa Wajib Pajak dapat ditetapkan sebagai Wajib Pajak patuh apabila memenuhi kriteria berikut:

(31)

1. Tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT).

2. Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali tunggakan pajak yang telah memperoleh izin mengangsur atau menunda pembayaran pajak.

3. Laporan keuangan diaudit oleh akuntan publik atau lembaga pengawasan keuangan pemerintah dengan pendapat wajar tanpa pengecualian selama 3 (tiga) tahun berturut-turut.

4. Tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menyatakan bahwa pengertian kepatuhan penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) adalah sebagai berikut:

1. SPT disampaikan tepat waktu dalam tiga tahun terakhir.

2. Penyampaian SPT Masa untuk masa pajak bulan Januari dengan bulan November yang terlambat tidak lebih dari masa pajak untuk setiap jenis pajak dan tidak berturut-turut dalam tahun pajak terakhir.

3. SPT masa yang terlambat tersebut tidak lewat dari batas waktu penyampaian SPT masa pajak berikutnya.

(32)

2.1.6.4. Indikator Kepatuhan Wajib Pajak

Menurut Rahayu (2010: 139) indikator kepatuhan Wajib Pajak adalah sebagai berikut:

a. Wajib Pajak yang mengisi dengan jujur, lengkap, dan benar Surat Pemberitahuan (SPT) sesuai ketentuan.

b. Menyampaikan SPT ke KPP sebelum batas waktu berakhir.

2.1.6.5. Pencabutan Predikat Wajib Pajak Patuh

Surat Penetapan Wajib Pajak Patuh dicabut oleh Kepala Kantor Wilayah setelah mempertimbangkan usulan Kepala Kantor Pelayanan Pajak dalam hal memenuhi kriteria pembatalan, yaitu:

1. Terhadap Wajib Pajak tersebut dilakukan tindak penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.

2. Wajib Pajak terlambat menyampaikan SPT Masa lebih dari 3 (tiga) masa pajak untuk semua jenis pajak.

3. Wajib Pajak terlambat menyampaikan SPT Masa untuk 2 (dua) masa pajak atau lebih berturut-turut untuk semua jenis pajak.

(33)

4. Dalam suatu masa pajak, ternyata tidak memenuhi kriteria tidak pernah dijatuhi hukuman karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir sejak masa pajak yang bersangkutan.

2.1.6.8. Theory of Planned Behavior (TPB)

Teori yang menjadi landasan penelitian ini adalah Theory of Planned Behavior (TPB). Teori ini menjelaskan bahwa adanya niat untuk berperilaku dapat menimbulkan perilaku yang ditampilkan oleh individu. Dalam Theory of Planned Behavior (TPB) (Gambar 2.1), perilaku yang ditampilkan oleh individu timbul karena adanya niat untuk berperilaku. Sedangkan munculnya niat berperilaku ditentukan oleh 3 faktor penentu yaitu:

1. Behavioral beliefs, yaitu keyakinan individu akan hasil dari suatu perilaku dan evaluasi atas hasil tersebut (beliefs strength and outcome evaluation).

2. Normative beliefs, yaitu keyakinan tentang harapan normatif orang lain dan motivasi untuk memenuhi harapan tersebut (normative beliefs and motivation to comply.

3. Control beliefs, yaitu keyakinan tentang keberadaan hal-hal yang mendukung atau menghambat perilaku yang akan ditampilkan (control beliefs) dan

(34)

persepsinya tentang seberapa kuat hal-hal yang mendukung dan menghambat perilakunya tersebut (perceived power).

Gambar 2.1

Theory of Planned Behavior (TPB)

Sumber: Ajzen, 2002:2

Hambatan yang mungkin timbul pada saat perilaku ditampilkan dapat berasal dari dalam diri sendiri maupun dari lingkungan. Secara berurutan behavioral beliefs menghasilkan sikap terhadap perilaku positif atau negatif, normative beliefs menghasilkan tekanan sosial yang dipersepsikan (perceived social pressure) atau norma subyektif (subjective norm) dan contol beliefs menimbulkan perceived behavioral control atau kontrol keperilakuan yang dipersepsikan (Ajzen, 2002:2).

Alasan dipilihnya model kerangkan Theory of Planned Behavior (TPB) ini karena model TPB merupakan suatu model perilaku yang telah terbukti memberikan penjelasan yang signifikan bahwa sikap, norma subjektif, dan kontrol keperilakuan

(35)

yang dipersepsikan berpengaruh terhadap perilaku tidak patuh Wajib Pajak baik orang pribadi maupun badan. Beberapa peneliti menggunakan model Theory of Planned Behavior (TPB) untuk menjelaskan perilaku kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi (Blanthorne 2000; Bobk 2003). Bobek & Hatfield (2003), Blanthorne (2000), dan Hanno & Violette (1996) memanfaatkan Theory of Planned Behavior (TPB) untuk menjelaskan kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP). Temuan Bobek &

Hatfield (2003), dan Hanno & Violette (1996) adalah sikap terhadap ketidakpatuhan pajak berpengaruh secara signifikan terhadap niat ketidakpatuhan pajak.

2.2. Peneliti Sebelumnya

Kembaren (2013) secara khusus melakukan penelitian terhadap tingkat kepatuhan Wajib Pajak pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Cakung Dua.

Penelitian Kembaren (2013) menggunakan 1 (satu) variabel bebas yaitu penerapan good governance dalam pelayanan pajak terhadap kepatuhan Wajib Pajak. Hasil penelitian menunjukkan variabel tersebut memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap tingkat kepatuhan Wajib Pajak.

Triwigati (2012) menguji variabel penerapan modernisasi sistem administrasi perpajakan terhadap tingkat kepatuhan Wajib Pajak pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Malang Utara dengan mengambil sampel sebanyak 43 Wajib Pajak Orang Pribadi. Penelitian tersebut menghasilkan kesimpulan bahwa penerapan

(36)

modernisasi sistem administrasi perpajakan memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap tingkat kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi.

Tabel 2.1.

Tinjauan Penelitian Sebelumnya

No Peneliti Judul Variabel yang Digunakan Hasil Penelitian Independen Dependen

1 Kembaren (2013)

Pengaruh Penerapan Good Governance Dalam Pelayanan Pajak Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Cakung Dua.

Penerapan Good Governance Dalam Pelayanan Pajak.

Kepatuhan Wajib pajak.

Penerapan good governance dalam pelayanan pajak berpengaruh positif dan signifikan

terhadap

kepatuhan Wajib Pajak.

2 Triwigati (2013)

Pengaruh Penerapan Modernisasi Sistem Administrasi

Perpajakan Terhadap Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak (Studi Kasus atas Wajib Pajak Orang Pribadi pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Malang Utara).

Penerapan Modernisasi Sistem Administrasi Perpajakan

Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi.

Penerapan modernisasi sistem administrasi perpajakan berpengaruh positif dan signifikan

terhadap tingkat kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi.

2.3. Kerangka Pemikiran

Sejak tahun 1983 pemerintah telah melakukan reformasi perpajakan (tax reform) yang bertujuan untuk dapat memaksimalkan dan meningkatkan peranannya

(37)

kepada masyarakat. Reformasi perpajakan adalah perubahan yang mendasar di segala aspek perpajakan, seperti organisasi, sistem, sarana dan prasarana kerja, peraturan maupun aparat yang mengelola pajak. Salah satunya dengan mengubah sistem pemungutan pajak yang sebelumnya official assesment menjadi self assesment. Self Assesment adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi kewenangan kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang. Dalam hal ini, Wajib Pajak dipandang aktif, mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajak yang terutang, fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi (Mardiasmo, 2011). Selain itu, Wajib Pajak diwajibkan pula melaporkan secara teratur jumlah pajak yang terutang dan yang telah dibayar sebagaimana ditentukan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan (Zain, 2008).

Dengan reformasi perpajakan tersebut diharapkan dapat mendongkrak penerimaan negara. Untuk mendongkrak peningkatan penerimaan negara melalui sektor pajak, dibutuhkan partisipasi aktif dari Wajib Pajak untuk memenuhi segala kewajiban perpajakannya dengan baik maka dari itu artinya peningkatan penerimaan negara ditentukan oleh tingkat kepatuhan Wajib Pajak sebagai Warga Negara yang baik (Diana Sari, 2013). Secara tradisional, Jenkins dan Forlemu (1992) yang dikutip oleh Gunadi menyebutkan bahwa beberapa metode pendorong kepatuhan perpajakan termasuk self assessement yang dibarengi dengan penegakkan hukum secara random tetapi keras, tegas, dan lugas (stringent), misalnya berupa pemeriksaan, penagihan dan penyidikan, dan administrative assessment atas semua

(38)

SPT yang disampaikan. Selain kedua model itu, diperkenalkan juga model self assessment dengan ‘high level’ pelayanan (pelayanan prima - excellent services) kepada pembayar pajak, misalnya dalam bentuk edukasi, sosialisasi, konsultasi, fasilitasi pembayaran dan pelaporan.

Sehubungan dengan penerapan kepemerintahan (governance), studi Huther dan Shah (1998) menunjukkan bahwa Indonesia berada pada kelompok negara dengan poor governance. Sejalan dengan merebaknya paradigma good governance, dengan menjaga sinergi dan interaksi yang konstruktif antara pemerintah, sektor swasta dan masyarakat, pembaharuan administrasi, termasuk pelayanan, dengan muatan good governance dapat menjadi kerangka acuan untuk memperbaiki kerusakan dasar institusional pengelolaan maupun distribusi berbagai sumber daya dalam masyarakat. Pembaharuan tata pemerintahan haruslah berfokus pada penguatan kapasitas Negara, kapasitas kebijakan dan kapasitas administrasi. Peningkatan kapasitas administrasi terkait dengan upaya peningkatan efisiensi pengelolaan sumber daya, serta efektivitas semua proses administrasi pemerintahan termasuk pelayanan publik dan penegakkan hukumnya.

Berdasarkan uraian di atas, maka kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:

(39)

Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran

2.4. Hipotesis Penelitian

Pengertian Hipotesis menurut Sugiyono (2014:64) yaitu:

“Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, dimana rumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam bentuk kalimat pertanyaan. Di katakan sementara karena jawaban yang diberikan baru didasarkan pada teori yang relevan, belum didasarkan pada fakta-fakta empiris yang diperoleh melalui pengumpulan data. Jadi hipotesis juga dapat dinyatakan sebagai jawaban teoritis terhadap rumusan masalah penelitian, belum jawaban yang empiris.”

Self Assessment System Reformasi dan

Modernisasi Perpajakan

Penerapan Good Governance pada

Pelayanan Pajak

Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Orang

Pribadi

(40)

Hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini berkaitan dengan ada atau tidaknya pengaruh antara variabel independen terhadap variabel dependen. Hipotesis nol (H0) yaitu suatu hipotesis tentang tidak adanya hubungan, umumnya diformulasikan untuk ditolak. Sedangkam hipotesis alternatif (H1) merupakan hipotesis yang diajukan penulis dalam penelitian ini.

Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut, maka hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini adalah:

H0 : Penerapan good governance pada pelayanan pajak tidak berpengaruh terhadap kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi.

H1 : Penerapan good governance pada pelayanan pajak berpengaruh signifikan terhadap kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi.

Gambar 2.3 Kerangka Hipotesis

Pengaruh Penerapan Good Governance pada

Pelayanan Pajak (X)

Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi (Y)

Gambar

Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran
Gambar 2.3 Kerangka Hipotesis

Referensi

Dokumen terkait

Selain memperbaiki kaedah pengajaran guru LINUS-Literasi Bahasa Malaysia juga perlu melengkapkan diri dengan aspek-aspek persediaan lain dalam meningkatkan mutu

Setelah Anda melakukan registrasi Anda akan mendapatkan email notifikasi bahwa Anda mendaftar sebagai member, Setelah itu Anda bisa langsung masuk ke halaman Login

Menurut Undang-undang No.28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Restribusi Daerah, Pajak Daerah yang selanjutnya disebut adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang

kebun sendiri dan dapat dipisahkan dari usaha pertaniannya, atau bahan bakunya berasal dari pembelian... Usaha pemerahan susu hewan besar maupun

Hal ini menunjukan bahwa tidak ada perkara lain yang paling petama disebut Allah dalam Alquran dari ciri orang bertakwa selain beriman kepada perkara gaib.. Ini sekali lagi

Beneish M-Score dari aspek Days Sales in Receivables Index (DSRI), Gross Margin Index (GMI), Asset Quality Index (AQI), Sales Growth Index (SGI), Depreciation

Analisis Pengaruh Budaya Organisasi Dan Gaya Kepemimpinan Terhadap Kepuasan Kerja Untuk Meningkatkan Kinerja Karyawan. Jurnal Ekonomi

Berdasarkan hasil Finite Element Analysis (FEA) seperti yang diperlihatkan pada gambar 3 dan gambar 4, diperoleh komponen pencacah yang dipakai terdiri atas 14 buah shredder blade