• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. membutuhkan jasa dari para pekerja dan pekerja mengharapkan upah dari

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. membutuhkan jasa dari para pekerja dan pekerja mengharapkan upah dari"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

1

A. Latar Belakang

Perekonomian di Indonesia saat ini berkembang secara pesat. Perusahaan-perusahaan bermunculan dan bersaing secara ketat di pasar global. Perusahaan-perusahaan berupaya semaksimal mungkin untuk meningkatkan keuntungan dengan cara yang efisien. Pengusaha harus mampu berbiaya produksi rendah untuk meningkatkan daya saingnya di pasar global.

Perusahaan memiliki dua unsur yakni unsur pengusaha dan unsur pekerja. Keduanya tidak dapat lepas dan saling membutuhkan. Pengusaha membutuhkan jasa dari para pekerja dan pekerja mengharapkan upah dari pengusaha. Biaya produksi rendah yang ingin dicapai oleh perusahaan terkadang mengakibatkan ditekannya hak-hak pekerja. Pekerja tidak diletakkan sebagai faktor utama dalam proses ekonomi, melainkan hanya dianggap sebagai salah satu unsur dari proses produksi.

Kepentingan yang berbeda antara pengusaha dengan pekerja terkadang menjadi sumber konflik atau perselisihan. Perselisihan seringkali terjadi karena pengusaha hanya memandang pekerja sebagai faktor produksi semata. Pekerja di sisi lain juga tidak memiliki sense of belonging atau rasa memiliki terhadap perusahaan dimana pekerja bekerja. Pekerja cenderung ingin mendapatkan upah yang besar tanpa harus bekerja keras.

(2)

Perselisihan antara pekerja dengan pengusaha dapat disebut sebagai perselisihan hubungan industrial. Perselisihan hubungan industrial menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004) adalah:

“Perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja atau serikat pekerja karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja dalam satu perusahaan”.

Perselisihan hubungan industrial kadang kala diikuti dengan tindakan mogok kerja. Pekerja secara bersama-sama atau serikat pekerja maupun pengusaha dapat melakukan “tindakan” dalam hal terjadi perselisihan hubungan industrial. “Tindakan” yang dilakukan pengusaha dapat berupa penutupan perusahaan (lock out) dan “tindakan” yang dilakukan oleh serikat pekerja atau pekerja secara kolektif dapat berupa mogok kerja (strike).1

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan (Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003) dalam Pasal 1 Angka 23 mengartikan mogok kerja adalah: “Tindakan pekerja yang direncanakan dan dilaksanakan secara bersama-sama dan/atau oleh serikat pekerja untuk menghentikan atau memperlambat pekerjaan”. Perselisihan hubungan

1

Ari Hernawan (a), 2013, Ketidakadilan dalam Norma dan Praktik Mogok Kerja di Indonesia, Udayana University Press, Bali, hlm. 2

(3)

industrial yang diikuti oleh mogok kerja dapat disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut:2

1. Belum terlaksananya hubungan kemitraan di tempat kerja. Sikap pengusaha memandang pekerja hanya sebagai faktor produksi serta hanya berorientasi mencari keuntungan semata. Penyebab lainnya adalah kurangnya rasa memiliki (sense of belonging) dari pekerja terhadap perusahaan dimana pekerja bekerja. Pekerja cenderung untuk mendapatkan upah yang besar tanpa harus bekerja keras. 2. Kegagalan perundingan yang dilakukan oleh para pihak dalam

menyelesaikan perselisihan perburuhan yang terjadi sebagai akibat ketiadaan hubungan komunikasi yang baik dan efektif. Penyebabnya adalah belum adanya lembaga-lembaga yang berfungsi sebagai forum komunikasi dimana partisipasi kaum pekerja dapat dilaksanakan.

3. Lamanya proses penyelesaian perselisihan perburuhan.

Pasal 137 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 menyebutkan bahwa mogok kerja adalah: “Hak dasar pekerja dan serikat pekerja dilakukan secara sah, tertib dan damai sebagai akibat dari gagalnya perundingan”. Sah berarti mengikuti prosedur yang diatur dalam undang-undang. Tertib dan damai berarti tidak mengganggu keamanan dan ketertiban umum dan tidak mengancam keselamatan jiwa dan harta benda milik perusahaan, pengusaha atau masyarakat.

Pasal 3 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Nomor Kep 232/Men/2003 tentang Akibat Hukum Mogok Kerja yang Tidak Sah (Kepmenakertrans Nomor 232 Tahun 2003) menyebutkan bahwa mogok kerja tidak sah apabila dilakukan :

1. bukan akibat gagalnya perundingan; dan/atau

2

Aloysius Uwiyono, 2001, Hak Mogok di Indonesia, Universitas Indonesia Fakultas Hukum Program Pasca Sarjana, Jakarta, hlm. 217-218

(4)

2. tanpa pemberitahuan kepada pengusaha dan instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan ; dan/atau

3. dengan pemberitahuan kurang dari 7 (tujuh) hari sebelum pelaksanaan mogok kerja; dan/atau

4. isi pemberitahuan tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 140 ayat (2) huruf a, b, c, dan d Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Pasal 140 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 mengatur bahwa pemberitahuan mogok kerja sekurang-kurangnya memuat:

1. waktu (hari, tanggal, dan jam) dimulai dan diakhiri mogok kerja; 2. tempat mogok kerja;

3. alasan dan sebab-sebab mengapa harus melakukan mogok kerja; dan

4. tanda tangan ketua dan sekretaris dan/atau masing-masing ketua dan sekretaris serikat pekerja sebagai penanggung jawab mogok kerja”.

Sah tidaknya suatu mogok kerja sangat terkait dengan upah dan lebih jauh dapat berakibat terhadap kelangsungan hubungan kerja. Mogok kerja yang dilakukan secara tidak sah dapat mengakibatkan pekerja dikualifikasikan sebagai mangkir. Pekerja yang mangkir tidak berhak atas upah. Pekerja yang dianggap mangkir dan tidak memenuhi panggilan dari pengusaha maka akan dianggap mengundurkan diri.

(5)

Kasus mogok kerja yang berdampak pada pemutusan hubungan kerja telah kerapkali terjadi. Mogok kerja yang melibatkan banyak pekerja serta berlangsung terlalu lama menyebabkan perusahaan harus menanggung kerugian. Pemutusan hubungan kerja menjadi salah satu sikap yang diambil oleh pengusaha dalam menghadapi potensi kerugian dari mogok kerja.

Salah satu kasus mengenai mogok kerja yang berakibat pada pemutusan hubungan kerja adalah kasus pada PT AST Indonesia pada tahun 2012 yang lalu. PT AST Indonesia adalah perusahaan di Semarang yang awalnya bergerak di bidang manufaktur, komponen elektronik dan plastic injection namun saat ini berkembang ke wooden furniture. PT AST Indonesia memiliki 2 (dua) serikat pekerja yakni Serikat Pekerja PT AST Indonesia (SEKAR ASTI) dan Pimpinan Unit Kerja Serikat Pekerja Elektronik Elektrik Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia PT AST Indonesia (PUK SPEE-FSPMI PT AST Indonesia). PUK SPEE-FSPMI PT AST Indonesia beraliansi dengan federasi serikat pekerja di luar perusahaan yakni Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI).

Perselisihan hubungan industrial awalnya terjadi antara PT AST Indonesia dengan pekerja yang tergabung dalam PUK SPEE-FSPMI PT AST Indonesia. Perselisihan hubungan industrial ini dimulai ketika perundingan pembaharuan Perjanjian Kerja Bersama (PKB). PUK SPEE-FSPMI PT AST Indonesia menginginkan perubahan berupa penambahan

(6)

dan/atau pengurangan beberapa pasal dalam PKB. Tuntutan ini tidak disetujui oleh pihak pengusaha.

Perselisihan tersebut telah dimediasi oleh Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Semarang (Disnakertrans Kota Semarang) namun tidak berhasil. Ratusan pekerja akhirnya melakukan mogok kerja yang berlangsung selama total 4 (empat) hari yakni tanggal 9-10 Juli 2012 serta tanggal 26-27 Juli 2012. Peserta mogok kerja bukan hanya anggota PUK SPEE FSPMI melainkan juga beberapa pekerja yang lain.

PT AST Indonesia berkeputusan untuk memutus hubungan kerja 175 pekerjanya yang ikut melakukan aksi mogok kerja. PT AST Indonesia menganggap mogok kerja yang dilakukan para pekerjanya adalah tidak sah sehingga perusahaan dapat melakukan pemutusan hubungan kerja. Disnakertrans Kota Semarang juga menyatakan bahwa mogok kerja yang dilakukan pekerja PT AST Indonesia tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Disnakertrans Kota Semarang tetap menganjurkan PT AST Indonesia untuk mempekerjakan kembali 175 pekerja yang diputus hubungan kerjanya meskipun menganggap mogok kerja tersebut tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. PT AST Indonesia tetap pada keputusannya yakni memutus hubungan kerja 175 pekerjanya dengan memberikan uang pesangon. Keputusan perusahaan mengakibatkan pergolakan diantara para pekerja. Mereka melakukan berbagai aksi dan unjuk rasa menolak keputusan perusahaan yang mereka anggap sebagai PHK sepihak.

(7)

PT AST Indonesia akhirnya mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial. PT AST Indonesia meminta hakim menyatakan mogok kerja tidak sah sehingga PHK yang telah dilakukannya adalah sah. Gugatan tersebut dikabulkan oleh hakim pemeriksa perkara, mogok kerja dianggap tidak sah namun pekerja yang diputus hubungan kerjanya berhak atas sejumlah uang pesangon. Beberapa pekerja mengajukan kasasi atas putusan tersebut. Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 481 K/Pdt.Sus-PHI/2013 kasasi tersebut tidak dapat diterima.

Peristiwa perburuhan yang belakangan ini terjadi merupakan fenomena gunung es, yaitu persoalan pekerja yang terlihat hanya permukaannya saja namun faktanya akar masalahnya cukup banyak dan sangat rumit.3 Sama halnya dengan kasus mogok kerja PT AST Indonesia ini. Persoalan yang terungkap di permukaan terlihat sederhana padahal akar masalahnya cukup rumit serta disebabkan oleh banyak faktor.

Kasus mogok kerja pada PT AST Indonesia menarik untuk dikaji dari sudut pandang hukum ketenagakerjaan. Mogok kerja tersebut melibatkan banyak pekerja serta berlangsung dalam jangka waktu yang relatif lama. Mogok kerja tersebut juga memiliki dampak yang luas mulai dari pemutusan hubungan kerja sampai dengan upaya kasasi yang dilakukan para pekerja.

Berdasarkan hal tersebut di atas penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “TINJAUAN TENTANG MOGOK KERJA

3

Rachmad Syafaat, 2008, Gerakan Buruh dan Pemenuhan Hak Dasarnya: Strategi Buruh dalam

(8)

YANG MENGAKIBATKAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA

MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003

TENTANG KETENAGAKERJAAN (Studi Kasus Mogok Kerja oleh Pekerja PT AST Indonesia, Semarang)”.

B. Rumusan Masalah

1. Mengapa mogok kerja yang dilakukan oleh pekerja PT AST Indonesia tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003?

2. Apakah pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh PT AST Indonesia kepada pekerjanya sebagai akibat dari mogok kerja telah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003?

C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Objektif

Tujuan objektif dari penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui dan menganalisis penyebab tidak sesuainya mogok kerja yang dilakukan oleh pekerja PT AST Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003

b. Untuk mengetahui dan menganalisis sesuai atau tidaknya pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh PT AST Indonesia kepada pekerjanya sebagai akibat dari mogok kerja berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.

(9)

2. Tujuan Subjektif

Penelitian ini secara subjektif bertujuan untuk memenuhi syarat kelulusan dan syarat akademis untuk memperoleh gelar Master, di Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum, Klaster Hukum Keperdataan, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.

D. Manfaat Penelitian

Ada beberapa manfaat yang ingin dicapai melalui penelitian ini, antara lain sebagai berikut :

1. Manfaat Teoretis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi serta sumbangan pemikiran bagi pengembangan dan pengkajian Ilmu Hukum, khususnya dalam bidang Hukum Keperdataan yang berkaitan dengan permasalahan mengenai mogok kerja yang mengakibatkan pemutusan hubungan kerja.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah pengetahuan, membantu, dan memberikan acuan bagi pengusaha, pekerja, para penegak hukum, peneliti, dan segala pihak yang terlibat dalam perselisihan hubungan industrial, mogok kerja, serta pemutusan hubungan kerja.

(10)

E. Keaslian Penelitian

Penulis telah melakukan penelusuran kepustakaan di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM) serta telah melakukan penelusuran dokumen dari internet yakni mimbar.hukum.ugm.ac.id, jdih.depnakertrans.go.id serta portalgaruda.org. Penulis menemukan karya-karya dengan tema mogok kerja serta akibatnya, antara lain:

1. Penulisan Disertasi dengan judul “Pengaturan dan Implementasi Mogok Kerja di Indonesia”.4

Penelitian ini ditulis oleh Ari Hernawan pada Tahun 2011. Penelitian ini menitikberatkan pada kesesuaian filosofi Hubungan Industrial Pancasila dengan peraturan ketenagakerjaan yang berkaitan dengan mogok kerja. Penulis dalam disertasi ini menyimpulkan bahwa: Pertama, pelaksanaan mogok kerja secara sah sulit dilaksanakan. Kedua, ketentuan mogok kerja lebih banyak dipenuhi kewajiban bagi pekerja yang akan dan sedang mogok. Ketiga, ketentuan mogok kerja dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tidak implementatif. Keempat, Disnakertrans sebagai mediator masih lebih berpihak kepada pengusaha. Penulis dalam disertasi ini menegaskan bahwa nuansa ketidakadilan dalam mogok kerja sudah ada pada ketentuan mogok kerja yang diatur dalam peraturan perundang-undangan,

4

Ari Hernawan (b), “Pengaturan dan Implementasi Mogok Kerja di Indonesia”, Disertasi, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2011

(11)

bahkan dalam mempersepsikan filosofi Hubungan Industrial Pancasila.

2. Artikel dengan judul “Pergeseran Permasalahan Mogok Kerja Menjadi Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja”.5

Artikel ini ditulis oleh Sahat Sinurat pada Tahun 2012. Artikel ini menjelaskan mengenai proses bergesernya tindakan mogok kerja menjadi perselisihan hubungan industrial dan berakhir pada pemutusan hubungan kerja.

3. Artikel dalam jurnal hukum dengan judul “Keseimbangan Hak dan Kewajiban Pekerja dan Pengusaha dalam Mogok Kerja”.6

Jurnal ini ditulis oleh Ari Hernawan pada Tahun 2012. Jurnal ini menyimpulkan bahwa ada ketidakseimbangan hak pekerja dan pengusaha dalam ketentuan mogok kerja yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.

4. Makalah dengan judul “Mogok Kerja yang Mengakibatkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Massal pada Hotel Patra Jasa Bali”.7

Makalah ini ditulis oleh Pande Sudirja, I Ketut Markeling dan I Made Pujawan pada Tahun 2013. Makalah ini meneliti kasus

5

Sahat Sinurat, “Pergeseran Permasalahan Mogok Kerja Menjadi Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja”, Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Kementrian Tenaga Kerja dan

Transmigrasi http://jdih.depnakertrans.go.id/data_artikel/2012_2_1.pdf, diakses pada tanggal 10

Maret 2015

6

Ari Hernawan (c), “Keseimbangan Hak dan Kewajiban Pekerja dan Pengusaha dalam Mogok Kerja”, Jurnal Mimbar Hukum Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Vol. 24, No.3, Tahun 2012

7

Sudirja et al, “Mogok Kerja yang Mengakibatkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Massal pada Hotel Patra Jasa Bali”, Indonesian Publication Index (IPI),

download.portalgaruda.org/article.php?article=83206&val=907 diakses pada tanggal 10 Maret 2015

(12)

mogok kerja oleh pekerja Hotel Patra Jasa Bali yang disebabkan oleh perubahan manajemen. Makalah ini menyimpulkan bahwa pemutusan hubungan kerja terjadi karena pekerja Hotel Patra Jasa dianggap mangkir.

5. Penulisan hukum dalam bentuk skripsi dengan judul “Pemenuhan Hak Pekerja Akibat Mogok Kerja di PT Jogja Tugu Trans, Yogayakarta”.8 Penelitian ini ditulis oleh Danang Dermawan pada Tahun 2014. Penelitian ini menitikberatkan pada penyebab terjadinya mogok kerja di PT Jogja Tugu Trans serta pemenuhan hak-hak pekerja akibat adanya mogok kerja. Penulis dalam penulisan hukum ini menyimpulkan bahwa: Pertama, mogok kerja terjadi karena kontrak kerja dan pengangkatan status pekerja tidak sesuai peraturan perundang-undangan. Kedua, tidak adanya pemenuhan hak pekerja akibat mogok kerja karena mogok kerja dilakukan secara tidak sah.

Kelima penulisan hukum di atas memiliki tema yang sama dengan penelitian oleh penulis yakni tentang mogok kerja serta akibatnya. Perbedaannya adalah penelitian yang dilakukan penulis lebih spesifik yakni mogok kerja yang mengakibatkan pemutusan hubungan kerja dengan studi kasus yang belum pernah diteliti sebelumnya. Penulisan tesis ini telah memenuhi kaedah keaslian penelitian sehingga layak untuk diteliti.

8

Danang Dermawan, “Pemenuhan Hak Pekerja Akibat Mogok Kerja di PT Jogja Tugu Trans Yogyakarta”, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2014

Referensi

Dokumen terkait

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkah dan karunia-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan Skripsi dengan judul EVALUASI PELAKSANAAN TRAINING

Hasil analisis data menyatakan bahwa kemampuan representasi matematis subjek kategori tinggi pada nomor 1 adalah: (1) subjek mampu menuliskan informasi yang diperoleh

Sesuai dengan Perda No. 13 tahun 2006 tentang Nagori, disebutkan bahwa Nagori memiliki weweenang mengatur dan mengurus urusan masyarakat setempat sesuai dengan asal usul dan

Dalam penelitian ini pada tahap pertama mengumpulkan dan menganalisis data kuantitatif dalam mencapai tujuan penelitian ini, yakni untuk mengetahui penerapan

Dengan kata lain dalam setiap proses komunikasi yang terjadi antara penutur dan lawan tutur terjadi juga apa yang disebut peristiwa tutur atau peristiwa bahasa (speech

Dengan model penelitian Kuantitatif dengan alat analisis regresi berganda, dalam skripsinya Analisis Pengaruh Kualitas Layanan dan Kualitas Produk Terhadap Kepuasan

adalah

TOTAL PENGHASILAN KOMPREHENSIF LAIN TAHUN BERJALAN Pajak penghasilan terkait pos-pos yang tidak akan direklasifikasi ke laba rugi Penyesuaian akibat penjabaran laporan keuangan