• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKNA PEMAAFAN (FORGIVENESS) PADA PEREMPUAN YANG PERNAH MENGALAMI KEKERASAN DALAM PACARAN (INTIMATE PARTNER VIOLENCE) Skripsi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MAKNA PEMAAFAN (FORGIVENESS) PADA PEREMPUAN YANG PERNAH MENGALAMI KEKERASAN DALAM PACARAN (INTIMATE PARTNER VIOLENCE) Skripsi"

Copied!
180
0
0

Teks penuh

(1)

i

MAKNA PEMAAFAN (FORGIVENESS) PADA PEREMPUAN YANG PERNAH MENGALAMI KEKERASAN DALAM PACARAN (INTIMATE

PARTNER VIOLENCE)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun oleh: Belinda Ariesta

169114018

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2020

(2)

iv

HALAMAN MOTTO

“If you do what you enjoy doing, you’ll never have to work hard” -Mahadma Gandhi

“Dalam tiap jerih payah ada keuntungan, tetapi kata-kata belaka mendatangkan kekurangan saja”

-Amsal 14:23

“If you want to make the people around you happy, you must find your own happiness first. Being selfish isn’t always a bad thing. Try to only think about

your happiness when things are too stressful.” -It’s okay to not be okay

(3)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Papa dan Mama, yang selalu mendukung dan percaya padaku ketika aku memutuskan untuk belajar psikologi.

Empat perempuan kuat, yang telah menyediakan diri untuk berbagi cerita dan perasaan, serta perempuan-perempuan lain di luar sana yang sedang berjuang

(4)

vii

MAKNA PEMAAFAN (FORGIVENESS) PADA PEREMPUAN YANG PERNAH MENGALAMI KEKERASAN DALAM PACARAN (INTIMATE

PARTNER VIOLENCE)

Belinda Ariesta ABSTRAK

Kekerasan dalam pacaran merupakan masalah yang masih banyak terjadi di sekitar kita. Perempuan yang pernah mengalami kekerasan dalam pacaran biasanya lebih rentan mengalami masalah psikologis dan fisik. Salah satu metode self-healing yang dapat membantu masalah psikologis yang dialami oleh perempuan yang mengalami kekerasan dalam pacaran adalah pemaafan. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai makna pemaafan pada para perempuan yang pernah mengalami kekerasan dalam pacaran. Partisipan dalam penelitian ini adalah empat orang perempuan yang pernah menjadi korban kekerasan dalam pacaran. Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan metode wawancara semi terstruktur. Data kemudian dianalisis menggunakan metode analisis tematik. Penelitian ini menunjukkan bahwa perempuan yang pernah mengalami kekerasan dalam pacaran memaknai pemaafan sebagai perubahan sikap terhadap pelaku dari negatif menjadi positif, serta penerimaan atas kenyataan dan kembali melanjutkan hidup. Selain itu, penelitian ini juga menemukan bahwa pemaafan dapat dimotivasi oleh relasi antara partisipan dan pelaku, empati terhadap pelaku, serta pandangan agama yang partisipan anut. Kemudian, ditemukan juga bahwa setiap partisipan mengalami siklus kekerasan yang serupa.

(5)

viii

THE MEANING OF FORGIVENESS IN WOMEN WHO HAVE EXPERIENCED INTIMATE PARTNER VIOLENCE

Belinda Ariesta ABSTRACT

Intimate partner violence is a problem that still happened around us. Women who have experienced intimate partner violence usually become more vulnerable to psychological and physical disorders. Forgiveness was believed as one of self-healing methods that can help with occurring psychological disorder. This study was qualitative research that aimed to provide an overview of the meaning of forgiveness in women who have experienced intimate partner violence. The participants in this study were 4 women who had been victims of intimate partner violence. The data was collected using a semi-structured interview method. The data was analyzed by thematic analysis method. This study shows that women who have experienced intimate partner violence interpret forgiveness as the change of attitudes towards abuser from negatives to positive, and acceptance of reality and moving on. In addition, this study also finds that forgiveness can be motivated by the relationship between participants and abuser, empathy towards the abuser, and the religious views of the participants. It is also found that each participant has a similar cycle of violence.

(6)

xiv DAFTAR ISI

HALAMAN PESETUJUAN DOSEN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiv

DAFTAR TABEL ... xvii

DAFTAR GAMBAR ... xviii

DAFTAR LAMPIRAN ... xix

BAB I PENDAHULUAN ... 1 A. Latar Belakang ... 1 B. Rumusan Masalah ... 11 C. Pertanyaan Penelitian ... 12 D. Tujuan Penelitian ... 12 E. Manfaat Penelitian ... 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 14

A. Pemaafan (Forgiveness) ... 14

1. Definisi Pemaafan ... 14

2. Dimensi Pemaafan ... 15

3. Bentuk Pemaafan ... 16

4. Faktor yang Menentukan Pemaafan ... 17

5. Manfaat Pemaafan ... 20

B. Makna Pemaafan ... 21

C. Kekerasan dalam Berpacaran (Intimate Partner Violence) ... 23

(7)

xv

2. Tipe Intimate Partner Violence ... 24

3. Dampak Intimate Partner Violence ... 25

D. Teori Perkembangan pada Dewasa Awal ... 26

E. Makna Pemaafan pada Korban Intimate Partner Violence ... 27

F. Skema ... 30

BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 31

A. Jenis Penelitian ... 31

B. Fokus Penelitian ... 32

C. Partisipan Penelitian ... 32

D. Peran Peneliti ... 33

E. Refleksivitas Peneliti ... 34

F. Metode Pengumpulan Data ... 35

G. Prosedur Pengumpulan Data ... 36

H. Metode Analisis Data ... 37

I. Kualitas Penelitian ... 38

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 40

A. Pelaksanaan Penelitian ... 40

B. Latar Belakang Partisipan dan Dinamika Proses Wawancara ... 43

1. Partisipan 1 (P1) ... 44 2. Partisipan 2 (P2) ... 46 3. Partisipan 3 (P3) ... 47 4. Partisipan 4 (P4) ... 49 C. Hasil Penelitian ... 51 1. Partisipan 1 (P1) ... 51 a. Jenis kekerasan ... 51

b. Proses dan motivasi pemaafan ... 53

c. Makna pemaafan ... 55

2. Partisipan 2 (P2) ... 58

d. Jenis kekerasan ... 58

e. Proses dan motivasi pemaafan ... 60

(8)

xvi

3. Partisipan 3 (P3) ... 64

a. Jenis kekerasan ... 64

b. Proses dan motivasi pemaafan ... 65

c. Makna pemaafan ... 68

4. Partisipan 4 (P4) ... 71

a. Jenis kekerasan ... 71

b. Proses dan motivasi pemaafan ... 72

c. Makna pemaafan ... 73

5. Integrasi Hasil Penelitian dari Empat Partisipan ... 75

D. Pembahasan ... 80 BAB V PENUTUP ... 86 A. Kesimpulan ... 86 B. Keterbatasan Penelitian ... 87 C. Saran ... 87 DAFTAR PUSTAKA ... 90 LAMPIRAN ... 99

(9)

xvii

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Panduan Wawancara ... 32

Tabel 2. Waktu dan Tempat Pelaksanaan Wawancara ... 40

Tabel 3. Profil Partisipan... 42

Tabel 4. Temuan Penelitian... 79

(10)

xviii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Skema kerangka konseptual ... 27

(11)

xix

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Informed Consent ... 92 Lampiran 2. Coding Book ... 104

(12)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

“Dia selalu punya argumentasi kalau perempuan dipukul, artinya perempuan itu layak untuk dipukul karena kesalahannya" – merdeka.com,

2018

Kalimat yang dikutip dari merdeka.com ini merupakan pernyataan dari Ika, salah satu korban kekerasan dalam hubungan. Data yang diterbitkan oleh World Health Organization pada tahun 2013 memperkirakan sekitar 1 dari 3 (35%) perempuan di seluruh dunia pernah mengalami kekerasan oleh pasangan mereka secara fisik maupun seksual, serta mengalami kekerasan seksual yang dilakukan bukan oleh pasangan mereka. Hampir sepertiga (30%) perempuan di seluruh dunia melaporkan bahwa mereka pernah mengalami beberapa bentuk kekerasan fisik dan/atau seksual yang dilakukan oleh pasangan mereka (World Health Organization, 2013). Kekerasan dalam hubungan terjadi pada gadis remaja hingga perempuan dewasa dalam hubungan formal seperti pernikahan dan hubungan informal seperti berpacaran (World Health Organization, 2013). Data dari Centers for Disease Control and Prevention tahun 2020 juga menyatakan bahwa pada tahun 2019, 1 dari 11 remaja perempuan SMA dilaporkan mengalami kekerasan fisik, dan 1 dari 9 perempuan SMA mengalami kekerasan seksual selama berpacaran.

Hasil pendataan dari Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) di Indonesia pada tahun 2016 menunjukkan bahwa 1 dari 3

(13)

2

perempuan berusia 15-64 tahun mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual oleh pasangan dan bukan pasangan selama hidup mereka, dan sekitar 1 dari 10 perempuan usia 15–64 tahun mengalaminya dalam 12 bulan terakhir (Badan Pusat Statistik, 2017). Kekerasan yang dilakukan oleh pasangan 7,7% merupakan kekerasan fisik, 6% kekerasan seksual, dan 4,6% kekerasan fisik dan seksual (Badan Pusat Statistik, 2017). Selain itu, sekitar 1 dari 5 (20,5%) perempuan yang pernah atau sedang menikah mengalami kekerasan emosional dari pasangannya (Badan Pusat Statistik, 2017). Pasangan pelaku kekerasan dalam SPHPN merupakan suami, pasangan hidup bersama, dan pasangan seksual tinggal terpisah (Badan Pusat Statistik, 2017). Kemudian, Catatan Tahunan Kekerasan Terhadap Perempuan yang diterbitkan oleh KOMNAS Perempuan menunjukkan bahwa ada 1.851 kasus kekerasan dalam pacaran yang tercatat selama setahun terakhir (KOMNAS Perempuan, 2020).

Intimate partner violence (IPV) atau kekerasan oleh pasangan intim telah menjadi masalah yang berakar lama di masyarakat Indonesia maupun dunia. Centers for Disease Control and Prevention (2019) menjelaskan bahwa IPV meliputi kekerasan fisik, kekerasan seksual, menguntit dan agresi psikologis yang dilakukan oleh pasangan intim saat ini atau mantan pasangan intim. Sedangkan, Offenhauer dan Buchalter (2011) menyatakan bahwa IPV merupakan rangkaian tindakan mengontrol atau dominasi yang menyebabkan berbagai tingkat kerugian. Istilah IPV biasanya diartikan sebagai kekerasan dalam rumah tangga (Tuller & Raghavan, 2010). Namun, istilah “pasangan intim” dalam IPV tidak hanya mengacu pada pasangan menikah tapi juga pacar,

(14)

3

pasangan kencan, dan pasangan seksual (Centers for Disease Control and Prevention, 2019; Tuller & Raghayan, 2010).

Salah satu kekerasan yang dilakukan oleh pasangan intim yang memerlukan perhatian lebih besar adalah kekerasan dalam hubungan pacaran. Hal ini dikarenakan jenis kekerasan ini jarang mendapat perhatian hukum (Guamarawati, 2009). Berbeda dengan kekerasan dalam rumah tangga, saat ini belum ada KUHP yang secara khusus mengatur tentang kekerasan dalam pacaran (Setiawan, 2011). Komisioner KOMNAS Perempuan, Sri Nurherwati menyatakan bahwa selama ini kekerasan seksual dalam relasi pacaran dipandang sebagai dasar suka sama suka (Setiawan, 2011). Jika pun pelaku kekerasan dalam pacaran dihukum secara hukum, pelaku paling maksimal hanya dijerat pasar 335 KUHP tentang perbuatan tidak menyenangkan (Setiawan, 2011). Oleh sebab itu, harapannya penelitian ini dapat juga memberi manfaat secara hukum agar kekerasan dalam berpacaran mendapat lebih banyak perhatian dan dasar hukum yang adil.

Hasil dari studi literatur menunjukkan bahwa IPV biasanya memiliki tiga bentuk atau subtipe yaitu, kekerasan fisik, kekerasan psikologis, emosional atau verbal, dan kekerasan seksual (Offenhauer & Buchalter, 2011). Data dari Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) menunjukkan bahwa bentuk kekerasan fisik yang umum dilakukan berupa menampar, memukul, mendorong, menjambak rambut, menendang, dan menghajar (Badan Pusat Statistik, 2017). Data yang sama menunjukkan bahwa jenis kekerasan seksual yang paling banyak dilakukan adalah berkomentar atau mengirim pesan

(15)

4

bernada seksual, menyentuh atau meraba tubuh, memperlihatkan gambar seksual, dan memaksa berhubungan seksual (Badan Pusat Statistik, 2017). Sedangkan kekerasan psikologis biasanya berupa tindakan mengacam untuk menyakiti pasangan, serta manipulasi emosional seperti mengancam bunuh diri, mengabaikan pasangan, atau mengancam untuk putus (Offenhauer & Buchalter, 2011). Bentuk umum lain dari kekerasan semacam itu adalah perilaku yang dampaknya merusak kepercayaan diri dan kemandirian pasangan, misalnya, berusaha mengisolasi pasangan dari keluarga, teman, atau dukungan sosial lainnya (Offenhauer & Buchalter, 2011).

Laki-laki dan perempuan dapat menjadi korban maupun pelaku pada IPV (World Health Organization, 2002). Namun, penelitian ini lebih berfokus pada perempuan yang menjadi korban. Perempuan dapat juga menjadi pelaku IPV namun kasus seperti ini biasanya terjadi pada hubungan sesama jenis (World Health Organization, 2002). Data dari World Health Organization juga menunjukkan bahwa salah satu bentuk kekerasan paling umum terhadap perempuan adalah kekerasan yang dilakukan oleh suami atau pasangan laki-lakinya, sedangkan kekerasan paling umum terhadap laki-laki dilakukan oleh orang asing atau temannya (World Health Organization, 2002). Dari data ini dapat disimpulkan bahwa kebanyakan korban IPV berjenis kelamin perempuan pada hubungan heteroseksual.

Faktor risiko yang menyebabkan IPV dapat berasal dari individu, hubungan, serta komunitas dan masyarakat (World Health Organization, 2012). Menurut data yang dirangkum World Health Organization (2012) faktor risiko

(16)

5

yang menyebabkan perempuan menjadi korban IPV dari individu antara lain adalah tingkat pendidikan yang rendah, menyaksikan kekerasan di antara orang tua, mengalami kekerasan seksual selama masa kanak-kanak, penerimaan atas kekerasan, dan pernah mengalami bentuk-bentuk lain dari kekerasan sebelumnya.

Kemudian, faktor risiko dalam hubungan yang dapat menyebabkan IPV adalah konflik atau ketidakpuasan dalam hubungan, dominasi laki-laki dalam keluarga tempat individu tumbuh, masalah ekonomi, dan perempuan yang memiliki banyak pasangan (World Health Organization, 2012). Selain itu, perbedaan tingkat pendidikan antara laki-laki dan perempuan, dimana pihak perempuan memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi daripada pasangan prianya juga merupakan salah satu faktor risiko IPV (World Health Organization, 2012).

Faktor yang menyebabkan lebih banyak perempuan yang menjadi korban IPV dari tingkat masyarakat dan komunitas adalah banyaknya norma-norma dan sistem sosial yang tidak adil mengenai gender (World Health Organization, 2012). Sistem sosial yang tidak adil mengenai gender juga terjadi di Indonesia yang kebanyakan masyarakatnya masih menganut budaya patriarki. Budaya patriarki adalah sebuah sistem sosial yang didominasi oleh laki-laki, dan laki-lakilah yang menentukan segalanya, termasuk bagaimana perempuan harus bertindak (Bressler, 1994). Guamarawati (2009) mengungkapkan bahwa budaya patriarki menempatkan laki-laki sebagai fokus utama, sehingga menimbulkan relasi kuasa yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan.

(17)

6

Guamarawati (2009) juga menjelaskan bahwa dalam relasi seperti ini perempuan dipandang lebih lemah dan mau tidak mau dianggap sebagai masyarakat kelas dua. Hal ini membuat laki-laki seperti memiliki kontrol penuh atas perempuan sehingga kekerasan baik fisik maupun psikologis dianggap biasa (Guamarawati, 2009).

Perempuan yang pernah atau sedang menjadi korban IPV cenderung memiliki risiko mengalami masalah psikologis maupun fisik. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Callahan dkk. (2003) para korban IPV cenderung memiliki kesejahteraan psikologi yang lebih rendah dibandingkan mereka yang bukan korban IPV. Pada perempuan, IPV secara signifikan berhubungan dengan masalah psikologis seperti gangguan stres pasca trauma atau PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder) dan masalah disasosasi. Kemudian, Escriba-Aguir dkk. (2010) menuliskan bahwa segala macam bentuk IPV mulai dari fisik hingga psikologis dapat menyebabkan gangguan mental seperti kecemasan, depresi, bunuh diri, gejala PTSD, dan penggunaan obat-obatan psikotropika. Perempuan yang mengalami IPV cenderung mengalami masalah kesehatan seperti cidera pada perut atau dada, memar dan bekas luka, sindrom nyeri kronis, cacat, fibromialgia, patah tulang, gangguan pencernaan, sindrom iritasi usus, laserasi dan lecet, kerusakan mata, dan penurunan fungsi fisik (World Health Organization, 2002).

Data tersebut menunjukkan bahwa perempuan korban IPV terdata banyak mengalami masalah fisik maupun psikologis. Taylor (2004) mengusulkan bahwa salah satu metode self-healing yang dapat membantu para

(18)

7

korban untuk lepas dari IPV adalah dengan memaafkan. American Psychological Association (2006) mendefinisikan pemaafan atau forgiveness sebagai proses atau hasil dari suatu proses yang melibatkan perubahan emosi dan sikap terhadap pelaku. Rye dan Pargament (2002) juga menjelaskan bahwa perubahan emosi dan sikap tadi termasuk juga melepas pengaruh, pikiran, dan perilaku yang negatif ketika menanggapi ketidakadilan dan melibatkan respons secara positif terhadap pelaku ketidakadilan. Sedangkan Berry dkk. (2005) mendefinisikan forgiveness sebagai mengganti emosi negatif yang tidak memaafkan dengan emosi positif dan berorientasi pada orang lain. Jadi, berdasarkan definisi-definisi yang telah dipaparkan tadi pemaafan atau forgiveness dapat didefinisikan sebagai sebuah proses atau hasil dari proses di mana individu melepas dan mengganti emosi, perilaku, serta pengaruh negatif yang berkaitan dengan ketidakadilan yang dialami dengan emosi, perilaku, dan pengaruh yang positif.

Penelitian ini berfokus pada bagaimana seorang perempuan yang pernah mengalami IPV memaknai arti dari pemaafan. Rye dan Pargament (2002) menuliskan bahwa banyak peneliti yang merasa bahwa pemaafan harus dibedakan dengan rekonsiliasi, pengampunan hukum, penerimaan, dan melupakan. Namun, hal ini mungkin berbeda dengan pandangan perempuan yang pernah mengalami IPV. Hal ini dikarenakan pemaknaan adalah sesuatu yang subjektif. Manusia tidak memandang dunia sebagai mana adanya dunia, melainkan melalui fenomena yang bermakna yang manusia alami dalam hidupnya (Peterson, 2013). Makna kemudian terbentuk dari pengalaman

(19)

8

seseorang dan reaksinya terhadap pengalaman itu (Ignelzi, 2000). Oleh sebab itu, cara seorang perempuan yang mengalami IPV bisa saja berbeda dengan definisi-definisi pemaafan yang telah dipaparkan oleh berbagai ahli sebelumnya.

Selain itu, ketika seseorang mengalami pengalaman yang traumatis, orang tersebut akan mencoba mencari makna (Janoff-Bulman, 1992). Hal ini dilakukan dengan mencari jawaban mengenai makna dari kejadian yang mereka alami, mengapa kejadian ini terjadi pada diri mereka, dan bagaimana kejadian ini memengaruhi hidupnya (Janoff-Bulman, 1992). Proses pemaknaan merupakan upaya untuk mengatasi ketidakkonsistenan antara keyakinan yang mereka pegang sebelumnya (Janoff-Bulman, 1992). Oleh sebab itu, pemaknaan seseorang terhadap pemaafan bisa saja berubah sebelum dan setelah dirinya mengalami IPV.

Pemaafan sendiri memiliki berbagai manfaat baik, berdasarkan data yang dirangkum oleh American Psychological Association (2006) menunjukkan bahwa pemaafan memiliki berbagai macam manfaat seperti membantu penyembuhan psikologis melalui perubahan afek secara positif, meningkatkan kesehatan fisik dan mental, memulihkan kekuatan diri korban, membantu mewujudkan rekonsiliasi antara korban dan pelaku, dan mempromosikan harapan untuk penyelesaian konflik antarkelompok dunia nyata. Pemaafan juga efektif dalam mengatasi rasa bersalah, penyesalan, marah, cemas, takut (Davidson dkk., 2015), depresi, dan duka cita (Rye & Pargament, 2002). Kemudian, hasil rangkuman Worthington (2005) tentang hubungan

(20)

9

pemaafan dan kesehatan mental menunjukkan bahwa kondisi pemaafan berkorelasi positif dengan kesehatan mental yang baik.

Griffin dkk. (2015) juga menyatakan bahwa dalam kondisi tidak memaafkan manusia akan mengalami tingkat stres yang lebih tinggi, serta memunculkan emosi-emosi negatif seperti kepahitan, takut, dan marah. Individu dalam kondisi memaafkan dan memiliki sifat pemaafan cenderung memiliki risiko mengalami gangguan psikologis yang lebih rendah dibandingkan yang tidak (Griffin dkk., 2015). Selain itu, Messay dkk. (2012) juga menyatakan bahwa keadaan memaafkan dan sifat pemaafan terkait dengan tingkat depresi, kecemasan, dan stres yang lebih rendah. Penelitian yang dilakukan oleh Davidson dkk. (2015) tentang hubungan antara IPV dan pemaafan pada mahasiswa menunjukkan bahwa perempuan yang mengalami IPV cenderung memiliki tingkat penghindaran dan balas dendam yang tinggi. Selain itu, penelitian ini juga menunjukkan bahwa korban IPV biasanya memiliki tingkat benevolent, pemaafan pada diri sendiri, pemaafan pada orang lain, dan pemaafan pada kondisi yang rendah (Davidson dkk., 2015).

Fenomena yang menunjukkan banyaknya perempuan yang mengalami IPV dan dampak-dampak negatif dari IPV menyebabkan peneliti melakukan penelitian tentang makna pemaafan pada perempuan korban IPV. Peneliti merasa bahwa pemaknaan pemaafan pada perempuan yang pernah mengalami IPV penting untuk diteliti karena sulit untuk menemukan penelitian yang meneliti konstruk pemaafan dalam konteks perempuan yang mengalami IPV. Penelitian yang meneliti konstruk pemaafan dalam konteks perempuan yang

(21)

10

mengalami IPV yang peneliti temukan lebih berfokus pada dinamika pemaafan, bukan bagaimana cara korban memaknai pemaafan (Yudha & Tobing, 2017). Ketika meneliti tentang dinamika pemaafan, peneliti perlu untuk mengetahui kondisi pemaafan subjek. Oleh karena itu peneliti memilih untuk tidak meneliti dinamika pemaafan karena sulit untuk mengetahui kondisi pemaafan subjek. Penelitian mengenai makna sudah pernah dilakukan pada subjek lain seperti pasien HIV (Bower dkk., 1998), subjek yang mengalami kehilangan orang terdekat (Gillies dkk., 2014), dan korban peselingkuhan (Squires, 2014). Namun, peneliti belum menemukan penelitian yang meneliti mengenai makna pemaafan pada korban kekerasan dalam pacaran. Selain itu, mayoritas penelitian-penelitian yang telah ada meneliti kekerasan dalam pacaran yang lebih mendetil terutama kekerasan seksual (Yudha & Tobing, 2017). Sedangkan penelitian yang ingin peneliti lakukan mengambil konteks kekerasan lain seperti fisik dan psikologis. Hal ini dikarenakan peneliti merasa bahwa penting untuk melihat ada atau tidaknya perbedaan pada pemaknaan pemaafan perempuan yang mengalami IPV yang berbeda. Hal ini juga dipaparkan oleh Davidson dkk. (2015) yang menyebutkan bahwa penelitian di masa depan dapat mencoba membandingkan pengalaman IPV fisik dan psikologis. Penelitian terdahulu yang mencari hubungan antara pemaafan dan kekerasan dalam pacaran kebanyakan menggunakan metode kuantitatif (Davidson dkk., 2015; Rye & Pargament, 2002; Tsang & Stanford. 2006). Peneliti merasa bahwa untuk memahami pengalaman subjek secara detil metode penelitian yang paling cocok adalah metode penelitian kualitatif dengan wawancara mendalam. Selain

(22)

11

itu, sifat pemaknaan yang sangat subjektif untuk setiap orang membuat penelitian kualitatif lebih cocok dibanding penelitian kuantitatif.

B. Rumusan Masalah

Data-data yang ada menunjukkan bahwa masih banyak perempuan-perempuan di yang mengalami kekerasan dalam hubungan, terutama kekerasan dalam pacaran. Perempuan yang pernah mengalami kekerasan dalam pacaran biasanya lebih rentan terhadap berbagai macam masalah-masalah psikologis dan fisik. Salah satu metode self-healing yang dapat membantu perempuan yang pernah mengalami kekerasan dalam pacaran adalah pemaafan atau forgiveness. Namun, pemaknaan pemaafan bagi setiap orang dapat berbeda meskipun mengalami pengalaman yang sama. Hal ini dikarenakan memaknai sesuatu bukan hanya dari pengalaman itu sendiri, tapi juga reaksinya terhadap pengalaman itu. Sehingga, peneliti merasa pemaknaan menjadi suatu konstruk yang cukup penting. Oleh sebab itu, peneliti ingin melihat bagaimana makna pemaafan pada perempuan yang pernah mengalami kekerasan dalam pacaran.

Peneliti juga ingin melihat kekerasan dalam pacaran dalam sudut pandang yang lebih luas, dan tidak hanya berfokus pada salah satu jenis kekerasan saja. Hal ini dikarenakan peneliti merasa bahwa penting untuk melihat perbedaan pada makna pemaafan perempuan yang mengalami jenis kekerasan yang berbeda. Kemudian, peneliti juga memutuskan untuk menggunakan metode kualitatif agar dapat melihat pengalaman perempuan yang mengalami kekerasan dalam pacaran dengan lebih detil. Jadi peneliti ingin mengetahui tentang bagaimana pemaknaan pemaafan (forgiveness) pada

(23)

12

perempuan yang pernah mengalami kekerasan dalam pacaran (intimate partner violence).

C. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan sebelumnya, maka peneliti merumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana perempuan yang pernah mengalami IPV memaknai pemaafan? 2. Bagaimana bentuk forgiveness pada perempuan yang pernah atau sedang

mengalami IPV? D. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui makna pemaafan menurut perempuan yang pernah mengalami kekerasan dalam pacaran.

E. Manfaat Penelitian a. Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan mampu menambah referensi dalam bidang psikologi terutama psikologi klinis dan sosial. Penelitian ini dapat menjadi sumber pengetahuan tentang makna memaafkan dari sudut pandang perempuan yang pernah menjadi korban kekerasan dalam hubungan. b. Manfaat praktis

1) Bagi perempuan yang sedang atau pernah menjadi korban kekerasan dalam pacaran

Penelitian ini diharapkan dapat membantu mereka mencari makna memaafkan mereka sendiri dan mengambil keputusan yang terbaik bagi diri mereka. Selain itu, penelitian ini diharapkan juga dapat memberikan

(24)

13

dukungan bagi korban IPV dan menyadarkan mereka bahwa mereka tidak sendiri.

2) Bagi masyarakat

Untuk masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat menjadi cerminan bagi masyarakat untuk meningkatkan kepedulian dan kepekaan masyarakat terhadap para korban IPV serta membantu mereka bangkit dari pengalaman tersebut. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat menyadarkan masyarakat mengenai tanda-tanda hubungan yang tidak sehat sehingga dapat membantu mencegah orang lain menjadi korban dalam hubungan dengan kekerasan.

3) Bagi konselor korban kekerasan

Bagi konselor korban kekerasan, penelitian ini diharapkan dapat memberi sumber pengetahuan baru terutama dalam menangani perempuan yang pernah menjadi korban kekerasan dalam berpacaran.

(25)

14 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pemaafan

1. Definisi Pemaafan

American Psychological Association (2006) mendefinisikan pemaafan atau forgiveness sebagai proses atau hasil dari suatu proses yang melibatkan perubahan emosi dan sikap terhadap pelaku pelanggaran. Perubahan emosi dan sikap ini berupa mengganti emosi negatif dengan sikap yang positif seperti kasih sayang dan kebaikan American Psychological Association, 2006). Kemudian, Rye dan Pargament (2002) mendefinisikan pemaafan sebagai melepaskan pengaruh, pikiran, dan perilaku yang negatif ketika menanggapi ketidakadilan dan melibatkan respons secara positif terhadap pelaku ketidakadilan.

McCullough dkk. (1998) menjelaskan bahwa pemaafan merupakan perubahan perilaku terhadap pelaku kejahatan yang awalnya negatif menjadi lebih positif. Perubahan perilaku ini terjadi karena adanya pengurangan motivasi untuk menghindar dan balas dendam pada pelanggar (McCullough dkk., 1998). Penting diketahui bahwa pemaafan bukan berarti membiarkan dan membela pelanggaran (Freedman, 1998). Pemaafan juga dapat terjadi tanpa disertai dengan rekonsiliasi (Freedman, 1998). Proses ini terjadi secara sengaja dan sukarela, serta didorong oleh keinginan untuk pemaafan (American Psychological Association, 2006).

(26)

15

Selama ini pemaafan dapat dipelajari sebagai sebuah reaksi terhadap pelanggaran atau sebagai sebuah disposisi (Tsang & Standford, 2006). Selain itu, pemaafan juga dapat dipelajari sebagai sebagai suatu proses atau hasil (American Psychological Association, 2006). Namun, sepertinya lebih tepat jika pemaafan dipelajari sebagai sebuah proses dan hasil dari proses itu. Hal ini dikarenakan pemaafan hanya terjadi apabila ada pelanggaran, dan dari pelanggaran itu terjadi proses perubahan sikap dan perilaku terhadap pelanggar. Jadi, pemaafan adalah proses dan hasil dari perubahan perilaku, sikap, dan emosi yang negatif terhadap orang yang menyakitinya menjadi perilaku, sikap, dan emosi yang positif.

2. Dimensi Pemaafan

Baumeister dkk. (1999) menuliskan bahwa pemaafan memiliki dua dimensi yaitu internal mental/emotional state dan interpersonal acts. a) Internal mental/emotional state, pemaafan adalah sikap secara

emosional yang didasarkan pada penilaian dan interpretasi kognitif korban terhadap pelanggaran. Pemaafan seseorang artinya menghilangkan perasaan marah atau benci kepada pelaku. Bentuk pemaafan ini merupakan sebuah keadaan intrapsychic, yaitu melibatkan kondisi dan proses yang terjadi dalam pikiran korban.

b) Interpersonal acts, pemaafan adalah perilaku sosial yang terjadi dalam interaksi sosial. Pemaafan dianggap sebagai suatu tahapan untuk memperbaiki hubungan agar kembali seperti sebelum pelanggaran terjadi. Pemaafan menunjukkan bahwa korban tidak akan melakukan balas

(27)

16

dendam atau tuntutan lain, dan pelaku pelanggaran tidak perlu lagi merasa bersalah.

3. Bentuk Pemaafan

Dua dimensi pemaafan yang ditulis oleh Baumeister dkk. (1999) yang telah dituliskan sebelumnya dianggap ortogonal, artinya keduanya independen dan tidak terikat satu sama lain. Oleh sebab itu, dalam situasi sosial pemaafan dapat berisi dua dimensi, salah satu dimensi, atau bahkan tidak ada sama sekali. Perpaduan kedua dimensi tadi menghasilkan empat bentuk pemaafan yaitu hollow forgiveness, silent forgiveness, total forgiveness, dan no forgiveness.

a. Hollow forgiveness

Hollow forgiveness atau pemaafan kosong merupakan perpaduan dari hadirnya dimensi interpersonal acts tanpa dimensi keadaan intrapsychic. Jenis pemaafan ini ditandai dengan korban menyatakan bahwa dirinya memaafkan pelaku. Namun, korban masih merasa marah, dendam, dan benci terhadap pelaku. Bentuk pemaafan ini dianggap sebagai suatu komitmen untuk pemaafan.

b. Silent forgiveness

Silent forgiveness atau pemaafan bisu adalah kebalikan dari pemaafan kosong. Jenis pemaafan ini merupakan perpaduan antara hadirnya dimensi keadaan intrapsychic tanpa dimensi interpersonal act. Secara pribadi korban telah memaafkan pelaku, namun tidak menyatakan kepada pelaku. Jenis pemaafan ini memungkinkan korban

(28)

17

untuk merasa damai tapi tetap membiarkan pelaku merasa bersalah terhadap korban.

c. Total forgiveness

Total forgiveness atau pemaafan total adalah jenis pemaafan di mana kedua dimensi pemaafan hadir. Artinya, korban tidak lagi merasakan benci, marah, dan dendam kepada pelaku. Korban menyatakan kepada pelaku tentang perasaannya sehingga pelaku tidak lagi merasa bersalah dan bertanggung jawab. Jenis pemaafan ini memungkinkan hubungan antara korban dan pelaku kembali seperti sedia kala.

d. No forgiveness

Jenis pemaafan yang terakhir adalah no forgiveness atau tidak ada pemaafan. Jenis pemaafan ini biasanya disebut juga sebagai total grudge atau penuh dendam. Kedua dimensi pemaafan tidak hadir dalam jenis pemaafan ini. Artinya korban masih merasa marah dan dendam kepada pelaku dan menunjukkan sikap negatif terhadap pelaku.

4. Faktor yang Menentukan Pemaafan

McCullough dkk. (1998) menyatakan bahwa faktor-faktor penentu pemaafan secara teoritis terletak dalam empat kategori konseptual yaitu sosial kognitif, karakteristik pelanggaran, relasi, dan kepribadian.

a) Sosial kognitif, merupakan kognisi dan pengaruh yang dialami korban akibat pelanggaran yang terjadi. Variabel sosial kognitif yang memengaruhi pemaafan antara lain adalah empati yang korban rasakan pada pelaku, semakin korban berempati dan mengerti perspektif

(29)

18

kognitif pelaku semakin mudah korban untuk memaafkan. Variabel sosial kognitif lainnya adalah penilaian korban terhadap bentuk tanggung jawab yang dilakukan oleh pelaku untuk memperbaiki kesalahannya serta intensi atau kesengajaan pelaku untuk melakukan pelanggaran. Pikiran yang mengganggu akan pelanggaran juga merupakan salah satu variabel sosial kognitif yang memengaruhi pemaafan, semakin sering korban memikirkan kejadian tersebut semakin sulit bagi korban untuk memaafkan (McCullough, 2000). b) Karakteristik pelanggaran. Pemaafan dipengaruhi oleh tingkat

keparahan pelanggaran yang pelaku lakukan serta konsekuensi langsung yang dirasakan oleh korban. Semakin berat pelanggaran semakin sulit untuk dimaafkan. Selain itu, sejauh mana pelaku meminta maaf dan merasa bersalah atas pelanggaran tersebut merupakan faktor penentu lain terkait pengampunan.

c) Relasi, merupakan kualitas hubungan interpersonal di mana pemaafan terjadi. Hal ini dapat berupa tingkat keintiman, kedekatan, dan komitmen antara pelanggar dan korbannya. Semakin kuat tingkat keintiman, kedekatan, dan komitmen yang terjalin antar korban dan pelaku, semakin mudah maaf diberikan.

d) Kepribadian, merupakan variabel disposisi korban yang mendukung pemaafan. Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa disposisi untuk pemaafan terletak pada faktor agreeableness dalam teori Big Five (Mauger, Saxon, Hamill, & Pannell, 1996, dalam McCullough dkk.,

(30)

19

1998). Hal ini juga didukung oleh hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Brose dkk. (2004) tentang pemaafan dan sifat kepribadian. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa agreeableness dan extraversion berkorelasi positif dengan variabel pemaafan, sedangkan faktor neuroticism berkorelasi negatif dengan pemaafan (Brose dkk., 2004). Selain itu, gaya umum menanggapi kemarahan dan sifat religius juga dapat memengaruhi pemaafan.

McCullough dan rekannya (2000) juga menyatakan bahwa pemaafan merupakan kondisi psikologis yang muncul akibat perpaduan beberapa motivasi yaitu avoidance motivation, revenge motivation, dan benevolence motivation.

a) Avoidance Motivation, adalah perasaan terluka yang dirasakan akibat serangan dihubungkan dengan motivasi untuk menghindari kontak secara personal maupun psikologis dengan pelaku.

b) Revenge Motivation, adalah perasaan marah yang dihubungkan dengan motivasi untuk membalas dendam atau harapan agar pelaku mengalami bahaya.

c) Benevolence Motivation, adalah perasaan atau keinginan untuk berbelas kasih dan melakukan kebaikan kepada pelaku.

Jadi, menurut McCullough (2000) pemaafan terjadi karena adanya penurunan pada avoidance motivation dan revenge motivation, serta peningkatan pada benevolence motivation.

(31)

20 5. Manfaat Pemaafan

Seseorang yang sedang berada di dalam keadaan memaafkan dan memiliki sifat pemaafan memiliki kondisi psikologis yang lebih baik dibandingkan yang tidak. Hal ini didikung oleh pernyataan Griffin dkk. (2015) bahwa orang yang dalam keadaan memaafkan dan memiliki sifat pemaafan memiliki risiko mengalami gangguan psikologis yang lebih rendah dibandingkan yang tidak. Selain itu, Messay dkk. (2012) juga menyatakan bahwa keadaan memaafkan dan sifat pemaafan terkait dengan tingkat depresi, kecemasan, dan stres yang lebih rendah. Pemaafan juga efektif dalam mengatasi rasa bersalah, penyesalan, marah, cemas, takut (Davidson dkk., 2015), depresi, dan duka cita (Rye & Pargament, 2002)

Selain itu, pemaafan juga meningkatkan subjective well-being individu. Allemand, Hill, La Marca-Ghaemmaghami, dan Martin (2012) melakukan penelitian yang membuktikan bahwa pemaafan berhubungan dengan kesejahteraan subjektif atau subjective well-being. Kesejahteraan subjektif adalah kondisi di mana individu memiliki tingkat kepuasan hidup yang tinggi, rendahnya afek negatif, serta tingginya afek positif. Hal ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Berry dkk. (2005) yang menunjukkan bahwa sifat pemaafan secara negatif berkaitan sifat marah, neurotik, ketakutan, dan permusuhan. Ketika seseorang memaafkan mereka menjadi lebih termotivasi untuk mencari hubungan yang konstruktif daripada yang destruktif (McCullough dkk., 1997).

(32)

21 B. Makna Pemaafan

Skinner (1948) dalam tulisannya tentang perilaku verbal menuliskan bahwa meaning atau makna adalah bentuk modern dari ide. Berbeda dengan ide yang hanya sebuah imajinasi kognitif seseorang, makna dapat diekspresikan dan dikomunikasikan melalui ucapan (Skinner, 1948). Hal ini kemudian membuat makna dapat diobservasi langsung (Skinner, 1948).

Teori tentang meaning-making atau pembentukan makna yang dikemukakan oleh Robert Kegan adalah teori tentang bagaimana manusia membuat makna tentang dirinya, orang lain, dan pengalaman yang mereka alami selama hidup mereka (Ignelzi, 2000). Manusia sebenarnya tidak melihat dunia sebagai mana adanya dunia, manusia melihat dunia melalui fenomena yang bermakna (Peterson, 2013). Manusia kemudian selalu berusaha untuk menciptakan realitas mereka sendiri, hal inilah yang kemudian disebut dengan pembentukan makna (Ignelzi, 2000). Sebuah makna tidak terbentuk semata-mata karena suatu kejadian itu (Ignelzi, 2000). Namun, makna dibentuk dari interaksi antara suatu kejadian atau peristiwa dan reaksi individu terhadapnya (Ignelzi, 2000). Oleh sebab itu suatu kejadian yang sama persis bisa saja dimaknai berbeda tergantung dengan reaksi individu yang mengalaminya. Kegan menyatakan bahwa proses pembentukan makna meliputi berbagai perubahan yang dialami individu selama hidup mereka yang berkaitan dengan bagaimana mereka memahami pengalaman, pengetahuan, orang lain, dan diri mereka sendiri (Ignelzi, 2000).

(33)

22

Kunci dari pembuatan makna adalah diri individu sendiri, bersama dengan orang lain dan sumber yang ada di lingkungannya (Ignelzi, 2000). Pandangan individu terhadap dirinya adalah perpaduan antara harapan, teori, dan gagasan orang lain terhadap dirinya (Ignelzi, 2000). Harapan tersebut kemudian terintegrasi ke dalam cara seseorang berpikir tentang dirinya sendiri (Ignelzi, 2000). Kemudian, individu akan menginternalisasi berbagai sudut pandang, merefleksikannya, dan kemudian membuat konstruksinya menjadi menjadi teori baru tentang dirinya (Ignelzi, 2000). Jadi, pembuatan makna individu dipengaruhi tapi tidak ditentukan oleh sumber eksternal (Ignelzi, 2000).

Manusia secara kognitif dan emosional selalu berusaha untuk beradaptasi dengan stressor dalam hidup mereka (Silver & Updegraff, 2013). Hal ini kemudian menyebabkan segala stres dan trauma yang individu alami berpengaruh pada cara seseorang memahami diri dan dunia mereka (Silver & Updegraff, 2013). Oleh sebab itu, segala pengalaman yang individu alami memiliki pengaruh kepada caranya memandang dunia atau bagaimana individu tersebut membuat makna tentang segala suatu hal. Hal ini juga berlaku pada cara seseorang memaknai pemaafan.

Selain itu, ketika individu mengalami suatu pengalaman yang traumatis baginya, individu tersebut akan mencoba mencari makna (Janoff-Bulman, 1992). Pencarian makna dilakukan dengan mencari jawaban mengenai makna dari kejadian yang mereka alami, mengapa kejadian ini terjadi pada diri mereka, dan bagaimana kejadian ini memengaruhi hidupnya (Janoff-Bulman, 1992). Hal ini merupakan upaya yang dilakukan untuk mengatasi ketidakkonsistenan

(34)

23

antara keyakinan yang mereka pegang sebelumnya dengan kondisi saat ini (Janoff-Bulman, 1992). Oleh sebab itu, pemaknaan seseorang terhadap pemaafan bisa saja berubah sebelum dan setelah dirinya mengalami IPV. C. Kekerasan dalam Berpacaran (Intimate Partner Violence)

1. Definisi Intimate Partner Violence

World Health Organization (2006) mendefinisikan IPV sebagai semua perilaku dalam hubungan intim yang menyebabkan kerugian secara fisik, psikologis, dan seksual. Centers for Disease Control and Prevention mendefinisikan IPV sebagai perilaku mengancam, berusaha, atau melakukan kekerasan fisik, seksual, atau emosional yang dilakukan oleh pasangan intim saat ini atau sebelumnya (Davidson dkk., 2015). Kemudian, Offenhauer dan Buchalter (2011) menyatakan bahwa IPV merupakan rangkaian tindakan mengontrol atau dominasi yang menyebabkan berbagai tingkat kerugian. Istilah IPV biasanya diartikan sebagai kekerasan dalam rumah tangga (Tuller & Raghavan, 2010). Namun, istilah “pasangan intim” dalam IPV tidak hanya mengacu pada hubungan pernikahan tapi juga pacar, pasangan kencan, dan pasangan seksual (Centers for Disease Control and Prevention, 2019; Tuller & Raghayan, 2010). Jadi, intimate partner violence atau kekerasan oleh pasangan intim adalah semua bentuk tingkah laku dalam sebuah hubungan (pernikahan, pasangan kencan, pacar, dan pasangan seksual) yang menyebabkan kerugian dalam bentuk fisik, psikologis, maupun seksual.

(35)

24 2. Tipe Intimate Partner Violence

World Health Organization (2006) mengategorikan IPV menjadi empat bentuk perilaku yaitu kekerasan fisik, kekerasan seksual, kekerasan emosional atau psikologis, dan perilaku mengontrol.

a) Kekerasan fisik biasanya berupa menampar, memukul, mendorong, menjambak rambut, menendang, dan menghajar (Badan Pusat Statistik, 2017; World Health Organization, 2006).

b) Kekerasan seksual, berupa perilaku seperti berkomentar atau mengirim pesan bernada seksual, menyentuh atau meraba tubuh, memperlihatkan gambar seksual, memaksa berhubungan seksual, dan bentuk-bentuk pemaksaan seksual lainnya (Badan Pusat Statistik, 2017; World Health Organization, 2006).

c) Kekerasan emosional atau psikologis biasanya berupa penghinaan, meremehkan pasangan, penghinaan terus-menerus, mengintimidasi, dan mengancam untuk menyakiti pasangannya (World Health Organization, 2006; Offenhauer & Buchalter, 2011).

d) Perilaku mengontrol, merupakan perilaku yang efeknya merusak kepercayaan diri dan kemandirian pasangan, misalnya, berusaha mengisolasi pasangan dari keluarga, teman, atau dukungan sosial lainnya, memonitor pergerakan mereka atau stalking, membatasi akses ke sumber daya keuangan, pekerjaan, pendidikan, atau perawatan medis (World Health Organization, 2006; Offenhauer & Buchalter, 2011).

(36)

25

Berbeda dengan WHO, Offenhauer dan Buchalter (2011) mengategorikan IPV menjadi tiga bentuk perilaku yaitu fisik, seksual, dan psikologis. IPV yang berbentuk kekerasan psikologis menurut Offenhauer dan Buchalter (2011) adalah gabungan dari kekerasan verbal, emosional, psikologis, dan tindakan mengontrol.

3. Dampak Intimate Partner Violence

Intimate partner violence memberi banyak dampak negatif dalam hidup korbannya. Perempuan yang pernah atau sedang mengalami IPV cenderung memiliki risiko untuk mengalami masalah fisik maupun psikologis. Campbell (2002) menyebutkan bahwa IPV memiliki dampak jangka panjang yang negatif bagi korban bahkan setelah mereka lepas dari IPV. Hal ini dapat dilihat dari buruknya kualitas kesehatan, buruknya kualitas hidup, dan penggunaan layanan kesehatan yang tinggi pada korban IPV (Campbell, 2002). Perempuan korban IPV biasanya lebih cenderung mengalami cedera di kepala, wajah, leher, dada, payudara, dan perut (Campbell, 2002). Berdasarkan data yang dirangkum oleh World Health Organization (2002) perempuan yang mengalami IPV cenderung mengalami masalah kesehatan seperti cedera pada perut atau dada, memar dan bekas luka, sindrom nyeri kronis, cacat, fibromialgia, patah tulang, gangguan pencernaan, sindrom iritasi usus, laserasi dan lecet, kerusakan mata, dan penurunan fungsi fisik. Selain itu, perempuan korban IPV jenis kekerasan seksual biasanya cenderung memiliki masalah ginekologis (Campbell, 2002; World Health Organization, 2013). Masalah ini dapat

(37)

26

berupa besarnya risiko mengalami penyakit menular seksual, pendarahan atau infeksi vagina, fibroid, penurunan hasrat seksual, iritasi genital, nyeri, dan infeksi saluran kemih (Campbell, 2002).

Selain masalah fisik, IPV juga memberi dampak negatif pada psikologis korbannya. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Callahan dkk. (2003) menunjukkan bahwa korban IPV cenderung memiliki kesejahteraan psikologi yang lebih rendah dibandingkan yang tidak. Korban IPV cenderung mengalami masalah psikologis seperti gangguan stres pasca trauma, masalah disosiasi, depresi, gangguan makan, gangguan kecemasan, dan kecenderungan bunuh (World Health Organization, 2013; Callahan dkk., 2003; Escriba-Aguir dkk., 2010). Selain itu, korban IPV juga cenderung lebih berisiko dalam penggunaan obat-obatan psikotropika, alkohol, dan rokok (World Health Organization, 2010; Escriba-Aguir dkk., 2010). Perempuan yang mengalami IPV sering mengalami masalah emosional yang signifikan seperti perasaan marah dan permusuhan terhadap pelaku (Rye & Pargament, 2002).

D. Teori Perkembangan pada Dewasa Awal

Masa dewasa awal merupakan suatu masa transisi individu dari remaja menuju dewasa (Santrock, 2011). Masa transisi ini termasuk juga transisi dalam kognitif, fisik, dan sosial (Santrock, 2011). Hurlock (1986) menyebutkan bahwa tahap dewasa awal dimulai pada saat individu memasuki usia 18 tahun hingga kira-kira usia 40 tahun. Arnett (2010, dalam Santrock, 2011) mendeskripsikan bahwa orang-orang yang beranjak dewasa atau berada dalam tahap dewasa awal

(38)

27

memiliki 5 ciri-ciri, yaitu eksplorasi identitas, ketidakstabilan, fokus pada diri sendiri, perasaan antara remaja dan dewasa, dan peluang untuk mengubah hidup. Pada tahap ini individu akan mulai untuk mengeksplorasi identitasnya dan merasa hidupnya tidak stabil, terutama dalam relasi romantis dan pekerjaan.

Berdasarkan tahap perkembangan Erikson, tahap dewasa awal adalah tahap di mana individu memasuki krisis keintiman versus keterasingan (Feist & Feist, 2010). Keintiman adalah kemampuan untuk meleburkan identitas seseorang dengan orang lain tanpa ketakutan akan kehilangan identitas tersebut (Feist & Feist, 2010). Oleh sebab itu, keintiman hanya dapat terjadi apabila seseorang sudah menemukan jati dirinya. Jika seseorang gagal mengembangkan relasi yang intim di masa dewasa awal maka ia akan mengalami isolasi atau keterasingan (Santrock, 2011). Jika seseorang berhasil menghadapi krisis keintiman versus keterasingan orang tersebut dan mendapatkan kekuatan dasar perkembangan berupa cinta (Feist & Feist, 2010). Walaupun cinta mencakup keintiman, cinta juga memerlukan keterasingan dalam tingkat tertentu karena masing-masing individu perlu untuk mempertahankan identitas pribadinya. Jadi, pada masa dewasa awal individu yang telah menemukan identitas dirinya mulai mengeksplorasi relasi romantis dengan mengembangkan relasi yang intim. Jika mereka berhasil mereka akan memperoleh cinta.

E. Makna pemaafan pada Korban Intimate Partner Violence

Intimate partner violence atau kekerasan dalam pacaran merupakan perilaku dalam hubungan intim yang menyebabkan kerugian secara fisik, psikologis, dan seksual (World Health Organization, 2006). IPV memiliki

(39)

28

banyak dampak negatif pada kondisi psikologis korbannya. Perempuan yang mengalami IPV sering mengalami masalah emosional yang signifikan seperti memendam perasaan marah dan permusuhan terhadap pelaku (Rye & Pargament, 2002).

Rasa marah memang dapat memiliki fungsi adaptif, seperti membantu korban melepaskan diri dari IPV dan meningkatkan perasaan kontrol pada korban (Rye & Pargament, 2002). Namun, rasa marah juga dapat menjadi maladaptif karena dapat mengganggu fungsi fisik (Barefoot, Dahlstrom, & Williams, 1983 dalam Rye & Pargament, 2002). Selain itu, korban IPV cenderung memiliki kesejahteraan psikologis yang rendah. Hal ini ditandai dengan banyaknya masalah psikologis pada korban IPV, seperti gangguan stres pasca trauma, masalah disosiasi, depresi, gangguan makan, gangguan kecemasan, kecenderungan bunuh diri, dan penggunaan obat-obatan psikotropika, alkohol, dan rokok (World Health Organization, 2013; Callahan dkk., 2003; Escriba-Aguir dkk., 2010). Jadi, berdasarkan masalah-masalah psikologis yang dialami perempuan korban IPV peneliti menyimpulkan bahwa IPV dapat dianggap sebagai pengalaman traumatis.

Silver dan Updegraff (2013) menuliskan bahwa setiap pengalaman traumatis yang seseorang alami dalam hidupnya memiliki potensi untuk mengubah ekspektasi seseorang tentang hidup dan dunia. Makna suatu pengalaman terbentuk dari interaksi antara suatu kejadian dan reaksi individu terhadapnya (Ignelzi, 2000). Pengalaman korban yang mengalami IPV serta respons mereka terhadap pengalaman itu kemudian mengubah ekspektasi

(40)

29

mereka tentang hidup dan dunia. Hal ini berarti pemaknaan korban tentang hidup dan dunia dapat saja berubah setelah mengalami IPV. Pengalaman mengalami IPV juga akhirnya memengaruhi pemaknaan korban tentang pemaafan. Hal ini dikarenakan untuk mengatasi dampak-dampak negatif yang disebabkan oleh IPV diperlukan sifat dan emosi yang positif (Davidson dkk., 2015). Salah satu sifat dan emosi yang positif adalah pemaafan atau pemaafan (Davidson dkk., 2015). Maka makna pemaafan korban IPV menjadi penting.

Davidson dkk. (2015) menyatakan bahwa sifat-sifat yang positif seperti pemaafan dapat memudahkan pengalaman emosional yang positif untuk membangun resiliensi dan penahan untuk melawan psikopatologi dan simtom distres. Penelitian yang telah dilakukan juga menunjukkan bahwa intervensi dengan pemaafan dapat meningkatkan kesejahteraan psikologis (Rye & Pargament, 2002), dimana menurunnya kesejahteraan psikologis merupakan dampak negatif dari IPV. Tsang dan Stanford (2006) juga menuliskan bahwa pemaafan dapat memiliki efek self-healing pada korban IPV. Pemaafan juga dapat membantu meredam rasa bersalah, marah, cemas, dan ketakutan pada korban IPV (Davidson dkk., 2015). Mendukung hal ini Thompson dkk. (2005) juga menuliskan bahwa pemaafan mengarah pada gaya hidup yang lebih sehat, tingginya kepercayaan diri, berkurangnya depresi dan kecemasan, serta meningkatnya harapan.

(41)

30 F. Skema

Gambar 1.

(42)

31 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang akan digunakan pada penelitian adalah metode penelitian kualitatif. Smith dan Davis (2010) mendefinisikan metode penelitian kualitatif sebagai metode penelitian yang dilakukan dalam kondisi alami dan bertujuan untuk memahami perilaku manusia yang kompleks. Metode penelitian kualitatif cenderung sangat peduli dengan makna, artinya metode ini peduli tentang bagaimana manusia memberi makna pada dunia dan pengalaman yang mereka alami (Willig, 2008). Metode ini juga cenderung mempelajari tentang makna yang partisipan buat terkait sebuah peristiwa (Willig, 2008).

Kemudian, model penelitian kualitatif yang akan digunakan adalah analisis tematik atau thematic analysis. Analisis tematik adalah metode yang digunakan untuk mengidentifikasi, menganalisis, dan melaporkan pola atau tema yang muncul dalam data yang dimiliki (Braun & Clarke, 2006). Pola atau tema yang terdapat dalam data dapat diidentifikasi dengan menggunakan salah satu dari dua cara, yaitu cara induktif dan deduktif (Braun & Clarke, 2006). Salah satu kelebihan dari analisis tematik adalah fleksibilitasnya, di mana metode ini dapat digunakan pada hampir semua jenis pertanyaan penelitian dan menganalisis semua jenis data (Braun & Clarke, 2013).

(43)

32 B. Fokus Penelitian

Fokus utama dari penelitian adalah untuk mengetahui tentang pemaknaan pemaafan menurut perempuan yang pernah mengalami intimate partner violence (IPV) atau kekerasan yang dilakukan oleh pasangan intim, terutama dalam hubungan pacaran. Penelitian ini ingin melihat bagaimana perempuan yang pernah mengalami IPV memaknai pemaafan berdasarkan pengalaman mereka mengalami IPV. Hal ini juga melibatkan tentang bentuk pemaafan yang dimiliki oleh perempuan yang pernah mengalami IPV.

C. Partisipan Penelitian

Partisipan dalam penelitian ini dipilih dengan teknik purposive sampling. Arikunto (2006) menuliskan bahwa teknik purposive sampling adalah teknik yang digunakan untuk mengambil sampel berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang berfokus pada tujuan tertentu. Artinya, peneliti memilih partisipan dengan ciri-ciri tertentu yang sesuai dengan tujuan penelitian yang telah ditetapkan sebelumnya. Partisipan dalam penelitian ini nantinya berjumlah tiga orang yang memiliki karakteristik tertentu. Hal ini dikarenakan dalam penelitian kualitatif banyaknya partisipan tidak terlalu berpengaruh, melainkan lebih ditekankan pada kedalaman data yang didapat (Herdiansyah, 2015).

Partisipan dalam penelitian ini merupakan perempuan yang pernah mengalami intimate partner violence (IPV) atau kekerasan dalam berpacaran. Intimate partner violence (IPV) adalah semua perilaku dalam hubungan intim yang menyebabkan kerugian secara fisik, psikologis, dan seksual (WHO, 2006).

(44)

33

Tidak ada klasifikasi khusus tentang tipe kekerasan yang partisipan alami. Jadi, partisipan dalam penelitian ini bisa saja mengalami IPV tipe kekerasan seksual, kekerasan fisik, maupun kekerasan psikologi dan perilaku mengontrol. Partisipan juga merupakan perempuan yang sedang berada dalam tahap dewasa awal. Hal ini dikarenakan pada tahap ini individu akan mulai untuk mengeksplorasi identitasnya terutama dalam relasi romantis dan pekerjaan (Arnett, 2010 dalam Santrock, 2011). Menurut Hurlock (1986) tahap dewasa awal dimulai pada saat individu memasuki usia 18 tahun hingga kira-kira usia 40 tahun.

D. Peran Peneliti

Dalam penelitian kualitatif, peneliti merupakan instrumen paling penting. Hal ini dikarenakan peneliti harus berada di lapangan untuk melakukan kontak dengan partisipan dalam jangka waktu yang cukup lama (Supratiknya, 2015). Kemudian, peneliti juga harus menafsirkan hasil penelitian yang didapatkan (Supratiknya, 2015).

Dalam melakukan penelitian ini, peneliti mencari partisipan sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya. Hal ini dilakukan dengan menyebar poster pencarian partisipan. Di dalam poster peneliti menyertakan kriteria partisipan yang dibutuhkan dan kontak peneliti. Poster ini kemudian peneliti sebar di media sosial. Setelah mendapat partisipan yang sesuai dengan kriteria penelitian, peneliti akan mulai melakukan pendekatan dengan partisipan. Pendekatan ini dilakukan dengan usaha dari peneliti untuk menjalani hubungan seperti teman dengan partisipan. Pendekatan ini dilakukan agar terjalin

(45)

34

hubungan yang baik antara partisipan dan peneliti sehingga partisipan dapat lebih terbuka dan nyaman ketika bercerita kepada peneliti ketika tahap wawancara.

E. Refleksivitas Peneliti

Pengalaman mengalami kekerasan dalam hubungan pacaran bukan merupakan pengalaman yang menyenangkan. Bahkan untuk beberapa orang, peneliti menyadari bahwa pengalaman ini dapat dianggap sebagai suatu pengalaman traumatis yang ingin mereka lupakan. Hal ini kemudian membuat topik ini menjadi cukup sensitif bagi beberapa orang. Mengingat kekerasan yang dialami mungkin saja menggali luka lama bagi partisipan, sehingga ada kemungkinan bahwa selama wawancara partisipan tiba-tiba menangis. Oleh sebab itu, ketika wawancara peneliti perlu berhati-hati ketika menanyakan pengalaman partisipan. Selain itu, peneliti juga perlu mengobservasi gerak-gerik partisipan untuk melihat apakah partisipan merasa tidak nyaman atau ragu-ragu. Peneliti perlu untuk menghentikan wawancara ketika peneliti merasa bahwa partisipan mulai tampak tidak nyaman. Kemudian, sebelum wawancara dimulai peneliti juga perlu mengingatkan partisipan bahwa mereka dapat menghentikan wawancara jika mereka merasa tidak nyaman.

Selain itu, peneliti menyadari bahwa peneliti juga merupakan seorang perempuan dan cukup sensitif dengan masalah kesetaraan gender dan budaya patriarki di masyarakat. Hal ini mungkin membuat peneliti terlalu berpihak pada salah satu sisi sehingga dapat menyebabkan bias pada penelitian. Kemudian, peneliti juga memiliki pendapat-pendapat pribadi mengenai topik

(46)

35

yang sedang diteliti, yang mungkin bertolak belakang dengan pendapat partisipan. Sehingga hal ini mungkin dapat memengaruhi hasil penelitian. Oleh sebab itu, peneliti perlu melakukan beberapa hal untuk memastikan kredibilitas penelitian seperti 35akum checking, 35ak debrief, dan bias.

F. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode wawancara. Metode wawancara merupakan metode yang dilakukan untuk memahami orang lain dengan mendegarkan dan berbicara dengan orang tersebut (Hugh-Jones, 2010). Kemudian, Stewart dan Cash (dalam Herdiansyah, 2015) menyebutkan bahwa metode wawancara merupakan komunikasi dua arah yang terdiri dari pertukaran aturan, tanggung jawab, perasaan, kepercayaan, motif, dan informasi.

Selain itu, jenis wawancara yang akan dilakukan adalah wawancara semi terstruktur. Wawancara semi terstruktur berisi pertanyaan-pertanyaan terbuka dan fleksibel namun tetap dipandu oleh tema penelitian. Hal ini kemudian membuat jenis wawancara semi terstruktur ini memberi kesempatan bagi peneliti untuk mendengar cerita partisipan mengenai pengalaman tertentu dalam hidupnya dengan bebas (Willig, 2008). Jadi, pertanyaan yang diberikan oleh peneliti hanya berfungsi sebagai pemicu cerita dari partisipan (Willig, 2008). Tabel 1 Panduan wawancara Topik Pertanyaan Latar belakang demografis

1. Identitas partisipan (Nama, usia, tempat tinggal, asal wilayah, pekerjaan)

(47)

36

2. Bagaimana status hubungan anda saat ini? Latar belakang

hubungan

3. Bagaimana cerita pertama kali bertemu dengan pelaku?

4. Bagaimana akhirnya mulai menjalin hubungan dengan pelaku?

Pengalaman mengalami IPV

5. Bagaimana bentuk kekerasan yang kamu alami? (fisik,

emosional, psikologis, atau seksual)

6. Bagaimana kamu mulai sadar kalau kamu sedang

mengalami kekerasan dalam pacaran?

- Tanda-tanda seperti apa yang kamu sadari? - Berapa lama hingga kamu sadar kalau kamu

sedang mengalami kekerasan dalam pacaran?

7. Apa yang kamu lakukan setelah sadar kalau kamu sedang

mengalami kekerasan dalam pacaran?

8. Bagaimana respons pelaku terhadap tindakanmu?

Pemaafan 9. Menurut kamu, pemaafan itu apa?

- Apa makna pemaafan menurutmu?

- Bagaimana ciri-ciri pemaafan menurutmu?

10. Berdasarkan makna pemaafanmu, apakah kamu sudah

pemaafan pelaku? a

11. Mengapa kamu memutuskan untuk pemaafan pelaku?

12. Apakah kamu menunjukkan kepada pelaku bahwa kamu sudah pemaafannya?

13. Apa pertimbanganmu sehingga kamu memutuskan untuk tidak pemaafan pelaku?

14. Apakah kamu punya rencana untuk pemaafan pelaku di masa depan?

Hubungan saat ini

15.Bagaimana hubunganmu saat ini dengan pelaku? - Apakah masih melakukan kontak dengan pelaku? a Jika YA, lanjutkan ke nomor 11, 12, lalu 15

Jika TIDAK, lanjutkan ke nomor 13, 14, lalu 15 G. Prosedur Pengumpulan Data

Partisipan dalam penelitian ini merupakan 4 orang perempuan yang pernah mengalami kekerasan dalam pacaran. Partisipan ini dipilih dengan menggunakan teknik purposive sampling. Peneliti menyebarkan poster untuk mencari partisipan dengan ciri-ciri yang sesuai dengan tujuan penelitian. Di

(48)

37

dalam poster peneliti mencantumkan nomor telepon serta media sosial peneliti. Peneliti kemudian mendapat beberapa balasan kesediaan untuk menjadi partisipan. Peneliti awalnya mendapat 37akum3737 dari tujuh calon partisipan, namun setelah seleksi kembali hanya empat calon yang memenuhi syarat untuk menjadi partisipan.

Peneliti kemudian memastikan kembali kesediaan partisipan untuk berpartisipasi dalam penelitian ini dengan menjelaskan lebih detil tujuan dan prosedur penelitian. Peneliti juga memastikan kesediaan partisipan untuk menggunakan alat perekam selama wawancara dilakukan. Setelah mendapat persetujuan partisipan, peneliti dan partisipan berdiskusi mengenai waktu yang sesuai untuk dilaksanakannya wawancara.

H. Metode Analisis Data

Metode analisis data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis tematik cara induktif. Tujuan analisis tematik adalah untuk menemukan dan menganalisis pola atau tema yang muncul dalam data (Braun & Clarke, 2006). Kemudian, analisis induktif adalah suatu proses coding data tanpa berusaha menyesuaikannya dengan kerangka coding yang sudah ada sebelumnya, ataupun pandangan pribadi yang peneliti miliki (Braun & Clarke, 2006). Jadi, tema diidentifikasikan berdasarkan data yang telah diperoleh itu sendiri. Berikut adalah tahapan melakukan analis tematik cara induktif yang dilakukan dalam penelitian ini:

1. Mengenali data. Tahap pertama dalam menganalisis data adalah melakukan transkrip data dari hasil wawancara. Setelah transkrip data selesai peneliti

(49)

38

mulai membaca data berkali-kali dan menandai data-data yang dianggap penting.

2. Menyusun kode atau koding. Setelah menandai data-data yang dianggap penting, tahap selanjutnya adalah melakukan descriptive coding, Dalam tahap ini data dikelompokkan menjadi chunk verbatim yang mirip. Setelah melakukan descriptive coding, tahap selanjutnya adalah melakukan analytical coding. Tahap ini adalah tahap untuk memberi nama pada setiap kelompok chunk tadi.

3. Mencari tema. Ketika semua chunk verbatim sudah diberi nama, tahap selanjutnya adalah mengelompokkan nama-nama tadi menjadi tema-tema. Tema-tema yang muncul tadi kemudian dikelompokkan kembali dengan tema-tema yang mirip.

4. Hasil penelitian. Tema-tema yang telah dikelompokkan menjadi kelompok besar akhirnya menjadi temuan penelitian.

I. Kualitas Penelitian

Kualitas sebuah penelitian merupakan suatu hal yang sangat penting ketika melalukan suatu penelitian. Kualitas dari sebuah penelitian kualitatif dalam dilihat dari reliabilitas dan validitas penelitian tersebut. Supratiknya (2015) menyatakan bahwa reliabilitas kualitatif adalah sejauh mana pendekatan yang digunakan oleh peneliti sesuai dengan apa yang digunakan peneliti lain pada penelitian-penelitian sebelumnya. Sedangkan, validitas kualitatif adalah sejauh mana peneliti memeriksa keakuratan temuan-temuannya dengan melalui prosedur tertentu (Supratiknya, 2015).

(50)

39

Pada penelitian ini, validitas penelitian dapat dilakukan dengan menggunakan metode member checking dan peer briefing. Member checking atau pengecekan kembali pada partisipan dilakukan untuk memastikan bahwa temuan-temuan yang berupa tema-tema akurat (Supratiknya, 2015), artinya peneliti memastikan sejauh mana analisis data dapat disetujui atau dirasa tepat bagi partisipan. Member checking juga dilakukan untuk memberi kesempatan kepada partisipan untuk memberikan umpan balik. Kemudian, peneliti akan melakukan peer briefing atau review oleh sejawat. Peneliti akan meminta seorang sejawat untuk melakukan review dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kritis tentang penelitian. Selain itu, peneliti juga mencantumkan uraian mengenai kemungkinan bias-bias yang peneliti bawa dalam penelitian ini dalam bentuk refleksi-diri jujur (Supratiknya, 2015).

(51)

40 BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pelaksanaan Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai April 2020. Sebelum memulai penelitian, peneliti mencari partisipan yang memenuhi kriteria. Peneliti membuat poster yang berisi kriteria partisipan serta kontak peneliti, dengan tujuan agar orang-orang yang memenuhi kriteria dan bersedia untuk menjadi partisipan dapat menghubungi peneliti. Poster tadi kemudian peneliti sebar melalui media sosial. Sebanyak tujuh orang menghubungi peneliti dan menyatakan kesediaannya untuk berpartisipasi. Namun, setelah peneliti seleksi kembali, tiga dari tujuh calon partisipan tadi tidak memenuhi kriteria yang dibutuhkan sehingga penelitian dilanjutkan dengan empat orang partisipan. Setelah kembali memastikan kepada partisipan tentang kesediaan partisipan untuk mengikuti penelitian, peneliti kemudian mulai melakukan pendekatan dengan partisipan.

Pengambilan data dalam penelitian ini dilakukan dengan metode wawancara semi-terstruktur. Pada saat penelitian ini dilakukan sedang terjadi pandemi COVID-19 (Corona Virus Disease). COVID-19 adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus korona terbaru World Health Organization, 2020). Virus dan penyakit baru ini tidak diketahui sebelum wabah dimulai di Wuhan, Cina, pada bulan Desember 2019 (World Health Organization, 2020). Penyakit ini dapat menyebar dari orang ke orang melalui tetesan kecil dari

(52)

41

hidung atau mulut yang menyebar ketika seseorang dengan COVID-19 batuk atau membuang napas (World Health Organization, 2020). Dikarenakan penyebaran virus yang cepat dan berbahaya, masyarakat disarankan untuk menghindari kontak fisik atau melakukan social distancing (World Health Organization, 2020). Melihat keadaan yang tidak mendukung dan kurang berkenannya beberapa partisipan untuk untuk melakukan wawancara secara langsung, peneliti memutuskan untuk melakukan wawancara melalui sarana internet atau wawancara daring pada partisipan yang tidak bersedia melakukan wawancara secara langsung. Namun, tetap melakukan wawancara langsung pada partisipan yang bersedia.

Mann dan Steward (dalam Jowett dkk., 2011) mengobservasi bahwa penelitian kualitatif yang menggunakan internet sebagai sarana penelitian biasanya meneliti topik yang berkaitan dengan internet dan kegunaannya. Namun, kini kelebihan internet semakin jelas, sehingga internet tidak hanya dimanfaatkan sebagai alat untuk penelitian perilaku daring tetapi juga untuk meneliti perilaku dan pengalaman manusia secara umum (Jowett dkk., 2011). Wawancara daring dibagi menjadi dua jenis yaitu asynchronous dan synchronous (Jowett dkk., 2011). Jenis wawancara asynchronous tidak mengharuskan partisipan dan peneliti untuk menggunakan internet di waktu yang sama dan biasanya menggunakan email (Jowett dkk., 2011). Sedangkan jenis wawancara synchronous melibatkan kedua pihak untuk aktif secara bersamaan, dan melakukan percakapan secara langsung menggunakan berbagai bentuk dari 41ak atau pesan instan (Jowett dkk., 2011).

(53)

42

Wawancara daring memiliki kelebihan yang dapat mengatasi masalah yang terjadi dengan metode wawancara konvensional (Jowett dkk., 2011). Wawancara daring memiliki kemampuan untuk mengatasi masalah jarak geografi, waktu, dan biaya yang dihabiskan untuk menemui partisipan jika menggunakan metode tatap muka (Jowett dkk., 2011). Selain itu, metode ini juga memberikan partisipan tingkat anonimitas yang lebih tinggi (Jowett dkk., 2011). Kemudian, metode ini juga membantu dalam menghemat waktu dan biaya yang dikeluarkan untuk melakukan verbatim, serta mengurangi bias yang mungkin terjadi selama melakukan verbatim (Jowett dkk., 2011).

Namun, wawancara secara daring juga memiliki beberapa kekurangan seperti partisipan harus memiliki akses internet dan teknologi yang kompeten, kurangnya kualitas audiovisual seperti ekspresi wajah dan nada suara, lebih berpotensial untuk terjadinya ambiguitas dan kesalahpahaman, peneliti memiliki kontrol yang lebih kecil atau bahkan tidak sadar terhadap gangguan dari luar, serta mengurangi respons yang impulsif, karena melalui pesan partisipan memiliki waktu untuk memikirkan dan merancang jawabannya (Jowett dkk., 2011).

Penelitian ini akan menggunakan jenis wawancara daring jenis synchronous menggunakan aplikasi pesan instan WhatsApp. Wawancara dilakukan dengan metode panggilan video atau video call. Metode ini mampu mengatasi kekurangan wawancara daring seperti kurangnya kualitas audiovisual karena dengan panggilan video peneliti dapat melihat ekspresi wajah serta mendengar suara partisipan dengan baik. Kemudian, metode ini juga tidak mengurangi

Gambar

Gambar 1.  Skema kerangka konseptual  ................................................................

Referensi

Dokumen terkait

STUDI KASUS MENGENAI CINTA PADA PEREMPUAN EMERGING ADULT KORBAN KEKERASAN DALAM PACARAN YANG

perlindungan hukum terhadap perempuan atas kekerasan fisik dalam masa. pacaran di

Mengapa orang yang memiliki harga diri rendah rentan mengalami kekerasan dalam pacaran, karena orang-orang dengan harga diri rendah cenderung ketika dirinya

untuk menyelesaikan tugas skripsi dengan judul "Perbedaan lntensitas Mengalami Kekerasan Dalam Pacaran Pada Remaja Putri Ditinjau Dari Peran Seksual" di lingkungan

Selain itu, jike melihat penjelasan Schaffer, maka perempuan korban kekerasan dalam pacaran sesungguhnya juga jika dihubungkan dengan sistem patriarki yang berkembang di tengah

Pelatihan empati yang diberikan kepada mahasiswa yang menjadi korban kekerasan dalam hubungan pacaran diharapkan dapat memberikan dampak yang positif terhadap

Saat ditanyakan apakah topik mengenai penanganan korban kekerasan terhadap perempuan dapat menjadi pembahasan khusus di sidang gereja, semua informan memiliki sikap yang

Pada kategori ‘sering’ yakni pernah mengalami kekerasan lebih dari 6 kali selama pacaran, proporsi jenis kekerasan terbanyak yang dialami responden laki- laki adalah