• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI OLEH LYDIA OCTAVIA TARIGAN NIM FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2018 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SKRIPSI OLEH LYDIA OCTAVIA TARIGAN NIM FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2018 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA"

Copied!
148
0
0

Teks penuh

(1)

MERBAU TAHUN 2017

SKRIPSI

OLEH

LYDIA OCTAVIA TARIGAN

NIM. 131000748

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2018

(2)

MERBAU TAHUN 2017

Skripsi ini diajukan sebagai

Salah satu syarat memperoleh gelar

Sarjana Kesehatan Masyarakat

OLEH

LYDIA OCTAVIA TARIGAN

NIM. 131000748

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2018

(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Gambaran

Intensitas Kebisingan dan Kemampuan Pendengaran Pada Tenaga Kerja Bagian Pengolahan Kelapa Sawit di PTPN II Tanjung Garbus-Pagar Merbau Tahun 2017” ini beserta seluruh isinya adalah benar hasil karya saya

sendiri, dan saya tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan etika keilmuan yang berlaku dalam masyarakat keilmuan. Atas pernyataan ini, saya siap menanggung risiko atau sanksi yang dijatuhkan kepada saya apabila kemudian ditemukan adanya pelanggaran terhadap etika keilmuan dalam karya saya ini, atau klaim dari pihak lain terhadap keaslian karya saya ini.

Medan, Januari 2018

Yang membuat pernyataan,

(4)
(5)

diperkirakan hampir 14% dari total tenaga kerja di negara-negara industry terpapar bising melebihi 90 dB di tempat kerja dan WHO memperkirakan di tahun 2004 lebih dari 275 juta orang di dunia dengan gangguan pendengaran sedang maupun berat. PTPN II PKS Pagar Merbau merupakan pabrik kelapa sawit dengan berbagai proses pengolahan yang menghasilkan kebisingan dari proses pengolahannya.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran intensitas kebisingan dan kemampuan pendengaran pada tenaga kerja bagian pengolahan pabrik kelapa sawit PTPN II Pagar Merbau. Jenis penelitian ini bersifat deskriptif dengan sampel sebanyak 32 orang.

Hasil pengukuran intensitas kebisingan dari 10 stasiun yang diukur yaitu : stasiun loading ramp 72,7 dB(A), boiler 86,7 dB(A), kamar mesin 100,5 dB(A), klarifikasi 90,4 dB(A), pressan 86,2 dB(A), housting crane 83,5 dB(A), perebusan 91,8 dB(A), kernel 91,8 dB(A), transfer depan 79,9 dB(A), transfer belakang 81,5 dB(A). Hasil pemeriksaan menggunakan audiometri diperoleh jumlah tenaga kerja yang mengalami tuli sedang sebanyak 9 orang (28,1%), tuli ringan sebanyak 11 orang (34,4%) dan tenaga kerja dengan pendengaran normal sebanyak 12 orang.

Tenaga kerja yang terpapar intesitas kebisingan diatas 85 dB(A) yang mengalami tuli sedang sebanyak 5 orang, tuli ringan 6 orang dan yang memiliki kemampuan pendengaran normal sebanyak 5 orang. Tenaga kerja yang terapar intensitas kebisingan dibawah 85 dB(A) yang mengalami tuli sedang sebanyak 4 orang, tuli ringan sebanyak 5 orang dan yang memiliki kemampuan pendengaran normal sebanyak 7 orang.

Diharapkan kepada pihak perusahaan agar dilakukan upaya penanggulangan kebisingan dan melakukan pengawasan terhadap penggunaan alat pelindung telinga yang sesuai standar bagi pekerja.

Kata Kunci: Kemampuan Pendengaran, Intensitas Kebisingan, Karakteristik Pekerja

(6)

workplace health issue that arises from every process in the field of industry. According to WHO, it is estimated that almost 14% of the total sum of workers in industrial countries are exposed to noise pollutant that exceeds more than 90 dB in the workplace, and WHO has estimated that in 2004 more than 275 million of people had hearing problems both in medium and severe terms. PTPN II Pagar Merbau is a palm oil factory with various processes that produce noise.

The aims of this research are to see the overview of noise pollution and hearing abilities of the workers in the processing field of a crude palm oil factory PTPN II Pagar Merbau. This type of research is descriptive with a sample of 32 people.

The results of the measurement of noise intensity from 10 stations measured were: loading ramp station (72.7 dB), boiler (86.7 dB), engine room (100,5 dB), clarification (90,4 dB), pressing station (86 2 dB), housting crane (83.5 dB), sterilization (91.8 dB), kernel (91.8 dB), front transfers (79.9 dB), rear transfers (81.5 dB). The results of the audiometric examination resulted in the number of workers who suffered severe deafness as many as 9 people (28.1%), light deafness as many as 11 people (34.4%) and the workers with normal hearing as many as 12 people.

Workers exposed to noise intensity above 85 dB (A) experienced moderate deafness as many as 5 people, light deafness 6 people and who had normal hearing ability of 5 people. Workers exposed to noise intensity below 85 dB (A) experienced moderate deafness as many as 4 people, light deafness as many as 5 people and who have normal hearing ability of 7 people.

It is expected that the company should make noise mitigation efforts and supervise the use of standard ear protective equipment for workers.

(7)

sehingga skripsi yang berjudul “Gambaran Intensitas Kebisingan dan

Kemampuan Pendengaran Pada Tenaga Kerja bagian Pengolahan Pabrik Kelapa Sawit di PTPN II Tanjung Garbus-Pagar Merbau Tahun 2017” dapat

terselesaikan. Skripsi ini disusun untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara Medan.

Penulisan skripsi ini, begitu banyak orang-orang yang telah memberikan bantuan, dukungan, motivasi, dan doa. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang besar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H, M.Hum sebagai Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si sebagai Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3. Dr. Ir. Gerry Silaban, M.Kes sebagai Ketua Departemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara 4. dr. Mhd.Makmur Sinaga M.S sebagai Dosen Pembimbing I dan Ir. Kalsum,

M.Kes sebagai Dosen Pembimbing II terima kasih atas bimbingan dan dukungan kepada penulis selama penulisan skripsi.

5. Dra. Lina Tarigan, Apt., MS dan Umi Salmah, SKM., M.Kes. sebagai Anggota Penguji, terima kasih atas bimbingan dan dukungan Ibu kepada penulis selama penulisan skripsi.

(8)

7. Seluruh tenaga Kerja PTPN II PKS Pagar Merbau-Tanjung Garbus yang telah meluangka waktu sebagai responden dalam penelitian ini.

8. Dengan penuh rasa hormat dan mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya penulis mempersembahkan skripsi ini kepada orang tua terkasih Bapak Anggapen Tarigan dan Ibu Ismiati br Bangun beserta keluarga yang telah memberikan bantuan, motivasi, dan perhatian kepada penulis.

Medan, Januari 2018

(9)

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ...i

HALAMAN PENGESAHAN...ii

ABSTRAK ...iii

ABSTRACT ...iv

KATA PENGANTAR ...v

DAFTAR ISI ...vii

DAFTAR TABEL ...viii

DAFTAR GAMBAR ...ix

DAFTAR LAMPIRAN...x

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ...x

BAB I PENDAHULUAN...1 1.1 Latar Belakang ...1 1.2 Rumusan Masalah...5 1.3 Tujuan Penelitian ...5 1.3.1 Tujuan Umum ...5 1.3.2 Tujuan Khusus ...5 1.4 Manfaat Penelitian ...6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...7

2.1 Kebisingan ...7 2.1.1 Definisi Bunyi ...7 2.1.2 Definisi Kebisingan ...8 2.1.3 Sumber Kebisingan ...8 2.1.4 Jenis Kebisingan ... 10 2.1.5 Intensitas Kebisingan... 10

2.1.6 Nilai Ambang Batas Kebisingan ... 12

2.1.7 Telinga Manusia ... 14

2.1.8 Cara Kerja Indra Pendengaran ... 17

2.1.9 Pengaruh Kebisingan Terhadap Manusia ... 18

2.1.9.1 Gangguan Pada Indra Pendengaran ... 18

2.1.9.2 Gangguan Bukan Pada Indra Pendengaran………... 19

2.1.10 Pengukuran Kebisingan... 23

2.1.11 Pengendalian Kebisingan... 24

2.2. Kemampuan Pendengaran ... 25

2.2.1 Tingkat Kemampuan Pendengaran... 25

2.2.2 Ketulian ... 25

2.2.3 Cara Pemeriksaan Pendengaran ... 25

2.2.4 Berbagai Pajanan yang Mempengaruhi Kemampuan Pendengaran... 34

(10)

BAB III METODE PENELITIAN ... 42

3.1 Jenis Penelitian ... 42

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 42

3.2.1 Lokasi Penelitian ... 42

3.2.2 Waktu Penelitian ... 42

3.3 Populasi dan Sampel ... 43

3.3.1 Populasi ... 43

3.3.2 Sampel ... 43

3.4 Metode Pengumpulan Data ... 43

3.4.1 Data Primer... 43

3.4.2 Data Sekunder... 43

3.5 Definisi Operasional dan Metode Pengukuran... 43

3.7 Metode Analisis Data... 47

BAB IV HASIL PENELITIAN ... 48

4.1 Gambaran Umum Perusahaan ... 48

4.1.1 Sejarah Perusahaan ... 48

4.1.2 Ruang Lingkup Bidang Usaha ... 50

4.1.3 Lokasi Perusahaan ... 50

4.1.4 Daerah Pemasaran ... 50

4.1.5 Gambaran Proses Kerja... 51

4.1.6 Jumlah Pekerja di Setiap Stasiun ... 55

4.1.7 Struktur Organisasi ... 56

4.2 Karakteristik Responden ... 56

4.2.1 Distribusi Frekuensi Pekerja Berdasarkan Umur ... 56

4.2.2 Distribusi Frekuensi Pekerja Berdasarkan Masa Kerja... 57

4.2.3 Distribusi Frekuensi Pekerja Berdasarkan Riwayat Penyakit ... 57

4.2.3.1 Distribusi Responden Yang Merasakan Mengalami PenyakitTelinga ... 57

4.2.3.2 Distribusi penyakit yang pernah diderita responden... 57

4.2.4 Distribusi Frekuensi Pekerja Berdasarkan Penggunaan Obat Ototoksik ... 58

4.2.4.1 Distribusi Responden Yang Pernah atau Sedang Menggunakan Ototoksik... 58

4.2.5 Distribusi Frekuensi Pekerja Berdasarkan Penggunaan APT ... 59

4.2.5.1 Distribusi responden yang menjawab perusahaan menyediakan APT... 59

4.2.5.2 Distribusi responden yang diberikan Training penggunaan APT ... 59

(11)

4.2.5.5 Distribusi alasan responden tidak

menggunakan APT... 61

4.3 Hasil Pengukuran 4.3.1 Intensitas Kebisingan... 61

4.3.2 Kemampuan Pendengaran ... 63

4.4 Tabulasi silang karakteristik responden dengan kemampuan Pendengaran ... 64

4.5 Tabulasi silang intensitas kebisingan dengan kemampuan pendengaran... 69

4.6 Tabulasi silang intensitas kebisingan setiap stasiun dengan kemampuan pendengaran... 70

BAB V PEMBAHASAN ... 68

5.1 Umur Responden ... 68

5.2 Masa kerja responden ... 69

5.3 Riwayat penyakit69 5.4 Penggunaan obat ototoksik ... 70

5.5 Penggunaan Alat pelindudng telinga ... 71

5.6 Intensitas kebisingan... 72

5.7 Kemampuan pendengaran pekerja... 73

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 78

6.1 Kesimpulan ... 78

6.2 Saran ... 79

DAFTAR PUSTAKA ... 80

(12)

Tabel 2.2 Klasifikasi dari Kemampuan Pendengaran Menurut ISO ... 25

Tabel 2.3 Hasil Pemeriksaan Menggunakan Garputala ... 34

Tabel 3.1 Klasifikasi Kemampuan Pendengaran ... 45

Tabel 4.1 Jumlah Pekerja di Setiap Stasiun ... 55

Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Pekerja Berdasarkan Umur ... 56

Tabel 4.3 Distribusi Masa Kerja Responden Bagian Pengolahan PKS Pagar Merbau Tahun 2017... 57

Tabel 4.4 Distribusi Responden yang Pernah Mengalami Penyakit Telinga.. 57

Tabel 4.5 Distribusi Penyakit yang Pernah Diderita Responden ... 57

Tabel 4.6 Distribusi Responden yang Pernah atau Sedang Menggunakan Obat Ototoksik... 58

Tabel 4.7 Distribusi Responden yang Menjawab Perusahaan Menyediakan APT ... 59

Tabel 4.8 Distribusi Responden yang Diberikan Pelatihan/training Penggunaan/APT ... 59

Tabel 4.9 Distribusi Responden yang Menggunakan Alat Pelindung Telinga Ketika Bekerja ... 60

Tabel 4.10 Distribusi Responden yangMenggunakan Earplug Ketika Bekerja 60 Tabel 4.11 Distribusi Alasan Responden yang Tidak Menggunakan APT ... 61

Tabel 4.12 Intensitas Kebisingan Setiap Stasiun Kerja PKS Pagar Merbau .... 61

Tabel 4.13 Distribusi Responden yang Merasakan Penurunan Kemampuan Pendengaran ... 62

Tabel 4.14 Distribusi Responden yang Merasakan Penurunan Kemampuan Pendengaran... 63

Tabel 4.15 Tabulasi Silang Karakteristik Responden dengan Kemampuan Pendengaran... 64

Tabel 4.16 Tabulasi Silang Intensitas Kebisingan dengan Kemampuan Pendengaran... 66

(13)

Gambar 2.2 Sound Level Meter... 23 Gambar 2.3 Audiometeri ... 27 Gambar 2.4 Audiogram ... 27

(14)

Lampiran 2. Surat Izin Penelitian ... 86

Lampiran 3. Surat Selesai Penelitian ... 87

Lampiran 4 Master Data... 79

Lampiran 5 Output Hasil SPSS ... 90

Lampiran 7. Hasil Pengukuran Kemampuan Pendengaran... 100

Lampiran 8. Hasil Pengukuran Intensitas Kebisingan ... 100

(15)

Medan. Berasal dari Kelurahan Beringin Kecamatan Medan Selayang Kota Medan. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara pasangan Ayahanda Anggapen Tarigan, S.H dan Ibunda Ismiati br Bangun, S.E. Penulis bersuku Batak Karo dan beragama Kristen Protestan.

Pendidikan formal penulis di mulai di Taman Kanak-Kanak Efrata pada tahun 2000 dan selesai pada tahun 2001, penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Dasar SD Swata Santo Petrus Medan pada tahun 2001 dan selesai pada tahun 2007, penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Pertama Swasta Methodist-1 Medan pada tahun 2007 dan selesai pada tahun 2010, penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Menegah Atas Swasta Methodist-1 Medan pada tahun 2010 dan selesai pada tahun 2013 Pada tahun 2013 penulis melanjutkan pendidikan Strata 1 di Universitas Sumatera Utara, Fakultas Kesehatan Masyarakat dan selesai pada tahun 2017.

(16)

1.1 Latar Belakang

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 27 menjelaskan bahwa setiap orang berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi manusia. Didalam melakukan pekerjaan, negara juga menjabarkan hak keselamatan bagi setiap tenaga kerja. Hal ini tercantum dalam undang-undang No.1 Tahun 1970 tentang keselamatan kerja yang menyebutkan bahwa “Setiap tenaga kerja berhak mendapat perlindungan atas keselamatannya dalam melakukan pekerjaan untuk kesejahteraan dan meningkatkan produksi serta produktifitas nasional”. Undang-undang keselamatan kerja lebih bersifat pencegahan (preventif), maka sangat diperlukan usaha-usaha pengendalian lingkungan kerja, supaya faktor-faktor yang membahayakan atau mengakibatkan gangguan kesehatan tenaga kerja dapat dihindari serta dapat meningkatkan produktifitas dan kesehatan pekerja (Undang-Undang Dasar No.1 Tahun 1970).

Perkembangan di sektor industri dengan berbagai proses pengolahan yang dilaksanakan menggunakan teknologi modern dapat menimbulkan dampak yang kurang baik bagi lingkungan, keselamatan, kesehatan dan produktivitas masyarakat khususnya tenaga kerja. Banyak faktor yang dapat memungkinkan terjadinya potensi-potensi bahaya keselamatan maupun kesehatan bagi para tenaga kerja salah satunya adalah faktor fisik. Faktor fisik adalah faktor di dalam tempat kerja yang bersifat fisik yang dalam keputusan ini terdiri dari iklim kerja,

(17)

kebisingan, getaran, gelombang makro, sinar uktra ungu, dan medan magnet (Permenakertrans No.13 tahun 2011).

Kebisingan merupakan satu bagian yang menjadi masalah dalam kesehatan kerja yang timbul dari setiap proses di bidang industri. Menurut WHO diperkirakan hampir 14% dari total tenaga kerja di negara-negara industri terpapar bising melebihi 90 dB di tempat kerja dan WHO memperkirakan ditahun 2001 terdapat 250 juta orang didunia dengan gangguan pendengaran sedang maupun berat, angka ini meningkat menjadi lebih dari 275 juta orang di tahun 2004. Dari jumlah tersebut 80% diantaranya berada di negara berkembang. Angka ini terus meningkat sejak penelitian awal yang dilakukan oleh WHO pada tahun 1986 (Rahmawati, 2015).

National Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH) pada tahun 1980 menidentifikasikan gangguan pendengaran akibat bising sebagai satu dari sepuluh penyakit akibat kerja (PAK) terbanyak. Pada tahun 1990, NIOSH mengelompokkan gangguan pendengaran ini sebagai salah satu dari delapan penyakit akibat kerja yang kritis (Miristha, 2009).

Menurut Permenakertrans No.13 tahun 2011 kebisingan adalah semua suara yang tidak dikehendaki yang bersumber dari alat-alat proses produksi dan/atau alat-alat kerja yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan pendengaran (Permenakertrans No.13 tahun 2011).

Gangguan pendengaran akibat bising (Noise Induced Hearing Loss/ NIHL) adalah tuli akibat terpapar oleh bising yang cukup keras dalam jangka waktu yang cukup lama dan biasanya diakibatkan oleh bising lingkungan kerja.

(18)

Banyak hal yang mempermudah seseorang menjadi tuli akibat terpapar oleh bising antara lain, Intensitas bising yang lebih tinggi, berfrekwensi tinggi, lebih lama terpapar oleh bising, kepekaan individu dan faktor lain yang dapat menimbulkan ketulian (Soepardi, 2016)

Penelitian yang dilakukan oleh Tana (2002) pada pekerja perusahaan baja di pulau Jawa, menyebutkan bahwa dari 264 orang pekerja terjadi gangguan pendengaran akibat bising (NIHL) pada 115 orang (43,5%) pekerja perusahaan baja dan NHIL meningkat dengan bertambahnya usia dan lamanya masa kerja. Dalam penelitian Syahriani (2003) pada tenaga kerja bagian pengolahan pabrik kelapa sawit diperoleh data dari 24 responden sebanyak 21 orang telah mengalami penurunan daya dengar yang diakibatkan kebisingan (Tana, 2002).

Dewi (2013) melakukan penelitian pada pekerja inndustri pengolahan tebu PG. Poerwodadie Magenta. Ia memperoleh hasil dari 20 orang tenaga kerja, terdapat 9 orang yang mengalami penurunan kemampuan pendengaran pada telinga kanan, dan 10 orang tenaga kerja yang mengalami penurunan kemampuan pada telinga kiri. Bagi tenaga kerja, ketulian atau kehilangan daya dengar yang disebabkan oleh bising mesin merupakan gangguan kesehatan yang tidak dapat diobati. Dengan terjadinya ketulian berarti tenaga kerja kehilangan alat komunikasi yang dapat menyebabkan salah dalam menerima instruksi, di satu pihak dapat mengakibatkan terjadinya kesalahan pelaksanaan kerja, dan dapat membahayakan keselamatannya. Kondisi demikian berarti kerugian bagi perusahaan atau tenaga kerja tidak produktif (Meily, 1996).

(19)

PTPN II Tanjung Garbus-Pagar Merbau merupakan salah satu dari kelima distrik tanaman tahunan kelapa sawit dan karet rayon selatan dari PTPN II yang berkantor pusat di Tanjung Morawa. Proses pengolahan dari tandan buah sawit menjadi minyak kelapa sawit dilalui dengan beberapa proses tahapan yang dimulai dengan perebusan, pemepilan,pelumatan atau peremasan, penyaringan minyak biji, pengendapan, pemurnian hingga pengeringan minyak pemanasan.

Dalam menjalankan proses pengolahannya PT Perkebunan Nusantara II Tanjung Garbus-Pagar Merbau memiliki 10 stasiun kerja yaitu stasiun loading ramp, transfer depan, perebusan, transfer belakang, housting crane, pressan, kamar mesin, kernel, boiler dan klasifikasi. Menurut hasil survei pendahuluan yang penulis lakukan, mesin-mesin yang digunakan untuk pengolahan kelapa sawit menghasilkan intensitas kebisingan yang cukup tinggi, tetapi angka intesitas kebisingan pada setiap stasiun belum dapat penulis ketahui karena tidak tersedianya data pengukuran intensitas kebisingan di PT Perkebunan Nusantara II Tanjung Garbus-Pagar Merbau ini.

Pihak PT Perkebunan Nusantara II Pagar Merbau telah menyediakan APD serperti helm dan ear plug, APD tersebut dibagikan kepada tenaga kerja, tetapi pada kenyataannya masih banyak pekerja yang bekerja tidak menggunakan APD. Beberapa pekerja yang bekerja di stasiun yang memiliki intensitas kebisingan tinggi lebih memilih memakai kapas sebagai penyumbat telinga daripada memakai ear plug.

Hasil wawancara singkat yang penulis lakukan dengan beberapa pekerja diperoleh informasi bahwa pekerja mengalami keluhan telinga berdengung , susah

(20)

tidur, penurunan kemampuan pendengaran, dan pekerja pada stasiun kamar mesin pernah mengalami vertigo. Indikasi penurunan pendengaran terlihat saat penulis harus berbicara dengan intensitas suara yang cukup tinggi agar pekerja dapat mendengar dan merespon dengan baik pertanyaan yang diajukan oleh penulis.

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Gambaran Intensitas Kebisingan dan Kemampuan Pendengaran Tenaga Kerja Bagian Pengolahan Pabrik Kelapa Sawit di PTPN II Tanjung Garbus – Pagar Marbau Tahun 2017.

1.1 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana Gambaran intensitas kebisingan kemampuan pendengaran tenaga kerja bagian pengolahan pabrik kelapa sawit di PTPN II Tanjung Garbus – Pagar Marbau Tahun 2017.

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui gambaran intensitas kebisingan dan kemampuan pendengaran pada tenaga kerja bagian pengolahan kelapa sawit di PTPN II Tanjung Garbus-Pagar Merbau Tahun 2017.

(21)

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui karakteristik pekerja yaitu umur, masa kerja, riwayat penyakit, pemakaian obat ototoksik, pemakaian APT, pada tenaga kerja bagian pengolahan kelapa sawit.

2. Untuk mengetahui gambaran intensitas kebisingan dengan menggunakan alat sound level meter pada bagian pengolahan kelapa sawit.

3. Untuk mengetahui gambaran kemampuan pendengaran dengan menggunakan alat audiometer pada tenaga kerja bagian pengolahan kelapa sawit.

1.4. Manfaat Penelitian

1. Sebagai informasi atau masukan untuk perusahaan PTPN II Tanjung Garbus-Pagar Merbau mengenai risiko kebisingan terhadap pendengaran pekerja, sehingga dapat dilakukan tindakan pencegahan dan penanggulangan risiko kebisingan.

2. Sebagai informasi bagi pekerja untuk mengetahui risiko akibat dari kebisingan terhadap pendengaran, sehingga pekerja lebih menyadari pentingnya menggunakan alat pelindung diri.

3. Penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam mengembangkan ilmu pengetahuan serta dapat menjadi acuan dan referensi bagi penelitian selanjutnya.

(22)

2.1.1 Definisi Bunyi

Bunyi atau getaran suara adalah getaran suara yang merambat. Gelombang suara terdiri dari daerah-daerah bertekanan tinggi akibat kompresi molekul udara dan bergantian dengan daerah-daerah bertekanan rendah akibat peregangan molekul (Sherwood, 2013).

Menurut Anizar (2012), bunyi adalah ransangan yang diterima oleh telinga karena getaran media elastis. Sifat bunyi ditentukan oleh frekuensi dan intensitasnya. Definisi frekuensi adalah jumlah gelombang bunyi yang lengkap diterima oleh telinga setiap detik. Frekuensi yang bisa diterima oleh telinga manusia terbatas mulai frekuensi 16 Hz - 20.000 Hz frekuensi bunyi yang terutama penting untuk komunikasi(pembicaraan)yaitu sekitar 250 Hz - 3.000 Hz. Intensitas bunyi adalah besarnya tekanan yang dipindahkan oleh bunyi.

Bunyi atau suara didengar sebagai ransangan pada sel saraf pendengaran oleh gelombang longitudinal, dimana gelombang tersebut merambat melalui media udara atau penghantar lainnya, dan bila bunyi atau suara tersebut tidak dikendaki maka bunyi atau suara tersebut dinyatakan sebagai kebisingan (Suma’mur, 2009).

Bunyi adalah energi yang menjalar dengan berfluktasi sangat cepat melalui medium, baik gas, cair maupun padat, hal ini akibat dari perubahan tekanan (dalam udara atau media penghantar lain) yang dapat ditangkap oleh telinga, manusia. Fluktasi tekanan biasanya berasal dari suatu objek yang bergetar

(23)

seperti pita suara manusia atau makhluk hidup lainnya, diapragma loudspeaker, mesin, benturan suatu benda dan lain-lainnya (Rusjadi, 2015).

2.1.2 Definisi Kebisingan

Bising adalah bunyi yang ditimbulkan oleh gelombang suara dengan intensitas dan frekuensi yang tidak menentu. Di sektor industri bising berarti bunyi yang sangat berarti bunyi yang sangat mengganggu dan sangat membuang energi (Harrianto, 2010).

Kebisingan adalah semua suara yang tidak dikehendaki yang bersumber dari alat-alat proses produksi dan atau alat-alat kerja yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan pendengaran (Permenakertrans No. 13 Tahun 2011).

Dalam bahasa K3, National Institute of Occupational Safety and Health (NIOSH) telah mendefinisikan status suara/kondisi kerja dimana suara berubah menjadi polutan secara lebih jelas, yaitu:

a. Suara-suara dengan tingkat kebisingan lebih besar dari 104 dB.

b. Kondisi kerja yang mengakibatkan seorang karyawan harus menghadapi tingkat kebisingan lebih besar dari 85 dB selama lebih dari 8 jam (Tambunan, 2005).

Secara umum bising adalah bunyi yang tidak diinginkan. Secara audiologik bising adalah campuran bunyi nada murni dengan berbagai frekuensi. Bising yang intensitasnya 85 dB atau lebih dapat mengakibatkan kerusakan pada reseptor pendengaran Corti di dalam telinga (Sherwood, 2013).

(24)

2.1.3 Sumber Kebisingan

Di tempat kerja disadari maupun tidak cukup banyak fakta yang menunjukkan bahwa perusahaan beserta aktivitas-aktivitasnya ikut menciptakan dan menambah keparahan tingkat kebisingan di tempat kerja, misalnya:

a. Mengoperasikan mesin-mesin produksi “ribut” yang sudah cukup tua.

b. Terlalu sering mengoperasikan mesin-mesin kerja pada kapasitas kerja cukup tinggi dalam periode operasi cukup panjang.

c. Sistem perawatan dan perbaikan mesin-mesin produksi ala kadarnya, misalnya mesin diperbaiki hanya pada saatmesin mengalami kerusakan parah.

d. Melakukan modifikasi / perubahan / penggantian secara parsial pada komponen-komponen mesin produksi tanpa mengindahkan kaidah-kaidah keteknikan yang benar, termasuk menggunakan komponen-komponen mesin tiruan.

e. Pemasangan dan peletakan komponen-komponen mesin secara tidak tepat (terbalik atau tidak rapat/longgar), terutama pada bagian penghubung antara modul mesin (bad connection).

f. Penggunaan alat-alat yang tidak sesuai dengan fungsinya, misalnya penggunaan palu / alat pemukul sebagai alat pembengkok benda-benda metal atau alat bantu pembuka baut (Tambunan, 2005).

Menurut Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Tahun 2002, sumber kebisingan dibedakan menjadi:

(25)

1. Bising industri

Bising industri termasuk didalamnya pabrik, bengkel dan sejenisnya. Bising industri dapat dirasakan oleh karyawan maupun masyarakat disekitar industri.

2. Bising rumah tangga

Umumnya disebabkan oleh alat-alat rumah tangga dan tidak terlalu tinggi kebisingannya.

3. Bising spesifik

Bising yang disebabkan oleh kegiatan-kegiatan khusus, misalnya pemasangan tiang pancang tol atau bangunan (Subaris, 2008)

2.1.4 Jenis Kebisingan

Berdasarkan sifat dan spektrum frekuensi bunyi, bising dapat dibagi atas: 1. Bising yang kontinyu dengan spektrum frekuensi yang luas. Bising ini relatif

tetap dalam batas kurang lebih 5 dB untuk periode 0,5 detik berturut-turut. Misalnya mesin, kipas angin, dapur pijar.

2. Bising yang kontinyu dengan spektrum frekuensi yang sempit. Bising ini juga relatif tetap, akan tetapi ia hanya mempunyai frekuensi tertentu saja (pada frekuensi 500, 1000, dan 4000 Hz). Misalnya gergaji serkuler, katup gas. 3.Bising terputus-putus (Intermitten). Bising di sini tidak terjadi secara terus

menerus, melainkan ada periode relatif tenang. Misalnya suara lalu lintas, kebisingan di lapangan terbang.

(26)

4. Bising Implusif. Bising jenis ini memiliki perubahan tekanan suara melebihi 40 dB dalam waktu sangat cepat dan biasanya mengejutkan pendengarnya misalnya tembakan, suara ledakan mercon, meriam.

5. Bising Implusif berulang. Sama dengan bising implusif, hanya saja disini terjadi secara berulang-ulang. Misalnya mesin tempa (Buchari, 2007).

Menurut Suma’mur (2009), jenis-jenis bising yang sering ditemukan adalah:

a. Kebisingan yang kontinyu dengan spektrum frekuensi yang luas (steady state, wide band noise), misalnya mesin-mesin, kipas angin, dapur pijar.

b. Kebisingan kontinyu dengan spektrum frekuensi sempit (steady state, narrow band noise), misalnya gergaji sirkulasi, katup gas.

c. Kebisingan terputus-putus (intermittent), misalnya lalu lintas, suara kapal terbang dilapangan udara.

d. Kebisingan implusif (impact or impulsive noise), misalnya pukulan tukul, tembakan bedil atau meriam, ledakan.

e. Kebisingan implusif berulang, misalnya mesin tempa di perusahaan.

Di tempat kerja, kebisingan diklasifikasikan ke dalam dua jenis golongan besar, yaitu kebisingan tetap (steady noise) dan kebisingan tidak tetap (non-steady noise). Kebisingan tetap (steady noise) dipisahkan lagi menjadi dua jenis, yaitu: a. Kebisingan dengan frekuensi terputus (dicrete frequency noise). Kebisingan ini

berupa “nada-nada” murni pada frekuensi yang beragam, contohnya suara mesin, suara kipas dan sebagainya.

(27)

sama-sama digolongkan sebagai kebisingan tetap (steady noise). Perbedaannya adalah broad band noise terjadi pada frekuensi yang lebih bervariasi (bukan “nada” murni). Sementara itu, kebisingan tidak tetap (unsteady noise) dibagi lagi menjadi:

a. Kebisingan fluktuatif (fluctuating noise) Kebisingan yang selalu berubah-ubah selama rentang waktu tertentu.

b. Intermittent noise. Sesuai dengan terjemahannya, intermittent noise adalah kebisingan yang terputus-putus dan besarnya dapat berubah-ubah, contohnya kebisingan lalu lintas.

c. Impulsive noise

Kebisingan impulsif dihasilkan oleh suara-suara berintensitas tinggi (memekakkan telinga) dalam waktu relatif singkat, misalnya suara ledakan senjata api dan alat-alat sejenisnya (Tambunan, 2005).

2.1.5 Intensitas Kebisingan

Intensitas kebisingan atau luas energi per satuan luas biasanya dinyatakan dalam satuan logaritmis yang disebut desibel (dB) dengan dengan memperbandingkannya dengan dengan kekuatan standar 0,0002 dyne/cm2 yaitu kekuatan bunyi dengan frekuensi 1.000 Hz yang tepat dapat didengar oleh telinga manusia, dinyatakan dengan rumus:

SPL=2010log

dengan: SPL (Sound Pressure Level) = intensitas kebisingan (dB) p = intensitas suatu bunyi

(28)

2.1.6 Nilai Ambang Batas Kebisingan

Nilai ambang batas yang kemudian disingkat NAB adalah standar faktor tempat kerja yang dapat diterima tenaga kerja tanpa mengakibatkan penyakit atau gangguan kesehatan dalam pekerjaannya sehari-hari untuk waktu tidak melebihi 8 jam sehari atau 40 jam seminggu (Suma’mur, 2009).

Berdasarkan Permenakertrans No.13/MEN/X/2011, NAB kebisingan yang diizinkan berdasarkan tingkat dan intensitas kebisingan adalah jam untuk paparan bising sebesar 85 dB.NAB kebisingan yang diizinkan dalam waktu pemajanan perhari adalah sebagai berikut:

Tabel 2.1 Nilai Ambang Batas Kebisingan yang Diizinkan dalam Waktu Pemajanan Perhari

Waktu Pemaparan Per Hari Intensitas Kebisingan dalam dB(A) 8 Jam 4 Jam 2 Jam 1 Jam 30 Menit 15 Menit 7,5 Menit 3,75 Menit 1,88 Menit 0,94 Menit 28,12 Detik 14,06 Detik 7,03 Detik 3,52 Detik 1,76 Detik 0,88 Detik 0,44 Detik 0,22 Detik 0,11 Detik 85 88 91 94 97 100 103 106 109 112 115 118 121 124 127 130 133 136 139 Catatan: Tidak Boleh terpajan lebih dari 140 dBA, walaupun sesaat. Sumber: Permenakertrans No.13/Men/X/2011

(29)

2.1.7 Telinga Manusia

Telinga adalah organ penginderaan dengan fungsi ganda dan kompleks. Indera pendengaran berperan penting pada partisipasi seseorang dalam aktivitas kehidupan sehari-hari. Sangat penting untuk perkembangan normal dan pemeliharaan bicara, dan kemampuan berkomunikasi dengan orang lain melalui bicara tergantung pada kemampuan mendengar.

Gambar 2.1. Anatomi telinga manusia

Sumber : http://www.gudangbiologi.com/2016/02/anatomi-bagian-bagian-telinga-dan-fungsinya.html

Menurut anatominya telinga manusia terdiri dari 3 bagian utama, yaitu: a. Telinga bagian luar

Daun telinga terdiri dari tulang rawan elastin dan kulit. Liang telinga berbentuk huruf S, dengan rangka tulang rawan pada sepertiga bagian luar, sedangkan duapertiga bagian dalam rangkanya terdiri dari tulang dengan panjang sekitar 2,5 – 3 cm. Bagian luar merupakan bagian terluar dari telinga. Telinga luar terdiri dari daun telinga, lubang telinga, dan saluran telinga luar. Telinga luar

(30)

meliputi daun telinga atau pinna, liang telinga atau meatus auditorius eksternus, dan gendang telinga atau membran timpani. Bagian daun telinga berfungsi untuk membantu mengarahkan suara ke dalam liang telinga dan akhirnya menuju gendang telinga. Rancangan yang begitu kompleks pada telinga luar berfungsi untuk menangkap suara dan bagian terpenting adalah liang telinga. Saluran ini merupakan hasil susunan tulang dan rawan yang dilapisi kulit tipis.

Di dalam saluran terdapat banyak kelenjar yang menghasilkan zat seperti lilin yang disebut serumen atau kotoran telinga. Hanya bagian saluran yang memproduksi sedikit serumen yang memiliki rambut. Pada ujung saluran terdapat gendang telinga yang meneruskan suara ke telinga dalam.

b. Telinga Bagian Tengah

Bagian ini merupakan rongga yang berisi udara untuk menjaga tekanan udara agar seimbang, yang di dalamnya terdapat saluran eustachio yang menghubungkan telinga tengah dengan faring. Rongga telinga tengah berhubungan dengan telinga luar melalui membran timpani. Hubungan telinga tengah dengan bagian telinga dalam melalui jendela oval dan jendela bundar yang keduanya dilapisi dengan membran yang transparan.

Selain itu terdapat pula tiga tulang pendengaran yang tersusun seperti rantai yang menghubungkan gendang telinga dengan jendela oval. Ketiga tulang tersebut adalah tulang martil (maleus) menempel pada gendang telinga dan tulang landasan (inkus). Kedua tulang ini terikat erat oleh ligamentum sehingga mereka bergerak sebagai satu tulang. Tulang yang ketiga adalah tulang sanggurdi (stapes)

(31)

yang berhubungan dengan jendela oval. Antara tulang landasan dan tulang sanggurdi terdapat sendi yang memungkinkan gerakan bebas.

Fungsi rangkaian tulang dengar adalah untuk mengirimkan getaran suara dari gendang telinga (membran timpani) menyeberangi rongga telinga tengah ke jendela oval.

c. Telinga bagian dalam

Bagian ini mempunyai susunan yang rumit, terdiri dari labirin tulang dan labirin membran. Ada 5 bagian utama dari labirin membran, yaitu sebagai berikut: 1.Tiga saluran setengah lingkaran

2.Ampula 3.Utrikulus 4.Sakulus

5.Koklea atau rumah siput

Sakulus berhubungan dengan utrikulus melalui saluran sempit. Tiga saluran setengah lingkaran, ampula, utrikulus dan sakulus merupakan organ keseimbangan, dan keempatnya terdapat di dalam rongga vestibulum dari labirin tulang.

Koklea mengandung organ Korti untuk pendengaran. Koklea terdiri dari tiga saluran yang sejajar, yaitu: saluran vestibulum yang berhubungan dengan jendela oval, saluran tengah dan saluran timpani yang berhubungan dengan jendela bundar, dan saluran (kanal) yang dipisahkan satu dengan lainnya oleh membran. Di antara saluran vestibulum dengan saluran tengah terdapat membran reissner, sedangkan di antara saluran tengah dengan saluran timpani terdapat

(32)

membran basiler. Dalam saluran tengah terdapat suatu tonjolan yang dikenal sebagai membran tektorial yang paralel dengan membran basiler dan ada di sepanjang koklea. Sel sensori untuk mendengar tersebar di permukaan membran basiler dan ujungnya berhadapan dengan membran tektorial. Dasar dari sel pendengar terletak pada membran basiler dan berhubungan dengan serabut saraf yang bergabung membentuk saraf pendengar. Bagian yang peka terhadap rangsang bunyi ini disebut organ korti. Organ korti terhubung dengan batang otak melalui saraf-saraf pendengaran.

2.1.8 Cara Kerja Indra Pendengaran

Proses pendengaran diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke koklea. Getaran tersebut menggetarkan membran timpani, diteruskan ke telinga tengah melalui rangkaian tulang pendengaran yang akan mengamflipikasi getaran melalui daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas membran timpani dan tingkap lonjong. Energi getar yang telah diamflipikasi ini akan diteruskan ke stapes yang mengggerakkan tingkap lonjong sehingga sehingga perilimfa pada skala vestibuly bergerak. Getaran diteruskan melalui membrana Reissner sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara membran basilaris dan membran tektoria. Proses ini merupakan ransangan mekanik yang menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi pelepasan ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel rambut, sehingga melepaskan energi neurotransmiler ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan potensial aksi pada

(33)

saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke nukleis auditorius sampai ke korteks pendengaran (area 39-40) di lobus temporalis (Sherwood, 2013).

2.1.9 Pengaruh Kebisingan terhadap Manusia

Di tempat kerja tingkat kebisingan yang ditimbulkan oleh mesin dapat merusak pendengaran dan dapat pula menimbulkan gangguan kesehatan. Gangguan kesehatan yang ditimbulkan akibat bising pada tenaga kerja bermacam-macam. Mulai dari gangguan fisiologi sampai pada gangguan permanen seperti kehilangan pendengaran. Menurut Siswanto dalam Siregar (2010) efek ataugangguan kebisingan dapat dibagi menjadi dua, yaitu:

2.1.9.1 Gangguan Pada Indera Pendengaran (Audiotori Effect)

a. Trauma Akustik

Merupakan gangguan pendengaran yang disebabakan pemaparan tunggal atausingle exprosure terhadap intensitas yang tinggi dan terjadi secara tiba-tiba, sebagai contoh gangguan pendengaran atau ketulian yang disebabkan suara ledakan bom. Hal ini dapat menyebabkan robeknya membran tympani dan kerusakan tulang-tulang pendengaran.

b. Ketulian Sementara atau Temporary Threshold Shift (TTS)

Adalah gangguan pendengaran yang dialami seseorang yang sifatnya semetara. Faktor yang mempengaruhi terjadinya TTS adalah intensitas dan frekuensi bising, lama waktu pemaparan dan lama waktu istirahat dari pemaparan, tipe bising dan kepekaan individual. Waktu pemulihan adalah bekisar dari 3-7 hari.

(34)

c. Ketulian Permanen atau Permanent Threshold shift (PTS)

Adalah kenaikan ambang pendengaran yang bersifat irreversibel atau tidak dapat kembali, sehingga tidak mungkin terjadi pemulihan. Pekerja yang mengalami ketulian sementara kemudian terpajan bising kembali sebelum pemulihan secara legkap terjadi. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya sisa ketulian (TTS), dan bila hal ini berlangsung secara berulang dan selama bertahun-tahun sifat ketuliannya akan berubah menjadi menetap (permanen). Ketulian permanen atau sering juga disebut NIHL (Noise Induced Hearing Loss) dan umumnya terjadi setelah terpajan 10 tahun atau lebih (Subaris, 2008)

2.1.9.2 Gangguan bukan pada indera pendengaran (Non Audiotori Effect)

Gangguan bukan pada indera non pendengaran dapat disebut juga keluhan yang dirasakan oleh seseorang (keluhan subyektif). Mengenai keluhan tersebut ada beberapa ahli yang memukakan pendapatnya. Ahli-ahli itu adalah Suma’mur (1982) mengemukakan gangguan percakapan, gangguan pelaksanaan tugas dan gangguan perasaan; Sasongko (2000) mengemukakan gangguan percakapan dan gangguan tidur; Siswanto (1990) mengemukakan gangguan tidur, gangguan pelaksanaan tugas dan gangguan perasaan.

a. Gangguan Percakapan

Kebisingan bisa mengganggu percakapan sehingga mempengaruhi

komunikasi yang sedang berlangsung (tatap muka / via telepon). Tingkat kenyaringan suara yang dapat menggangu percakapan perlu diperhatikan secara seksama karena suara yang mengganggu percakapan sangat bergantung kepada konteks suasana. Kebisingan mengganggu tenaga kerja bila mengadakan

(35)

percakapan dengan orang lain. Jika ingin percakapan tidak tergangggu, maka kebisingan harus dijaga dibawah 60 dB(A). Untuk kebisingan berspektrum luas intensitas kebisingan tidak boleh melampaui 70 dB(A), apabila tingkat kebisingan melampaui 70 dB(A) pada kantor yang sibuk tenaga kerja akan mulai berteriak agar dapat didengar, untuk keperluan komunikasi ditempat kerja suatu perkataan yang diucapkan baru dapat dipaham apabila intensitas ucapan paling sedikit 10 dB(A) lebih tinggi dari latar belakang suara (Suma’mur, 2009).

Kebisingan dapat mengganggu pembicaraan sebagai alat komunikasi, sehingga kita tidak dapat menangkap dan mengerti apa yang dibicarakan oleh orang lain. Agar pembicaraan dapat dimengerti dalam lingkungan yang bising, maka pembicara harus diperkeras dan harus dalam kata serta bahasa yang dimengerti oleh penerima (Suma’mur, 2009).

b. Gangguan Tidur

Kualitas tidur seseorang dapat dibagi menjadi beberapa tahap mulai dari keadaan terjaga sampai tidur lelap. Kebisingan bisa menyebabkan gangguan dalam bentuk perubahan tahap tidur. Gangguan yang terjadi dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain motifasi bangun, kenyaringan, lama kebisingan, fluktuasi kebisingan dan umur manusia. Standar kebisingan yang berhubungan dengan gangguan tidur sulit ditetapkan karena selain tergantung faktor-faktor tersebut diatas, gangguan kebisingan terhadap tidur juga berhubungan dengan karakteristik individual (Sasongko, 2000).

Menurut Siswanto dalam Siregar (2010) gangguan tidur akibat kebisingan adalah sebagai berikut:

(36)

1) Terpapar 40 dB(A) kemungkinan terbangun 5%. 2) Terpapar 70 dB(A) kemungkinan terbangun 30%. 3) Terpapar 100 dB(A) kemungkinan terbangun 100%. c. Gangguan Pelaksanaan Tugas

Kebisingan menganggu pelaksanaan tugas. Di tempat bising berfikir sukar dilakukan. Konsentrasi biasanya buyar di tempat bising, demikian pula hitung menghitung, mengetik dan lain sebagainya terganggu oleh kebisingan. Kebisingan mengganggu perhatian sehingga konsentrasi dan kesigapan mental menurun. (Suma’mur, 2009).

Gangguan kebisingan terhadap pelaksanaan pekerjaan terutama dalam hubungan sebagai berikut:

1) Kebisingan tak terduga datangnya atau yang sifatnya datang hilang lebih menganggu dari pada bunyi yang menetap.

2) Nada-nada tinggi lebih mendatangkan gangguan dari pada frekuensi rendah. 3) Pekerjaan yang paling terganggu adalah kegiatan yang memerlukan konsentrasi

pikiran secara terus menerus.

4) Kegiatan-kegiatan yang bersifat belajar lebih dipengaruhi dari pada kegiatan rutin. Kebisingan mengganggu perhatian yang terus menerus dicurahkan. Maka dari itu, tenaga kerja yang melakukan pengamatan dan pengawasan terhadap suatu proses produksi atau hasil dapat melakukan kesalahan-kesalahan. Akibat kebisingan juga dapat meningkatkan kelelahan (Siswanto, 1990).

(37)

d. Gangguan Perasaan

Perasaan terganggu oleh kebisingan adalah reaksi psikologis terhadap suatu kebisingan. Menurut Suma’mur (2009) faktor-faktor yang mempengaruhi gangguan perasaan adalah sebagai berikut:

1) Perasaan gangguan semakin besar pada tingkat kebisingan yang tinggi dan pada nada-nada yang lebih tinggi pula.

2) Rasa terganggu lebih besar disebabkan oleh kebisingan yang tidak menetap. 3) Pengalaman masa lampau menentukan kebisingan yang menjadi sebab

perasaan terganggu.

4) Sikap perseorangan terhadap kebisingan menentukan adanya gangguan atau tidak.

5) Kegiatan orang yang bersangkutan dan terjadinya kebisingan adalah faktor-faktor penting.

2.1.10 Pengukuran Kebisingan

Pengukuran kebisingan bertujuan untuk membandingkan hasil pengukuran pada suatu saat dengan standar atau Nilai Ambang Batas (NAB) yang telah ditetapkan. Pengukuran yang bertujuan untuk mengetahui efek kebisingan terhadap pendengaran perlu dilaksanakan secara intensif selama jam kerja. Bila pekerja selalu berpindah tempat maka disamping dilaksanakan pengukuran tingkat tekanan suara juga dicatat waktu selama bekerja berada ditempat-tempat tersebut agar dapat diketahui apakah pekerja sudah terpajan malampaui NAB (Subaris, 2008).

(38)

Menurut Suma’mur (2009). maksud pengukuran kebisingan adalah: a. Memperoleh data kebisingan di perusahaan atau dimana saja, dan

b. Mengurangi tingkat kebisingan tersebut, sehingga tidak menimbulkan gangguan.

Alat yang biasa digunakan untuk mengukur kebisingan antara lain: 1. Sound Level Meter

Sound Level Meter ialah suatu alat yang digunakan untuk mengukur kebisingan, suara yang tak dikehendaki, atau yang dapat menyebabkan rasa sakit di telinga. Sound level meter biasanya digunakan di lingkungan kerja seperti, industri penerbangan dan sebagainya. Sound level meter adalah suatu alat yang digunakan untuk mengukurtingkat kebisingan, yang terdiri dari mikrofon, amplifier, sirkuit “attenuator” dan beberapa alat lainnya. Alat ini mengukur kebisingan antara 30 – 130 dB dan dari frekwensi 20 – 20.000 Hz (Rambe, 2003).

Sound level meter terdiri dari tiga skala pengukuran, yaitu:

a. Skala pengukuran A: Untuk memperlihatkan perbedaan kepekaan yang besar pada frekuensi rendah dan tinggi yang menyerupai reksi telinga untuk intensitas rendah

b. Skala pengukuran B: untuk memperlihatkan kepekaan telinga untuk bunyi dengan intensitas sedang

c. Skala pengukuran C: Untuk skala dengan intensitas tinggi (Anizar, 2012).

(39)

2. Noise Dosimeter

Alat ini mengambil suara dalam mikropon dan memindahkan energinya ke impuls listrik. Hasil pengukurannya merupakan energi total, dicatat sebagai aliran listrik yang hampir sama dengan kebisingan yang ditangkap (Tambunan, 2005).

Noise Dosimeter langsung mancatat berapa persen (%) dose seorang pekerja mendapat paparan bising, sedangkan jika menggunakan sound level meter (SLM) harus dikonversikan terlebih dahulu dari Leq ke waktu T ke dose D dan ke TWA (Rusjadi, 2015).

2.1.11 Pengendalian Kebisingan

Menurut Suma’mur (2009), kebisingan dapat dikendalikan dengan:

a. Pengurangan kebisingan pada sumbernya dapat dilakukan misalnya dengan menempatkan peredam pada sumber getaran, tetapi umumnya hal itu dilakukan dengan penelitian dan perencanaan mesin baru.

b. Penempatan penghalang pada jalan transmisi. Isolasi tenaga kerja atau mesin adalah usaha segera dan baik bagi usaha mengurangi kebisingan. Untuk ini perencanaan harus sempurna dan bahan-bahan yang dipakai harus mampu menyerap suara.

c. Proteksi dengan sumbat atau tutup telinga. Tutup telinga biasanya lebih efektif dari pada penyumbat telinga. Alat-alat ini dapat mengurangi intensitas kebisingan sekitar 20-25 dB.

Menurut Buchari (2007), pengendalian kebisingan dapat dilakukan dengan melakukan:

(40)

a. Pengendalian secara teknis yaitu dengan cara pemilihan proses kerja yang lebih sedikit menimbulkan bising, melakukan perawatan mesin, memasang penyerap bunyi dan mengisolasi dengan melakukan peredaman.

b. Pengendalian secara administratif yaitu dengan cara melakukan shift kerja, mengurangi waktu kerja dan melakukan training.

c. Penggunaan alat pelindung pendengaran dan pengendalian secara medis dengan cara melakukan pemeriksaan kesehatan secara teratur.

2.2 Kemampuan Pendengaran

2.2.1 Tingkat Kemampuan Pendengaran

Tingkat kemampuan pendengaran dibagi dalam beberapa tingkatan seperti pada tabel berikut:

Tabel 2.2 Klasifikasi dari Kemampuan Pendengaran Menurut ISO

Rentang batas kekuatan suara yang dapat didengar

Klasifikasi tingkat keparahan gangguan sistem pendengaran

0 dB – 25 dB Rentang normal

>25 dB – 40 dB Tuli ringan

>40 dB – 55 dB Tuli sedang

>55 dB – 70 dB Tuli sedang berat

>70 dB – 90 dB Tuli berat

> 90 dB Tuli sangat berat

Sumber: Soepardi (2016)

2.2.2 Ketulian

Ketulian adalah suatu gangguan yang terjadi pada telinga, yang dapat dilihat dengan mengevaluasi keluhan-keluhan telinga pasien. Gejala-gejala yang disebutkan pasien tersebut dapat diidentifikasikan untuk menentukan bagian telinga mana yang terkena, apakah itu telinga bagian tengah atau bagian dalam,

(41)

misalnya pasien mengeluhkan adanya perasaan berdengung, tidak dapat mendengar pembicaraan orang lain apabila tidak diucapkan dengan nada keras, maka ini menyerang telinga bagian tengah, yang kebanyakan disebabkan terkena intensitas kebisingan yang tinggi. Manusia yang mengalami gangguan pendengaran (hearing loss) umumnya mengalami kesulitan (ringan sampai berat) untuk membedakan kata-kata yang memiliki kemiripan atau mengandung konsonan-konsonan pada rentang frekuensi agak tinggi, seperti konsonan S, F, SH, CH, H dan C lembut (Tambunan, 2005).

Tuli akibat bising (noise induced hearing loss) ialah gangguan pendengaran yang disebabkan terpajan oleh bising dalam jangka waktu yang cukup lama dan biasanya diakibatkan oleh bising lingkungan kerja.

Tingkatan tuli akibat bising mempunyai tahap-tahap sebagai berikut: a. Reaksi adaptasi merupakan respons kelelahan akibat rangsangan oleh bunyi

dengan intensitas 70 dB atau kurang, keadaan ini merupakan fenomena fisiologis pada saraf telinga yang terpajan bising.

b. Peningkatan ambang dengar sementara, merupakan keadaan terdapatnya peningkatan ambang dengar akibat pajanan bising dengan intensitas yang cukup tinggi. Pemulihan dapat terjadi dalam beberapa menit atau jam, jarang terjadi pemulihan dalam satuan hari.

c. Peningkatan ambang dengar menetap, merupakan keadaan dimana terjadi peningkatan ambang dengar menetap akibatpajanan bising dengan intensitas sangat tinggi berlangsung singkat atau berlangsung lama yang menyebabkan

(42)

kerusakan berbagai struktur koklea, antara lain kerusakan organ corti, sel-sel rambut, stria vaskularis.

Banyak hal yang mempermudah seseorang menjadi tuli akibat terpajan bising, antara lain intensitas bising yang lebih tinggi, berfrekuensi tinggi, lebih lama terpapar bising, mendapat pengobatan yang bersifat racun terhadap telinga (obat ototoksik) seperti streptomisin, kanamisin, garamisin, kina, asetosal dan lain-lain (Soepardi, 2016).

2.2.3 Cara Pemeriksaan Pendengaran

Untuk memeriksa fungsi kemampuan pendengaran dilakukan berbagai macam tes pendengaran dengan cara memberikan ransangan atau stimulus bunyi pada telinga kemudian dinilai respon atau jawaban atas stimulus tersebut.

Beberapa tes pemeriksaan pendengaran adalah sebagai berikut:

1. Tes bisik

Bersifat semi kuantitatif. tes ini secara kasar dapat menentukan derajad ketulian seseorang dan tes bisik dapat dipercayai baik pasien maupun pemeriksa. Syarat tes bisik adalah:

1. Ruangan yang digunakan harus sepi dan tidak bergema

2. Pemeriksa membisikkan kata dengan menggunakan udara cadangan sesudah ekspirasi dada. Kata yang dibisikkan terdiri dari satu atau dua kata yang dikenal penderita.

3. Mata penderita ditutup agar penderita tidak membaca gerak bibir pemeriksa. Cara pemerksaan:

(43)

Telinga yang diperiksa dihadapkan ke arah pemeriksa, sedangkan telinga yang tidak diperiksa di tutup dan di masking. Cara melakukan masking adalah dengan menekan nekan tragus ke arah meatus eksternus. Making diakukan oleh rekan pemeriksa. Bila tidak ada yang membantu, meatus ekstersus ditutup dengan kapas yang dibasahi gliserin. Selanjutnya penderita diminta untuk mengulang dengan keras kata-kata yang dibisikkan.

Pelaksaan:

Penderita maupun pemeriksa keduanya berdiri. Saat pelaksaan penderita tetap diam ditempat sedangkan pemeriksa yang berpindah tempat. Diawali dari jarak satu meter dibisikkan lima kata sampai sepuluh kata atau lebih. Bila penderita dapat mendengar dan menirukan secara benar kata yang diucapkan, maka pemeriksa berpindah ke jarak dua meter dan membisikkan kata yang lain. Bila pederita mendengar semua, pemeriksa mundur lagi sampai kepada jarak dimana si penderita mendengar delapan puluh persen kata-kata yang dibisikkan (mendengar 4 kata dan 5 kata yang dibisikkan). Jarak itulah yang merupakan tajam pendengaran telinga yang diperiksa. Untuk memastikan tes benar, perlu dilakukan tes ulang. Misalnya tajam pendengaran penderita 3 meter, maka bila pemeriksa maju ke jarak 2 meter penderita akan pendengar semua kata yang dibisikkan dan bila pemeriksa mundur ke jarak 4 meter maka penderita hanya mendengar kurang dari delapan puluh persen kata yang dibisikkan.

Dimulai pada jarak satu meter, bila masih mendengar semua kata, pemeriksa mundur mundur lagi satu meter demikian seterusnya diulang sampai penderita

(44)

mendengar delapan puluh persen dari kata yang dibisikkan. Jarak tersebut merupakan taam pendengaran penderita

Hasil tes:

Normal : 6 meter Tuli ringan: 4−6 meter Tuli sedang: 1−4 meter Tuli berat : <1 meter

Tuli total : bila berteriak di depan telinga, penderita tetap tidak mendengar (Hetharia, 2011).

2. Audiometri

Audiometri adalah tes pendengaran dengan menggunakan alat audiometer yaitu alat yang dapat menghasilkan suara dengan berbagai frekuensi dan kekuatan. Tujuan tes pendengaran dengan audiometer ini adalah untuk mengetahui derajat gangguan pendengran atau ketulian seseorang (ringan, sedang dan berat) dan untuk mengetahui jenis tuli yang dialami oleh seseorang (tuli konduktif, tuli sensorinaural, atau tuli campuran).

Pemeriksaan audiometri yang sederhana adalah audiometri nada murni (pure tone audiometry). Audiometri nada murni menggunakan bunyi yang hanya mempunyai satu frekuensi dan dinyatakan dalam jumlah getaran per detik. Pemeriksaan dilakukan diruangan kedap suara dan menggunakan headset khusus, kemudian pasien diminta menekan tombol bila terdengar suara.

(45)

Hasil dari alat audiometri berupa grafik yang disebut audiogram. dari pembacaan audiogram inilah kita tahu apakah fungsi pendengaran masih baik atau sudah berkurang bahkan hingga tuli. Audiogram berbentuk seperti berikut:

Sumber: http://www.medel.com/id/audiogram/

Gambar 2.2 Audiogram

Audiogram dasar yang paling sederhana berbentuk tabel untuk membentuk grafik. Axis vertikal menunjukkan frekuensi suara yang diperdengarkan. Axis horizontal adalah kekuatan suara yang diperdengarkan dengan satuan desibel. Semakin keras suaranya semakin tinggi nilai desibelnya. Sehingga jika suara-suara disekitar kita dimasukkan ke dalam audiogram. Dalam pembacaan secara medis tentunya tidak sesederhana itu, terdapat berbagai hal yang harus diperhatikan dan dihitung agar hasil diagnosis objektif.

Simbol-simbol dan istilah yang akan muncul dalam audiogram adalah sebagai berikut:

(46)

a. Hertz: Standar pengukuran untuk frekuensi suara. Pada audiogram biasanya berkisar antara 250 Hz – 8000 Hz

b. Desibel (dB): Standar pengukuran untuk amplitudo atau kekerasan (intensitas) suara. Pada audiogram biasanya berkisar antara 0−110 dB. c. Warna merah dan biru: jika yang diperiksa adalah telinga kiri maka titik

dan garisnya berwarna biru, sebaliknya jika telinga kanan yang diperiksa maka titik dan garis berwarna merah.

d. o dan x: Kedua simbol untuk pemeriksaan hantaran udara (air conduction/AC), o untuk telinga kanan, dan x untuk telinga kiri.

e. < and >: Kedua simbol untuk pemeriksaan hantaran tulang (bone conduction/BC), <untuk telinga kanan dan >untuk telinga kiri

f. AC : Air conduction, suara yang dihantarkan melalui udara

g. BC: Bone conduction, suara yang dihantarkan melalui tulang, pemeriksaan dengan bagian headset khusus yang dipasang di belakang daun telinga. Simbol dan istilah diatas adalah yang paling sederhana, pada pemeriksaan yang lebih detail terdapat lebih banyak simbol seperti untuk masking, adanya implant.

Jenis gangguan pendengaran serta derajat ketulian dihitung menggunakan indeks Fletcher yaitu:

Ambang Dengar (AD) =

AD 500 Hz + AD 1000 Hz + AD 2000 Hz+ AD 4000 Hz 4

(47)

Derajat pendengaran seseorang masih berada diantara 0 sampai 25 dB dikategorikan normal. Untuk derajat pendengaran antara 25 dB sampai 40 dB sudah dikategorikan sebagai penurunan gangguan pendengaran ringan. Sedangkan derajat pendengaran antara 40 dB sampai 55 dB dikategorikan sebagai penurunan gangguan pendengaran sedang. Selanjutnya derajat pendengaran antara 70 dB sampai 90 dB penurunan pendegaran berat dan jika lebih dari 90 dB dikategorikan sebagai penurunan gangguan pendengaran sangat berat. Jika dilihat berdasarkan garis grafik audiogram, seseorang dikategorikan normal apabila koduksi udara lebih bagus daripada konduksi tulang. Ini dapat teridentifikasi apabila grafik BC berimpit dengan grafik AC. Untuk gangguan pendengaran konduktif grafik AC lebih besar dari BC dan BC berada pada batas normal. Kondisi gangguan pendengaran konduktif terjadi jika konduksi tulang lebih baik dari konduksi udara. kemudian seseorang dikatakan gangguan pendengaran sensorineural jika konduksi udara lebih baik dari konduksi tulang. Letak grafik BC berhimpit dengan AC, namun kedua grafik terletak pada garis diatas normal. Sedangakan gangguan pendengaran campuran terjadi jika grafik AC lebih besar dai BC dan keduanya berada diatas batas normal.

3. Tes Garbu Tala

Tes garpu tala digunakan untuk menentukan jenis gangguan pendengaran (kualitas). Tes ini bersifat subyektif dan baru dapat dipercaya bila pemeriksa dapat melakukan es tersebut dengan baik dan benar dan penderita dapat menerima respon dengan benar. Jenis tes yang dilakukan adalah sebagai berikut:

(48)

1. Test Rinne

Tujuan melakukan tes Rinne adalah untuk membandingkan atara hantaran tulang dengan hantaran udara pada satu telinga pasien. Cara Pemeriksaan adalah dengan menggetarkan garpu tala dan mendekatkan kedepan telinga sekitar 2,5 cm, setelah tidak terdengar garputala diletakkan tangkainya di prosesus mastoid. Apabila di prosesus mastoid suara masih terdengar disebut dengan rinne negatif tapi apabila tidak terdengar disebut dengan rinne positif.

2. Test Weber

Tujuan melakukan tes weber adalah untuk membandingkan hantaran tulang antara kedua telinga pasien. Cara melakukan tes weber yaitu: menggeterkan tangkai garpu tala dan diletakkan di garis tengah kepala (di verteks, dahi, pangkal hidung dan ditengah-tengah gigi seri atau di dagu). Jika bunyi garpu tala terdengar lebih keras pada salah satu telinga maka disebut lateralisasi pada telinga yang mendengar. Namun apabila tidak dapat dibedakan kearah telinga mana yang bunyinya terdengar lebih keras, disebut weber tidak ada lateralisasi. 3. Test Swabach

Tujuan test Swabach adalah untuk membandingkan daya transport melalui tulang mastoid antara pemeriksa (normal) dengan probandus. Cara kerjanya dengan melektakkan garpu tala pada prosesus mastoideus sampai tidak terdengar bunyi. Kemudian tangkai garpu tala dipindahkan ke prosesus mastoideus telinga pemeriksa yang pendnegarannya normal. Bila pemeriksa masih dapat mendengar disebut Schwabach memendek, jika pemeriksa tidak dapat mendengar, maka dilakukan pengulangan pemeriksaan dengan cara sebaliknya, yaitu meletakkan

(49)

garpu tala ke prosesus mastoideus peemeriksa lebih dulu. Bila pasien masih dapat mendengar bunyi disebut Schwabach memanjang dan jika pasien dan pemeriksa sama-sama mendengar disebut dengan Schwabach sama dengan pemeriksa.

Tabel 2.3 Hasil Pemeriksaan Menggunakan Garpu Tala

Tes Rinne Tes Weber Tes Schwabach Diagnosis Positif Tidak ada lateralisasi Sama dengan Normal

pemeriksa

Negatif Lateralisasi ke telinga Memanjang Tuli Konduktif yang sakit

Positif Lateralisasi ke telinga Memendek Tuli Sensorineural yang sehat

Catatan: Pada tuli konduktif < 30 dB, Rinne bisa masih positif

Sumber: Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT Kepala dan Leher FKUI,2016

2.2.4 Berbagai Pajanan yang Mempengaruhi Kemampuan Pendengaran

Behrman dalam Kusumawati (2012) menjelaskan bahwa tipe kehilangan pendengaran dapat bersifat perifer atau sentral. Kehilangan pendengaran perifer disebabkan oleh disfungsi dalam penghantaran suara melalui telinga luar, tengah dan oleh transduksi energi suara menjadi aktifitas syaraf pada telinga dalam dan saraf ke-8, sedangakan kehilangan pendengaran bersifat sensorineural biasanya disebabkan oleh cedera atau salah perkembangan struktur telina dalam.

Faktor-faktor pajanan yang dapat memengaruhi kemampuan pendengaran adalah sebagai berikut:

1. Umur

Penurunan kemampuan pendengaran semakin lama akan semakin nyata jika tenaga kerja terpajan kebisingan dari lingkungan sekitar. Tuli akibat penuaan

(50)

(Nagel, 2012). Semakin bertambahnya usia sebagian sel-sel rambut akan mati karena “tua”. Karena itulah manusia menjadi tuli, tetapi apabila seseorang mendapat tekanan bising dengan intensitas tinggi secara kontinu untuk jangka waktu yang panjang, maka banyak sel-sel rambutnya yang menjadi mati ketika ia masih berumur muda. Ketulian seseorang dapat di pengaruhi oleh lamanya terpapar kebising walaupun usianya masih muda. Pada orang lanjut usia, gangguan pendengaran biasanya disebabkan oleh fungsi organ pendengaran yang menurun atau disebut presbiakusis yang terjadi akibat dari meningkatnya frekuensi minimal yang dapat didengar oleh telinga manusia (Anizar, 2012). 2. Masa Kerja

Penurunan kemampuan pendengaran akibat bising dapat terjadi dalam jangka waktu yang cukup lama, biasanya lima tahun atau lebih. Pekerja yang terpapar bising 85 dB selama 8 jam kerja sehari, ada kemungkinan bahwa setelah 5 tahun bekerja, 1% pekerja akan memperlihatkan sedikit gangguan pendengaran, setelah 10 tahun bekerja, 3% pekerja mengalami kehilangan pendengaran, dan setelah 15 tahun meningkat menjadi 5% (Suyono, 1995). Penelitian yang dilakukan Habibie pada tahun 2010 untuk mengetahui lama paparan bising terhadap kejadian NIHL pada musisi, didapat hasil bahwa dari 47 sampel penelitian didapat sebanyak 5 orang mengalami NIHL, 4 kasus yang terjadi pada sampel yang telah terpapar selama lebih dari lima tahun dan 1 sampel yang telah selama kurang dari setahun (Banitriono, 2012).

(51)

3. Riwayat Penyakit

Penyakit penyerta seperti diabetes melitus, kardiovaskuler dan hiperlipidemia diduga memiliki efek terhadap pembuluh darah di koklea. Diabetes melitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia (menigkatnya kadar gula darah) yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya.

Penyakit kardiovaskular terbagi menjadi 3 jenis, yaitu penyakit jantung koroner, penyakit serebrovaskuler, dan vaskuler perifer. Penyakit jantung koroner adalah penyakit pembuluh darah yang mensuplai jantung. Implikasinya meliputi infark miokard (serangan jantung), angina (nyeri dada), dan aritmia (irama jantung abnormal). Penyakit serebrovaskular adalah penyakit pembuluh darah yang mensuplai ke otak. Implikasinya meliputi stroke (kerusakan sel otak karena kurangnya suplai darah) transient ischaemic attack (kerusakan sementara pada penglihatan, kemampuan berbicara, rasa atau gerakan). Penyakit vaskular perifer adalah penyakit pembuluh darah yang mensuplai tangan dan kaki yang berakibat rasa sakit yang sebentar datang dan pergi, serta rasa sakit karena keram otot kaki saat berolahraga.

Hiperlipidemia adalah keadaan patologis akibat kelainan metebolisme lemak darah yang ditandai dengan meningginya kadar kolesterol darah (hiperkolesterolemia), trigliserida (hipertrigliseridemia) atau kombinasi keduanya. Hiperkolestorelemia dapat mempertinggi risiko morbiditas dan mortalitas penyakit jantung, sedangkan hipergliseridemia meningkatkan kasus nyeri perut dan pancreatitis (Continuing Profesional Development Dokter Indonesia, 2012).

(52)

Beberapa penelitian yang dilakukan sebelumnya menyebutkan adanya hubungan antara penyakit seperti diabetes melitus, kardiovaskuler dan hiperlipidemia dengan tingkat kemampuan pendengaran. Penelitian yang dilakukan oleh Bashiruddin (2008) menyatakan bahwa ambang dengar pada penderita diabetes melitus disertai dengan kardiovaskuler lebih tinggi dibandingkan tanpa penyakit penyerta. Tinggi intensitas ambang dengan tersebut disebabkan oleh terjadinya ganggguan perfusi aliran darah ke telinga dalam akibat prores ateroklorosis dan aterogenesis sehingga mengakibatkan kerusakan koklea. Pada penderita diabetes melitus, selain karena adanya suatu proses neuropati, penggunaan obat ototoksik berupa antibiotik yang digunakan untuk infeksi luka juga salah satu penyebab terjadinya gangguan pendengaran.

4. Obat-Obatan atau Bahan Kimia

Ototoksik sudah lama dikenal sebagai efek samping pengobatan kedokteran. Penggunaan obat ototoksik dengan dosis tertentu mampu menimbulkan efek berupa gangguan pendengaran. Gangguan pendengaran akibat ototoksik yang menetap dapat terjadi berbulan-bulan setelah pengobatan berhenti. Gangguan pendengaran yang dihasilkan biasanya berupa gangguan pendengaran sensorineural.

Gejala yang timbul dimulai dari terjadinya tinnitus, gangguan pendengaran dan vertigo. Tinitus biasanya menyertai gangguan pendengaran sensorineural. Tinitus yang berhubungan dengan ototoksik berada pada nada tinggi dengan frekuensi antara 4000 Hz−6000 Hz. Antibiotik mempunyai ciri penurunan yang tajam untuk frekuensi tinggi pada audiogram.

(53)

Pada pemakaian antibiotik aminoglikosida dapat menimbulkan gangguan pendengaran tingkat ringan. Gangguan pendenngaran ini biasanya bersifat permanen dan hanya sedikit yang dapat pulih kembali. Proses terjadinya gangguan pendengaran ini biasanya terjadi setelah pemberian antibiotik selama 3-4 hari. Gangguan pendengaran yang ditimbulkan bersifat bilateral dan bernada tinggi, sesuai dengan tingkat hilangnya sel-sel rambut pada putaran basal koklea. Gangguan pendengaran yang berhubungan dengan penggunaa obat ototoksik sangat sering dijumpai karena pemakaian gentasimin dan streptomisin.

Loop diuretic dapat menimbulkan tinnitus yang kuat dalam beberapa menit setelah penyuntikan intervena. Pada kasus tertentu dapat terjadi gangguan pendengaran sensoriunal secara perlahan dan progresif, namun hanya disertai tinnitus ringan. Pemberhentian panggunaan obat-obatan loop duiuretic dapat mengembalikan fungsi pendengaran jika jenis loop diuretic yang digunakan berupa salisilat dan kina. Beberapa jenis loop diureti kuat yaitu Ethycrynic Acid, Furosemide dan Bumetanide. Jenis ini mampu menghambat reabsorbsi elektronit-elektrolit dan air pada cabang naik dari lengkungan hanle. Walaupun memiliki tingkat ototoksik rendah, namun dapat menunjukkan derajat potensi ototoksik terutama jika diberikan pada penderita insufisiensi ginjal secara intervena.

Obat lainnya adalah obat anti inflamasi yaitu salisisat dan aspirin. Obat jenis ini dapat menyebabkan gangguan pendengaran sensorineural pada frekuensi tinggi dan dapat menyebabkan tinitus tetapi dpat pulih kembali apabila penggunaan obat dihentikan. Obat anti malaria yaitu kina dan klorokuin juga dapat menimbulkan efek ototoksik berupa gangguan pendengaran dan tinitus. Bahaya dari obat

Gambar

Tabel  2.1  Nilai  Ambang  Batas  Kebisingan yang  Diizinkan  dalam  Waktu  Pemajanan Perhari
Gambar 2.1. Anatomi telinga manusia
Tabel 2.2 Klasifikasi dari Kemampuan Pendengaran Menurut ISO  Rentang batas kekuatan suara yang
Gambar 2.2 Audiogram
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan umum pada penelitian ini adalah untuk mengetahui pengetahuan, sikap dan tindakan penderita TB Paru terhadap upaya pencegahan penularan penyakit Tuberkulosis

Berdasarkan wawancara dengan beberapa bidan pelaksana pada bulan Agustus tahun 2017; (1) mereka mengatakan kurang mengetahui bagaimana melakukan penyuluhan langsung

Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka rumusan masalah di dalam penelitian ini adalah apakah ada hubungan karateristik peserta Jaminan Kesehatan

Hasil penelitian menunjukkan perencanaan obat di Instalasi Farmasi RSU Haji Medan tidak adanya tim perencanaan obat yang dibentuk di rumah sakit, metode perencanaan obat

Sebagaimana telah dinyatakan sebelumnya yang dimaksud dengan kebisingan dalam NAB ini adalah semua suara yang tidak dikehendaki yang bersumber dari alat-alat proses

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Analisis Kadar Particulate Matter 10 (PM 10 ) dan Keluhan Kesehatan pada Pekerja Kilang Batu Bata di Desa Sei

Bakso pada umumnya mengandung zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh, yaitu zat gizi makro yang terdiri dari karbohidrat, lemak, dan protein, namun dikhawatirkan

KATA PENGANTAR Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini, yang