• Tidak ada hasil yang ditemukan

T1 802011077 Full text

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "T1 802011077 Full text"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA KOMUNIKASI INTERPERSONAL

SUAMI ISTRI TERHADAP KOPING DENGAN STRES PADA

PENDERITA GAGAL GINJAL KRONIK

OLEH

UNITITA SAHARA

802011077

TUGAS AKHIR

Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagaian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

HUBUNGAN ANTARA KOMUNIKASI INTERPERSONAL

SUAMI ISTRI TERHADAP KOPING DENGAN STRESPADA

PENDERITA GAGAL GINJAL KRONIK

Unitita Sahara

Aloysius L. S. Soesilo

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

(8)

i Abstrak

Penyakit gagal ginjal adalah suatu penyakit dimana fungsi organ ginjal mengalami

penurunan hingga akhirnya tidak lagi mampu bekerja sama. Biasanya pasangan yang

menderita penyakit kronis seperti gagal ginjal, merasa bahwa dirinya tidak dapat

berfungsi secara maksimal sebagai suami ataupun istri. Tujuan dari penelitian ini

adalah untuk melihat korelasi atau hubungan antara komunikasi interpersonal suami

istri terhadap koping dengan stress pada penderita gagal ginjal kronik GGK di RSUD

Kota Salatiga. Sampel (N= 35), diambil dengan menggunakan purposive sampling.

Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan dua skala yaitu skala komunikasi

interpersonal suami istri dan skala koping dengan stress pada penderita GGK. Hasil

penelitian menggunakan Uji Korelasi Pearson Product Moment dengan koefisien

korelasi (Rxy) = 0,632 dan R² = 0,243 atau hanya 24,3% yang artinya komunikasi

interpersonal suami istri memiiki hubungan terhadap koping dengan stress pada

penderita GGK di RSUD Kota Salatiga.

Kata kunci : komunikasi interpersonal suami istri, koping dengan stress,

(9)

ii

Abstract

Kidney disease is a disease in which kidney function has decreased until finally no

longer able to work together. Usually, couples who suffer from chronic diseases such

as kidney failure felt that they could not function optimally as husband or wife. The

purpose of this study was to look at the correlation or relationship between

interpersonal communication married couple to coping with stress in patients with

chronic renal failure CRF in Salatiga City Hospital. Sample (N = 35), were taken by

using purposive sampling. The data collection is done by using two scale that is scale

interpersonal communication married and scale of coping with stress in patients with

CRF. The results using Pearson Product Moment Correlation with the correlation

coefficient (rxy) = 0,632 and R ² = 0,243 or 24,3%, which means there is correlatte

between interpersonal communication married to coping with stress in patients with

CRF in Salatiga City Hospital.

Keywords :Interpersonal communication married couple, coping with stress,

(10)

1

PENDAHULUAN

Komunikasi adalah unsur dasar kehidupan sosial. Komunikasi adalah proses

sistemis dimana orang berinteraksi dengan dan melalui simbol untuk menciptakan

dan menafsirkan makna. Komunikasi merupakan proses, yang artinya sedang

berlangsung, selalu bergerak, bergerak semakin maju, dan berubah secara

terus-menerus. Komunikasi juga merupakan hal yang sistemis, yang berarti bahwa itu

terjadi dalam suatu sistem pada bagian yang saling berhubungan yang mempengaruhi

satu sama lain. Dalam komunikasi keluarga, misalnya, setiap anggota keluarga adalah

bagian dari sistem (Galvin, Dickson, Marrow, 2006, dalam Wood, 2013).

Sebuah hubungan terbentuk ketika terjadi proses pengiriman dan penerimaan

pesan secara timbal balik, yaitu ketika dua atau lebih individu saling

mempertimbangkan dan saling menyesuaikan perilaku verbal dan nonverbal mereka

satu sama lain. Pengelolaan timbal balik seperti ini, kita sebut sebagai komunikasi

interpersonal dimana di dalamnya terdapat proses hubungan diawali, berkembang,

tumbuh, dan kadang memburuk.

Komunikasi interpersonal memainkan peranan sangat penting untuk

kehidupan manusia terutama kehidupan berumah tangga. Komunikasi interpersonal

antara suami dan istri dibentuk sebelum dan setelah menikah, serta akan lebih intensif

ketika komunikasi dilakukan setelah menikah. Komunikasi antar pasangan dalam

perkawinan sangatlah penting bagi kesejahteraan dan saling membangun harmoni.

(11)

2

hubungan yang sehat dan tahan lama (Wood, 2013). Walaupun berumah tangga

tidaklah berjalan selalu baik, ada kalanya pasangan suami istri mengalami pedebatan

atau konflik kecil, misalnya pasangan menghabiskan waktu terlalu banyak untuk

bekerja, pasangan yang teralu hemat atau boros, pasangan selalu komplain, dan

pasangan yang mempermasalahkan soal kesehatan, seperti ketika pasangan kita

menderita sakit yang tidak kunjung sembuh seperti gagal ginjal. (Merdeka.com).

Gagal ginjal merupakan salah satu penyakit yang tidak dapat disembuhkan,

dan kita hanya dapat mengurangi intensitas keparahannya melalui hemodialisis atau

bantuan terapi mengeluargan zat–zat nitrogen yang toksik dari dalam darah dan

mengeluarkan air yang berlebihan didalamnya.

Penyakit gagal ginjal adalah suatu penyakit dimana fungsi organ ginjal

mengalami penurunan hingga akhirnya tidak lagi mampu bekerja sama sekali dalam

hal penyaringan pembuangan elektrolit tubuh, menjaga keseimbangan cairan dan zat

kimia tubuh seperti sodium dan kalium dalam darah atau produksi urin. Penyakit

gagal ginjal berkembang secara perlahan kearah yang semakin buruk dimana ginjal

sama sekali tidak lagi mampu bekerja sebagaimana fungsinya. Dalam dunia

kedokteran dikenal dua macam jenis gagal ginjal yaitu gagal ginjal akut dan gagal

ginjal kronis (Mansjoer, 2002).

Gagal ginjal akut (GGA) atau Acute Renal Failure (ARF) terjadi ketika ginjal

tiba-tiba berhenti menyaring produk limbah dari darah. Sedangkan penyakit Gagal

(12)

3

kronik, progresif dan menetap berlangsung beberapa tahun. Pada keadaan ini ginjal

kehilangan kemampuannya untuk mempertahankan volume dan cairan tubuh dalam

keadaan asupan diet normal (Wilson & Price, 1994 dalam Rindiastuti, 2008).

Penderita yang berada pada stadium akhir untuk mempertahankan kelangsungan

hidupnya diperlukan terapi penganti yaitu hemodialisis (HD), peritoneal dialysis

mandiri berkesinambungan (Continuos Ambulatory Peritoneal dialysis (CAPD)) atau

transplantasi ginjal (Wilson & Price, 1994 dalam Rindiastuti, 2006). Penyakit

ginjal tahap akhir biasanya ditandai dengan tes klirens kreatinin rendah. Penderita

dengan tes klirens kreatinin mencapai 9 ml per 15 menit dianjurkan untuk menjalani

terapi pengganti, salah satunya adalah dengan dialisis. Tindakan dialisis merupakan

salah satu cara untuk mempertahankan kelangsungan hidup pasien bertujuan

menurunkan kadar ureum, kreatinin dan zat toksik lainnya dalam darah.

Biasanya pasangan yang menderita penyakit kronis seperti gagal ginjal,

merasa bahwa dirinya tidak dapat berfungsi secara maksimal sebagai suami ataupun

istri. Perubahan penampilan peran yang terjadi pada pasien gagal ginjal kronik dari

sehat ke sakit yaitu kehilangan pekerjaan, perubahan peran dalam keluarga, dan

perubahan peran pada masyarakat sekitar merupakan beberapa faktor penyebab stres.

Menurut Lazarus (1976) stres adalah suatu keadaan psikologis individu yang

disebabkan karena individu dihadapkan pada situasi internal ataupun eksternal.

Keadaan stress muncul apabila individu tidak dapat memenuhi tuntutan yang luar

(13)

4

Dari hal ini peneliti mengangap bahwa penelitian ini penting karena penderita

gagal ginjal akan mengalami stress karena penyakit yang dideritanya. Maka dari itu

penderita membutuhkan dukungan dari keluarga terutama pasangannya. Komunikasi

interpersonal sangat berperan untuk mengurangi atau sebagai koping dengan stres

pasien penderita gagal ginjal dan mempererat hubungan suami istri. Seperti pada

penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Sandra, Dewi, dan Dewi (2012)

berdasarkan hasil dari tingkat stres psikologis pada pasien yangmenjalani terapi

hemodialisa didapatkan hasil sesuai aspek stres psikologis berat dan sedang. Pasien

merasakan stres psikologis sedang sebesar 47%, dan stres psikologis berat sebesar

39%. Sejalan dengan penelitian Bare & Smeltzer (2002), bahwa pasien yang

menjalani terapi hemodialisa biasanya menghadapi masalah kesulitan

dalammempertahankan apa yang telah menjadi miliknya, seperti pekerjaan,

perkawinan, dan keuangan. Sebagian besar pasien yang berpartisipasi dalam

penelitian mengeluhkan masalah ini. Kecemasan akan terapi yang dijalani serta

kekhawatiran terhadap penyakit yang diderita hanya 8,3%yang tidak mengatakannya.

GAGAL GINJAL KRONIK

Gagal ginjal merupakan penyakit sistemik dan merupakan jalur akhir yang

umum dari berbagai penyakit traktus urinarius dan ginjal (Bare & Smeltzer, 2002).

Gagal Ginjal Kronis (GGK) adalah suatu sindrom klinis disebabkan penurunan fungsi

ginjal yang bersifat menahun, berlangsung progresif dan cukup lanjut, serta bersifat

persisten dan irreversible (Mansjoer, 2000). Hampir setiap tahunnya sekitar 70.000

(14)

5

Heitkemper, & Dirksen, 2004). Di Indonesia, menurut Rayadi pada tahun 2010

berdasarkan data dari Indonesian Renal Registry, pada tahun 2007 penderita GGK

adalah 4038 orang.

Pasien yang mengalami GGK akan menunjukkan gejala seperti terjadinya

penurunan lemak tubuh, retensi air dalam jaringan, perubahan warna kulit tubuh,

gerakan yang melambat serta adanya penumpukan zat yang tidak diperlukan lagi oleh

tubuh (Lemone & Burke, 2004). Pada pasien GGK terdapat tiga pilihan untuk

mengatasi masalah yang ada yaitu; tidak diobati, dialisis kronis (dialisis peritoneal/

hemodialisa), serta transplantasi. Kebanyakan orang memilih untuk mendapatkan

pengobatan dengan hemodialisa atau transplantasi dengan harapan dapat

mempertahankan hidupnya (Hudak, Gallo, Fontaine, & Morton, 2006).

Menurut Sinaga (2007), bila pasien telah mengalami GGK stadium berat,

untuk mempertahankan hidupnya diperlukan terapi sementara berupa cuci darah

(hemodialisa). Hemodialisis merupakan suatu proses yang digunakan pada pasien

dalam keadaan sakit akut dan memerlukan terapi dialisis jangka pendek (beberapa

hari hingga beberapa minggu) atau pasien dengan GGK yang memerlukan terapi

jangka panjang atau permanen. Fungsi proses hemodialisis adalah mengeluargan zat–

zat nitrogen yang toksik dari dalam darah dan mengeluarkan air yang berlebihan.

Terdapat tiga prinsip yang mendasari kerja hemodialisis, yaitu: difusi, osmosis, dan

ultrafiltrasi.

Menurut Sinaga (2007), pada tahun 2006 ada sekitar 100.000 orang lebih

penderita gagal ginjal di Indonesia. Di Jakarta, khususnya di RSUPN Dr. Cipto

(15)

6

menjalani pengobatan hemodialisa. Sedangkan di Rumah Sakit Umum Daerah

(RSUD) Arifin Achmad Pekanbaru, berdasarkan data Rekam Medik, sampai bulan

Oktober tahun 2009 terdapat 100 orang pasien gagal ginjal yang menjalani

pengobatan hemodialisa secara rutin. Pasien gagal ginjal yang menjalani hemodialisa,

membutuhkan waktu 12-15 jam untuk dialisa setiap minggunya, atau paling sedikit

3-4 jam per kali terapi. Kegiatan ini akan berlangsung terus-menerus sepanjang

hidupnya (Bare & Smeltzer, 2002).

Perubahan yang Terjadi pada Pasien Ginjal yang Menjalani Hemodialisis

Perubahan fisik yang terjadi pada pasien gaga ginjal adalah kecemasan,

penurunan konsentrasi, tremor, kelemahan pada lengan, nyeri ditelapak kaki,

perubahan warna kulit, spenipisan rambut, dsb. Penderita juga memiliki gangguan

reproduksi seperti: amenorhea, atropi, dan penurunan libido yang mengganggu dalam

kehidupan suami istri (Warianto, 2011).

Perubahan psikologis yang dialami pasien terjadi selain pasien harus

melakukan kunjungan rutin ke rumah sakit yang menghabiskan biaya dan waktu

pasien (Sandra, Dewi & Dewi 2012), pasien juga terancam terkena malpraktik dan

ancaman kematian (Sandra, Dewi & Dewi 2012). Kondisi psikologis terparah yang

dialami pasien adalah pasien merasa tidak bisa memenuhi kebutuhan biologis untuk

pasangannya.

Penelitian yang dilakukan oleh Asri, 2006 (dalam Sandra, Dewi & Dewi

2012) melaporkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara dukungan sosial

dan tingkat depresi pasein yang menjalani hemodialisis. Penelitian lain menunjukkan

(16)

7

hidup yang lebih rendah jika dibandingkan dengan pasien yang tidak mengalami

depresi (dalam Sandra, Dewi & Dewi 2012).

Perubahan peran pada kehidupan sosial sangat mempengaruhi kehidupan

pasien. Peran sosial lain yang berubah pada pasien GGK adalah perubahan pekerjaan.

Pasien dengan keterbatasan fisik akan mengalami penurunan kemampuan kerja.

Sedangkan perubahan ekonomi akibat dari penyakit ginjal dan dialysis tidak

hanya terjadi pada individu dan keluarga pasien. Biaya dialisis yang mahal akan

membuat pengeluaran di sektor kesehatan akan meningkat. Menurut data dari

Departemen Kesehatan Indonesia tahun 2016 biaya yang harus dikeluarkan

pertahunnya untuk hemodialisa adalah 96.000.000 rupiah, sedangkan untuk biaya

konsultasi dokter pertahunnya adalah 1.920.000 rupiah. Maka asuransi kesehatan

yang dimiliki akan sangat membantu mengurangi pengeluaran finansial mereka.

Penurunan pengeluaran finansial ini dapat sedikit mengurangi stress psikologis

pasien.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini dibuat dengan tujuan untuk mengetahui apakah komunikasi

interpersonal suami istri memiliki hubungan terhadap koping dengan stres pasangan

(17)

8

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat membawa manfaat praktis dan teoritis, agar

kedepannya dapat bermanfaat bagi banyak pihak. Penelitian ini diharapkan dapat

memberikan informasi dan pengembangan dibidang psikologi klinis, psikologi

keluarga, dan psikologi kesehatan tentang dampak penyakit yang membuat seseorang

terkena stress atau tekanan mental. Dibidang kedokteran dapat menyembuhkan secara

fisik maupun psikologis dari pasien penderita gagal ginjal atau penyakit lainnya.

Dari penelitian ini diharapkan agar para suami atau istri yang memiliki

pasangan yang menderita suatu penyakit agar lebih sabar dalam merawat

pasangannya dan lebih mengetahui lebih lanjut tentang penyakit yang diderita pasien

penderita serta lebih bisa mendukung agar kesembuhan pasien dapat meningkat.

Karena pada dasarnya penyakit fisik dapat menimbulkan penyakit mental, begitu juga

sebaliknya dan akan bertambah parah jika tidak didukung oleh keluarga besar

terutama pasangan. Sedangkan manfaat bagi peneliti adalah agar peneliti dapat

memiliki peran dalam mendukung kesembuhan baik fisik maupun mental pasien,

(18)

9

Komunikasi Interpersonal Suami Istri

Definisi

Di dalam situasi dan konteks yang sangat luas, komunikasi memainkan peran

utama (basic) dan pokok (fundamental). Begitu mendasarnya sehingga dengan

gampangnya komunikasi dipandang sebagai suatu kebenaran dan begitu saja diterima

oleh akal sehat. Menurut Tubbs dan Moss(dalam Mulyana, 2008) komunikasi adalah

proses pembentukan makna di antara dua orang atau lebih. Jadi dari definisi secara

umum, komunikasi memiliki peran mendasar dalam pembentukan makna verbal

maupun nonverbal antara dua orang atau lebih dalam suatu hubungan.

Bentuk khusus dari komunikasi interpersonal adalah komunikasi diadik yang

melibatkan hanya dua orang, seperti suami-istri, sepasang sahabat, dua sejawat dan

lainya. Peristiwa komunikasi dua orang mencakup semua komunikasi informal dan

basa-basi, percakapan sehari-hari yang kita lakukan sejak saat kita bangun pagi

sampai kembali ke tempat tidur.

Oleh karena keampuhan dalam mengubah sikap, kepercayaan, opini dan

perilaku komunikan itulah maka bentuk komunikasi interpersonal serngkali

digunakan untuk menyampaikan komunikasi persuasif (persuasive communication)

yakni suatu teknik komunikasi searah psikologis manusiawi yang sifatnya halus,

luwes berupa ajakan, bujukan atau rayuan. Dengan demikian maka setiap pelaku

komunikasi akan melakukan empat tindakan yaitu membentuk, menyampaikan,

menerima dan mengolah pesan. Keempat tindakan tersebut lazimnya berlangung

secara berurutan dan membentuk pesan diartikan sebagai menciptakan ide atau

(19)

10

Aspek-aspek Komunikasi Interpersonal

Aspek-aspek kemampuan komunikasi tersebut bertolak dari pendapat De Vito

(1995) yaitu keterbukaan (openness) yang berkualitas dari komunikasi interpersonal

meliputi beberapa aspek yaitu kesediaan untuk mengungkap diri (self-disclosure)

pada orang lain yang berinteraksi dengan lingkungannya, kesediaan untuk

menanggapi serta jujur pada setiap stimuli yang diterima serta mengalami dan

bertanggung jawab atas segala pikiran dan perasaan yang diungkapkannya.

Empati yaitu kemampuan untuk merasakan dan mengalami apa yang

dirasakan orang lain yaitu mencoba merasakan dalam cara yang sama dengan

perasaan orang lain. Keakuratan berempati meliputi sensitifitas untuk merasakan

kejadian-kejadian saat ini dan mampu mengerti kata-kata yang diucapkan ketika

komunikasi interpersonal berlangsung.

Dukungan (suportiveness) yang diperlukan dalam komunikasi interpersonal,

meliputi empat aspek yaitu descriptiveness, lingkungan yang deskriptif yaitu

lingkungan yang tidak mengevaluasi orang secara evaluatif sehingga membuat orang

cenderung menjadi defisit. Spontaneity, individu yang berkomunikasi secara spontan

yaitu yang memiliki pandangan ke depan dan terbaik dalam mengungkapkan

pemikirannya, provisionalism, menjadi professional berarti memiliki pemikiran yang

terbuka (open mindedeness), bersedia menerima pandangan orang lain dan bersedia

merubah pandangannya jika memang diperlukan, dan dukungan yang tidak

terucapkan berupa gerakan-gerakan menganggukkan kepala, mengedipkan mata,

(20)

11

Kepositifan (positiveness) terdiri dari tiga hal yaitu: perhatian yang positif

terhadap orang lain sangat mendukung keberhasilan komunikasi interpersonal,

perasaan yang positif sangat bermanfaat untuk mengefektifkan kerjasama, perhatian

dan perasaan yang positif itu harus dikomunikasikan sehingga komunikasi

interpersonal dapat terpelihara dengan baik, mencakup sikap positif terhadap diri

sendiri, orang lain, dan situasi komunikasi.

Kesamaan (equality), komunikasi akan lebih efektif dalam suasana kesamaan

walaupun tidak ada orang yang secara absolut sama dengan orang lain dalam segala

hal. Adapun dalam kesamaan terkandung unsur keinginan untuk saling bekerjasama

dalam memecahkan masalah, hal ini terwujud dalam memandang ketidaksetujuan dan

perselisihan di antara individu yang berkomunikasi, lebih sebagai usaha untuk

memahami perbedaan yang ada.

Keyakinan (confidence), seorang komunikator yang efektif menunjukkan

keyakinan atau kemantapan dalam berkomunikasi diwujudkan dalam bentuk rasa

rileks, tidak canggung, sikap badan dan suara yang fleksibel, tidak terpaku pada

gerakan atau nada suara tertentu.

Kesiapan (immediacy), menunjukkan pada kesiapan melakukan komunikasi

lewat penciptaan rasa tertarik dan perhatian terhadap lawan bicara berupa pemberian

respon atau umpan balik dengan segera, menciptakan kebersamaan antara pembicara

dan pendengar secara verbal maupun non verbal.

Dari teori diatas disimpulkan bahwa komunikasi interpersonal adalah suatu

proses sosial di mana di dalamnya mengandung unsur keterbukaan, empati,

(21)

12

Stres

Definisi Stres

Menurut Lazarus (1976) stress adalah suatu keadaan psikologis individu yang

disebabkan karena individu dihadapkan pada situasi internal ataupun eksternal. Selye

(dalam Rice, 1992) menggolongkan stress menjadi dua, didasarkan atas persepsi

individu terhadap stress yang dialaminya, yaitu: distress (stres negatif) dan eustress

(stres positif).

Menurut Lazarus dan Folkman (dalam Morgan, 1986) kondisi fisik,

lingkungan dan sosial yang merupakan penyebab dari kondisi stress disebut dengan

stressor.Istilah stressor diperkenalkan pertama kali oleh Selye (Rice, 1992). Situasi,

kejadian, atau objek apapun yang menimbulkan tuntutan dalam tubuh dan penyebab

reaksi psikologis ini disebut stressor (Berry, 1998).

Koping dengan Stres

Pada saat mengalami stress, seseorang akan mencari dan menggunakan

berbagai cara untuk mengurangi atau menghilangkan stresnya atau biasa disebut

dengan koping dengan stres (Sarafino, 2006).

Aspek-aspek Koping dengan stres

Studi yang dilakukan oleh Moos dan Schaefer (1984, dalam Ogden, 2007)

menggambarkan tiga proses yang merupakan proses koping: (1) Apraisal Kognitif;

(2) Tugas Adaptif; dan (3) Keterampilan Koping. Apraisal Kognitif adalah tahap

ketidakseimbangan yang dipicu oleh penyakit, individu awalnya menilai keseriusan

(22)

13

pengaruh gagal ginjal saya hidup saya dalam jangka panjang?). Faktor-faktor seperti

pengetahuan, pengalaman sebelumnya dan dukungan sosial dapat mempengaruhi

proses penilaian kognitif ini.

Moos dan Schaefer (dalam Ogden, 2007) menjelaskan tujuh tugas adaptif

(adaptive tasks) yang digunakan sebagai bagian dari proses koping. Ini dapat dibagi

menjadi tiga tugas yang berkaitan secara spesifik dengan suatu penyakit dan empat

umum tugas. Tiga tugas yang berkaitan secara spesifik dengan suatu penyakit dapat

digambarkan sebagai: Berurusan dengan rasa sakit yaitu menderita cacat dan gejala

lainnya, berurusan dengan lingkungan rumah sakit dan prosedur perawatan khusus,

mengembangkan dan mempertahankan hubungan yang memadai dengan staf

perawatan kesehatan. Empat tugas umum dapat digambarkan sebagai: Melestarikan

keseimbangan emosional yang wajar dan memuaskan citra diri, mempertahankan rasa

kompetensi dan penguasaan, mempertahankan hubungan dengan keluarga dan

teman-teman, serta mempersiapkan masa depan yang pasti. Penyakit sering dapat

mengakibatkan hilangnya (misalnya: penglihatan, gaya hidup, mobilitas, hidup).

Tugas ini melibatkan datang untuk berdamai dengan kerugian tersebut dan

mendefinisikan ulang masa depan.

Moos dan Schaefers (dalam Ogden, 2007) mengemukakan serangkaian

keterampilan koping yang diakses untuk menangani krisis penyakit fisik.

Keterampilan koping bisa dikategorikan ke dalam tiga bentuk: a) koping berfokus

penilaian seperti; analisis logis dan persiapan mental, redefinisi kognitif,

(23)

14

informasi dan dukungan, mengambil tindakan pemecahan masalah, mengidentifikasi

imbalan alternatif. dan c) koping terfokus emosi yaitu; afektif, emotional discharge,

resigned acceptance.

Stress pada Penderita Gagal Ginjal Kronik Unit Hemodialis dan Hubungannya

dengan Komunikasi Interpersonal Suami Istri

Moos dan Schaefer, 1984 (dalam Ogden, 2007), mengemukakan bahwa

penyakit fisik seperti gagal ginjal kronik dapat dianggap krisis karena merupakan titik

balik dalam kehidupan individu. Mereka menyarankan bahwa penyakit fisik

menyebabkan perubahan, yang dapat dikonseptualisasikan sebagai krisis seperti

perubahan identitas yaitu penyakit dapat membuat pergeseran identitas, seperti dari

pengasuh untuk pasien, atau dari pencari nafkah untuk orang dengan penyakit.

Perubahan lokasi: penyakit dapat menyebabkan langkah untuk lingkungan baru

seperti menjadi tidur-tak berdaya atau dirawat di rumah sakit. Perubahan peran:

perubahan dari orang dewasa independen untuk bergantung pasif dapat terjadi setelah

penyakit, sehingga peran berubah. Perubahan dukungan sosial: penyakit dapat

menghasilkan isolasi dari teman dan keluarga, mempengaruhi perubahan dukungan

sosial. Perubahan di masa depan: sebuah masa depan yang melibatkan anak-anak,

karier atau perjalanan dapat menjadi tidak pasti.

Selain itu, sifat krisis penyakit dapat diperburuk oleh faktor-faktor yang sering

khusus untuk penyakit seperti: penyakit ini sering tak terduga dan jika penyakit tidak

diharapkan maka individu tidak akan memiliki kesempatan untuk mempertimbangkan

(24)

15

informasi tentang penyakit ini ambigu dan tidak jelas, terutama dalam hal kausalitas

dan hasil. Makna ambigu, karena ketidakpastian tentang kausalitas dan hasil, arti

penyakit bagi seorang individu akan sering ambigu (misalnya, hal itu serius? Berapa

lama itu mempengaruhi saya?). Keputusan diperlukan dengan cepat: penyakit yang

sering membutuhkan keputusan tentang tindakan yang harus dilakukan cepat

(misalnya, harus kami menjalani hemodialisis, kita harus mengambil obat-obatan,

harus kita mengambil cuti dari kerja, kita harus memberitahu teman-teman kita).

Terbatas pengalaman sebelumnya: kebanyakan individu yang sehat sebagian besar

waktu. Oleh karena itu penyakit ini jarang terjadi dan mungkin terjadi untuk individu

dengan pengalaman sebelumnya terbatas. Kurangnya Pengalaman memiliki implikasi

untuk pengembangan strategi mengatasi dan kemanjuran berdasarkan situasi lain

yang sejenis (misalnya, 'Aku tidak pernah punya penyakit kronis apapun sebelumnya,

apa yang harus saya lakukan selanjutnya?') (Moos dan Schaefer, 1984 dalam Ogden,

2007).

Perubahan-perubahan seseorang yang mengalami penyakit khususnya gagal

ginjal berpotensi besar untuk terkena stress. Keadaan ketergantungan pada mesin

dialisa seumur hidupnya serta penyesuaian diri terhadap kondisi sakit mengakibatkan

terjadinya perubahan dalam kehidupan pasien. Perubahan dalam kehidupan,

merupakan salah satu pemicu terjadinya stress. Perubahan tersebut dapat menjadi

dialisis yang diidentifikasikan sebagai stressor (Rasmun, 2004).

Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Yosep (2007), bahwa

(25)

16

yang dimiliki individu. Semakin tinggi kesenjangan terjadi semakin tinggi pula

tingkat dialisis yang dialami individu.

Hawari (2008) mengatakan bahwa keadaan dialisis dapat menimbulkan

perubahan secara fisiologis, psikologis, dan perilaku pada individu yang

mengakibatkan berkembangnya suatu penyakit. Perilaku lain yang sering terjadi pada

pasien yang menjalani hemodialisa adalah ketidakpatuhan terhadap modifikasi diet,

pengobatan, uji dialisis, dan pembatasan asupan cairan (Baradero, Dayrit, & Siswadi,

2009). Hal ini jelas menunjukkan bahwa dampak dialisis lainnya pada pasien yang

menjalani hemodialisa adalah dapat memperburuk kesehatan pasien dan menurunkan

kualitas hidupnya.

Walaupun pasien bisa bertahan hidup dengan bantuan mesin hemodialisis,

namun masih menyisakan sejumlah persoalan penting sebagai dampak dari penyakit

dan terapi hemodialisis (Ibrahim, 2009). Dampak terapi hemodialisis berpengaruh

pada keterbatasan pasien untuk bekerja, sehingga meskipun biaya dialysis dibantu,

akan menimbulkan masalah besar dalam hal keuangan dipihak pasien dan

keluarganya.

Komunikasi yang dibangun sejalan dengan status perkawinan antara suami

dan istri sangat menentukan sejauh mana penderita dapat mengatasi stresnya. Hal ini

dikuatkan oleh pendapat Bare & Smeltzer (2002), tentang pasien gagal ginjal kronik

yang menghadapi berbagai permasalahan keuangan, kesulitan mempertahankan

pekerjaan, diringan seksual yang menghilang serta terjadi impotensi, kekhawatiran

terhadap perkawinan dan ketakutan terhadap kematian dapat menjadi stressor

(26)

17

Keluarga serta sahabat pasien yang memandang pasien sebagai orang yang

mempunyai keterbatasan dalam melakukan aktivitas sosial yang dapat menimbulkan

konflik, frustasi serta rasa bersalah dalam keluarga (Bare & Smeltzer, 2002). Stressor

seperti itu dapat sedikit berkurang dengan adanya komunikasi interpersonal suami

istri.

Hipotesis Penelitian

Hipotesis Nol (Ho)

Komunikasi interpersonal suami istri tidak memiliki hubungan dengan

koping dengan stres penderita gagal ginjal kronik.

Hipotesis alternatif (Ha)

Komunikasi interpersonal suami istri berhubungan dengan koping dengan

(27)

18

METODE

Partisipan

Peneliti menggunakan purposive sampling yang merupakan metode

penetapan parisipan untuk dijadikan sampel berdasarkan kriteria tertentu, yaitu

seluruh pasien hemodialisis di RSUD Kota Salatiga yang sudah diobservasi pada

bulan Maret 2016. Jumlah pasien yang menjalani terapi di unit hemodialisa diperoleh

35 orang dalam periode tersebut rentang usia 30-60 tahun dan dipilih mereka yang

telah menikah dengan rentang usia pernikahan minimal 10 tahun.

Alasan peneliti memilih rentang usia pernikahan karena menurutStrong dan

De Vault (1989), masa ini meliputi fase perkenalan awal diikuti oleh fase menetap.

Selama fase perkenalan, satu sama lain saling mengenal kebiasaan sehari-hari.

Pada fase menetap, pasangan masih mengejar karir, memutuskan memiliki

anak dan mengatur peran masing-masing. Mereka saling menyesuaikan harapan

sesuai dengan peran yang atas dasar gender, hukum, dan pengalaman pribadi yang

dipelajarinya. Satu sama lain saling memberikan pendapatnya tentang pembagian

peran yang akan dijalankan sebagai pasangan suami istri.

Skala Pengukuran Instrumen Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti memodifikasidua skala penelitian yaitu: skala

komunikasi interpersonal suami istri dan skala koping dengan stress penderita gagal

ginjal kronik. Instrumen pertama yaitu komunikasi interpersonal suami istri, peneliti

menggunakan aspek-aspek dalam skala psikologis dalam teori DeVito (2002) yaitu

(28)

19

Skala ini mempunyai 50 pernyataan, dalam bentuk skala likert dengan 4 alternatif

jawaban yaitu sangat setuju, setuju, tidak setuju, dan sangat tidak setuju.

Sedangkan pada instrumen kedua, peneliti menggunakan teori koping dengan

stress dari Moos dan Schaefer (1984, dalam Ogden, 2007) dengan aspek yang

menggambarkan tiga proses yang merupakan proses koping: (1) cognitive appraisal;

(2) adaptive tasks; dan (3) coping skill. Peneliti menggunakan skala yang sudah

dibuat dan diuji coba oleh Wulandari (2016) pada penelitian sebelumnya dalam

bentuk skala Likert dengan design 4 alternatif jawaban yaitu sangat setuju, setuju,

tidak setuju, dan sangat tidak setuju dengan α = 0.962.

HASIL

Uji Reliabilitas dan Seleksi Item

Uji reliabilitas komunikasi interpersonal suami istri dengan menggunakan

Alpha Cronbach dilakukan sebanyak dua kali putaran. Pada putaran pertama dari 50

pernyataan ditemukan 23 item dengan koefisien reliabilitas 0.775.

Pada skala koping dengan stress hasil uji reliabilitas dan daya diskriminasi

item pada tahap uji coba diperoleh koefisien reliabilitas sebesar 0.962, berarti alat

(29)

20

Analisis Deskriptif

Peneliti mengelompokkan skor dari setiap skala menjadi 5 kategori skor dari

mulai “sangat rendah” sampai “sangat tinggi” (Hadi, 2000, dalam Wulandari, 2016).

Table 1 dan 2 menunjukkan skor dari setiap variabel.

Tabel 1. Kriteria skor untuk komunikasi interpersonal suami istri

No Interval Kategori F Presentase Mean

1 66,125 ≤ X Sangat tinggi 24 68,571%

2 57,5 ≤ X < 66,125 Tinggi 11 31,42% 68,74

3 48,87 ≤ X ≤ 57,5 Rendah

4 X < 48,87 Sangat rendah

Total : 35

Min : 58 Max: 83 Std: 17,67

Tabel 2. Kriteria skor untuk koping dengan stress

No Interval Kategori F Presentase Mean

1 120,75 ≤ X Sangat tinggi 35 100%

2 105 ≤ X < 120,75 Tinggi 144,6

3 89,25 ≤ X < 105 Rendah

4 X ≤ 89,25 Sangat rendah

Total : 35

(30)

21

Uji Asumsi

1. Uji Normalitas

Uji normalitas penelitian ini menggunakan Uji Kolmogrov-Smirnov (K-S).

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

Normal Parametersa Mean 68.74 144.60

Std. Deviation 5.458 13.070

Most Extreme Differences Absolute .134 .236

Positive .132 .236

Negative -.134 -.157

Kolmogorov-Smirnov Z .792 1.396

Asymp. Sig. (2-tailed) .556 .041

a. Test distribution is Normal.

Hasil Uji Kolmogrov-Smirnov pada komunikasi interpersonal suami istri

dengan hasil probabilitas 0,792 (0.792 > 0.05), dan koping dengan stress 1,396 yang

artinya data penelitian ini berdistribusi normal.

2. Uji Linieritas

Hasil uji linieritas variabel komunikasi interpersonal terhadap koping dengan

stres. Berdasarkan nilai signifikansi dari output spps pada Tabel. 4 menghasilkan nilai

signifikansi= 0,995 lebih besar dari 0,05, artinya terdapat hubungan linier secara

signifikan antara variable komunikasi interpersonal (X) terhadap koping dengan

(31)

22

Ftable maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan linier yang signifikan antara

komunikasi interpersonal suami istri terhadap koping dengan stress penderita gagal

ginjal kronik.

Hasil Uji Hipotesis

Berdasarkan uji korelasi komunikasi interpersonal suami istri terhadap koping

dengan stress, menunjukkan hubungan kuat antar variabel dengan r = 0,632 (p>0,05).

Seperti yang ditujukkan Tabel 5. pada uji korelasi.

Tabel 5. Uji Korelasi Pearson Product Moment

komunikasi interpersonal

koping dengan stres

komunikasi interpersonal Pearson Correlation 1 .084

Sig. (2-tailed) .632

N 35 35

koping dengan stres Pearson Correlation .084 1 Sig. (2-tailed) .632

(32)

23

Dari hasil perhitungan diatas menunjukkan hubungan yang rendah dengan

koefisien korelasi (Rxy) = 0,632. Sedangkan kontribusi atau sumbangan secara

simultan variabel komunikasi interpersonal suami istri terhadap koping dengan stres

R² = 0,243. Artinya komunikasi interpersonal suami istri memiliki hubungan yang

cukup kuat terhadap koping dengan stress pasien GGK yaitu sebesar 24,3%.

Sedangkan sisanya disumbangkan dari faktor lain pada penelitian Mutoharoh (2009),

yaitu mekanisme koping maladaptif dari pasien GGK, lalu pada penelitian Armiyati

dan Rahayu (2014), mekanisme koping yang adaptif berhubungan dengan berapa

lama pasien menderita GGK.

PEMBAHASAN

Hasil analisa deskriptif kriteria skor yang diperoleh dari komunikasi

interpersonal suami istri masuk kedalam kategori sedang hingga sangat tinggi, dan

kriteria skor untuk koping dengan stress pernderita GGK menghasilkan kategorisasi

skor tinggi hingga sangat tinggi. Oleh karena perolehan skor antara komunikasi

interpersonal suami istri dan koping dengan stress penderita GGK sangat tinggi hal

itu berarti komunikasi interpersonal suami istri memiliki hubungan terhadap koping

dengan stres dari pasien penderita GGK RSUD Kota Salatiga.

Hasil dari teori komunikasi interpersonal suami istri yang dikemukakan oleh

De Vito (1995) 6 dari 7 aspek memiliki hubungan dengan koping dari stress penderita

gagal ginjal kronik. Aspek-aspek yang berhubungan antara lain seperti: keterbukaan

(33)

24

dan kesiapan. Sedangkan aspek kesamaan (equality) tidak berhubungan terhadap

koping dengan stres penderita GGK karena pernyataan dari aspek tersebut seluruhnya

gugur pada saat pengolahan data.

Berdasarkan uji korelasi pada komunikasi interpersonal terhadap koping

dengan stress penderita GGK ditemukan bahwa R² = 0,243, yang berarti hanya 24,3%

sumbangan dari komunikasi interpersonal suami istri. Sedangkan sisanya 75,7%

ditentukan oleh faktor-faktor lain yang ditemukan pada kajian kepustakaan, yaitu

hubungan mekanisme koping maladaptif oleh pasien GGK yang memiliki harapan

akan efikasi diri rendah pada kemampuan yang dimiliki untuk melaksanakan tugas

dengan sukses (Mutoharoh, 2009), lalu hubungan antara lamanya pasien menderita

GGK dengan mekanisme koping adaptif dalam penelitian ini pasien memiliki upaya

untuk mengantisipasi keadaan yang menjadi stressor, sehingga pasien dapat lebih

(34)

25

KESIMPULAN DAN SARAN

Dari hasil uji hipotesis penelitian Ha diterima atau dapat dikatakan bahwa

komunikasi interpersonal memiliki hubungan yang kuat dengan koping penderita

gagal ginjal kronik. Faktor yang terkait dengan koping menurut beberapa penelitian

sebelumnya yaitu koping maladaptif yang berhubungan dengan efikasi diri rendah,

aktivitas spiritual yang juga berhubungandengan koping penderita, serta mekanisme

koping adaptif yang berhubungan dengan lamanya pasien menderita GGK di RSUD

Kota Salatiga.

Peran keluarga, dokter dan perawat disekitar pasien sudah banyak membantu.

Berkaca pada keterbatasan peneliti saat melakukan penelitian, peneliti menemukan

banyak hal yang perlu diperhatikan sebelum melakukan penelitian yaitu tentang

keadaan pasien saat menjalani hemodialisis yang lebih mudah lelah dan lebih banyak

tertidur, oleh karena itu observasi tentang keadaan pasien menjadi penting sebelum

melakukan penelitiaan. Perolehan responden dari pasien GGK di RSUD Kota

Salatiga hanya terbatas 30 orang pasien dewasa dari total responden 35 orang yang

sisianya diperoleh peneliti dari lingkungan tempat tinggal peneliti,akan lebih baik lagi

jika memperluas ruang penelitian, misalnya bekerja sama dengan rumah sakit lain,

atau mencari responden di luar rumah sakit. Reliabilitas dan validitas alat ukur adalah

hal yang juga perlu di perhatikan, serta akan lebih baik lagi jika alat ukur yang akan

(35)

26

DAFTAR PUSTAKA

Ananda. W. K. (2009). Coping with stress pelayanan pada pendeta Gereja Kristen Jawa di Salatiga. Skripsi tidak diterbitkan. Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana.

Armiyati.Y. & Rahayu.Y. (2014). Faktor yang berkorelasi terhadap mekanisme koping pasien CKD yang menjalani hemodialisis di RSUD Kota Semarang.

Skripsi tidak diterbitkan. Semarang: Universitas Muhammadiyah.

Baradero, M., Dayrit, M.W., Siswadi, Y. (2009).Seri asuhan keperawatan: Klien gangguan ginjal.Jakarta: EGC.

Bare, B.G. & Smeltzer, S.C. (2002). Buku ajar: Keperawatan medikal bedah. Brunner &Suddarth. (Edisi ke-8), (H.Y.Kuncara., dkk, Terj.).Jakarta: EGC. (Naskah asli dipublikasikan tahun1996).

Berry, L.M. (1998). Psychology at work: An introduction to organization psychology.(2nd ed). New York: McGraw Hill.

Carlson, D. (2004). Mengatasi keletihan dan stress. Yogyakarta: ANDI Offset.

Carpenter, B. (1992). Personal coping: Theory, research, and application. London: Greenwood Publishin Group.

De Vito, J. (1997). Komunikasi antar manusia. Jakarta : Professional Books.

Faradilla.N. (2009).Gagal ginjal kronik. Pekanbaru, Riau: Universitas Riau.Diakses tanggal 10 januari 2016 darihttp://www.Files-of-DrsMed.tk.

Hawari, D. (2008). Manajemen stres cemas dan depresi. Jakarta: FKUI.

Hudak, C.M., Gallo, B.M., Fontaine, D.K., & Morton, P.G. (2006).Critical care nursing: Aholistic approach. (8thed). Lippincott:Williams& Wilkins.

http://www.depkes.go.id/article/print/16013000003/rsup-sanglah-siap-layani- cangkok-ginjal.html. (Diakses tanggal 2 November 2016).

http://margonoskep.blogspot.co.id/2010/03/hemodialisa.html (diakses tanggal 10 Januari 2016).

(36)

27

Indrawati, S.W., Maslihan.S.,& Wulandari, A. (2010). Study tentang religiusitas, drajat stres dan strategi penanggulangan stres (coping with stress) pada pasangan hidup pasien gagal ginjal kronik yang mengalami terapi hemodialisa. Skripsi tidak diterbitkan. Jakarta: Universitas Pendidikan Indonesia.

assessmentand management of clinical problems(6th ed). Mosby: Elsevier, Inc.

Mansjoer, A. (2002). Gagal ginjal kronik. kapita selekta kedokteran. (Jilid II edisi 3).

Jakarta: Media Aesculapius FKUI.

Mulyana, D. (2008). Komunikasi efektif: Suatu pendekatan lintas budaya. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Mulyani. (2011). Hubungan antara dukungan sosial dengan stress pada mahasiswa jurusan psikologi Binus University yang sedang menyelesaikan skripsi. Skripsi tidak diterbitkan. Jakarta: Universitas Bina Nusantara.

Mutoharoh, I. (2009). Faktor-faktor yang berhubungan dengan mekanisme koping klien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisa di RSUP Fatmawati tahun 2009. Skripsi tidak diterbitkan. Jakarta: Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah.

Morgan, C.T. King, R.A. Wesz, J.R. & Schopler, J. (1989).Introduction to psychology.(7thed). Singapore: McGraw-Hill.

Ogden, J. (2007). Health psychology a textbook.(4thed). British: McGraw-Hill.

Rakhmat, J. (2008). Psikologi Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Rice. (1992). Stress & Health. (2nded). California: Brooks/Cole Publishing Company.

Rindiastuti, Y. (2008). Deteksi dini dan pencegahan penyakit gagal ginjal kronis. Skripsi tidak diterbitkan. Surakarta: Universitas Negri Surakarta.

(37)

28

Sandra, W., Dewi.N., & Dewi. Y. (2012).Gambaran stress pada pasien gagal ginjal terminal yang menjalani terapi hemodialisa di Rumah Sakit Umum Daerah Arifin Achmad Pekanbaru. Jurnal keperawatan, 2(2). Riau: Universitas Riau.

Sarafino, E.P. (1994). Health psychology.(2nded). New York: John Wiley and Sons.

Solichatun, Y. (2011). Stres dan staretegi coping pada anak didik di Lembaga Pemasyarakatan Anak. Jurnal Psikologi Islam. Malang: Universitas Negeri Malang.

Sinaga, U.M. (28 Juli 2007). Peran dan tanggung jawab masyarakat dalam masalah pengadaan donor organ manusia. Diakses tanggal 12 Januari 2016 dari

http://www.usulmajadisinaga.pdf.

Siregar, S. (2014). Statistik parametik untuk penelitian kuantitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Taylor, S.E. (2003). Health psychology (5thed). New York: McGraw Hill

Timiswla, J. (2012). Coping with stress remaja pasca abortus Provocatus Criminalise. Skripsi diterbitkan. Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana.

Warianto.C. (2011).Gagal ginjal. Artikel Publikasi.

West, R, & Turner, L.(2008). Teori komunikasi: Analisis dan aplikasi (6thed). Jakarta: Salemba Humanika.

Wood, J. (2013). Komunikasi interpersonal: Interaksi keseharian. Jakarta: Salemba Humanika.

Wulandari, R. (2016). Koping dengan stres dan dukungan social keluarga sebagai prediktor motivasi sembuh pada penderita kanker serviks. Skripsi tidak diterbitkan. Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana.

Gambar

Table 1 dan 2 menunjukkan skor dari setiap variabel.
Tabel 3. Uji Normaitas Kolmogorov-Smirnov
Tabel 4. Uji Linieritas Anova

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui ada tidaknya: (1) pengaruh Pemanfaatan Internet terhadap Prestasi Belajar Kearsipan Siswa kelas X Kompetensi

Data Primer adalah data utama yang diperoleh secara langsung dari lapangan. Data primer diperoleh dari wawancara dengan pihak-pihak terkait yang mengetahui

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rataan persentase parasitisasi tertinggi terdapat pada P3T2 (0,54%), rataan persentase tertinggi larva menetas menjadi imago terdapat

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk: (1) mengetahui sejauh mana peningkatan pemahaman siswa kelas VII SMP Kanisius Bambanglipuro Bantul pada materi gerak

1. Kawasan Lindung, yang terdiri dari : a) Kawasan hutan lindung; b) Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya; c) Kawasan perlindungan

sistem pusat permukiman nasional, arahan pengembangan sistem jaringan. transportasi nasional, arahan pengembangan jaringan prasarana

Bakteri mikroaerob yaitu bakteri yang dapat tumbuh baik dengan adanya sedikit oksigen tetapi dalam konsenterasi yang

Tidak ada pengaruh metode poster terhadap perubahan perilaku jajanan sehat siswa SD X, kecuali untuk perilaku Tindakan responden ada pengaruh perubahan Tindakan