• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan antara adversity quotient dan intensi turnover pada karyawan - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Hubungan antara adversity quotient dan intensi turnover pada karyawan - USD Repository"

Copied!
107
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARAADVERSITY QUOTIENTDAN INTENSITURNOVERPADA KARYAWAN

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi.)

Program Studi Psikologi

Oleh:

Agnes Lita Indriasari NIM: 059114036

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)

ii SKRIPSI

HUBUNGAN ANTARAADVERSITY QUOTIENTDANINTENSI

TURNOVERPADA KARYAWAN

Oleh:

Agnes Lita Indriasari

NIM: 059114036

Telah disetujui oleh:

Pembimbing Skripsi,

P. Henrietta P.D.A.D.S., S.Psi, M.A.

(3)

iii SKRIPSI

HUBUNGAN ANTARAADVERSITY QUOTIENTDANINTENSI

TURNOVERPADA KARYAWAN

Dipersiapkan dan ditulis oleh:

Agnes Lita Indriasari NIM: 059114036

Telah dipertanggungjawabkan di depan Panitia Penguji

pada tanggal: 6 Desember 2011

dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Susunan Panitia Penguji:

Nama Lengkap Tanda Tangan

Penguji 1 P. Henrietta P.D.A.D.S., S.Psi, M.A. ………...

Penguji 2 V. Didik Suryo Hartoko, M.Si ………...

Penguji 3 Dewi Soerna Anggraeni, M.Psi ………...

Yogyakarta,

Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma

Dekan,

(4)

iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak

memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam

kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 6 Desember 2011

Penulis

(5)

v

HUBUNGAN ANTARAADVERSITY QUOTIENTDAN INTENSITURNOVERPADA KARYAWAN

Agnes Lita Indriasari

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antaraAdversity Quotientdan intensi turnoverpada karyawan. Hipotesis penelitian ini adalah bahwa terdapat hubungan negatif antara Adversity Quotientdan intensiturnoverpada karyawan. Hipotesis ini berarti bahwa semakin tinggi Adversity Quotient maka intensi turnover akan menjadi semakin rendah dan begitu juga sebaliknya. Subyek penelitian ini adalah karyawan yang berusia 21 – 30 tahun dengan masa kerja maksimal 3 tahun. Penelitian ini menggunakan subyek sebanyak 72 karyawan CSR (Customer Service Representative) PT. VADS Indonesia cabang Yogyakarta. Alat pengumpul data yang digunakan terdiri dari dua alat ukur, yaitu skala Adversity Quotient dan skala Intensi Turnover. SkalaAdversity Quotientmemiliki koefisien reliabilitas alpha sebesar 0,909 dan pada skala Intensi Turnover sebesar 0,956. Dari hasil analisis data penelitian diperoleh koefisien korelasi sebesar 0,283 dengan signifikansi 0,008. Hasil ini berarti ada hubungan yang positif dan signifikan antara Adversity Quotientdan Intensiturnover. Hal ini juga menandakan bahwa hipotesis awal penelitian ditolak.

(6)

vi

THE CORRELATION BETWEEN ADVERSITY QUOTIENT AND TURNOVER INTENTION ON EMPLOYEES

Agnes Lita Indriasari

ABSTRACT

This research aimed to find out the correlation between Adversity Quotient and turnover intention on employees. Hypothesis of this research was that there was a negative correlation between Adversity Quotient and turnover intention on employees. This hypothesis means that the higher Adversity Quotient then turnover intention will be lower, and vice versa. The subjects of this research were employee who 21 – 30 years old with maximal 3 years period of employment. This research used subject as many as 72 employees of CSR (Customer Service Representative) PT.VADS Indonesia in Jogyakarta’s branch. The measuring devices used were two measuring devices, those were Adversity Quotient scale and turnover intention scale. Adversity Quotient scale had 0,909 alpha reliability coefficients and on turnover intention scale was 0,956. The results of the data analysis indicated that the correlation coefficients 0,283 with 0,008 significances. It indicated that there was positive and significant correlation between Adversity Quotient and turnover intention on employees. It also indicated that the hypothesis of this research was declined.

(7)

vii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:

Nama : Agnes Lita Indriasari

NIM : 059114036

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan

Universitas Sanata Dharma sebuah karya ilmiah yang berjudul:

Hubungan antaraAdversity Quotientdan IntensiTurnoverpada Karyawan beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan

kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma untuk menyimpan, mengalihkan

dalam bentuk media lain, mengelolanya di internet atau media lain untuk

kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan

royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal : 6 Desember 2011

Yang menyatakan,

(8)

viii

KATA PENGANTAR

Penyusunan skripsi menyediakan tantangan tersendiri bagi masing-masing

orang. Terus melakukan pendakian tanpa istirahat panjang dan terlena dalam jeda

waktu adalah salah satu tantangan yang harus dihadapi dalam penyusunan skripsi.

Penulis menemukan suatu keindahan seni penyusunan skripsi ini dalam proses

pendakian yang sangat panjang. Bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung

maupun tidak langsung telah memberikan kobaran api tersendiri bagi penulis

dalam usaha pendakian. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih

kepada :

1. Sahabat kasat mata dengan kekuatan super yang penuh anugerah dan

penyertaanNya dalam segala kondisi.

2. Segenap keluarga atas segala bentuk doa dan dukungannya, terutama ibu

yang selalu memerah dengan dispensasi deadline, babe dengan kesabaran lebih dari tebal kumis dan ade yang mendahului lulus S1.

3. Dr. Christina Siwi Handayani selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas

Sanata Dharma.

4. Mbak P. Henrietta P. D. A. P. S., S.Psi, MA selaku dosen pembimbing

skripsi dan teman sharing yang sudah ikut pusing dalam membimbing

pendakian.

5. Pak Heri, Mas Anton CM, Bu Susan “kura-kura”, Romo Kun “kobo

chan”, Romo in dan Pak Budi atas pelajaran dan bekal dalam pendakian

(9)

ix

6. Segenap dosen Fakultas Psikologi USD dan karyawan Fakultas Psikologi

(Mas Gandung, Mbak Nanik, Mas Muji, Mas Doni dan Pak Gie),

terimakasih atas segala kerjasama yang diberikan untuk kelancaran studi

penulis di Fakultas Psikologi.

7. Sahabat PooH dan teman-teman kos dengan dukungan dan sasaran jail,

Eyin, Oneng, Kiki, Ome, Nensi dan Jegeg.

8. Teman-teman angkatan 05 yang terus melakukan pendakian camp S1

9. Teman-teman Psikologi USD

10. Dan semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu-persatu, terima kasih

untuk semuanya.

Penulis,

(10)

x

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... iv

ABSTRAK ... v

ABSTRACK ... vi

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI... x

DAFTAR TABEL... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN... xv

BAB I : PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian ... 8

BAB II : LANDASAN TEORI ... 9

A. IntensiTurnover... 9

(11)

xi

2. PengertianTurnover... 13

3. IntensiTurnover... 14

4. Faktor-faktor yang MempengaruhiTurnover... 16

5. Indikasi IntensiTurnover... 24

B. Adversity Quotient... 25

1. Pengertian Kesulitan ... 25

2. PengertianAdversity Quotient... 27

3. Tipe-tipe Individu... 29

4. DimensiAdversity Quotient... 32

5. Akibat-akibat dari CO2RE AQ ... 34

a. Akibat pada AQ Tinggi ... 34

b. Akibat pada AQ Rendah... 37

6. Penelitian IntensiTurnoverdanAdversity Quotient... 39

C. Hubungan antaraAdversity Quotientdan IntensiTurnover... 40

D. Hipotesis ... 43

BAB III : METODOLOGI PENELITIAN ... 44

A. Jenis Penelitian... 44

B. Identifikasi Variabel Penelitian... 44

C. Definisi Operasional Variabel Penelitian... 44

1. Adversity Quotient... 44

2. IntensiTurnover... 45

D. Subyek Penelitian... 45

(12)

xii

1. SkalaAdversity Quotient... 47

2. Skala IntensiTurnover... 48

F. Pertanggungjawaban Mutu ... 49

1. Validitas ... 49

2. Seleksi Aitem ... 50

3. Reliabilitas... 52

G. Teknik Analisis Data... 52

1. Uji Asumsi... 52

a. Uji Normalitas ... 52

b. Uji Linearitas ... 53

2. Uji Hipotesis... 53

BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 54

A. Orientasi Kancah Penelitian... 54

1. Sejarah Singkat... 54

2. Visi dan Misi Perusahaan ... 55

B. Pelaksanaan Penelitian... 55

1. Perijinan Penelitian ... 55

2. Pelaksanaan Penelitian ... 55

C. Deskripsi Subyek ... 56

D. Deskripsi Data Penelitian... 57

E. Kategorisasi... 58

F. Hasil Analisis Data ... 59

(13)

xiii

a. Uji Normalitas ... 59

b. Uji Linearitas ... 60

2. Uji Hipotesis... 60

G. Pembahasan... 61

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 67

A. Kesimpulan ... 67

B. Saran ... 67

DAFTARA PUSTAKA ... 69

(14)

xiv

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Blueprint SkalaAdversity Quotient... 47

Tabel 2. Skor Pernyataan Berdasarkan Jenis Pilihan Respon ... 48

Tabel 3. Blueprint Skala IntensiTurnover... 48

Tabel 4. Skor Pernyataan Berdasarkan Jenis Pilihan Respon ... 49

Tabel 5. Aitem Gugur pada SkalaAdversity Quotient... 50

Tabel 6. Aitem Gugur pada Skala IntensiTurnover... 51

Tabel 7. Tabel Spesifikasi Aitem SkalaAdversity Quotient... 51

Tabel 8. Tabel Spesifikasi Aitem Skala IntensiTurnover... 51

Tabel 9. Data Demografi Subyek... 56

Tabel 10. Data Teoretis dan Empiris... 57

Tabel 11. Norma Kategorisasi... 58

Tabel 12. Kategorisasi Skor IntensiTurnover... 58

Tabel 13. Frekuensi Subyek dan Presentase IntensiTurnover... 59

(15)

xv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Teori Perilaku Terencana (Ajzen, 1991) ... 12

Gambar 2. Model Tiga Tingkat Kesulitan (Stoltz, 2007) ... 26

(16)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Skala Penelitian... 75

Analisis dan Seleksi AitemAdversity Quotient... 83

Analisis dan Seleksi Aitem IntensiTurnover... 84

Hasil Uji Reliabilitas SkalaAdversity Quotient... 87

Hasil Uji Reliabilitas Skala IntensiTurnover... 87

Hasil Uji t Mean Empiris dan Mean Teoritis SkalaAdversity Quotient... 87

Hasil Uji t Mean Empiris dan Mean Teoritis Skala IntensiTurnover... 87

Hasil Uji Normalitas ... 88

Hasil Uji Linearitas ... 89

Hasil Uji Hipotesis ... 89

(17)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia adalah tenaga kerja yang unik karena memiliki pengetahuan,

akal budi dan mempunyai tujuan-tujuan pribadi. Selain unik, manusia

merupakan sumber daya yang sangat penting dalam industri dan organisasi.

Cascio (1998) mengungkapkan bahwa sumber daya manusia selalu

dibutuhkan dalam tiap proses produksi barang maupun jasa. Sumber daya

manusia juga merupakan salah satu faktor kunci utama kesuksesan bagi

perusahaan. Hal tersebut dipertegas oleh Sulistiyani dan Rosidah (2003) yang

menyatakan bahwa karyawan akan membantu meningkatkan produktivitas

perusahaan dengan pengetahuan luas yang dimiliki, kemampuan dan

penguasaan teknis operasional yang baik.

Hasil surveiGlobal Strategic Rewards2007/2008 yang dilakukan oleh sebuah konsultan SDM Watson Wyatt, menyimpulkan bahwa

perusahaan-perusahaan di Indonesia menghadapi masalah dalam mempertahankan

karyawan. Kasus turnoverdi Indonesia lebih tinggi dibandingkan kebanyakan negara Asia Pasifik lainnya yang ikut dalam survei. Perusahaan di Indonesia

mengalami turnover karyawan sebesar 10% setiap tahunnya, sedangkan negara Asia Pasifik lainnya paling besar adalah 7% per tahun. (Firdanianty,

(18)

Salah satu permasalahan yang sering dihadapi perusahaan berkaitan

dengan sumber daya manusia adalah bagaimana mempertahankan karyawan

mereka. Kehilangan tersebut banyak disebabkan oleh adanya turnover karyawan. Cascio (1998) mendefinisikan turnover sebagai berhentinya hubungan kerja secara permanen antara perusahaan dengan karyawan.

Turnover akan selalu menjadi perbincangan dan momok yang mengganggu operasional sebuah perusahaan. Banyak perusahaan menemukan bahwa

turnover adalah masalah yang merugikan dan menjadi sumber frustrasi (Mathis dan Jackson, 2007).

Bagi karyawan, turnover biasanya merupakan salah satu pilihan terakhir bagi karyawan apabila mereka mendapati kondisi kerjanya sudah

tidak sesuai lagi dengan apa yang diharapkannya. Turnover bagi karyawan merupakan salah satu jalan keluar untuk mendapatkan keadaan yang lebih

baik (Rokhmah dan Riani, 2005).Turnoverkaryawan memang masalah klasik yang dihadapi para pengusaha sejak era revolusi industri. Penyebab utama

munculnya turnover pada masa revolusi industri adalah kondisi lingkungan kerja yang buruk, upah yang terlalu rendah, jam kerja melewati batas dan

tidak adanya jaminan sosial (McKinnon dalam Hartati 1992).

Adanyaturnoverberarti perusahaan kehilangan sejumlah tenaga kerja. Beberapa perusahaan akan memperoleh manfaat jika karyawan yang merusak

dan berkinerja rendah keluar, namun apabila yang keluar adalah karyawan

yang berprestasi dan berkinerja baik yang terjadi adalah sebaliknya,

(19)

berarti ada posisi tertentu yang lowong dan harus segera diisi. Perusahaan

akan lebih dirugikan lagi apabila turnover dilakukan oleh karyawan yang memiliki ketrampilan yang dibutuhkan oleh perusahaan.

Sirait (2010) menyebutkan kerugian-kerugian yang ditimbulkan karena

adanya turnoverantara lain biaya pengangkatan yang menyangkut waktu dan fasilitas-fasilitas untuk perekrutan, wawancara dan pemeriksaan replacement; biaya pelatihan, menyangkut waktu supervisor, departemen personalia dan penatar; upah seorang karyawan pemula lebih besar daripada produktivitas

yang dihasilkan; tingkat kecelakaan dari karyawan baru seringkali lebih

tinggi; hilangnya produksi selama selang waktu antara pemisahan karyawan

lama dan penggantian oleh karyawan baru; peralatan produksi tidak

dimanfaatkan secara optimal selama selang waktu pengangkatan dan periode

pelatihan; tingkat pemborosan dan barang sisa yang mengingkat jika

karyawan baru terlibat; upah lembur yang mungkin disebabkan oleh jumlah

pemisahan yang berlebihan, yang menyebabkan kesulitan dalam memenuhi

tanggal penyerahan hasil produksi yang dijanjikan. Secara ringkas Hinkin dan

Tracey (dalam Pollin, 2008) menjelaskan bahwaturnoverberhubungan secara langsung maupun tidak langsung dengan biaya, dan hal tersebut akan

mempengaruhi moral, produktivitas, reputasi, dan kelangsungan hidup

perusahaan.

Mathis dan Jackson (2007) mengemukakan ada banyak alasan

(20)

mengurus keluarga (misalnya anak, lansia), mengikuti kepindahan pasangan,

atau karena karyawan adalah mahasiswa yang telah menyelesaikan studinya.

Turnover seringkali berarti bahwa karyawan tidak hanya tidak puas dengan pekerjaan atau kompensasi, tetapi juga dapat menunjukkan kondisi tidak aman

atau tidak sehat, komitmen yang rendah terhadap perusahaan, kurangnya

peluang karir dan tantangan, ketidakpuasan dengan lingkup-kerja atau konflik

dengan manajemen (Ruby, 2002). Godfrey Tumwesigye (2010)

menambahkan bahwa karyawan memilih melakukan turnover karena menghindari tuntutan kerja, pengalaman negatif di lingkungan kerja, atau

untuk mengejar peluang yang lebih berharga, baik dari segi perkembangan

karir atau finansial.

Youngblood, Mobley, dan Meglino, 1983 (dalam Smither, 1994)

menggambarkan mengenai proses psikologis dariturnover, seperti berikut:a). Karyawan mulai mengevaluasi pekerjaannya dan memberikan penilaian

terhadap ketidakpuasan terhadap pekerjaan dan tempatnya bekerja b).

Kemudian karyawan memberikan evaluasi terhadap ketertarikan dan

kemampuannya untuk mencapai pekerjaan lain, c). Setelah itu, karyawan

mulai berekspresi dari intensi untuk meninggalkan pekerjaan dan tempat

kerjanya d). Dan akhirnya, karyawan melakukanturnover.

Beberapa peneliti menyatakan bahwa intensi turnover merupakan prediktor terbaik terhadap perilaku turnover(Kraut, 1975; Mobley, Korner, & Hollingsworth, 1978; Price & Mueller, 1981 dalam Smither, 1994). Menurut

(21)

untuk berhenti bekerja dari pekerjaannya secara sukarela menurut pilihannya

sendiri. Intensi turnover mencerminkan keinginan individu untuk meninggalkan perusahaan dan mencari alternatif pekerjaan (Suwandi dan

Indriantoro, 1999). Abelson (dalam Toly, 2001) menggambarkan intensi

turnoversebagai pikiran untuk keluar, mencari pekerjaan di tempat lain, serta keinginan meninggalkan organisasi.

Gejala yang dapat diamati pada karyawan yang memiliki intensi

turnover yaitu, berusaha mencari lowongan kerja dan merasa tidak kerasan bekerja di perusahaan, sering mengeluh, merasa tidak senang dengan

pekerjaan, pernyataan bernada negatif, dan tidak mau peduli dengan

perusahaan tempat dia bekerja (Novliadi, 2007). Intensi turnover disikapi sebagai suatu fenomena dan perilaku manusia yang penting dalam kehidupan

organisasi dari sudut pandang individu maupun sosial, mengingat bahwa

tingkat keinginan berpindah karyawan tersebut akan mempunyai dampak yang

cukup signifikan bagi perusahaan dan individu yang bersangkutan (Hemdy

dan Nasurdin, 2006).

Dijkstra (2008) menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi intensi

turnoveradalah kurangnya peluang karir, ketidakpuasan dengan lingkup-kerja atau konflik dengan manajemen, dan stres kerja yang dialami oleh karyawan.

Stres muncul karena masalah-masalah yang tidak juga bisa terselesaikan

hingga menimbulkan masalah yang baru. Stres yang semakin tinggi dirasakan

(22)

Menurut Stoltz (2007), kebanyakan karyawan berhenti berusaha

sebelum mereka menggunakan tenaga dan kemampuannya untuk menghadapi

kesulitan-kesulitan dihadapannya termasuk yang menimbulkan stres. Oleh

karena itu, diperlukan kemampuan untuk dapat menghadapi dan mengatasi

kesulitan dalam bekerja, dan Stoltz (2007) menyebut kemampuan tersebut

denganAdversity Quotient.

Stoltz (2007) menjelaskan bahwa Adversity Quotient(AQ) merupakan kemampuan/kecerdasan seseorang untuk dapat bertahan menghadapi

kesulitan-kesulitan dan mampu mengatasi tantangan hidup, resiko, dan akan

menuntaskan pekerjaannya. Stoltz (2007) menjelaskan dalam buku “Adversity Quotient” bahwa AQ adalah kecerdasan untuk mengatasi kesulitan yang bisa digunakan untuk menganalisis kegigihan seseorang dalam menghadapi setiap

tantangan sehari-harinya. AQ juga dapat digunakan sebagai indikator

bagaimana seseorang dapat keluar dari situasi yang penuh kesulitan yang

kemudian mengubahnya menjadi peluang, dan juga digunakan untuk menilai

sejauh mana ketahanan seseorang ketika menghadapi masalah sulit.

Perusahaan memerlukan upaya dan tindakan untuk menangani masalah

turnover. Pelatihan mengenai Adversity Quotient (AQ) adalah salah satu cara yang bisa digunakan untuk mengurangi turnover. Mengurangi tingkat turnover berarti juga mengurangi berbagai pengeluaran akibat turnover. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Pao-Ling Chin dan Min-Li Hung (2011)

(23)

menekan intensi turnover sehingga dapat meningkatkan efisiensi dan mengurangi biaya yang dikeluarkan perusahaan.

AQ sudah banyak digunakan untuk mengatasi permasalahan bisnis dan

kinerja karyawan. Antara lain dengan solusi AQ, perusahaan melakukan

program-program memperluas kapasitas karyawan dengan lebih efektif,

mengembangkan kepemimpinan yang ulet dan gigih, menciptakan perilaku

gigih dalam suatu tim kerja, mempercepat perubahan, memperkuat moral dan

mengurangi kelemahan karyawan, meningkatkan mutu modal manusia dan

mendorong inovasi, dan memperbaiki pelayanan pada pelanggan dan

penjualan (Stoltz, 2007).

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah ada hubungan

negatif antaraAdversity Quotientdan intensiturnoverpada karyawan?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan negatif antara

(24)

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoretis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi

mengenai ilmu Psikologi Industri dan Organisasi khususnya intensi

turnoverpada karyawan. 2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini bagi perusahaan adalah dapat memberikan

(25)

9 BAB II

LANDASAN TEORI

A. IntensiTurnover 1. Pengertian Intensi

Makna umum dari intensi menurut Reber & Reber (2010) adalah

hasrat, rencana, tujuan, maksud atau keyakinan yang diorientasikan

menuju sejumlah tujuan atau sejumlah kondisi akhir. Sedangkan Ajzen

dan Fishbein (dalam Ajzen, 1991) menyatakan bahwa intensi adalah

komponen dalam diri individu yang mengacu pada keinginan untuk

melakukan tingkah laku tertentu.

Intensi berperilaku yang dimiliki seseorang untuk melaksanakan

atau tidak melaksanakan perilaku tertentu merupakan determinan awal dari

perilaku sebenarnya. Dengan demikian maka asumsinya adalah bahwa

perilaku seseorang dapat diprediksi dari intensinya (Ajzen, 2005). Ajzen

dan Fishbein (dalam Ajzen, 1991) menjelaskan bagaimana perilaku

muncul pada diri seseorang dalam teori perilaku terencana (theory of planned behavior).

Dalam teori perilaku terencana, faktor utama dari suatu perilaku

yang ditampilkan individu adalah intensi untuk menampilkan perilaku

tertentu. Intensi diasumsikan sebagai faktor motivasional yang

mempengaruhi perilaku. Intensi merupakan indikasi seberapa keras

(26)

menampilkan suatu perilaku. Sebagai aturan umum, semakin besar intensi

seseorang untuk terlibat dalam suatu perilaku, semakin besar

kecenderungan ia untuk benar-benar melakukan perilaku tersebut (Ajzen,

2005).

Intensi untuk berperilaku dapat menjadi perilaku sebenarnya hanya

jika perilaku tersebut ada di bawah kontrol individu yang bersangkutan.

Individu tersebut memiliki pilihan untuk memutuskan menampilkan

perilaku tertentu atau tidak sama sekali (Ajzen, 1991). Sampai seberapa

jauh individu akan menampilkan perilaku, juga tergantung pada

faktor-faktor non motivasional. Salah satu contoh dari faktor-faktor non motivasional

adalah ketersediaan kesempatan dan sumber yang dimiliki (misal waktu,

uang, dan bantuan dari pihak lain). Secara kolektif, faktor-faktor ini

mencerminkan kontrol aktual terhadap perilaku.

Apabila kesempatan dan sumber-sumber yang dimiliki tersedia

dan terdapat intensi untuk menampilkan perilaku, maka kemungkinan

perilaku itu muncul sangat besar. Dengan kata lain, suatu perilaku akan

muncul jika terdapat motivasi (intensi) dan kemampuan (kontrol perilaku).

Ada dua hal penting yang yang mendasari pernyataan tersebut. Pertama,

jika intensi dianggap sebagai faktor yang konstan, maka usaha-usaha

untuk menampilkan perilaku tertentu tergantung pada sejauh mana kontrol

yang dimiliki individu tersebut. Hal penting kedua yang mendasari

pernyataan bahwa ada hubungan langsung antara kontrol terhadap perilaku

(27)

seringkali dapat digunakan sebagai pengganti atau subtitusi untuk

mengukur kontrol nyata (actual control). Dalam aturan umumnya dapat dikatakan bahwa jika perilaku tidak memiliki masalah terhadap kontrol,

maka perilaku yang ditampilkan tersebut dapat diramalkan secara akurat

dari intensinya (Ajzen, 1988; Ajzen & Fishbein, 1980; Canary & Seibold,

1984; Sheppard, Hartwick, & Warshaw, 1988 dalam Ajzen 1991).

Berdasarkan teori tentang perilaku terencana, ada 3 konsep yang

saling tidak berkaitan sebagai determinan dari intensi. Pertama adalah

sikap terhadap perilaku (attitude toward the behavior) yang merujuk pada tingkatan yang dimiliki oleh individu dalam membuat evaluasi yang

sifatnya favorabel atau unfavorabel terhadap suatu perilaku. Determinan

kedua adalah norma subyekif (subjective norm), mengarah pada tekanan sosial yang dihadapi individu untuk dapat menampilkan perilaku tertentu

ataupun tidak menampilkannya. Determinan ketiga dari intensi adalah

tingkatan atas kontrol perilaku yang dihayati (the degree of perceived behavioral control) yang mengarah pada kemudahan atau kesulitan untuk menampilkan perilaku tertentu serta asumsi yang dibuat oleh individu

yang mencerminkan pengalaman masa lalu sebagai bahan antisipasi dalam

(28)

Gambar 1

Teori Perilaku Terencana (Ajzen, 1991)

Sebagai aturan umum, semakin favorabel suatu sikap dan norma

subyektif terhadap perilaku, serta semakin besar kontrol terhadap perilaku

yang diterima, maka akan semakin besar intensi individu untuk

menampilkan suatu perilaku. Sejauh mana pentingnya sikap, norma

subyektif dan kontrol perilaku dalam membuat prediksi tentang intensi

adalah tergantung pada perilaku dan situasi yang dihadapi (Ajzen, 1991).

Ajzen (2005) menambahkan bahwa faktor-faktor yang dapat

mempengaruhi intensi untuk melakukan suatu perilaku terdiri dari sikap,

kepribadian, usia, jenis kelamin, pendidikan, emosi, inteligensi,

pengalaman, ras dan etnis. Attitude Toward

The Behavior

Subjective Norm

The Degree of Perceived Behavioral

Control

Behavior

(29)

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa intensi adalah

keinginan individu untuk melakukan tingkah laku tertentu yang

dipengaruhi oleh sikap, norma subyektif, dan kontrol terhadap perilaku

yang diterima.

2. PengertianTurnover

Pada setiap perusahaan akan ada karyawan yang pergi

meninggalkan pekerjaan mereka dari waktu ke waktu. Kepergian tersebut

oleh Spector (1996) disebut dengan turnover. Dalam Kamus Organisasi dan Perilaku Organisasi (Winardi, 2006) turnover diartikan sebagai keluarnya pekerja-pekerja; penarikan diri secara sukarela dan melalui

pemaksaan secara permanen dari organisasi yang ada. Menurut Cascio

(1998) turnover adalah berhentinya hubungan kerja secara permanen antara perusahaan dengan karyawannya, tidak disebabkan oleh kematian,

pensiun, atau Pemutusan Hubungan Kerja. Menurut Gray (2000) turnover merupakan keputusan yang diambil oleh seorang karyawan secara sukarela

untuk meninggalkan perusahaan tempatnya bekerja. Mobley (1986)

menambahkan bahwa turnover adalah berhentinya individu sebagai anggota suatu organisasi dengan disertai pemberian imbalan keuangan

(30)

Robbins (1998) membedakan turnover menjadi dua tipe yaitu turnover sukarela atau yang diprakarsai oleh karyawan (voluntary turnover), dan turnover yang terpaksa atau diprakarsai oleh organisasi, kematian atau pengunduran diri atas desakan (involuntary turnover). Turnover sukarela biasanya terlihat dengan karyawan mengajukan surat permohonan berhenti dari perusahaan tempatnya bekerja. Alasan yang

biasanya ada pada surat tersebut adalah mengurus orang tua (keluarga),

masalah kesehatan yang kurang baik, melanjutkan pendidikan, ataupun

berwiraswasta (Spector, 1996).

Berdasarkan definisi-definisi mengenai turnover yang telah diampaikan di atas, peneliti menyimpulkan bahwa turnover adalah berhentinya hubungan kerja antara karyawan dengan perusahaan

tempatnya bekerja.

3. IntensiTurnover

Spector (1996) mengemukakan bahwa intensi turnover sering menjadi pemicu dari perilaku turnover. Pendapat senada juga diutarakan oleh Mobley (1986), bahwa intensi turnover merupakan tanda awal terjadinya turnover karena terdapat hubungan yang signifikan antara intensi turnover dengan turnover yang tinggi. Intensi turnover adalah besarnya niat seseorang untuk keluar dari perusahaan tempat ia bekerja

(31)

Pada model Hubungan Perantara Mobley (Mobley, 1986), intensi

merupakan faktor peramal turnover yang paling baik. Model ini menjelaskan bahwa intensi turnoverdimulai dari rasa tidak puas terhadap organisasi yang bersangkutan serta membuat karyawan berpikir untuk

keluar, sehingga mendorong pada pengevaluasian perilaku turnover dan berbagai alternatif pekerjaan lain, yang akan membuat karyawan berniat

untuk mencari pekerjaan lain dan akhirnya keluar dari perusahaan. Mobley

(dalam Muchinsky, 1993) menjelaskan bahwa intensi turnover terdiri dari 3 aspek, yaitu :

a. Berpikir untuk keluar dari perusahaan tempat bekerja (thingking of quitting) yaitu pikiran seorang karyawan untuk keluar dari perusahaan tempatnya bekerja setelah mempertimbangkan keyakinannya serta

pandangan orang lain.

b. Intensi untuk mencari pekerjaan lain (intention of search) adalah keinginan karyawan setelah mempertimbangkan pandangan orang lain

dan keyakinannya untuk mencari pekerjaan lain atau tempat kerja

baru.

c. Intensi untuk keluar dari perusahaan tempatnya bekerja (intention of quitting) adalah dorongan atau keinginan karyawan untuk berhenti dari perusahaan setelah mempertimbangkan pandangan orang lain dan

keyakinannya.

Dari penjelasan-penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa intensi

(32)

tempatnya bekerja. Intensi turnover tersebut meliputi 3 aspek yaitu thinking of quitting,intention of search, danintention of quitting.

4. Faktor-faktor yang MempengaruhiTurnover

Mobley (1986) menggolongkan faktor-faktor yang mempengaruhi

turnover menjadi tiga, yaitu yang berhubungan dengan ekonomi, organisasi, dan individu.

a. Variabel Ekonomi

Variabel ini meliputi:

1. Tingkat pemekerjaan-pengangguran, yakni apabila pengangguran

meningkat maka tingkatturnoverakan menurun dan sebaliknya. 2. Pasar tenaga kerja, yaitu semakin tinggi permintaan tenaga kerja,

semakin tinggi pula tingkatturnoverdan begitu juga sebaliknya. 3. Laju inflasi yang tinggi, yakni dengan melakukanturnover sebagai

suatu cara untuk melindungi penghasilan, dengan mengandaikan

adanya pekerjaan yang akan membayar lebih tinggi.

b.Variabel Organisasi

Yang termasuk pada variabel ini adalah:

1. Tipe industri, industri di bidang keuangan dan bidang kesehatan

adalah tipe industri yang mempunyaiturnovertinggi.

2. Kategori jabatan, turnover lebih banyak terjadi pada tenaga kerja kasar, karyawan yang memiliki keterampilan yang lebih rendah di

(33)

manajerial. Penelitian pendukung dengan hal ini adalah penelitian

yang dilakukan oleh Ferris, 1985 (dalam Smither, 1994) yang

menunjukkan bahwa frekuensi turnover supervisor perawat lebih rendah dibandingkan dengan bawahannya.

3. Besar kecilnya organisasi. Mobley berpendapat bahwa kalaupun

besar kecilnya organisasi mempengaruhiturnoverkaryawan, hal ini merupakan pengaruh yang tidak langsung karena disebabkan oleh

efek-efek variabel yang lain. Organisasi besar bisa mempunyai

turnover yang rendah karena memiliki seleksi personalia dan proses-proses manajemen sumber daya manusia, gaji yang

bersaing. Namun organisasi besar bisa mengalami turnover yang tinggi terkait birokrasi yang tinggi, persoalan komunikasi.

4. Besar kecilnya unit kerja, unit kerja yang lebih kecil, terutama pada

tingkat tenaga kerja kasar, mempunyai tingkat turnover yang lebih rendah (Muchinsky dan Tuttle, 1979; Porter dan Lawler, 1965;

Porter dan Steers, 1973, dalam Mobley, 1986). Krackhardt dan

Porter (1985, dalam Smither, 1994) menyebutkan bahwa turnover berkaitan dengan perilaku kelompok daripada faktor individual.

5. Penggajian, karyawan akan melakukan turnover ketika ada perusahaan lain yang menawarkan gaji yang lebih tinggi

dibandingkan perusahaan tempatnya bekerja.

(34)

7. Gaya pengawasan, supervisor yang acuh tak acuh dapat menyebabkan terjadinyaturnoverbagi bawahannya.

c. Variabel Individual

1. Faktor demografi

a. Jenis kelamin

Smither (1994) menyatakan bahwa perempuan lebih suka

melakukan turnover dibandingkan laki-laki. Pendapat yang berbeda dikemukakan oleh Jewell (1985) menyatakan bahwa

karyawan laki-lakiturnover-nya cenderung lebih tinggi daripada perempuan. Senada dengan Jewell, Lyness dan Judiesch (2001)

melakukan penelitian mengenai karyawan wanita, dan hasilnya

menyatakan bahwa dengan atau tanpa kebijakan perusahaan,

karyawan perempuan sedikit lebih rendah turnover-nya dibandingkan dengan karyawan laki-laki.

b. Usia

Karyawan yang usianya muda lebih cenderung melakukan

turnover daripada yang lebih tua (Flippo, 1984). Penelitian-penelitian terdahulu menunjukkan adanya hubungan yang

signifikan antara usia dan intensi turnover dengan arah hubungan negatif. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi usia

(35)

(1996) menambahkan bahwa kecenderungan orang yang

melakukanturnoveradalah pada orang tahap dewasa dini. Menurut Gilmer (1996) tingkat turnover yang lebih tinggi tersebut disebabkan karena mereka masih memiliki keinginan

untuk mencoba-coba pekerjaan serta ingin mendapatkan

keyakinan diri lebih besar melalui cara coba-coba tersebut.

Selain itu, karyawan baru mempunyai kesempatan yang lebih

besar untuk mendapat pekerjaan baru dan memiliki tanggung

jawab lebih kecil terhadap keluarga, sehingga lebih

mempermudah mobilitas kerja. Berbeda dengan karyawan yang

lebih tua yang lebih enggan berpindah-pindah tempat kerja

karena berbagai alasan seperti tanggung jawab terhadap

keluarga, mobilitas menurun, dan lebih lagi karena senioritas

yang belum tentu diperoleh di tempat kerja baru walaupun gaji

dan fasilitasnya lebih besar (Mobley, 1986).

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Muller (2003),

semakin muda usia karyawan, kecenderungan komitmen yang

dimiliki juga tidak terlalu tinggi, hal ini juga mengakibatkan

keterikatan dengan organisasi juga rendah. Keterikatan terhadap

organisasi yang tidak tinggi akan memudahkan terjadinya

(36)

c. Inteligensi

Menurut Mobley (1986) karyawan yang memiliki tingkat

inteligensi tidak terlalu tinggi akan memandang tugas-tugas

yang sulit sebagai tekanan dan sumber kecemasan. Karyawan

yang memiliki tingkat inteligensi yang tinggi akan merasa cepat

bosan dengan pekerjaan yang monoton. Mereka akan lebih

berani keluar dan mencari pekerjaan baru daripada karyawan

yang mempunyai inteligensi yang rendah.

d. Masa kerja

Karyawan yang mempunyai masa kerja pendek (lebih

rendah) cenderung lebih tinggi melakukan turnover daripada karyawan yang mempunyai masa kerja panjang (Mobley, 1986

Cotton dan Tuttle, 1986 dalam Smither, 1994). Hal ini

disebabkan karyawan yang telah lama bekerja di suatu

perusahaan akan menimbulkan sense of belonginess pada perusahaan tempatnya bekerja (Mobley, 1986). Penelitian yang

dilakukan oleh Mowday, Porter dan Steers (dalam Mueller,

2003) menambahkan bahwa masa kerja karyawan yang pendek

berpengaruh terhadap komitmen terhadap perusahaan sehingga

komitmennya pun ikut rendah. Rendahnya komitmen ini

(37)

2. Faktor pribadi

a. Minat

Muchinsky dan Tuttle (dalam Mobley, 1986) menyatakan

bahwa semakin sama syarat-syarat pekerjaan dengan minat

seseorang terhadap pekerjaan, maka akan semakin rendah

tingkatturnover-nya. b. Bakat dan kemampuan

Mobley menyarankan agar perusahaan mau mencoba untuk

menggunakan bakat yang berkaitan dengan pekerjaan dan

ukuran-ukuran kemampuan sebagai faktor peramal turnover karyawan.

c. Prestasi

Karyawan yang memiliki prestasi yang bagus di tempatnya

bekerja kecil kemungkinan untuk melakukan turnover. Karyawan berprestasi namun tidak dapat mengembangkannya

bisa terdorong untuk melakukanturnover. d. Absensi

Karyawan yang sering absen kerja mempunyai tendensi

(38)

3. Variabel terpadu

a. Komitmen organisasi

Seorang karyawan yang punya komitmen terhadap

organisasi akan mempengaruhinya secara kuat untuk tetap

bertahan di perusahaannya (Smither, 1994).

b. Peluang jangka panjang

Dalam hal ini bagaimana seseorang melihat masa depannya

di perusahaan. Karyawan akan bertahan bila peluang pendidikan

dan karir diberikan oleh perusahaan. Apabila tidak ada peluang

maka karyawan akan pergi meninggalkan perusahaan. Hariandja

(2007) menambahkan apabila seorang karyawan merasa

perkembangan karirnya terhambat dan tidak berkembang

sehingga tujuan karir tidak mungkin dicapainya dalam

perusahaan tersebut maka karyawan tersebut tidak akan

memiliki semangat kerja yang tinggi, tidak termotivasi, bahkan

akan mengundurkan diri atau keluar dari perusahaan.

Eagly & Chaiken (dalam Mueller, 2003) menyatakan

bahwa yang penting dalam permasalahan mengenai turnover adalah adanya alternatif pekerjaan lain yang tersedia di luar

organisasi, alternatif-alternatif organisasi dan bagaimana

individu tersebut menerima nilai atau menghargai perubahan

(39)

keputusan individu untuk melakukan turnover atau tetap bertahan

c. Kepuasan kerja

Mobley mengatakan bahwa ketidakpuasan dalam bekerja

akan memicu rencana untuk mencari pekerjaan yang lain (dalam

Muchinsky, 1993). Seorang karyawan yang mempunyai

kepuasan kerja tinggi kecenderungan turnover-nya rendah. Robbins (1998) menambahkan bahwa karyawan dengan tingkat

kepuasan kerja yang tinggi mempunyai sikap yang positif

terhadap pekerjaannya, sedangkan pekerja yang tidak puas

dengan pekerjaannya mempunyai sikap negatif terhadap

pekerjaannya membuat tidak semangat bekerja sehingga keluar

dari perusahaannya.

d. Stres kerja

Stres kerja menyebabkan karyawan mengalami kelelahan,

kecelakaan dan bolos kerja, hingga akhirnya mendorong

karyawan untuk melakukan turnover (Cooper, dkk, 2001). Turnover merupakan salah satu gejala dalam perilaku pada saat karyawan mengalami stres (Robbins, 1998).

e. Lapangan kerja

Ketika lapangan kerja sangat banyak, seorang karyawan

akan lebih mudah meninggalkan pekerjaannya untuk mencari

(40)

Banyaknya lapangan kerja yang tersedia akan memberikan

peluang dan kesempatan yang lebih besar untuk berkembang

sekaligus mendapatkan fasilitas-fasilitas yang lebih baik.

5. Indikasi IntensiTurnover

Menurut Martoyo (2000) indikasi-indikasi yang dapat digunakan

sebagai acuan untuk memprediksikan intensi turnover karyawan dalam sebuah perusahaan antara lain:

a. Absensi yang meningkat

Karyawan yang berkeinginan untuk melakukan pindah kerja,

biasanya ditandai dengan absensi yang semakin meningkat. Tingkat

tanggung jawab karyawan dalam fase ini sangat kurang dibandingkan

dengan sebelumnya.

b. Mulai malas bekerja

Karyawan yang berkinginan untuk melakukan pindah kerja, akan

lebih malas bekerja karena orientasi karyawan ini adalah bekerja di

tempat lainnya yang dipandang lebih mampu memenuhi semua

keinginannya.

c. Peningkatan terhadap pelanggaran tata tertib kerja

Berbagai pelanggaran terhadap tata tertib dalam lingkungan

pekerjaan sering dilakukan karyawan yang akan melakukan turnover. Karyawan lebih sering meninggalkan tempat kerja ketika jam-jam

(41)

d. Peningkatan protes terhadap karyawan

Karyawan yang berkeinginan untuk melakukan pindah kerja,

lebih sering melakukan protes terhadap kebijakan-kebijakan

perusahaan kepada atasan. Materi protes yang ditekankan biasanya

berhubungan dengan balas jasa atau aturan lain yang tidak sependapat

dengan keinginan karyawan.

e. Perilaku positif yang berbeda dari biasanya

Biasanya hal ini berlaku untuk karyawan yang berkarakteristik

positif. Karyawan ini mempunyai tanggung jawab yang tinggi

terhadap tugas yang dibebankan, dan jika perilaku positif karyawan ini

meningkat jauh dan berbeda dari biasanya justru menunjukkan

karyawan ini akan melakukanturnover.

B. Adversity Quotient 1. Pengertian Kesulitan

Rentetan kesulitan akan terus menerus ada dalam kehidupan

sehari-hari. Stoltz (2007) menjelaskan kesulitan-kesulitan yang ada dalam

model Tiga Tingkat Kesulitan (gambar 1.2). Model ini berbentuk piramida

yang dimulai dari puncak kemudian turun ke individu, berkebalikan

dengan model berbentuk piramida yang dimulai dari bawah ke atas.

Model tiga tingkat kesulitan ini menggambarkan dua efek.

Pertama, model ini menggambarkan menumpuknya kesulitan di

(42)

sepanjang perj

perjalanan hidup. Dengan kata lain, model ini m

taan bahwa kesulitan merupakan bagian dari hi

, nyata, dan tidak terelakkan. Kedua, m

tkan bahwa perubahan positif pada ketiga ting

du, dan terus ke atas, mempengaruhi tempat ker

pada umumnya.

Gambar 2

odel Tiga Tingkat Kesulitan (Stoltz, 2007)

di masyarakat

sulitan di masyarakat adalah kesulitan yang

pisan masyarakat. Kesulitan tersebut bisa terjadi

-perubahan yang terjadi di berbagai bida

dari kesulitan di masyarakat adalah seperti ti

akin meningkat, krisis ekonomi, obat terlarang

ni menggambarkan

hidup yang ada di

(43)

b. Kesulitan di tempat kerja/tinggal/sekolah

Kesulitan di tempat kerja/tinggal/sekolah adalah kesulitan yang

dirasakan oleh orang-orang di kalangan terbatas. Kesulitan yang terjadi

di tempat kerja, misalnya turunnya kinerja, tuntutan para pemegang

saham, kebijakan perusahaan yang semena-mena, pesangon, PHK.

Kesulitan di keluarga, misalnya tidak adanya dukungan keluarga, tidak

mendapatkan bantuan atas bantuan yang diberikan kepada anggota

keluarga. Kesulitan di sekolah, misalnya naiknya standar nilai

kelulusan, meningkatnya beban tugas sekolah, kebijakan sekolah yang

menaikkan SPP.

c. Kesulitan individu

Kesulitan yang muncul akibat mengalirnya kesulitan masyarakat

dan kesulitan di tempat kerja/tinggal/sekolah. Individu berada di posisi

paling bawah karena di tingkat inilah individu dapat membuat

perbedaan sulit. Mencari pekerjaan adalah salah satu contoh dari

kesulitan individu yang berasal kesulitan masyarakat dan di tempat

kerja. Dampak dari kesulitan individu adalah meningkatnya rasa cemas

berlebihan, gangguan kesehatan.

2. PengertianAdversity Quotient

Adversity Quotient (AQ) adalah kecerdasan dan kemampuan yang dimiliki seseorang untuk mengatasi dan menghadapi kesulitan, sekaligus

(44)

Menurut Stoltz (2007) AQ terdiri dari tiga unsur. Unsur yang pertama

adalah sebagai suatu kerangka konseptual yang baru untuk memahami dan

meningkatkan semua segi kesuksesan. Unsur pertama ini berlandaskan

pada riset yang bermutu dan penting. Unsur kedua adalah AQ sebagai

suatu ukuran (tolok ukur) untuk mengetahui respon individu terhadap

kesulitan. Unsur yang terakhir adalah AQ serangkaian peralatan praktis

berdasar ilmiah untuk memperbaiki respon terhadap kesulitan.

Tiga unsur tersebut digabungkan menjadi satu, yaitu suatu

pengetahuan baru, tolok ukur dan peralatan praktis yang merupakan

sebuah paket lengkap untuk dapat memahami serta untuk memperbaiki

komponen dasar “pendakian” seseorang dalam keseharian dan seumur

hidupnya. Manusia dilahirkan dengan satu dorongan ini manusiawi untuk

terus mendaki (Stoltz, 2007). Bagi Stoltz (2007) pendakian bukan hanya

sekedar menikmati imbalan dari pendakian dan seperti sekedar meniti

jenjang karir pada suatu perusahaan. Pendakian adalah menggerakkan

tujuan hidup lebih ke depan, melampaui keterbatasan dan mampu

menunda kesenangan untuk mencapai kesuksesan.

Adversity Quotient berguna bagi seseorang yang terus mendaki karena AQ dapat memberitahu seberapa jauh seseorang mampu bertahan

menghadapi kesulitan dan kemampuannya untuk mengatasi kesulitan

tersebut, meramalkan siapa yang mampu mengatasi kesulitan dan siapa

yang akan hancur, meramalkan seapa yang mampu melampui

(45)

dapat meramalkan siapa yang akan menyerah dan siapa yang akan

bertahan. Adversity Quotient adalah salah satu faktor yang berpengaruh dalam kesuksesan seseorang (Stoltz, 2007).

Berdasarkan uraian sebelumnya mengenaiAdversity Quotient(AQ) dapat disimpulkan bahwa AQ adalah suatu kecerdasan dan kemampuan

yang dimiliki seseorang dalam menghadapi dan mengatasi kesulitan dalam

hidupnya untuk mencapai kesuksesan.

3. Tipe-tipe Individu

Stoltz (2007) menganalogikan individu yang menghadapi kesulitan

dan yang berdaya juang berdasarkan sebuah kisah para pendaki gunung

yang akan menaklukkan puncak Everest. Dalam bukunya, Stoltz

membaginya dalam 3 tipe individu, yaitu:

a. quitter(mudah menyerah)

Tipe ini adalah tingkatan AQ yang paling rendah di mana orang

memilih pekerjaan yang lebih mudah dan langsung menyerah ketika

menghadapi kesulitan hidup, sekedarnya bekerja dan hidup, tidak

tahan pada kerja yang berisi tantangan, hanya berkeluh kesah

menghadapi penderitaannya, mudah putus asa dan menarik diri di

tengah jalan.

Di tempat kerja, karyawan yang masuk dalam tipe ini akan

memilih keluar dan berhenti ketika bertemu hambatan, tidak memiliki

(46)

kebutuhan hidup sehari-hari tanpa ada ambisi, kreatifitas dan

semangat. Quitters dapat menjadi pemarah, frustasi dan menyalahkan orang-orang di sekitarnya dengan keadaannya, hingga membenci

orang-orang yang terus mendaki.

b. camper(berkemah, mudah puas)

Orang yang sudah menanggapi tantangan namun mudah merasa

puas dan tidak melanjutkan perjuangan dengan melepaskan

kesempatan untuk maju dan mengakhiri usahanya, tidak mau

mengembangkan diri, sulit dan takut untuk meninggalkan zona

nyamannya. Camper tidak mau memanfaatkan potensi yang dimiliki walaupun potensi tersebut ada dan bisa mencapai kesuksesan karena

tidak mau meninggalkan zona nyamannya.

Dalam bekerja karyawan camper lebih menunjukkan inisiatif, semangat serta usaha dibandingkan quitter. Karyawan tipe ini lebih mempertimbangkan resiko dan keuntungan bagi dirinya sendiri dalam

menghadapi kesulitan. Oleh sebab itu, mereka sering melepaskan

kesempatan dan cenderung berhenti ketika sudah merasa cukup

nyaman.

c. climber(pendaki)

Bagi Stoltz, climber adalah seorang pendaki sejati, orang yang sepanjang hidupnya melakukan pendakian, memperlihatkan

kemampuan untuk mengatasi rintangan-rintangan dengan cepat,

(47)

sehingga mampu menaklukkan tantangan yang ada. Climbers tidak mempermasalahkan usia, gender, jenis kelamin, ras, cacat fisik

maupun mental, atau halangan yang ada.

Climbers memiliki kedewasaan dan kebijaksanaan untuk memahami bahwa sesekali mereka perlu berjalan ke belakang untuk

maju dan kemunduran adalah bagian yang natural dari pendakian.

Climber mempunyai keyakinan bahwa mereka mempunyai kemampuan yang besar pada dirinya. Mereka juga mempuyai

keyakinan segala hal bisa dan akan terlaksana, meskipun orang lain

bersikaap negatif dan sudah memutuskan bahwa jalannya tidak

mungkin dicapai. Climbersbekerja dengan visi dan selalu menemukan cara untuk membuat segala sesuatunya terjadi.

Climber adalah karyawan yang memperlihatkan keuletan yang esensial itu ketika dihadapkan dengan kemunduran-kemunduran dan

kekecewaan-kekecewaan yang merupakan bagian tak terpisahkan dari

kehidupan perusahaan, sehingga lebih bertahan dan tidak ingin pindah

ke perusahaan lain. Mereka mampu memahami dan menyambut resiko

sehingga tidak takut untuk mengambil resiko yang ada. Climbers selalu menyambut tantangan yang disodorkan kepadanya, mereka tidak

asing terhadap situasi sulit. Bagi mereka kesulitan adalah bagian dari

(48)

4. DimensiAdversity Quotient

Stoltz (2007) membagi AQ ke dalam 4 dimensi CO2RE. Dimensi-dimensi inilah yang akan menentukan AQ keseluruhan individu. Keempat

dimensi ini adalah :

a. C =Control(Kendali)

C mempertanyakan seberapa banyak kendali yang dirasakan

terhadap sebuah peristiwa yang menimbulkan kesulitan. Kendali

diawali dengan pemahaman bahwa sesuatu, apapun itu, dapat

dilakukan. Melalui banyaknya kendali yang dirasakan terhadap

kesulitan, hidup dapat diubah dan tujuan-tujuan akan terlaksana.

Dalam bukunya, Stoltz (2007) memberikan contoh seorang tokoh,

yaitu Mohandas Gandhi, pahlawan India yang mempunyai kendali

besar di saat warga India mempunyai keyakinan bahwa kehidupan

mereka tidak bisa diubah lagi, penuh dengan penderitaan. Gandhi

mempunyai kemampuan untuk mengubah kendali yang dirasakan oleh

warga India atas penjajah, meskipun bagi warga India lainnya,

penjajahan selama berabad-abad menimbulkan ketidakberdayaan dan

situasi dijajah dilihat sebagai nasib malang. Kendali yang dirasakan

Gandhi mampu membuktikan bahwa kemerdekaan dapat diraih dan

keadilan akan menang.

b. O2=Origin and Ownership(Asal Usul dan Pengakuan)

(49)

sebaliknya apabila berlebihan akan menjadi destruktif. Ada dua fungsi

penting dari rasa bersalah, yang pertama rasa bersalah membantu

belajar dan mendapat perbaikan. Dengan menyalahkan diri sendiri,

kita akan cenderung merenungkan, belajar dan akan menyesuaikan

tingkah laku kita. Fungsi yang kedua adalah rasa penyesalan.

Penyesalan merupakan motivator yang sangat kuat. Kadar rasa

bersalah yang adil dan tepat diperlukan untuk menciptakan

pembelajaran yang kritis atau lingkaran umpan balik yang dibutuhkan

untuk melakukan perbaikan secara terus-menerus. Respon asal usul

yang rendah bisa menghentikan lingkaran umpan balik karena beban

mempersalahkan diri sendiri terus-menerus yang akan mengurangi

kemampuan belajar dari kesalahan yang telah diperbuat.

Ownership (pengakuan) dalam dimensi AQ adalah sejauh manakah seseorang mengakui akibat-akibat dari suatu perbuatan juga

kesulitan. Mengakui akibat-akibat yang ditimbulkan oleh kesulitan

adalah cerminan dari tanggung jawab.

c. R =Reach(Jangkauan)

Dimensi ini mempertanyakan sejauh mana kesulitan akan

menjangkau bagian-bagian lain dari kehidupan seseorang. Oleh karena

itu, seseorang dituntut untuk mampu dalam membatasi jangkauan

masalahnya pada kesulitan yang dihadapi. Apabila peristiwa-peristiwa

buruk yang terjadi dianggap suatu bencana dan dibiarkan meluas

(50)

serta menimbulkan kerusakan-kerusakan hidup yang lain. Adanya

konflik pada suatu hubungan bisa menyakitkan, namun apabila

dibiarkan meluas bisa dilihat sebagai tanda yang akan menghancurkan

hidup.

d. E =Endurance(Daya Tahan)

Dimensi ini melihat lamanya kesulitan dan penyebab kesulitan

berlangsung. Seseorang menghubungkan kesulitan ini mempunyai sifat

yang permanen atau sementara. Penelitian yang dilakukan oleh

Lorraine Johnson dan Stuart Biddle menunjukkan bahwa orang yang

melihat kemampuan mereka sebagai penyebab kegagalan (bersifat

stabil) cenderung kurang bertahan apabila dibandingkan dengan orang

yang menghubungkan kegagalan dengan usaha (bersifat sementara)

yang mereka lakukan.

5. Akibat-akibat dari CO2RE AQ a. Akibat pada AQ tinggi

1. Control(C)

Orang yang memiliki AQ tinggi pada dimensi ini

mempunyai keuletan dan tekad yang tidak kenal menyerah, serta

relatif kebal terhadap ketidakberdayaan. Semakin tinggi AQ pada

dimensi ini berarti semakin besar kendali yang dimiliki atas

kesulitan yang dihadapi. Semakin tinggi nilai C, semakin besar

(51)

tetap teguh dalam niat dan ulet dalam mencari penyelesaian.

Orang yang memiliki C yang tinggi tidak mudah berkecil hati dan

merespon situasi-situasi sulit berada dalam kendalinya, sehingga

banyak yang dapat dilakukan untuk mencegah maupun

membatasi kerugian-kerugian yang ditimbulkan. C yang tinggi

bermanfaat untuk kinerja, produktifitas, dan kesehatan dalam

jangka panjang.

2.OrigindanOwnership(O2)

Tingginya skor yang diperoleh pada dimensi ini

menunjukkan kemampuan untuk merasakan penyesalan yang

sewajarnya dan belajar dari kesalahan-kesalahan yang telah

diperbuat. Semakin tinggi skor yang diperoleh pada O2 maka semakin besar kemungkinannya memandang kesuksesan sebagai

pekerjaan dan kesulitan sebagai sesuatu yang berasal dari pihak

luar. Skor pada O2memperlihatkan kombinasi yang sangat kuat antara mempersalahkan diri sendiri atas apa yang telah dilakukan

dan mengakui akibat-akibat yang ditimbulkan oleh kesulitan,

yang akan semakin mendorong untuk bertindak dan

memperbaikinya. Skor yang tinggi pada O2menunjukkan bahwa seseorang tidak membatasi tanggung jawab pada hal-hal dimana

ia adalah penyebab langsungnya dan bersedia memberikan lebih

(52)

3.Reach(R)

R yang tinggi mengindikasikan bahwa merespon kesulitan

secara efektif sebagai sesuatu yang spesifik dan terbatas dehingga

membatasi jangkauan kesulitan. Merespon kesulitan sebagai

sesuatu yang spesifik berarti juga tidak membiarkan kesulitan

tersebut masuk ke wilayah lain dalam kehidupan. Keuntungan

dari membatasi kesulitan dengan menjaga supaya tetap berada di

tempatnya, yaitu membuat perasaan frustasi, kesulitan dan

tantangan-tantangan hidup menjadi semakin mudah tertangani. R

yang tinggi tidak melihat kesulitan sebagai bencana dan

menjadikan jangkauan peristiwa-peristiwa buruk menjadi lebih

hebat dan luas daripada semestinya.

4.Endurance(E)

Semakin tinggi skor yang diperoleh pada dimensi ini,

berarti bahwa kesulitan-kesulitan yang ada akan segera berlalu

dan akan meningkatkan kemampuan untuk selamat dari

masa-masa sulit dan tantangan yang sangat besar. E yang tinggi

mengindikasikan juga bahwa semakin besar kemungkinannya

untuk memandang kesuksesan sebagai sesuatu yang berlangsung

lama hingga permanen. Berkebalikan dengan kesuksesan, maka

kesulitan dan segala penyebabnya dianggap sebagai sesuatu yang

bersifat temporer, cepat berlalu dan kecil kemungkinanya terjadi

(53)

permanen akan meningkatkan energi, optimisme, dan

kemungkinan untuk bertindak.

b. Akibat pada AQ rendah 1. Control(C)

Skor yang rendah pada dimensi ini bisa mengindikasikan

adanya sifat mudah diserang kesulitan, karena meningkatkan

potensinya yang dapat merugikan kinerja, energi dan jiwa

seseorang. Rendahnya C mempunyai pengaruh yang merusak

untuk mengubah situasi sulit sehingga menjadi sangat tidak

berdaya terhadap kesulitan. C yang rendah bisa memunculkan

pandangan hidup yang fatalistik atau menyerah kepada nasib.

2. OrigindanOwnership(O2)

Orang yang mempunyai Origin rendah melihat dirinya sendiri sebagai satu-satunya asal usul kesulitan yang dihadapinya

dan menganggap peristiwa-peristiwa yang baik sebagai

keberuntungan yang diakibatkan kekuatan-kekuatan dari luar.

Anggapan bahwa diri sendiri adalah asal atas penyebab terjadinya

kesulitan dan peristiwa-peristiwa buruk akan berdampak buruk

pada tingkat stres sampai motivasi diri. Ownership yang rendah berarti menolak pengakuan dengan menghindarkan diri dari

tanggung jawab dalam menangani kesulitan. Respon

(54)

menimbulkan perasaan ragu-ragu dan sikap menarik diri dari

tantangan-tantangan yang besar.

3. Reach(R)

Skor yang rendah pada dimensi ini berarti membiarkan

kesulitan menjangkau wilayah-wilayah lain dalam kehidupan

yang berakibat pada meningkatnya beban yang dirasakan dan

energi yang diperlukan untuk memberskan segala sesuatunya. Hal

ini membuat orang menjadi tidak berdaya dalam mengambil

tindakan dalam kesulitan yang ada dan mengangap

peristiwa-peristiwa yang baik sebagai sesuatu yang khusus dan

jangkauannya terbatas.

4. Endurance (E)

Berkebalikan dengan cara memandang kesulitan pada skor

tinggi di dimensi ini, skor yang rendah pada dimensi ini

memandang kesulitan dan penyebabnya adalah sebagi peristiwa

yang berlangsung lama, dan peristiwa positif sebagai sesuatu

yang sifatnya sementara. Cara pandang ini akan memunculkan

respon-respon yang memunculkan perasaan tak berdaya atau

hilangnya harapan. Seiring berjalannya waktu, bisa jadi akan

merasa sinis terhadap aspek-aspek tertentu dalam hidup, dan

cenderung kurang bertindak melawan kesulitan karena dianggap

(55)

6. Penelitian IntensiTurnoverdanAdversity Quotient

Ada beberapa penelitian yang menjelaskan mengenai faktor-faktor

yang mempengaruhi intensi turnover. Penelitian yang dilakukan oleh Rokhmah dan Riani (2005) pada karyawan bagian produksi menjelaskan

bahwa komitmen afektif kepada organisasi berpengaruh secara negatif dan

signifikan terhadap intensi turnover. Firth dkk (dalam Ongori, 2007) menambahkan bahwa intensi turnover juga dipengaruhi oleh stres kerja, komitmen organisasi, dan kepuasan kerja. Penelitian yang dilakukan oleh

Ahmad, dkk (2010) padacall centerdiketahui bahwa intensi turnoverjuga dipengaruhi oleh komitmen organisasi dan OCB (Organizational Citizenship Behavior).

Paul G. Stoltz, perancang Adversity Quotient mendirikan PEAK Learning, yaitu sebuah lembaga penelitian global dan konsultan, pelopor

asesmen dan menguatkan ketahanan/daya juang individu dalam organisasi.

Subyek yang digunakan dalam penelitian kebanyakan adalah karyawan

yang berposisi sebagai leader (misalnya manager, supervisor, team leader), marketing (account officer, sales marketing) dan posisi yang berhubungan dengan pelayanan publik (front officer, call center, customer service).

Sebagian besar klien dan penelitian yang dilakukan oleh PEAK

mengacu pada divisi yang berhubungan dengan pelayanan publik dan

(56)

mereka adalah pelayan dan penyambung informasi informasi dari

perusahaan. Begitu pula dengan marketing yang menjadi lini depan profit perusahaan.

Penelitian yang dilakukan pada call center perusahaan (salah satunya AT & T, Inc) bertujuan untuk meningkatkan daya juang dan

perfomansi dalam penjualan dengan banyaknya tantangan di pasar

telekomunikasi global. Hasil yang diperoleh setelah enam bulan adalah

intensiturnovermenurun secara signifikan, dari 73% menjadi 19%.

C. Hubungan antaraAdversity Quotientdan IntensiTurnover

Definisi dari masalah dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa

Indonesia) adalah sesuatu yang harus diselesaikan atau dipecahkan. Masalah

yang belum terselesaikan maupun terpecahkan dapat menimbulkan kesulitan.

Tidak dapat dipungkiri bahwa kesulitan sendiri merupakan bagian dari hidup

yang ada dimana-mana, nyata, dan tidak terelakkan. Ada banyak masalah

yang menimbulkan kesulitan bagi karyawan dalam bekerja, misalnya masalah

dengan rekan kerja yang dapat menimbulkan konflik serius, masalah gaji,

masalah dengan manajemen perusahaan, masalah deadline tugas, masalah karyawan itu sendiri dengan lingkungan kerjanya.

Oullette (dalam Stoltz, 2007) menyatakan bahwa orang-orang yang

merespon kesulitan-kesulitan dengan sifat tahan banting akan tetap ulet dalam

menghadapi kesulitan yang ada. Kemampuan seseorang ketika menghadapi

(57)

bagaimana seseorang bisa menghadapi dan mengatasi kesulitan. AQ

menjelaskan mengapa dan bagaimana karyawan bisa berkembang dengan

baik walaupun dalam keadaan yang serba sulit (Stoltz, 2007).

Perusahaan memberikan tuntutan yang tinggi pada karyawannya

untuk dipenuhi, dan tuntutan-tuntutan perusahaan yang tidak terpenuhi akan

menimbulkan kesulitan bagi karyawan (Stoltz, 2007). Akan tetapi bagi

karyawan yang ber-AQ semakin tinggi, mereka akan semakin mampu

merespon kesulitan tersebut lebih baik dan bahkan mengubahnya menjadi

peluang. Dengan kata lain, semakin tinggi AQ yang dimiliki maka karyawan

akan merespon kesulitan-kesulitan di tempatnya bekerja dengan berusaha

untuk mengatasinya dan tidak cepat menyerah. Stoltz (2007) juga

menyatakan bahwa karyawan ber-AQ tinggi menunjukkan kemampuan

mengatasi rintangan-rintangan dengan cepat karena terdorong oleh setiap

tantangan baru. Ia juga menambahkan bahwa karyawan tersebut akan

memperlihatkan keuletan yang esensial ketika dihadapkan dengan

kemunduran-kemunduran dan kekecewaan yang menjadi bagian tak

terpisahkan dari kehidupan perusahaan. Bagi karyawan yang memiliki AQ

rendah, tuntutan-tuntutan yang tidak terpenuhi akan menimbulkan

masalah-masalah baru (Stoltz, 2007).

Ketidakpuasan akan tuntutan-tuntutan yang tidak terpenuhi dan

kesulitan-kesulitan lainnya yang dialami oleh karyawan menjadi pemicu

terjadinya stres. Karyawan yang ber-AQ rendah akan merespon kesulitan

(58)

tidak bisa mengendalikan kesulitan tersebut. Berbeda dengan karyawan yang

memiliki AQ rendah, karyawan dengan AQ tinggi ketika dihadapkan dengan

situasi yang sulit dan penuh kekecewaan tidak akan larut dalam stres yang

berkepanjangan dan malah akan memperlihatkan keuletan pada situasi

tersebut (Stoltz, 2007). Karyawan ber-AQ tinggi dapat mengatasi stres

dengan lebih baik dibandingkan dengan karyawan yang memiliki AQ rendah.

Stres kerja yang tinggi pada karyawan bisa berdampak pada pekerjaan. Stres

kerja yang dialami karyawan dapat menyebabkan karyawan mengalami

kecelakaan kerja, bolos kerja, dan apabila tidak tahan karyawan tersebut akan

melakukan turnover (Spector, 1996; Handoyo, 1998). Cooper (2001) menyebutkan bahwa stres kerja adalah salah satu penyebabturnover.

Turnover merupakan sesuatu yang merugikan bagi perusahaan (Schultz & Schultz, 2002). Karyawan yang melakukan turnover biasanya tidak menyadari besarnya biaya yang harus dikeluarkan oleh perusahaan

akibat turnover (Smither, 1994). Sebagian karyawan melakukan turnover karena menghindari rasa tidak nyaman dan menghindari atau keluar dari

masalah-masalah yang ada di tempatnya bekerja (Sofjan, 2009). Stell dan

Ovalle (dalam Smither, 1994) mengatakan bahwa untuk memprediksi

perilaku turnover karyawan adalah dengan mengukur intensi turnover-nya. Intensi merupakan kunci utama dalam memprediksi perilaku manusia (Ajzen,

(59)

Gambar 3

Hubungan antaraAdversity Quotientdan IntensiTurnover

D. Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah Ha: Ada

hubungan negatif antara Adversity Quotient dan intensi turnover. Semakin tinggi Adversity Quotient maka semakin rendah intensi turnover karyawan. Begitu juga sebaliknya, semakin rendah Adversity Quotient maka semakin tinggi intensiturnoverkaryawan.

Kesulitan-kesulitan yang dialami individu

AQ tinggi

Stres rendah

Intensiturnover rendah

AQ rendah

Stres tinggi

(60)

44

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian korelasional. Penelitian

korelasional bertujuan untuk menyelidiki sejauh mana hubungan antara

variabel satu dengan variabel lain berdasarkan koefisien korelasi (Azwar,

2000). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara Adversity Quotientdan intensiturnoverpada karyawan.

B. Identifikasi Variabel Penelitian

Penelitian ini memiliki dua variabel yang diidentifikasi sebagai berikut :

1. variabel x :Adversity Quotient

2. variabel y : IntensiTurnover

C. Definisi Operasional Variabel Penelitian

Definisi operasional pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Adversity Quotient

Adversity Quotient adalah kemampuan atau daya juang karyawan dalam mengatasi dan menghadapi kesulitan-kesulitan dalam pekerjaannya.

Adversity Quotient diukur dengan menggunakan skala Adversity Quotient

(61)

a. Control

b. Origin

c. Ownership

d. Reach

e. Endurance

Semakin tinggi hasil yang diperoleh karyawan pada skala

Adversity Quotient (AQ) menunjukkan semakin tinggi AQ yang dimiliki karyawan tersebut. Hasil yang semakin rendah pada skala ini

menunjukkan pula semakin rendah AQ yang dimiliki karyawan.

2. IntensiTurnover

Intensi turnover adalah niat seorang karyawan untuk keluar dari perusahaan tempatnya bekerja. Skala intensi turnover ini disusun berdasarkan 3 aspek intensiturnoveryaitu:

a. thingking of quiting b. intention of search c. intention of quiting

Hasil yang semakin tinggi pada skala intensi turnover

menunjukkan semakin tingginya intensi turnover, sedangkan semakin rendah skor yang diperoleh menunjukkan semakin rendah intensiturnover.

D. Subyek Penelitian

Subyek yang digunakan pada penelitian ini adalah karyawan CSR

(62)

Subyek penelitian dibatasi berdasarkan usia dan lama kerja. Subyek yang

dipakai adalah karyawan yang berusia 21–30 tahun. Karyawan yang berada

dalam tahap perkembangan dewasa dini adalah usia dimana orang suka

berpindah-pindah kerja yaitu usia 21–40 tahun (Hurlock, 1996), namun batas

maksimal usia subyek dibatasi pada usia 30 tahun karena rentang usia dewasa

dini yang cukup jauh. Pembatasan ini sesuai dengan penelitian yang

dilakukan oleh Rhodes, pada usia tersebut karyawan lebih sering melakukan

turnover dibandingkan karyawan yang berusia diatasnya (Kreitner dan Kinicki, 2009).

Lama bekerja karyawan dibatasi maksimal tiga tahun bekerja karena

dua pertiga sampai tiga perempat karyawan keluar pada masa kerja tiga tahun

(Mobley, 1986). Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah

sampling purposif, yaitu teknik pengambilan sampel sesuai dengan kriteria

sampel yang dikehendaki oleh peneliti (Sugiyono, 2010).

E. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data pada penelitian ini adalah dengan cara skala,

yaitu metode pengumpulan data dengan memakai suatu kumpulan pernyataan

mengenai suatu obyek (Azwar, 2000). Skala yang digunakan dalam penelitian

ini adalah Skala Adversity Quotient dan Skala Intensi Turnover. Kedua skala ini disusun oleh peneliti sendiri mengacu pada teori yang dipakai.

Gambar

Gambar 3. Hubungan antara Adversity Quotient dan Intensi Turnover................ 43
Gambar 1Teori Perilaku Terencana (Ajzen, 1991)
Gambar 2Mododel Tiga Tingkat Kesulitan (Stoltz, 2007)
Gambar 3
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan masukan mengenai hubungan antara persepsi terhadap gaji dengan intensi turnover pada karyawan sehingga karyawan

Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah ada hubungan negatif yang sangat signifikan antara kepuasan kerja dengan intensi turnover pada karyawan PT

4 Hasil penelitian Novliadi (2007) yang berjudul intensi turnover karyawan ditinjau dari budaya perusahaan dan kepuasan kerja, menunjukkan bahwa hubungan antara

Hal tersebut berarti tidak ada hubungan yang linear antara heroic leadership atasan dengan intensi turnover karyawan. Kata kunci : Intensi turnover , kepemimpinan dan

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa besarnya koefisien korelasi antara tipe kepribadian ectomorphy dengan intensi turnover adalah 0,501 hal ini berarti bahwa

Penelitian Kim (Irwansyah, 2005), menemukan bahwa semakin tinggi kepuasan kerja karyawan maka intensi keluar akan semakin kecil, atau dengan kata lain kepuasan

karyawan terhadap perilaku turnover tinggi diikuti dengan iklim organisasi yang negatif.. maka karyawan cenderung memunculkan perilaku

Intensi turnover yang dimaksud dalam penelitian ini adalah keinginan pindah karyawan dan mencari alternatif pekerjaan lain (Krisnugroho, 2010 dalam Hery,