• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kementerian PPN / Bappenas

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Kementerian PPN / Bappenas"

Copied!
134
0
0

Teks penuh

(1)

Kementerian PPN / Bappenas

(2)
(3)

KUMPULAN

RINGKASAN KAJIAN

DAN EVALUASI SEKTORAL 2008-2013

Kedeputian Evaluasi Kinerja Pembangunan Kementerian Perencanan Pembangunan Nasional/

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Tahun 2014

(4)

Pengarah:

Edi Effendi Tedjakusuma

Penanggung Jawab:

Yohandarwati Arifiyatno

Tim Penyusun:

Bambang Triyono Haryo Raharjo Faiq

Meitha Ika Pratiwi Novi Mulia Ayu Anna Nur Rahmawaty Tini Partini Nuryawani

Informasi selanjutnya, hubungi :

Direktorat Evaluasi Kinerja Pembangunan Sektoral, Bappenas Telp : 62-21-31903107

Fax : 62-21-31903107

(5)

KATA PENGANTAR

Siklus perencanaan pembangunan, seperti telah diketahui secara luas, merupakan representasi tahapan utama pembangunan yaitu: perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan monitoring-evaluasi. Bappenas terlibat dalam empat tahapan tersebut dengan porsi keterlibatan yang berbeda-beda. Sesuai dengan tupoksi, porsi terbesar adalah perencanaan, diikuti dengan penganggaran, dan Monev. Dalam konteks pelaksanaan porsi Bappenas lebih diwarnai dengan fungsinya sebagai koordinator.

Sepanjang tahun 2008-2013 porsi evaluasi pembangunan dillaksanakan secara terbatas, karena merupakan wahana yang dikerjakan unit kerja baru dengan berbagai keterbatasan.

Evaluasi lebih diarahkan kepada upaya menunjukkan kinerja dan hasil pembangunan dalam level output hingga outcome atau impact namun dalam format sederhana. Artinya, data dan analisis yang digunakan dan dilakukan belum merupakan suatu penelitian dampak yang menggunakan hasil survey, ataupun case study. Namun demikian, telah dapat dihasilkan berbagai kajian dan evaluasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, seperti disajikan dalam ringkasan ini.

Gambaran hasil evaluasi lebih merupakan cermin alur pembangunan dalam tahap input—

output—outcome—impact. Untuk menggambarkan capaian impact kebijakan tertentu, misalnya, diupayakan untuk menunjukkan alur ketercapaiannya yang diperoleh melalui kontribusi program (outcome) dan kegiatan penting (output) yang kesemuanya secara langsung maupun tidak langsung dibiayai oleh anggaran pembangunan tertentu.

Ke depan, diperlukan evaluasi dampak yang lebih mendalam dengan menggunakan pendekatan study dampak, berupa survey ataupun case study. Semoga hasil ringkasan ini dapat berguna dalam menyusun kebijakan dan program pembangunan di masa mendatang.

Untuk penyempurnaan, saran dan kritik membangun diharapkan untuk kegiatan evaluasi selanjutnya.

Jakarta, Oktober 2014

Deputi Meneg. PPN/Kepala Bappenas Bidang Evaluasi Kinerja Pembangunan

Edi Effendi Tedjakusuma

(6)
(7)

DAFTAR ISI

1. Kebijakan Pembangunan Pendidikan ... 1

2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kelangsungan Hidup Anak ... 9

3. Peran Sektor Informal Sebagai Katup Pengaman Masalah Ketenagakerjaan ... 17

4. Revitalisasi Pertanian dalam Rangka Peningkatan Kesejahteraan Petani ... 23

5. Perubahan Produktivitas Industri Manufaktur Indonesia dan Faktor- Faktor yang Mempengaruhinya: Analisis Panel Data 2000-2007... 31

6. Pembangunan Perdesaan dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat ... 37

7. Peranan Usaha Kecil Menengah dalam Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat ... 54

8. Percepatan Penurunan Angka Kematian Ibu ... 60

9. Kinerja Investasi dan Ekspor 2004-2011 ... 74

10. Kebijakan Pembangunan Transportasi Perkeretaapian dan Laut ... 84

11. Pogram Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM MANDIRI) ... 91

12. Kebijakan Reformasi Birokrasi ... 97

13. Pembangunan Bidang Transportasi: Darat dan Udara Perintis ... 109

14. Daya Saing Industri ... 118

(8)
(9)

E VALUASI K EBIJAKAN P EMBANGUNAN P ENDIDIKAN

*

Abstrak

Evaluasi kebijakan pembangunan pendidikan difokuskan pada kegiatan Wajib Belajar Pendidikan Dasar (Wajardikdas) 9 Tahun yang merupakan cermin dari pelaksanaan kebijakan pembanvgunan pendidikan di Indonesia. Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar (Wajardikdas) 9 Tahun merupakan salah satu upaya yang dilakukan untuk meningkatkan taraf pendidikan penduduk Indonesia. Program ini telah dimulai sejak tahun 1994 dan diharapkan dapat dituntaskan pada tahun 2003/2004 dengan mentargetkan semua warga negara Indonesia memiliki pendidikan minimal setara Sekolah Menengah Pertama dengan mutu yang baik. Tujuannya adalah agar seluruh warga negara Indonesia dapat mengembangkan dirinya lebih lanjut sehingga mampu memilih dan mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan potensi yang dimiliki, sekaligus dapat berperan serta dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Namun pada pelaksanaannya, krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak tahun 1997 menyebabkan target penuntasan Wajardikdas 9 Tahun harus disesuaikan. Sehubungan dengan akan berakhirnya pelaksanaan RPJMN 2010-2014, maka telah banyak capaian yang dihasilkan dalam pelaksanaan program Wajardikdas 9 tahun sebagai masukan dalam penyusunan kebijakan pembangunan pendidikan di masa mendatang.

Capaian output peningkatan partisipasi pendidikan dimungkinkan dengan penambahan daya tampung melalui pembangunan berbagai sarana prasarana pendidikan maupun rehabilitasi bangunan sekolah yang rusak untuk mempertahankan kapasitas bangunan. Selain itu, kualitas tenaga pendidik/guru telah pula menunjukkan peningkatan yang signifikan dibanding dengan tahun 2004. Pada tahun 2013, persentase guru untuk jenjang SD yang berpendidikan S1/D4 mencapai 63,8 persen, untuk jenjang SMP mencapai 88,0 persen, dan untuk jenjang SMA/SMK mencapai 94,1 persen. Angka tersebut meningkat dibandingkan dengan tahun 2004 yang berturut-turut baru mencapai 9,0 persen, 54,9 persen, dan 69,2 persen. Untuk menjaga kualitas tenaga pengajar, telah pula dilakukan sertifikasi terhadap guru yang dari tahun ke tahun jumlahnya semakin meningkat.

Capaian outcome pembangunan pendidikan yang antara lain dilakukan melalui program Wajardikdas, selama kurun waktu 2004 sampai dengan 2014 telah berhasil memperbaiki taraf pendidikan penduduk yang ditandai dengan meningkatnya rata-rata lama sekolah penduduk usia 15 tahun ke atas menjadi 8,1 tahun pada tahun 2012. Sementara itu, penduduk usia 15 tahun keatas yang berpendidikan SMP/MTs/sederajat atau lebih baru mencapai 43,8 persen pada tahun 2004, menjadi 52,2 persen tahun 2013. Sedangkan angka partisipasi pendidikan dari tahun 2004-2013 menunjukkan peningkatan untuk semua jenjang pendidikan. Berbagai capaian ini telah memberikan kontribusi terhadap peningkatan Indeks Pembangunan Manusia Indonesia.

Meskipun berbagai capaian pembangunan pendidikan khususnya yang dilakukan melalui program Wajardikdas telah menunjukkan peningkatan yang cukup baik, namun masih terdapat beberapa hal yang menjadi rekomendasi dalam evaluasi ini, seperti perlunya pendekatan lain untuk peningkatan angka partisipasi sekolah ataupun peningkatan fokus pembangunan pendidikan pada daerah terpencil dan tertinggal.

* Diringkas dari hasil Evaluasi Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun (2008), Direktorat Evaluasi Kinerja Pembangunan Sektoral Bappenas

1. Latar Belakang

Pendidikan merupakan salah satu aspek terpenting bagi pembangunan bangsa. Pembangunan akan berhasil bila didukung oleh tersedianya penduduk yang terdidik dalam jumlah yang memadai. Karena itu, Indonesia menempatkan pembangunan pendidikan sebagai prioritas utama dalam program pembangunan nasional. Sumber Daya Manusia yang bermutu, yang merupakan produk pendidikan, merupakan kunci keberhasilan pembangunan suatu negara. Pendidikan merupakan salah satu pilar terpenting dalam pembangunan manusia, bahkan kinerja pendidikan yaitu gabungan angka partisipasi kasar (APK) jenjang pendidikan dasar sampai dengan pendidikan tinggi dan angka melek aksara digunakan sebagai variabel dalam menghitung Indeks Pembangunan Manusia (IPM) bersama-sama dengan variabel kesehatan dan ekonomi.

Pembangunan pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global. Pembangunan pendidikan nasional di Indonesia dalam kurun waktu 2004–2009 telah mempertimbangkan kesepakatan-kesepakatan internasional seperti Pendidikan Untuk Semua (Education For All), Konvensi Hak Anak (Convention on the right of child) dan Millenium Development Goals (MDGs) serta World Summit on Sustainable Development yang secara jelas menekankan pentingnya pendidikan sebagai salah satu cara untuk penanggulangan

1

(10)

kemiskinan, peningkatan keadilan dan kesetaraan gender, pemahaman nilai-nilai budaya dan multikulturalisme, serta peningkatan keadilan sosial.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, telah memberikan jaminan hak atas “pendidikan dasar” bagi warga negara berusia 7-15 tahun. Salah satu upaya untuk meningkatkan taraf pendidikan penduduk Indonesia adalah melalui peningkatan secara nyata persentase penduduk yang dapat menyelesaikan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun. Program ini dimulai pada tahun 1994 dengan mentargetkan semua warga negara Indonesia memiliki pendidikan minimal setara Sekolah Menengah Pertama dengan mutu yang baik. Melalui program ini diharapkan seluruh warga negara Indonesia dapat mengembangkan dirinya lebih lanjut sehingga akhirnya mampu memilih dan mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan potensi yang dimiliki, sekaligus berperan serta dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Ketika dicanangkan pada tahun 1994, Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun diharapkan dapat tuntas pada tahun 2003/2004. Namun krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak tahun 1997 menyebabkan target tersebut tidak dapat tercapai.

Sejalan dengan Anggaran Berbasis Kinerja, yang mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja atau output dari perencanaan alokasi biaya atau input yang ditetapkan, maka evaluasi pelaksanaan program Wajardikdas 9 tahun sangat penting dilakukan.

Tujuan dari evaluasi ini adalah untuk: (1) Mengidentifikasi faktor input dan output yang mempengaruhi outcomes program Wajardikdas 9 tahun (APM SD/MI dan APK SMP/MTs); (2) Memperoleh gambaran pelaksanaan program Wajardikdas, yang berkaitan dengan faktor input dan faktor output program Wajardikdas; dan (3) Menyusun rekomendasi kebijakan terkait pelaksanaan Wajardikdas.

2. Hasil Evaluasi Program Wajardikdas 9 Tahun 2.1. Kerangka Evaluasi

Kerangka Evaluasi Program Wajardikdas 9 Tahun menunjukkan keterkaitan hubungan input, output, outcome, dan impact. Berbagai masukan berupa kebijakan pemerintah (melalui penetapan prioritas pembangunan, program, dan kegiatan), penyediaan anggaran, serta kegiatan-kegiatan yang terkait dengan penjaminan pendidikan dasar, penyediaan tenaga pengajar, dan input lainnya; secara bersama- sama mempengaruhi pencapaian output. Dalam hal ini output yang dihasilkan adalah jumlah sarana dan prasarana pendidikan dan jumlah tenaga pendidik. Dalam pencapaian outcome (Rata-rata lama sekolah, angka melek aksara, dan angka partisipasi pendidikan) tidak terlepas dari faktor ketercapaian output dan dukungan input yang diberikan. Sehingga pada akhirnya semua aspek input, output, dan outcome tersebut berdampak pada peningkatan kualitas sumberdaya manusia yang dicerminkan oleh Indeks Pembangunan Manusia.

Gambar 1

Kerangka Evaluasi Wajardikdas 9 Tahun

INPUT OUTPUT OUTCOMES IMPACT

Jumlah sekolah:

- Unit sekolah baru - Ruang kelas baru Jumlah guru - Jumlah guru yang

sesuai pendidikannya - Jumlah guru yang

memperoleh sertifikasi

- Rata-rata lama sekolah - Angka melek

aksara - Angka partisipasi

pendidikan

Indeks Pembangunan Manusia - Penjaminan Kepastian Layanan Pendidikan SD

- Penyediaan subsidi Pendidikan SD/SDLB berkualitas

- Penjaminan Kepastian Pendidikan SMP - Penyediaan subsidi Pendidikan SMP/SMPLB

berkualitas

- Penyediaan Guru untuk Seluruh Jenjang Pendidikan

- Pendidikan dan Pelatihan Pendidik dan Tenaga Kependidikan

- Peningkatan Penjaminan Mutu Pendidikan - Pembiayaan Pendidikan Dasar

(11)

2.2. Kebijakan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun

Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun merupakan salah satu kebijakan pemerintah dalam upaya meningkatkan taraf pendidikan penduduk Indonesia, yaitu melalui peningkatan secara nyata persentase penduduk yang dapat menyelesaikan pendidikan SMP/MTs. Kebijakan program ini dimulai pada tahun 1994, yang dilanjutkan pada periode RPJMN 2004-2009 dan RPJMN 2010-2014, yaitu yaitu perluasan dan pemerataan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun yang bermutu di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam memenuhi hak dasar warga Negara. Sehingga diharapkan seluruh warga negara Indonesia dapat mengembangkan dirinya lebih lanjut yang akhirnya mampu memilih dan mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan potensi yang dimiliki, sekaligus berperan serta dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kebijakan ini dilengkapi dengan perluasan dan peningkatan mutu dan relevansi pendidikan menengah dan pendidikan tinggi, pendidikan non-formal, pendidikan anak usia dini dan didukung oleh penguatan tata kelola pendidikan. Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun merupakan salah satu program yang sangat krusial dalam pembangunan nasional. Selain sebagai pemenuhan hak dasar masyarakat Indonesia, program ini diharapkan pula mempunyai dampak terhadap daya saing tenaga kerja dan peningkatan kesejahteraan masyarakat secara umum.

Alokasi anggaran pendidikan dasar selama kurun waktu 2010-2014 mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Anggaran yang disediakan pada tahun 2010 berkisar Rp146.766,7 milyar meningkat tajam menjadi Rp231.228,8 milyar pada tahun 2014.

Peningkatan Angka Partisipasi Murni SD/MI dan Angka Partisipasi Kasar SMP/MTs, tidak hanya memerlukan peran dari faktor output (jumlah guru dan jumlah sekolah), tapi juga memerlukan peran dari karakteristik sosial ekonomi populasi. Hal ini didasari adanya rumah tangga di daerah miskin yang tidak dapat menyelokahkan anak-anaknya, walaupun mereka memiliki akses terhadap pendidikan, karena anak-anak mereka harus membantu orang tuanya mencari nafkah (opportunity cost untuk bersekolah sangat tinggi). Sementara itu, penetapan besarnya anggaran program pendidikan di tingkat pemerintahan daerah sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah daerah, sehingga besaran dan komposisi alokasi anggaran pendidikan termasuk pendidikan dasar juga bervariasi.

2.3. Capaian Output Wajardikdas 9 Tahun

Keberhasilan pelaksanaan program Wajardikdas antara lain dipengaruhi oleh sarana prasarana pendidikan seperti jumlah ruang kelas ataupiun kualitas tenaga pendidikan. Keberhasilan pelaksanaan program Wajardikdas tentunya berpengaruh pula pada jenjang pendidikan pendidikan di atasnya, yaitu jenjang pendidikan menengah. Capaian ouput peningkatan partisipasi pendidikan juga dimungkinkan dengan penambahan daya tampung melalui pembangunan berbagai sarana prasarana pendidikan seperti unit sekolah baru (USB) dan penambahan ruang kelas baru (RKB) yang jumlah kumulatifnya dapat dilihat dalam Gambar berikut. Pembangunan USB untuk jenjang SMP termasuk sekolah SD-SMP satu atap (SATAP) merupakan program yang baru diperkenalkan pada tahun 2005 untuk meningkatkan partisipasi Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun di daerah tertinggal atau terpencil. Keberadaan SATAP terbukti mampu meningkatkan angka melanjutkan lulusan SD/MI untuk mengikuti pendidikan pada jenjang SMP/MTs.

(12)

Gambar 2

Jumlah Kumulatif Pembangunan Unit Sekolah Baru SMP, SMA, dan SMK Tahun 2005 – 2013

Sumber: Kemdikbud, 2013

Gambar 3

Jumlah Kumulatif Pembangunan Ruang Kelas Baru di SMP, SMA, dan SMK Tahun 2005 - 2013

Sumber: Kemdikbud, 2013

Selain itu, upaya tersebut didukung pula dengan rehabilitasi sekolah/madrasah yang rusak untuk mempertahankan kapasitas terpasang sekolah/madrasah. Sejak tahun 2005 sampai dengan tahun 2013 telah dilakukan rehabilitasi di 74.767 SD, 32.172 SMP, 6.440 SMA, dan 2.428 SMK. Sementara itu, 34.976 ruang kelas MI, 16.743 ruang kelas MTs, dan 8.133 ruang kelas MA telah direhabilitasi sejak tahun 2008 sampai dengan tahun 2012.

Dengan ditetapkannya UU No.14/2005 Tentang Guru dan Dosen, seluruh guru dari jenjang pendidikan dasar sampai dengan pendidikan menengah harus berpendidikan minimal S1/D4. Dalam kaitan ini, pada tahun 2013 untuk sekolah dibawah koordinasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan persentase guru yang sudah berpendidikan S1/D4 sudah mencapai 63,8 persen untuk jenjang SD, 88,0 persen untuk jenjang SMP, dan 94,1 persen untuk jenjang SMA/SMK. Angka tersebut meningkat dibandingkan dengan tahun 2004 yang berturut-turut baru mencapai 9,0 persen, 54,9 persen, dan 69,2 persen.

300 101 46

766 191 111

1.356 212 251

1.856 237 466

2.033 247 661

2.248 262 801

2.448 272 856

2.488 324 924

2.558 410 1.054

- 500 1.000 1.500 2.000 2.500 3.000

SMP SMA SMK

2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

1.200 2.284 174 2.550 4.672 267

3.537 6.244 2.267 5.377 7.051 6.918 7.377 7.831 10.574

7.777 8.456 11.574

8.477 12.530 15.831

9.349 17.648 21.298

10.349 19.621 23.941

- 5.000 10.000 15.000 20.000 25.000 30.000

SMP SMA SMK

2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

(13)

Gambar 4

Perkembangan Persentase Guru yang Berkualifikasi Akademik S1/D4 Menurut Jenjang Pendidikan Tahun 2004-2013

Ketetapan syarat guru untuk memperoleh sertifikasi pendidik sesuai amanat UU No. 14/2005 juga telah dilaksanakan. Dalam kurun waktu 2006 sampai 2009, persentase guru yang bersertifikasi meningkat dari 3,0 persen menjadi 21,1 persen. Pada tahun 2013 persentasenya meningkat lagi menjadi 49,4 persen.

Guru TK dan guru SD memiliki persentase yang paling rendah, yaitu berturut-turut sebesar 33,3 persen dan 47,2 persen. Sementara itu persentase guru SMA yang sudah bersertifikasi sudah mencapai 62,9 persen. Untuk jenjang pendidikan tinggi, sertifikasi baru dilakukan mulai tahun 2008, dan pada tahun 2013 persentase dosen yang sudah bersertifikasi pendidik mencapai 42,3 persen.

Selain dilakukan melalui peningkatan kualifikasi akademik, sertifikasi, dan peningkatan kesejahteraan guru, peningkatan profesionalisme guru didukung pula oleh perbaikan sistem pembinaan guru. Upaya peningkatan kompetensi guru terhadap konten dan pendekatan pedagogi dilakukan melalui Kelompok Kerja Guru (KKG) untuk jenjang SD/MI dan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) untuk jenjang SMP/MTs, dan Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS). Program induksi untuk guru PNS baru juga dikembangkan untuk menjamin guru baru dapat melaksanakan pembelajaran secara baik. Untuk mendukung program ini, di beberapa kabupaten/kota juga telah mulai dilakukan redistribusi guru untuk menyeimbangkan ketersediaan guru antarsekolah.

2.4. Capaian Outcome Wajardikdas 9 Tahun

Pembangunan pendidikan yang antara lain dilakukan melalui program Wajardikdas, selama kurun waktu 2004 sampai dengan 2013 telah berhasil memperbaiki taraf pendidikan penduduk yang ditandai dengan meningkatnya rata-rata lama sekolah penduduk usia 15 tahun ke atas dari 7,2 tahun pada tahun 2004 menjadi 7,7 tahun pada tahun 2009 dan 8,1 tahun pada tahun 2012. Selain itu, angka melek aksara penduduk usia 15 tahun keatas juga meningkat signifikan dari 90,4 persen pada tahun 2004 menjadi 92,6 persen pada tahun 2009, dan terus meningkat menjadi 94,1 persen pada tahun 2013. Jika dibedakan menurut kelompok usia, tampak bahwa yang masih bermasalah adalah keberaksaraan penduduk usia 45 tahun keatas yang pada tahun 2013 baru mencapai 84,8 persen, meskipun angka ini juga sudah mengalami peningkatan dari 75,1 persen. Untuk kelompok usia 15-44 tahun, angka melek aksara-nya sudah sangat tinggi, yaitu 98,4 persen pada tahun 2013 yang meningkat dari 96,7 persen pada tahun 2004.

9,0 15,2 15,3 18,6 22,2 25,7 26,8

35,5 53,0

63,8

54,9 60,6 60,3 63,6

71,7 74,5 76,3 80,5 84,5 88,0

69,2

78,1 79,6 79,8 81,4 82,4 84,5 91,9 93,3 94,1

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

SD SMP SMA/SMK

(14)

Gambar 5

Perkembangan Angka Melek Aksara (%) Menurut Kelompok Usia Tahun 2004-2013

Sumber: BPS, 2014

Sejak tahun 2004 taraf pendidikan penduduk Indonesia terus meningkat. Pada tahun 2004 penduduk usia 15 tahun keatas yang berpendidikan SMP/MTs/sederajat atau lebih baru mencapai 43,8 persen, dan pada tahun 2013 menjadi 52,2 persen. Sementara itu penduduk dari kelompok usia yang sama yang tidak pernah sekolah turun dari 9,0 persen menjadi 5,6 persen. Perubahan situasi ini terutama merupakan keberhasilan Program Wajib Belajar Pendidikan Sembilan Tahun yang dimulai sejak tahun 1994.

Peningkatan taraf pendidikan penduduk tersebut sangat ditentukan oleh meningkatnya angka partisipasi pendidikan. Dalam kurun waktu 2004-2013, angka partisipasi pendidikan untuk semua jenjang meningkat sebagaimana terlihat dalam Gambar 6. Angka partisipasi kasar (APK) SMP/MTs/sederajat meningkat dari 81,2 persen pada tahun 2004 menjadi 98,1 persen pada tahun 2009 dan meningkat lagi menjadi 103,9 persen pada tahun 2012 atau ekuivalen dengan peningkatan dari 12,2 juta siswa pada tahun 2009 menjadi 12,7 juta siswa pada tahun 2012. Sementara itu APK SMA/MA/SMK/sederajat meningkat dari 48,3 persen pada tahun 2004, menjadi 69,6 persen pada tahun 2009, dan 78,7 persen pada tahun 2012 atau ekuivalen dengan peningkatan dari 8,5 juta siswa pada tahun 2009 menjadi 9,8 juta siswa pada tahun 2012. Dalam periode yang sama APK jenjang pendidikan tinggi juga meningkat hampir dua kali lipat dari 14,6 persen pada tahun 2004 menjadi 28,6 persen pada tahun 2012 atau sebanyak 6,0 juta mahasiswa.

Gambar 6

Perkembangan Persentase Penduduk Usia 15 Tahun Keatas Menurut Pendidikan yang Ditamatkan Tahun 2004 - 2013

Sumber: BPS, 2014

Peningkatan taraf pendidikan penduduk tersebut sangat ditentukan oleh meningkatnya angka partisipasi pendidikan. Dalam kurun waktu 2004-2013, angka partisipasi pendidikan untuk semua jenjang meningkat

96,7 96,9 97,1 97,0 98,1 98,2 98,3 97,7 98,0 98,4

75,1 77,2 78,9 81,1 80,4 81,3 81,8 82,1 82,8 84,8 90,4 90,9 91,5 91,9 92,2 92,6 92,9 92,8 93,3 94,1

60,0 65,0 70,0 75,0 80,0 85,0 90,0 95,0 100,0

2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 15-44 th 45 th + 15 th +

9,0 8,8 8,3 8,6 8,2 7,5 7,3 6,4 5,9 5,6

15,3 15,2 15,0 14,4 15,0 14,9 12,7 14,7 13,9 13,8

31,9 32,1 31,0 30,4 29,1 29,3 29,7 28,7 28,1 28,5

20,1 19,5 19,9 19,8 20,2 19,8 20,6 20,7 21,0 20,8

23,7 24,4 25,8 26,7 27,5 28,5 29,7 29,4 31,1 31,4

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

70%

80%

90%

100%

2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

SM +/sederajat SMP/sederajat SD/sederajat Tidak tamat SD Tidak/belum sekolah

(15)

sebagaimana terlihat dalam Gambar 6. Angka partisipasi kasar (APK) SMP/MTs/sederajat meningkat dari 81,2 persen pada tahun 2004 menjadi 98,1 persen pada tahun 2009 dan meningkat lagi menjadi 103,9 persen pada tahun 2012 atau ekuivalen dengan peningkatan dari 12,2 juta siswa pada tahun 2009 menjadi 12,7 juta siswa pada tahun 2012. Sementara itu APK SMA/MA/SMK/sederajat meningkat dari 48,3 persen pada tahun 2004, menjadi 69,6 persen pada tahun 2009, dan 78,7 persen pada tahun 2012 atau ekuivalen dengan peningkatan dari 8,5 juta siswa pada tahun 2009 menjadi 9,8 juta siswa pada tahun 2012. Dalam periode yang sama APK jenjang pendidikan tinggi juga meningkat hampir dua kali lipat dari 14,6 persen pada tahun 2004 menjadi 28,6 persen pada tahun 2012 atau sebanyak 6,0 juta mahasiswa.

Gambar 7

Perkembangan APM dan APK Menurut Jenjang Pendidikan Tahun 2004-2012

Sumber: Kemdikbud, 2004-2013

2.5. Capaian Impact Program Wajardikdas 9 tahun

Pelaksanaan program Wajardikdas yang selama ini dilakukan tentunya mempengaruhi capaian pembangunan bidang pendidikan yang pada akhirnya akan memberikan kontribusi pada peningkatan kualitas SDM Indonesia yang tercermin dari meningkatnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Dalam delapan tahun terakhir kualitas sumber daya manusia (SDM) mengalami peningkatan, tercermin dari makin tingginya Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang diwakili oleh tingkat pendidikan, kesehatan, dan pendapatan. IPM Indonesia pada tahun 2013 mencapai 73,8, meningkat dari 68,7 pada tahun 2004.

Indeks ini menggambarkan rata-rata lama sekolah penduduk usia 15 tahun ke atas selama 8,14 tahun dan angka melek aksara penduduk usia 15 tahun ke atas sebesar 94,1 persen.

3. Rekomendasi

Keberhasilan Program Wajardikdas 9 Tahun ditunjukkan dengan pencapaian APK tingkat SD/setara dan tingkat SMP/setara. Terdapat beberapa hal yang dapat menggambarkan kondisi dan tingkat pencapaian pembangunan pendidikan dasar berkaitan dengan aspek perluasan dan pemerataan pendidikan, peningkatan mutu pendidikan, relevansi, efesiensi dan efektivitas pengelolaan, antara lain:

1. Angka Partisipasi, dilihat dari angka partisipasi kasar (APK) dan angka partisipasi murni (APM).

Jika APK lebih besar dari APM, maka hal ini menunjukkan adanya siswa diluar kelompok usia 7 - 12 tahun yang bersekolah di SD/setara. Sesuai dengan prioritas program Wajardikdas 9 tahun, adanya siswa berumur kurang dari 7 tahun di jenjang SD/setara terjadi karena sekolah tersebut masih dapat menampung mereka. Di sisi lain, adanya anak-anak usia di atas 12 tahun yang masih di SD/setara disebabkan oleh dua kemungkinan, pertama, anak masuk SD diatas usia 7

94,1 95,2 95,8

112,5

117,0

116,2

65,2

74,2 78,8

81,2

98,1 103,9

48,3

69,6

78,7

14,6

18,4 27,9

0 20 40 60 80 100 120

2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012

APM SD/sederajat APK SD/sederajat

APM SMP/sederajat APK SMP/sederajat

APK SMA/sederajat APK PT

(16)

tahun; kedua, adanya anak yang mengulang kelas, sehingga baru dapat menyelesaikan jenjang Sekolah Dasar (SD) pada usia di atas 12 tahun.

2. Angka Putus Sekolah. Masih adanya anak yang putus sekolah pada umumnya disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adanya faktor sosial ekonomi dengan membantu ekonomi orang tuanya mencari nafkah. Angka putus sekolah SD/setara dan SMP/setara yang cukup tinggi tersebut perlu ditangani secara lebih serius, dengan mengefektifkan sejumlah lembaga pendidikan alternatif, sehingga masalah putus sekolah ini tidak berdampak pada berkurangnya akses usia 7-15 tahun terhadap lembaga-lembaga pendidikan dasar.

3. Angka melanjutkan lulusan SD/setara ke jenjang SMP/setara. Semakin tinggi nilainya menunjukkan semakin besar para lulusan SD/setara dapat melanjutkan ke SMP sesuai dengan program Wajardikdas 9 Tahun yang dicanangkan Pemerintah.

4. Indikator Rasio-Rasio: (a) Rasio siswa per sekolah pada jenjang SD/setara dan SMP/setara; (c) Rasio kelas per ruang kelas; (d) Tingkat kelayakan guru; (e) Tingkat Pelayanan Sekolah; serta (f) Tingkat kesulitan sekolah.

Berdasarkan beberapa hal tersebut, berikut adalah beberapa rekomendasi yang diharapkan dapat digunakan dalam merumuskan kebijakan dalam perencanaan pembangunan bidang pendidikan ke depan:

1. Diperlukan pendekatan lain untuk meningkatkan angka partisipasi sekolah di Indonesia, tidak hanya melalui peningkatan faktor input dan output sektor pendidikan, yang selama ini dilakukan.

2. Pengambil kebijakan harus menfokuskan pula pada pembangunan daerah-daerah terpencil atau tertinggal agar PDRB di daerah tersebut naik, angka kemiskinan turun dan terjadinya perbaikan akses fasilitas umum, sehingga angka partisipasi murni APM SD/MI dan APK SMP/MTs meningkat.

3. Diperlukan mekanisme kompensasi bagi rumah tangga di daerah-daerah miskin, sehingga mereka tidak kehilangan pendapatan akibat anak-anak mereka sekolah sehingga tidak dapat membantu mencari nafkah.

4. Diperlukan pembinaan dan pemberdayaan penduduk di luar usia sekolah dan di luar sistem pendidikan, sehingga terjadi penurunan angka buta huruf, yang pada akhirnya meningkatkan APK SMP/MTs dan APM SD/MI.

5. Diperlukan adanya komitmen bersama antar pemerintah daerah di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota bahkan hingga pada tingkat penerima alokasi anggaran untuk penyelenggaran pendidikan dasar. Diharapkan hal ini dapat menurunkan kesenjangan pembiayaan sektor pendidikan antar daerah.

6. Peran provinsi dalam rangkaian pelaksanaan program Wajardikdas perlu ditingkatkan. Peran provinsi cukup krusial utamanya dalam hal pemerataan infrastruktur pendidikan baik yang bersifat fisik seperti sekolah dan ruang kelas maupun yang bersifat non fisik seperti ketersediaan guru dan kualitas guru.

(17)

E VALUASI P EMBANGUNAN K ESEHATAN :

F AKTOR -F AKTOR YANG M EMPENGARUHI K ELANGSUNGAN H IDUP A NAK

*

Abstrak

Pembangunan kesehatan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan nasional yang harus terus menerus diupayakan oleh pemerintah. Derajat kesehatan suatu negara dapat dilihat dari indikator utama kesehatan, seperti Angka Kematian Bayi (AKB) atau Infant Mortality Rate (IMR) dan Angka Kematian Ibu (AKI) atau Maternal Mortality Rate (MMR). Angka kematian bayi merefleksikan kelangsungan hidup anak yang berarti masih tingginya AKB Indonesia menunjukkan kelangsungan hidup anak di Indonesia masih rendah.

Studi empiris di negara sedang berkembang lain, seperti India dan Kenya mengenai kelangsungan hidup anak menunjukkan bahwa kelangsungan hidup anak tidak hanya dipengaruhi oleh faktor-faktor sektor kesehatan seperti jumlah puskesmas, bidan, infrastruktur, tetapi juga faktor diluar sektor kesehatan seperti tingkat pendidikan orang tua dan tingkat pendapatan rumah tangga.

Hasil regresi nasional, menunjukkan bahwa kelangsungan hidup anak dipengaruhi oleh faktor sisi penawaran, yaitu jumlah dokter umum, jumlah persalinan yang dibantu oleh tenaga kesehatan, jumlah posyandu, budaya, landlock dan political fractionalization; serta faktor sisi permintaan, yaitu rata-rata lama sekolah. Jumlah dokter umum, jumlah persalinan yang dibantu oleh tenaga kesehatan, jumlah posyandu dan rata-rata lama sekolah memiliki pengaruh positif terhadap kelangsungan hidup anak atau akan berdampak pada peningkatan kelangsungan hidup anak. Selain itu faktor landlock juga menunjukkan pengaruh positif terhadap kelangsungan hidup anak, artinya setiap peningkatan kemudahan suatu lokasi kabupaten/kota untuk dicapai, akan berdampak pada peningkatan kelangsungan hidup anak. Selain itu, semakin terpencil suatu lokasi kabupaten/kota menunjukkan kelangsungan hidup anak akan semakin rendah. Faktor budaya dan political fractionalization menunjukkan terdapat pengaruh negatif terhadap kelangsungan hidup anak, yang berarti setiap peningkatan faktor budaya dan political fractionalization, akan berdampak pada penurunan kelangsungan hidup anak.

Tingkat kematian anak dan nutrisi anak dipengaruhi oleh sisi permintaan dan penawaran. Hasil analsis menunjukan faktor-faktor di sisi penawaran sangat berperan dalam menentukan angka harapan hidup bayi umur 0-1 tahun di Indonesia dibandingkan faktor-faktor di sisi permintaan. Faktor-faktor sisi penawaran tersebut adalah jumlah dokter umum, persalinan yang dibantu oleh tenaga kesehatan, jumlah posyandu, budaya, landlock dan political fractionalization.

Menyikapi temuan dari kajian ini, maka dapat dirumuskan beberapa rekomendasi kebijakan, antara lain: [1] Pembangunan nasional hendaknya lebih menitikberatkan perhatiannya pada pembangunan sektor sosial dibandingkan pembangunan sektor ekonomi; [2]

Dibutuhkan usaha besar pemerintah untuk semakin meningkatkan kesadaran masyarakat (sisi permintaan) terhadap peningkatan angka harapan hidup bayi umur 0-1 tahun di Indonesia; [3] Pemerintah daerah hendaknya dapat melakukan terobosan-terobosan kebijakan di sektor kesehatan yang lebih mampu memberi warna spesifik kedaerahan yang sesuai, dibandingkan hanya dengan melakukan replikasi atau melanjutkan program-program pemerintah pusat saja.

* Diringkas dari hasil Kajian Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kelangsungan Hidup Anak (2009), Direktorat Evaluasi Kinerja Pembangunan Sektoral Bappenas

1. Latar Belakang

Sesuai amanat UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Program Kesehatan Anak disusun berdasarkan Upaya Pemenuhan Hak Anak yang Komprehensif dan Terpadu (Right Based Approach) dengan empat prinsip hak-hak anak yaitu (i) non diskriminasi, (ii) demi kepentingan terbaik bagi anak, (iii) hak anak untuk hidup dan berkembang, dan (iv) menghargai pendapat anak. Sementara itu, beberapa studi menunjukkan bahwa child survival (kelangsungan hidup anak) tidak hanya dipengaruhi oleh faktor-faktor sektor kesehatan seperti jumlah puskesmas, bidan, infrastruktur, tetapi juga faktor diluar sektor kesehatan seperti tingkat pendidikan orang tua dan tingkat pendapatan rumah tangga. Tingginya kematian anak di Indonesia pada usia nol hingga satu tahun, menunjukkan (i) masih rendahnya status kesehatan ibu dan bayi baru lahir, (ii) rendahnya akses dan kualitas pelayanan kesehatan ibu dan anak, (iii) rendahnya perilaku ibu hamil dan keluarga, serta (iv) masyarakat yang belum mendukung perilaku hidup bersih dan sehat.

Selama ini upaya meningkatkan kelangsungan hidup anak merupakan salah satu prioritas dalam pembangunan kesehatan. Menurut definisi, kelangsungan hidup anak adalah salah satu area dari ilmu kesehatan masyarakat yang direfleksikan dengan penurunan kematian anak. Intervensi kelangsungan hidup anak didesain untuk menurunkan tingkat resiko penyebab kematian anak seperti diare, malaria dan kondisi neonatal.

2

(18)

Sejalan dengan itu, pembangunan kesehatan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan nasional yang harus terus diupayakan untuk ditingkatkan oleh pemerintah. Namun demikian, pembangunan kesehatan Indonesia cukup tertinggal dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya yang kondisi sosial ekonominya tidak jauh berbeda, seperti Malaysia, Thailand, Srilanka dan RRC. Derajat kesehatan masing-masing negara ini dapat dilihat dari indikator utama kesehatan, seperti Angka Kematian Bayi (AKB) atau Infant Mortality Rate (IMR) dan Angka Kematian Ibu (AKI) atau Maternal Mortality Rate (MMR). Perbandingan AKB Indonesia dengan keempat negara tersebut menunjukkan hasil yang kurang baik. AKB Indonesia berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2007 adalah 34 per 1.000 kelahiran hidup. Sementara itu berdasarkan sumber CIA World Factbook (2009) yang dikutip dalam portal indexmundi, didapatkan bahwa AKB Malaysia cukup rendah yaitu sekitar 15,87 per 1.000 kelahiran hidup, kemudian diikuti Thailand yaitu 17,63 per 1.000 kelahiran hidup. AKB Srilanka dan RRC masih berada di atas Malaysia dan Thailand yaitu sebesar 18,57 per 1.000 kelahiran hidup dan 20,25 per 1.000 kelahiran hidup. Apabila dibandingkan, maka AKB Indonesia hampir dua kali lipat besarnya dari rata-rata AKB di empat negara tersebut.

Kondisi di atas mencerminkan bahwa kelangsungan hidup anak di Indonesia diperkirakan cukup tertinggal dibandingkan dengan ke empat negara tersebut. Selain faktor terkait dengan kesehatan seperti rendahnya pemerataan dan keterjangkauan pelayanan kesehatan, faktor sosial ekonomi juga sangat mempengaruhi terhadap kelangsungan hidup anak. Keluarga dengan tingkat pendidikan dan sosial ekonomi rendah kurang dapat menjaga kelangsungan hidup anaknya yang dicerminkan dengan tingginya angka kematian bayi dan balita. Angka kematian bayi pada penduduk yang tidak berpendidikan masih tiga kali lipat lebih besar dibandingkan dengan yang berpendidikan tinggi, begitu pula dengan AKB pada tingkat sosial ekonomi rendah masih lebih besar dibandingkan dengan tingkat ekonomi tinggi. Hal yang sama juga terjadi antar perkotaan dan perdesaan, yaitu AKB di perdesaan lebih tinggi daripada di perkotaan. Kesenjangan tersebut juga dapat dilihat dari antar provinsi.

Mengingat kelangsungan hidup anak sangat menentukan kualitas sumber daya manusia di masa mendatang, maka faktor-faktor signifikan yang mempengaruhi kelangsungan hidupa anak harus dikenali dan ditanggulangi permasalahan-permasalahannya. Selanjutnya, diperlukan intervensi yang tepat untuk menjaga kelangsungan hidup anak seperti mengurangi angka kematian bayi dan balita. Studi empiris di negara sedang berkembang lain, seperti India dan Kenya, mengenai kelangsungan hidup anak, menunjukkan bahwa tidak hanya faktor di dalam sektor kesehatan, seperti jumlah puskesmas, bidan, dan infrastruktur kesehatan yang mempengaruhi kelangsungan hidup anak, tetapi juga faktor di luar sektor kesehatan, seperti tingkat pendidikan orang tua dan tingkat pendapatan rumah tangga.

Terkait dengan hal tersebut, untuk memperoleh masukan terhadap kebijakan yang diperlukan untuk menjaga kelangsungan hidup anak, perlu dilakukan kajian untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kelangsungan hidup anak di Indonesia. Adapun metode yang digunakan untuk dapat mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kelangsungan hidup anak adalah metode Panel Data Analysis. Sebagaimana metode ekonometrika lainnya, metode analisis data panel ini dapat digunakan untuk menguji atau memperkirakan dampak dari perubahan satu faktor terhadap outcomes yang diharapkan (dalam hal ini angka kematian bayi sebagai indikator dari kelangsungan hidup anak). Adapun model dasar yang digunakan dalam evaluasi ini adalah model data panel yang didasarkan pada teori Mosley & Chen (1984) dan Filmer (2003) mengenai kelangsungan hidup anak. Model ini mengangkat masalah kelangsungan hidup anak di negara sedang berkembang dengan memasukkan faktor karakteristik sosial ekonomi di suatu negara atau daerah.

Data yang digunakan dalam studi ini adalah data sekunder dan data primer. Data sekunder yang digunakan dalam studi ini bersumber dari publikasi UNDP, BPS, dan Bappenas. Selain itu juga untuk mendukung analisis dengan data sekunder, digunakan data dan informasi yang bersifat primer yang diperoleh di tingkat daerah. Data dan informasi yang bersifat primer ini dikumpulkan melalui indepth interview dan FGD yang dilakukan di tingkat daerah.

Tujuan Evaluasi Pembangunan Kesehatan: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kelangsungan Hidup Anak:

(1) Mengidentifikasi faktor-faktor sisi permintaan dan penawaran dari sektor kesehatan yang mempengaruhi kelangsungan hidup anak; (2) Memperoleh gambaran pelaksanaan program sektor

(19)

kesehatan, yang berkaitan dengan kelangsungan hidup anak; dan (3) Menyusun rekomendasi kebijakan terkait pelaksanaan program sektor kesehatan yang berkaitan dengan kelangsungan hidup anak.

2. Hasil Evaluasi 2.1. Kerangka Evaluasi

Kerangka pikir Evaluasi Pembangunan Kesehatan: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kelangsungan Hidup Anak pada Gambar 1. menunjukkan keterkaitan hubungan input, output, outcome, dan impact. Input dari pembangunan kesehatan ibu dan anak merupakan kegiatan Pembinaan Pelayanan Kesehatan Anak dan Pembinaan Pelayanan Kesehatan Ibu dan Reproduksi, berikut dengan pembiayaan, sumber daya kesehatan, dan input lainnya; secara bersama-sama mempengaruhi pencapaian output. Dalam hal ini output yang dihasilkan, adalah perkembangan infrastruktur fasilitas kesehatan dan ketersedian tenaga medis. Kemudian, dalam pencapaian outcome (AKI dan AKB) tidak terlepas pula dari faktor ketercapaian output dan dukungan input yang diberikan. Sehingga pada akhirnya semua aspek input, output, dan outcome tersebut berdampak pada peningkatan kualitas SDM, yang dapat diukur oleh IPM.

Gambar 1

Kerangka Evaluasi Kelangsungan Hidup Anak

2.2. Kebijakan Kesehatan

RPJMN 2004-2009 menyebutkan beberapa permasalahan kesehatan yang dihadapi oleh pemerintah saat ini yaitu (i) disparitas status kesehatan; (ii) beban ganda penyakit; (iii) kinerja pelayanan kesehatan yang rendah; (iv) perilaku masyarakat yang kurang mendukung pola hidup bersih dan sehat; (v) rendahnya kondisi kesehatan lingkungan; (vi) rendahnya kualitas, pemerataan dan keterjangkauan pelayanan kesehatan; (vii) terbatasnya tenaga kesehatan dan distribusi tidak merata; dan (viii) rendahnya status kesehatan penduduk miskin.

Dalam RPJMN 2010-2014, pembangunan kesehatan merupakan prioritas nasional dengan dengan kegiatan prioritas: Pembinaan Pelayanan Kesehatan Anak; dan Pembinaan Pelayanan Kesehatan Ibu dan Reproduksi. Prioritas ini ditujukan untuk mencapai target Substansi Inti Program Aksi Bidang Kesehatan RPJMN 2010-2014, yaitu penurunan tingkat kematian ibu saat melahirkan dari 307 per 100.000 kelahiran

INPUT OUTPUT OUTCOMES IMPACT

Prioritas Nasional 2. Kesehatan dalam RPJMN 2010-2014, Kegiatan Prioritas:

Pembinaan Pelayanan Kesehatan Anak Pembinaan Pelayanan

Kesehatan Ibu dan Reproduksi

Perkembangan infrastruktur fasilitas kesehatan

Ketersedian tenaga medis terlatih

Selama periode 2004- 2013, fasilitas kesehatan dasar dan rujukan, yaitu jumlah: puskesmas perawatan; puskesmas non-perawatan;

puskesmas PONED; rumah sakit; rumah sakit PONEK;

tempat tidur RS;

posyandu; pustu; dan poskesdes menunjukan trend peningkatan tiap tahunnya.

Peningkatan kelangsungan hidup anak: Penurunan angka kematian anak.

o Selama periode 1992- 2012, berdasarkan data SDKI, AKB; AKBA dan angka kematian neonatal menunjukan penurunan yang signifikan.

Indikator IPM yang menunjukan tingkat kesehatan, pendidikan dan ekonomi.

Selama periode 2004-2011, IPM Indonesia menunjukan peningkatan tiap tahunnya.

Pada tahun 2012, IPM Indonesia berada pada peringkat 121 (dari 186 negara).

(20)

pada 2008 menjadi 118 pada 2014, serta tingkat kematian bayi dari 34 per 1.000 kelahiran pada 2008 menjadi 24 pada 2014. Selanjutnya, dalam Bidang Sosial Budaya dan Kehidupan Beragama, peningkatan akses dan kualitas pelayanan kesehatan merupakan prioritas bidang dengan fokus prioritas peningkatan kesehatan ibu, bayi, dan balita sebagai salah satu fokus prioritas bidang.

2.3. Capaian Output

Perkembangan infrastruktur fasilitas kesehatan dan ketersedian tenaga medis terlatih merupakan ukuran output kebijakan kesehatan ibu dan anak. Selama periode 2004-2013, fasilitias kesehatan dasar dan rujukan, yaitu: puskesmas; puskesmas perawatan; puskesmas non-perawatan; puskesmas PONED; rumah sakit; rumah sakit PONEK; tempat tidur RS; posyandu; pustu; dan poskesdes menunjukan trend peningkatan tiap tahunnya. Ketersediaan dokter dan dokter gigi PTT menunjukan peningkatan selama periode 2005-2013. Namun, perkembangannya berfluktuasi tiap tahun.

Tabel 1

Perkembangan Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan Periode 2004-2013

Sumber: Pencapaian KIB I dan KIB II

Gambar 2

Perkembangan Dokter dan Dokter Gigi Sebagai PTT Periode 2005-2013

Sumber: KIB I dan KIB II

(21)

2.4. Capaian Outcome

Terkait dengan kelangsungan hidup anak, ukuran capaian outcome direfleksikan dengan angka kematian anak. Selama periode 1992-2012, berdasarkan data SDKI, angka kematian bayi; angka kematian balita dan angka kematian neonatal menunjukan penurunan yang signifikan.

Gambar 3

Angka Kematian Anak (per 1.000 kelahiran hidup), Periode 1992-2012

Sumber: SDKI, berbagai tahun

Kelangsungan hidup anak dipengaruhi oleh sisi permintaan dan penawaran. Sisi permintaan adalah perilaku atau karakteristik rumah tangga dan individual seperti sanitasi, tindakan pencegahan penyakit dalam keluarga, pendapatan, pendidikan dan pengetahuan orang tua. Semakin baik sanitasi, tindakan pencegahan penyakit dalam keluarga, pendapatan, pendidikan dan pengetahuan orang tua, maka semakin rendah kematian anak dan semakin baik nutrisi anak dalam menjaga kelangsungan hidup anak.

Tingkat pendidikan ibu memiliki korelasi yang kuat dengan tingkat kematian anak. Selain itu, akses dan penggunaan air bersih, sanitasi, kebiasaan mencuci tangan pada keluarga dan individu memiliki efek langsung terhadap status kesehatan. Sedangkan dari sisi penawaran, kelangsungan hidup anak yang yang menjadi faktor penyebab kematian anak dan penentu tingkat nutrisi anak adalah kebijakan pemerintah baik kebijakan di tingkat mikro maupun makro sekaligus implementasi kebijakannya, kapabilitas dari pemerintah daerah, dan infrastruktur serta akses dan kualitas layanan kesehatan. Pelayanan kesehatan di sini sangat penting dalam mempengaruhi outcomes kesehatan (kematian anak dan tingkat nutrisi anak).

Berdasarkan hasil pengolahan data dengan model panel data dari 456 kabupaten/kota di Indonesia dari tahun 2004-2006, maka analisis persamaan regresi dilakukan berdasarkan tingkat nasional dan regional (pulau). Regresi tingkat nasional dilakukan untuk menelaah faktor-faktor yang mempengaruhi kelangsungan hidup anak secara keseluruhan (umum), sementara regresi regional (pulau) dilakukan dengan tujuan untuk membandingkan kinerja antar daerah yang berkaitan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi kelangsungan hidup anak. Hal ini tentunya juga akan mengkonfirmasi temuan lapang yang telah dilakukan.

2.2.1 Analisis Nasional

Hasil regresi nasional, menunjukkan bahwa kelangsungan hidup anak yang direfleksikan oleh angka kematian bayi dipengaruhi oleh faktor sisi penawaran, yaitu jumlah dokter umum, jumlah persalinan yang dibantu oleh tenaga kesehatan, jumlah posyandu, budaya, landlock dan political fractionalization; serta faktor sisi permintaan, yaitu rata-rata lama sekolah.

Jumlah dokter umum, jumlah persalinan yang dibantu oleh tenaga kesehatan, jumlah posyandu dan rata- rata lama sekolah memiliki pengaruh negatif terhadap angka kematian bayi, artinya terdapat pengaruh positif terhadap kelangsungan hidup anak. Setiap peningkatan jumlah dokter umum, jumlah persalinan yang dibantu oleh tenaga kesehatan, jumlah posyandu, lama rata-rata lama sekolah, akan berdampak pada peningkatan kelangsungan hidup anak. Selain itu faktor landlock juga menunjukkan pengaruh positif

(22)

terhadap kelangsungan hidup anak. Artinya, setiap peningkatan kemudahan suatu lokasi kabupaten/kota untuk dicapai, akan berdampak pada peningkatan kelangsungan hidup anak. Dan semakin terpencil suatu lokasi kabupaten/kota yang menunjukkan maka kelangsungan hidup anak akan semakin rendah.

Faktor budaya dan political fractionalization memiliki pengaruh negatif terhadap kelangsungan hidup anak. Hal ini berarti setiap peningkatan faktor budaya dan political fractionalization, akan berdampak pada penurunan kelangsungan hidup anak.

2.2.2. Analisis Regional A. Pulau Sumatera

Hasil regresi menunjukkan bahwa kelangsungan hidup anak di Pulau Sumatera dipengaruhi oleh faktor sisi penawaran, yaitu jumlah dokter umum, jumlah rumah sakit, rata-rata lama sekolah, produk domestik regional bruto, budaya dan political fractionalization.

Kelangsungan hidup anak di Pulau Sumatera tidak hanya dipengaruhi oleh faktor-faktor di sektor kesehatan, tapi juga dipengaruhi oleh karakteristik sosial ekonomi. Jumlah dokter umum, jumlah rumah sakit, rata-rata lama sekolah dan produk domestik regional bruto memiliki pengaruh positif terhadap kelangsungan hidup anak. Hal ini berarti setiap peningkatan jumlah dokter umum, jumlah rumah sakit dan kesejahteraan masyarakat di Pulau Sumatera yang direfleksikan dengan rata-rata lama sekolah dan produk domestik regional bruto akan berdampak pada peningkatan kelangsungan hidup anak di Pulau Sumatera. Lebih lanjut, faktor budaya dan political Fractionalization juga memiliki pengaruh negatif terhadap kelangsungan hidup anak di Pulau Sumatera. Artinya setiap peningkatan faktor budaya dan political Fractionalization akan berdampak pada penurunan kelangsungan hidup anak.

B. Pulau Jawa

Hasil regresi menunjukkan bahwa kelangsungan hidup anak di Pulau Jawa dipengaruhi oleh faktor sisi penawaran, yaitu pemberian vaksinasi DPT, jumlah dokter umum, jumlah bidan, jumlah rumah sakit, rata- rata lama sekolah, jumlah persalinan yang dibantu oleh tenaga kesehatan dan panjang jalan distrik.

Faktor-faktor sisi penawaran ini lebih banyak mempengaruhi kelangsungan hidup anak di Pulau Jawa dibandingkan dengan faktor sisi permintaan (rata-rata lama sekolah).

Panjang jalan distrik, pemberian vaksinasi DPT, jumlah dokter umum, jumlah bidan, jumlah rumah sakit, rata-rata lama sekolah, jumlah persalinan yang dibantu oleh tenaga kesehatan dan memiliki pengaruh negatif terhadap angka kematian bayi yang menunjukkan terdapat pengaruh positif terhadap kelangsungan hidup anak di Pulau Jawa. Hal ini berarti setiap peningkatan panjang jalan distrik, rata-rata lama sekolah, pemberian vaksinasi DPT, jumlah dokter umum, jumlah bidan, jumlah rumah sakit, dan jumlah persalinan yang dibantu oleh tenaga kesehatan akan berdampak pada peningkatan kelangsungan hidup anak di Pulau Jawa.

C. Pulau Bali, NTB dan NTT

Hasil regresi menunjukkan bahwa kelangsungan hidup anak di Pulau Bali, NTB dan NTT dipengaruhi oleh produk domestik regional bruto, jumlah dokter umum, jumlah persalinan yang dibantu oleh tenaga kesehatan, dan jumlah posyandu. Keempat variabel tersebut menunjukkan terdapat pengaruh positif terhadap kelangsungan hidup anak. Artinya setiap peningkatan produk domestik regional bruto, jumlah dokter umum, jumlah persalinan yang dibantu oleh tenaga kesehatan, dan jumlah posyandu akan berdampak pada peningkatan kelangsungan hidup anak di Pulau Bali, NTB dan NTT.

(23)

D. Pulau Kalimantan

Hasil regresi menunjukkan bahwa kelangsungan hidup anak di Pulau Kalimantan dipengaruhi oleh jumlah dokter umum dan rata-rata lama sekolah. Variabel jumlah dokter umum dan rata-rata lama sekolah menunjukkan pengaruh positif terhadap kelangsungan hidup anak, artinya setiap peningkatan jumlah dokter umum dan rata-rata lama sekolah, akan berdampak pada peningkatan kelangsungan hidup anak di Pulau Kalimantan.

E. Pulau Sulawesi

Hasil regresi menunjukkan bahwa kelangsungan hidup anak di Pulau Sulawesi dipengaruhi oleh jumlah rumah sakit dan pemberian vaksinasi DPT. Kedua variabel tersebut menunjukkan terdapat pengaruh positif terhadap kelangsungan hidup anak, artinya setiap peningkatan jumlah rumah sakit dan pemberian vaksinasi DPT, akan berdampak pada peningkatan kelangsungan hidup anak di Pulau Sulawesi.

F. Pulau Papua dan Maluku

Hasil regresi menunjukkan bahwa kelangsungan hidup anak di Pulau Papua dan Maluku dipengaruhi oleh rata-rata lama sekolah, political fractionalization dan pemberian vaksinasi BCG. Rata-rata lama sekolah dan pemberian vaksinasi BCG menunjukkan terdapat pengaruh positif terhadap kelangsungan hidup anak.

Artinya, setiap peningkatan rata-rata lama sekolah dan pemberian vaksinasi BCG, akan berdampak pada peningkatan kelangsungan hidup anak di Pulau Papua dan Maluku. Sementara itu political fractionalization menunjukkan terdapat pengaruh negatif terhadap kelangsungan hidup anak sehingga setiap peningkatan rata-rata political fractionalization maka berdampak pada penurunan kelangsungan hidup anak. Hal ini menunjukkan bahwa situasi politik dan tingkat pendidikan terutama orang tua di Papua dan Maluku berperan sangat penting dalam meningkatkan kelangsungan hidup anak.

2.3. Capaian Impact

Salah satu indikator untuk mengukur keberhasilan pembangunan kesejahteraan rakyat adalah Indeks Pembangunan Masyarakat (IPM). Peningkatan kelangsungan hidup anak yang selama ini telah dilakukan tentunya mempengaruhi capaian pembangunan kesehatan yang pada akhirnya memberi kontribusi kepada peningkatan IPM. Selama periode 2004-2011, IPM Indonesia menunjukan peningkatan tiap tahunnya. Pada tahun 2012, IPM Indonesia berada pada peringkat 121 (dari 186 negara). Pada tingkat daerah, IPM Provinsi DKI Jakarta selalu berada pada peringkat 1 (tertinggi), selama periode 2010-2011.

Sedangkan, pada periode yang sama, Provinsi Papua menempati peringkat 33 (terakhir) berdasarkan IPM (Tabel 2).

3. Kesimpulan dan Rekomendasi

Dari hasil analsis dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor di sisi penawaran sangat berperan dalam menentukan angka harapan hidup bayi umur 0-1 tahun di Indonesia dibandingkan faktor-faktor di sisi permintaan. Faktor-faktor sisi penawaran tersebut adalah jumlah dokter umum, persalinan yang dibantu oleh tenaga kesehatan, jumlah posyandu, budaya, landlock dan political fractionalization. Hal ini membawa konsekuensi logis pada pentingnya usaha-usaha capacity building bagi tenaga kesehatan yang merupakan tugas wajib pemerintah pusat dan daerah.

Menyikapi hasil ini, dapat dirumuskan beberapa rekomendasi kebijakan, antara lain: [1] Pembangunan nasional hendaknya lebih menitikberatkan perhatiann kepada pembangunan sektor sosial dibandingkan pembangunan sektor ekonomi; [2] Dibutuhkan usaha besar untuk semakin meningkatkan kesadaran masyarakat (sisi permintaan) terhadap peningkatan angka harapan hidup bayi umur 0-1 tahun di Indonesia; [3] Pemerintah daerah hendaknya dapat melakukan terobosan-terobosan kebijakan di sektor kesehatan yang lebih mampu memberi warna spesifik kedaerahan yang sesuai, dibandingkan hanya melakukan replikasi atau melanjutkan program-program pemerintah pusat saja.

(24)

Tabel 2

Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Periode 2004-2011

Provinsi KIB I KIB II

2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

Wilayah Sumatera

1. Aceh 68,73 69,05 69,41 70,35 70,76 71,31 71,70 72,16

2. Sumatera Utara 71,42 72,03 72,46 72,78 73,29 73,80 74,19 74,65 3. Sumatera Barat 70,52 71,19 71,65 72,23 72,96 73,44 73,78 74,28

4. Riau 72,18 73,63 73,81 74,63 75,09 75,60 76,07 76,53

5. Jambi 70,08 70,95 71,29 71,46 71,99 72,45 72,74 73,30

6. Sumatera Selatan 69,59 70,23 71,09 71,40 72,05 72,61 72,95 73,42

7. Bengkulu 69,95 71,09 71,28 71,57 72,14 72,55 72,92 73,40

8. Lampung 68,38 68,85 69,38 69,78 70,30 70,93 71,42 71,94

9. Bangka Belitung 69,60 70,68 71,18 71,62 72,19 72,55 72,86 73,37 10. Kepulauan Riau 70,81 72,23 72,79 73,68 74,18 74,54 75,07 75,78 Wilayah Jawa-Bali

11. DKI Jakarta 75,76 76,07 76,33 76,59 77,03 77,4 77,6 78,0

12. Jawa Barat 69,13 69,93 70,32 70,71 71,12 71,6 72,3 72,7

13. Jawa Tengah 68,88 69,78 70,25 70,92 71,60 72,1 72,5 72,9

14. DI Yogyakarta 72,91 73,50 73,70 74,15 74,88 75,2 75,8 76,3

15. Jawa Timur 66,85 68,42 69,18 69,78 70,38 71,1 71,6 72,2

16. Banten 67,89 68,80 69,11 69,29 69,70 70,1 70,5 71,0

17. Bali 69,13 69,78 70,07 70,53 70,98 71,5 72,3 72,8

Wilayah Nusa Tenggara

18. NTB 60,60 62,40 63,0 63,71 64,12 64,66 65,2 66,23

19. NTT 62,70 63,60 64,80 65,36 66,15 66,60 67,26 67,75

Wilayah Kalimantan

20. Kalimantan Barat 65,42 66,20 67,08 67,53 68,17 68,79 69,15 69,66 21. Kalimantan Tengah 71,71 73,22 73,40 73,49 73,88 74,36 74,64 75,06 22. Kalimantan Selatan 66,74 67,44 67,75 68,01 68,72 69,30 69,92 70,44 23. Kalimantan Timur 72,24 72,94 73,26 73,77 74,52 75,11 75,56 76,22 Wilayah Sulawesi

24. Sulawesi Utara 73,4 74,2 74,4 74,7 75,2 75,7 76,1 76,5

25. Sulawesi Tengah 67,3 68,5 68,9 69,3 70,1 70,7 71,1 71,6

26. Sulawesi Selatan 67,8 68,1 68,9 69,7 70,2 70,9 71,6 72,1

27. Sulawesi Tengggara 66,7 67,5 67,8 68,3 69,0 69,5 70,0 70,6

28. Gorontalo 65,4 67,5 68,0 68,8 69,3 69,8 70,3 70,8

29. Sulawesi Barat 64,4 65,7 67,1 67,7 68,6 69,2 69,6 70,1

Wilayah Maluku

30. Maluku 69,0 69,2 69,7 69,96 70,38 70,96 71,42 71,87

31. Maluku Utara 66,4 67,0 67,5 67,82 68,18 68,63 69,03 69,47 Wilayah Papua

32. Papua Barat 63,7 64,8 66,1 67,28 67,95 68,58 69,15 69,65

33. Papua 60,9 62,1 62,8 63,41 64,00 64,53 64,94 65,36

Indonesia 68,69 69,57 70,08 70,59 71,17 71,76 72,27 72,77 Sumber: KIB I dan KIB II

Referensi

Dokumen terkait

Sebagai kelanjutan dari proses pengumuman ini, pemenang sebagaimana tersebut di atas akan. ditunjuk sebagai pelaksana pekerjaan dengan surat Pengadaan oleh

Pada radius 50 km dari episenter tidak ditemukan peningkatan aktivitas petir, namun terjadi anomali pada 13 hari sebelum terjadinya gempa yakni terjadi aktivitas

Hasil simulasi pada Gambar 1 data hasil pengukuran yang diplot sesuai dengan jumlah sampel pengukuran mengunakan Parsivel, untuk Gambar 2 aliran data dari alat

[r]

Awalnya sensor proximity akan aktif jika di beri catu daya antara 6-36 volt. Setelah aktif sesnsor akan menerima sensing dari lempeng metal yang berada didekat

Teknik yang dilakukan penulis keduaa adalah Kuisioner Adalah sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari responden khususnya dalam arti

Konstanta sebesar 2010,338 menunjukkan bahwa deposito mudharabah sebesar Rp 2.010,338 triliun sebelum dipengaruhi oleh tingkat suku bunga deposito pada bank umum.Koefisien

Sastra adalah sebuah karya yang merupakan hasil kerja kreatif dan ekspresif dari penciptanya.Sastra merupakan ungkapan perasaan maupun hasil daya imajinasi dari