• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ASI EKSKLUSIF DAN MP-ASI DENGAN KEJADIAN STUNTING PADA BALITA 6-24 BULAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "HUBUNGAN ASI EKSKLUSIF DAN MP-ASI DENGAN KEJADIAN STUNTING PADA BALITA 6-24 BULAN"

Copied!
129
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ASI EKSKLUSIF DAN MP-ASI DENGAN KEJADIAN STUNTING PADA BALITA 6-24 BULAN

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Meraih Gelar Sarjana Kedokteran Program Studi Pendidikan Dokter

Pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Alauddin Makassar

Oleh:

NURUL AISYAH SUDIRMAN NIM: 70600118032

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UIN ALAUDDIN MAKASSAR 2022

(2)

ii

KATA PENGANTAR

Segala puji kehadirat Allah Swt. atas berkat rahmat dan hidayah-Nya, yang telah memberikan petunjuk dan kemudahan bagi penulis untuk mampu menyelesaikan skripsi dengan judul “Hubungan ASI Eksklusif dan MP-ASI dengan Kejadian Stunting pada Balita 6-24 Bulan”. Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada Rasulullah Saw. yang telah mengantarkan dunia dari kegelapan menuju alam yang terang benderang seperti sekarang ini.

Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat guna mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar. Penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan rasa terima kasih yang tulus kepada kedua orang tua yaitu H. Sudirman Ismail dan Hj.

Maryati Idris serta keluarga penulis yang telah memberikan dukungan sepenuhnya dalam menyelesaikan skripsi ini.

Dalam kesempatan ini, penulis juga ingin menyampaikan rasa terima kasih sebesar-besarnya, rasa hormat dan penghargaan atas segala bantuan dan dukungannya kepada:

1. Prof. Drs. Hamdan Juhannis, M.A., Ph.D selaku Rektor Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar beserta seluruh staf dan jajarannya.

(3)

iii

2. Dr. dr. Syatirah Djalaluddin, Sp. A,. M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar.

3. dr. Rini Fitriani, M.Kes selaku Ketua Program Studi Pendidikan Dokter dan dr. Andi Tihardimanto K,M.Kes, MARS, Sp.JP selaku sekretaris Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Alauddin Makassar.

4. dr. Utami Murti Pratiwi, M.Kes selaku dosen pembimbing I dan dr. Andi Irhamnia Sakinah selaku dosen pembimbing II yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk memberikan masukan, arahan, dan bimbingan kepada penulis.

5. dr. Purnamaniswaty Yunus, M.Kes selaku dosen penguji kompetensi dan Dr. Darsul S. Puyu, M.Ag selaku dosen penguji integrasi keislaman yang telah memberikan banyak masukan dan saran yang bermanfaat untuk penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Seluruh dosen Program Studi Pendidikan Dokter UIN Alauddin Makassar yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat selama proses studi, beserta seluruh staf di Program Studi Pendidikan Dokter UIN Alauddin Makassar yang telah membantu dalam proses penyusunan penelitian ini.

7. Teman-teman Buni, Palla-palla dan Tree Musketeers yang telah memberikan semangat dan motivasi kepada penulis

8. Berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah memberikan kontribusi baik secara langsung maupun tidak langsung dalam proses penyelesaian skripsi ini.

(4)

iv

Atas segala bentuk perhatian dan bantuan dari semua pihak yang ikut berkontribusi dalam penulisan skripsi ini, penulis menghaturkan doa kepada Allah Swt. semoga diberikan balasan oleh-Nya dengan pahala yang berlipat ganda.

Terlepas dari segala dukungan yang diberikan, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Segala kekurangan dalam dalam skripsi ini merupakan keterbatasan dari penulis sebagai manusia dan kesempurnaan hanyalah milik Allah Swt. semata. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritikan dan saran yang membangun demi terbentuknya suatu tulisan yang dapat bermanfaat bagi segala pihak.

Makassar,15 Februari 2022 Penulis

Nurul Aisyah Sudirman NIM: 70600118032

(5)

v DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL... vii

DAFTAR BAGAN ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ... xi

HALAMAN PERSETUJUAN KARYA TULIS ILMIAH . Error! Bookmark not defined. PENGESAHAN SKRIPSI ... xiii

ABSTRAK ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Hipotesis ... 7

D. Definisi Operasional dan Ruang Lingkup Penelitian ... 8

E. Kajian Pustaka ... 14

F. Tujuan Penelitian ... 21

G. Manfaat Penelitian ... 22

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 23

A. Stunting ... 23

B. ASI Eksklusif ... 33

C. Makanan Pendamping ASI ... 39

(6)

vi

D. Tinjauan Islam Tentang Pemberian ASI Eksklusif dan MP-ASI dalam

Mencegah Stunting ... 43

E. Kerangka Teori... 53

BAB III METODE PENELITIAN ... 54

A. Desain Penelitian ... 54

B. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 54

C. Populasi dan Sampel ... 54

D. Teknik Pengambilan Sampel... 55

E. Cara Pengumpulan Data ... 56

F. Instrumen Penelitian... 57

G. Kerangka Konsep ... 58

H. Kerangka Kerja ... 59

I. Langkah Pengolahan Data... 60

J. Analisis Data ... 60

K. Etika Penelitian ... 61

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN... 62

A. Hasil ... 62

B. Pembahasan ... 71

C. Keterbatasan Penelitian ... 77

BAB V PENUTUP ... 79

A. Kesimpulan ... 79

B. Saran ... 79

DAFTAR PUSTAKA ... 81

LAMPIRAN ... 91

(7)

vii

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Definisi Operasional ... 9

Tabel 1.2 Kajian Pustaka ... 15

Tabel 2.1 Prinsip Pemberian MP-ASI ... 43

Table 4.1 Distribusi Data Balita berdasarkan Usia ... 61

Tabel 4.2 Distribusi Data Balita berdasarakan Jenis Kelamin ... 62

Tabel 4.3 Distribusi Data Berdasarkan Angka Kejadian Stunting pada Balita Usia 6-24 Bulan ... 64

Tabel 4.4 Distribusi Data Pemberian ASI Eksklusif pada Balita Usia 6-24 Bulan ... 64

Tabel 4.5 Distribusi Data Waktu Pemberian MP-ASI pada Balita Usia 6-24 Bulan ... 64

Tabel 4.6 Distribusi Data Jenis MP-ASI Sesuai dengan Usia pada Balita Usia 6- 24 Bulan ... 65

Tabel 4.7 Distribusi Data Tekstur MP-ASI Sesuai dengan Usia pada Balita Usia 6-24 Bulan ... 65

Tabel 4.8 Distribusi Data Frekuensi Pemberian MP-ASI Sesuai dengan Usia pada Balita 6-24 Bulan ... 66

Tabel 4.9 Distribusi Data Porsi MP-ASI Tiap Makan Sesuai dengan Usia pada Balita 6-24 Bulan ... 66

Tabel 4.10 Hubungan Pemberian ASI Eksklusif dengan Kejadian Stunting pada Balita Usia 6-24 bulan ... 67

(8)

viii

Tabel 4.11 Hubungan Waktu Pemberian MP-ASI dengan Kejadian Stunting pada Balita Usia 6-24 bulan ... 67 Tabel 4.12 Hubungan Jenis MP-ASI dengan Kejadian Stunting pada Balita Usia 6-24 bulan... 68 Tabel 4.13 Hubungan Tekstur MP-ASI dengan Kejadian Stunting pada Balita Usia 6-24 bulan ... 69 Tabel 4.12 Hubungan Frekuensi Pemberian MP-ASI dengan Kejadian Stunting pada Balita Usia 6-24 bulan ... 69 Tabel 4.13 Hubungan Porsi Pemberian MP-ASI dengan Kejadian Stunting pada Balita Usia 6-24 bulan ... 70

(9)

ix

DAFTAR BAGAN

Bagan 2.1 Kerangka Teori ... 52 Bagan 3.1 Kerangka Konsep ... 57 Bagan 3.2 Kerangka Kerja ... 59

(10)

x

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Lembar Persetujuan Informed Consent Lampiran 2 Kuesioner Penelitian

Lampiran 3 Persuratan

Lampiran 4 Pengolahan Data Penelitian

(11)

xi

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI Mahasiswi yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Nurul Aisyah Sudirman

NIM : 70600118032

Tempat/Tgl Lahir : Pinrang, 17 Januari 2000 Jur/Prodi/Konsentrasi : Pendidikan dokter

Fakultas/Program : Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Alamat : Jl. Adhyaksa Baru No 10B

Judul : Hubungan ASI Eksklusif dan MP-ASI dengan Kejadian Stunting Pada Balita 6-24 Bulan

Menyatakan dengan sesungguhnya dan penuh kesadaran bahwa skripsi ini benar adalah hasil karya sendiri. Jika di kemudian hari terbukti bahwa skripsi ini merupakan duplikat, tiruan, plagiat, atau dibuat oleh orang lain, sebagian atau seluruhnya, maka skripsi dan gelar yang diperoleh karenanya batal demi hukum.

Makassar, 17 Februari 2022 Penyusun

Nurul Aisyah Sudirman NIM:70600118032

(12)

xii

(13)

xiii

(14)

xiv

HUBUNGAN ASI EKSKLUSIF DAN MP-ASI DENGAN KEJADIAN STUNTING PADA BALITA 6-24 BULAN

Nurul Aisyah Sudirman1, Utami Murti Pratiwi2, Andi Irhamnia Sakinah3, Purnamaniswaty Yunus4, Darsul S. Puyu5

Program Studi Pendidikan Dokter UIN Alauddin Makassar

ABSTRAK

Stunting merupakan masalah yang harus diintervensi di Makassar termasuk Puskesmas Kassi Kassi karena sudah melebihi batasan stunting menurut WHO yaitu 20%. Stunting dapat terjadi jika pemberian ASI lanjutan tidak disertai dengan pemberian MP-ASI yang memadai pada usia yang sesuai. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan ASI eksklusif dan MP-ASI dengan kejadian stunting pada balita 6-24 bulan. Desain penelitian yang digunakan adalah analitik observasional dengan pendekatan cross sectional. Penelitian ini menggunakan teknik nonrandom sampling jenis purposive sampling untuk pengambilan sampel. Dari 90 sampel yang didapatkan dalam penelitian ini sebanyak 55 (61,1%) balita yang mengalami stunting, 55 (61,1%) balita yang mendapatkan ASI eksklusif, 66 (73,3%) balita yang mendapatkan waktu MP-ASI yang sesuai, 65 (72,2%) balita yang mendapatkan jenis MP-ASI yang sesuai usia, 86 (95,6%) balita yang mendapatkan tekstur MP-ASI yang sesuai usia, 35 (36,7%) balita yang mendapatkan frekuensi MP-ASI yang sesuai usia, 45 (50%) balita yang mendapatkan porsi MP-ASI yang sesuai usia. Pada penelitian ini didapatkan hasil terdapat hubungan antara ASI eksklusif (0,001), waktu pemberian MP-ASI (0,000), jenis MP-ASI (0,000), frekuensi MPASI (0,000), dan porsi MP-ASI (0,000) dengan kejadian stunting sedangkan tekstur MP-ASI (0,133) tidak diperoleh hasil yang signifikan atau dapat dikatakan tidak ada hubungan antara tekstur MP-ASI dengan kejadian stunting.

Kata kunci : Stunting, ASI Eksklusif, MP-ASI

(15)

xv

THE INFLUENCES OF EXCLUSIVE BREAST FEEDING AND COMPLEMENTARY FEEDING ON THE OCCURRENCES OF

STUNTING IN TODDLERS AGED 6-24 MONTHS

Nurul Aisyah Sudirman1 , Utami Murti Pratiwi2 , Andi Irhamnia Sakinah3, Purnamaniswaty Yunus4, Darsul S. Puyu5

Medical Education Program of UIN Alauddin Makassar

ABSTRACT

Stunting has been considered to be a major problem in Makassar, and the intervention and solution should be given by the government and medical staff, including at Kassi Kassi Health Center. According to WHO, the stunting numbers should be below 20%. Moreover, stunting can occur if continued breastfeeding is not accompanied by adequate complementary feeding at the appropriate age.

Therefore, the major purpose of this study was to investigate the influences of exclusive breastfeeding and complementary feeding on the occurrences of stunting in children aged 6-24 months. The research designed used in this study was analytical observation by uisng a cross sectional study design. The sampling technique used in this study was nonrandom sampling with a purposive sampling technique. There were 90 selected samples of this research. After the conduct of research, it was found that 55 toddlers (61.1%) were considered to undergo a stunting; 55 toddlers (61.1%) were given exclusive breast feeding; 66 toddlers (73.3%) were given timely and enough complementary feeding; 65 toddlers (72.2%) were given appropriate types of complementary feeding; 86 toddlers (95.6%) were given appropriate texture of complementary feeding; 35 toddlers (36,7%) were frequently given complementary feeding; and 45 toddlers (50%) were given appropriate portion of complementary feeding. Based on these aforementioned data, it could be concluded that there were influences of exclusive breast feeding (0.0001), the time of complementary feeding (0.000), the type of complementary feeding (0.000), the frequency of complementary feeding (0.000), and the portion of complementary feeding (0.000) on the occurrenecs of stunting.

In contrast, there was no influence of the texture of complementary feeding (0.133) and the occurrences of stunting.

Key words: Stunting, Exclusive Breastfeeding, Complementary Feeding

(16)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia saat ini harus menghadapi masalah „Beban Ganda Masalah Gizi‟

(Double Burden of Malnutrition). Indonesia mengalami kekurangan gizi yang tinggi (defisiensi gizi makro dan mikro) yang diiringi dengan meningkatnya kejadian obesitas. Berbagai indikator pembangunan gizi menunjukkan bahwa Indonesia mengalami masalah yang cukup serius dalam status gizi seperti stunting, wasting dan underweight pada balita, serta kegemukan atau obesitas.

Namun, beragam upaya yang telah dilakukan belum mampu menurunkan permasalahan gizi ini secara signifikan (Kementerian PPN/Bappenas, 2019).

Stunting atau kerdil adalah suatu kondisi yang mana anak lebih pendek. Pada kondisi ini anak mempunyai panjang atau tinggi badan yang kurang apabila dibandingkan dengan umur. Ukuran dari kondisi ini diukur menggunakan panjang atau tinggi badan yang lebih dari minus dua standar deviasi median pertumbuhan anak dari World Health Organization (Kementerian Kesehatan RI, 2018a).

Balita yang berusia 12-24 bulan sangat rentan mengalami stunting (Titaley et al., 2019). Kualitas dari asupan gizi seperti kurangnya zat gizi makro maupun mikro sangat mempengaruhi kejadian stunting pada usia tersebut (Sentana, Hrp and Hasan, 2018). Masa dua tahun pertama kehidupan merupakan masa kritis yang memerlukan asupan zat gizi yang seimbang dan masa ini berlangsung sangat

(17)

singkat serta tidak dapat diulang lagi, sehingga masa baduta disebut sebagai

“masa emas” atau window of opportunity (Darina, 2020).

Stunting merupakan masalah yang harus ditangani secara serius karena anak yang berusia di bawah dua tahun yang mengalami stunting memiliki tingkat kecerdasan yang tidak optimal dan anak lebih rentan mengalami penyakit infeksi di masa mendatang. Hal tersebut akan mengakibatkan menurunnya tingkat produktivitas. Dampak yang lebih besar lagi, stunting dapat menghambat pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan tingkat kemiskinan (Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan RI, 2017).

Dari data 2020 balita stunting di dunia yang tertinggi berasal Asia (53%) kemudian diikuti oleh Afrika (41%). Proporsi terbanyak berasal dari Asia Selatan yaitu 30,7% kemudian di posisi kedua Asia Tenggara sebesar 27,4%, sedangkan proporsi paling sedikit di Asia Timur yaitu 4,9%. Di south-eastern Asia Regional tahun 2005-2007, posisi pertama diduduki Timor Leste dengan prevalensi sebesar 48,8% kemudian di posisi kedua adalah Indonesia sebesar 31,8% (World Health Organization, 2021).

Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 sebanyak 30,8%

balita yang mengalami stunting dengan persentase pendek sebanyak 11,5% dan sangat pendek sebanyak 19,3%. Pada baduta sebanyak 29,9% yang mengalami stunting dengan persentase pendek 17,1% dan persentase sangat pendek 12,8%

(Kementerian Kesehatan RI, 2018b). Prevalensi balita stunting di Sulawesi Selatan (35,7%) menempati urutan keempat setelah Nusa Tenggara Timur (42,6%), Sulawesi Barat (41,6%), dan Aceh (37,1%). Di Sulawesi Selatan,

(18)

terdapat 33,9% baduta yang mengalami stunting dengan persentase pendek 20,6%

dan persentase sangat pendek 13,3%. Di Makassar, terdapat 17,49% balita pendek dan 7,8% balita sangat pendek sehingga jika dijumlahkan terdapat 25,9% balita stunting (Kementerian Kesehatan RI, 2018b). Angka 25,9% ini masih berada di atas batasan stunting menurut World Health Organisation (2010) yaitu 20%. Dari hasil pengambilan data awal di Dinas Kesehatan Kota Makassar 2020, prevalensi balita stunting di Makassar posisi pertama yaitu Puskesmas Barang Lompo 34,77% kemudian di posisi kedua Puskesmas Kassi Kassi 22,92% lalu di posisi ketiga adalah Puskesmas Kaluku Badoa 18,47%.

Balita stunting timbul karena berbagai faktor misalnya kondisi sosial ekonomi, gizi ibu ketika hamil, kesakitan bayi, dan kurangnya asupan gizi bayi. Faktor yang menyebabkan terjadinya stunting utamanya dipengaruhi oleh asupan gizi. Nutrisi yang diperoleh sejak bayi lahir tentunya sangat berpengaruh terhadap pertumbuhannya. Tidak terlaksananya inisiasi menyusu dini (IMD), gagalnya pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif, dan proses penyapihan dini dapat menjadi salah satu faktor terjadinya stunting. Hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) adalah kuantitas, kualitas, dan keamanan pangan yang diberikan (Kementerian Kesehatan RI, 2018a).

Pertumbuhan yang kurang optimal terkait dengan peningkatan usia dapat diakibatkan karena tantangan yang terkait dengan transisi pemberian makan dari menyusui ke makanan pendamping ASI (Akombi et al., 2017). Masalah tumbuh kembang anak akan terjadi jika pemberian ASI lanjutan tidak disertai dengan pemberian makanan pendamping ASI yang memadai pada usia yang

(19)

sesuai. Dengan meningkatnya kebutuhan nutrisi, jika seorang anak menerima makanan pendamping ASI yang tidak memadai, gangguan pertumbuhan linier dapat terjadi (Derso et al., 2017).

Kenaikan angka stunting pada kelompok usia enam bulan hingga dua tahun menunjukkan bahwa anak Indonesia tidak mendapatkan praktik pemberian makan yang memadai dan makanan pendamping yang sesuai. Lebih dari 40% bayi diperkenalkan kepada makanan pendamping ASI terlalu dini (sebelum mencapai enam bulan), bahan makanan yang dikonsumsi 40% anak usia 6–24 bulan tidak beragam seperti seharusnya, dan 28% anak tidak mendapatkan makanan dalam frekuensi yang cukup. Dengan demikian, semua anak ini mendapatkan kualitas asupan makanan yang rendah serta mengalami kekurangan nutrien penting (UNICEF, 2020).

Penelitian Anita Sampe (2020) dengan sampel 219 balita dengan menggunakan metode pendekatan case control study menunjukkan balita yang tidak diberikan ASI eksklusif dan mengalami stunting sebanyak 66 (91.7%) responden. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, didapatkan nilai OR = 61 artinya balita yang tidak diberikan ASI eksklusif berpeluang 61 kali lipat mengalami stunting dibandingkan balita yang diberi ASI eksklusif. Kemudian, balita yang tidak diberikan ASI eksklusif memiliki peluang 98% untuk mengalami stunting (Sampe, Toban and Madi, 2020).

Penelitian Rahayu Widaryanti (2019) dengan responden pada penelitian ini adalah 100 balita dengan usia ≥6-60 bulan, 50 anak sebagai kasus, dan 50 anak sebagai kontrol. Hasil penelitian ini didapatkan bahwa MP-ASI yang tidak tepat

(20)

sebagian besar mengalami stunting yaitu 47% dan responden yang memberikan MP-ASI secara tepat status gizinya normal sebanyak 45%. Hasil analisis menunjukan bahwa terdapat hubungan antara pemberian MP-ASI terhadap kejadian stunting pada balita yang memiliki keeratan yang kuat (Widaryanti, 2019).

Dalam Islam telah dijelaskan dengan lengkap dan tegas mengenai perintah menyusui. Hal ini terdapat dalam QS Al-Baqarah/2: 233 berikut ini.

َ لَ َ ع َو ۗ َ ة عا َ َ

ض َّرلا َّم ِت ُّي ْنَا َداَرَا ْن َمِل ِن ْ ي َ ل ِما َ

ك ِن ي ْ َ

ل ْو َح َّن ُ ه َ

د َ لَ ْو َ

ا َن ْع ِض ْر ُي ُت ٰدِلا َو ْ لا َو ۞ َّر ۤ

ا َ

ض ُ

ت َ

لَ ۚ ا َه َع ْس ُو َّ

لَ ِا ٌس ْ ف َ

ن ُف َّ

ل َ ك ُ

ت َ لَ ۗ

ِف ْو ُر ْع َمْلا ِب َّن ُهُت َو ْس ِكَو َّن ُه ُ ق ْ

ز ِر ٗ ه َ

ل ِد ْوُل ْو َمْلا

َ ه ِد َ ل َو ِبۢ ٌ

ة َ د ِلا َو ْن ع َ ا

لَا َص ِف ا َ دا َر َ

ا ْ ن ِا َ

ف ۚ َ

ك ِلٰذ ُل ْ

ث ِم ِثِرا َوْلا َلَ َع َو ٖه ِد َ ل َو ِب ٗ

ه َّ

ل ٌ د ْو ُ

ل ْو َم َ لَ َو ا

َ لَ َ ف ْم ُ

ك َ د َ

لَ ْو َ

ا ا و ُع ِضْ ْْٓ ت ْس ََ َ ت ْ

ن َ ا ْم ُّ

ت ْ د َر َ

ا ْ

ن ِا َوۗ ا َم ِه ْيَل َع َحاَن ُج َ لَ َ

ف ٍر ُوا َشَت َو ا َم ُهْن ِّم ٍضا َرَت ْم ُ

ت ْم َّ

ل َس ا َ ذ ِا ْم ُ

ك ْي َ ل ع َحا َ َ ا َمِب للّٰا َ ه َّ ن ُج

ن َ ا ا و ُم ْْٓ َ

ل عا َو ْ للّٰا او َ ه ُ ق َّ

تا َو ۗ

ِف ْو ُر ْع َمْلا ِب ْمُتْيَتٰا ٓا َّم

ٌ ْ ت ِص َب َن ْوُل َم ْعَت

Terjemahnya:

Ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Kewajiban ayah menanggung makan dan pakaian mereka dengan cara yang patut. Seseorang tidak dibebani, kecuali sesuai dengan kemampuannya. Janganlah seorang ibu dibuat menderita karena anaknya dan jangan pula ayahnya dibuat menderita karena anaknya. Ahli waris pun seperti itu pula. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) berdasarkan persetujuan dan musyawarah antara keduanya, tidak ada dosa atas keduanya. Apabila kamu ingin menyusukan anakmu (kepada orang lain), tidak ada dosa bagimu jika kamu memberikan pembayaran dengan cara yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (QS Al-Baqarah/2: 233) (Kementerian Agama RI, 2019).

(21)

Dalam Islam diajarkan untuk mengonsumsi makanan yang halal dan baik sebagaimana dalam firman Allah Swt. dalam (QS An-Nahl/16: 114)

َ ن ْو ُ د ُب ْع َ

ت ُها َّي ِا ْم ُ ت ْ

ن ُ ك ْ

ن ِا ِ ه للّٰا َ

ت َم ْع ِن ا ْو ُر ُك ْشا َّو ۖاًبِّي َط الَٰل َح ُ هللّٰا ُمُكَقَز َر ا َّم ِم ا ْو ُ ل ُ

ك َ ف

Terjemahnya:

Makanlah sebagian apa yang telah Allah anugerahkan kepadamu sebagai (rezeki) yang halal lagi baik dan syukurilah nikmat Allah jika kamu hanya menyembah kepada-Nya.(QS An-Nahl/16: 114) (Kementerian Agama RI, 2019)

Selain itu, mengonsumsi makanan halal dan baik juga disebutkan dalam firman Allah Swt. dalam QS Al-Anfal/8: 69.

ٌم ْي ِح َّر ٌر ْو ُ ف َ

غ للّٰا َ ه َّ

ن ِاۗ للّٰا او َ ه ُ ق َّ

تا َّو ۖ ا ًب ِّي َ

ط ا

لَ ٰ ل َح ْم ُ

ت ْم ِن َ

غا َّم ِم ا ْو ُ ل ُ

ك َ ف

Terjemahnya:

(Jika demikian halnya ketetapan Allah,) makanlah (dan manfaatkanlah) sebagian rampasan perang yang telah kamu peroleh itu sebagai makanan yang halal lagi baik dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS Al-Anfal/8: 69) (Kementerian Agama RI, 2019)

Al-Qur‟an mengingatkan umat Islam agar tidak meninggalkan generasi yang lemah, tetapi generasi yang kuat, cerdas, penyejuk mata dan hati serta pemimpin orang yang bertakwa. Umat Islam juga harus menyiapkan generasi penerus yang berkualitas sehingga anak mampu mengaktualisasikan potensinya sebagai bekal kehidupan di masa mendatang. Hal ini terdapat dalam QS An-Nisaa/4: 9.

ْ ل َو للّٰا او َ ه ُ

ق َّ

ت َي ْ ل َ

ف ْۖ

م ِه ْيَل َع ا ْوُفا َخ ا ًف ٰع ِض ا ة َّي ِّر ُ

ذ ْم ِه ِف ْ ل َ

خ ْن ِم ا ْو ُ ك َر َ

ت ْو َ ل َن ْي ِذ َّ

لا َش ْ خ َي ا ً

د ْي ِد َس ا لَ ْو َ

ق ا ْو ُ ل ْو ُ

ق َي ْ

ل َو

(22)

Terjemahnya:

Hendaklah merasa takut orang-orang yang seandainya (mati) meninggalkan setelah mereka, keturunan yang lemah (yang) mereka khawatir terhadapnya. Maka, bertakwalah kepada Allah dan berbicaralah dengan tutur kata yang benar (dalam hal menjaga hak-hak keturunannya).

(QS An-Nisaa/4: 9) (Kementerian Agama RI, 2019)

Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Hubungan ASI Eksklusif dan MP-ASI dengan Kejadian Stunting pada Balita 6-24 Bulan”.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dari penelitian ini adalah bagaimana hubungan ASI eksklusif dan MP-ASI dengan kejadian stunting pada balita 6-24 bulan?

C. Hipotesis

1. Hipotesis Nol (H0)

a. Tidak ada hubungan antara ASI eksklusif dengan kejadian stunting pada balita 6-24 bulan

b. Tidak ada hubungan antara MP-ASI dengan kejadian stunting pada balita 6-24 bulan

2. Hipotesis Alternatif (Ha)

a. Terdapat hubungan antara ASI eksklusif dengan kejadian stunting pada balita 6-24 bulan

b. Terdapat hubungan antara MP-ASI dengan kejadian stunting pada balita 6-24 bulan

(23)

D. Definisi Operasional dan Ruang Lingkup Penelitian 1. Definisi Operasional Variabel

No Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Hasil Ukur Skala

Variabel Dependen 1. Stunting Dihitung dengan nilai dari Z

skor PB/U < -2 standar deviasi (SD)

Pengukuran panjang

badan/tinggi badan dengan

menggunakan microtoise

1= -2 sampai +2 SD (tidak stunting) 0 = < -2 SD

(stunting)

Nominal

Variabel Independen 2. ASI eksklusif Air Susu Ibu (ASI) yang

diberikan kepada bayi sejak lahir

Kuesioner 1 = ASI eksklusif 0 = tidak ASI

Nominal Tabel 1.1 Definisi Operasional

(24)

No Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Hasil Ukur Skala hingga bayi berusia 6 bulan

tanpa makanan atau minuman lain selain ASI

eksklusif

3. Waktu

pemberian MP- ASI

Waktu pertama kali

diberikannya makanan pendamping ASI kepada bayi dalam bulan

Kuesioner 1 = 6 bulan 0 = < 6 bulan

Nominal

4. Jenis MP-ASI Jenis makanan pendamping ASI yang sesuai dengan usia bayi a) 6-8 bulan: 1 jenis bahan

dasar (6 bulan), 2 jenis bahan dasar (7-8 bulan)

Kuesioner 1 = sesuai 0 = tidak sesuai

Nominal Tabel 1.1 Definisi Operasional (lanjutan)

(25)

No Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Hasil Ukur Skala b) 9-11 bulan: 3-4 jenis bahan

dasar

c) 12-24 bulan: makanan keluarga

5. Tekstur MP- ASI

Tekstur makanan pendamping ASI yang diberikan sesuai dengan usia bayi:

a) Usia 6-8 bulan: makanan lumat (makanan yang disaring sehingga konsistensinya semi lunak) b) Usia 9-11 bulan: makanan

Kuesioner 1 = sesuai 0 = tidak sesuai

Nominal Tabel 1.1 Definisi Operasional (lanjutan)

(26)

No Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Hasil Ukur Skala lembik (makanan yang

dicincang halus sehingga konsistensinya lunak namun lebih padat dari makanan lumat)

c) Usia 12-24 bulan: makanan keluarga (makanan yang disediakan di keluarga yang konsistensinya padat)

6. Frekuensi pemberian MP- ASI

Banyaknya pemberian makanan pendamping ASI per hari sesuai dengan usia bayi:

Kuesioner 1 = sesuai 0 = tidak sesuai

Nominal Tabel 1.1 Definisi Operasional (lanjutan)

(27)

No Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Hasil Ukur Skala a) Usia 6-8 bulan: 2-3 kali

makanan utama dan 1-2 kali selingan

b) Usia 9-11 bulan: 3-4 kali makanan utama dan 1-2 kali selingan

c) Usia 12-24 bulan: 3-4 kali makanan keluarga dan 1-2 kali selingan

7. Porsi MP-ASI tiap makan

Porsi makanan pendamping ASI yang dikonsumsi anak tiap kali makan sesuai dengan usia:

Kuesioner 1 = sesuai 0 = tidak sesuai

Nominal Tabel 1.1 Definisi Operasional (lanjutan)

(28)

No Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Hasil Ukur Skala a) Usia 6-8 bulan: 2-3 sdm

penuh tiap kali makan

b) Usia 9-11 bulan: ½ mangkok ukuran 250 ml

c) Usia 12-24 bulan: ¾ mangkok ukuran 250 ml

2. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Kassi Kassi untuk mengetahui hubungan ASI eksklusif dan MP-ASI terhadap kejadian stunting pada balita 6-24 bulan dengan menggunakan metode pengisian kuesioner oleh ibu balita.

Tabel 1.1 Definisi Operasional (lanjutan)

(29)

E. Kajian Pustaka

No

Peneliti /Tahun

Judul Metode

Jumlah Sampel

Cara Pengukuran

Hasil Perbedaan

1 Widaryanti (2019)

Makanan Pendamping ASI

Menurunkan Kejadian Stunting pada Balita

Kabupaten Sleman

Jenis penelitian ini adalah observasional dengan desain case control

100 responden

Menggunakan kuisoner untuk menanyakan praktik pemberian

MP ASI,

infantometer untuk mengukur panjang badan

bayi dan

timbangan dacin

Terdapat hubungan antara

pemberian MP-ASI

terhadap kejadian stunting pada balita yang memiliki keeratan yang kuat

Pada penelitian Widaryanti variabel independen yang digunakan adalah MP- ASI dan metode penelitian yang digunakan adalah case contol sedangkan pada penelitian ini menggunakan variabel Tabel 1.2 Kajian Pustaka

(30)

No

Peneliti /Tahun

Judul Metode

Jumlah Sampel

Cara Pengukuran

Hasil Perbedaan

untuk mengukur berat badan bayi

independen ASI Eksklusif dan MP-ASI dan metode yang digunakan adalah cross sectional

2 Sampe,

Toban dan Madi (2020)

Hubungan Pemberian ASI Eksklusif dengan Kejadian Stunting pada

Jenis penelitian ini adalah observasional dengan desain case control

219 responden

Menggunakan microtoise untuk mengukur TB dan pengisian

kuesioner terhadap ibu.

Hasil menunjukkan balita yang tidak diberikan ASI eksklusif berpeluang 61 kali lipat mengalami stunting dibandingkan balita yang diberi ASI eksklusif.

Pada penelitian Sampe, Toban dan Madi variabel independen yang digunakan adalah ASI eksklusif dan metode Tabel 1.2 Kajian Pustaka (lanjutan)

(31)

No

Peneliti /Tahun

Judul Metode

Jumlah Sampel

Cara Pengukuran

Hasil Perbedaan

Balita Kemudian, balita yang tidak

diberikan ASI eksklusif memiliki peluang 98%

untuk mengalami stunting.

penelitian yang digunakan adalah case contol sedangkan pada penelitian ini menggunakan variabel independen ASI eksklusif dan MP-ASI dan metode cross sectional

3 Suryana et al.(2019)

Pengaruh Riwayat

Jenis penelitian ini adalah

77 reponden

Menggunakan cara wawancara

Hasil didapatkan bahwa bayi yang mendapat riwayat

Penelitian Suryana meneliti dari segi Tabel 1.2 Kajian Pustaka (lanjutan)

(32)

No

Peneliti /Tahun

Judul Metode

Jumlah Sampel

Cara Pengukuran

Hasil Perbedaan

Pemberian ASI dan MP-ASI terhadap Pertumbuhan dan

Pemkembanga n Anak (12-24 bulan) di Kecamatan Kuta Alam Kota Banda

observasional analitikal dengan pendekatan cross sectional

langsung pada ibu responden dengan kuesioner, data pertumbuhan diperoleh dengan pengukuran antropometri, dan data

perkembangan memakai

Kuesioner Pra

ASI tidak baik sebagian besar memiliki pertumbuhan pendek yaitu 54.5%.

Sedangakan bayi yang mendapatkan MP-ASI tidak tepat sebagian besar memiliki pertumbuhan pendek yaitu 56,9%

pertumbuhan dan perkembangan anak yang berusia 12-24 bulan sedangkan penelitian ini meneliti pertumbuhan linear yaitu stunting pada anak 6-24 bulan Tabel 1.2 Kajian Pustaka (lanjutan)

(33)

No

Peneliti /Tahun

Judul Metode

Jumlah Sampel

Cara Pengukuran

Hasil Perbedaan

Aceh Skrining

Perkembangan (KPSP)

4 Hanum

(2019)

Hubungan Tinggi Badan

Ibu dan

Riwayat Pemberian MP-ASI dengan Kejadian

Jenis penelitian ini adalah observasional dengan desain cross sectional

97 reponden

Menggunakan wawancara dengan bantuan kuesioner

Adanya hubungan antara riwayat pemberian MP-ASI dengan status stunting pada balita usia 24-59 bulan, balita yang diberikan MP- ASI dengan tepat sesuai usia berpeluang 1,568 kali tumbuh tidak stunting dari

Pada penelitian Hanum meneliti tinggi badan ibu dan riwayat MP-ASI pada balita usia 24-59 bulan sedangkan penelitian ini meneliti ASI eksklusif dan MP-ASI Tabel 1.2 Kajian Pustaka (lanjutan)

(34)

No

Peneliti /Tahun

Judul Metode

Jumlah Sampel

Cara Pengukuran

Hasil Perbedaan

Stunting pada Balita Usia 24- 59 Bulan

pada balita yang diberikan MP-ASI tidak tepat.

pada balita usia 6-24 bulan

5 Azmy dan Mundiastuti

(2018)

Konsumsi Zat Gizi pada Balita Stunting

dan Non-

Stunting di Kabupaten Bangkalan

Jenis penelitian ini adalah observasional dengan desain case control

29 responden

Menggunakan metode wawancara

Balita stunting memiliki tingkat konsumsi zat gizi (energi, lemak, protein, karbohidrat, seng, dan zat besi) pada kategori rendah sedangkan pada balita non- stunting sebagian besar pada tingkat konsumsi zat gizi

Pada penelitian Azmy dan Mundiastuti pengukurannya

menggunakan

wawancara dan metode penelitian yang digunakan adalah case contol Tabel 1.2 Kajian Pustaka (lanjutan)

(35)

No

Peneliti /Tahun

Judul Metode

Jumlah Sampel

Cara Pengukuran

Hasil Perbedaan

yang cukup sedangkan penelitian

ini menggunanakan kuesioner dan metode cross sectional

Tabel 1.2 Kajian Pustaka (lanjutan)

(36)

F. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengetahui hubungan ASI eksklusif dan MP-ASI dengan kejadian stunting pada balita usia 6-24 bulan

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui hubungan ASI eksklusif dengan kejadian stunting pada balita usia 6- 24 bulan

b. Mengetahui hubungan waktu pemberian MP-ASI dengan kejadian stunting pada balita usia 6-24 bulan

c. Mengetahui hubungan jenis MP-ASI dengan kejadian stunting pada balita usia 6- 24 bulan

d. Mengetahui hubungan tekstur MP-ASI dengan kejadian stunting pada balita usia 6-24 bulan

e. Mengetahui hubungan frekuensi MP-ASI dengan kejadian stunting pada balita usia 6-24 bulan

f. Mengetahui hubungan porsi MP-ASI dengan kejadian stunting pada balita usia 6- 24 bulan

(37)

G. Manfaat Penelitian

1. Bagi Peneliti

Menambah pengetahuan dan wawasan dalam penelitian dan menerapkan ilmu kesehatan yang telah didapatkan terutama mengenai hubungan ASI eksklusif dan MP-ASI dengan kejadian stunting pada balita.

2. Bagi Pengetahuan

Dapat dijadikan bahan bacaan dan salah satu bahan acuan untuk penelitian selanjutnya di bidang kesehatan ibu dan anak.

3. Bagi Masyarakat

Meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya ASI eksklusif dan pemberian MP-ASI yang baik dan benar agar dapat mencegah terjadinya stunting pada balita.

4. Bagi Instansi

a. Memberikan hasil dan data tambahan di bidang kesehatan ibu dan anak khususnya mengenai hubungan ASI eksklusif dan MP-ASI dengan kejadian stunting pada balita

b. Menambahkan referensi penelitian tentang kasus ibu dan anak, sehingga dapat dijadikan dasar untuk penelitian selanjutnya di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Alauddin Makassar.

(38)

23 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Stunting

1. Definisi Stunting

Menurut World Health Organization (2014) dalam Global Nutrition Targets 2025, stunting dianggap sebagai suatu gangguan pertumbuhan irreversibel yang sebagian besar dipengaruhi oleh asupan nutrisi yang tidak adekuat dan infeksi berulang selama 1000 hari pertama kehidupan. Anak-anak didefinisikan terhambat gizinya jika tinggi badan mereka terhadap usia lebih dari dua deviasi standar di bawah median standar pertumbuhan anak WHO.

Menurut Kementerian Kesehatan (Kemenkes) (2020), stunting adalah anak balita yang hasil pengukuran panjang badan atau tinggi badan menurut umur didapatkan hasil nilai z-skornya adalah - 3 SD s.d. <- 2 SD maka dikategorikan pendek (stunted) kemudian bila hasilnya adalah <-3 SD maka dikategorikan sangat pendek (severely stunted).

Stunting terjadi pada anak yang mengalami gagal tumbuh yang diakibatkan karena kekurangan gizi kronik sehingga memberikan dampak pendek untuk anak yang seusianya. Kekurangan gizi kronik ini disebabkan oleh asupan nutrisi yang kurang dalam jangka waktu cukup lama sehingga menyebabkan adanya gangguan pertumbuhan dan perkembangan terhadap anak (Setiawan, 2018).

(39)

2. Penyebab Stunting

Penyebab terjadinya stunting pada anak menjadi 4 kategori besar yaitu faktor keluarga dan rumah tangga, makanan tambahan dan komplementer yang tidak adekuat, menyusui, dan infeksi (World Health Organization, 2014).

a. Faktor keluarga dan rumah tangga

Faktor keluarga dan rumah tangga terbagi menjadi faktor maternal dan faktor lingkungan rumah. Faktor maternal berupa nutrisi yang kurang pada saat prekonsepsi, kehamilan, dan laktasi, tinggi badan ibu yang rendah, infeksi, kehamilan pada usia remaja, kesehatan mental, intrauterine growth restriction (IUGR) dan kelahiran preterm, jarak kehamilan yang pendek, dan hipertensi.

Faktor lingkungan rumah berupa stimulasi dan aktivitas anak yang tidak adekuat, perawatan yang kurang, sanitasi dan pasukan air yang tidak adekuat, akses dan ketersediaan pangan yang kurang, alokasi makanan dalam rumah tangga yang tidak sesuai, serta edukasi pengasuh yang rendah (World Health Organization, 2014).

b. Complementary feeding yang tidak adekuat

Setelah umur 6 bulan, setiap bayi membutuhkan makanan lunak yang bergizi sering disebut Makanan Pendamping ASI (MP-ASI). Pengenalan dan pemberian MP- ASI harus dilakukan secara bertahap baik bentuk maupun jumlahnya, sesuai dengan kemampuan pencernaan anak. Kualitas makanan yang buruk meliputi kualitas micronutrient yang buruk, kurangnya keragaman dan asupan pangan yang bersumber dari pangan hewani, kandungan tidak bergizi, dan rendahnya kandungan energi pada complementary foods. Praktik pemberian makanan yang

(40)

tidak memadai, meliputi pemberian makan yang jarang, pemberian makan yang tidak adekuat selama dan setelah sakit, konsistensi pangan yang terlalu ringan, kuantitas pangan yang tidak mencukupi, pemberian makan yang tidak berespon.

Konsumsi makanan bagi setiap orang terutama balita umur 1-2 tahun harus selalu memenuhi kebutuhan. Konsumsi makanan yang kurang akan menyebabkan ketidakseimbangan proses metabolisme di dalam tubuh, bila hal ini terjadi terus menerus akan terjadi gangguan pertumbuhan dan perkembangan (Rahayu et al., 2018).

c. Masalah dalam pemberian ASI

ASI eksklusif didefinisikan sebagai pemberian ASI tanpa suplementasi makanan maupun minuman lain, baik berupa air putih, jus, ataupun susu selain ASI. IDAI merekomendasikan pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan pertama untuk mencapai tumbuh kembang optimal (Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2015).

Rendahnya kesadaran ibu akan pentingnya memberikan ASI pada balitanya dipengaruhi oleh pengetahuan ibu tentang kesehatan dan sosio-kultural, terbatasnya petugas kesehatan dalam memberikan penyuluhan, tradisi daerah berpengaruh terhadap pemberian makanan pendamping ASI yang terlalu dini, dan tidak lancarnya ASI setelah melahirkan. Masalah-masalah terkait praktik pemberian ASI meliputi delayed initiation, tidak menerapkan ASI eksklusif, dan penghentian dini konsumsi ASI (World Health Organization, 2014).

d. Infeksi

Infeksi ini dapat diakibatkan oleh paparan lingkungan yang terkontaminasi dan kebersihan yang buruk. Kedua hal tersebut berkaitan erat dengan kejadian

(41)

stunting, jika lingkungan terkontaminasi dan kebersihan yang buruk maka akan mudah terjadi infeksi. Infeksi menyebabkan malabsorpsi nutrisi dan berkurangnya kemampuan usus untuk berfungsi sebagai penghalang terhadap organisme penyebab infeksi (World Health Organization, 2014).

3. Proses Terjadinya Stunting

Stunting terjadi mulai dari pra-konsepsi ketika seorang remaja menjadi ibu yang mengalami kurang gizi dan anemia. Ibu yang hamil selama masa remajanya juga meningkatkan resiko terjadinya stunting karena ibu yang masih dalam masa pertumbuhan (Prendergast and Humphrey, 2014).

Kurang gizi pada pra-hamil dan ibu hamil berdampak pada lahirnya anak dengan perlambatan atau retardasi pertumbuhan janin yang dikenal sebagai IUGR (Intra Uterine Growth Retardation) dan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR).

Kondisi IUGR hampir separuhnya terkait dengan status gizi ibu, yaitu berat badan ibu pra-hamil yang tidak sesuai dengan tinggi badan ibu atau bertubuh pendek, dan pertambahan berat badan selama kehamilannya kurang dari seharusnya. Ibu yang pendek waktu usia 2 tahun cenderung bertubuh pendek pada saat meninjak dewasa. Apabila hamil, ibu pendek akan cenderung melahirkan bayi yang BBLR karena ibu hamil yang pendek membatasi aliran darah rahim dan pertumbuhan uterus, plasenta, dan juga janin (Mitra, 2015).

Pertumbuhan janin diatur oleh interaksi kompleks antara status gizi ibu, sinyal endokrin dan metabolisme, serta perkembangan plasenta. Oleh karena itu, ukuran bayi baru lahir merupakan cerminan dari lingkungan intrauterin. Dampak lanjutan

(42)

dari BBLR dapat berupa gagal tumbuh (growth faltering) (Prendergast and Humphrey, 2014).

Bayi yang lahir dengan kondisi BBLR disertai inisiasi menyusu dini (IMD) yang rendah dapat memicu rendahnya pemberian ASI eksklusif sampai bayi berusia 6 bulan (Kementerian Kesehatan RI, 2018a). IMD memberikan kesempatan kepada bayi untuk mencari dan mengisap puting susu pada satu jam pertama pasca bayi lahir (Roesli, 2008). Saat bayi mengisap puting susu, ujung saraf sensorik akan terstimulasi sehingga timbul potensial aksi yang diteruskan ke hipotalamus. Hipotalamus yang aktif akan merangsang hipofisis posterior untuk mengeluarkan oksitosin. Oksitosin akan merangsang kontraksi sel mioepitel payudara sehingga terjadi pengeluaran ASI (Sherwood, 2016).

ASI merupakan makanan terbaik untuk bayi karena mengandung semua nutrien dalam perbandingan ideal dan mengandung daya kekebalan tubuh. ASI juga mengandung banyak hormon yang berperan untuk metabolisme dan pertumbuhan, salah satunya adalah insulin-like growth factor-1 (IGF-1).

Komponen tersebut akan ditransfer pada bayi ketika menyusu (Ballard and Morrow, 2013). Hormon IGF-1 adalah mediator dari hormon pertumbuhan manusia (HGH) dan berfungsi untuk merangsang pertumbuhan tubuh. IGF-1 menggunakan reseptor sel tertentu yang terletak pada permukaan membran sel untuk mencapai banyak fungsi sel mitogenik yang meliputi induksi pertumbuhan sel, pembelahan sel, dan diferensiasi sel (Mohsen et al., 2016).

Asupan makanan pendamping ASI yang tidak adekuat merupakan penyebab langsung terjadinya stunting pada balita. Kurangnya asupan energi dan

(43)

protein menjadi penyebab gagal tumbuh telah banyak diketahui. Kecukupan protein hanya bisa terpenuhi jika asupan energi tercukupi. Apabila asupan energi kurang, asupan protein akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi.

Pertumbuhan balita membutuhkan tambahan protein. Ketidakcukupan asupan protein dapat menghambat laju pertumbuhan (Febrindari and Nuryanto, 2016).

Protein memegang peranan esensial dalam mengangkut zat-zat gizi dari saluran cerna. Kekurangan protein akan mengganggu berbagai proses dalam tubuh dan menurunkan daya tahan. Kuantitas dan kualitas protein yang dikonsumsi mempengaruhi kadar plasma insulin like growth factor-1 (IGF-1) yang merupakan mediator hormon pertumbuhan (Damayanti, R.A, Muniroh, L, 2016). Insulin-like growth factor-1 (IGF-1) merupakan hormon penting dalam pertumbuhan tinggi badan. IGF-1 merupakan hormon yang mengatur kelangsungan hidup, pertumbuhan, metabolisme, dan diferensiasi sel. Protein berperan penting dalam pengaturan serum IGF-1 karena protein digunakan untuk mengembalikan konsentrasi serum IGF-1. Namun, apabila protein yang dibutuhkan kurang, konsentrasi serum IGF-1 tidak dapat naik. Apabila terjadi penurunan konsentrasi serum IGF-1 akibat kekurangan gizi, pertumbuhan dapat terhambat dan massa sel dapat menurun sehingga menyebabkan terjadinya stunting (Febrindari and Nuryanto, 2016).

Kurangnya beberapa mikronutrien juga berpengaruh terhadap terjadinya retardasi pertumbuhan linear. Kekurangan mikronutrien dapat terjadi karena rendahnya asupan bahan makanan sumber mikronutrien tersebut dalam konsumsi

(44)

balita sehari-hari serta disebabkan karena bioavailabilitas yang rendah.

(Damayanti, R.A, Muniroh, L, 2016).

Salah satu jenis mikronutrien yang memiliki peran dalam pertumbuhan dan perkembangan adalah seng. Seng dibutuhkan dalam pembentukan IGF-1, fosforilasi reseptor IGF-1, dan regulasi aktivitas deoksitimidin kinase yang semuanya berperan dalam pembelahan sel dan pertumbuhan. Seng juga terdapat dalam enzim yang berperan dalam metabolisme energi, karbohidrat, protein, lemak dan asam nukleat seperti alkalin fosfatase, karbonik anhidrase, karboksipeptidase, kalsium-ATPase, timidin kinase, dan kreatin kinase. Asupan seng yang rendah dapat menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan anak terganggu (Febrindari and Nuryanto, 2016).

Zat besi merupakan mikronutrien yang esensial bagi tubuh. Zat ini diperlukan dalam hemopoiesis yaitu pembentukan molekul hemoglobin (Hb), sehingga apabila jumlah zat besi dalam bentuk simpanan cukup, maka kebutuhan untuk pembentukan sel darah merah dalam sumsum tulang akan selalu terpenuhi. Akan tetapi, jika kebutuhan ini tidak terpenuhi maka terjadi ketidakseimbangan zat besi di dalam tubuh sehingga balita dapat mengalami risiko kekurangan besi.

Berkurangnya asupan besi yang dimiliki balita akan menyebabkan terhambatnya pertumbuhan pada balita, yang jika berlangsung dalam waktu lama akan menyebabkan stunting pada balita (Sundari, 2016).

Lingkungan juga sangat berpengaruh dengan kejadian stunting. Stimulasi yang baik dapat meningkatkan interaksi ibu dengan bayi dan proses skin to skin contact. Kedua proses ini dapat meningkatkan sistem imunitas bayi dan proses

(45)

metabolisme menjadi normal (Masrul, 2019). Sanitasi juga merupakan penyebab tidak langsung dari kejadian stunting. Perilaku yang kurang higienis akan meningkatkan resiko terjadinya infeksi (Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi XI, 2018).

Penyakit infeksi yang berlangsung lama, khususnya untuk diare, dapat mengakibatkan peningkatan permeabilitas usus kecil dan masuknya sel imun ke dalam epitel usus. Peradangan kronis ini menyebabkan pemendekan vili yang khas serta mengurangi permukaan penyerapan usus (Vonaesch et al., 2018). Hal ini menyebabkan terganggunya absorbsi zat gizi sehingga menyebabkan hilangnya zat gizi secara langsung dan meningkatkan kebutuhan metabolik.

Penyakit infeksi ini terlebih dahulu mempengaruhi status gizi anak balita kemudian mengganggu pertumbuhan linear (Solin, Hasanah and Nurchayati, 2019).

Dampak dari kekurangan gizi pada awal kehidupan anak akan berlanjut dalam setiap siklus hidup manusia. Wanita usia subur (WUS) dan ibu hamil yang mengalami kekurangan energi kronis (KEK) akan melahirkan bayi berat lahir rendah (BBLR). BBLR ini akan berlanjut menjadi balita gizi kurang (stunting) dan berlanjut ke usia anak sekolah dengan berbagai konsekuensinya. Kelompok ini akan menjadi generasi yang kehilangan masa emas tumbuh kembangnya tanpa mendapatkan penanggulangan yang memadai. Kekurangan gizi pada hidup manusia perlu diwaspadai dengan seksama, selain dampak terhadap tumbuh kembang anak kejadian ini biasanya tidak berdiri sendiri tetapi diikuti masalah defisiensi zat gizi mikro (Supariasa, Bakri and Fajar, 2019).

(46)

4. Dampak Stunting

Dampak yang ditimbulkan stunting dapat dibagi menjadi dampak jangka pendek dan jangka panjang (Kementerian Kesehatan RI, 2018a).

a. Dampak Jangka Pendek

1) Peningkatan kejadian kesakitan dan kematian;

2) Perkembangan kognitif, motorik, dan verbal pada anak tidak optimal;

3) Peningkatan biaya kesehatan.

b. Dampak Jangka Panjang

1) Postur tubuh yang tidak optimal saat dewasa (lebih pendek dibandingkan pada umumnya);

2) Meningkatnya risiko obesitas dan penyakit lainnya;

3) Menurunnya kesehatan reproduksi;

4) Kapasitas belajar dan performa yang kurang optimal saat masa sekolah;

5) Produktivitas dan kapasitas kerja yang tidak optimal.

5. Penanganan Stunting a. Intervensi Gizi Spesifik

Intervensi gizi spesifik merupakan intervensi yang ditujukan kepada anak dalam 1.000 hari pertama kehidupan (HPK) dan berkontribusi pada 30%

penurunan stunting. Kerangka kegiatan intervensi gizi spesifik umumnya dilakukan pada sektor kesehatan. Intervensi ini juga bersifat jangka pendek yang hasilnya dapat dicatat dalam waktu relatif pendek. Kegiatan yang idealnya dilakukan untuk melaksanakan intervensi gizi spesifik dapat dibagi menjadi

(47)

beberapa intervensi utama yang dimulai dari masa kehamilan ibu hingga melahirkan balita (Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan RI, 2017).

1) Intervensi gizi spesifik dengan sasaran ibu hamil

Intervensi ini meliputi kegiatan memberikan makanan tambahan (PMT) pada ibu hamil untuk mengatasi kekurangan energi dan protein kronis, mengatasi kekurangan zat besi dan asam folat, mengatasi kekurangan iodium, menanggulangi kecacingan pada ibu hamil serta melindungi ibu hamil dari malaria.

2) Intervensi gizi spesifik dengan sasaran ibu menyusui dan anak usia 0-6 bulan

Intervensi ini dilakukan melalui beberapa kegiatan yang mendorong inisiasi menyusui dini (IMD) terutama melalui pemberian ASI jolong/kolostrum serta mendorong pemberian ASI eksklusif.

3) Intervensi gizi spesifik dengan sasaran ibu menyusui dan anak usia 7-23 bulan

Intervensi ini meliputi kegiatan untuk mendorong penerusan pemberian ASI hingga anak/bayi berusia 23 bulan. Setelah bayi berusia di atas 6 bulan didampingi oleh pemberian MP-ASI, menyediakan obat cacing, menyediakan suplementasi zink, melakukan fortifikasi zat besi ke dalam makanan, memberikan perlindungan terhadap malaria, memberikan imunisasi lengkap, serta melakukan pencegahan dan pengobatan diare.

(48)

b. Intervensi Gizi Sensitif

Kerangka ini idealnya dilakukan melalui berbagai kegiatan pembangunan di luar sektor kesehatan dan berkontribusi pada 70% intervensi stunting. Terdapat 12 yang dapat dilakukan dalam intervensi gizi spesifik yaitu sebagai berikut (Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan RI, 2017):

1) Menyediakan dan memastikan akses terhadap air bersih;

2) Menyediakan dan memastikan akses terhadap sanitasi;

3) Melakukan fortifikasi bahan pangan;

4) Menyediakan akses kepada layanan kesehatan dan Keluarga Berencana (KB);

5) Menyediakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN);

6) Menyediakan Jaminan Persalinan Universal (Jampersal);

7) Memberikan pendidikan pengasuhan pada orang tua;

8) Memberikan pendidikan anak usia dini universal;

9) Memberikan pendidikan gizi masyarakat;

10) Memberikan edukasi kesehatan seksual dan reproduksi, serta gizi pada remaja;

11) Menyediakan bantuan dan jaminan sosial bagi keluarga miskin;

12) Meningkatkan ketahanan pangan dan gizi.

B. ASI Eksklusif

1. Definisi

Menurut PP No. 33 Tahun 2012, Air Susu Ibu (ASI) adalah suatu emulsi lemak dalam suatu protein, laktosa, dan garam-garam anorganik yang disekresi

(49)

oleh kelenjar mammae ibu. Air susu ibu (ASI) adalah makanan yang bergizi dan berkalori tinggi yang mudah untuk dicerna. ASI memiliki kandungan yang membantu penyerapan nutrisi, membantu perkembangan dan pertumbuhan juga mengandung sel-sel darah putih, antibodi, anti peradangan dan melindungi bayi dari berbagai penyakit (Imelda, 2013).

ASI yang diberikan kepada bayi sejak dilahirkan selama 6 (enam) bulan atau 180 hari setelah dilahirkan, tanpa menambahkan dan/atau mengganti dengan makanan atau minuman lain disebut ASI eksklusif. Pada tahun 2003, pemerintah Indonesia mengubah rekomendasinya dari 4 bulan menjadi 6 bulan karena United Nation Childrens Fund (UNICEF) dan World Health Organization (WHO) merekomendasikan sebaiknya anak diberi ASI minimal 6 bulan dan selanjutnya diberi makanan pendamping setelah anak berusia 6 bulan. Pemberian ASI kemudian dilanjutkan hingga anak berumur dua tahun (Kementerian Kesehatan RI, 2014).

ASI eksklusif ini bayi hanya diberi ASI saja, tanpa tambahan cairan lain seperti susu formula, air jeruk, madu, air teh, air putih dan tanpa tambahan makanan padat seperti pisang, pepaya, bubur susu, biskuit, bubur nasi dan tim, selama 6 bulan (Wowor, Laoh and Pangemanan, 2013). Pemberian ASI eksklusif ini dapat diberi langsung dari ASI maupun diperas. Pemberian sirup yang mengandung vitamin, suplemen mineral atau obat-obatan tidak menggagalkan ASI eksklusif (Hunegnaw, Gezie and Teferra, 2017).

(50)

2. Komposisi ASI

ASI sebagian besar terdiri atas air (87,5%), oleh sebab itu bayi yang mendapatkan ASI yang cukup tidak perlu mendapat tambahan air walaupun berada di tempat yang bersuhu panas. Kekentalam ASI juga telah sesuai dengan saluran cerna bayi, sehingga tidak menyebabkan bayi mengalami diare (Falikhah, 2014).

Komposisi ASI terdiri dari karbohidrat, protein, lemak, mineral dan vitamin (Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2013).

a. Karbohidrat utama dalam ASI adalah laktosa dan berfungsi sebagai salah satu sumber energi untuk otak. Kadar laktosa dalam ASI hampir 2 kali lipat dibanding laktosa pada susu formula.

b. Protein dalam ASI cukup tinggi dan komposisinya berbeda dengan protein yang terdapat dalam makanan lain. Protein dalam ASI terdiri dari protein whey dan casein. Protein dalam ASI lebih banyak terdiri dari protein whey yang lebih mudah diserap oleh usus bayi.

c. Lemak dalam ASI lebih tinggi dibanding dengan susu formula. Kadar lemak yang tinggi ini dibutuhkan untuk mendukung pertumbuhan otak yang cepat selama masa bayi.

d. ASI mengandung berbagai vitamin seperti vitamin K yang berfungsi sebagai faktor pembekuan, vitamin D yang mencegah bayi menderita penyakit tulang, vitamin E untuk ketahanan dinding sel darah merah, vitamin A untuk kesehatan mata, mendukung pembelahan sel, kekebalan tubuh, dan

(51)

pertumbuhan. Vitamin yang larut dalam air seperti vitamin B, asam folat, vitamin C juga terdapat dalam ASI.

e. Mineral utama yang terdapat di dalam ASI adalah kalsium yang mempunyai fungsi untuk pertumbuhan jaringan otot dan rangka, transmisi jaringan saraf dan pembekuan darah. ASI mendukung pertumbuhan bayi terutama tinggi badan karena kalsium ASI lebih efisien diserap dibanding susu pengganti ASI atau susu formula. ASI mengandung kalsium yang lebih banyak dan dapat diserap tubuh dengan baik sehingga dapat memaksimalkan pertumbuhan terutama tinggi badan.

3. Manfaat ASI a. Bagi bayi

1) ASI sebagai nutrisi

ASI merupakan sumber gizi yang sangat ideal dengan komposisi yang seimbang dan disesuaikan dengan kebutuhan pertumbuhan bayi. ASI merupakan makanan bayi yang sempurna jika dilihat dari kualitas maupun kuantitasnya.

Dengan tatalaksana menyusui yang benar, ASI dapat digunakan sebagai makanan tunggal yang cukup memenuhi kebutuhan tumbuh bayi normal sampai usia 6 bulan (Roesli, 2013).

2) ASI meningkatkan daya tahan tubuh

ASI mengandung zat kekebalan tubuh yang berfungsi melindungi bayi dari berbagai penyakit infeksi bakteri, virus, parasit dan jamur (Roesli, 2013).

(52)

3) ASI meningkatkan kecerdasan

ASI menunjang dan membantu proses perkembangan otak (Kementerian Kesehatan RI, 2018c). ASI mengandung nutrien khusus yaitu taurin, laktosa, dan asam lemak ikatan panjang (DHA, AHA, omega-3, omega-6) yang diperlukan otak bayi agar tumbuh optimal. Nutrien tersebut tidak ada atau sedikit sekali terdapat pada susu sapi. Oleh karena itu, pertumbuhan otak bayi yang diberi ASI eksklusif selama 6 bulan akan optimal (Roesli, 2013).

4) Menyususi meningkatkan jalinan kasih sayang

Bayi akan merasa aman, tenteram dan merasakan kasih sayang ibunya selama disusui. Perasaan terlindungi dan disayangi inilah yang akan menjadi dasar perkembangan emosi bayi dan membentuk kepribadian yang percaya diri dan dasar spiritual yang baik (Roesli, 2013).

5) Manfaat lain pemberian ASI bagi bayi

Melindungi anak dari serangan alergi, meningkatkan daya penglihatan dan kepandaian bicara, membantu pembentukan rahang yang bagus, mengurangi risiko terkena penyakit diabetes, kanker pada anak, dan diduga mengurangi kemungkinan menderita penyakit jantung, serta menunjang perkembangan motorik bayi (Roesli, 2013).

b. Bagi ibu

1) Mengurangi perdarahan setelah melahirkan (post partum)

Menyusui bayi setelah melahirkan akan menurunkan resiko perdarahan post partum, karena pada ibu menyusui peningkatan kadar oksitosin menyababkan vasokontriksi pembuluh darah sehingga perdarahan akan lebih

(53)

cepat berhenti. Hal ini menurunkan angka kematian ibu melahirkan (Roesli, 2013).

2) Mengurangi terjadinya anemia

Penundaan haid dan berkurangnya perdarahan pasca persalinan mengurangi prevalensi anemia defisiensi besi (Mulyani, 2013).

3) Menjarangkan kehamilan

Selama ibu memberi ASI eksklusif dan belum haid, 98% ibu tidak hamil pada 6 bulan pertama setelah melahirkan dan 96% ibu tidak hamil sampai bayi berusia 12 bulan (Roesli, 2013).

4) Mengecilkan rahim

Kadar oksitosin ibu menyusui yang meningkat akan sangat membantu rahim kembali ke ukuran sebelum hamil (Roesli, 2013).

5) Ibu lebih cepat langsing kembali

Oleh karena menyusui memerlukan energi maka tubuh akan mengambilnya dari lemak yang tertimbun selama hamil (Roesli, 2013).

6) Mengurangi kemungkinan menderita kanker

ASI dapat meminimalkan timbulnya resiko kanker payudara. Salah satu pemicu penyakit kanker payudara pada ibu menyusui ialah kurangnya pemberian ASI untuk bayi (Kementerian Kesehatan RI, 2018c).

7) Lebih ekonomis/murah

Dengan memberi ASI berarti menghemat pengeluaran untuk susu formula dan perlengkapan menyusui. Selain itu, pemberian ASI juga menghemat pengeluaran untuk berobat bayi karena bayi jarang sakit (Roesli, 2013).

(54)

8) Tidak merepotkan dan hemat waktu

ASI dapat segera diberikan tanpa harus menyiapkan atau memasak air, tanpa harus mencuci botol, dan tanpa menunggu agar suhunya sesuai (Roesli, 2013).

9) Memberi kepuasan bagi ibu

Saat menyusui, tubuh ibu melepaskan hormon-hormon seperti oksitosin dan prolaktin yang disinyalir memberikan perasaan rileks/santai dan membuat ibu merasa lebih merawat bayinya (Roesli, 2013). Hormon oksitosin juga mengurangi kecemasan dan mengurangi respon stres pada ibu menyusui (Heinrichs et al., 2003)

10) Portabel dan praktis

Air susu ibu dapat diberikan di mana saja dan kapan saja dalam keadaan siap minum, serta dalam suhu yang selalu tepat (Roesli, 2013).

C. Makanan Pendamping ASI

1. Definisi

Makanan pendamping ASI (MP-ASI) adalah makanan tambahan yang diberikan kepada bayi setelah usia 6 bulan sampai usia 24 bulan guna memenuhi kebutuhan gizi selain ASI (Departemen Kesehatan and RI, 2006). Peranan makanan tambahan bukan sebagai pengganti ASI tetapi untuk melengkapi atau mendampingi ASI yang berguna untuk menutupi kekurangan zat-zat gizi yang terkandung di dalam ASI karena produksi ASI setelah 6 bulan semakin menurun sedangkan bayi terus mengalami pertumbuhan. Kebutuhan gizi pada bayi setelah

(55)

6 bulan tidak mencukupi jika hanya berasal dari ASI saja, sehingga diberikan makanan pendamping ASI (Widyawati, Febry and Destriatania, 2016).

2. Tujuan

Tujuan pemberian makanan pendamping ASI yaitu (Persatuan Ahli Gizi Indonesia, 2010):

a. Melengkapi zat–zat gizi yang kurang dalam ASI;

b. Mengembangkan kemampuan bayi untuk menerima bermacammacam makanan dengan berbagai rasa dan tekstur;

c. Mengembangkan kemampuan bayi untuk mengunyah dan menelan;

d. Melakukan adaptasi terhadap makanan yang mengandung kadar energi yang tinggi.

3. Syarat – syarat Pemberian MP-ASI

Dalam Global Strategy for Feeding Infant and Young Children (World Health Organization, 2003) merekomendasikan agar pemberian MP-ASI memenuhi 4 syarat, yaitu sebagai berikut.

a. Tepat waktu (timely), artinya MP-ASI harus diberikan saat ASI eksklusif sudah tidak dapat memenuhi kebutuhan nutrisi bayi.

b. Adekuat, artinya MP-ASI memiliki kandungan energi, protein, dan mikronutrien yang dapat memenuhi kebutuhan makronutrien dan mikronutrien bayi sesuai usianya. Kurangnya asupan energi dan protein menjadi penyebab gagal tumbuh. Kecukupan protein hanya bisa terpenuhi jika asupan energi tercukupi. Protein berperan penting dalam pengaturan serum insulin-like growth factor-1 (IGF-1). IGF-1 merupakan hormon

(56)

penting dalam pertumbuhan tinggi badan yang mengatur kelangsungan hidup, pertumbuhan, metabolisme, dan diferensiasi sel. Protein ini digunakan untuk mengembalikan konsentrasi serum IGF-1 (Febrindari and Nuryanto, 2016).

c. Aman, artinya MP-ASI disiapkan dan disimpan dengan cara-cara yang higienis, diberikan menggunakan tangan dan peralatan makan yang bersih.

d. Diberikan dengan cara yang benar (properly fed), artinya MP-ASI diberikan dengan memperhatikan sinyal rasa lapar dan kenyang seorang anak.

Frekuensi makan dan metode pemberian makan harus dapat mendorong anak untuk mengonsumsi makanan secara aktif dalam jumlah yang cukup menggunakan tangan, sendok, atau makan sendiri yang disesuaikan dengan usia dan tahap perkembangan seorang anak.

4. Prinsip Pemberian MP-ASI

Pemberian MP-ASI diberikan pada anak yang berusia 6-24 bulan secara berangsur-angsur untuk mengembangkan kemampuan mengunyah dan menelan serta menerima macam-macam makanan dengan berbagai tekstur dan rasa.

Pemberian MP-ASI harus bertahap dan bervariasi, mulai dari bentuk bubur cair ke bentuk bubur kental, sari buah, buah segar, makanan lumat, makanan lembik dan akhirnya makanan padat (Soenardi, 2006).

Memasuki usia enam bulan bayi telah siap menerima makanan bukan cair, karena gigi sudah tumbuh dan lidah tidak lagi menolak makanan setengah padat.

Di samping itu, lambung juga telah baik mencerna zat tepung. Menjelang usia sembilan bulan bayi telah pandai menggunakan tangan untuk memasukkan benda

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan : Untuk mengetahui hubungan antara pola pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) dengan status gizi balita usia 7-24 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas

Kesimpulan : Tidak ada hubungan persepsi ibu dan partisipasi balita ke posyandu dengan kejadian stunting pada balita usia 36-59 bulan di wilayah kerja Puskesmas

Hal ini berarti tidak ada hubungan antara lama pemberian ASI eksklusif dengan kejadian stunting pada balita usia 36-59 bulan di wilayah kerja Puskesmas

Berdasarkan fenomena tersebut peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang hubungan tingkat kecukupan protein dengan kejadian stunting pada balita usia 6-59

116 BAB VI SIMPULAN DAN SARAN 6.1 SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan kepada balita usia 24-59 bulan yang mengalami kejadian stunting 58 responden dan balita

SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian mengenai hubungan pengetahuan, sikap, dan penyakit infeksi dengan kejadian stunting pada balita usia 24-59 bulan di Desa Ranah singkuang wilayah

SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan tentang hubungan pemberian ASI eksklusif dengan kejadian stunting pada balita di Desa Tista Wilayah Kerja Puskesmas Abang I

Pemberian ASI Eklusif dan sikap ibu dengan kejadian stunting pada