• Tidak ada hasil yang ditemukan

Panduan Bagi Manajer, Klinisi dan Teknisi dalam Tatalaksana ISPA dan Kesulitan Bernapas Lainnya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Panduan Bagi Manajer, Klinisi dan Teknisi dalam Tatalaksana ISPA dan Kesulitan Bernapas Lainnya"

Copied!
178
0
0

Teks penuh

(1)

Penggunaan Oksigen sebagai TeraPi di rumah sakiT dan Puskesmas

denganTemPaT PerawaTan

Panduan Bagi Manajer, Klinisi dan Teknisi dalam Tatalaksana ISPA

dan Kesulitan Bernapas Lainnya

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

DIREKTORAT JENDERAL PENGENDALIAN PENYAKIT DAN PENYEHATAN LINGKUNGAN DIREKTORAT PENGENDALIAN PENYAKIT MENULAR LANGSUNG

TAHUN 2012

(2)

Kontributor:

- Dr. Martin Weber, dr.Med Habil,PHD, DTM&H - Dr. H. M. Subuh . MPPM - Dr. Arie Bratasena - Dr. Darmawan B.S SpA(K) - Dr. Lili Runjdan, SpA - Dr. fransisca Handy, SpA

(WHO)

- Dr. Cut Putri Arianie, MHKes - Dr. Dyah Armi Riana

- Dr. Nani Rizkiyati, M.Kes - Martahan Sitorus, SKM, MPH - Dr. Euis Bakti, MKM

PenerJemah :

- Dr. Puti Naindra Alevia - Dr. Ratih Puspita

- Dr. Nurul Is

- Dr. Eulis Wulatari, M.Kes - Dr. Zulkifli Amin, Ph.D, FCCP - Dr. Dini Ita Patonah - Ir. Sodikin Musadek - Ir. K. Chandra Meliala - Gunawan Sabariman - Dr. Ira Wignjodiputro - Gestafiana, SKM

- Edy Haryanto, SKM, M.Epid - Ahmad fandil, ST

- Irmawati, SKM

Editor :

- Dr. Nani Rizkiyati - Dr. Fransisca Handi, SpA - Dr. Irfan Riswan

Buku ini adalah adaptasi dari buku yang berjudul : the clinical use of oxygen in hospital with limited resources Word health Organization 2010. Proses terjemahan dan adaptasi ke dalam bahasa Indonesia di sesuaikan dengan situasi dan kondisi Rumah Sakit Rujukan dan Puskesmas yang ada di Indonesia. Sub direktorat ISPA Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia bersama-sama dengan WHO berperan selaku koordinator dalam persiapan buku ini.

Tim Penyusun.

(3)

daFTar isi

Kata Pengantar i

Daftar Isi iii

Daftar Singkatan/Istilah viii

Pendahuluan ix

bagian i informasi dasar untuk semua kelompok profesi 1

1 Pengantar mengenai hipoksemia 2

1.1 Apakah arti hipoksemia? 2

1.2 Bagaimana mendeteksi hipoksemia? 3

2 Pemberian oksigen 5

2.1 Karakteristik dan fungsi oksigen 5

2.2 Sumber oksigen 6

2.3 Alat-alat pemberian oksigen 7

3 Sistem oksigen di rumah sakit 8

3.1 Ketersedian oksigen di RS rujukan tingkat pertama atau

Puskesmas DTP 8

3.2 Apa yang paling penting dalam mempersiapkan dan

pemeliharaan sistem oksigen? 9

3.3 Bekerja sama untuk menyediakan sistem oksigen yang

berkelanjutan 11

bagian ii informasi terinci untuk semua kelompok profesi 13

seksi a informasi untuk klinisi 13

Hipoksemia 14

4.1 Patofisiologi hipoksemia 14

4.2 Definisi hipoksemia dan ambang batas untuk pemberian

oksigen 17

4.3 Definisi dan penyebab hipoksemia pada neonatus 19

4.4 Penyebab hipoksemia pada anak-anak 20

4.4.1Infeksi Respiratori Akut 20

4.4.2 Kondisi lain pada anak 21

4.5 Penyebab hipoksemia pada orang dewasa 21

(4)

5 Indikasi pemberian oksigen 23

5.1 Tanda-tanda klinis hipoksemia 23

5.1.1 Tanda-tanda klinis hipoksemia pada neonatus 23 5.1.2 Tanda-tanda klinis hipoksemia pada anak 24 5.1.3 Tanda klinis dan gejala hipoksemia pada orang

dewasa 28

5.2 Oksimeter denyut - penggunaan klinis alarm dan sensor 30

5.3 Analisis Gas Darah 39

6 Pemberian Oksigen 42

6.1 Pemberian oksigen pada neonatus 42

6.1.1 Depresi pernapasan pada saat kelahiran: resusitasi

neonatus 43

6.1.2 Neonatus yang tetap hipoksia meskipun diberikan

oksigen 46

6.1.3 Toksisitas oksigen pada bayi baru lahir prematur 47 6.1.4 Terapi ajuvan untuk penanganan apnea dan

hipoksemia 49

6.2 Pemberian oksigen pada anak 56

6.2.1 Kapan memberikan oksigen 56

6.2.2 Apa yang harus dilakukan jika kondisi anak tidak mengalami perbaikan atau justru menurun setelah

pemberian oksigen? 57

6.2.3 Pemantauan perkembangan anak dengan terapi

oksigen 58

6.2.4 Menyapih oksigen 61

6.2.5 Perawatan umum anak dengan hipoksemia atau

gangguan pernapasan berat 63

6.3 Pemberian oksigen pada pasien dewasa 64

6.3.1 Indikasi terapi oksigen 65

6.3.2 Kegagalan respon terapi oksigen 71

6.4 Efek samping terapi oksigen 71

7 Metode pemberian oksigen 73

7.1 Metode pemberian oksigen 73

7.1.1 Metode pemberian oksigen pada bayi baru lahir,

bayi, dan anak 74

7.1.2 Metode pemberian oksigen pada dewasa 85

(5)

8 Humidifikasi 89

8.1 Perlunya humidifikasi 89

8.2 Bubble humidifier yang tidak dihangatkan 89

8.3 Keamanan humidifier 91

8.4 Humidifikasi trakeostomi 91

seksi b informasi untuk Teknisi 93

9 Konsentrator Oksigen 94

9.1 Konsentrator oksigen portable 94

9.1.1 Instalasi dan pemeliharaan konsentrator oksigen

portabel 95

9.2 Konsentrator oksigen tipe lain 103

9.2.1 Konsentrator oksigen portabel yang sangat ringan 103 9.2.2 Kecenderungan teknologi konsentrator oksigen pada

masa yang akan dating 104

9.3 Catu Daya 105

9.4 Prosedur keselamatan 106

9.5 Pemeliharaan 107

9.5.1 Pemeliharaan mingguan oleh staf klinis/ paramedis 107 9.5.2 Pemeliharaan oleh teknisi rumah sakit atau teknisi

perbaikan 108

10 Tabung oksigen, jaringan pipa, dan humidifer 113

10.1 Tabung oksigen 113

10.1.1 Penggunaan tabung oksigen 115

10.1.2 Pengisian kembali tabung oksigen 117

10.2 Jaringan pipa oksigen 118

10.3 Sistem anestesi dan persediaan oksigen 119

10.4 Humidifier 119

11 Oksimeter denyut: Aspek teknis dan spesifikasi 121 11.1 Bagaimana cara kerja oksimeter denyut 121

11.2 Fitur keamanan oksimeter denyut 122

seksi C informasi untuk direktur rumah sakit dan kepala Puskesmas dTP 124

12 Pengaturan sistem oksigen rumah sakit/ Puskesmas DTP 126 12.1 Tahap-tahap perencanaan dan instalasi sistem oksigen 127 12.1.1 Menilai kebutuhan oksigen rumah sakit/

Puskesmas DTP 128

(6)

12.2 Pertimbangan pengaturan 128

12.2.1 Lokasi sistem oksigen 128

12.2.2 Sistem oksigen sebagai landasan untuk

meningkatkan kualitas pelayanan 129 12.2.3 Area perawatan khusus untuk pasien sakit berat 129 12.2.4 Tempat perawatan intensif anak 132 12.3 Mengidentifikasi peralatan oksigen yang sesuai 133 12.3.1 Memilih pasokan oksigen yang sesuai 133

12.3.2

Memilih oksimeter denyut yang sesuai 136

12.4 Prinsip pengadaan peralatan oksigen 137 12.5 Implementasi teknologi baru untuk terapi oksigen 138 12.6 Mengirim atau menerima donasi peralatan 138 12.7 Instalasi dan pembagian konsentrator oksigen 139

12.8 Keamanan perlengkapan oksigen 139

12.9 Pemeliharaan konsentrator oksigen 140 12.10 Pelatihan system oksigen, penggunaan, keamanan, dan

pemeliharaan 140

13 Prinsip pengelolaan program oksigen nasional atau regional 142

13.1 Pengalaman negara lain 143

bagian iii Lampiran 149

Lampiran a. Petunjuk penggunaan oksimeter denyut

di ruang rawat anak 149

A.1 Kapan menggunakan oksimeter denyut 149

A.2 Menggunakan oksimeter denyut 149

A.3 Pengawasan harian penggunaan oksimeter denyut 150

A.4 Rencana pemulangan anak 150

A.5 Perawatan oksimeter denyut 150

Lampiran b. Petunjuk pemberian oksigen dengan konsentrator

oksigen 152

B.1 Konsentrator oksigen 153

B.2 Bagaimana menggunakan konsentrator oksigen 153

B.3 Pemeliharaan rutin 153

B.4 Pemberian oksigen 154

B.4.1 Kateter nasal 154

B.4.2 Kanul nasal 155

(7)

B.5 Pemantauan 155

B.6 Oksigen sangat mudah terbakar 156

Lampiran C. Petunjuk pemberian oksigen dengan tabung

oksigen 157

C.1 Tabung oksigen 158

C.2 Pemberian oksigen 158

C.2.1 Kateter nasal 158

C.2.2 Kanul nasal 159

C.3 Pemantuan 160

C.4 Persediaan oksigen dalam tabung 161

C.5 Oksigen sangat mudah terbakar 161

Lampiran d. Pengadaan konsentrator oksigen dan suku

cadangnya 162

D.1 Catatan pada kuesioner pengadaan konsentrator oksigen 165 D.2 Kuesioner pengadaan konsentrator oksigen 167

Lampiran e Pengadaan oksimeter denyut 167

E.1 Catatan pada kuesioner pengadaan oksimeter denyut 168 E.2 Kuesioner pengadaan oksimeter denyut 170 Lampiran F Pengadaan sensor probe oksimeter denyut 170 F.1 Kuesioner pengadaan sensor probe oksimeter denyut 170 Daftar Pustaka

(8)

kaTa PenganTar

Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT, berkat rahmat dan karuniaNya, Referensi Penggunaan Oksigen Sebagai Terapi di Rumah Sakit dan Puskesmas Dengan Tempat Perawatan ini dapat diadaptasi sesuai dengan kebutuhan fasilitas pelayanan kesehatan.

Seperti kita ketahui bersama bahwa Pneumonia merupakan pembunuh utama balita di dunia lebih besar dibanding dengan gabungan penyakit AIDS, malaria dan campak. Besaran masalah setiap tahun diperkirakan lebih dari 2 juta Balita meninggal karena Pneumonia (1 Balita/20 detik) dari 9 juta total kematian Balita. Diantara 5 (lima) kematian Balita, satu diantaranya disebabkan oleh pneumonia. Bahkan karena besarnya kematian pneumonia ini, pneumonia disebut sebagai “pandemi yang terlupakan” atau “the forgotten pandemic”.

Namun, tidak banyak perhatian terhadap penyakit ini, sehingga pneumonia disebut juga pembunuh Balita yang terlupakan atau “the forgotten killer of children” (Unicef/WHO 2006, WPD 2011).

Hipoksemia (suatu keadaan insufisiensi oksigen dalam darah) merupakan komplikasi fatal mayor Pneumonia, dan meningkatkan risiko kematian beberapa kali lipat. Tiap tahun 11-20 juta anak dirawat di rumah sakit dengan Pneumonia.

Hal ini berhubungan kepada 1.5-2.7 juta kasus Pneumonia hipoksemik tiap tahun di negara-negara berkembang.

Sekitar 40% dari 9 juta kematian anak per tahun terjadi karena kondisi neonatal seperti asfiksia perinatal, sepsis dan berat badan lahir rendah. Semua kondisi ini dapat menyebabkan hipoksemia dan menambah beban hipoksemia secara substansial.

Terlepas dari kepentingannya pada semua area penyakit akut berat, hipoksemia seringkali tidak dideteksi dan ditatalaksana pada daerah dengan sumber daya yang terbatas. Terapi oksigen tetap menjadi kemewahan yang tidak terjangkau oleh pasien dengan sakit berat yang dirawat di rumah sakit di daerah tersebut.

Kondisi lain yang mendukung hal tersebut yaitu ditemukan pada pasien di

(9)

rumah sakit di kabupaten kecil atau puskesmas perawatan dengan layanan terapi oksigen, namun persediaannya seringkali tidak memadai, tata laksana menjadi tidak optimal karena peralatan tidak sesuai ataupun tidak dipelihara dengan baik, sumber daya manusia (SDM) belum terlatih, serta belum adanya SOP sesuai standar.

Menyikapi hal diatas perlu diperhatikan bahwa Terapi oksigen harus tersedia secara luas, dan pada daerah terpencil dapat terlaksana dengan penggunaan oksigen konsentrator. Hal lain adalah peningkatan kemampuan petugas kesehatan dalam mengenali tanda-tanda klinis hipoksemia dan penggunaan luas oksimeter denyut (yang memberikan pengukuran saturasi oksigen arterial secara non-invasif). Kondisi tersebut memerlukan dukungan dan kerja sama dari beberapa pihak mengingat ada 3 (tiga) aspek yang perlu diperhatikan baik Managerial, Klinis maupun Teknis. Oleh karena itu dibutuhkan suatu panduan bagi manager, klinisi dan teknisi sehingga perlu diadaptasi buku referensi ini dalam rangka untuk membantu tenaga-tenaga dimaksud di rumah sakit dan Puskesmas Dengan Tempat Perawatan dalam mendukung kegiatan ini secara optimal.

Kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam proses adaptasinya, saya sampaikan terimakasih, semoga buku referensi ini dapat bermanfaat bagi kita semua dalam mendukung program kesehatan di Indonesia.

Jakarta, 14 Agustus 2012 direkTur JenderaL PP dan PL

Prof. dr. Tjandra Yoga aditama NIP. 1955090301980121001

(10)

ATP : Adenosine TriPhosphate

AGD : Analisis Gas Darah

CPAP : Continuous Positive Airway Pressure

DTP : Dengan Tempat Perawatan

EKG : Elektrokardiografi

FiO2 : Fraction of inspired oxygen

FJ : Frekuensi Jantung

Hiperkapnea : Tingginya kadar karbondioksida dalam darah Hipoksemia : Kadar oksigen yang rendah dalam darah

HIV : Human Imunodefisiensi Virus

ICU : Intensive Care Unit

IGD : Instalasi Gawat Darurat

IRA : Infeksi Respiratory Akut

MTBS : Manajemen Terpadu Balita Sakit

NGT : Naso Gastric Tube

OCSI : Oxygen Concentration Status Indicator PaO2 : Tekanan parsial oksigen

PCB : Printed Circuit Board (Papan sirkit cetak)

PEEP : positive end expiratory pressure (PEEP) atau teka- nan positif akhir ekspirasi

PPOK : Penyakit Paru Obstruktif Kronik Pulse oxymeter : Oksimeter denyut

ROP : Retinopathy of prematurity

SNI : Standar Nasional Indonesia

SpO2 : Saturasi oksigen

UPS : Uninterruptable Power Supply

WHO : World Health Organization

daFTar singkaTan / isTiLah

(11)

PendahuLuan

Setiap tahun, hampir 9 juta anak meninggal dunia, sebagian besar karena penyakit yang dapat dicegah atau mudah ditatalaksana, dan lebih dari 95%

kematian ini terjadi pada negara berkembang. Pneumonia merupakan penyebab utama kematian pada anak Balita, bertanggungjawab terhadap setidaknya 19% kematian pada kategori usia ini.1 Hipoksemia (insufisiensi oksigen dalam darah) merupakan komplikasi fatal mayor pneumonia, dan meningkatkan risiko kematian berkali-kali lipat.2 Tiap tahun 11-20 juta anak dirawat di rumah sakit dengan pneumonia.3 Hal ini berkorespondensi kepada 1.5-2.7 juta kasus pneumonia hipoksemik tiap tahun.

Sekitar 40% dari 9 juta kematian anak per tahun terjadi karena kondisi neonatal seperti asfiksia perinatal, sepsis dan berat badan lahir rendah. Semua kondisi ini dapat menyebabkan hipoksemia. Hal ini menambah beban hipoksemia secara substansial.

Pada negara-negara berkembang, hipoksemia seringkali tidak dideteksi atau ditatalaksana pada daerah dengan sumber daya yang terbatas. Terapi oksigen sering tidak terjangkau oleh pasien dengan sakit berat yang dirawat di rumah sakit di negara berkembang dalam proporsi yang besar. Hal ini terutama ditemukan pada pasien-pasien di rumah sakit kabupaten yang kecil atau Puskesmas DTP, dimana, walau terdapat beberapa fasilitas kesehatan dengan layanan terapi oksigen, namun persediaannya tidak seringkali tidak memadai, disamping itu optimalisasi tata laksana juga kurang, karena peralatan tidak sesuai atau tidak dipelihara dengan baik, SDM belum terlatih serta belum adanya panduan.

Peningkatan kesadaran akan masalah-masalah ini dapat membawa manfaat dalam bidang klinis maupun kesehatan masyarakat. Petugas kesehatan seharusnya mengetahui tanda-tanda klinis yang mengindikasikan adanya hipoksemia; namun, deteksi hipoksemia yang lebih dapat diandalkan dapat dicapai dengan penggunaan luas oksimeter denyut (yang memberikan pengukuran saturasi oksigen arterial secara non-invasif). Terapi oksigen perlu tersedia secara luas, dan pada banyak daerah terpencil hal ini dapat dicapai dengan penggunaan konsentrator oksigen yang lebih luas.

(12)

Pengalaman semakin bertambah dalam aspek klinis, organisasi, teknologi biomedis dan pelatihan dari pembangunan dan pemeliharaan sistem oksigen yang efektif di rumah sakit dan fasilitas kesehatan kecil di banyak negara berkembang. Terdapat bukti pendukung yang kuat terhadap penggunaan oksimeter denyut dan ketersediaan oksigen yang memadai di rumah sakit kabupaten dan propinsi dalam menurunkan angka kematian terkait dengan pneumonia sebanyak sepertiga.4

Banyak bukti dan pengalaman yang digambarkan pada petunjuk ini datang dari perawatan anak yang sakit, karena anak terpengaruhi secara tidak proporsional oleh hipoksemia dan sebagian besar penelitian mengenai hipoksemia dilakukan dalam lingkup kesehatan anak. Namun, prinsip-prinsipnya relevan untuk semua kelompok umur, dan saat ini makin banyak pengalaman dalam menangani penyakit hipoksemik pada orang dewasa.

Bahkan pada situasi dimana sistem dan manajemen tidak sempurna, perkembangan yang substansial dapat dicapai. Petunjuk ini merupakan “resep”

untuk membangun sistem oksigen yang berkualitas, dokter, perawat, dan manajer sebaiknya tidak khawatir bila tidak dapat melakukan semuanya secara benar dengan segera. Pada banyak negara, terlepas dari kondisi pelayanan keseahatan yang tidak sempurna dan rapuh, banyak jiwa diselamatkan dan kualitas penatalaksanaan membaik.

Sebelum kita mulai, di bawah ini terdapat sedikit paparan mengenai struktur manual ini.

Bagian I berisi informasi umum yang bermanfaat bagi semua orang yang tertarik pada sistem oksigen di rumah sakit rujukan tingkat pertama/Puskesmas DTP. Pada bagian ini terdapat informasi mengenai hipoksemia dan cara mendeteksinya, dan mengenai sistem oksigen. Sebagai tambahan, dipaparkan juga beberapa studi kasus yang menggambarkan bagaimana oksigen dapat diberikan pada situasi sumber daya terbatas.

Bagian II terdiri dari 3 seksi: untuk klinisi, teknisi, dan manajer program. Tiap seksi berisi informasi terinci yang relevan terhadap masing-masing profesi terkait. Namun, peran-peran ini seringkali tumpang tindih pada rumah sakit kecil. Sebagai contoh, klinisi seringkali memliki tangung jawab administratif, sedangkan beberapa aspek pemeliharaan peralatan dilakukan oleh perawat, bukan teknisi. Dalam pemilihan persediaan oksigen dan metode yang paling

(13)

sesuai, klinisi, teknisi, dan administrator perlu bekerjasama. Teknisi perlu mengetahui sedikit mengenai alat-alat penghubung pemberian oksigen, namun hal ini dideskripsikan pada seksi untuk klinisi, karena mereka adalah pengguna utamanya. Klinisi perlu mengetahui mengenai cara kerja konsentrator oksigen, namun hal ini dideskripsikan secara terperinci pada seksi teknisi, karena mereka yang paling terlibat dalam pemeliharaan konsentrator. Administrator bertanggungjawan dalam memastika semua grup profesi terlatih dengan baik dan sumber daya tersedia agar mereka dapat melakukan pekerjaannya.

Bagian III mencakup lampiran-lampiran berupa tools yang berguna seperti petunjuk dan kuesioner pengadaan alat.

Kami harap petunjuk ini akan menstimulasi upaya-upaya untuk memperbaiki sistem oksigen dunia, dan akan berfungsi sebagai petunjuk bagi petugas kesehatan untuk melakukan perbaikan-perbaikan tersebut.

(14)

bagian i

inFOrmasi dasar unTuk semua keLOmPOk PrOFesi

P e s a n k u n C i

• Definisi hipoksemia adalah kadar oksigen yang rendah dalam darah.

Hipoksemia merupakan keadaan yang mengancam jiwa yang sering ditemukan pada pneumonia, neonatus, penyakit paru obsruktif kronik, trauma, serta kegawatdaruratan obstetrik dan perioperatif.

• Cara yang paling baik untuk mendeteksi dan memantau hipoksemia adalah dengan oksimeter denyut (pulse oxymetry). Oksimeter merupakan pemeriksaan yang akurat, sederhana, non-invasif, dan hemat biaya. Oleh karena itu setiap rumah sakit dan Puskesmas DTP seharusnya memiliki oksimeter denyut. Meskipun demikian tanda- tanda klinis hipoksemia juga penting untuk diperiksa.

• Hipoksemia dapat ditangani secara mudah dengan pemberian oksigen pada pasien.

• Pada rumah sakit dengan keterbatasan sumber daya, selama ada aliran listrik yang berkesinambungan, konsentrator oksigen merupakan sumber oksigen yang paling aman, praktis, dan hemat biaya.

• Terdapat beberapa alat untuk memberikan oksigen pada pasien.

Untuk pemberian oksigen yang paling efisien dapat digunakan kanul nasal atau kateter nasal/ nasofaringeal.

• Sistem oksigen yang baik membutuhkan peran klinisi, teknisi, dan administrator yang berkerja bersama-sama. Untuk itu diperlukan perencanaan yang cermat, serta kerjasama, dan komunikasi antar kelompok profesi.

(15)

1. PenganTar mengenai hiPOksemia

Bab ini membahas informasi dasar mengenai hipoksemia dan bagaimana cara mendeteksinya. Informasi yang lebih rinci mengenai hal ini dapat ditemukan pada Bagian II, seksi A (Informasi untuk klinisi).

1.1 Apakah arti hipoksemia?

Hipoksemia berarti kadar oksigen yang rendah dalam darah. Keadaan ini sering ditemukan pada penyakit-penyakit seperti pneumonia atau penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Semua fungsi dalam tubuh manusia memerlukan oksigen, kekurangan oksigen dapat berujung pada disfungsi sistem organ secara cepat. Karena itu, hipoksemia merupakan suatu kondisi yang dapat mengancam jiwa dan memerlukan deteksi serta penanganan segera.

Pembawa oksigen yang utama dalam darah adalah hemoglobin. Untuk mengukur kadar oksigen dalam darah, kita umumnya menggunakan saturasi oksigen hemoglobin arteri (SaO2). Ketika diukur dengan oksimeter, istilahnya menjadi SpO2 (saturasi oksigen hemoglobin nadi). Rentang normal SpO2 pada ketinggian yang sama dengan permukaan laut (sea level) adalah 94 – 100%.5 Kadar SpO2

<90% merupakan indikasi pemberian oksigen secara umum.

Pada suatu kajian/ telaah pada lebih dari 20,000 anak dengan pneumonia akut atau infeksi respiratori akut lain, prevalensi median hipoksemia pada anak dengan pneumonia yang memerlukan perawatan rumah sakit (pneumonia berat dan sangat berat berdasarkan klasifikasi klinis WHO) adalah 13.3% (9.3- 37.5%).2 Karena setiap tahunnya 11 – 20 juta anak dirawat di rumah sakit dengan pneumonia, berarti terdapat 1.5 – 2.7 juta kasus pneumonia hipoksemik yang dapat ditemukan di fasilitas kesehatan tiap tahun, dan lebih banyak lagi yang tidak sampai ke fasilitas kesehatan.

Untuk mempelajari lebih lanjut mengenai hipoksemia, lihat Bab 4.

1.2 Bagaimana mendeteksi hipoksemia?

Hipoksemia berat dapat dikenali dari beberapa tanda klinis; pernapasan cepat, tarikan dinding dada yang dalam, perubahan warna lidah dan gusi menjadi kebiruan (sianosis sentral), pernapasan cuping hidung atau rintihan saat bernapas (grunting). Tanda-tanda ini penting untuk diketahui oleh petugas kesehatan dan sangat penting bagi petugas kesehatan untuk dapat mengenali pasien yang secara umum terlihat sakit berat. Namun, dengan pengamatan tanda klinis secara baik pun sering terjadi kesalahan diagnosis hipoksemia pada

(16)

anak dengan saturasi oksigen normal, atau justru terjadi kegagalan mendeteksi hipoksemia.

Oksimeter denyut merupakan metode mendeteksi hipoksemia yang paling akurat dan non-invasif. Pemeriksaan ini mengukur persentase hemoglobin yang teroksigenisasi dalam darah arteri (SpO2). Oksimeter denyut terdiri dari unit yang terkomputerisasi dan probe sensor yang ditempelkan pada jari tangan, jari kaki, atau daun telinga pasien. Oksimeter menampilkan kadar SpO2 dengan sinyal yang audibel untuk tiap denyut nadi, frekuensi nadi, dan pada sebagian besar model, tampilan grafis aliran darah yang melewati probe sensor (pletismografik atau gelombang nadi). Teknologi ini efektif dan murah. Oksimeter dapat digunakan untuk mendeteksi dan memantau hipoksemia. Oksimeter dapat membantu pemanfaatan pasokan oksigen secara lebih efisien dan memperbaiki pemantauan pasien, dan efektif secara biaya untuk digunakan pada rumah sakit dan Puskesmas DTP.6 Dengan berbagai kelebihan yang dimiliki serta besarnya manfaat yang diberikan oleh oksimeter denyut, alat ini seharusnya tersedia di setiap rumah sakit dan Puskesmas DTP.

Analisis gas darah juga merupakan metode yang sangat akurat dalam mendeteksi hipoksemia. Pada pemeriksaan ini diukur tekanan parsial oksigen (PaO2) dan karbondioksida dalam darah, serta memberikan informasi tambahan berupa pH darah dan konsentrasi elektrolit-elektrolit utama. Namun, analisis gas darah memiliki beberapa kekurangan. Alat analisis gas darah sangat mahal dan reagen kimia yang digunakan membutuhkan biaya yang tinggi secara berkelanjutan sehingga kemungkinan tidak mampu dipenuhi oleh rumah sakit dengan sumber daya yang terbatas. Pengukuran yang tidak akurat dapat terjadi akibat beberapa faktor seperti sampel darah yang tidak diambil secara baik (khususnya karena anak bergerak-gerak atau tidak kooperatif), keterlambatan dalam pengiriman sampel darah ke laboratorium, kondisi penyimpanan sampel yang tidak adekuat sebelum dilakukan analisis, dan maintenance atau kontrol kualitas yang kurang adekuat oleh laboratorium. Metode ini juga invasif dan tidak nyaman, karena meliputi proses pengambilan darah. Karena itu, analisis gas darah kurang sesuai untuk sebagian besar rumah sakit dengan sumber daya terbatas, terlebih bagi Puskesmas DTP.

Untuk mempelajari lebih lanjut mengenai hipoksemia dan fungsi oksimeter denyut dan analisis gas darah, lihat Bab 5 dan 11, serta Lampiran A. Bab 12 dan 13 memberikan lebih banyak informasi mengenai keuntungan dan kerugian metode-metode terkait.

(17)

2. Pemberian Oksigen

Bab ini mencakup informasi umum mengenai pemberian oksigen pada rumah sakit rujukan pertama atau Puskesmas dengan Tempat Perawatan (DTP). Penjelasan mengenai sumber oksigen dan metode pemberian dipaparkan secara singkat. Untuk informasi lebih lanjut mengenai pemberian oksigen, silakan lihat seksi terkait pada Bagian II, seksi A dan B (Informasi untuk klinisi dan teknisi).

2.1 Karakteristik dan fungsi oksigen

Oksigen merupakan elemen gas yang terbanyak ketiga setelah hidrogen dan helium. Ia tidak berbau, tidak berwarna, dan tidak memiliki rasa.

Hampir 21% dari atmosfer bumi merupakan oksigen. Oksigen juga merupakan 1/2 bagian dari kerak bumi (earth crust) dan 9/10 massa air.

Selain itu, oksigen terdapat pada sebagian besar massa organisme hidup (misalnya, sekitar 2/3 massa tubuh manusia). Semua molekul struktural utama pada organisme hidup, seperti protein, karbohidrat, dan lemak, mengandung oksigen.

Gas ini merupakan elemen yang sangat penting dalam proses respirasi seluler (internal) organisme aerobik. Di dalam sel, oksigen digunakan oleh mitrokondria untuk menghasilkan adenosine triphosphate (ATP) yaitu sumber energi sel. Agar dapat digunakan untuk menghasilkan energi dalam sel, pada vertebrata, pertama-tama oksigen mengalami difusi melalui membran pada paru dan ke dalam sel darah merah, kemudian terikat pada hemoglobin untuk kemudian dihantarkan ke seluruh jaringan tubuh.

Sumber alami utama oksigen bebas, sebanyak 70% adalah alga hijau dan sianobakteri di laut, sedangkan sisanya diproduksi oleh tanaman teresterial. Oksigen juga dapat didapatkan melalui proses penyulingan dan ekstraksi nitrogen dari udara lingkungan. Hal ini akan dibahas lebih lanjut pada bab ini.

2.2 sumber oksigen

Sumber oksigen yang paling umum adalah tabung oksigen, konsentrator oksigen, dan pipa saluran oksigen.

(18)

Oksigen untuk tabung diproduksi dengan mendinginkan udara sampai mencair, lalu disuling untuk memisahkan bagian oksigen murni. Hal ini merupakan proses yang mahal dan banyak mengkonsumsi energi sehinggahanya dapat dilakukan di pabrik yang besar. Tabung perlu dibawa ke dan dari depot penyimpanan pasokan oksigen untuk dilakukan pengisian ulang. Transportasi tabung ini sulit, mahal, dan sering tidak memungkinkan sehingga rumah sakit atau Puskesmas DTP terpaksa beroperasi tanpa persediaan oksigen untuk jangka waktu yang lama.

Konsentrator oksigen mengambil udara dari lingkungan, yang biasanya mengandung oksigen 21%, nitrogen 78%, dan gas lain 1%. Dengan mengekstraksi nitrogen dari udara, bisa didapatkan oksigen yang hampir murni. Sebagian besar konsentrator menghasilkan oksigen dengan kosentrasi 90 – 96%. Dalam perawatan pediatri, dengan adanya arus listrik yang berkelanjutan, satu konsentrator oksigen dapat menjadi sumber oksigen untuk empat pasien. (Jika arus listrik terputus, generator listrik atau sumber oksigen lain yang tidak memerlukan listrik sebaiknya tersedia sebagai cadangan). Konsentrator memerlukan perawatan secara berkala untuk menjaga fungsinya, namun merupakan sumber oksigen yang dapat diandalkan dan praktis, serta efisien dari segi biaya.

Sebaiknya konsentrator digunakan dengan pembagi aliran (flow splitter) atau pengukur aliran (flow meter) sehingga oksigen dapat diberikan ke lebih dari satu pasien pada saat yang bersamaan.

Pada banyak rumah sakit yang lebih besar, oksigen didistribusikan melalui sistem pipa tembaga dari sumber oksigen sentral yang biasanya terletak di luar gedung. Sumber oksigen dapat berupa oksigen cair, tabung gas oksigen bertekanan tinggi, konsentrator oksigen yang besar, atau kombinasinya. Sistem pipa dapat menyediakan oksigen dalam tekanan tinggi sehingga dapat digunakan untuk mesin-mesin anestesi dan ventilator. Sistem pipa memiliki banyak keuntungan dari segi keamanan:

mengurangi risiko kebakaran dan menghindari keperluan biaya yang besar untuk transportasi tabung-tabung yang berat antar ruang rawat rumah sakit. Namun, instalasi sumber oksigen sentral dengan pipa tembaga serta perawatannya membutuhkan biaya yang tinggi. Karena itu, sistem ini ini kurang sesuai untuk banyak rumah sakit tingkat kabupaten di negara-negara berkembang.

Untuk mempelajari lebih lanjut mengenai sumber-sumber oksigen, lihat

(19)

Bab 7 dan 12. Untuk penggunaan dan pemeliharan harian, lihat Bab 6, 7, 9, dan 12. Lihat Lampiran A dan B untuk mengetahui lebih detil mengenai fungsi, instalasi, dan perawatan lanjut. Lihat Bab 12 untuk rekomendasi berkaitan dengan pengadaan.

2.3 alat-alat pemberian oksigen

Alat-alat yang digunakan untuk pemberian oksigen pada pasien sebaiknya aman, sederhana, dan tidak mahal. Beberapa metode pemberian oksigen memiliki sifat non-invasif (sungkup wajah, head box, inkubator, atau melalui selang yang dipegang dekat wajah bayi) dan semi-invasif (memasukkan kanul nasal atau kateter ke saluran napas atas).7 Kelebihan dan kekurangan metode-metode yang berbeda ini akan dibahas pada Bab 7.7;8

Metode yang non-invasif memerlukan aliran oksigen yang tinggi sehingga tidak efisien maupun ekonomis untuk digunakan pada tempat dengan sumber daya terbatas. Metode semi-invasif membutuhkan aliran yang lebih rendah sehingga lebih sesuai digunakan pada tempat dimana persediaan oksigen sedikit. Beberapa alat semi-invasif memiliki tambahan efek yang menguntungkan pada fungsi paru dengan memproduksi positive end expiratory pressure (PEEP) atau tekanan positif akhir ekspirasi.9 Adanya PEEP juga dapat bermanfaat dalam tatalaksana apnea (yang berkaitan dengan prematuritas atau dengan bronkiolitis).10

Masalah yang berhubungan dengan sistem pemberian oksigen termasuk tergesernya/ terlepasnya kanul nasal dan obstruksi kateter. Hiperkapnea (tingginya kadar karbondioksida dalam darah) dapat timbul akibat aliran yang tidak adekuat melalui head box atau sungkup wajah sehingga memiliki kemungkinan terjadinya akumulasi karbon dioksida. Kateter nasofaringeal dan kateter nasal dapat mengalami obstruksi saluran atau menyebabkan perdarahan.11 Produksi PEEP yang tinggi yang tidak terkontrol berkaitan dengan tingginya aliran oksigen yang tidak sesuai melalui kateter nasal dan dapat menyebabkandistensi lambung atau pneumotoraks.

Untuk mempelajari lebih lanjut mengenai alat-alat pemberian oksigen pada kelompok pasien yang berbeda-beda, lihat Bab 6 dan 9.

(20)

3. sisTem Oksigen di rumah sakiT

Bab ini mencakup informasi umum mengenai sistem oksigen yang digunakan di rumah sakit atau Puskesmas DTP dan pentingnya kerjasama antar kelompok profesi. Untuk informasi terinci mengenai apa saja yang perlu dipertimbangkan dalam mempersiapkan sistem oksigen, lihat Bagian II, seksi C (Informasi untuk administrasi dan direktur rumah sakit atau pimpinan Puskesmas DTP).

3.1 Ketersediaan oksigen di rumah sakit rujukan tingkat pertama atau Puskesmas dTP

Banyak rumah sakit yang tidak memiliki akses oksigen yang memadai, sehingga hipoksemia menjadi masalah serius yang kurang mendapat perhatian. Walaupun oksigen, tersedia, sering terdapat kesulitan dalam penggunaannya. Sebagai contoh, beberapa perlengkapan yang dibutuhkan dalam pemberian oksigen tidak tersedia atau persediaan tabung oksigen kurang. Kesulitan juga dapat disebabkan tidak adanya protokol mengenai kapan dan bagaimana memberikan oksigen, bagaimana mengawasi penggunaan oksigen dan kapan menghentikan pemberiannya. Kemungkinan kesulitan lain adalah tidak adanya aliran listrik walaupun konsentrator oksigen tersedia.

Terdapat beberapa laporan yang dipublikasikan mengenai ketersediaan dan penggunaan oksigen pada rumah sakit rujukan tingkat pertama dan fasilitas kesehatan primer di negara-negara berkembang. Pada satu penelitian yang dilakukan di beberapa rumah sakit kabupaten di tujuh negara berkembang,12 ditemukan bahwa oksigen tersedia di tiga perempat rumah sakit yang diikutkan dalam penelitian, namun hanya setengah dari rumah sakit-rumah sakit tersebut yang menyediakan oksigen di area rawat jalan atau instalasi gawat darurat.

Pada sebuah survey lain yang dilakukan di 14 rumah sakit kabupaten di Kenya,13 dilaporkan bahwa terdapat 10 rumah sakit yang memiliki akses oksigen. Namun, beberapa rumah sakit ini tidak memiliki pengukur aliran (flow meter), selang oksigen atau penghisap. Hanya 60% dari anak yang memerlukan terapi oksigen akhirnya mendapatkannya. Petugas kesehatan sering berada pada situasi dimana mereka harus menentukan atau memilih satu anak yang akhirnya akan diberikan terapi oksigen dari beberapa anak yang sebetulnya memerlukannya.

Tidak satupun rumah sakit yang dilibatkan dalam survey ini yang memiliki petunjuk bagaimana membuat prioritas pemberian terapi oksigen jika terdapat situasi seperti ini.13

Secara umum, lebih kecil kemungkinannya oksigen tersedia di fasilitas pelayanan kesehatan primer atau rumah sakit-rumah sakit kecil di daerah terpencil. Pada suatu survey yang dilakukan terhadap klinik-klinik kesehatan primer di Afrika

(21)

Selatan, ditemukan bahwa hanya 61% memiliki oksigen, dan ketersediaan oksigen bervariasi untuk tiap-tiap daerah. Sedangkan survey pada 13 rumah sakit kabupaten di 7 negara berkembang menunjukkan bahwa rumah sakit rujukan sekunder umumnya memiliki sistem oksigen yang lebih baik dibandingkan rumah sakit kabupaten.12 Di Papua New Guinea, oksigen lebih sedikittersedia di rumah sakit kabupaten yang terpencil dibandingkan pada rumah sakit propinsi di kota-kota besar.14

Di tempat dimana konsentrator oksigen digunakan, ketersediaan aliran listrik yang dapat diandalkan (reliable) sangat krusial. Di Sierra Leone, 40% rumah sakit tidak memiliki pasokan oksigen, sedangkan pada 60% sisanya pasokan sering terhambat karena adanya keterbatasan energi listrik dan jarangnya bahan bakar minyak untuk menjalankan generator.15 Di Gambia, suatu survey menunjukkan bahwa dari 11 fasilitas kesehatan yang menangani pneumonia berat, oksigen hanya tersedia pada 6 rumah sakit dan hanya 3 rumah sakit yang memiliki pasokan yang memadai.

3.2 Apa yang penting dalam mempersiapkan dan pemeliharaan sistem oksigen?

Terdapat beberapa isu yang perlu dipertimbangkan untuk menjamin sistem oksigen yang efektif dan aman untuk semua yang terlibat. Hal-hal yang sangat dasar yang diperlukan untuk penerapan sistem oksigen yang baik dapat dilihat dibawah ini.

• Tim oksigen yang terdiri dari orang-orang dari beberapa disiplin ilmu, termasuk teknisi biomedis, klinisi (seperti dokter spesialis anak, dokter umum atau perawat anak) dan administrator, diperlukan untuk mendukung aspek organisasi, teknis, dan pelatihan dari sistem oksigen.

• Komunikasi dan kerjasama diperlukan di setiap tingkat – antar departemen klinis, teknis, dan administratif, antara kementerian kesehatan dan rumah sakit propinsi atau Puskesmas DTP, dan dengan lembaga lain yang terkait.

• Membangun kapasitas lokal dalam pemeliharaan dan perbaikan dalam rumah sakit atau Puskesmas DTP sangat vital; menggantungkan diri pada agen suplai lokal untuk hal ini dapat membutuhkan waktu yang lama dan mahal. Data perbandingan spesifikasi perlengkapan yang diperlukan yang dianggap sesuai untuk fasilitas kesehatan di negara berkembang dapat dilihat pada laman berikut ini http://www.rch.org.au/cich/links/index.

cfm?doc_id=699.

• Perlengkapan yang digunakan sebaiknya memiliki spesifikasi yang sama untuk

(22)

menjamin kompatibilitas suku cadang dan untuk mengurangi kebingungan antara petugas kesehatan dan teknisi.

• Area khusus untuk pasien dengan perawatan khusus sebaiknya tersedia di dalam rumah sakit dimana oksigen dapat diberikan dengan perawat yang siap sedia. Hal ini membantu dalam mengelompokkan pasien-pasien yang paling buruk keadaannya pada satu tempat.

• Pelatihan di rumah sakit sebaiknya diberikan untuk perawat, dokter, dan teknisi rumah sakit ketika perlengkapan diinstalasi di rumah sakit. Pelatihan seperti itu biasanya memakan waktu 1 – 2 hari, dan perlu didukung dengan pelatihan pada pengelola (in-service) secara berkala dari tim oksigen.

Pelatihan penyegaran terutama diperlukan pada daerah-daerah dengan rotasi dan mutasi staf yang tinggi.

• Petunjuk yang sederhana mengenai penggunaan klinis oksigen dan pemeliharaan berkala konsentrator oksigen dan perlengkapan lain diperlukan.

• Ketika memberikan oksigen pada anak-anak, penting untuk memberikan informasi kepada orangtua mengenai kebutuhan pemberian oksien dan fungsi komponen-komponen yang ada untuk memberikan rasa percaya diri kepada mereka mengenai terapinya. (Untuk mempelajari lebih lanjut mengenai edukasi orangtua, lihat seksi 6.2.5.)

• Oksigen dapat menyebabkan kebakaran yang meluas secara cepat, dan langkah-langkah keamanan diperlukan. Tabung oksigen merupakan objek yang besar dan berat yang dapat menjadi berbahaya jika jatuh, karena itu harus digunakan pembungkus tabung, tali atau rantai yang mengikat tabung ke dinding. Untuk mempelajari lebih lanjut mengenai keamanan penggunaan oksigen, lihat Bab 9 dan 12, dan Lampiran A dan C.

3.3 bekerjasama dalam menyediakan sistem oksigen yang berkelanjutan

Untuk menerapkan dan memelihara sistem oksigen yang efektif, diperlukan kerjasama dan komunikasi yang baik antar individu dan departemen. Sistem ini tergantung pada tiga kelompok profesi: klinisi yang mendiagnosis dan menangani pasien dengan hipoksemia, teknisi yang menjaga perlengkapan tetap berjalan sebagaimana mustinya dan administrator yang memastikan ketersediaan oksigen dan suku cadang yang berkesinambungan. Pengertian yang bersifat mutualisme mengenai

(23)

area kerja dan kompetensi masing-masing individu/departemen yang terlibat amat penting untuk menjamin lancarnya sistem oksigen.

Dokter, perawat, teknisi, manajer program atau administrator sebaiknya tidak kecil hati jika berhadapan dengan kesulitan atau hambatan, terutama pada awal dijalankannya sistem oksigen. Menerapkan dan memelihara sistem oksigen secara baik bukan merupakan hal yang kecil, dan kemajuan selalu membutuhkan waktu. Akan ada beberapa hal yang berada di luar kemampuan Anda, dan Anda mungkin perlu berbicara dengan rekan-rekan yang lain untuk hal ini. Namun, di banyak negara, walaupun terdapat pelayanan kesehatan yang ada tidak sempurna dan rapuh, hidup banyak pasien diselamatkan dengan kemajuan yang terus- menerus yang dibawa oleh program—program seperti ini, dan kualitas layanan secara keseluruhan akan membaik.

Gambar 3.1 Sistem oksigen yang efektif memerlukan metode yang memadai dalam mendeteksi hipoksemia dan ketersediaan oksigen yang terus-menerus.

(24)

bagian ii

inFOrmasi TerinCi unTuk semua keLOmPOk PrOFesi

seksi a. informasi untuk klinisi

P e s a n k u n C i

• Sistem oksigen diperlukan di semua area di mana pasien yang sakit berat ditangani: ruang rawat anak, ruang rawat dewasa, ruang rawat obstetri ginekologi, ruang operasi, dan instalasi gawat darurat.

• Ketika dilakukan triase pada rawat jalan atau instalasi gawat darurat, semua pasien harus diperiksa tanda-tanda kegawatdaruratan dan tanda-tanda prioritasnya, yang mencakup tanda-tanda klinis hipoksemia. Pada pasien dengan kegawatdaruratan atau yang memiliki tanda-tanda yang harus diprioritaskan atau dengan dugaan hipoksemia harus dilakukan pemeriksaan oksimeter denyut untuk memastikan diagnosis.

• Pada situasi rawat inap, oksimeter denyut sebaiknya dilakukan pada semua pasien ketika masuk instalasi rawat inap.

• Semua pasien dengan tanda-tanda klinis hipoksemia atau SpO2<90%

pada oksimeter denyut sebaiknya diberikan oksigen. Dalam beberapa kondisi tertentu, oksigen dapat diberikan pada SpO2<94%.

(25)

4. hiPOksemia

Bab ini memberikan penjelasan mengenai patofisiologi hipoksemia, definisi lebih lanjut mengenai hipoksemia dan memaparkan secara singkat kondisi- kondisi (spesifik berdasarkan umur) yang umumnya menyebabkan hipoksemia.

4.1 Patofisiologi Hipoksemia

Seperti telah disebutkan pada Bab I, hipoksemia adalah kadar oksigen yang rendah di dalam darah. Keadaan ini dapat menyebabkan kadar oksigen yang rendah pada jaringan tubuh, atau disebut juga hipoksia.

Terdapat tiga kondisi yang mendasari terjadinya hipoksemia:

• Hipoksemia pre-pulmoner

Karena adanya gangguan hantaran oksigen ke paru (ventilasi tidak adekuat):

Tekanan oksigen terinspirasi rendah (pada dataran tinggi)

Gangguan jalan napas

(spasme laring, obstructive sleep apnea syndrome) Hipoventilasi alveolar

Penyakit Sistem Saraf Pusat (SSP), gangguan neuromuskular

• Hipoksemia pulmoner

Karena adanya gangguan masalah difusi oksigen dari sistem respirasi ke sistem kardiovaskuler:

Rasio ventilasi alveolus (V) dan perfusi pulmoner (Q) yang tidak seimbang

(mismatch) karena penyakit asma, pneumonia, penyakit paru obstruktif kronik (PPOK)

Pirau

(shunt) intrapulmoner Abnormalitas difusi

(bronchopulmonary dysplasia, penyakit paru kronis)

• Hipoksemia pasca-pulmoner

Karena adanya gangguan perfusi darah (syok, gagal jantung, sepsis) dan gangguan ikatan (transpor) oksigen dalam darah (anemia, hemoglobinopati, keracunan karbonmonoksida).

(26)

Jika terjadi ketidakseimbangan antara ventilasi dan perfusi (mismatch), maka difusi oksigen terganggu dan tekanan oksigen dalam darah arteri (PaO2) berkurang. Sebagai contoh, pada pneumonia, inflamasi pada dinding alveolus menyebabkan ruang udara terisi oleh transudat atau eksudat. Hal ini menyebabkan volume paru berkurang dan ventilasi terganggu, sedangkan perfusi alveolar tidak terpengaruh sehingga terjadi ketidakseimbanganrasio V/Q. Akibatnya, difusi oksigen tidak berjalan dengan baik dan tekanan oksigen dalam darah berkurang (hipoksemia).

Hipoksemia yang disebabkan oleh adanya area paru dengan rasio V/Q yang rendah, responsif terhadap pemberian oksigen. Semakin berat ketidakseimbangan V/Q, semakin tinggi konsentrasi oksigen yang diperlukan untuk meningkatkan tekanan parsial oksigen arteri (P)

Secara singkat, faktor-faktor yang mempengaruhi hipoksemia terdapat pada tabel di bawah ini.

Ventilasi adalah volume udara yang mengalir keluar masuk saluran napas (L/menit),

Perfusi adalah volume darah yang mengalir melalui pembuluh darah kapiler alevolar (L/menit).

Rasio ventilasi alveolus dan perfusi pulmoner (V/Q) menentukan kecukupan pertukaran gas antara paru dan darah (difusi).

Jika V menyeimbangi Q disebut VQ matching atau rasio V/Q 4/5 maka difusi oksigen optimal

(27)

FiO2 rendah atau tekanan parsial oksigen rendah

Ventilasi tidak adekuat untuk membawa oksigen dari atmosfer alveolus

Interface kapiler aleveolar-pulmoner yang abnormal, mengurangi difusi oksigen dari alveolus ke darah

Ventilasi/Perfusi ( V/Q)

Agar terjadi transfer oksigen, alveolus harus terventilasi dan dikelilingi oleh kapiler yang terperfusi. Jika tidak ada perfusi, ruang rugi ventilasi (dead spaceventilation) ekstra terbentuk (V/Q tinggi);ketika tidak terjadi ventilasi pada alveolus yang terperfusi, terjadi pirau (V/Q rendah)– pada kedua situasi ini, darah tidak teroksigenisasi secara efisien Hemoglobin tidak cukup untuk transpor oksigen

Hemoglobin tidak dapat terikat dengan oksigen

Gangguan sirkulasi menyebabkan penurunan perfusi oksigen ke jaringan Metabolisme sel tidak dapat

menggunakan oksigen

Masalah patofisiologis Contoh klinis

Asfiksia, tenggelam, dataran tinggi

Obstruksi jalan napas atau hipoventilasi (misalnya paralysis otot, opioid atau obat anestesi); penumotoraks

Tenggelam, edema paru, fibrosis paru

Rasio V/Q tinggi – emboli paru, hipoveolemia, gagal jantung

RasioV/Q rendah – pneumonia, atelektasis

Anemia berat

Keracunan karbon monoksida

Syok: sepsis, kardiogenik, anafilaksis

Keracunan sianida, sepsis Tabel 4.1 Faktor yang berkontibusi pada hipoksemia

(28)

4.2 Definisi hipoksemia dan ambang batas untuk pemberian oksigen

Rentang kadar saturasi oksigen hemoglobin nadi (SpO2) pada ketinggian sejajar permukaan laut (dataran rendah) adalah 97 - 99%, dengan batas bawah (rerata – 2 SD) 94%. Karena itu, rentang normal SpO2 adalah 94 - 100%. SpO2 terkait dengan tekanan oksigen di pembuluh darah arteri (PaO2). Rentang normal SpO2 secara progresif lebih rendah pada populasi yang hidup di daerah pegunungan karena PaO2 lebih rendah pada pada ketinggian yang lebih tinggi (lihat gambar 4.1).5 Hal ini diperkirakan berdasarkan data dari 16 penelitian pada anak-anak di luar periode neonatus. Garis yang berkesinambungan ini memprediksi ambang batas kadar SpO2 yang digunakan sebagai indikasi dimulainya terapi oksigen.

Gambar 4.1 Ambang batas hipoksemia pada ketinggian dataran yang berbeda-beda

Mengubah ambang batas dimana hipoksemia didefinisikan dan oksigen diberikan menyebabkan terdapat variasi yang luas berkaitan dengan jumlah oksigen yang diberikan. Suatu laporan dari satu rumah sakit menemukan bahwa 13% dari anak dengan pneumonia mengalami hipoksemia menggunakan definisi SpO2<85%, 26% hipoksemia dengan ambang batas SpO2<90% dan 44%

hipoksemia dengan ambang batas SpO2<93%.16

Ambang batas yang paling baik dalam pemberian oksigen merupakan kadar oksigen darah yang berhubungan dengan peningkatan morbiditas atau risiko

Ukuran lingkaran proporsional terhadap presisi perkiraan SpO2 studi yang sudah ditransformasi Ambang batas hipoksemia

Rerata SpO2

(29)

kematian atau pemulihan yang terhambat, dibandingkan dengan kadar saturasi oksigen hemoglobin di bawah normal padapopulasi. Dengan curah jantung yang normal, konsentrasi hemoglobin dan pH, saturasi oksigen arteri 68% atau lebih tidak selalu berbahaya.17 Namun, terdapat beberapa data yang menunjukkan bahwa kadar SpO2 tertentu dapat menjadi ambang batas peningkatan risiko efek samping. Risiko ini akan berbeda-beda tergantung dari umur pasien, tingkat keparahan penyakit, komorbiditas dan pada ketinggian dataran yang berbeda, serta diperlukan tingkat kesalahan (margin of error).

Standar baku emas pengukuran untuk kadar oksigen dalam darah adalah tekanan oksigen arteri atau PaO2 (diukur dengan mmHg atau kilopaskal). Namun, PaO2 hanya bisa diukur dengan analisis gas darah. Metode ini invasif, menyakitkan bagi anak, dan menyebabkan stress, sedangkan mesin gas darah dan reagennya sangat mahal, karena itu tidak sesuai untuk dilakukan di banyak rumah sakit tingkat rujukan pertama. Karena itu, kita menggunakan SpO2, yang berkaitan dengan PaO2 untuk mendefinisikan hipoksemia pada petunjuk ini (lihat Gambar 4.2).

Pada praktiknya sebagian besar penelitian mengadopsi sebuah ambang batas untuk pemberian oksigen yaitu <90%. Hal ini berkorespondensi dengan awal bagian curam pada kurva disosiasi hemoglobin-oksigen, yang ditunjukkan pada Gambar 4.2. Hal ini menunjukkan tingkat kesalahan yang aman dimana pasokan oksigen mencukupi.

Terdapat beberapa kondisi yang memerlukan terapi oksigen meskipun SpO2 lebih dari 90%. Kondisi-kondisi yang dimaksud adalah:

1. Saat hantaran oksigen dari paru ke jaringan tubuh sangat terganggu, atau 2. Saat organ-organ vital rentan terhadap kadar oksigen rendah.

Contohnya adalah keadaan anemia berat, gagal jantung berat, sepsis berat atau cidera otak. Pada kondisi-kondisi ini, banyak klinisi yang merekomendasikan pemberian oksigen jika SpO2<94%.

Penting untuk dicatat bahwa perubahan-perubahan kecil pada SpO2 antara 90% dan 100% merefleksikan perubahan yang besar pada PaO2, karena kurva disosasi hemoglobin-oksigen cenderung datar. Namun, pada SpO2 di bawah 90%, kurva berbentuk curam dan penurunan PaO2 yang kecil sekalipun dapat mengakibatkan penurunan SpO2 yang sangat lebih besar.

(30)

Gambar 4.2 Kurva disosiasi hemoglobin - oksigen

4.3 Definisi dan penyebab hipoksemia pada neonatus

Penting untuk dicatat bahwa neonatus, terutama bayi prematur, memiliki saturasi oksigen yang lebih rendah dibandingkan bayi berumur lebih dari 1 minggu. Kadar normal untuk neonatus biasanya di atas 86%.18 Karena itu, tujuan terapi oksigen perlu mencerminkan hal ini.

Beberapa kondisi yang dapat berujung pada hipoksemia terjadi hanya, atau pada frekuensi yang lebih tinggi, pada neonatus, seperti sindrom distress pernapasan, asfiksia saat lahir, dan transient tachypnea of the newborn. Pnemonia juga merupakan kondisi yang sangat umum.19 Neonatus yang sangat tidak bugar karena prematuritas, sepsis, kejang, atau hipoglikemia juga rentan terhadap apnea. Apnea dan hipoventilasi juga terjadi pada bayi-bayi dengan berat badan lahir sangat rendah (<1.5 kg atau usia kehamilan <32 minggu) karena usaha bernapas yang imatur (apnea prematuritas). Apnea juga dapat berujung pada hipoksemia dan pelambatan denyut jantung (bradikardia), sehingga lebih mengurangi hantaran oksigen ke jaringan.

(31)

4.4 Penyebab hipoksemia pada anak-anak

Karena hipoksemia merupakan komplikasi penyakit berat dan prediktor kematian yang penting, tersedia data dalam jumlah bermakna mengenai frekuensi hipoksemia pada anak yang sakit. Data dikumpulkan dari lebih dari 16,000 anak pada 21 penelitian di 13 negara berkembang.

4.4.1 Infeksi Respiratori Akut (IRA)

Hipoksemia merupakan komplikasi yang umum ditemukan pada infeksi respiratori akut bawah pada anak dan merupakan faktor risiko kuat terjadinya kematian.

Contoh infeksi serius yang paling umum adalah pneumonia dan bronkiolitis;

keadaan-keadaan yang menjadi penyebab sebagian besar kasus hipoksemia pada anak di negara-negara berkembang. Pada penelitian-penelitian yang berkaitan dengan infeksi respiratori akut bawah yang memerlukan perawatan rumah sakit, menggunakan klasifikasi klinis WHO (pneumonia berat dan sangat berat), median prevalens hipoksemia adalah 13% (rentang 9 – 38%).2 Prevalens hipoksemia jauh lebih tinggi di beberapa rumah sakit; beberapa lebih dari 50%.

Diperkirakan 11 – 20 juta anak dengan pneumonia dirawat di rumah sakit setiap tahunnya.3 Karena itu, setidaknya terdapat 1.5 – 2.7 juta kasus pneumonia hipoksemik yang ditemukan di fasilitas kesehatan tiap tahun. Tidak terhitung banyaknya anak yang tidak memiliki akses pelayanan kesehatan.

Pneumonia pada anak umumnya disebabkan oleh bakteri (Streptococcus pneumoniaedan Haemophilus influenzae) dan virus (respiratorysyncytical virus, virus influenza). Patogen lain umumnya ditemukan pada grup-grup risiko tinggi, termasuk anak dengan malnutrisi, neonatus dan anak dengan HIV. Patogen- patogen ini termasuk Staphylococcus aureus, basilus gram negatif enterik (seperti Escherichia coli, spesies Klebsiella), Pneumocystis jiroveci(dulu dikenal dengan Pneumocystis carinii) dan Mycobacterium tuberculosis. Hipoksemia dapat menjadi komplikasi pneumonia yang disebabkan patogen-patogen ini, tergantung beratnya penyakit. Epidemi influenza merupakan risiko potensial selama tahun-tahun mendatang, dan sistem oksigen yang efektif akan diperlukan di semua negara agar penanganan epidemi influenza dapat efektif.

Prevalens hipoksemia secara umum lebih tinggi pada rumah sakit rujukan dibandingkan pada setting pelayanan primer, karena lebih banyak anak yang sakit berat yang dirujuk. Hipoksemia juga lebih umum ditemukan pada daerah dataran tinggi, dan usia lebih muda dan lebih umum pada daerah geografis tertentu.2

(32)

4.4.2 Kondisi lain pada anak

Hipoksemia juga terjadi pada anak dengan penyakit-penyakit yang bukan merupakan infeksi respiratori akut bawah seperti asma akut, meningitis dan sepsis, namun lebih jarang ditemukan. Asma merupakan masalah yang makin besar secara global dan pada populasi kelas menengah. Satu penelitian menemukan bahwa 26% dari 51 anak yang mengunjungi instalasi gawat darurat di India datang dengan asma dengan hipoksemia.20

Bahkan kondisi-kondisi yang jarang dikomplikasikan oleh hipoksemia, seperti malaria (3 – 5% pasien yang dirawat mengalami hipoksemia), dapat berkontribusi secara substansial pada beban hipoksemia global karena merupakan keadaan yang sangat umum ditemukan.2

4.5 Penyebab hipoksemia pada orang dewasa

Penyebab utama hipoksemia pada orang dewasa adalah PPOK eksaserbasi akut, asma akut, dan pneumonia. Seperti pada anak, pneumonia paling sering disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae. Penyebab utama lain adalah influenza. Epidemi atau pandemi influenza mungkin terjadi selama beberapa tahun mendatang, dan bagian dari persiapan pandemi adalah memastikan negara-negara memiliki sistem oksigen yang efektif. Hipoksemia juga terjadi pada sepsis, syok, trauma mayor, anafilaksis, gagal jantung akut, emboli pulmoner, efusi pleura, pneumotoraks, fibrosis paru, keracunan karbon monoksida, kegawatdaruratan obstetri dan operasi. Perempuan yang menderita sepsis atau komplikasi akut kehamilan rentan terhadap hipoksemia. Untuk mempelajari lebih lanjut mengenai terapi oksigen untuk orang dewasa pada kondisi-kondisi ini, lihat Bab 6 dan 7.

(33)

P e s a n k u n C i

• Hipoksemia merupakan komplikasi umum pada infeksi saluran pernapasan bawah pada anak, dan merupakan faktor risiko kematian yang kuat.

• Setidaknya 13% anak yang datang ke rumah sakit dengan pneumonia berat atau sangat berat mengalami hipoksemia, dan prevalensnya jauh lebih tingi pada beberapa rumah sakit;

beberapa lebih dari 50%.

• Prevalens hipoksemia lebih tinggi pada rumah sakit rujukan dibandingkan pada setting pelayanan primer. Hipoksemia lebih umum ditemukan pada dataran tinggi, usia muda dan daerah geografis tertentu.

• Hipoksemia terjadi pada beberapa anak dengan penyakit selain infeksi respirasi akut, seperti asma akut, meningitis, sepsis dan malaria.

• Neonatus yang sakit memiliki risiko mengalami hipoksemia, karena beberapa kondisi, seperti sindrom distress pernapasan, apnea, asfiksia jalan lahir, dan penumonia.

• SpO2<90% merupakan definisi klinis hipoksemia yang paling bemanfaat dan digunakan oleh sebagian besar klinisi sebagai indikasi yang sesuai untuk pemberian oksigen.

• Pada beberapa situasi klinis, oksigen lebih tepat diberikan pada pasien dengan SpO2<94%, termasuk anemia berat, gagal jantung, dan cidera otak.

• Bayi prematur (usia kehamilan <32 minggu) memiliki risiko kerusakan pada mata terkait oksigen; karena itu kadar SpO2 dijaga tidak melebihi 80% - 90%.

• PPOK,asma,pneumonia,traumadan kegawatdaruratan obstetri dan periopeatif merupakan penyebab umum hipoksemia pada orang dewasa.

(34)

5. indikasi Pemberian Oksigen

Hipoksemia dapat dideteksi menggunakan 1) tanda-tanda klinis, 2)oksimeter denyut (pulse oxymeter) atau 3) analisis gas darah. Bab ini membahas metode- metode tersebut, dan menjelaskan kelebihan serta kekurangan masing-masing metode.

5.1 Tanda-tanda klinis hipoksemia

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, tanda-tanda klinis bukanlah prediktor hipoksemia yang pasti, dan penggunaannya dapat mengarah ke hasil yang positif palsu atau negatif palsu. Namun, dalam banyak situasi, seperti pada fasilitas pelayanan kesehatan primer atau triase pada unit rawat jalan atau instalasi gawat darurat, kecil kemungkinan dapat dilakukan oksimeter denyut. Ketika melihat tampilan klinis pasien, terdapat tanda-tanda yang berbeda pada neonatus, anak, dan orang dewasa yang menjadi indikasi hipoksemia. Penting sekali bagi tenaga kesehatan untuk memiliki ketrampilan dalam mengidentifikasi pasien sakit berat secara klinis, dan untuk mengidentifikasi tanda-tanda klinis hipoksemia, dan bukan hanya bergantung pada peralatan pemantauan yang kemungkinan tidak tersedia atau tidak berfungsi dan tidak akurat.

5.1.1 Tanda-tanda klinis hipoksemia pada neonatus

Tanda-tanda hipoksemia pada neonatus dan bayi muda kurang spesifik, hal ini dapat menyebabkan orangtua anak terlambat mengenali tanda-tanda tersebut sehingga baru dibawa ke fasilitas kesehatan pada tahap penyakit yang lebih berat. Deteksi hipoksemia bahkan dapat sulit dilakukan oleh tenaga kesehatan yang terlatih.

Seperti pada bayi yang lebih besar dan anak-anak (lihat seksi berikut), tidak ada satu tanda klinis yang mengidentifikasi semua neonatus yang mengalami hipoksemia. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pada neonatus, seperti pada bayi dan anak, pernapasan cepat merupakan tanda yang tidak sensitif (yaitu banyak anak dengan hipoksemia yang tidak mengalami pernapasan cepat) dan non-spesifik (yaitu banyak anak dengan pernapasan cepat tidak mengalami hipoksemia) dalam mendeteksi hipoksemia. Seperti pada anak yang lebih tua, sianosis merupakan tanda klinis yang paling spesifik dalam mendeteksi hipoksemia pada neonatus, namun lebih dari seperempat neonatus dengan hipkosemia tidak teridentifikasi mengalami sianosis.

(35)

Kombinasi yang sensitif tanda-tanda klinis hipoksemia adalah:

• Frekuensi napas>60 kali/menit

• Tidak mau minum

• Sianosis sentral (perubahan warna menjadi kebiruan pada membran mukosa gusi dan lidah)

Namun, kriteria hipoksemia di atas kurang spesifik,artinya bayi yang memiliki tanda-tanda klinis tersebut belum tentu memerlukan oksigen. Jika oksimeter denyut tidak dapat dilakukan, kombinasi tanda sianosis sentral atau frekuensi pernapasan >60 kali/menit atau tidak mau minum akan mendeteksi sekitar 90%

bayi dengan hipoksemia, namun akan mengakibatkan penggunaan oksigen yang tidak perlu pada banyak bayi.

Pertimbangan-pertimbangan ini menjadi dasar yang menguatkan penggunaan oksimeter denyut pada penanganan neonatus yang sakit, dan pentingnya melatih tenaga kesehatan untuk dapat mengenali tanda-tanda klinis yang umum tersebut. Pemantauan apnea juga direkomendasikan untuk bayi dengan berat badan lahir sangat rendah dan neonatus prematur.

5.1.2 Tanda-tanda klinis hipoksemia pada anak

Seksi ini mendeskripsikan tanda-tanda klinis yang menunjukkan hipoksemia pada anak. Presisi tanda-tanda klinis ini dalam memprediksi hiposemia telah diulas.

Peningkatan frekuensi pernapasan

Peningkatan frekuensi pernapasan (0-2 bulan > 60x/menit, 2-12 bulan >

50x/menit dan 12 bulan ke atas >60x/menit) merupakan respon fisiologis terhadap hipoksia, namun frekuensi pernapasan dipengaruhi oleh usia,malnutrisi,ketinggian,dan adanya anemia atau demam.Perhitungan frekuensi pernapasan paling baik dilakukan dengan mengamati gerak dinding dada selama 60 detik.

Penelitian-penelitian menunjukkan bahwa peningkatan frekuensi pernapasan merupakan indikator hipoksemia yang bermanfaat pada dataran tinggi.

Pada permukaan air laut, frekuensi pernapasan yang meningkat merupakan prediktor yang kurang baik,dan hasilnya tergantung dari titik ambang batas yang ditentukan. Dengan menggunakan titik ambang batas yang lebih tinggi, lebih sedikit anak yang teridentifikasi, namun proporsi anak dengan hipoksemia

(36)

lebih tinggi.Pada sebagian besar situasi, takipnea saja (tanpa tanda-tanda lain distress pernapasan besar atau hipoksemia) tidak berguna sebagai indikator untuk terapi oksigen.

Tarikan dinding dada yang dalam

Tarikan dinding dada ke dalam merupakan pergerakan ke dalam dada bagian bawah pada saat terjadinya inspirasi (lihat Gambar 5.2.). Hal ini kadang disebut juga retraksi subkostal, resesi interkostal atau retraksi sternal. Karena retraksi dinding dada merupakan tanda kunci dalam diagnosis dan klasifikasi pneumonia, sebagian besar anak yang dirawat dengan pneumonia akan menunjukkan tanda ini sampai derajat tertentu. Karena itu sulit untuk menilai manfaat retraksi berat dalam memprediksi hipoksemia. Namun, bila oksimeter denyut tidak dapat dilakukan untuk mengklarifikasi adanya hipoksemia, anak dengan tanda ini sebaiknya diklasifikasikan sebagai memiliki gangguan pernapasan berat sehingga memerlukan oksigen. Jika persediaan oksigen terbatas, jangan gunakan tanda tarikan dinding dada ke dalam saja sebagai indikasi pemberian oksigen.

Ketidakmampuan untuk minum

Pada bayi (0-12 bulan), ketidakmampuan minum/ tidak bisa minum berarti menyusu kurang dari jumlah biasanya. Pada anak balita, artinya tidak dapat minum sama sekali. Termasuk pada bayi atau anak yang terlalu lemah untuk minum ketika ditawarkan cairan, yang tidak dapat menyedot atau menelan, atau yang muntah berulang menyebabkan lambung kosong. Walau anak yang

Gambar 5.2 Tarikan dinding ke dalam mengindikasikan pasien memerlukan oksigen

(37)

mendapatkan ASI dapat mengalami kesulitan menyedot ketika hidungnya tertutup, jika mereka tidak sakit berat, mereka masih dapat menyusu ketika hidung dibersihkan; hal ini tidak diklasifikasikan sebagai “tidak bisa minum”.

Tidak bisa minum merupakan tanda nonspesifik hipoksemia: kurang dari setengah anak dengan tanda ini mengalami hipoksemia.

kepala terangguk-angguk (head nodding), merintih, atau napas cuping hidung

Merintih saat ekspirasi dan pernapasan cuping hidung merupakan tanda-tanda penting gangguan pernapasan berat, terutama pada bayi, dan mengindikasikan perlunya pemeberian oksigen segera.

Kepala terangguk-anguk (head nodding) maksudnya adalah kepala yang terangguk ke arah dada setiap kali anak menghirup napas; hal ini menggambarkan penggunaan otot-otot aksesoris saat bernapas. Terdapat keterbatasan data yang mengevaluasi kegunaan tanda ini. Dua penelitian pada tempat yang sama menemukan bahwa sebagian besar anak dengan tanda ini mengalami hipoksemia (sensitif). Namun, banyak anak hipoksemia yang tidak memiliki tanda ini (tidak spesifik).

bunyi napas abnormal

Krepitasi atau ronki basah kasar dan mengi atau ekspirasi memanjang merupakan suara pernapasan abnormal yang dapat didengar menggunakan stetoskop.

Krepitasi atau ronki basah kasar merupakan suara yang dihasilkan oleh udara yang melewati cairan dalam saluran pernapasan (bronkus atau alveolus).

Sedangkan mengi dan ekspirasi memanjang merupakan suara seperti siulan yang timbul karena adanya inflamasi atau penyempitan saluran napas pada paru.

Beberapa penelitian menemukan bahwa tanda krepitasi atau ronki basah kasar secara signifikan diasosiasikan dengan hipoksemia, terutama pada kelompok umur lebih muda. Namun, tenaga kesehatan yang tidak terlatih menggunakan stetoskop dapat mengalami kesulitan dalam mengenali suara ini.

sianosis sentral

Hemoglobin yang teroksigenisasi berwarna merah, sedangkan hemoglobin yang terdeoksigenisasi berwarna biru. Jika sel-sel darah merah pada darah tidak sepenuhnya teroksigenisasi, kulit dan membran mukosa tampak biru. Hal ini disebut sianosis sentral (lihat gambar 5.1.)

(38)

Keterangan: Pada gambar ini, SpO2 adalah 66% dan grafik gelombang nadi tampak baik, mengkonfirmasi diagnosis hipoksemia berat. Bayi sebaiknya segera diberikan oksigen.

Gambar 5.1 Anak dengan sianosis sentral dan tarikan dinding dada

Identifikasi sianosis sentral bisa merupakan hal yang sulit. Periksa lidah dan gusi (bukan bibir) di bawah sinar matahari atau cahaya lampu neon putih (bahkan orang sehat dapat terlihat sedikit biru di bawah lampu fluorosen). Jika tidak yakin, bandingkan warna lidah anak dengan lidah ibu. Perubahan warna menjadi biru pada dasar kuku atau bibir hanya mengindikasikan sianosis perifer, yang dapat terjadi karena vasokonstriksi akibat hipotermia, pajanan temperatur lingkungan yang rendah atau syok. Kadang sianosis perifer muncul tanpa hipoksemia.

Pada anak dengan anemia berat dan yang memiliki membran mukosa yang sangat terpigmentasi, sianosis hanya dapat dengan mudah dideteksi pada hipoksemia berat. Sianosis sentral memiliki sensitivitas yang rendah untuk deteksi akurat hipoksemia; maksudnya, dari semua anak dengan hipoksemia, sianosis sentral hanya dapat dideteksi pada <50% anak. Namun, sianosis sentral memiliki spesifisitas tinggi dalam mendeteksi hipoksemia: semua anak dengan sianosis sentral mengalami hipoksemia dan karena itu harus diberikan oksigen.

kejang lama, letargi, atau koma

Anak yang mengalami koma atau kejang lama (kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit) memiliki risiko hipoksemia yang berarti. Koma atau kejang lama dapat diasosiasikan dengan depresi usaha napas yang berujung pada hipoventilasi, atau dapat mempengaruhi perlindungan jalan napas sehingga terjadi aspirasi.

(39)

Namun, koma merupakan tanda non-spesifik hiposemia: banyak anak dengan koma berkepanjangan yang tidak mengalami hipoksemia.

Semua anak dengan koma sebaiknya diperiksa secara seksama untuk menemukan tanda-tanda klinis lain yang mengindikasikan hipoksemia (sianosis, tarikan dinding dada ke dalam) atau obstruksi jalan napas atas (stridor) dan memberikan oksigen bila terdapat keraguan. Anak dengan koma karena penyakit akut (seperti meningitis, trauma, malaria serebral) dan anak dengan letargi atau kejang lama sebaiknya segera mendapatkan oksigen. Selain itu, penting sekali untuk menjaga jalan napas tetap terbuka, melindungi jalan napas dari bahaya lain (seperti aspirasi) dan menjaga ventilasi (pernapasan) yang adekuat.

5.1.3 Tanda klinis dan gejala hipoksemia pada orang dewasa

Hipoksemia pada orang dewasa memberikan gambaran penyakit yang akut dan serius pada orang yang sebetulnya sehat, atau merupakan deteriorasi akut pada orang dewasa dengan kondisi kronis. Tiap kasus sesak napas akut sebaiknya dipertimbangkan kemungkinan hipoksemia. Tanda dan gejala klinis yang dapat ditemukan, antara lain:

• Dispnea atau kesulitan bernapas dengan aktivitas minimal

• Ketidakmampuan untuk berbicara dalam kalimat

• Frekuensi napas yang cepat

• Penggunaan otot bantuan napas untuk bernapas

• Sianosis sentral

• Ronki dada, mengi

• Takikardia

• Gelisah, letargi atau disorientasi

Referensi

Dokumen terkait

8.8.1 eran&#34;ang dan menga#ukan masalah nyata berupa masalah program linear, dan menerapkan berbagai konsep dan aturan penyelesaian sistem pertidaksamaan linier dan menentukan

 Jalur energi anda akan dibersihkan dan akan mengalami pembangkitan energi kundalini memancar sampai dengan chakra mahkota yang berguna untuk kesehatan &amp; spiritualitas 

Evaluasi mutu gizi, seperti kandungan amilosa pada padi dan jagung, kan- dungan HCN pada ubi kayu, kandungan protein dan lemak, asam lemak jenuh dan tidak jenuh pada kedelai,

koofisien atau derajat asosiasi yang positif mengindikasikan bahwa walaupun tidak ada hubungan yang nyata antara ke-5 jenis pohon dominan utama tersebut, tetapi

Semakin besar konsentrasi gas yang dipaparkan pada larutan penyerap maka intensitas warna biru pada larutan penyerap menjadi meningkat dan nilai absorbansi dari

1) Hakim membuka sidang selanjutnya terdakwa dipersilahkan untuk duduk dikursi pemeriksaan, hakim mengingatkan terdakwa agar mendengarkan putusan dengan cermat. 2)

Selain itu, Provinsi Riau juga memiliki hutan mangrove yang tersebar di tujuh (7) kabupaten/kota yakni Kabupaten Indragiri Hilir, Pelalawan, Siak, Kepulauan