• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN RINITIS ALERGI TERHADAP KUALITAS HIDUP MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA ANGKATAN 2018 SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "HUBUNGAN RINITIS ALERGI TERHADAP KUALITAS HIDUP MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA ANGKATAN 2018 SKRIPSI"

Copied!
81
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Oleh :

ANNA DELINDA 180100116

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2021

(2)

HUBUNGAN RINITIS ALERGI TERHADAP KUALITAS HIDUP MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA ANGKATAN 2018

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

Oleh :

ANNA DELINDA 180100116

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2021

(3)
(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan kasih karunia-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan penelitian yang berjudul “Hubungan Rinitis Alergi Dengan Kualitas Hidup Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Angkatan 2018.” dengan baik dan tepat waktu, sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan Sarjana Kedokteran di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Dalam proses penyusunan dan penyelesaian skripsi ini, penulis mendapatkan banyak dukungan, bimbingan dan bantuan baik secara moril maupun materil dari berbagai pihak. Oleh sebab itu, penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. dr. Aldy Safruddin Rambe, Sp.S(K), selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

2. Dr.dr. Andrina Yunita Murni Rambe, Sp.THT.KL(K), selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktunya untuk membantu penulis, memberikan nasihat, ilmu, dan motivasi dengan baik dan sabar, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik dan benar.

3. dr. Aridamuriany D Lubis M. Ked(Ped) SpA(K), selaku Ketua Penguji dan dr. Hidayat, M.Biomed selaku Anggota Penguji yang telah meluangkan waktu, memberikan nasihat, saran dan kritik yang membangun sehingga skripsi ini terselesaikan dengan baik dan benar.

4. Dr. dr Juliandi Harahap, MA selaku dosen pembimbing akademik yang senantiasa membimbing dan memberikan motivasi selama masa perkuliahan 7 semester.

5. Seluruh staf pengajar dan civitas akademika Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara atas bimbingan dan ilmu yang diberikan dari mulai awal perkuliahan hingga penulis menyelesaikan skripsi ini.

6. Seluruh mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2018 yang telah meluangkan waktu dan membantu proses penyelesaian skripsi ini.

(5)

7. Kedua orang tua Lukman Hutapea dan Paulina Parsaulian Banjarnahor, serta saudara kandung penulis, Eta Azaria, Sean Albertini dan Garda Hutapea, yang selalu memberikan doa, dukungan, semangat, dan kasih sayang yang tulus sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

8. Sahabat-sahabat penulis, Congils yaitu Maydline Tiofanny, Meirin Yustisya Sinulingga, Kindry Elizabeth Magdalena Manik, Petrina Romana Ginting, dan sahabat terbaik lainnya yang tidak bisa disebut satu per satu, yang selalu memberikan kasih sayang, dukungan, dan motivasi dari awal perkuliahan sampai selesainya skripsi ini.

9. Jonathan Gustav Napitupulu yang selalu memberikan dukungan dan motivasi baik dari awal hingga selesainya skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna, baik dari segi materi yang diberikan maupun cara penulisan. Oleh sebab itu, dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca agar penulis dapat menyempurnakan skripsi ini. Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak, terutama dalam bidang pendidikan kedokteran.

Medan, 23 November 2021 Penulis,

Anna Delinda 180100116

(6)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN PENGESAHAN ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

DAFTAR SINGKATAN ... ix

ABSTRAK ... xi

ABSTRACT ... xii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 3

1.3. Tujuan Penelitian ... 3

1.3.1. Tujuan Umum ... 3

1.3.2. Tujuan Khusus ... 3

1.4. Manfaat Penelitian ... 4

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1. Rinitis Alergi ... 5

2.1.1. Definisi ... 5

2.1.2. Epidemiologi ... 5

2.1.3. Klasifikasi ... 5

2.1.4. Patofisiologi ... 6

2.1.5. Manifestasi Klinis ... 8

2.1.6. Faktor Risiko ... 9

2.1.7. Diagnosis ... 9

2.1.8. Tatalaksana ... 10

2.1.9. Komplikasi ... 12

2.2. Kualitas Hidup ... 13

2.2.1. Definisi ... 13

2.2.2. Kualitas Hidup Terkait Kesehatan ... 13

2.2.3. Kualitas Hidup Penderita Rinitis Alergi ... 13

2.2.4. Pengukuran Hidup Penderita Rinitis Alergi ... 15

2.3. Kerangka Penelitian ... 17

2.3.1. Kerangka Teori ... 17

2.3.2. Kerangka Konsep ... 17

2.3.3. Hipotesis ... 18

BAB III. METODE PENELITIAN ... 19

3.1. Rancangan Penelitian... 19

3.2. Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian ... 19

(7)

3.2.1. Lokasi Penelitian ... 19

3.2.2. Waktu Penelitian ... 19

3.3. Populasi dan Sampel Penelitian ... 19

3.3.1. Populasi Penelitian ... 19

3.3.2. Sampel Penelitian ... 19

3.3.3. Kriteria Inklusi dan Kriteria Eksklusi ... 19

3.3.4. Besar Sampel ... 20

3.4. Metode Pengumpulan Data... 20

3.4.1. Data Primer ... 20

3.4.2. Instrumen Penelitian ... 21

3.5. Definisi Operasional ... 21

3.6. Metode Analisis Data ... 23

BAB IV. HASIL PENELITIAN ... 24

4.1. Hasil Penelitian ... 24

4.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian ... 24

4.1.2 Karakteristik Subjek Penelitian ... 24

4.1.3 Tabulasi Silang Antara Penyakit Rinitis Dengan Kualitas Hidup ... 28

4.2. Pembahasan ... 29

4.2.1 Distribusi Frekuensi Rinitis Alergi Berdasarkan Jenis Kelamin ... 29

4.2.2 Distribusi Frekuensi Rinitis Alergi Berdasarkan Riwayat Keluarga ... 29

4.2.3 Distribusi Frekuensi Rinitis Alergi Berdasarkan Gejala Klinis Rinitis ... 30

4.2.4 Distribusi Frekuensi Rinitis Alergi Berdasarkan Jenis Riwayat Penyakit Atopik Lainnya ... 31

4.2.5 Karakteristik Responden Berdasarkan Kualitas Hidup ... 31

4.2.6 Kualitas Hidup Penderita dan Bukan Penderita Rinitis Alergi ... 32

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 33

4.1. Kesimpulan ... 33

4.2. Saran ... 34

DAFTAR PUSTAKA ... 35

LAMPIRAN ... 41

(8)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

Gambar 2.3.1 Kerangka Teori………. 17 Gambar 2.3.2 Kerangka Konsep………. 17

(9)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan

Diagnosis Rinitis Alergi ………

24

Tabel 4.2 Distribusi Rinitis Alergi Berdasarkan Jenis Kelamin… 25 Tabel 4.3 Distribusi Rinitis Alergi Berdasarkan Riwayat

Keluarga………..

25

Tabel 4.4 Distribusi Rinitis Alergi Berdasarkan Gejala Klinis Rinitis………..

25

Tabel 4.5 Distribusi Rinitis Alergi Berdasarkan Riwayat

Penyakit Atopik Lainnya………

27

Tabel 4.6 Distribusi Responden Berdasarkan Kualitas Hidup…... 28 Tabel 4.7 Distribusi Responden Rinitis Alergi Berdasarkan

Kualitas Hidup………

28

Tabel 4.8 Tabulasi Silang Rinitis Alergi dengan Kualitas Hidup.. 28

(10)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Judul Halaman

A Lembar Biodata Penulis………. 41

B Pernyataan Orisinilitas………... 43

C Ethical Clearance………... 44

D Surat Izin Penelitian………... 45

E Lembar Persetujuan Responden………. 46

F Identitas Diri…..……… 47

G Kuesioner SFAR……… 47

H Kuesioner SF-36……… 49

I Interpretasi hasil kuesioner SFAR………. 55

J Interpretasi hasil kuesioner SF-36……….. 57

K Hasil Output SPSS………. 61

L Data Induk Penelitian………. 66

(11)

DAFTAR SINGKATAN AgNO3 : Argentum Nitrat APC : Antigen Presenting Cell

ARIA : Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma BP : Bodily Pain

CDC : Center For Disease Control and Prevention DNA : Deoxyribonucleic Acid

EAACI : European Academy Of Allergy And Clinical Immunology

ECP : Eosinophilic Cationic Protein EDP : Eosiniphilic Derived Protein

ELISA : Enzyme Linked Immune Sorbent Assay Test EPO : Eosinhilic Peroxidase

FK USU : Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara GH : General Health Perceptions

GMCSF : Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor

ICAM 1 : Inter Cellular Adhesion Molecule 1 IgE : Imunoglobulin E

IgG : Imunoglobulin G IL : Interleukin

ISAAC : International Society for Augmentative and Alternative Communication

KBBI : Kamus Besar Bahasa Indonesia MBP : Major Basic Protein

MCS : Mental Component Score MH : Mental Health

MHC : Major Histocompatibility Complex PCS : Physical Component Score

(12)

PF : Physical Functioning

PPK PERHATI-KL : Panduan Praktik Klinis Perhimpunan Ahli Ilmu Penyakit THT Indonesia

RA : Rinitis Alergi

RAND : Research ANd Development

RE : Role Limitation Due to Emotional Problems RP : Role limitation Due to Physical Health Problems RQLQ : Rhinoconjunctivitis Quality of Life Questionnaire RSUP : Rumah Sakit Umum Pusat

SF : Social Functioning SF-36 : Short Form-36

SFAR : Score For Allergy Rhinitis

THT-KL : Telinga Hidung Tenggorokan-Kepala Leher VT : Vitality

WHO : World Health Organization

WHO-ARIA : World Health Organization Allergic Rhinitis its Impact on Asthma

(13)

ABSTRAK

Latar Belakang: Rinitis alergi merupakan suatu inflamasi yang diperantarai oleh Imunoglobulin E (IgE) dengan gejala seperti hidung berair, bersin, hidung tersumbat, dengan atau tanpa hidung gatal. Penderita rinitis alergi memiliki dampak pada kualitas hidup. Walaupun rintis alergi tidak termasuk dalam penyakit yang berbahaya, rinitis alergi berdampak pada penurunan kualitas hidup penderitanya yang dapat mengganggu aktivitas sehari-hari. Salah satu instrumen yang banyak digunakan untuk mengukur kualitas hidup adalah The Short Form-36. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan rinitis alergi dengan kualitas hidup di kalangan mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2018. Metode: Penelitian ini menggunakan metode analitik observasional dengan pendekatan studi cross-sectional. Sampel penelitian ditentukan dengan teknik simple random sampling serta menggunakan dua buah kuesioner yaitu SFAR untuk menilai rinitis alergi dan SF 36 untuk menilai kualitas hidup. Populasi penelitian ini adalah mahasiswa FK USU angkatan 2018. Hasil: Berdasarkan penelitian jumlah penderita rinitis alergi dari 72 mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2018 sebanyak 38 mahasiswa menderita rinitis alergi. Hasil analisis data dengan menggunakan uji statistik Chi Square menunjukkan terdapat hubungan signifikan antara rinitis alergi terhadap kualitas hidup p (p value) sebesar 0,001 (p<0,05). Kesimpulan: Terdapat hubungan antara rinitis alergi terhadap kualitas hidup pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2018.

Kata Kunci: Rinitis alergi, Kualitas hidup, SFAR,The Short Form-36

(14)

ABSTRACT

Background: Allergic rhinitis is an inflammation mediated by Immunoglobulin E (IgE) with symptoms such as runny nose, sneezing, nasal congestion, with or without itchy nose. Patients with allergic rhinitis have an impact on quality of life. Although allergic rhinitis is not a dangerous disease, allergic rhinitis has an impact on decreasing the quality of life of the sufferer which can interfere with daily activities. One instrument that is widely used to measure quality of life is The Short Form-36. Aims: This study aims to determine the relationship between allergic rhinitis and quality of life among students of the Faculty of Medicine, University of North Sumatra, class 2018.

Methods: This study used an observational analytical method with a cross-sectional study approach. The research sample was determined by simple random sampling technique and used two questionnaires, namely SFAR to assess allergic rhinitis and SF 36 to assess quality of life. The population of this study was the 2018 USU Medical Faculty students. Results: Based on the study, the number of allergic rhinitis sufferers from 72 students of the Faculty of Medicine, University of North Sumatra, batch 2018 was 38 students suffering from allergic rhinitis. The results of data analysis using the Chi Square statistical test showed that there was a significant relationship between allergic rhinitis and quality of life, p (p value) of 0.001 (p <0.05). Conclusion: There is a relationship between allergic rhinitis and quality of life in 2018 students of the Faculty of Medicine, Universitas Sumatera Utara.

Keywords: Allergic rhinitis, Quality of life, SFAR, The Short Form-36

(15)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

Rinitis alergi merupakan suatu inflamasi yang diperantarai oleh Imunoglobulin E (IgE) dengan gejala seperti hidung berair, bersin, hidung tersumbat, dengan atau tanpa hidung gatal. Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi pada hidung, hal ini terjadi ketika seseorang terkena sesuatu yang menyebabkan alergi yang dikenal dengan istilah alergen sehingga dapat menyebabkan munculnya gejala klinis rinitis alergi (Seidman et al., 2015).

Menurut World Health Organization Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma (WHO ARIA), rinitis alergi adalah suatu peradangan pada mukosa hidung setelah terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE, ditandai dengan gejala-gejala pada hidung yaitu rinore (hidung beringus yang encer), bersin-bersin, hidung tersumbat, dan hidung gatal. Rinitis alergi dibagi menjadi dua macam berdasarkan alergen penyebabnya, yaitu rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis) dan rinitis alergi sepanjang tahun (perennial). Namun sekarang rinitis alergi berdasarkan rekomendasi WHO Initiative ARIA diklasifikasikan berdasarkan sifat berlangsungnya menjadi intermiten (kadang-kadang) dan persisten (menetap).

Berdasarkan tingkat keparahan rinitis alergi dibedakan menjadi ringan dan sedang- berat (Soepardi, 2012).

Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA) menyebutkan bahwa prevalensi rinitis alergi di dunia sekitar 10-15% dari jumlah populasi. Menurut European Academy Of Allergy And Clinical Immunology (EAACI) tahun 2015 rinitis alergi menyerang 40% populasi di dunia (Akdis, 2015). Prevalensi rinitis alergi meningkat secara progresif di negara-negara yang lebih maju terutama pada orang dewasa mempengaruhi 10% - 40% dan 2% -25% anak-anak di seluruh dunia.

Perkembangan ekonomi, gaya hidup kebarat-baratan, urbanisasi serta kebiasaan makan di negara-negara berkembang mengakibatkan peningkatan kejadian rinitis alergi (Zhang & Zhang, 2019).

(16)

Menurut studi dari ISAAC phase three, untuk wilayah Indonesia prevalensi di Jakarta didapatkan 26,71% anak usia 13-14 tahun mengalami gejala rinitis alergi.

Sementara di Bandung dan Semarang berjumlah 19,1% dan 18,4% anak usia 13-14 tahun mengalami gejala rinitis alergi (Kholid, 2013). Hasil penelitian Naibaho (2017) prevalensi rinitis alergi di Indonesia mencapai 40% pada anak-anak dan 10- 30% pada orang dewasa. Menurut catatan medis di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung Divisi THT-KL didapatkan angka sebesar 66.4% pasien dengan Rinitis alergi berusia 10 – 29 tahun dan 45.1% di antaranya adalah pelajar (Nurhutami et al., 2020). Sementara hasil penelitian Junaedi (2014) yang telah dilakukan mahasiswa Kedokteran Universitas Sumatera Utara menunjukan bahwa prevalensi rinitis alergi pada mahasiswa di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yaitu sebesar 41.4%.

Diakui bahwa penderita rinitis alergi memiliki dampak pada kualitas hidup (Meltzer dan Diego, 2011). Walaupun rinitis alergi tidak termasuk dalam penyakit yang berbahaya, rinitis alergi berdampak pada penurunan kualitas hidup penderitanya yang dapat menganggu aktivitas sehari-hari.

Pada penelitian yang dilakukan Vinka (2012) di RSUP Haji Adam Malik Medan menyatakan bahwa (67%) penderita rinitis alergi sedikit terganggu pada aktivitas sehari-hari, (15%) cukup tenganggu, dan (3%) amat sangat terganggu.

Pada gangguan tidur (33,3%) penderita sedikit terganggu, (29,6%) sangat terganggu, dan (18,5%) merasa amat sangat terganggu. Pada gangguan psikologis (67%) sedikit terganggu, (22%) cukup terganggu, dan (11%) sangat terganggu.

Sebuah penelitian yang melibatkan 1.948 individu yang menyelesaikan kuesioner RQLQ terdapat 3 parameter yang paling mencirikan pengaruh rinitis alergi terhadap kehidupan sosial penderita yaitu rasa malu, frustasi dan masalah praktis, termasuk ketidaknyamanan membawa tidu atau sarung tangan ke mana- mana, kebutuhan untuk menyeka hidung atau mata, dan mengeluarkan cairan dari hidung terus menerus (Cristina Camelo-Nunes and Solé, 2010).

(17)

Dalam mengukur kualitas hidup ada banyak cara yang digunakan oleh para peneliti untuk menilai kualitas hidup penderita RA, diantaranya adalah menggunakan berbagai kuesioner seperti SF-36 (The Short Form-36), Rhinoconjunctivitis Quality of Life Questionnare, Symptomatic Global Score, dan Visual Analog Scale. Kuesioner tersebut dapat menggambarkan kualitas hidup penderitanya. Salah satu instrumen yang banyak digunakan untuk mengukur kualitas hidup adalah SF-36. Penggunaan SF-36 dilakukan dengan cepat (5-10 menit) dan mudah, bahkan dapat juga dilakukan menggunakan wawancara melalui telepon (Tinartayu & Riyanto, 2015).

Oleh karena itu, dengan memperhatikan latar belakang masalah diatas penulis tertarik untuk mengetahui hubungan rinitis alergi terhadap kualitas hidup mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2018.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Apakah terdapat hubungan antara rinitis alergi terhadap kualitas hidup di kalangan mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2018?”.

1.3 TUJUAN PENELITIAN 1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan rinitis alergi dengan kualitas hidup di kalangan mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2018.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui prevalensi mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2018 yang menderita rinitis alergi dan yang tidak menderita rinitis alergi.

(18)

2. Untuk mengetahui distribusi rinitis alergi di kalangan mahasiswa FK USU angkatan 2018 menurut jenis kelamin, riwayat keluarga, gejala klinis rinitis dan riwayat penyakit atopik lainnya.

3. Untuk mengetahui kualitas hidup mahasiswa FK USU angkatan 2018 yang menderita rinitis alergi dan yang tidak menderita rinitis alergi.

1.4 MANFAAT PENELITIAN 1. Bagi Masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan bagi masyarakat mengenai hubungan rinitis alergi dengan kualitas hidup mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2018.

2. Bagi Institusi Pendidikan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan dan bahan perbandingan dalam penelitian yang lebih lanjut.

3. Bagi Peneliti

Dapat menambah pengetahuan dan informasi tentang hubungan rinitis alergi dengan kualitas hidup mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2018.

4. Bagi Peneliti lain

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai data dasar untuk penelitian lebih lanjut mengenai gambaran kualitas hidup penderita rinitis alergi di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2018.

(19)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rinitis Alergi

2.1.1 Definisi

Rinitis alergi suatu penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopik yang sebelumnya sudah terpapar dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan kembali dengan alergen spesifik tersebut (Septriana et al., 2018).

Rinitis alergi adalah penyakit alergi tipe I yang berasal dari mukosa hidung dengan tanda tanda gejala seperti ingus berair, sumbatan hidung, dan bersin yang berulang (Wise et al., 2018).

2.1.2 Epidemiologi

Prevalensi rinitis alergi di dunia telah mempengaruhi 40% dari populasi (Zhang and Zhang, 2014). Di Eropa Barat, prevalensi rinitis alergi berkisar 20- 30% (Hauswald et al., 2014). Sementara prevalensi rinitis alergi di Indonesia sebesar 24,3% (Supit, Wungouw and Engka, 2019). Begitu juga pada penelitian yang dilakukan mahasiswa Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Junaedi (2015) menunjukkan bahwa prevalensi rinitis alergi pada mahasiswa di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yaitu sebesar 41.4%.

2.1.3 Klasifikasi

Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya, yaitu :

1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis). Di Indonesia tidak dikenal rinitis alergi musiman, hanya ada di negara yang mempunyai 4 musim. Alergen penyebabnya spesifik, yaitu serbuk (pollen) dan spora jamur.

2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial allergic rhinitis). Gejala pada penyakit ini timbul intermiten atau terus menerus, tanpa variasi musim, jadi

(20)

dapat ditemukan sepanjang tahun. Penyebab yang paling sering ialah alergen inhalan, terutama pada orang dewasa, dan alergen ingestan. Alergen inhalan utama adalah alergen dalam rumah (indoor) contoh : tungau dan alergen di luar rumah (outdoor). Alergen ingestan sering merupakan penyebab pada anak anak dan biasanya disertai dengan gejala alergi yang lain, seperti urtikaria, gangguan pencernaan. Gangguan fisiologi pada golongan perenial lebih ringan dibandingkan dengan golongan musiman tetapi karena lebih persisten maka komplikasinya lebih sering ditemukan.

Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001, yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi :

1. Intermiten (kadang-kadang) jika gejala kurang dari 4 hari dalam seminggu atau kurang dari 1 bulan.

2. Persisten (menetap) jika gejala berlangsung lebih dari 4 hari dalam seminggu dan lebih dari 1 bulan.

Berdasarkan derajatnya, rinitis alergi dibagi menjadi :

1. Ringan jika tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian, bersantai, berolahraga, belajar, bekerja, dan hal-hal lain yang mengganggu.

2. Sedang-berat jika terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas.

2.1.4 Patofisiologi

Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi/reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiper- reaktivitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam.

(21)

Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptida dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk kompleks peptida MHC kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th 0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL 1) yang akan mengaktifkan Th 0 untuk berproliferasi menjadi Th 1 dan Th 2. Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti (mis. Interleukin [IL] - 3, IL-4, IL-5, dan IL-13) dapat diikat oleh reseptornya di permukaan limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi IgE. IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Preformed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2, Leukotrien D4, Leukotrien C4, bradikinin, Platelet Activating Factor, dan berbagai sitokin.

(IL3, IL4, IL5, IL6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dll. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).

Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan kelenjar mukosa serta sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1).

Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang

(22)

menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respon ini tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai 6 – 8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, basofil, dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL3, IL4, IL5, dan Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor (GMCSF) dan ICAM1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP) dan Eosinhilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca, dan kelembaban udara yang tinggi (Irawati dan Nikmah, 2017).

2.1.5 Manifestasi klinis 1. Bersin

Bersin disebabkan oleh iritasi histamin pada saraf sensorik (saraf trigeminus) di mukosa hidung yang diteruskan ke pusat bersin di medula oblongata. Efek iritan histamin pada saraf sensorik ditingkatkan oleh alergi yang menyebabkan bersin.

2. Watery rhinorrhea

Iritasi saraf sensorik pada mukosa hidung menyebabkan eksitasi saraf parasimpatis, mengakibatkan refleks bersin. Asetilkolin dilepaskan dari saraf parasimpatis. Histamin bekerja langsung pada pembuluh mukosa hidung menyebabkan kebocoran plasma.

3. Pembengkakan mukosa hidung

Pembengkakan mukosa hidung disebabkan oleh edema interstitial pada mukosa hidung, akibat kebocoran plasma, dan penyumbatan pembuluh mukosa hidung. (Okubo et al., 2014).

(23)

2.1.6 Faktor risiko

Faktor risiko rinitis alergi adalah memiliki riwayat atopi pada keluarga seperti riwayat asma, dermatitis atopik, atau alergi makanan. Faktor risiko rinitis alergi lainnya termasuk status sosial ekonomi yang tinggi, pencemaran lingkungan, paparan alergen dalam ruangan seperti bulu binatang dan tungau debu, ibu yang merokok berat selama tahun pertama kehidupan, memiliki konsentrasi tinggi di serum IgE lebih dari 100 IU/ml sebelum usia 6 tahun, tes uji tusuk kulit alergen positif dan pengenalan awal makanan atau formula (Scadding et al., 2011).

2.1.7 Diagnosis

Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang menurut PPK PERHATI-KL (2016).

1. Anamnesa

- Gejala hidung : hidung berair, hidung tersumbat, hidung gatal, dan bersin berulang. Gejala pada umumnya muncul di pagi hari atau malam hari

- Gejala mata : mata merah, mata gatal, dan mata berair

- Gejala lain : batuk, tenggorokan gatal, gangguan konsentrasi, dan gangguan tidur. Penderita yang disertai asma dapat ditemukan keluhan sesak nafas dan mengi.

2. Pemeriksaan fisik

Pada anak sering ditemukan tanda khas : bayangan gelap di daerah bawah mata (allergic shiner), sering menggosok-gosok hidung dengan menggunakan punggung tangan untuk meringankan rasa gatal pada hidung punggung (allergic salute), dan gambaran garis melintang di bagian dorsum hidung (allergic crease).

Gambaran khas pada rongga hidung : mukosa hidung edema, berwarna pucat atau livid, disertai sekret encer banyak. Dapat ditemukan juga konka inferior yang hipertrofi.

(24)

3. Pemeriksaan penunjang - Pemeriksaan laboratorium

a) ELISA (Enzyme Linked Immune Sorbent Assay Test) atau RAST (Radio Immune Sorbent Test) dilakukan untuk memeriksa kadar IgE spesifik. Pemeriksaan ini sangat bermakna untuk diagnosis, namun harus berkorelasi dengan gejala klinis.

b) Pemeriksaan jumlah eosinofil sekret hidung hanya sebagai pelengkap.

c) Pemeriksaan nasoendoskopi (ICD 9CM: 22.19)

Dilakukan untuk evaluasi keterlibatan komplek osteomeatal dalam menilai adanya rhinosinusitis, polip hidung, atau septum deviasi sebagai komorbid.

d) Tes kulit alergi

Dengan menggunakan ekstrak alergen dan alat yang terstandarisasi, tes cukit/tusuk kulit merupakan gold standard diagnosis rinitis alergi di klinik dan skrining.

Apabila menggunakan ekstrak alergen yang tidak terstandarisasi, dapat diteruskan dengan tes intradermal bila tes cukit/tusuk kulit negatif.

2.1.8. Tatalaksana

1. Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan alergen penyebabnya (avoidance) dan eliminasi

2. Medikamentosa

Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamin H-1, yang bekerja secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat farmakologi yang paling sering dipakai sebagai lini pertama pengobatan rinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral.

Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin generasi-1 (klasik) dan generasi-2 (non sedatif). Antihistamin generasi-1

(25)

bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Yang termasuk kelompok ini antara lain adalah difenhidramin, klorfeniramin, prometasin, siproheptadin sedangkan yang dapat diberikan secara topikal adalah azelastin. Antihistamin generasi-2 bersifat lipofobik, sehingga sulit menembus sawar darah otak. Bersifat selektif mengikat reseptor H-1 perifer dan tidak mempunyai efek pada SSP minimal (non-sedatif). Antihistamin diabsorbsi secara oral dengan cepat dan mudah serta efektif untuk mengatasi gejala pada respons fase cepat seperti rinore, bersin, gatal, tetapi tidak efektif untuk mengatasi gejala obstruksi hidung pada fase lambat.

Antihistamin non sedatif dapat dibagi menjadi 2 golongan menurut keamanannya. Kelompok pertama adalah astemisol dan terfenadin yang mempunyai efek kardiotoksik. Toksisitas terhadap jantung tersebut disebabkan repolarisasi jantung yang tertunda dan dapat menyebabkan aritmia ventrikel, henti jantung, dan bahkan kematian mendadak (sudah ditarik dari peredaran). Kelompok kedua adalah loratadin, setirisin, fexofenadin, desloratadine, dan levosetirisin.

Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai sebagai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau topikal. Namun pemakaian secara topikal hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya rinitis medikamentosa.

Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan hidung akibat respon fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering dipakai adalah kortikosteroid topikal (beklometason, budesonid, flunisolid, flutikason, mometason furoat, dan triamsinolon). Kortikosteroid topikal bekerja untuk mengurangi jumlah sel mastosit pada mukosa hidung, mencegah pengeluaran protein sitotoksik dari eosinofil, mengurangi aktivitas limfosit, mencegah bocornya plasma. Hal ini menyebabkan epitel hidung tidak hiperresponsif terhadap rangsangan alergen (bekerja pada respon fase cepat dan lambat). Preparat sodium kromoglikat topikal bekerja

(26)

menstabilkan mastosit (mungkin menghambat ion kalsium) sehingga penglepasan mediator dihambat. Pada respon fase lambat, obat ini juga menghambat proses inflamasi dengan menghambat aktivasi sel netrofil, eosinophil, dan monosit. Hasil terbaik dapat dicapai bila diberikan sebagai profilaksis.

Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromida, bermanfaat untuk mengatasi rinore karena aktivitas inhibisi reseptor kolinergik pada permukaan sel efektor.

Pengobatan baru lainnya untuk rinitis alergi adalah anti leukotrien (zafirlukast / montelukast), anti IgE, DNA rekombinan.

3. Operatif

Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior), konkoplasti atau multiple outfractured, inferior turbinoplasty perlu dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor asetat.

4. Imunoterapi

Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang berat dan sudah berlangsung lama, serta dengan pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang memuaskan. Tujuan dari imunoterapi adalah pembentukan IgG blocking antibody dan penurunan IgE. Ada 2 metode imunoterapi yang umum dilakukan yaitu intradermal dan sublingual (Irawati dan Nikmah, 2017).

2.1.9. Komplikasi 1) Polip hidung

Beberapa peneliti mendapatkan bahwa alergi hidung merupakan salah satu faktor penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip hidung.

2) Otitis media efusi yang sering residif, terutama pada anak anak.

3) Rinosinusitis (Irawati dan Nikmah, 2017).

(27)

2.2 Kualitas Hidup 2.2.1 Definisi

Kualitas hidup adalah persepsi individu terhadap kedudukannya di kehidupan, dalam konteks budaya, sistem nilai di mana mereka berada dan hubungannya terhadap tujuan hidup, harapan, standar, dan lainnya yang terkait. Masalah yang mencakup kualitas hidup sangat luas dan kompleks termasuk masalah kesehatan fisik, status psikologik, tingkat kebebasan, hubungan sosial, dan lingkungan dimana mereka berada (World Health Organization, 2012).

Center For Disease Control and Prevention (CDC) mendefinisikan kualitas hidup adalah konsep multidimensi yang luas mencakup subjektif dan aspek positif dan negatif dari kehidupan. Meskipun kesehatan merupakan salah satu aspek penting dalam kualitas hidup, terdapat juga beberapa aspek lain yang mempengaruhi kualitas hidup seperti budaya, sistem nilai, dan spiritualitas (CDC, 2000).

2.2.2 Kualitas hidup terkait kesehatan

Kualitas hidup terkait kesehatan/health related quality of life adalah keadaan kesejahteraan (well being) yang merupakan gabungan dari dua komponen, yaitu kemampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari yang mencerminkan keadaan fisik, psikologis, sosial, dan kepuasan pasien terhadap tingkat fungsi dan pengendalian penyakit (Dian Ayu Juwita, Almahdy, 2018).

2.2.3 Kualitas hidup penderita rinitis alergi

Meskipun sering dilihat sebagai hal sepele, rinitis alergi dapat mengakibatkan keterbatasan fungsi dalam kehidupan sehari-hari sehingga mempengaruhi kualitas hidup penderitanya. Penderita rinitis alergi rentan terhadap gangguan tidur dan emosional serta gangguan dalam menjalankan aktifitas dan fungsi sosial. Hal ini tidak hanya dialami oleh orang dewasa tetapi juga terjadi pada anak-anak maupun

(28)

remaja. Anak-anak dapat mengalami kesulitan di sekolah karena gangguan belajar, kelelahan, atau kurang tidur. Pada orang dewasa juga dapat mengakibatkan penurunan konsentrasi dan produktivitas.

(a) Dampak terhadap tidur

Gangguan tidur bisa merusak kualitas hidup sehingga menyebabkan seseorang kelelahan, mudah tersinggung, gangguan memori, dan mengantuk di siang hari. Hidung tersumbat dan rinore adalah gejala yang memiliki dampak terbesar dalam gangguan tidur. Obstruksi hidung yang disertai dengan kongesti hidung merupakan faktor risiko terjadinya gangguan respirasi yang berhubungan dengan gangguan tidur seperti sleep apnea, hypopnea, dan mendengkur.

(b) Dampak terhadap pembelajaran dan kehidupan sosial

Penderita rinitis alergi yang memiliki gejala tidak terkontrol sehingga berdampak terhadap pembelajaran, baik karena gangguan gejala atau akibat gangguan kualitas atau kuantitas tidur malam hari yang menimbulkan kelelahan pada siang hari. Memori dan pembelajaran adalah karakteristik fungsional yang dapat terganggu pada penderita rinitis alergi.

Dalam sebuah penelitian yang melibatkan 1.948 individu yang menyelesaikan kuesioner RQLQ terdapat 3 parameter yang paling mencirikan pengaruh rinitis alergi terhadap kehidupan sosial penderita yaitu rasa malu, frustasi dan masalah praktis, termasuk ketidaknyamanan membawa tidu atau sarung tangan ke mana- mana, kebutuhan untuk menyeka hidung atau mata, dan mengeluarkan cairan dari hidung terus menerus.

(c) Dampak terhadap produktivitas dan sosial ekonomi

Total beban untuk rinitis alergi tidak hanya terletak pada penurunan fungsi fisik dan sosial, tetapi juga berdampak pada sosial ekonomi yang besar terhadap kondisi sosial ekonomi pasien, keluarga, sistem perawatan kesehatan, dan juga masyarakat secara

(29)

keseluruhan. Biaya untuk berobat ke dokter, tes laboratorium, obat- obatan, dan imunoterapi adalah biaya yang harus dikeluarkan oleh pasien rinitis alergi (Cristina Camelo-Nunes and Solé, 2010).

2.2.4 Pengukuran kualitas hidup penderita rinitis alergi

Kualitas hidup dapat diukur dengan menggunakan instrumen pengukuran kualitas hidup yang telah teruji dan memiliki reliabilitas, sensitivitas, dan spesifisitas yang cukup tinggi. Ada beberapa cara untuk mengukur kualitas hidup penderita RA, diantaranya kuesioner seperti SF-36, Rhinoconjunctivitis Quality of Life Questionnare, Symptom Score dan Visual Analgue Scale. Salah satu instrumen yang banyak digunakan untuk mengukur kualitas hidup adalah SF-36. Sebagai instrumen umum, SF-36 dibuat untuk dapat diterapkan pada berbagai tipe dan beratnya suatu penyakit. Instrumen umum ini berfungsi untuk memantau pasien dengan berbagai kondisi kesehatan untuk selanjutnya dibandingkan dengan status kesehatan pasien dengan kondisi kesehatan yang berbeda dan dibandingkan juga dengan populasi umum (Hutasoit, 2001). Pada penelitian yang dilakukan oleh Simon Salim (2015) di Jakarta bahwa kuesioner SF-36 berbahasa Indonesia dapat diterima baik oleh pasien dan bersifat valid-reliabel.

Kuesioner SF-36 mengukur 8 dimensi, yaitu (Lins & Carvalho, 2016) : 1. Fungsi fisik (Physical Functioning / PF)

2. Pembatasan aktivitas karena adanya masalah fisik (Role limitations due to physical health problems / RP)

3. Nyeri badan (Bodily Pain / BP)

4. Fungsi sosial (Social Functioning / SF)

5. Kesehatan mental secara umum (General mental health / MH)

6. Pembatasan aktivitas sosial karena adanya masalah emosional (Role limitations due to emotional problems / RE)

7. Vitalitas (Vitality / VT)

(30)

8. Persepsi terhadap kesehatan secara umum (General health perceptions / GH)

Berdasarkan faktor analisis, ada 2 komponen yang dapat dihitung menggunakan skala SF-36 yaitu komponen kesehatan fisik (Physical Component Score / PCS ) dan kesehatan mental (Mental Component Score / MCS) (Lins & Carvalho, 2016). Skala fungsi fisik (PF), pembatasan aktivitas karena adanya masalah fisik (RP) dan nyeri badan (BP) berhubungan dengan komponen fisik dan penilaian skor komponen fisik (Physical Component Score / PCS). Komponen kesehatan mental berhubungan dengan skala kesehatan mental secara umum (MH), pembatasan masalah sosial karena masalah emosional (RE) dan fungsi sosial (SF). Skala vitalitas (VT) dan persepsi terhadap kesehatan secara umum (GH) ada dalam penilaian komponen kesehatan fisik (PCS) maupun komponen kesehatan mental (MCS) (Cordier et al., 2018).

Metode RAND dapat digunakan untuk menilai setiap pertanyaan pada kuesioner SF-36. Untuk pertanyaan yang memiliki 2 kategori jawaban diberi kode 0 dan 100, untuk pertanyaan yang memiliki 3 kategori jawaban dikode 0, 50, dan 100, untuk pertanyaan yang memiliki 5 kategori jawaban diberikan kode 0, 25, 50, 75, dan 100, sedangkan untuk pertanyaan yang memiliki 6 kategori jawaban diberikan kode 0, 20, 40, 60, 80, dan 100. Kemudian nilai kode untuk pertanyaan-pertanyaan yang memiliki skala yang sama dijumlahkan kemudian dirata-ratakan. Pengukuran kualitas hidup adalah pengukuran yang bersifat pribadi, sehingga akan sulit untuk menyajikan nilai-nilai normatif yang pasti untuk kualitas hidup yang dikategorikan baik dan yang dikategorikan buruk. Persentase skor 0% pada suatu skala menunjukkan kemungkinan kualitas hidup terburuk dan 100%

menunjukkan kemungkinan kualitas hidup terbaik. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi skor mengindikasikan kualitas hidup yang lebih baik (Rand Health, 1992). Nilai skor kualitas hidup rata-rata adalah 60,

(31)

di bawah skor tersebut kualitas hidup dinilai kurang baik dan nilai skor 100 merupakan tingkat kualitas hidup yang sangat baik (Elvina, 2011).

2.3 Kerangka penelitian 2.3.1 Kerangka teori

Gambar 2.3.1 Kerangka teori penelitian.

Keterangan :

= yang diteliti

= yang tidak diteliti

2.3.2 Kerangka Konsep

Berdasarkan tujuan penelitian di atas maka kerangka konsep dalam penelitian ini adalah:

Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 2.3.2 Kerangka konsep penelitian.

Rinitis Alergi

Rinitis Alergi Kualitas Hidup

Faktor Risiko

Terbentuk alergen Imunoglobulin spesifik

(IgE)

Manifestasi Klinis

Kualitas Hidup

(32)

2.3.3 Hipotesis

Hipotesis 0 (H0): Tidak ada hubungan antara rinitis alergi dengan kualitas hidup di kalangan mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2018.

Hipotesis alternatif (Ha): Ada hubungan antara rinitis alergi dengan kualitas hidup di kalangan mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2018.

(33)

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1 RANCANGAN PENELITIAN

Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian analitik observasional dengan pendekatan studi cross-sectional. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan rinitis alergi terhadap kualitas hidup mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2018.

3.2 LOKASI PENELITIAN DAN WAKTU PENELITIAN 3.2.1 Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di jejaring komunikasi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

3.2.2 Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan mulai dari bulan Juli 2021 hingga November 2021.

3.3 POPULASI DAN SAMPEL PENELITIAN 3.3.1 Populasi Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2018 yang berjumlah 254 orang.

3.3.2 Sampel Penelitian

Sampel pada penelitian ini adalah seluruh mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2018 yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

3.3.3 Kriterian Inklusi dan Kriteria Eksklusi 1. Kriteria Inklusi

a. Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2018 yang bersedia mengisi kuesioner SFAR dan SF-36.

2. Kriteria Ekslusi

(34)

a. Mahasiswa yang tidak mengisi kuesioner dengan lengkap 3.3.4 Besar Sampel

Jumlah sampel yang digunakan akan dihitung menggunakan formula : 𝑛 = 𝑁

1 + 𝑁𝑒2 Keterangan :

n = ukuran sampel

𝑁 = ukuran populasi e = error tolerance (0,1)

Berdasarkan rumus tersebut didapatkan jumlah sampel minimal adalah:

𝑛 = 254 1 + 254(0,1)2 𝑛 = 254

3,54= 72

Pada penelitian ini, jumlah sampel yang dibutuhkan adalah 72 mahasiswa.

Teknik pengambilan sampel penelitian ini bertujuan untuk menentukan secara acak atau random mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang akan diteliti dengan menggunakan metode randomisasi sederhana (simple random sampling), yaitu proses pengambilan sampel dimana setiap individu dalam populasi memiliki peluang yang sama untuk dijadikan sampel.

3.4 METODE PENGUMPULAN DATA 3.4.1 Data Primer

Penelitian ini menggunakan data primer, yaitu data yang diperoleh secara langsung dari responden dengan menggunakan kuesioner online. Kuesioner yang digunakan sebagai alat bantu dalam penelitian ini adalah kuesioner SFAR (Score for Allergic Rhinitis) dan SF-36 (The Short Form-36).

(35)

3.4.2 Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan kuesioner SFAR (Score for Allergic Rhinitis) untuk menilai rinitis alergi dan kuesioner SF-36 (The Short Form-36) untuk menilai kualitas hidup. Data diri dan informed consent akan diberi bersamaan dengan kuesioner kepada setiap responden yang bersedia mengisi kuesioner.

3.5 DEFINISI OPERASIONAL 1. Rinitis alergi

Definisi : penyakit inflamasi pada mukosa hidung yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien yang sebelumnya sudah terpapar dengan alergen yang sama serta dilepaskannya mediator-mediator kimia pada saat terpapar kembali dengan alergen tersebut

Cara ukur : Wawancara menggunakan kuesioner SFAR Alat ukur : Kuesioner SFAR (Betty, 2020)

Hasil ukur : Total skor ≥ 7 mengkategorikan subjek sebagai penderita rinitis alergi.

Skala : Nominal 2. Skor kualitas hidup

Definisi : merupakan evaluasi subjektif mengenai respon emosi terhadap aktifitas sosial, emosional, pekerjaan dan hubungan antar keluarga, rasa senang atau bahagia, adanya kesesuaian antara harapan dan kenyataan yang ada, adanya kepuasan dalam melakukan fungsi fisik, sosial dan emosional serta kemampuan mengadakan sosialisasi dengan orang lain.

Cara ukur : Wawancara menggunakan kuesioner SF-36 Alat ukur : Kuesioner SF-36

Hasil ukur : Skor kualitas hidup buruk jika < 60 dan skor kualitas hidup baik jika ≥ 60

Skala ukur : Nominal

(36)

3. Jenis kelamin

Definisi : Menurut Depkes (2008), jenis kelamin menunjukkan perbedaan seks yang di dapat sejak lahir yang dibedakan antara laki- laki dan perempuan

Cara ukur : Observasi dari data responden Alat ukur : Data responden

Hasil ukur : Perempuan dan laki laki Skala ukur : Nominal

4. Riwayat keluarga

Definisi : Riwayat keluarga diartikan sebagai terdapatnya faktor-faktor dan riwayat penyakit dalam keluarga

Cara ukur : Wawancara menggunakan kuesioner SFAR Alat ukur : Kuesioner SFAR

Hasil ukur : Ada dan tidak ada riwayat keluarga Skala ukur : Nominal

5. Gejala klinis

Definisi : Menurut KBBI, gejala klinis adalah gejala yang diamati secara klinis atau melalui pemeriksaan medis

Cara ukur : Wawancara menggunakan kuesioner SFAR Alat ukur : Kuesioner SFAR

Hasil ukur : Bersin-bersin, hidung berair, hidung tersumbat, hidung gatal dan mata berair

Skala ukur : Nominal

6. Riwayat penyakit atopik lainnya

Definisi : Penyakit atopik lain (asma, ekzema dan rinitis alergi) yang di alami responden yang tercatat pada kuesioner

Cara ukur : Wawancara menggunakan kuesioner SFAR Alat ukur : Kuesioner SFAR

Hasil ukur : a. Asma

(37)

b. Ekzema c. Rinitis alergi Skala ukur : Nominal

3.6 METODE ANALISIS DATA

Data yang diperoleh melalui alat bantu kuesioner dilakukan pengolahan data dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Editing (pemeriksaan data), pada tahap ini peneliti akan melakukan pemeriksaan kembali data yang telah dikumpulkan untuk menghindari kesalahan dan menjamin data sudah lengkap dan benar.

2. Coding (pemberian kode), pada tahap ini peneliti memberi tanda atau kode tertentu terhadap data yang telah diperbaiki untuk mempermudah pengolahan data.

3. Data Entry (pemasukan data), pada tahap ini dimasukkan data ke dalam file data komputer untuk kemudian di analisa menggunakan program yang digunakan.

4. Cleaning (evaluasi data), pada tahap ini peneliti mengevaluasi kembali data yang telah disusun untuk menghindari kesalahan dalam pengumpulan data.

5. Saving, pada tahap ini data disimpan dan siap dilakukan analisis data.

(38)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1 HASIL PENELITIAN

4.1.1 DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan secara online dengan mengunakan kuesioner online dengan menggunakan google form yang disebarkan kepada mahasiswa Fakultas Kedokteran USU angkatan 2018 dengan menggunakan sosial media berupa Whatsapp dan Line. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September – Oktober. Sejumlah 72 orang yang berpartisipasi dalam penelitian ini.

4.1.2 KARAKTERISTIK SUBJEK PENELITIAN

Dari pengumpulan responden dengan menggunakan kuesioner online, penulis mengumpulkan 72 respoden yang berpartisipasi dalam penelitian ini.

Subjek penelitian ini adalah mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2018. Dari hasil penelitian diperoleh distribusi responden berdasarkan diagnosis rinitis alergi.

Tabel 4.1 Distribusi frekuensi responden berdasarkan diagnosis rinitis alergi.

Diagnosis Rinitis Alergi n %

Mahasiswa Bukan Penderita Rinitis Alergi

34 47,2%

Mahasiswa Penderita Rinitis Alergi

38 52,8%

Total 72 72 (100%)

Tabel 4.1 menunjukkan bahwa responden dibagi atas dua kelompok dimana ada kelompok mahasiswa penderita rinitis alergi berjumlah 38 orang (52,8%) dan ada yang kelompok mahasiswa bukan penderita rinitis alergi berjumlah 34 orang (47,2%).

(39)

Tabel 4.2 Distribusi rinitis alergi berdasarkan jenis kelamin.

Jenis Kelamin

Mahasiswa Bukan Penderita Rinitis

Alergi

Mahasiswa Penderita Rinitis Alergi

n % n %

Laki-laki 10 35,7% 18 64,3% 28

Perempuan 24 54,5% 20 45,5% 44

Total 34 38 72

Dari tabel 4.2 dapat dilihat distribusi responden berdasarkan jenis kelamin menunjukkan bahwa presentasi penderita rinitis alergi perempuan lebih besar yaitu dengan jumlah 20 orang (45,5%), sedangkan laki-laki sebesar 18 orang (64,3%). Sementara presentasi bukan penderita rinitis alergi, perempuan sebanyak 24 orang (54,5%) dan laki-laki sebanyak 10 orang (35,7%).

Tabel 4.3 Distribusi rinitis alergi berdasarkan riwayat keluarga.

Riwayat Keluarga Mahasiswa Bukan Penderita Rinitis

Alergi (n)

Mahasiswa Penderita Rinitis

Alergi (n)

Mahasiswa (n) %

Tidak ada riwayat keluarga

29 14 43 (59,7%)

Ada riwayat keluarga

5 24 29 (40,3%)

Total 34 38 72 (100%)

Berdasarkan tabel 4.3 dapat dilihat dilihat bahwa distribusi riwayat penyakit keluarga sebanyak 29 responden (40,3%) dengan 24 orang penderita rinitis alergi dan 5 orang bukan penderita rinitis alergi. Sejumlah 43 responden (59,7%) tanpa riwayat penyakit keluarga dengan 14 orang penderita rinitis alergi dan 29 bukan penderita rinitis alergi.

Tabel 4.4 Distribusi rinitis alergi berdasarkan gejala klinis rinitis.

Gejala Klinis Rintis

Mahasiswa Bukan Penderita Rinitis

Alergi (n)

Mahasiswa Penderita Rinitis

Alergi (n)

Mahasiswa (n) %

Tidak bergejala 6 5 11 (15,3%)

Bersin-bersin 8 5 13 (18,1%)

Hidung berair 0 1 1 (1,4%)

Hidung tersumbat 4 0 4 (5,5%)

(40)

Hidung gatal &

mata berair

1 0 1 (1,4%)

Bersin & Hidung berair

3 0 3 (4,2%)

Bersin & Hidung tersumbat

2 1 3 (4,2%)

Bersin, hidung gatal & mata berair

0 3 3 (4,2%)

Hidung berair &

hidung tersumbat

0 1 1 (1,4%)

Hidung

tersumbat, hidung gatal & mata berair

0 3 3 (4,2%)

Bersin, hidung berair & hidung tersumbat

5 5 10 (13,8%)

Bersin, hidung berair, hidung gatal & mata berair

0 1 1 (1,4%)

Bersin, hidung tersumbat, hidung gatal & mata berair

0 1 1 (1,4%)

Bersin, hidung berair, hidung tersumbat, hidung gatal & mata berair

5 12 17 (23,5%)

Total 34 38 72 (100%)

Dari tabel 4.4 menunjukkan bahwa gejala klinis yang paling sering dialami oleh responden adalah gejala bersin, hidung berair, hidung tersumbat, hidung gatal

& mata berair dengan sejumlah 17 responden (23,5%) yang terdiri dari 12 orang penderita rinitis alergi dan 5 orang bukan penderita rinitis alergi. Selanjutnya diikuti dengan gejala bersin-bersin sebanyak 13 orang responden (18,1%) yang terdiri dari 5 orang penderita rinitis alergi dan 8 orang bukan penderita rinitis alergi. Gejala

(41)

bersin, hidung berair & hidung tersumbat sebanyak 10 (13,8%) yang terdiri 5 orang penderita rinitis alergi dan 5 orang bukan penderita rinitis alergi.

Tabel 4.5 Distribusi rinitis alergi berdasarkan riwayat penyakit atopik lainnya.

Riwayat Penyakit Atopik

Mahasiswa Bukan Penderita Rinitis Alergi (n)

Mahasiswa Penderita Rinitis Alergi (n)

Mahasiswa (n) %

Tanpa komorbid 22 18 40 (55,5%)

Asma 5 6 11 (15,3%)

Ekzema 1 1 2 (2,8%)

Rinitis Alergi 5 8 13 (18,1%)

Asma & Rinitis Alergi

1 3 4 (5,5%)

Ekzema & Rinitis 0 1 1 (1,4%)

Asma, Ekzema &

Rintis

0 1 1 (1,4%)

Total 34 38 72 (100%)

Dari tabel 4.5 dapat dilihat bahwa distribusi riwayat penyakit atopik lainnya terbanyak adalah rinitis alergi sebanyak 13 responden (18,1%) dengan 8 orang penderita rinitis alergi dan 5 orang bukan penderita rinitis alergi. Riwayat keluarga atopik selanjutnya adalah asma dengan jumlah 11 orang (15,3%) dengan 6 orang penderita rinitis alergi dan 5 orang bukan penderita rinitis alergi. Riwayat keluarga asma dan rinitis alergi berjumlah 4 orang (5,5%) yaitu responden penderita rinitis alergi. Riwayat keluarga ekzema berjumlah 2 orang (2,8%) dengan 1 orang penderita rinitis alergi dan 1 orang bukan penderita rinitis alergi. Riwayat keluarga ekzema dan rinitis alergi berjumlah 1 orang (1,4%) yaitu responden penderita rinitis alergi. Sejumlah 40 responden (55,5%) tanpa riwayat penyakit atopik dengan 18 orang penderita rinitis alergi dan 22 bukan penderita rinitis alergi.

Tabel 4.6 Distribusi responden berdasarkan kualitas hidup.

Kualitas Hidup n %

Buruk 20 27,8%

Baik 52 72,2%

Total 72 100%

(42)

Dari tabel 4.6 menunjukkan bahwa responden dengan kualitas hidup baik 52 orang (72,2%) dan kualitas hidup buruk sejumlah 20 orang (27,8%).

Tabel 4.7 Distribusi responden rinitis alergi berdasarkan kualitas hidup. Kualitas Hidup Mahasiswa bukan

penderita rinitis alergi

Mahasiswa penderita rinitis

alergi

Mahasiswa (n) %

Buruk 3 17 20 (27,8%)

Baik 31 21 52 (72,2%)

Total 34 38 72 (100%)

Dari tabel 4.7 distribusi responden dengan kualitas hidup baik menunjukkan bahwa 52 orang (72,2%) dengan 21 orang penderita rinitis alergi dan 31 orang bukan penderita rinitis alergi. Sementara responden dengan kualitas hidup buruk berjumlah 20 orang (27,8%) dengan 17 orang penderita rinitis alergi dan 3 orang bukan penderita rinitis alergi.

4.1.3 Tabulasi Silang Antara Penyakit Rinitis Alergi Dengan Kualitas Hidup

Pada penelitian ini terdapat 2 kuesioner yaitu kuesioner SFAR untuk diagnosis rinitis alergi dan SF-36 untuk menilai kualitas hidup responden. Dari hasil penelitian diperoleh sebagai berikut:

Tabel 4.8 Tabulasi Silang Rinitis Alergi dengan Kualitas Hidup.

Kualitas Hidup P value

Buruk Baik

Rinitis alergi

Tidak 3 15% 31 59,6 0.001

Ya 17 85% 21 40,4%

Total 20 100 52 100

Dari tabel 4.8 tersebut dapat diketahui bahwa nilai p (p value) sebesar 0,001 (p<0,005) yang berarti terdapat hubungan rinitis alergi dengan kualitas hidup penderitanya.

(43)

4.2 PEMBAHASAN

4.2.1 Distribusi Frekuensi Rinitis Alergi Berdasarkan Jenis Kelamin

Pada penelian ini, jumlah responden adalah 72 orang dimana 38 orang (52,8%) menderita rinitis alergi dan diantaranya 20 orang (45,5%) jenis kelamin perempuan dan 18 orang (64,3%) jenis kelamin laki-laki. Hasil menunjukkan bahwa kejadian rinitis alergi lebih sering terjadi pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Menurut penelitian yang telah dilakukan di RSUP DR. M.

Djamil Padang oleh Adila (2017) juga didapatkan hasil bahwa lebih banyak penderita rinitis alergi berjenis kelamin perempuan (77,6%) dibanding laki-laki (22,4%). Didapatkan bukti adanya peranan faktor hormonal pada perempuan terhadap rinitis alergi. Tingkat estrogen pada fase menstruasi berhubungan dengan hiperaktivitas mukosa hidung terhadap histamin. Hormon estrogen juga menstimulasi produksi sitokin T Helper 2 (Th2) dan meregulasi distribusi eosinofil pada uji paparan alergen pada tikus. Oleh sebab itu, hormon seks perempuan berhubungan erat dengan timbulnya respon antibodi terhadap alergen dan antigen (Sigarlaki, 2017).

4.2.2 Distribusi Frekuensi Rinitis Alergi Berdasarkan Riwayat Keluarga Faktor genetik sangat menentukan seseorang menderita atopik atau tidak.

Dold et all menyatakan bahwa atopik orang tua menentukan besarnya risiko anaknya untuk menderita penyakit alergi yang sama. Peneliti ini juga menyebutkan bahwa prevalensi asma pada anak yang tidak memiliki riwayat alergi pada kedua orang tuanya sebesar 6%, sedangkan pada anak yang memiliki riwayat alergi pada kedua orang tuanya didapatkan peningkatan lebih dari dua kali lipat atau sebesar 16%. Studi kohort menunjukkan bahwa bila salah satu orang tua mengidap alergi, kemungkinan anaknya untuk menderita alergi sebesar 33%. Bila kedua orang tua mengidap alergi, kemungkinan anaknya untuk menderita alergi sebesar 70%. Manifestasi klinis penyakit alergi atopik dapat dianggap sebagai perwujudan adanya bakat genetik atopik pada individu yang bersangkutan (Ludfi,2012).

Adanya riwayat atopik keluarga akan meningkatkan risiko terjadinya rinitis alergi. Hal ini dikarenakan jika seseorang memiliki riwayat atopik maka akan

(44)

terdapat kecenderungan untuk lebih peka dan memicu komponen genetik yang diwariskan atau diturunkan untuk memberikan reaksi berupa penghasilan antibodi IgE sebagai respon terhadap suatu alergen tertentu. Tidak adanya atopik keluarga bisa saja terjadi apabila penderita terpapar alergen pada usia kurang dari satu tahun atau memiliki faktor risiko lainnya (Nadira, 2020).

4.2.3 Distribusi Frekuensi Rinitis Alergi Berdasarkan Gejala Klinis Rinitis Michael S. Blaiss et all pada tahun 2018, yang menyatakan bahwa gejala rinitis alergi seperti hidung berair, hidung tersumbat, bersin, serta mata terasa gatal dan berair adalah gejala yang paling mengganggu pada remaja. Namun, prevalensi gejala bisa saja bervariasi antara beberapa penelitian. Bersin-bersin pada penderita rinitis alergi disebabkan oleh histamin yang mengiritasi saraf sensorik nervus trigeminus pada mukosa nasal dan selanjutnya akan mentransmisikan pusat bersin yaitu medula oblongata sehingga terjadilah refleks bersin. Selain itu, histamin juga akan secara langsung menuju pembuluh darah mukosa dan menyebabkan vasodilatasi, merangsang sekresi mukus sehingga terjadi hidung berair. Penyumbatan pada hidung disebabkan oleh histamin, triptase kimase, prostaglandin 2, leukotrien yang menyebabkan kebocoran plasma dan terjadinya edema interstisial. Mata gatal dan berair disebabkan adanya refleks nasolakrimal yang terjadi ketika serat saraf nosiseptif terstimulasi, rangsangan ini akan diteruskan oleh nervus trigeminus menuju nuclei salivatorius superior dan menyebabkan hiperlakrimasi. Selain itu antibodi mukosa, IgE dapat ditemukan di mata, hidung dan saluran pernapasan bagian bawah oleh karena itu hal ini merupakan kondisi komorbid umum dari rinitis alergi (Nadira, 2020).

4.2.4 Distribusi Frekuensi Rinitis Alergi Berdasarkan Riwayat Penyakit Atopik Lainnya

Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa komorbid pentakit atopik lain sedikit berpegaruh terhadap peningkatan penyakit rinitis alergi. Hal ini sedikit berbeda dengan penelitian Yuksel (2008) di Perancis yang mengatakan bahwa penyakit komorbid atopik lain (ekzema) meningkatkan resiko rinitis alergi (Yuksel, 2008). Hal ini karena adanya kesamaan dasar genetik dari beberapa

(45)

penyakit atopik yang memberikan keadaan klinis berbeda dalam waktu yang berbeda dalam kurun kehidupan. Regio gen pada 11p14, 5p13, 17q21 dan 5p15 memiliki hubungan yang sama dengan beberapa penyakit atopik seperti ekzema dan penyakit alergi lainnya (Nurjannah, 2011).

4.2.5 Karakteristik Responden Berdasarkan Kualitas Hidup

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa responden dengan kualitas hidup baik sejumlah 52 orang (72,2%) dan kualitas hidup buruk sejumlah 20 orang (27,8%). Penelitian ini secara keseluruhan terdapat 38 orang yang menderita rinitis alergi dan 34 orang yang tidak menderita rinitis alergi. Dari 38 orang menderita rinitis alergi didapat 17 orang kualitas hidupnya buruk dan 21 orang kualitas hidupnya baik, sedangkan dari 34 orang tidak menderita rinitis alergi didapat 3 orang kualitas hidupnya buruk dan 31 orang kualitas hidupnya baik.

Penilaian untuk setiap pertanyaan pada kuesioner SF-36 dapat dengan menggunakan metode RAND. Untuk menilainya dilakukan recoding pada setiap pertanyaan dimana nilai yang tinggi menunjukkan keadaan yang lebih baik. Perhitungan skor kualitas hidup tersebut dilakukan secara perhitungan manual. Untuk pertanyaan yang memiliki 2 kategori jawaban diberi kode 0 dan 100, untuk pertanyaan yang memiliki 3 kategori jawaban dikode 0, 50 dan 100, untuk pertanyaan yang memiliki 5 kategori jawaban diberikan kode 0, 25, 50, 75 dan 100, sedangkan untuk pertanyaan yang memiliki 6 kategori jawaban diberikan kode 0, 20, 40, 60, 80 dan 100. Kemudian nilai kode untuk pertanyaan-pertanyaan yang memiliki skala yang sama dijumlahkan kemudian dirata-ratakan.

4.2.6 Kualitas Hidup Penderita dan Bukan Penderita Rinitis Alergi

Tujuan penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan rinitis alergi dengan kualitas hidup penderitanya. Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan nilai p (p value) sebesar 0,001 (p<0,005). Dari hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara rinitis alergi dengan kualitas hidup penderita pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian oleh Novian (2016) dimana nilai p (p value) sebesar 0,022 (p<0,05) menyatakan bahwa ada perbedaan yang

(46)

bermakna pada skor kualitas hidup antara kelompok rinitis alergi positif dengan kelompok rinitis alergi negatif. Pada penelitian sebelumnya mengatakan hasil yang sama terdapat pengaruh kualitas hidup antara kelompok rinitis alergi dan kelompok bukan rinitis alergi. Beberapa studi menyatakan alasan mengenai lebih buruknya kualitas hidup penderita rinitis alergi daripada bukan penderita rinitis alergi (Meltzer, 1997 ; Bousquet, 1994). Secara umum, pasien merasa terganggu terutama oleh gejala yang ditimbulkan pada hidung (sumbatan pada hidung, rhinorrhea dan bersin). Mereka merasakan ketidaknyamanan membawa tidu atau sarung tangan ke mana-mana, kebutuhan untuk menyeka hidung atau mata, dan mengeluarkan cairan dari hidung terus menerus. Mereka juga terganggu dengan tidak bisa tidur nyenyak pada malam hari dan sering menjadi kelelahan, mudah tersinggung, gangguan memori, dan mengantuk di siang hari.

Mereka mengalami keterbatasan dalam kegiatan sehari-hari, yang membuat mereka frustrasi dan terganggu (Camelo-Nunes dan Sole, 2010).

Penelitian ini dilakukan uji hipotesis dengan metode Chi Square dengan tingkat kemaknaan 0,05 (α=5%) diperoleh nilai p (p value) sebesar 0,001 (p<0,05) yang berarti hasilnya signifikan. Oleh karena itu, hipotesis Ho ditolak.

Hal tersebut bahwa ada hubungan antara penyakit rinitis alergi dengan kualitas hidup pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Gambar

Gambar 2.3.1 Kerangka teori penelitian.
Tabel 4.5 Distribusi rinitis alergi berdasarkan riwayat penyakit atopik lainnya.
Tabel 1. Rekaman Item/ Pertanyaan.
Tabel 2. Kuesioner SF-36 mengukur 8 dimensi.

Referensi

Dokumen terkait

Gejala-gejala rinitis alergi yang perlu ditanyakan adalah diantaranya adanya rinore (cairan hidung yang bening encer), bersin berulang dengan frekuensi lebih dari

Diperlukan adanya penelitian lebih lanjut mengenai alergen pada penderita rinitis alergi di seluruh kalangan sivitas akademika Fakultas Kedokteran Universitas Riau

Peneliti berminat mengetahui dan menilai kualitas hidup akne vulgaris pada mahasiswi angkatan 2011 Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (FK USU) karena sejauh ini

Kualitas hidup dinilai dengan menggunakan kuesioner RQLQ tervalidasi Hasil:Skrining terhadap 279 mahasiswa memperlihatkan 114 orang (40,9%) memiliki gejala rinitis alergi dengan

Penelitian ini merupakan penelitian analitik yang dilakukan dengan metode cross-sectional dengan sampel mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan

Pada rinitis alergi ringan, penderita dapat tidur dengan nyenyak, tidak terdapat gangguan aktivitas sehari- hari maupun pekerjaan ataupun sekolah, serta tidak

Rinitis alergi dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, bila terdapat 2 atau lebih gejala seperti bersin-bersin lebih 5 kali setiap serangan, hidung dan mata gatal, ingus encer

Rinitis vasomotor merupakan suatu gangguan fisiologik neurovaskular mukosa hidung dengan gejala hidung tersumbat, rinore yang hebat dan kadang – kadang dijumpai adanya bersin