Panduan Praktik Klinis
SMF ILMU KESEHATAN ANAKRSUD PROF. Dr. SOEKANDAR KAB. MOJOKERTO TAHUN 2015
PNEUMONIA
1. Pengertian (Definisi)
Pneumonia adalah penyakit peradangan parenkim paru yang disebabkan oleh bermacam etiologi seperti bakteri, virus, mikoplasma, jamur atau bahan kimia/benda asing yang teraspirasi dengan akibat timbulnya ketidakseimbangan ventilasi dengan perfusi (ventilation perfusion mismatch).
2. Anamnesis
Gejala yang timbul biasanya mendadak tetapi dapat didahului dengan infeksi saluran nafas akut bagian atas. Gejalanya antara lain batuk, demam tinggi terus menerus, sesak, kebiruan disekitar mulut, menggigil (pada anak), kejang (pada bayi) dan nyeri dada. Biasanya anak lebih suka berbaring pada sisi yang sakit. Pada bayi muda sering menunjukkan gejala non spesifik seperti hipotermi, penurunanan kesadaran, kejang atau kembung sehingga sulit dibedakan dengan meningitis, sepsis atau ileus.
3. Pemeriksaan Fisik Suhu ≥ 390C, dispnea: inspiratory effort ditandai dengan
takipnea, retraksi (chest indrawing), nafas cuping hidung dan sianosis. Gerakan dinding toraks dapat berkurang pada daerah yang terkena, perkusi normal atau redup. Pada pemeriksaan auskultasi paru dapat terdengar suara nafas utama melemah atau mengeras, suara nafas tambahan berupa ronki basah halus di lapangan paru yang terkena.
4. Kriteria Diagnosis Anamnesa
Pemeriksaan fisik Pemeriksaan penunjang 5. Diagnosis Pneumonia 6. Diagnosis Banding Bronkiolitis Payah jantung Aspirasi benda asing Abses paru
7. Pemeriksaan Penunjang
- Darah Tepi: leukositosis dengan hitung jenis bergeser ke kiri.
- Bila fasilitas memungkinkan pemeriksaan analisis gas darah menunjukkan keadaan hipoksemia (karena ventilation perfusion mismatch). Kadar PaCO2 dapat rendah, normal atau meningkat tergantung kelainannya. Dapat terjadi asidosis respiratorik, asidosis metabolik, dan gagal nafas. - Kultur Darah
- Pada foto dada terlihat infiltrat alveolar yang dapat ditemukan di seluruh lapangan paru. Luasnya kelainan pada
gambaran radiologis biasanya sebanding dengan derajat klinis penyakitnya, kecuali pada infeksi mikoplasma yang gambaran radiologisnya lebih berat daripada keadaan klinisnya. Gambaran lain yang dapat dijumpai :
o Konsolidasi pada satu lobus atau lebih pada pneumonia lobaris
o Penebalan pleura pada pleuritis
o Komplikasi pneumonia seperti atelektasis, efusi pleura, pneumomediastinum, pneumotoraks, abses, pneumatokel
8. Terapi
1. Indikasi MRS :
a. Ada kesukaran nafas, toksis b. Sianosis
c. Umur kurang 6 bulan
d. Ada penyulit, misalnya :muntah-muntah, dehidrasi, empiema
e. Diduga infeksi oleh Stafilokokus f. Imunokompromais
g. Perawatan di rumah kurang baik
h. Tidak respon dengan pemberian antibiotika oral
2. Pemberian oksigenasi : dapat diberikan oksigen nasal atau masker, monitor dengan pulse oxymetry. Bila ada tanda gagal nafas diberikan bantuan ventilasi mekanik.
3. Pemberian cairan dan kalori yang cukup (bila perlu cairan parenteral). Jumlah cairan sesuai berat badan, kenaikan suhu dan status hidrasi.
4. Bila sesak tidak terlalu hebat dapat dimulai diet enteral bertahap melalui selang nasogastrik.
5. Jika sekresi lendir berlebihan dapat diberikan inhalasi dengan salin normal
6. Koreksi kelainan asam basa atau elektrolit yang terjadi. 7. Pemilihan antibiotik berdasarkan umur, keadaan umum
penderita dan dugaan penyebabEvaluasi pengobatan dilakukan setiap 48-72 jam. Bila tidak ada perbaikan klinis dilakukan perubahan pemberian antibiotik sampai anak dinyatakan sembuh. Lama pemberian antibiotik tergantung : kemajuan klinis penderita, hasil laboratoris, foto toraks dan jenis kuman penyebab :
Stafilokokus : perlu 6 minggu parenteral
Haemophylus influenzae/Streptokokus pneumonia : cukup 10-14 hari
Pada keadaan imunokompromais (gizi buruk, penyakit jantung bawaan, gangguan neuromuskular, keganasan, pengobatan kortikosteroid jangka panjang, fibrosis kistik, infeksi HIV), pemberian antibiotik harus segera dimulai saat tanda awal pneumonia didapatkan dengan pilihan antibiotik : sefalosporin generasi 3.
Dapat dipertimbangkan juga pemberian :
- Kotrimoksasol pada Pneumonia Pneumokistik Karinii - Anti viral (Aziclovir , ganciclovir) pada pneumonia
karena CMV
- Anti jamur (amphotericin B, ketokenazol, flukonazol) pada pneumonia karena jamur
- Imunoglobulin
9. Edukasi sanitasi, imunisasi, makanan bergizi
10. Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam/malam Ad sanationam : dubia ad bonam/malam Ad fumgsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelaah Kritis dr. Sony Tri A. Kamil, Sp.A
dr. Anggono R. Arfianto, Sp.A dr. Sofia Wardhani, Sp.A
14. Indikator Medis kondisi pasien membaik
15. Kepustakaan 1. Andriano G, Arguedas, Stutman HR, Marks MI. Bacterial
pneumonias. Dalam : Kendig EL, Chernick V, penyunting. Kendig’s Disorders of the Respiratory Tract in Children. Edisi ke-5. Philadelphia : WB Saunders, 1990 : 371-80. 2. Lichenstein R, Suggs AH, Campbell J. Pediatric
pneumonia. Emerg Med Clin N Am 2003; 21 : 437-51.
Ketua Komite Medik Mojokerto, 8 November 2015
Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
dr. Asri Bindusari, Sp.KK dr. Sony Tri A. Kamil, Sp.A
NIP 19601102 198703 2 002 NIP 19661217 199703 1 001
Direktur RSUD Soekandar Mojosari
Panduan Praktik Klinis
SMF ILMU KESEHATAN ANAKRSUD PROF. DR. SOEKANDAR KAB. MOJOKERTO TAHUN 2015
TUBERKULOSIS
1. Pengertian (Definisi)
Tuberkulosis adalah penyakit akibat infeksi kuman Mikobakterium tuberkulosis yang bersifat sistemik sehingga dapat mengenai hampir semua organ tubuh dengan lokasi terbanyak di paru yang biasanya merupakan lokasi infeksi primer.
2. Anamnesis
I. Gejala umum/tidak spesifik
a Berat badan turun atau malnutrisi tanpa sebab yang jelas atau tidak naik dalam 1 bulan dengan penanganan gizi.
b Nafsu makan tidak ada (anoreksia) dengan gagal tumbuh dan berat badan tidak naik (failure to thrive) dengan adekuat.
c Demam lama/berulang tanpa sebab yang jelas (bukan tifus, malaria atau infeksi saluran nafas akut), dapat disertai keringat malam.
d Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit, biasanya multiple, paling sering di daerah leher, axilla dan inguinal.
e Gejala-gejala respiratorik :
- batuk lama lebih dari 3 minggu - tanda cairan di dada, nyeri dada f Gejala gastrointestinal
- diare persisten yang tidak sembuh dengan pengobatan diare
- benjolan/massa di abdomen
- tanda-tanda cairan dalam abdomen II. Gejala Spesifik
Tb kulit/skrofuloderma Tb tulang dan sendi
- Tulang punggung (spondilitis)
- Tulang panggul (koksitis) : pincang - Tulang lutut :pincang dan/atau bengkak - Tulang kaki dan tangan
Tb Otak dan Saraf
- Meningitis dengan gejala iritabel, kaku kuduk, muntah-muntah dan kesadaran menurun
Gejala mata : Conjungtivitis phlyctenularis, Tuberkel koroid (hanya terlihat dengan funduskopi)
3. Pemeriksaan Fisik - Febris - Malaise - Rhonki - Benjolan KGB (spondilitis) - Gibbus
4. Kriteria Diagnosis Demam
Berat Badan tidak naik
Gejala-gejala lain sesuai jenis TB
5. Diagnosis
TB Paru Pulomonal TB Ekstrapulmonal
6. Diagnosis Banding Pneumonia
Infeksi kronis lainnya Keganasan
7. Pemeriksaan Penunjang
Uji tuberculin (Mantoux)
Uji tuberkulin dilakukan dengan cara Mantoux (penyuntikan intrakutan). Tuberkulin yang dipakai adalah tuberkulin PPD RT 23 kekuatan 2 TU atau PPD-S kekuatan 5 TU. Pembacaan dilakukan 48-72 jam setelah penyuntikan. Diukur diameter tranversal dari indurasi yang terjadi. Ukuran dinyatakan dalam mm, dikatakan positif bila indurasi : > 10 mm.
Reaksi cepat BCG
Bila dalam penyuntikan BCG terjadi reaksi cepat berupa kemerahan dan indurasi > 5 mm (dalam 3-7 hari) maka dicurigai telah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis. Foto Rontgen Paru : seringkali tidak khas
Pembacaan sulit, hati-hati kemungkinan overdiagnosis atau underdiagnosis. Paling mungkin kalau ditemukan infiltrat dengan pembesaran kelenjar hilus atau kelenjar paratrakeal. Gambaran rontgen paru pada Tb dapat berupa :
Milier, Atelektasis, Infiltrat , pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal, konsolidasi (lobus), reaksi pleura dan/atau efusi pleura, kalsifikasi, bronkiektasis, kavitas, destroyed lung. Catatan : diskongkruensi antara gambaran klinis dan
gambaran radiologis, harus dicurigai Tb. Foto Rontgen paru sebaiknya dilakukan PA dan lateral serta dibaca oleh ahlinya.
Pemeriksaan mikrobiologi : pemeriksaan langsung BTA (mikroskopis) dan kultur dari sputum (pada anak bilasan lambung karena sputum sulit didapat ).
8. Terapi Pada TBC paru yang tidak berat cukup diberikan 3 jenis obat
anti tuberkulosis (OAT) dengan jangka waktu terapi 6 bulan. Tahap intensif terdiri dari isoniazid (H), Rifampisin (R) dan Pyraninamid (Z) selama 2 bulan diberikan setiap hari (2HRZ). Tahap lanjutan terdiri dari Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) selama 4 bulan diberikan setiap hari (4HR).
Pada TBC berat (TBC milier, meningitis, dan TBC tulang) maka juga diberikan Streptomisin atau Etambutol pada
permulaan pengobatan. Jadi pada TBC berat biasanya pengobatan dimulai dengan kombinasi 4-5 obat selama 2 bulan, kemudian dilanjutkan dengan Isoniazid dan Rifampisin selama 10 bulan lagi atau lebih, sesuai dengan perkembangan klinisnya. Kalau ada kegagalan karena resistensi obat, maka obat diganti sesuai dengan hasil uji resistensi, atau tambah dan ubah kombinasi OAT.
Obat anti tuberkulosis yang digunakan adalah : 1. Isoniazid (INH) : selama 6-12 bulan
a. Dosis terapi : 5-10 mg/kgBB/hari diberikan sekali sehari
b. Dosis profilaksis : 5-10 mg/kgBB/hari diberikan sekali sehari
c. Dosis maksimum : 300 mg/hari 2. Rifampisin ( R ) : selama 6-12 bulan
a. Dosis : 10-20 mg/kgBB/hari sekali sehari
b. Dosis maksimum : 600 mg/hari 3. Pirazinamid (Z) : selama 2-3 bulan pertama
a. Dosis : 25-35 mg/kgBB/hari diberikan 2 kali sehari
b. Dosis maksimum : 2 gram/hari 4. Etambutol (E) : selama 2-3 bulan pertama
a. Dosis : 15-20 mg/kgBB/hari diberikan sekali atau 2 kali sehari
b. Dosis maksimum : 1250 mg/hari 5. Streptomisin (S) : selama 1-2 bulan pertama
a. Dosis : 15-40 mg/kg/hari diberikan sekali sehari intra muskular
b. Dosis maksimum : 1 gram/hari
Kortikosteroid diberikan pada keadaan khusus seperti : Tb milier, meningitis Tb, endobronkial Tb, pleuritis Tb, perikarditis Tb, peritonitis Tb.
Boleh diberikan prednison 1-2 mg/kg BB/hari selama 1-2 bulan
-9. Edukasi sanitasi, imunisasi, makanan bergizi
10. Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam/malam Ad sanationam : dubia ad bonam/malam Ad fumgsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelaah Kritis dr. Sony Tri A. Kamil, Sp.A
dr. Anggono R. Arfianto, Sp.A dr. Sofia Wardhani, Sp.A
14. Indikator Medis kondisi pasien membaik
15. Kepustakaan 1. Munoz FM, Starke JR. Tuberculosis. Dalam :Behrman
RE, Kleigman RM, Jenson HB, penyunting. NelsonTextbook of Pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia : WB Saunders, 2003 : 958-71.
2. Crofton SJ, Horne N, Miller F. Clinical Tuberculosis. Edisi ke-1. London: The Mac Millan Press, 1992.
3. Rahajoe N, Basir D, Makmuri MS, Kartasasmita CB. Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak. UKK Pulmonologi : PP IDAI, 2005.
Ketua Komite Medik Mojokerto, 8 November 2015
Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
dr. Asri Bindusari, Sp.KK dr. Sony Tri A. Kamil, Sp.A
NIP 19601102 198703 2 002 NIP 19661217 199703 1 001
Direktur RSUD Soekandar Mojosari
Panduan Praktik Klinis
SMF ILMU KESEHATAN ANAKRSUD PROF. DR. SOEKANDAR KAB. MOJOKERTO TAHUN 2015
DEMAM TIFOID
1. Pengertian (Definisi) Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut disebabkan oleh kuman gram negatif Salmonella typhi. Selama terjadi infeksi, kuman tersebut bermultiplikasi dalam sel fagositik mononuklear dan secara berkelanjutan dilepaskan ke aliran darah.
2. Anamnesis Keluhan dan gejala Demam Tifoid tidak khas, dan bervariasi
dari gejala seperti flu ringan sampai tampilan sakit berat dan fatal yang mengenai banyak sistem organ. Secara klinis gambaran penyakit Demam Tifoid berupa demam berkepanjangan, gangguan fungsi usus, dan keluhan susunan saraf pusat.
1. Panas lebih dari 7 hari, biasanya mulai dengan sumer yang makin hari makin meninggi, sehingga pada minggu ke 2 panas tinggi terus menerus terutama pada malam hari. 2. Gejala gstrointestinal dapat berupa obstipasi, diare, mual,
muntah, dan kembung, hepatomegali, splenomegali dan lidah kotor tepi hiperemi.
3. Gejalah saraf sentral berupa delirium, apatis, somnolen, sopor, bahkan sampai koma
3. Pemeriksaan Fisik Febris Malaise Lidah kotor Meteorismua Obstipasi/ diare Splenomegali/ hepatomegali 4. Kriteria Diagnosis Anamnesa Pemeriksaan fisik Pemeriksaan penunjang
5. Diagnosis Demam Thypoid
6. Diagnosis Banding
1. Influenza 6. Malaria 2. Bronchitis 7. Sepsis 3. Broncho Pneumonia 8. I.S.K 4. Gastroenteritis 9. Keganasan 5. Tuberculosa 7. Pemeriksaan Penunjang 1. Laboratorik a. Leukopenia, anesonofilia
b. Kultur empedu (+): darah pada minggu I ( pada minggu II mungkin sudah negatif); tinja minggu II, air kemih minggu III
c. Reaksi widal (+) : titer > 1/200. Biasanya baru positif pada minggu II, pada stadium rekonvalescen titer makin
meninggi
d. Identifikasi antigen : Elisa, PCR. IgM S typphi dengan Tubex TF cukup akurat dengan
e. Identifikasi antibodi : Elisa, typhi dot dan typhi dot M
8. Terapi
Obat-obat pilihan pertama adalah kloramfenikol, ampisilin/amoksisilin dan kotrimoksasol. Obat pilihan kedua adalah sefalosporin generasi III. Obat-obat pilihan ketiga adalah meropenem, azithromisin dan fluorokuinolon.
Kloramfenikol diberikan dengan dosis 50 mg/kg BB/hari, terbagi dalam 3-4 kali pemberian, oral atau intravena, selama 14 hari. Bilamana terdapat indikasi kontra pemberian kloramfenikol , diberi
ampisilin dengan dosis 200 mg/kgBB/hari, terbagi dalam 3-4 kali. Pemberian, intravena saat belum dapat minum obat, selama 21 hari, atau
amoksisilin dengan dosis 100 mg/kgBB/hari, terbagi dalam 3-4 kali. Pemberian, oral/intravena selama 21 hari
kotrimoksasol dengan dosis (tmp) 8 mg/kbBB/hari terbagi dalam 2-3 kali pemberian, oral, selama 14 hari. - Pada kasus berat, dapat diberi seftriakson dengan dosis
50 mg/kg BB/kali dan diberikan 2 kali sehari atau 80 mg/kg BB/hari, sekali sehari, intravena, selama 5-7 hari. Pada kasus yang diduga mengalami MDR, maka pilihan antibiotika adalah meropenem, azithromisin dan fluoroquinolon
9. Edukasi
sanitasi, imunisasi, makanan bergizi
10. Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam/malam Ad sanationam : dubia ad bonam/malam Ad fumgsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelaah Kritis dr. Sony Tri A. Kamil, Sp.A
dr. Anggono R. Arfianto, Sp.A dr. Sofia Wardhani, Sp.A
14. Indikator Medis Kondisi pasien membaik
15. Kepustakaan 1. Christie AB. Typhoid and Paratyphoid Fevers in : Infectious
Division of Longman Group UK Limited, 1987 : 100. 2. Hoffman S. : Typhoid fever in Warren KS dan Mahmpud
AAF (eds) : Tropical and Geographical ed ke 2, New York, Mc Graw-Hill Information Services Co. (1990).
3. Pang T, Koh KL, PuthuchearySD (eds) : Typhoid fever : Strategies for the 90’s, Singapore, World Scientific, (1992). 4. Krugman S, Katz SL, Gershon AA, Wilfred CM (eds)
Infectious disease in children, ed ke 9, St. Louis, Mosby Yerabook Inc. (1992).
5. Cleary Th G. Salmonella species in longess, Pickerling LK, Praber CG. Principles and Practice of Pediatric Infectious Disease Churchill Livingstone, New York 1nd ed, 2003 : hal. 830.
Ketua Komite Medik Mojokerto, 8 November 2015
Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
dr. Asri Bindusari, Sp.KK dr. Sony Tri A. Kamil, Sp.A
NIP 19601102 198703 2 002 NIP 19661217 199703 1 001
Direktur RSUD Soekandar Mojosari
Panduan Praktik Klinis
SMF ILMU KESEHATAN ANAKRSUD PROF. DR. SOEKANDAR KAB. MOJOKERTO TAHUN 2015
DENGUE FEVER
1. Pengertian (Definisi) Salah satu varian klinik infeksi virus dengue, yang ditandai oleh gejala panas 2-7 hari
2. Anamnesis
Demam
- Timbul mendadak, berlangsung 2-7 hari
- Disertai dengan tidak mau bermain (”not doing well”), nafsu makan menghilang, mual, dan tidak jarang disertai muntah.
- Kadang kurva suhu berbentuk pelana (sadle-back fever) - Suhu turun mendadak, kemudian penderita
merasa/tampak membaik dan muncul nafsu makan.
Nyeri
- Nyeri kepala
- Nyeri belakang mata (retro orbital) - Nyeri otot (myalgia)
- Nyeri sendi (arthralgia) Ruam
- Pada awal sakit dapat timbul kemerahan (flushing) pada kulit penderita
- Pada periode penyembuhan dapat muncul ”confalescence rash”, berupa morbilli like rash yang lokasinya di ekstremitas bawah (shoe like appearance) dan di ekstremitas atas (handglove like appearance).
Manifestasi perdarahan - tidak selalu ada
- Dapat berupa tourniquet test yang positip, petekiae, epistaksis, perdarahan gusi dan dapat terjadi perdarahan masif berupa hematemesis/melena yang sampai membutuhkan transfusi darah.
Dapat dijumpai gejala gastro intestinal, berupa diare dan gejala saluran napas atas berupa batuk serta pilek yang ringan. 3. Pemeriksaan Fisik Febris Malaise Hepatomegali Splenomegali Epistaksis Ptekiae Hematemesis/ Melena 4. Kriteria Diagnosis - Demam < 7 hari - Nyeri - Bleeding
6. Diagnosis Banding
1. Exanthema subitum 2. German Measles 3. Chikungunya
4. Demam berdarah dengue grade I dan II
7. Pemeriksaan Penunjang
- Laboratorium rutin sering dijumpai adanya leukopenia, dan dapat disertai penurunan trombosit, walaupun seringkali masih > 100.000
- Diagnosis etiologis :
1. Serologis eliza, memeriksa IgM dan IgG dengue, lakukan pada hari sakit ≥ 5, untuk lebih memperoleh hasil positip
2. Serologis hemaglutinasi inhibisi, dengan mengambil serum sepasang, dimana serum pertama saat masuk rumah sakit dan serum kedua usahakan ≥ 7 hari kemudian (sering kali susah dipenuhi).
3. Virologi, isolasi virus dari spesimen darah, usahakan pengambilan serum saat periode febris, kemudian dengan dry ice dikirim ke pusat-pusat pemeriksaan virologi (dilakukan saat riset)
8. Terapi
Apabila penderita infeksi Virus Dengue datang pada periode febris, dimana belum/tidak dapat dibedakan apakah Dengue Fever/Dengue Hemorrhagic Fever, maka pengobatan yang dapat diberikan adalah sebagai berikut :
Antipiretik
Parasetamol sebagai pilihan, dengan dosis 10 mg/BB/kali tidak lebih dari 4 kali sehari. Jangan memberikan aspirin dan brufen/ibuprofen, sebab dapat menimbulkan gastritis dan atau perdarahan.
Antibiotika tidak diperlukan
Makan disesuaikan dengan kondisi napsu makannya
Apabila penderita ditetapkan rawat jalan, maka kalau dalam perjalanan didapat keluhan dan tanda klinis seperti dibawah ini dianjurkan untuk segera datang ke rumah sakit untuk pengobatan selanjutnya.
Gejala dan tanda yang dimaksud adalah : ▲ Nyeri abdomen
▲ Tanda perdarahan dikulit, petekiae dan ekimosis ▲ Perdarahan lain seperti epistaksis & perdarahan gusi ▲Penderita tampak loyo& pada perabaan terasa dingin Kebutuhan cairan harus dipenuhi. Pemberian cairan dapat
diberikan per oral, akan tetapi apabila penderita tidak mau minum, muntah terus, atau panas yang terlalu tinggi maka pemberian cairan intravena menjadi pilihannya.
Apabila cairan intravena dijadikan pilihan terapi, maka dikenal formula untuk memenuhi cairan rumatan yaitu formula Halliday Segar dengan rincian sebagai berikut : Berat Badan ( Kg ) Cairan Rumatan (Vol)/ 24 jam 10 100 CC/Kg BB
10-20 1000 CC + 50 CC/Kg BB diatas 10 Kg
* Setiap derajat C kenaikan temperatur, cairan dinaikkan 12 % dari kebutuhan rumatan.
Jumlah tersebut diatas untuk seluruh kebutuhan cairan sehari, termasuk cairan oral. Untuk cairan rumatan ini dapat dipakai solutio D 5½ Saline untuk anak usia > 3 tahun atau D 5¼ Saline untuk penderita berumur ≤ 3 tahun.
Lakukan observasi secara cermat setiap 6 jam atas tanda vitalnya, dengan tujuan untuk mendeteksi adakah tanda-tanda kebocoran plasma (plasma leakage), yang mengarah ke dengue haemorhagic fever.
9. Edukasi Jaga kebersihan
Perbanyak asupan cairan Makanan bergizi
10. Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam/malam Ad sanationam : dubia ad bonam/malam Ad fumgsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelaah Kritis
dr. Sony Tri A. Kamil, Sp.A dr. Anggono R. Arfianto, Sp.A dr. Sofia Wardhani, Sp.A
14. Indikator Medis kondisi pasien membaik
15. Kepustakaan WHO. 2009. Dengue Hemmorhagic Fever
Ketua Komite Medik Mojokerto, 8 November 2015
Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
dr. Asri Bindusari, Sp.KK dr. Sony Tri A. Kamil, Sp.A
NIP 19601102 198703 2 002 NIP 19661217 199703 1 001
Direktur RSUD Soekandar Mojosari Dr. Sujatmiko, M.M, MMR.
Panduan Praktik Klinis
SMF ILMU KESEHATAN ANAKRSUD PROF. DR. SOEKANDAR KAB. MOJOKERTO TAHUN 2015
DENGUE HAEMORHAGIC FEVER
1. Pengertian (Definisi) Salah satu varian klinik infeksi virus dengue, yang ditandai
oleh gejala panas 2-7 hari
2. Anamnesis
Demam
- Timbul mendadak, berlangsung 2-7 hari
- Disertai dengan tidak mau bermain (”not doing well”), nafsu makan menghilang, mual, dan tidak jarang disertai muntah.
- Kadang kurva suhu berbentuk pelana (sadle-back fever) - Suhu turun mendadak, kemudian penderita
merasa/tampak membaik dan muncul nafsu makan.
Nyeri
- Nyeri kepala
- Nyeri belakang mata (retro orbital) - Nyeri otot (myalgia)
- Nyeri sendi (arthralgia) Ruam
- Pada awal sakit dapat timbul kemerahan (flushing) pada kulit penderita
- Pada periode penyembuhan dapat muncul ”confalescence rash”, berupa morbilli like rash yang lokasinya di ekstremitas bawah (shoe like appearance) dan di ekstremitas atas (handglove like appearance).
Manifestasi perdarahan - tidak selalu ada
- Dapat berupa tourniquet test yang positip, petekiae, epistaksis, perdarahan gusi dan dapat terjadi perdarahan masif berupa hematemesis/melena yang sampai membutuhkan transfusi darah.
Dapat dijumpai gejala gastro intestinal, berupa diare dan gejala saluran napas atas berupa batuk serta pilek yang ringan. 3. Pemeriksaan Fisik Febris Malaise Hepatomegali Splenomegali Epistaksis Ptekiae Hematemesis/ Melena 4. Kriteria Diagnosis
- DHF Grade I : semua gejala umum, peningkatan HCT >20%, satu-satunya tanda perdarahan ialah uji bendung yang positif
- DHF Grade II : semua gejala umum, peningkatan HCT >20%, dengan tanda perdarahan lain - DHF Grade III : semua gejala umum,
peningkatan HCT >20%, dengan penyempitan nadi <20 mmHg
- DHF Grade IV : syok. Nadi tidak teraba, tekanan darah tidak terukur.
PCV ↓, T/N STABIL DIURESIS (+)
MEMBAIK TETAP BURUK/RESPON (-)
RL 5 cc/kgBB/1 JAM RL 15 cc/kgBB/1 JAM RL 3 cc/kgBB/1 JAM STOP RL 10 cc/kgBB/1 JAM TETAP BURUK/RESPON (-) KOLOID / PLASMA PCV ↑ MEMBAIK 24-48 JAM RL 7 cc/kgBB/1 JAM PCV, VS TRANSFUSIWHOLE BLOOD PCV ↓, T/N STABIL DIURESIS (+) PCV ↑, N ↑, PP ≤20 mmHg DIURESIS (-) MEMBAIK PCV ↓ MEMBAIK TETAP BURUK/RESPON (-)
KRISTALOID 20 cc/kgBB dalam waktu kurang 30 menit
KRISTALOID 10 cc/kgBB/1 JAM KOLOID 20 cc/kgBB CEPAT MEMBAIK TETAP BURUK / RESPON (-)
MEMBAIK
KRISTALOID 10 cc/kgBB/1 JAM KRISTALOID 7 cc/kgBB/1 JAM
KRISTALOID 5 cc/kgBB/1 JAM
KRISTALOID 3 cc/kgBB/1 JAM
MEMBAIK TETAP BURUK / RESPON (-)
KRISTALOID 7 cc/kgBB/1 JAM
KRISTALOID 5 cc/kgBB/1 JAM
KRISTALOID 3 cc/kgBB/1 JAM
KOLOID 10 cc/kgBB/1 JAM
KRISTALOID 10 cc/kgBB/1 JAM
MEMBAIK TETAP BURUK/ RESPON (-)
KRISTALOID 7 cc/kgBB/1 JAM KRISTALOID 5 cc/kgBB/1 JAM KRISTALOID 3 cc/kgBB/1 JAM PERDARAHAN (+) TRANSFUSIWBC INOTROPIK PERDARAHAN (-)
5. Diagnosis Dengue Haemorhagic Fever Grade I, II, III, IV
6. Diagnosis Banding
Exanthema subitum German Measles Chikungunya
Demam berdarah dengue grade I dan II
7. Pemeriksaan Penunjang
- Laboratorium rutin sering dijumpai adanya leukopenia, dan dapat disertai penurunan trombosit, walaupun seringkali masih > 100.000
- Diagnosis etiologis :
4. Serologis eliza, memeriksa IgM dan IgG dengue, lakukan pada hari sakit ≥ 5, untuk lebih memperoleh hasil positip
5. Serologis hemaglutinasi inhibisi, dengan mengambil serum sepasang, dimana serum pertama saat masuk rumah sakit dan serum kedua usahakan ≥ 7 hari kemudian (sering kali susah dipenuhi).
6. Virologi, isolasi virus dari spesimen darah, usahakan pengambilan serum saat periode febris, kemudian dengan dry ice dikirim ke pusat-pusat pemeriksaan virologi (dilakukan saat riset)
8. Terapi DHF Grade I-II
Kristaloid 20 cc/kgBB dalam waktu kurang dari 30 menit
KOLOID 10 cc/kgBB 1 JAM KOLOID 20 cc/kgBB /30 menit MEMBAIK TETAP BURUK/RESPON (-)
MEMBAIK
KRISTALOID 10 cc/kgBB/1 JAM KRISTALOID 10 cc/kgBB/1 JAM
KRISTALOID 7 cc/kgBB/1 JAM
KRISTALOID 5 cc/kgBB/1 JAM
MEMBAIK ± TETAP BURUK/RESPON (-)
KRISTALOID 7 cc/kgBB/1 JAM
KRISTALOID 5 cc/kgBB/1 JAM
KRISTALOID 3 cc/kgBB/1 JAM
KRISTALOID 10 cc/kgBB/30 menit KRISTALOID 7 cc/kgBB/1 JAM
MEMBAIK TETAP BURUK/ RESPON (-)
KRISTALOID 7 cc/kgBB/1 JAM KRISTALOID 5 cc/kgBB/1 JAM KRISTALOID 3 cc/kgBB/1 JAM PERDARAHAN (+) TRANSFUSI WBC INOTROPIK PERDARAHAN (-) KRISTALOID3 cc/kgBB/1 JAM MEMBAIK (+) KRISTALOID 5 cc/kgBB/1 JAM KRISTALOID 3 cc/kgBB/1 JAM DHF Grade IV
9. Edukasi Jaga kebersihan
Perbanyak asupan cairan Makanan bergizi
10. Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam/malam Ad sanationam : dubia ad bonam/malam Ad fumgsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelaah Kritis dr. Sony Tri A. Kamil, Sp.A
dr. Anggono R. Arfianto, Sp.A dr. Sofia Wardhani, Sp.A
15. Kepustakaan 1. WHO. 2009. Dengue Hemorragic fever Diagnosis & Treatment
2. Pedoman Diagnosis & Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUD Soetomo. 2010
Ketua Komite Medik Mojokerto, 8 November 2015
Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
dr. Asri Bindusari, Sp.KK dr. Sony Tri A. Kamil, Sp.A
NIP 19601102 198703 2 002 NIP 19661217 199703 1 001
Direktur RSUD Soekandar Mojosari
Panduan Praktik Klinis
SMF ILMU KESEHATAN ANAKRSUD PROF. DR. SOEKANDAR KAB. MOJOKERTO TAHUN 2015
MALARIA
1. Pengertian (Definisi)
Malaria merupakan penyakit infeksi akut hingga kronik yang disebabkan oleh satu atau lebih spesies Plasmodium, ditandai dengan panas tinggi bersifat intermiten, anemia, dan hepato-splenomegali. Plasmodium falciparum menyebabkan malaria tropikana, Plasmodium vivax menyebabkan malaria tertiana, Plasmodium ovale menyebabkan malaria ovale, Plasmodium malariae menyebabkan malaria kuartana.
2. Anamnesis
Demam Pasien berasal dari daerah endemis malaria, atau riwayat bepergian ke daerah endemis malaria.
Demam tinggi (intermiten) disertai menggigil, berkeringat, dan nyeri kepala. Serangan demam dapat terus-menerus terjadi pada infeksi campuran ( > 1 jenis Plasmodium atau oleh 1 jenis Plasmodium tetapi infeksi berulang dalam waktu berbeda).
Lemah, nausea, muntah, tidak ada nafsu makan, nyeri punggung, nyeri daerah perut, pucat, mialgia, dan atralgia
3. Pemeriksaan Fisik
Pada malaria ringan dijumpai anemia, muntah atau diare, ikterus, dan hepato-splenomegali.
Malaria berat adalah malaria yang disebabkan oleh P.falciparum, disertai satu atau lebih kelainan sebagai berikut :
- Hiperparasitemia, bila > 5% eritrosit dihinggapi parasit - Malaria serebral dengan kesadaran menurun
- Anemia berat, kadar hemoglobin < 7,1g/dl
- Perdarahan atau koagulasi intravaskular diseminata - Ikterus, kadar bilirubin serum > 50 mmol/l
- Hipoglikemia, kadang-kadang akibat terapi kuinin
- Gagal ginjal, kadar kreatinin serum > 3 g/dl dan diuresis < 400 ml/24jam
- Hiperpireksia - Edem paru
Syok, hipotensi, gangguan asam basa
4. Kriteria Diagnosis
demam tinggi intermitten
riwayat berpergian ke daerah endemis apusan darah memgkonfirmasi malaria
5. Diagnosis Malaria
6. Diagnosis Banding
- Dengue Fever
- Dengue Haemorhagic fever - Chikungunya
- Exanthema subitum - Thypoid fever
7. Pemeriksaan Penunjang
Apus darah tepi
Tebal : ada tidaknya Plasmodium
Tipis : identifikasi spesies Plasmodium/tingkat parasitemia
8. Terapi
I. Medikamentosa
a. Untuk semua spesies Plasmodium, kecuali P.falciparum yang resisten terhadap klorokuin
Klorokuin sulfat oral, 25 mg/kg bb terbagi dalam 3 hari yaitu 10 mg/kg bb pada hari ke-1 dan 2, serta 5 mg/kg bb pada hari ke-3. Kina dihidroklorid intravena 1mg garam/kg bb/dosis dalam 10 cc/kg bb larutan dekstrosa 5% atau larutan NaCl 0,9%, diberikan per infus dalam 4 jam, diulangi tiap 8 jam dengan dosis yang sama sampai terapi oral dapat dimulai. Keseluruhan pemberian obat adalah 7 hari dengan dosis total 21 kali.
b. Plasmodium falciparum yang resisten terhadap klorokuin :
Kuinin sulfat oral 10 mg/kg bb/dosis, 3 kali sehari, selama 7 hari.
Dosis untuk bayi adalah 10 mg/umur dalam bulan dibagi 3 bagian selama 7 hari.
Ditambah Tetrasiklin oral 5 mg/kg bb/kali, 4 kali sehari selama 7 hari (maksimum 4 x 250 mg/hari)
c. Regimen alternatif : Kuinin sulfat oral
Kuinin dihidroklorid intravena ditambah Pirimetamin sulfadoksin (fansidar) oral
Tabel 1. : Dosis Pirimetamin sulfadoksin (fansidar) menurut umur Umur (tahun) Pirimetamin sulfadoksin (tablet) < 1 1/4 1-3 1/2 4-8 1 9-14 2 > 14 3 d. Pencegahan relaps Primakuin fosfat oral
Malaria falciparum : 0,5-0,75 mg basa/kg bb, dosis tunggal, pada hari pertama pengobatan
Malaria vivax, malariae, dan ovale : 0,25 mg/kg bb, dosis tunggal selama 5-14 hari.
II. Bedah
-III. Suportif
Pemberian cairan, nutrisi, transfusi darah :
Penuhi kebutuhan volume cairan intravaskular dan jaringan dengan pemberian oral atau parenteral.
Pelihara keadaan nutrisi.
Transfusi darah pack red cell 10 ml/kg bb atau whole blood 20 ml/kg bb apabila anemia dengan Hb < 7,1g/dl.
Bila terjadi perdarahan, diberikan komponen darah yang sesuai. Pengobatan gangguan asam basa dan elektrolit.
Pertahankan fungsi sirkulasi dengan baik, bila perlu pasang CVP. Dialisis peritoneal dilakukan pada gagal ginjal.
Pertahankan oksigenasi jaringan, bila perlu berikan oksigen. Apabila terjadi gagal nafas perlu pemasangan ventilator mekanik (bila mungkin).
Pertahankan kadar gula darah normal. Antipiretik
Diberikan apabila demam > 39 C, kecuali pada riwayat kejang demam dapat diberikan lebih awal.
9. Edukasi Hindari gigitan nyamuk, membunuh nyamuk/jentik dengan insektisida,
memakai kelambu anti-nyamuk.
Pencegahan dengan obat anti malaria yang diminum 2 minggu sebelum, selama tinggal dan 8 minggu sesudah meninggalkan daerah endemis. Obat yang dapat dipergunakan ialah :
- Klorokuin basa 5 mg/kgbb, maksimal 300 mg, sekali seminggu atau
- Sulfadoksin-pirimetamin (fansidar) dengan dosis pirimetamin 0,5-0,75 mg/kgbb, atau
- Sulfadoksin 10-15 mg/kgbb sekali seminggu (untuk usia > 6 bulan).
10. Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam/malam Ad sanationam : dubia ad bonam/malam Ad fumgsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens IV 12. Tingkat Rekomendasi C 13. Penelaah Kritis
dr. Sony Tri A. Kamil, Sp.A dr. Anggono R. Arfianto, Sp.A dr. Sofia Wardhani, Sp.A
14. Indikator Medis
kondisi pasien membaik
15.
Kepustakaan
1. Warren KS dan Mahmoud AAF (1990). Tropical and Geographical ed ke 2, New York, Mc Graw-Hill Information Services Co.
2. Manson-Bahr PEC dan Bell DR (1987), Manson’s Tropical Disease ed. ke-19, London, English Language PEC dan Bell DR (1987). Manson tropical disease ed. ke-19, London, English language book society/Balliere Tyndall.
3. Strickland GTh (1991). Hunter’s tropical medicine ed ke 7, Philadelphia, WB Saunders Co.
4. Henrickse RG, Barr DGD, Mathew’s TS (1991). Paediatrics in the tropics London, Blackwell scientific publication.
5. Yaffe, Arunda. Pediatric Pharmacology : Therapeutics principles on practice 1st ed, Philadelphia, WB Saunders, 1992.
6. Pedoman tatalaksana malaria di Indonesia, Depkes RI, 2003.
Ketua Komite Medik Mojokerto, 8 November 2015
Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
dr. Asri Bindusari, Sp.KK dr. Sony Tri A. Kamil, Sp.A
NIP 19601102 198703 2 002 NIP 19661217 199703 1 001
Direktur RSUD Soekandar Mojosari
Panduan Praktik Klinis
SMF ILMU KESEHATAN ANAKRSUD PROF. DR. SOEKANDAR KAB. MOJOKERTO TAHUN 2015
CAMPAK
1. Pengertian (Definisi)
Campak, measles atau rubeola adalah penyakit virus akut yang disebabkan oleh virus campak. Penyakit ini sangat infeksius, menular sejak awal masa prodromal sampai lebih kurang 4 hari setelah munculnya ruam. Infeksi disebarkan lewat udara (airborne).
2. Anamnesis Adanya demam tinggi terus menerus 38,50 C atau lebih disertai batuk, pilek, nyeri menelan, mata merah dan silau bila kena cahaya (fotofobia), seringkali diikuti diare. Pada hari ke 4-5 demam, timbul ruam kulit, didahului oleh suhu yang meningkat lebih tinggi dari semula. Pada saat ini anak dapat mengalami kejang demam. Saat ruam timbul, batuk dan diare bertambah parah sehingga anak mengalami sesak nafas atau dehidrasi.
3. Pemeriksaan Fisik
Gejala klinis terjadi setelah masa tunas 10-12 hari, terdiri dari tiga stadium Stadium prodromal, berlangsung 2-4 hari, ditandai dengan demam yang diikuti dengan batuk, pilek, farings merah, nyeri menelan, stomatitis, dan konjungtivitis. Tanda patognomonik timbulnya enantema mukosa pipi di depan molar tiga disebut bercak Koplik.
Stadium erupsi, ditandai dengan timbulnya ruam makulo-papular yang bertahan selama 5-6 hari. Timbulnya ruam dimulai dari batas rambut di belakang telinga, kemudian menyebar ke wajah, leher, dan akhirnya ke ekstrimitas.
Stadium penyembuhan (konvalesens), setelah 3 hari ruam berangsur-angsur menghilang sesuai urutan timbulnya. Ruam kulit menjadi kehitaman dan mengelupas yang akan menghilang setelah 1-2 minggu. Sangat penting untuk menentukan status gizi penderita, untuk
mewaspadai timbulnya komplikasi. Gizi buruk merupakan risiko komplikai berat.
4. Kriteria Diagnosis
Ditegakkan berdasarkan adanya :
Anamnesis, tanda klinik dan tanda yang patognomonik pemeriksaan serologik atau virologik yang positif
5. Diagnosis Campak
6. Diagnosis Banding
Ruam kulit eksantema akut yang lain seperti : rubela,
roseola infantum (eksantema subitum), infeksi mononukleosus,
erupsi obat.
7. Pemeriksaan Penunjang
Darah tepi : jumlah leukosit normal atau meningkat apabila ada komplikasi infeksi bakteri
Pemeriksaan untuk komplikasi :
1. Ensefalopati/ensefalitis : dilakukan pemeriksaan cairan serebrospinalis, kadar elektrolit darah dan analisis gas darah
2. Enteritis : feses lengkap
3. Bronkopneumonia: dilakukan pemeriksaan foto dada dan analisis gas darah.
8. Terapi
Pengobatan bersifat suportif, terdiri dari : 1. pemberian cairan yang cukup
2. kalori yang sesuai dan jenis makanan yang disesuaikan dengan tingkat kesadaran dan adanya komplikasi
3. suplemen nutrisi
4. antibiotik diberikan apabila terjadi infeksi sekunder 5. anti konvulsi apabila terjadi kejang
6. pemberian vitamin A.
Indikasi rawat inap : hiperpireksia (suhu > 39,00 C), dehidrasi, kejang, asupan oral sulit, atau adanya komplikasi.
Campak tanpa komplikasi : 1. Hindari penularan
2. Tirah baring di tempat tidur
3. Vitamin A 100.000 IU, apabila disetai malnutrisi dilanjutkan 1500 IU tiap hari
4. Diet makanan cukup cairan, kalori yang memadai. Jenis makanan disesuaikan dengan tingkat kesadaran pasien dan ada tidaknya komplikasi. Campak dengan komplikasi :
1. Ensefalopati/ensefalitis
Antibiotika bila diperlukan, antivirus dan lainya sesuai dengan PDT ensefalitis
Kortikosteroid, bila diperlukan sesuai dengan PDT ensefalitis Kebutuhan jumlah cairan disesuaikan dengan kebutuhan serta
koreksi terhadap gangguan elektrolit 2. Bronkopneumonia :
Antibiotika sesuai dengan PDT pneumonia Oksigen nasal atau dengan masker
Koreksi gangguan keseimbangan asam-basa , gas darah dn elektrolit
Enteritis : koreksi dehidrasi sesuai derajat dehidrasi (lihat Bab enteritis dehidrasi).
9. Edukasi Jaga kebersihan
Perbanyak asupan cairan Makanan bergizi
10. Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam/malam Ad sanationam : dubia ad bonam/malam Ad fumgsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens IV 12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelaah Kritis
dr. Sony Tri A. Kamil, Sp.A dr. Anggono R. Arfianto, Sp.A dr. Sofia Wardhani, Sp.A 14. Indikator
Medis kondisi pasien membaik
15.
Kepustakaan 1. Parwati SB. Campak dalam perspektif perkembangan imunisasi dandiagnosis. Pediatri pencegahan mutakhir I, CE IKA Unair, 2000 : 73-92.
2. Katz SL. Measles in Katz SL, Gershon AA, Hotez PJ (eds). Krugman’s Infectious Diseases of Children, 8th ed, St. Louis,
Mosby, 1998 : 247-264.
3. Kristensen I, Aaby P, Jensen H, Routine vaccination and child survival : Follow up study in Guinea-Bissou, West Africa. Br Med J. 2000; 321 : 1-8.
4. Joklik WK. Paramyxovirus in Joklik WK, Virology, 3rd ed. London,
Prentice-Hall International Inc., 1988; hal. 204-219.
5. Redd SC, Markowitz LE, Katz SL, Measles vaccine in Plotkin and Orenstein (eds), Vaccines, 3rd ed, Philadelphia, WB Saunders,
1999 : 222-266.
6. Toit DR, Ward KN, Brown DWG, Mirev E. Measles and rubella misdiagnosed as exanthema subitum (roseola infantum) Br Med J, 1996; 312 : 101-2.
Ketua Komite Medik Mojokerto, 8 November 2015
Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
dr. Asri Bindusari, Sp.KK dr. Sony Tri A. Kamil, Sp.A
NIP 19601102 198703 2 002 NIP 19661217 199703 1 001
Direktur RSUD Soekandar Mojosari
Panduan Praktik Klinis
SMF : ILMU KESEHATAN ANAKRSUD PROF. DR. SOEKANDAR KAB. MOJOKERTO TAHUN 2014
GLOMERULONEFRITIS AKUT PASKA STREPTOKOKUS
1. Pengertian (Definisi) Suatu proses radang non-supuratif yang mengenai glomeruli,
sebagai akibat infeksi kuman streptokokus beta hemolitikus grup A, tipe nefritogenik di tempat lain..
2. Anamnesis Bengkak seluruh tubuh, air kemih merah, badan lemas
3. Pemeriksaan Fisik
Sembab preorbita pada pagi hari (75%)
Malaise, sakit kepala, muntah, panas dan anoreksia Asites (kadang-kadang)
Takikardia, takipnea, rales pada paru, dan cairan dalam rongga pleura
Hipertensi (tekanan darah > 95 persentil menurut umur) pada > 50% penderita
Air kemih merah seperti air daging, oliguria, kadang-kadang anuria
Pada pemeriksaan radiologik didapatkan tanda
bendungan pembuluh darah paru, cairan dalam rongga pleura, dan kardiomegali
4. Kriteria Diagnosis edema
hematuri ASTO Test
5. Diagnosis Glomerulonefritis Akut Paska Streptokokus
6. Diagnosis Banding
- Hematuria berulang dengan glomerulonefritis fokal (IgA nefropati)
- Hematuria berulang yang asimtomatis, tanpa penurunan fungsi ginjal
- Timbunan IgA di glomeruli - Hematuria berulang ringan - Purpura Henoch-Schonlein - Glomerulonefritis progresif
7. Pemeriksaan Penunjang
Air kemih :
Proteinuria ringan (pemeriksaan urine rebus) Hematuria makroskopis/mikroskopis
Torak granular, torak eritrosit Darah
BUN naik pada fase akut, lalu normal kembali ASTO >100 Kesatuan Todd
Komplemen C3 < 50 mg/dl pada 4 minggu pertama Hipergamaglobulinemia, terutama IgG
Anti DNA-ase beta dan properdin meningkat
8. Terapi
Medikamentosa
Golongan penisilin dapat diberikan untuk eradikasi kuman, dengan amoksisilin 50 mg/kg BB dibagi 3 dosis selama 10 hari. Jika alergi terhadap golongan penisilin, diganti dengan eritromisin 30 mg/kg BB/hari dibagi 3 dosis.
Diuretik diberikan untuk mengatasi retensi cairan dan hipertensi. Jika terdapat hipertensi, berikan obat antihipertensi, tergantung pada berat ringannya hipertensi. Bedah
Tidak diperlukan tindakan bedah. Suportif
Pengobaan GNAPS umumnya bersifat suportif. Tirah baring umumnya diperlukan jika pasien tampak sakit misalnya kesadaran menurun, hipertensi, edema. Diet nefritis diberikan terutama pada keadaan dengan retensi cairan dan penurunan fungsi ginjal. Jika terdapat komplikasi seperti gagal ginjal, hipertensi ensefalopati, gagal jantung, edema paru, maka tatalaksananya disesuaikan dengan komplikasi yang terjadi.
Lain-lain (rujukan subspesialis, rujukan spesialisasi lainnya dll)
Rujuk ke dokter nefrologi anak bila terdapat komplikasi gagal ginjal, ensefalopati hipertensi, gagal jantung.
9. Edukasi Jaga kebersihan
Makanan bergizi
10. Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam/malam Ad sanationam : dubia ad bonam/malam Ad fumgsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelaah Kritis dr. Sony Tri A. Kamil, Sp.A
dr. Anggono R. Arfianto, Sp.A dr. Sofia Wardhani, Sp.A
14. Indikator Medis kondisi pasien membaik
15. Kepustakaan
Arant Jr BS, Roy III S, Stapleton BF, 1983. Poststreptococal acute glomerulonephritis. In : Kelley VC, ed. Practice of Pediatrics. Volume VIII. New York : harper and Row Publ., 7 : 1.
Cole BR, Madrigal LS, 1999. Acute Proliferative Glomerulonephritis. In Barratt TM, Avner ED, Harmon WE. 4thED. Baltimor, Maryland USA : Lippincott William & Wilkins, 669-689.
Jordan CS, Lemire MJ, 1982. Acute Glomerulonephritis : Diagnosis and Treatment. Pediatr Clin N Am , 29 : 857.
Kempe CH, Silver HK, O’Brien D, 1980. Current Pediatric Diagnosis and Treatment. 6th ed. Singapore : Maruzen Co./Lange Medical Publ., 508.
Noer MS . Glomerulonefritis, 2002. In Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO. Buku Ajar Nefrologi Anak. 2nd .Ed. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 323-361.
Smith JM, Faizan MK, Eddy AA, 2003. The child with acute nephritic syndrome. In Webb NJA, Postlethwaite RJ ed, Clinical Paediatric Nephrology 3rd ED. Great Britain : Oxford University Press, 197-225.
Ketua Komite Medik Mojokerto, 8 November 2015
Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
dr. Asri Bindusari, Sp.KK dr. Sony Tri A. Kamil, Sp.A
NIP 19601102 198703 2 002 NIP 19661217 199703 1 001
Direktur RSUD Soekandar Mojosari
Panduan Praktik Klinis
SMF : ILMU KESEHATAN ANAKRSUD PROF. DR. SOEKANDAR KAB. MOJOKERTO TAHUN 2015
HIPERTENSI
1. Pengertian (Definisi) suatu keadaan tekanan darah sistolik dan atau diastolik > persentil ke 95 untuk umur dan jenis kelamin pada pengukuran 3 kali berturut-turut.
2. Anamnesis
Selain adanya gejala-gejala yang dikeluhkan penderita, anamnesis yang teliti dan terarah sangat diperlukan untuk evaluasi hipertensi pada anak. Riwayat pemakaian obat-obatan seperti kortkosteroid, atau obat-obat golongan simpatomimetik (misal efedrin). Riwayat penyakit dalam keluarga, misalnya hipertensi, stroke, gagal ginjal, dan lain-lain.
3. Pemeriksaan Fisik
Dilakukan pengukuran tekanan darah pada ke empat ekstremitas untuk mencari koarktasio aorta. Kesadaran dapat menurun sampai koma, tekanan sistolik dan diastolik meningkat, denyut jantung meningkat. Dapat ditemukan bunyi murmur dan bruit, tanda gagal jantung, dan tanda ensefalopati.
Pada pemeriksaan funduskopi dapat ditemukan kelainan retina berupa perdarahan, eksudat, edema papil atau penyempitan pembuluh darah arteriol retina.
4. Kriteria Diagnosis Tekanan darah
5. Diagnosis Hipertensi
6. Diagnosis Banding Hipertensi akut
Hipertensi akut dapat disebabkan oleh glomerulonefritis akut pasca streptokokus, sindrom hemolitik uremik, lupus eritematosus sistemik, dan purpura Henoch-Schonlein.
Pemeriksaan air kemih, kadar elektrolit, IgG, IgM, IgA, C3, ASSTO, ANA, sel LE, BUN, kreatinin serum, dan hematologi, dapat membedakan penyebab hipertensi tersebut.
Hipertensi kronik
Hipertensi kronik dapat disebabkan oleh glomerulonefritis kronik, pielonefritis kronik, uropati obstruktif, penyempitan pembuluh darah ginjal, dan gagal ginjal tahap akhir.
Hipertensi sekunder pada anak dapat pula disebabkan oleh hiperaldosteronisme primer, sindrom Cushin, feokromositoma, hipertiroid, hiperparatiroid, pengobatan steroid jangka panjang, neurofibromatosis, sindrom Guillain-Barre, dan luka bakar.
-8. Terapi
Medikamentosa
Penggunaan obat antihipertensi pada anak dimulai bila tekanan darah berada 10 mmHg di atas persentil ke-95 untuk umur dan jenis kelamin. Langkah pengobatan dan dosis obat antihipertensi dapat dilihat pada lampiran.
Pengobatan hipertensi non krisis :
1. tekanan diastolik 90-100 mmHg : diuretik furosemid
2. tekanan diastolik 100-120 mmHg: furosemid ditambah kaptopril, jika belum turun, ditambah antihipertensi golongan beta bloker atau golongan lain.
Pengobatan krisis hipertensi :
1. Nifedipin oral diberikan dengan dosis 0,1 mg/kgBB/kali. Dinaikkan 0,1 mg/kgBB/kali setiap 30 menit (dosis maksimal 10 mg/kali). Ditambah furosemid 1 mg/kgBB/kali, 2 kali sehari , bila tidak turun diberi kaptopril 0,3 mg/kg/kali diberikan 2-3 kali pehari.
2. Klonidin drip 0,002 mg/kgBB/8 jam + 100 ml dektrose 5%. Tetesan awal 12 mikrodrip/menit, bila tekanan darah belum turun, tetesan dinaikkan 6 mikrodrip/m setiap 30 menit (maksimum 36 mikrodrip/m), bila tekanan darah belum turun ditambahkan kaptopril 0,3 mg/kgBB/kali, diberikan 2-3 kali sehari (maksimal 2 mg/kg/kali). Diberikan bersama furosemid 1 mg/kgBB/kali, 2 kali sehari.
II. Bedah
Sesuai dengan kelainan yang ditemukan. III. Suportif
Pemberian nutrisi yang rendah garam dapat dilakukan. Pada anak yang obesitas diperlukan usaha untuk menurunkan berat badan. Olahraga dapat merupakan terapi pada hipertensi ringan. Restriksi cairan.
IV. Lain-lain (rujukan subspesialis, rujukan spesialisasi lainnya dll)
Rujukan ke Bagian Mata untuk melihat keterlibatan retina. Rujuk ke dokter nefrologi anak bila tidak berhasil dengan pengobatan atau terjadi komplikasi
9. Edukasi Jaga kebersihan
Makanan bergizi
10. Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam/malam Ad sanationam : dubia ad bonam/malam Ad fumgsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
dr. Anggono R. Arfianto, Sp.A dr. Sofia Wardhani, Sp.A
14. Indikator Medis kondisi pasien membaik
15. Kepustakaan
Report of the Second Task Force on Blood Control in Children, 1987. Pediatrics 79 : 1.
Bahrun D, 2002. Hipertensi sistemik. In : Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede, SO, editors. Buku Ajar Nefrologi Anak. 2nd edition. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, pp 242-290.
Goonasekera CDA, Dillon MJ, 2003. The child with hypertension. In : Webb NJA, Postlethwaite RJ, editors. Clinical Paediatric Nephrology. 3rd edition. Oxford : OxfordUniversity Press, pp 151-161.
Goonasekera CDA, Dillon MJ, 2000. Measurement and interpretation of blood pressure. Arch Dis Child 82 : 261-265.
Arafat M, Mattoo TK, 1999. Measurement of blood pressure in children : recommendation and prescriptions on cuff selection. Pediatrics 104 : e30.
Beevers G, Lip GYH, O’Brien E, 2001. Blood pressure measurement Part-1 Sphygmomanometry : factors common to all techniques. BMJ 322 : 981-985.
Beevers G, Lip GYH, O’Brien E, 2001. Blood pressure measurement Part-2 Conventional sphygmomanometry : technique of auscultatory blood pressure measurment. BMJ 322 : 1043-1047.
Ketua Komite Medik Mojokerto, 8 November 2015
Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
dr. Asri Bindusari, Sp.KK dr. Sony Tri A. Kamil, Sp.A
NIP 19601102 198703 2 002 NIP 19661217 199703 1 001
Direktur RSUD Soekandar Mojosari
Panduan Praktik Klinis
SMF : ILMU KESEHATAN ANAKRSUD PROF. DR. SOEKANDAR KAB. MOJOKERTO TAHUN 2015
INFEKSI SALURAN KEMIH
1. Pengertian (Definisi) infeksi yang terjadi pada saluran air kemih, mulai dari uretra, buli-buli, ureter, piala ginjal sampai jaringan ginjal.
2. Anamnesis
nyeri bila buang air kecil (dysuria), sering buang air kecil (frequency), dan ngompol. Gejala infeksi saluran kemih bagian bawah biasanya panas tinggi, gejala gejala sistemik, nyeri di daerah pinggang belakang.
3. Pemeriksaan Fisik
demam
keluhan saat berkemih nyeri pinggang
gangguan anatomi saluran kencing (epispadi, hipospadi, fimosis)
4. Kriteria Diagnosis keluhan saluran kemihLab urine lengkap
5. Diagnosis Infeksi Saluran Kemih
6. Diagnosis Banding Yang penting adalah membedakan antara pielonefritis dan sistitis. Ingat akan pielonefritis apabila didapatkan infeksi dengan hipertensi, disertai gejala-gejala umum, adanya faktor predisposisi, fungsi konsentrasi ginjal menurun, respons terhadap antibiotik kurang baik.
7. Pemeriksaan Penunjang Darah Lengkap
Urine Lengkap BUN-SK
Foto polos abdomen
8. Terapi
Medikamentosa
Penyebab tersering ISK ialah Escherichia coli. Sebelum ada hasil biakan urin dan uji kepekaan, untuk eradikasi infeksi akut diberikan antibiotik secara empirik selama 7-10 hari. Jenis antibiotik dan dosis dapat dilihat pada lampiran.
Bedah
Koreksi bedah sesuai dengan kelainan saluran kemih yang ditemukan untuk menghilangkan faktor predisposisi..
Suportif
Selain pemberian antibiotik, penderita ISK perlu mendapat asupan cairan cukup, perawatan higiene daerah perineum dan periuretra, pencegahan konstipasi.
Lain-lain (rujukan subspesialis, rujukan spesialisasi lainnya dll) Rujukan ke Bedah Urologi sesuai dengan kelainan yang ditemukan. Rujukan ke Unit Rehabilitasi Medik untuk buli-buli neurogenik. Rujukan kepada SpA(K) bila ada faktor risiko.
9. Edukasi Jaga kebersihan
Perbanyak asupan cairan Makanan bergizi
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens
IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelaah Kritis dr. Sony Tri A. Kamil, Sp.A
dr. Anggono R. Arfianto, Sp.A dr. Sofia Wardhani, Sp.A
14. Indikator Medis kondisi pasien membaik
15. Kepustakaan
Kempe CH, Silver HK, O,Brien D, 1980. Current Pediatric Diagnosis and Treatment. 6th ed. Singapore : Maruzen Co./Lange Medical Publ., 514.
Lambert H, Coulthard M, 2003. The child with urinary tract infection. In : Webb NJ.A, Postlethwaite RJ ed. Clinical Paediatric Nephrology.3rd ED. Great Britain: Oxford Universsity Press., 197-225.
Ketua Komite Medik Mojokerto, 8 November 2015
Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
dr. Asri Bindusari, Sp.KK dr. Sony Tri A. Kamil, Sp.A
NIP 19601102 198703 2 002 NIP 19661217 199703 1 001
Direktur RSUD Soekandar Mojosari
Panduan Praktik Klinis
SMF : ILMU KESEHATAN ANAKRSUD PROF. DR. SOEKANDAR KAB. MOJOKERTO TAHUN 2015
SINDROMA NEFROTIK
1. Pengertian (Definisi) salah satu penyakit ginjal yang sering dijumpai pada anak, merupakan suatu kumpulan gejala-gejala klinis yang terdiri dari proteinuria masif, hipoalbuminemia, hiperkholesterolemia serta sembab.
2. Anamnesis
Keluhan yang sering ditemukan adalah bengkak di ke dua kelopak mata, perut, tungkai, atau seluruh tubuh dan dapat disertai jumlah urin yang berkurang. Keluhan lain juga dapat ditemukan seperti urin berwarna kemerahan.
3. Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan fisik sindrom nefrotik dapat ditemukanedema di kedua kelopak mata, tungkai, atau adanya asites dan
edema skrotum/labia. Kadang-kadang ditemukan hipertensi.
4. Kriteria Diagnosis edemahematuria proteinuria
5. Diagnosis Sindroma Nefrotik
6. Diagnosis Banding
1. Sembab non-renal : gagal jantung kongestif, gangguan nutrisi, edema hepatal, edema Quincke.
2. Glomerulonefritis akut 3. Lupus sistemik eritematosus.
7. Pemeriksaan Penunjang Pada urinalisis ditemukan proteinuria masif (3+ sampai 4+),
dapat disertai hematuria. Pada pemeriksaan darah didapatkan hipoalbuminemia (< 2,5 g/dl), hiperkolesterolemia, dan laju endap darah yang meningkat, rasio albumin/globulin terbalik. Kadar ureum dan kreatinin umumnya normal kecuali ada penurunan fungsi ginjal.
8. Terapi
Bila diagnosis sindrom nefrotik telah ditegakkan, sebaiknya janganlah tergesa-gesa memulai terapi kortikosteroid, karena remisi spontan dapat terjadi pada 5-10% kasus. Steroid dimulai apabila gejala menetap atau memburuk dalam waktu 10-14 hari. Bila diagnosis sindrom nefrotik telah ditegakkan, sebaiknya janganlah tergesa-gesa memulai terapi kortikosteroid, karena remisi spontan dapat terjadi pada 5-10% kasus. Steroid dimulai apabila gejala menetap atau memburuk dalam waktu 10-14 hari.
Bila diagnosis sindrom nefrotik telah ditegakkan, sebaiknya janganlah tergesa-gesa memulai terapi kortikosteroid, karena remisi spontan dapat terjadi pada 5-10% kasus. Steroid dimulai apabila gejala menetap atau memburuk dalam waktu 10-14 hari.
9. Edukasi Jaga kebersihan Makanan bergizi
10. Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam/malam Ad sanationam : dubia ad bonam/malam Ad fumgsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelaah Kritis dr. Sony Tri A. Kamil, Sp.A
dr. Anggono R. Arfianto, Sp.A dr. Sofia Wardhani, Sp.A
14. Indikator Medis kondisi pasien membaik
15. Kepustakaan
1. Chesney RW, 1999. The idiopathic nephrotic syndrome. Curr Opin Pediatr 11 : 158-61.
2. International Study of Kidney Disease in Children, 1978. Nephrotic syndrome in children. Prediction of histopathology from clinical and laboratory
chracteristics at time of diagnosis. Kidney Int 13 : 159. 3. Wila Wirya IG, 2002. Sindrom nefrotik. In: Alatas H,
Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, editors. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi-2. Jakarta : Balai Penerbit FKUI pp. 381-426.
4. Kaysen GA, 1992. Proteinuria and the nephrotic
syndrome. In : Schrier RW, editor. Renal and electrolyte disorders. 4th edition. Boston : Little, Brown and
Company pp. 681-726.
Ketua Komite Medik Mojokerto, 8 November 2015
Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
dr. Asri Bindusari, Sp.KK dr. Sony Tri A. Kamil, Sp.A
NIP 19601102 198703 2 002 NIP 19661217 199703 1 001
Direktur RSUD Soekandar Mojosari
Panduan Praktik Klinis
SMF : ILMU KESEHATAN ANAKRSUD PROF. DR. SOEKANDAR KAB. MOJOKERTO TAHUN 2015
BRONKITIS
1. Pengertian (Definisi) proses keradangan pada bronkus dengan manifestasi utama berupa batuk, yang dapat berlangsung secara akut maupun kronis
2. Anamnesis batuk, pilek yang berlangsung beberapa hari, sesak, demam
3. Pemeriksaan Fisik
• Keadaan umum baik, anak tidak tampak sakit • Panas sub febris seringkali terjadi
• Tidak didapatkan adanya sesak, pada pemeriksaan paru didaptkan ronki basah kasar, dapat terdengar ronki kering (coarse moist rales) yang tidak tetap
• Dapat ditemukan nasofaringitis, kadang conjunctivitis
4. Kriteria Diagnosis gejala klinis : batuk, pilek
foto Xray 5. Diagnosis Bronkitis 6. Diagnosis Banding Tuberkulosis Alergi Sinusitis Tonsilitis adenoid Bronkiektasis
Benda asing/corpus alienum Kelainan kongenital
Defisiensi imun Fibrosis kistik
7. Pemeriksaan Penunjang - foto toraks dapat normal atau peningkatan corak
bronkovaskuler.
- pada pemeriksaan laboratorium lekosit dapat normal atau meningkat
8. Terapi
• Mengontrol batuk agar sekret menjadi lebih encer/lebih mudah dikeluarkan :
- Anak dianjurkan untuk minum lebih banyak
- Pemberian uap atau mukolitik, bila perlu diikuti fisioterapi dada.
- Hati-hati dalam pemberian antitusif dan antihistamin karena akan mengakibatkan sekret menjadi lebih kental sehingga dapat menimbulkan atelektasis atau pneumonia
• Antibiotika diberikan apabila didapatkan adanya kecurigaan infeksi sekunder, dengan pilihan antibiotika : ampisilin, kloksasilin, kloramfenikol, eritromisin
9. Edukasi Jaga kebersihan
Perbanyak asupan cairan Makanan bergizi
Imunisasi
10. Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam/malam Ad sanationam : dubia ad bonam/malam Ad fumgsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelaah Kritis dr. Sony Tri A. Kamil, Sp.A
dr. Anggono R. Arfianto, Sp.A dr. Sofia Wardhani, Sp.A
14. Indikator Medis kondisi pasien membaik
15. Kepustakaan
1 Loughlin GM. Bronchitis. Dalam : Kendig EL, Chernick V, penyunting. Kendig’s Disorders of the Respiratory Tract in Children. Edisi ke-5. Philadelphia : WB Saunders 1990 : 349-59.
2 Goodman D. Bronchitis. Dalam : Behrman RE, Kleigman RM, Jenson HB, penyunting. NelsonTextbook of Pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia : WB Saunders, 2003 : 1414-5.
Ketua Komite Medik Mojokerto, 8 November 2015
Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
dr. Asri Bindusari, Sp.KK dr. Sony Tri A. Kamil, Sp.A
NIP 19601102 198703 2 002 NIP 19661217 199703 1 001
Direktur RSUD Soekandar Mojosari
dr. Sujatmiko, M.M, MMR.
Panduan Praktik Klinis
SMF : ILMU KESEHATAN ANAKRSUD PROF. DR. SOEKANDAR KAB. MOJOKERTO TAHUN 2015
ASMA
1. Pengertian (Definisi) adanya gejala batuk dan/atau mengi berulang, terutama pada
malam hari (nocturnal), reversible (dapat sembuh spontan atau dengan pengobatan) dan biasanya terdapat atopi pada pasien dan atau keluarganya
2. Anamnesis batuk, mengi, riwayat alergi
3. Pemeriksaan Fisik Pernafasan cuping hidung, retraksi sela iga, wheezing seluruh
lapang paru 4. Kriteria Diagnosis Anamnesa Pemeriksaan fisik 5. Diagnosis Asma 6. Diagnosis Banding - Bronkiolitis - Bronkitis - Pneumonia - Tuberkulosis
7. Pemeriksaan Penunjang - Uji fungsi paru dengan spirometri atau peak flow meter.
Diagnosis asma dapat ditegakkan bila didapatkan : o Variasi pada PFR (peak flow meter = arus
puncak ekspirasi) atau FEV1 (forced expiratory volume 1 second = volume ekspirasi paksa pada detik pertama) ≥ 15%
o Kenaikan ≥ 15% pada PFR atau FEV1 setelah pemberian inhalasi bronkodilator
o Penurunan ≥ 20% pada PFR atau FEV1 setelah provokasi bronkus.
- Pemeriksaan Ig E dan eosinofil total. Bila terjadi peningkatan dari nilai normal akan menunjang diagnosis
Foto toraks untuk melihat adanya gambaran emfisematous atau adanya komplikasi pada saat serangan. Foto sinus para nasal perlu dipertimbangkan pada anak > 5 tahun dengan asma persisten atau sulit diatasi
8. Terapi
- Berikan oksigen
- Nebulasi dengan -agonis ± antikolinergik dengan oksigen dengan 4-6 kali pemberian.
- Koreksi asidosis, dehidrasi dan gangguan elektrolit bila ada
- Berikan steroid intra vena secara bolus, tiap 6-8 jam - Berikan aminofilin intra vena :
o Bila pasien belum mendapatkan amonifilin sebelumnya, berikan aminofilin dosis awal 6 mg/kgBB dalam dekstrosa atau NaCl sebanyak 20 ml dalam 20-30 menit
o Bila pasien telah mendapatkan aminofilin (kurang dari 4 jam), dosis diberikan separuhnya.
o Bila mungkin kadar aminofilin diukur dan dipertahankan 10-20 mcg/ml
o Selanjutnya berikan aminofilin dosis rumatan 0,5-1 mg/kgBB/jam
- Bila terjadi perbaikan klinis, nebulasi diteruskan tiap 6 jam hingga 24 jam, dan pemberian steroid dan aminofilin dapat per oral
- Bila dalam 24 jam pasien tetap stabil, pasien dapat dipulangkan dengan dibekali obat -agonis (hirupan atau oral) yang diberikan tiap 4-6 jam selama 24-48 jam. Selain itu steroid oral dilanjutkan hingga pasien kontrol ke klinik rawat jalan dalam 24-48 jam untuk reevaluasi tatalaksana.
9. Edukasi
Jaga kebersihan
Perbanyak asupan cairan Makanan bergizi
10. Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam/malam Ad sanationam : dubia ad bonam/malam Ad fumgsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelaah Kritis dr. Sony Tri A. Kamil, Sp.A
dr. Anggono R. Arfianto, Sp.A dr. Sofia Wardhani, Sp.A
14. Indikator Medis kondisi pasien membaik
15. Kepustakaan
1 UKK Pulmonologi PP Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pedoman Nasional Asma Anak, Bali 2002, hal : 1-9. 2 Rahajoe N, Supriyatno B, Setyanto DB. Pedoman
Nasional Asma Anak. UKK Pulmonologi : PP IDAI, 2004.
3 Michael Sly. AsthmaDalam : Behrman RE, Kliegman RM, Arvin AM, penyunting. Nelson Textbook of Pediatric. Edisi ke-16. Philadelphia : WB Saunders, 2000 : 664-80.
4 Larsen Garyl, Colasurdo GN. Assesment and treatment of Acute Asthma in Children and aldolecens Dalam: Naspitz CK, penyunting. Text Book of Pediatric Asthma an International Perspective. Edisi ke-1. United
Ketua Komite Medik Mojokerto, 8 November 2015 Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
dr. Asri Bindusari, Sp.KK dr. Sony Tri A. Kamil, Sp.A
NIP 19601102 198703 2 002 NIP 19661217 199703 1 001
Direktur RSUD Soekandar Mojosari
Panduan Praktik Klinis
SMF : ILMU KESEHATAN ANAKRSUD PROF. DR. SOEKANDAR KAB. MOJOKERTO TAHUN 2015
ALERGI OBAT
1. Pengertian (Definisi) respon abnormal seseorang terhadap bahan obat atau metabolitnya melalui reaksi imunologi yang dikenal sebagai reaksi hipersensitivitas yang terjadi selama atau setelah pemakaian obat.
2. Anamnesis gejala alergi seperti ruam kemerahan, bibir atau kelopak mata
bengkak, gatal seluruh tubuh segera setelah meminum obat tertentu
3. Pemeriksaan Fisik
urtikaria
edema palpebra, edema labial wheezing
4. Kriteria Diagnosis gejala alergiriwayat penggunaan obat tertentu
5. Diagnosis Alergi Obat
6. Diagnosis Banding
- Reaksi alergi lainnya - Gatal karena infeksi
7. Pemeriksaan Penunjang uji in vivo dan in vitro terdapat obat atau metabolitnya.
Uji in vivo berupa uji kulit dan uji provokasi. Uji in vitro terbata sebagai sarana penelitian dan bukan merupakan prosedur rutin.
8. Terapi
Penghentian obat
Kalau mungkin semua obat dihentikan dulu,kecuali obat yang memang perlu dan tidak dicurigai sebagai penyebab reaksi alergi atau menggantikan dengan obat lain.
Pengobatan
Manifestasi klinis ringan umumnya tidak memerlukan pengobatan khusus. Untuk pruritus, urtikaria atau edema angionerotik dapat diberikan antihistamin misalnya, diphenhidramin, loratadin atau cetirizine dan kalau kelainan cukup luas diberikan pula adrenalinsubkutan dengan dosis 0,01 mg/kg/dosis maksimum 0,3 mg/dosis. Difenhidramin diberikan dengan dosis 0,5 mg/kg/dosis, 3 kali/24 jam. CTM diberikan dengan dosis 0,09 mg/kg/dosis, 3-4 kali/24 jam. Setirizin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah : 2-5 tahun: 2.2-5 mg/dosis, 1 kali/hari; > 6 tahun : 2-5-10 mg/dosis, 1 kali/hari. Loratadin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah : 2-5 tahun: 2.5 mg/dosis,1 kali/hari; > 6 tahun : 10 mg/dosis, 1 kali/hari. Feksofenadin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 6-11 tahun : 30 mg/hari, 2 kali/hari; > 12 tahun : 60 mg/hari, 2 kali/hari atau 180mg/hari, 4kali/hari.
Bila gejala klinis sangat berat misalnya dermatitois eksfoliatif, ekrosis epidermal toksik, sindroma Steven Johnson, vaskulitis, kelainan paru, kelainan hematologi harus diberikan kortikosteroid serta pengobatan suportif dengan menjaga kebutuhan cairan dan elektrolit, tranfusi, antibiotik profilaksis dan perawatan kulit sebagaimana pada luka bakar untuk kelainan-kelainan dermatitis eksfoliatif, nekrosis epidermal toksik dan Sindroma Steven Johnson.
9. Edukasi
Kenali gejala alergi Jaga kebersihan Makanan bergizi
10. Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam/malam Ad sanationam : dubia ad bonam/malam Ad fumgsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens
IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelaah Kritis dr. Sony Tri A. Kamil, Sp.A
dr. Anggono R. Arfianto, Sp.A dr. Sofia Wardhani, Sp.A
14. Indikator Medis kondisi pasien membaik
15. Kepustakaan
1 Boguniewicz M. Adverse reaction to drugs. In: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB (eds) : Textbook of Pediatrics. 17th Ed Philadelphia, WB Saunders 2004. pp. 783-785.
Ketua Komite Medik Mojokerto, 8 November 2015
Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
dr. Asri Bindusari, Sp.KK dr. Sony Tri A. Kamil, Sp.A
NIP 19601102 198703 2 002 NIP 19661217 199703 1 001
Direktur RSUD Soekandar Mojosari
Panduan Praktik Klinis
SMF : ILMU KESEHATAN ANAKRSUD PROF. DR. SOEKANDAR KAB. MOJOKERTO TAHUN 2015
RHINITIS ALERGIKA
1. Pengertian (Definisi) gangguan fungsi hidung, terjadi setelah paparan alergen melalui peradangan mukosa hidung yang diperantarai IgE.
2. Anamnesis rinorea, gatal hidung, bersin-bersin dan sumbatan hidung yang
membaik bila paparan alergi menghilang
3. Pemeriksaan Fisik edema konka nasal
konka pucat
4. Kriteria Diagnosis gejala tersebut di atas terutama bila terpapar alergen
5. Diagnosis Rhinitis alergika
6. Diagnosis Banding
1 Rinitis vasomotorik 2 Rinitis bakterial 3 Rinitis virus
7. Pemeriksaan Penunjang Uji laboratorium yang penting adalah pemeriksaan in vivo dengan uji kulit goresan, IgE total, IgE spesifik, dan pemeriksaan eosinofil pada hapusan mukosa hidung.
8. Terapi edukasi, penghindaran alergen, farmakoterapi dan imunoterapi.
9. Edukasi Jaga kebersihan
Makanan bergizi
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam Ad fumgsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat Evidens
IV
12. Tingkat Rekomendasi C
13. Penelaah Kritis dr. Sony Tri A. Kamil, Sp.A
dr. Anggono R. Arfianto, Sp.A dr. Sofia Wardhani, Sp.A
14. Indikator Medis kondisi pasien membaik
15. Kepustakaan 1 Christodoupoulos P, Cameron L, Durham S, Hamid Q.
Immunol 2000; 105 : 211-23.
2 Meltzer EO. Quality of life in adults and children with allergic rhinitis. J Allergy Clin Immunol 2001; 108 : S45-53. 3 Cauwenberge P. Consensus statement on the treatment of
allergic rhinitis. Eur Acad Allergology Clin Immunol Allergy 2000; 55 : 116-34.
4 Dibildox J. Safety and efficacy of mometasone furoate aqueous nasal spray in children with allergic rhinitis : Results of recent clinical trials. J Allergy Clin Immunol 2001; 108 : S54-8.
5 Pullerits T,Prack L, Ristioja V, Lotvail J. Comparison of a nasal glucocorticoid, antileukotriene, and a combination of antileukotriene and antihistamine in the treatment of seasonal allergic rhinitis. J Allergy Clin Immunol 2002; 109 : 949-55.
Ketua Komite Medik Mojokerto, 8 November 2015
Ketua SMF Ilmu Kesehatan Anak
dr. Asri Bindusari, Sp.KK dr. Sony Tri A. Kamil, Sp.A
NIP 19601102 198703 2 002 NIP 19661217 199703 1 001
Direktur RSUD Soekandar Mojosari