STRES AKADEMIK ANTARA ANAK TAMAN KANAK-KANAK
YANG MENDAPAT PENGAJARAN MEMBACA DAN TIDAK
MENDAPAT PENGAJARAN MEMBACA
OLEH
MYRNA ARINDA JOSEPHINE SINAGA 802010098
TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
STRES AKADEMIK ANTARA ANAK TAMAN KANAK-KANAK
YANG MENDAPAT PENGAJARAN MEMBACA DAN TDAK
MENDAPAT PENGAJARAN MEMBACA
Myrna Arinda Josephine Sinaga Berta E.A. Prasetya Heru Astikasari S.Murti
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan stres akademik antara anak taman kanak-kanak yang mendapat pengajaran membaca dan tidak mendapat pengajaran membaca. Penelitian ini dilakukan pada 60 anak yang berusia 5-6 tahun melalui teknik purposive sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan The Academic Stress Scale
(ASS), dikembangkan oleh Hesketh dkk (2010) dan Principal Component Analysis (PCA) dari Scale For Assessing Academic Stress (SAAS), yang kemudian dimodifikasi oleh peneliti. Stres akademik antara anak taman kanak-kanak yang mendapat pengajaran membaca dan tidak mendapat pengajaran membaca diuji menggunakan Independent Sample Test dan diperoleh bahwa nilai t-test sebesar 3,745 dengan signifikansi 0,001 (p<0,05), sehingga dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan perbedaan stres akademik antara anak taman kanak-kanak yang mendapat pengajaran membaca dan tidak mendapat pengajaran membaca.
Abstract
This study aimed to examine the differences in academic stress among kindergarten children
who get reading lesson and not. This study was conducted towards 60 children aged 5-6
years old through purposive sampling technique. Data collected by using The Academic
Stress Scale (ASS), developed by Hesketh et. al (2010) and Principal Component Analysis
(PCA) from Scale For Assessing Academic Stress (SAAS), modified by researcher. The differences between academic stress tested with independent sample test. The result reveal
that the t-test value is 3,745, with a significance of 0,001 (p<0,05), so that it can be
concluded that there are differences in Academic stress among kindergarten children who get
reading lesson and not.
PENDAHULUAN
Papalia (1995), seorang ahli perkembangan menyatakan bahwa anak berkembang dengan cara bermain. Dunia anak-anak adalah dunia bermain. Dengan bermain anak-anak menggunakan otot tubuhnya, menstimulasi indra-indra tubuhnya, mengeksplorasi dunia sekitarnya, menemukan seperti apa lingkungan yang ia tinggali dan menemukan seperti apa diri mereka sendiri. Berdasarkan pandangan secara umum, dunia anak adalah dunia impian yang hanya dipenuhi oleh berbagai kesenangan dan ketenangan.
Namun fakta membuktikan bahwa selain hal-hal yang menyenangkan, kehidupan anak-anak sekarang ini juga telah dipenuhi oleh berbagai persoalan dan tekanan, sama seperti yang dialami oleh orang dewasa pada umumnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Pratanti (2008) bahwa stres tidak hanya terjadi pada orang dewasa, tetapi juga pada anak-anak.
Menurut Irzal (2010), seorang anak yang stres dapat diidentifikasi dengan memperhatikan tingkah lakunya. Reaksi-reaksi psikosomatik, termasuk problem pencernaan, sakit kepala, kelelahan, gangguan tidur, dan mengompol mungkin merupakan tanda-tanda bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Respons anak-anak terhadap situasi tertentu dapat berbeda-beda. Ada situasi yang dianggap menegangkan bagi anak yang satu, tapi tidak untuk anak lain.
juga bisa mengalami stres karena kegiatan sehari-harinya, salah satunya adalah dari sekolah, seperti beratnya beban yang diberikan pihak sekolah dalam meningkatkan prestasi belajar anak. Rasa tertekan jelas menimbulkan dampak negatif pada anak, baik secara fisik maupun psikis (Wibisono, 2009). Hal ini sejalan dengan pendapat dari Santrock (2002) yang menyatakan bahwa banyak peristiwa yang dapat membuat anak-anak mengalami stres, beberapa di antaranya adalah faktor-faktor kognitif, peristiwa-peristiwa kehidupan, percekcokan sehari-hari, faktor sosial budaya, dan status sosial ekonomi.
Stres telah menjadi topik penting dalam lingkup akademik. Banyak peneliti di bidang ilmu perilaku telah melakukan penelitian yang luas pada stres dan hasilnya menyimpulkan bahwa topik ini membutuhkan lebih banyak lagi perhatian (Agolla dalam Purna, 2009). Stres dalam institusi akademik dapat memiliki efek positif jika bisa dikelola dengan baik, dan memiliki efek negatif jika tidak dikelola dengan baik (Stevenson & Harper, 2006). Institusi akademik memiliki pengaturan kerja yang berbeda jika dibandingkan dengan yang bukan akademik, berbeda baik dari segi gejala, penyebab, dan efek stres (Chang & Lu, 2007).
Dalam budaya Confucian Heritage Culture (CHC) seperti di negara Cina, Macau, Korea, Jepang, dll, para orang tua biasanya sangat menanamkan pentingnya pendidikan anak-anak mereka, dan memberikan tuntutan yang signifikan agar anak mereka memiliki aspirasi yang tinggi untuk hasil akademik (Tan & Yates, 2007). Berdasarkan alasan ini, peneliti menemukan bahwa anak-anak bisa memiliki pengalaman stres akademik yang tinggi, terkait stres yang memiliki efek negatif bagi perkembangan anak. Sebagai contoh, dalam studi investigasi dampak dari stres akademik di China, Hesketh dkk (2010) menemukan bahwa stres akademik dengan level yang tinggi dialami juga oleh anak Sekolah Dasar, baik dalam rumah dan lingkungan sekolah, sehingga anak ditempatkan dalam tekanan yang mengganggu kesehatan dan kesejahteraan mereka.
Maksood (dalam Setiawati, 2010) menyatakan bahwa reaksi stres atau kekecewaan pada diri anak dan remaja sering menyebabkan timbulnya kasus bunuh diri. Didukung oleh Seto (dalam Sindo, 2010) yang menyatakan bahwa stres yang berlebihan, bisa karena faktor keluarga, lingkungan, hingga sekolahnya, karena guru mungkin membebani pekerjaan rumah yang berlebihan atau tuntutan prestasi yang terlalu tinggi juga dapat menjadi penyebab seorang pelajar nekat bunuh diri. Hakikatnya bunuh diri yang dilakukan anak adalah akumulasi dari berbagai stres yang dialaminya. Stres ini menimbulkan rasa frustrasi, lalu timbul depresi sampai pada tahap anak memutuskan untuk bunuh diri (Sumarsih, 2008). Berdasarkan efek negatif pada perkembangan anak tersebut, maka penelitian bagi stres akademik anak sangat didukung (Yorke, 2013).
pengajaran membaca kepada para siswanya. Beberapa TK sudah memberikan pengajaran membaca, sedangkan TK yang lain tidak. Perbedaan tersebut dilatarbelakangi alasan dan prinsipnya masing-masing.
Saat ini masih banyak perdebatan yang kontroversial antara kelompok yang pro dan kontra mengenai pemberian pengajaran membaca tersebut di usia pra sekolah. Apalagi saat ini beberapa sekolah sudah ada yang mengharuskan anak sudah bisa membaca dan berhitung saat masuk SD menyebabkan beban akademik yang kini ditanggung anak jauh lebih berat.
Hal ini bertentangan dengan dasar dari Peraturan pemerintah No. 17 tahun 2010 pasal 69 dan pasal 70. Dalam PP tersebut diatur untuk masuk sekolah dasar (SD) atau sederajat tidak didasarkan pada tes baca, tulis, hitung atau tes lainnya. Tidak ada alasan bagi penyelenggara pendidikan tingkat SD atau sederajat untuk menggelar tes masuk bagi calon peserta didiknya. Berikut isi PP No. 17 tahun 2010 pasal 69 ayat 5, yaitu Penerimaan peserta didik kelas 1 (satu) SD/MI atau bentuk lain yang sederajat tidak didasarkan pada hasil tes kemampuan membaca, menulis, dan berhitung, atau bentuk tes lain.
Pada dasarnya membaca merupakan kemampuan menghubungkan antara bahasa lisan dengan tulisan, dalam kaitannya dengan kemampuan membaca permulaan, keterampilan penguasaan kosa kata sangatlah penting bagi anak. Menurut Bowman dan Bowman (1991), membaca merupakan sarana yang tepat untuk mempromosikan suatu pembelajaran sepanjang hayat (life-long learning). Dengan mengajarkan kepada anak cara membaca berarti memberi anak tersebut sebuah masa
depan yaitu memberi suatu teknik bagaimana cara mengekplorasi “dunia” mana pun
Aulina (2010) memaparkan bahwa membaca pada usia anak sebelum SD berarti memaksakan anak untuk memiliki kemampuan yang seharusnya baru diajarkan di SD. Hal ini mengakibatkan waktu bermain, yang seharusnya adalah aktivitas dominan di usia mereka akan berkurang atau bahkan terabaikan, sehingga dikhawatirkan akan menghambat perkembangan potensi dan kemampuan anak secara optimal di kemudian hari. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Hainstock (2002), yang menyatakan bahwa anak secara mental belum siap membaca hingga berusia paling tidak enam tahun, dan orangtua diingatkan bahwa dalam keadaan apapun seharusnya tidak mengajarkan anak membaca sebelum usia tersebut.
Yuliyono (2012) juga menyatakan bahwa banyak praktek di Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), demi mengejar kemampuan membaca, menulis, dan berhitung (calistung), guru sering menggunakan teknik hafalan dan latihan yang mengandalkan kemampuan kognitif, abstrak dan tidak terkait langsung dengan kehidupan anak. Akibatnya, kepentingan anak terkalahkan oleh tugas-tugas skolastik yang semestinya belum saatnya.
Hal ini didukung oleh Piaget (dalam Santrock, 2008), bahwa pelajaran membaca secara tidak langsung dilarang untuk diperkenalkan pada anak-anak di bawah usia tujuh tahun. Piaget beranggapan bahwa pada usia di bawah tujuh tahun anak belum mencapai fase operasional konkret, fase ketika anak-anak dianggap sudah bisa berpikir terstruktur. Sementara itu, kegiatan belajar calistung sendiri didefinisikan sebagai kegiatan yang memerlukan cara berpikir terstruktur, sehingga tidak cocok diajarkan kepada anak-anak TK yang masih berusia balita. Piaget khawatir otak anak-anak akan terbebani jika pelajaran membaca diajarkan pada anak-anak di bawah tujuh tahun.
Pendapat-pendapat ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh para ahli di Amerika dan Inggris yang melarang pengajaran membaca dan menulis bagi anak yang otaknya belum siap. Mereka berpendapat bahwa pembelajaran pada usia dini memang bermanfaat, tetapi bukan berarti pendidikannya bersifat akademis. Dr. Susan Johnson, seorang Dokter ahli spesialis perilaku dan perkembangan anak di Amerika selama 17 tahun telah meneliti anak-anak, menyatakan bahwa jika PAUD, TK, serta UU pemerintah yang menetapkan standar pendidikan dapat mendukung kegiatan fisik dan berhenti mencoba mengajarkan baca tulis kepada anak-anak yang masih sangat muda, beliau yakin bahwa pada usia 8-9 tahun anak dapat mendengarkan, fokus, duduk diam,
menulis, membaca, memperhatikan, dan belajar dengan mudah (“Indonesia Educate”,
2013).
belajar membaca, kecuali hanya ajang sosialisasi prasekolah. Demikian pula dengan orangtua yang kebingungan dan menuntut di TK anak harus diajarkan untuk membaca dan berhitung, seringkali orangtua dengan sengaja memberikan les privat agar anak bisa membaca (“Media Indonesia”).
Persyaratan anak harus bisa membaca tersebut diberikan terutama dengan adanya penelitian terhadap kemampuan membaca anak SD-MI kelas satu yang menunjukkan bahwa pada umumnya siswa yang pernah masuk Taman Kanak-kanak kemampuan membacanya lebih baik dibandingkan dengan siswa yang tidak dari Taman Kanak-kanak. Hal ini disebabkan karena kesiapan belajar membaca, pengenalan huruf dan sosialisasi antar anak lebih baik dari siswa yang tidak dari Taman Kanak-kanak (“Managing Basic Education”, 2004). Supriadi (dalam Ranis, 2013) dengan tegas mendukung hal ini, bahwa anak usia dini dapat diajari membaca, menulis, dan berhitung. Bahkan menurutnya anak usia dini dapat diajar tentang sejarah, geografi, dan lain-lainnya.
Hal ini jugalah yang mendorong lembaga pendidikan penyelenggara PAUD maupun orangtua secara aktif untuk mengajarkan kemampuan membaca, menulis dan berhitung dengan cara-cara pembelajaran di SD yang tidak sesuai dengan tingkat perkembangan anak. Oleh karena itu, PAUD yang seharusnya menjadi taman yang indah, tempat anak-anak bermain dan berteman, mulai beralih menjadi sekolah kanak-kanak yang hanya memenuhi target kemampuan calistung, kegiatan ini berakibat adanya penugasan-penugasan yang harus diselesaikan di rumah biasa disebut Pekerjaan Rumah (PR), seperti layaknya proses pembelajaran di SD.
terjadi pada rentang umur tiga tahun sampai lima tahun, yaitu ketika kemampuan anak untuk belajar membaca sedang di puncak. West dan Egley (dalam Seefeldt dkk, 2008) menyatakan bahwa meskipun pelajaran membaca formal biasanya dimulai di kelas satu, TK banyak mengembangkan banyak keterampilan yang mempersiapkan mereka untuk belajar membaca. Anak-anak yang rutinitas dan kegiatan sehari-harinya memberi kesempatan membaca akan mulai mengidentifikasi tulisan-tulisan lingkungan. Lingkungan yang kaya dengan buku dan tulisan membantu anak untuk mulai membedakan makna tulisan itu.
Durkin telah mengadakan penelitian tentang pengaruh membaca dini pada anak-anak. Dia menyimpulkan bahwa tidak ada efek negatif pada anak-anak dari membaca dini. Anak-anak yang telah diajar membaca sebelum masuk SD pada umumnya lebih maju di sekolah dari anak-anak yang belum pernah memperoleh membaca dini. Selain itu, Steinberg telah berhasil dalam eksperimennya yang mengajar membaca dini untuk anak-anak berusia antara 1-4 tahun. Dia juga menemukan bahwa anak-anak yang telah mendapatkan pelajaran membaca dini pada umumnya lebih maju di sekolah (dalam Nurbiana dkk, 2009).
Berdasarkan pemaparan hasil-hasil penelitian tersebut, dapat diketahui bahwa pemberian materi pengajaran membaca awal pada usia TK tidak selalu membuat anak mengalami stres akademik. Hal ini mengartikan bahwa ada beberapa pendapat menyatakan bahwa tidak masalah mengajarkan anak membaca pada usia pra sekolah asal diberikan metode yang tepat dan menyenangkan bagi anak (Hidayati, 2010).
2010). Oleh karena itu, maka penulis tertarik untuk meneliti apakah ada perbedaan stres akademik pada anak TK yang mendapat dan tidak mendapat pendidikan membaca permulaan?
TINJAUAN PUSTAKA Definisi Stres Akademik
Stres yang terjadi di lingkungan sekolah atau pendidikan biasanya disebut dengan stres akademik. Olejnik dan Holschuh (2007) menggambarkan stres akademik ialah respon yang muncul karena terlalu banyaknya tuntutan dan tugas yang harus dikerjakan. Stres akademik mengacu pada perasaan yang dialami siswa ketika tuntutan pendidikan dan sistem sekolah melebihi kemampuan mereka untuk mengatasinya (Kapri dkk, 2013). Stres akademik adalah stres yang muncul karena adanya tekanan-tekanan untuk menunjukkan prestasi dan keunggulan dalam kondisi persaingan akademik yang semakin meningkat, sehingga pada siswa semakin terbebani oleh berbagai tuntutan (Alvin, 2007). Menurut Gusniarti (2002), stres akademik yang dialami siswa merupakan hasil persepsi yang subjektif terhadap adanya ketidaksesuaian antara tuntutan lingkungan dengan sumber daya aktual yang dimiliki siswa.
Melalui hasil pengujian Hesketh dkk (2010) di Vietnam dan China, stres akademik memiliki tujuh indikator, yaitu enjoyment of school, worry about exams, pressure to dwell, difficulty completing homework, fear of punishment of teachers, and
being physically bullied or corporally punished at home. Skor stres akademis dibagi menjadi selalu, kadang-kadang, dan tidak pernah. Selain itu, menurut Principal Component Analysis (PCA) dari Scale For Assesing Academic Stress (SAAS), stres
Kurikulum Taman Kanak-Kanak
Kurikulum TK yang Mendapat Pengajaran Membaca
Beberapa Taman Kanak-Kanak menggunakan kurikulum nasional dan kurikulum yang dibuat sendiri oleh pendidik, disetujui oleh kepala sekolah, dan diketahui oleh yayasan. Proses belajar mengajar didasarkan pada critical thingking dan multiple intelligences, untuk mengembangkan kecerdasan anak. Multiple intelligences
tersebut meliputi beberapa aspek, yaitu bahasa, agama, intra, inter, musik, visual-spasial, sains, logical math, dan multimedia (Gardner, 1983). Berdasarkan instruksi membaca, TK ini menggunakan bottom-up process anak-anak mempelajari komponen-komponen individu suatu bacaan (mengidentifikasi huruf, korespondensi suara-huruf), dan meletakkannya bersamaan untuk memperoleh suatu makna.
Pengajaran membaca pada TK ini terbagi ke dalam tiga metode, yaitu:
1. Phonics Method, metode ini mengandalkan pada pembelajaran alphabet yang diberikan kepada anak dengan mempelajari nama-nama huruf dan bunyinya. Setelah mempelajari bunyi huruf mereka mulai merangkum beberapa huruf tertentu untuk membentuk kata-kata (contoh: b-a-kr-a- k p-a kt-a- k).
2. Flashcard, metode ini menggunakan kartu-kartu yang berisi gambar yang merangsang siswa untuk berpikir dan melakukan sesuatu.
diberikan stimulus dari gambar yang ada, untuk menulis dan membaca apa yang dilihatnya.
Kurikulum TK yang Tidak Mendapat Pengajaran Membaca
Berdasarkan kurikulum yang ditetapkan oleh Permendiknas No.58 Tahun 2009 tentang standar PAUD, setiap anak diberi kesempatan untuk mengembangkan diri sesuai potensi masing-masing. Pendidik bertugas membantu, jika anak membutuhkan. kurikulum TK berisi pengembangan nilai agama dan moral, fisik-motorik, kognitif, bahasa, sosial-emosional, dan seni.
Berdasarkan kurikulum yang digunakan di TK, pembelajaran membaca belum diajarkan di TK, melainkan pembelajaran pramembaca, yaitu siswa diharapkan mampu mendengarkan, berkomunikasi secara lisan, memiliki perbendaharaan kata, dan mengenal simbol-simbol yang melambangkannya, seperti dapat menceritakan gambar (pramembaca), bercerita tentang gambar yang disediakan atau dibuat sendiri, mengurutkan dan menceritakan isi gambar seri sederhana (3-4 gambar), dan menghubungkan gambar/ benda dengan kata. Selain itu, dapat menceritakan gambar (pramembaca), bercerita tentang gambar yang disediakan atau dibuat sendiri, mengurutkan dan menceritakan isi gambar seri sederhana (3-4 gambar), menghubungkan gambar/ benda dengan kata (Permendiknas, 2013).
Perbedaan Stres Akademik Antara Anak Taman Kanak-Kanak Yang Mendapat Pengajaran Membaca dan Tidak Mendapat Pengajaran Membaca
Sebenarnya masih banyak hal-hal lain yang penting untuk dapat diajarkan pada anak TK daripada hanya terfokus pada kemampuan membaca, misalnya penanaman disiplin, kemandirian, tanggung jawab serta budi pekerti yang baik. Stimulasi terhadap kecerdasan intelektual anak seperti pada kegiatan membaca memang penting. Namun, perlu diupayakan jangan sampai stimulasi terhadap kecerdasan intelektual terlalu berlebihan sehingga cenderung memaksakan anak dan melupakan aspek-aspek kecerdasan lain yang juga perlu mendapat stimulasi seperti kecerdasan sosial dan emosional yang semuanya sangat diperlukan agar dapat menjadi bekal bagi anak dalam menghadapi masa depannyan kelak.
Membaca pada usia anak sebelum SD berarti memaksakan anak untuk memiliki kemampuan yang seharusnya baru diajarkan di SD. Sehingga waktu bermain, yang seharusnya adalah aktifitas dominan di usia mereka akan berkurang atau bisa saja menjadi terabaikan. Hal ini dikhawatirkan akan menghambat perkembangan potensi dan kemampuan anak secara optimal dikemudian hari (Aulina, 2010).
Yuliyono (2012) juga menyatakan bahwa banyak praktek di Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), demi mengejar kemampuan membaca, menulis, dan berhitung (calistung), guru sering menggunakan teknik hafalan dan latihan yang mengandalkan kemampuan kognitif, abstrak dan tidak terkait langsung dengan kehidupan anak. Akibatnya, kepentingan anak terkalahkan oleh tugas-tugas skolastik yang semestinya belum saatnya
otak anak. Selain itu, memaksa anak untuk menguasai kemampuan kognitif akan membuat mereka stres karena anak-anak usia dini seharusnya lebih banyak bermain dan bereksplorasi. Mengingat TK bukan sekolah seperti layaknya SD, SMP, dan SMA atau lembaga-lembaga pendidikan lainnya, maka baik isi program kegiatan belajar (topik) maupun bentuk penyelenggaraan kegiatan belajarnya harus diciptakan dalam suasana bermain sambil belajar. Oleh karena itu, di TK tidak diajarkan menulis, membaca, dan berhitung (matematika). Berdarakan hal tersebut, TK melaksanakan berbagai kegiatan pengembangan sebagai upaya meletakkan kemampuan dasar yang dapat memfasilitasi anak untuk memiliki kesiapan membaca, menulis, dan berhitung. Dengan demikian, program pendidikan TK tidak menjadi prasyarat untuk memasuki SD (Nugraha,dkk., 2007).
Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada perbedaan yang signifikan stres akademik antara anak TK yang mendapat dan tidak mendapat pengajaran membaca.
METODE PENELITIAN
Populasi dalam penelitian ini adalah anak TK yang berusia 5-6 tahun. Selanjutnya sampel yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 60 anak. Pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling, yaitu pengambilan sampel secara sengaja sesuai dengan persyaratan sampel yang diperlukan. Dalam penelitian ini, karakteristik subjeknya adalah anak-anak yang berada di kelas TK B, lokasi penelitian di beberapa TK yang ada di Salatiga, berusia 5-6 tahun yang berjenis kelamin berbeda. Anak ada yang berada di TK yang memberikan pengajaran membaca dan ada yang berada di TK yang tidak memberikan pengajaran membaca.
Pengambilan data menggunakan try out atau uji coba terpakai yang berarti data dari subjek yang digunakan untuk try out juga digunakan untuk penelitian. Untuk memperoleh data dari penelitian ini, peneliti melakukan wawancara langsung kepada masing-masing anak berdarkan skala academic stress yang ada. Skala academic stress dalam penelitian ini disusun oleh peneliti berdasarkan indikator academic stress menurut Hesketh dkk (2010) dan juga berdasarkan aspek academic stress menurut Principal Component Analysis (PCA) dari Scale For Assessing Academic Stress
(SAAS).
school, worry about exams, pressure to dwell, difficulty completing homework, fear of
punishment of teachers, and being physically bullied or corporally punished at home.
Selain itu peneliti juga menggunakan 5 aspek dari academic stress, yaitu cognitive, affective, physical, social/ interpersonal, motivational. Skala ini memiliki dua pilihan
jawaban yaitu Y (Ya) dan T (Tidak). Hal ini untuk mengantisipasi anak usia 5-6 tahun diperkirakan belum mampu memahami makna pilihan jawaban lainnya. Untuk item favorable diberi nilai sebagai berikut : Y diberi nilai 1 dan T diberi nilai 0. Untuk item
unfavorable adalah kebalikannya, yaitu Y diberi nilai 0 dan T diberi nilai 1.
Tabel 1
Item Valid dan Gugur pada Skala Stres Akademik
Setelah dilakukan uji diskriminasi item pada Academic Stress Scale, dari 43 item yang diujikan terdapat 26 item yang dapat digunakan, karena memiliki koefisien item total korelasi ≥ 0,25. Pengujian validitas alat ukur dilakukan sebanyak tiga putaran, didapatkan hasil akhir koefisien seleksi item yang bergerak antara 0,252 sampai dengan 0,446 dan memiliki realibilitas Alpha’s Cronbach sebesar α = 0,901.
HASIL PENELITIAN
Untuk mendapatkan hasil dari penelitian ini, diperlukan beberapa bentuk uji data yang akan dijelaskan sebagai berikut.
1. Hasil Deskriptif
Berdasarkan perhitungan data penelitian yang telah dilakukan, didapatkan hasil analisis deskriptif academic stress dengan nilai minimum 0 dan nilai maksimum 26. Mean yang diperoleh adalah sebesar 3,37 dan standard deviasi sebesar 4,647, seperti yang terlihat dalam Tabel 2.
Tabel 2
Kategori Skor Academic Stress
No. Interval Kategori Frekuensi Persentase Mean Standar deviasi
1. 17,2 ≤x ≤ 26 Tinggi 2 3,3%
3,37 4,647 2. 8,6 ≤ x < 17,2 Sedang 4 6,7%
3. 0 ≤ x < 8,6 Rendah 54 90%
Tabel 3
Kategori Skor Stres Akademik antara anak taman kanak-kanak yang mendapat pengajaran membaca dan tidak mendapat pengajaran membaca
No. Interval Kategori Baca % Tidak Baca %
Tahap selanjutnya adalah melakukan uji asumsi, yaitu uji normalitas yang bertujuan untuk mengetahui normal atau tidaknya distribusi data penelitian pada masing-masing variabel. Data dari variabel uji penelitian diuji normalitasnya menggunakan metode Kolmograv-Smirnov Test. Data dapat dikatakan berdistribusi normal apabila nilai p > 0,05.
Hasil uji normalitas pada Tabel 4 menunjukkan bahwa variabel stres akademik pada masing-masing kelompok sampel memiliki koefisien Kolmogrov-Smirnov Test sebesar 1, 047 dan 1,212 dengan probabilitas (p)
atau signifikansi sebesar 0,223 dan 0,106 pada masing-masing kelompok sampel. Dengan demikian, variabel stres akademik memiliki distribusi data yang normal karena p > 0,05 pada kedua kelompok yang diteliti.
Uji homogenitas bertujuan untuk melihat apakah sampel dalam penelitian berasal dari populasi yang sama atau tidak. Data dapat dikatakan homogen apabila nilai probabilitas p > 0,05.
Tabel 5
Hasil Uji Homogenitas
Test of Homogeneity of Variances Stres Akademik
Levene Statistic df1 df2 Sig.
10.088 1 58 .002
Dari hasil uji homogenitas pada Tabel 5, menunjukkan bahwa nilai koefisien Levene Test sebesar 10,088 dengan signifikansi sebesar 0,002 (p < 0,05). Oleh karena nilai signifikansi lebih kecil dari 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa data tersebut tidak homogen.
b. Uji Komparasi
menggunakan perhitungan Independent Sample t-test. Setelah analisis data
of Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df
taman kanak-kanak yang mendapat dan tidak mendapat pengajaran membaca. Selain itu hasil perhitungan juga menunjukkan mean academic stress pada anak yang mendapat pengajaran membaca sebesar 5,40 dan mean
academic stress pada anak yang tidak mendapat pengajaran membaca
sebesar 1,33. Maka, anak yang mendapat pengajaran membaca, memiliki tingkat stres yang lebih tinggi dibandingkan anak yang tidak mendapat pengajaran membaca.
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil analisis data menggunakan Independent Sample t-test, diperoleh nilai signifikansi (p) sebesar p = 0,001 (p < 0,05), artinya H0 ditolak dan H1
diterima. Selanjutnya hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa mean academic stress pada anak yang mendapat pengajaran membaca sebesar 5,40 dan mean academic
stress pada anak yang tidak mendapat pengajaran membaca sebesar 1,33, artinya anak
yang mendapat pengajaran membaca memiliki tingkat stres akademik yang lebih tinggi dari anak yang tidak mendapat pengajaran membaca. Hal ini juga menunjukkan bahwa beberapa anak yang mendapat pengajaran membaca termasuk dalam kategori stres akademik yang tinggi dan sedang, sedangkan anak yang tidak mendapat pengajaran membaca memiliki skor stress akademik yang rendah.
anak-anak, menyatakan bahwa jika PAUD, TK, serta UU pemerintah yang menetapkan standar pendidikan dapat mendukung kegiatan fisik dan berhenti mencoba mengajarkan baca tulis kepada anak-anak yang masih sangat muda, beliau yakin bahwa pada usia 8-9 tahun anak dapat mendengarkan, fokus, duduk diam, menulis, membaca, memperhatikan, dan bisa belajar dengan mudah (Indonesia Educate, 2013).
Hasil penelitian ini juga sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa pelajaran membaca secara tidak langsung dilarang untuk diperkenalkan pada anak-anak di bawah usia tujuh tahun. Piaget (dalam Santrock, 2008) beranggapan bahwa pada usia di bawah tujuh tahun anak belum mencapai fase operasional konkret, fase ketika anak-anak dianggap sudah bisa berpikir terstruktur. Hal ini dikhawatirkan otak anak-anak akan terbebani jika pelajaran membaca diajarkan pada anak-anak di bawah tujuh tahun. Maka dapat diartikan bahwa ketika anak diajarkan membaca diusia pra sekolah, maka ada potensi anak akan mengalami stres, meskipun masih dalam kategori stres yang rendah.
Meskipun hasil penelitian ini menunjukkan adanya perbedaan tingkat stres pada anak, hal ini bukanlah menjadi suatu kesimpulan bahwa anak tidak boleh diajarkan membaca di usia pra sekolah. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Adelar (2000) yang menyatakan bahwa anak pada usia empat sampai lima tahun bisa diajarkan membaca, yang penting adalah orangtua harus melihat bagaimana kemampuan dan minat anak. Pengajar atau orangtua yang membimbing anak harus menjauhkan cara mengajar yang sifatnya pemaksaan, kegiatan belajar sebaiknya lebih bersifat menyenangkan. Selain itu, metode pengajaran juga diharapakan tidak membebani anak, yang dapat menyebabkan mereka kelihatan murung dan menjadi bingung. Jika hal ini tidak diperhatikan dengan baik, maka inilah yang membuat anak berpotensi mengalami stres.
Berdasarkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum dan Perbukuan 2014, anak usia 6 tahun diharapkan dapat memiliki pengetahuan tentang diri, keluarga, teman, guru, orang sekitar, makhluk hidup, benda, teknologi, seni dan budaya di lingkungan rumah, tempat bermain. Namun kenyataan yang ada saat ini, banyak sekolah yang tidak mengikuti kurikulum yang pemerintah sarankan. Beberapa sekolah memilih untuk membuat kurikulum sendiri, karena menurut pendapat mereka, kurikulum yang pemerintah buat tidak sesuai dengan perkembangan dunia, khususnya dunia pendidikan saat ini.
anak-anak yang telah mendapatkan pelajaran membaca pada usia 1-4 tahun pada umumnya lebih maju di sekolah (dalam Nurbiana dkk, 2009).
Meskipun ada perbedaan stres akademik antara anak taman kanak-kanak yang mendapat pengajaran membaca dan tidak mendapat pengajaran membaca, namun jumlah anak yang mengalami tingkat stres tinggi dan sedang berjumlah sangat sedikit dibanding dengan anak yang memiliki stres rendah. Hal ini mengartikan bahwa anak yang diajarkan mambaca pasti akan mengalami stres, tetapi berpotensi mengalami stres ketika hal tersebut dianggap diluar kemampuannya. Berdasarkan pengamatan peneliti, tingkat stres akademik anak taman kanak-kanak mayoritas tergolong rendah, khususnya sekolah yang mengajarkan membaca adalah karena memang metode-metode yang digunakan oleh para pengajar merupakan metode yang menyenangkan dan tidak memaksakan anak, sehingga anak tetap merasa nyaman dan bisa menerima pengajaran tersebut.
Jika dilihat dari jumlah anak yang mengalami stres akademik dengan kategori yang tinggi namun berjumlah sangat sedikit, membuktikan bahwa tidak semua anak mengalami stres akademik ketika diajarkan membaca. Penelitian ini memberikan sumbangan yang positif dan menguatkan teori-teori kontra yang sebelumnya, bahwa tidak salah bagi orangtua maupun pihak sekolah memberikan pengajaran membaca kepada anak usia pra sekolah, selama menggunakan metode yang tepat dan tidak bersifat memaksa bagi anak.
KESIMPULAN
1. Ada perbedaan stres akademik antara anak taman kanak-kanak yang mendapat pengajaran membaca dan tidak mendapat pengajaran membaca.
2. Stres akademik anak yang mendapat mendapat pengajaran membaca lebih tinggi dari anak yang tidak mendapat pengajaran membaca.
SARAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dicapai, serta mengingat masih banyaknya keterbatasan dalam penelitian ini, maka peneliti memberikan beberapa saran sebagai berikut :
1. Saran bagi orangtua
Orangtua yang memiliki anak pada usia pra sekolah sebaiknya tidak memaksakan anak mereka agar bisa membaca dengan tujuan supaya bisa masuk di SD favorit. Selain itu, orangtua juga harus mengawasi dan memperhatikan perkembangan kemampuan anaknya di sekolah, sehingga dapat memberikan pengajaran yang tepat sesuai dengan kemampuan anak. Orangtua juga diharapkan tidak membebani anak dengan berbagai macam les privat membaca tanpa mengetahui bagaimana keadaan anak sebenarnya.
2. Saran bagi guru
3. Saran bagi peneliti selanjutnya
DAFTAR PUSTAKA
Agolla, J.E. (2009). Occupational stress among police officers. The case of Botswana police service. Journal of Bus Manage. 2 (1), 25-35.
Alvin, N.O. (2007). Handing study stress: Panduan agar anda bisa belajar bersama anak-anak anda. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Andriani, S. (2006). Perbedaan efektivitas metode lembaga kata serta metode struktural analisis dan sintesis (sas) dalam meningkatkan kemampuan membaca permulaan. Tesis pada FP Universitas Diponegoro Semarang: tidak diterbitkan. Apriani., Cicilia., Kasiyati., & Tarmansyah. (2013). Efektifitas metode kupas rangkai
suku kata dalam meningkatkan kemampuan membaca permulaan bagi anak kesulitan membaca. Pendidikan Khusus, 2,(3), 735-844.
Aulina, C.N. (2012). Pengaruh permainan dan penguasaan kosakata terhadap kemampuan membaca permulaan anak usia 5-6 tahun. Pedagogia, 1, (2), 131-143.
Berry, L.M. (2008). Psychology at Work: New York: Mc-GrawHill.
Bimba-aiueo. (2013). Bolehkah Belajar Membaca dan Menulis Bagi Anak Usia Dini. Jakarta.
Burts, D.C., Andrea Y.R., & Sarah, H.P. (1999). Observed stress behavior of children participacing in more and less developmentally appropriate activities. Available (Online).
Catootjie, W. (2007). Stres pada anak gejala, penyebab, dampak, dan penanggulangannya. Available (Online): (11 Juli 2008).
Chang K., & Lu, L. (2007). Characteristics of organisational culture, stressors and wellbeing: The case of Taiwanese organizations. Journal of Manage Psychol. 22 (6), 549-568.
Fairbrother, K., & Warn, J. (2003). Workplace dimensions, stress and job satisfaction. Journal of Managerial Psychology 18(1), 8-21.
Feldman, R.S. (1989). Adjustment: Applying psychology in complex world. New York: Mc Graw-Hill.
Gardner, H. (2003). Multiple intelligence: Kecerdasan majemuk, teori dan praktek. Batam: Interaksara.
Hainstock, E.G. (2002). Montessori untuk anak prasekolah. Jakarta: Pustaka Delaprasta. Harnowo, P.A. (2012, 21 Maret).Pelajaran calistung sejak paud bikin anak jadi stress.
Detik Health, h. 5.
Hesketh, T., Zhen, Y., Lu, L., Dong, Z., Jun, Y., Xing, Z. (2010). Stress and psychosomatic symptoms in Chinese school children: cross sectional survey. Journal of Arch Dis Child, 95, 136-140. Retrieved October 13, 2014, from http://group.bmj.com
Ibung, D. (2008). Stres pada anak (usia 6-12 tahun). Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.
Kapri, C.U., Ahmad, J., & Rani, N. (2013). A study of creative stimulation school environment and academic stress with respect to underachievers in science at secondary school level. Journal of Teacher Education, 1(1), 1-7.
Looker, T.O. (2005). Managing Stress. Yogyakarta: BACA.
Mahsun. (2004). Bersahabat dengan stres. Yogyakarta: Prisma Media.
Nabillah, R. (2013). Status sosial ekonomi keluarga peserta didik. Skripsi pada FP Universitas Pendidikan Indonesia: tidak diterbitkan.
National Association of School Psychologists. (2012). Stress in children and adolescents: Tips for parents. West Highway: Bethesda.
Nandamuri, P.P., & Ch, G. (2011). Sources of academic stress- a study on management students. Journal of ITM Business School, India.
Nugraha, A., & Ganjar, U. (2007). Kurikulum dan Bahan Belajar di TK. Jakarta: Universitas Terbuka.
Nurbiana, D. (2009). Metode pengembangan bahasa. Jakarta: Universitas Terbuka. Olejnik, S.N., & Holschuh, J.P. (2007). College rules! 2nd Edition How to study, survive,
and succeed. New tork. Ten Speed Press. [Online].
Pawitasari, E. (2012, 20 Januari). Masuk SD usia 5 tahun. Suara Islam Edisi 127, h.19. Pranadji, D.K., & Nurlaela. (2009). Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat stres pada
anak usia sekolah dasar yang sibuk dan tidak sibuk”. Jurnal Ilmu Keluarga dan Konsumen, 2, (1), 57-63.
Purbo, A. (2010. Haruskah anak TK bisa membaca dan menulis. Diunduh pada 17 Desember 2010 dari http://www.parentsguide.co.id/smf/index.
Santrock, J.W. (2007). Perkembangan anak jilid 2 edisi 11. Jakarta: Erlangga.
Solihat, R.U. (2009). stres dan coping stres pada guru bantu. Skripsi pada FP Universitas Gunadarma: tidak diterbitkan.
Stainback, W. 1999. Anak anda berhasil di sekolah. Yogyakarta: Kanisius.
Stevenson, A., & Harper, S. (2006). Workplace stress and the student learning experience. Journal of Qual. Assur. Education, 14(2), 167-178.
Trisumarsih. (2008). Bunuh Diri dan Percobaan Diri Pada Anak.
Yorke, L. (2013). validation of the academic stress scale in the Vietnam school survey round 1. Journal of Young Lives. 1, 2-10.
Yuliyono. (2012). Dipaksa calistung saat paud, anak bisa jadi tak suka baca saat besar. GoodreadsIndonesiadiscussion. [Online]. Tersedia
http://www.media-indonesia.com/media/spacer.gif
http://kidshealth.org/parent/emotions/feelings/stress.html#