• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMAHAMAN DAN MISKONSEPSI TENTANG KONSEP GERAK DAN GAYA PADA SISWA KELAS XI IPA SMAN I TITEHENA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMAHAMAN DAN MISKONSEPSI TENTANG KONSEP GERAK DAN GAYA PADA SISWA KELAS XI IPA SMAN I TITEHENA"

Copied!
244
0
0

Teks penuh

(1)

PEMAHAMAN DAN MISKONSEPSI TENTANG KONSEP

GERAK DAN GAYA PADA SISWA KELAS XI IPA

SMAN I TITEHENA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Fisika

Disusun oleh:

Anastasia Jawa De Ornay (121424047)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2017

(2)

i

PEMAHAMAN DAN MISKONSEPSI TENTANG KONSEP

GERAK DAN GAYA PADA SISWA KELAS XI IPA

SMAN I TITEHENA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Fisika

Disusun oleh:

Anastasia Jawa De Ornay (121424047)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2017

(3)
(4)
(5)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

Serahkan kuatirmu pada TUHAN,

maka ia akan memelihara Engkau!

(Mzm 55:23)

Dengan penuh syukur kupersembahkan karyaku kepada:

Tuhan, leluhurku, serta para kudus yang selalu menuntun setiap langkahku

Bapak dan Mama tercinta

Cinona, Deddy, Dominggo, Diana, dan Gradil

(6)
(7)
(8)

vii ABSTRAK

Anastasia Jawa De Ornay. 2017. PEMAHAMAN DAN MISKONSEPSI TENTANG KONSEP GERAK DAN GAYA PADA SISWA KELAS XI IPA SMAN I TITEHENA. Skripsi, Program Studi Pendidikan Fisika, Jurusan Pendidikan Matematika dan IPA, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Pembimbing: Prof. Dr. Paul Suparno, S.J., M.S.T.

Kata Kunci: Pemahaman, Miskonsepsi, Gerak, Gaya

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) Tingkat pemahaman siswa kelas XI IPA SMAN I Titehena tahun ajaran 2016/2017 tentang konsep gerak dan gaya, (2) terjadinya miskonsepsi pada pemahaman siswa kelas XI IPA SMAN I Titehena tahun ajaran 2016/2017 tentang konsep gerak dan gaya, (3) penyebab miskonsepsi pada pemahaman konsep mekanika oleh siswa kelas XI IPA SMAN I Titehena tahun ajaran 2016/2017. Data dianalisis secara kuantitatif dan kualitatif. Untuk data kuantitatif dianalisis dengan mengunakan CRI.

Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 8 Agustus 2016 dan 15 Agustus 2016 dengan mengambil sampel seluruh siswa kelas XI IPA SMAN I Titehena yang berjumlah 10 orang. Instrumen yang digunakan yaitu soal tes tertulis untuk melihat pemahaman dan miskonsepsi siswa tentang konsep gerak dan gaya dan soal wawancara untuk memperkuat hasil tes tertulis serta mengetahui penyebab terjadinya miskonsepsi pada siswa.

Hasil dari penelitian ini adalah: (1) Tingkat pemahaman tertinggi tentang konsep gerak dan gaya hanya mencapai 50% dengan pemahaman bahwa agar sebuah benda yang bergerak tetap bergerak maka harus diberi gaya dari luar. (2) Tingkat miskonsepsi tertinggi mencapai 80% dengan miskonsepsi bahwa benda dengan massa yang berbeda dijatuhkan dari ketinggian yang sama, maka benda dengan massa yang lebih besar akan lebih dahulu mencapai tanah. (3) Penyebab miskonsepsi tidak dapat diketahui secara jelas, namun ada kemungkinan salah satu penyebabnya adalah siswa tidak membaca buku teks dengan lengkap dan benar sehingga siswa perlu dilatih oleh guru cara membaca buku teks secara lengkap dan jelas.

(9)

viii ABSTRACT

Anastasia Jawa De Ornay. 2017. THE UNDERSTANDING AND MISCONCEPTION ABOUT THE CONCEPT OF MOTION AND FORCE IN CLASS XI IPA SMAN I TITEHENA. Thesis, Physical Education Study Program, Departement of Mathematic and Natural Science, Faculty of Teacher Training and Education, Sanata Dharma University, Yogyakarta. Supervisor: Prof. Dr. Paul Suparno, S.J., M.S.T.

Keyword: Understanding, Misconception, Motion, Force

This study aims to determine: (1) The level of understanding of class XI IPA SMAN I Titehena about the concept of motion and force, (2) the misconception and understanding of class XI IPA SMAN I Titehena about the concept of motion and force, and (3) the cause of misconception and understanding of class XI IPA SMAN I Titehena about the concept of motion and force for the academic year 2016/2017. Data were analyzed quantitatively and qualitatively. For quantitative data were analyzed using CRI.

This study was conducted on August 8, 2016 and Agustus 15, 2016 by taking sample of all students in grade XI IPA SMAN I Titehena, total 10 students. Instruments used are a matter of written test to determine student’s understanding and misconception about the concept of motion and force; and interview to reinforce the result of written test and find out the cause of misconception.

The result of this study are: (1) The highest level of understanding of concept of motion and force by 50% with the understanding that in order for a moving object to keep moving then it should be given the force from the outside. (2) The highest level of mosconception of concept of motion and force by 80% with the misconception that object with different masses dropped from the same height and the same time then that will be up first on the ground is an object with a mass greater. (3) Misconception cause can not be clearly known. But it is possible one of the causes is students do not read textbooks properly. Therefore need to be trained by teachers how to read textbooks properly.

(10)

ix

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur peneliti panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan rahmat-Nya, sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pemahaman dan Miskonsepsi tentang Konsep Gerak dan Gaya pada Siswa Kelas XI IPA SMAN I Titehena”. Peneliti menyadari bahwa dalam proses penyusunan skripsi ini ada begitu banyak pihak yang telah berkontribusi besar dalam proses pengerjaan skripsi ini. Oleh karena itu, peneliti ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Romo Prof. Dr. Paul Suparno, SJ. M.S.T., selaku dosen pembimbing skripsi yang selalu membimbing, memberikan arahan dan sumbangan pikiran kepada peneliti sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini.

2. Bapak Konrardus Kudarto, S.Pd., selaku kepala SMAN I Titehena yang telah memberikan izin bagi peneliti untuk melakukan penelitian di sekolah tersebut.

3. Ibu Yustina Tuti Lein, S.Pd., selaku guru Fisika SMAN I Titehena yang telah bersedia memberikan kesempatan kepada peneliti untuk meneliti di kelas yang beliau ampu.

4. Bapak Drs. Severinus Domi, M.Si., selaku validator instrumen yang digunakan peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini.

5. Teman-teman kelas XI IPA SMAN I Titehena atas kerjasamanya selama penelitian berlangsung.

6. Bapak Dalu Bernadus, S.Pd., Mama Ignasia Pola Da Silva, S.Pd., adik Cinona, Deddy, Dominggo, Diana dan Gradil yang selalu memberikan

(11)

x

semangat, kasih sayang, doa kepada peneliti, serta membantu persiapan penelitian sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini.

7. Dominikus Emanuel yang selalu mengingatkanku sehingga dapat segera menyelesaikan skripsi ini

8. Agnes Plewan Bine Jawan selaku partner skripsi yang senantiasa mengingatkan, menyemangati, dan membantu peneliti selama proses penyusunan skripsi.

9. Theresia Emilia Woghe yang telah membantu menjelaskan hal-hal yang diperlukan dalam menyelesaikan skripsi ini.

10. Segenap dosen program studi pendidikan Fisika yang telah membimbing, mendidik, membagikan ilmu, dan pengalaman kepada peneliti selama belajar di Universitas Sanata Dharma.

11. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah mendoakan dan membantu peneliti dalam menyusun skripsi ini.

Akhir kata peneliti berharap, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembacanya dan dapat dikembangkan menjadi penelitian yang lebih baik.

(12)

xi DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Manfaat Penelitian ... 6

BAB II. LANDASAN TEORI ... 7

A. Konsep ... 7

B. Pemahaman Konsep ... 7

C. Miskonsepsi ... 8

(13)

xii

E. Mendeteksi dan Mengatasi Miskonsepsi ... 19

F. Miskonsepsi pada Bidang Mekanika ... 20

G. Konsep Gerak dan Gaya ... 22

BAB III. METODE PENELITIAN ... 42

A. Jenis Penelitian ... 42

B. Waktu dan Tempat ... 42

C. Desain penelitian ... 43

D. Partisipan ... 44

E. Instrumen ... 44

F. Validitas dan Reliabilitas Instrumen ... 50

G. Metode Analisis Data ... 51

BAB IV. DATA DAN ANALISIS DATA ... 56

A. Deskripsi Pelaksanaan Penelitian ... 56

B. Hasil dan Analisis Data ... 58

C. Pembahasan ... 68

D. Keterbatasan Penelitian ... 77

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 79

A. Kesimpulan ... 79

B. Saran ... 80

DAFTAR PUSTAKA ... 83

(14)

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Penelitian Tentang Miskonsepsi pada Bidang Mekanika pada

Level SMA ... 21

Tabel 3.1. Keyakinan Jawaban Siswa Berdasarkan CRI ... 43

Tabel 3.2. Kisi-Kisi Soal Tes Tertulis ... 45

Tabel 3.3. Kisi-Kisi Wawancara ... 49

Tabel 3.4. Kriteria Pengelompokan Siswa Berdasarkan CRI ... 51

Tabel 3.5. Kriteria Penilaian Soal ... 51

Tabel 3.6. Contoh Kombinasi antara Setiap Pertanyaan yang Diberikan dengan CRI ... 52

Tabel 3.7. Format Analisis Data Tes Tertulis untuk Seluruh Siswa ... 52

Tabel 3.8. Kategori Pemahaman siswa ... 54

Tabel 4.1. Persentase Tingkat Pemahaman Siswa untuk Setiap Soal ... 59

Tabel 4.2. Persentase Miskonsepsi Siswa untuk Setiap Soal ... 61

Tabel 4.3. Jumlah dan Persentase Pemahaman dan Miskonsepsi untuk Seluruh Soal pada Setiap Partisipan ... 62

Tabel 4.4. Persentase Pemahaman Berdasakan Sub Topik ... 63

Tabel 4.5. Persentase Miskonsepsi Berdasarkan Sub Topik ... 64

Tabel 4.6. Bentuk Pemahaman Siswa Berdasarkan Sub Topiknya ... 64

Tabel 4.7. Bentuk Miskonsepsi Siswa Berdasarkan Sub Topiknya ... 66

(15)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat Keterangan Telah Melaksanakan Penelitian ... 86

Lampiran 2. Surat Permohonan Izin Penelitian ... 87

Lampiran 3. Surat Keterangan Validasi Instrumen Soal Tes ... 88

Lampiran 4. Soal Tes Tertulis ... 97

Lampiran 5. Soal Wawancara ... 109

Lampiran 6. Kunci Jawaban Tes Tertulis ... 112

Lampiran 7. Sampel Lembar Jawaban ... 113

Lampiran 8. Data Hasil Tes Tertulis ... 138

Lampiran 9. Transkrip Wawancara ... 147

Lampiran 10. Rangkuman Transkrip Wawancara ... 176

Lampiran 11. Transkrip Jawaban dan Alasan Partisipan ... 182

Lampiran 12. Rangkuman Transkrip Jawaban dan Alasan Partisipan ... 206

Lampiran 13. Data Bentuk Pemahaman dan Miskonsepsi... 224

(16)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hampir setiap kegiatan manusia di dunia ini berkaitan langsung dengan konsep fisika. Salah satu contoh dari konsep fisika yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari adalah memanaskan air yang merupakan peristiwa perpindahan kalor. Ilmu fisika merupakan ilmu yang sebenarnya sudah kita dapatkan dari peristiwa-peristiwa fisika di sekitar kita. Peristiwa-peristiwa fisika ini kemudian dipelajari kembali dalam pelajaran fisika di sekolah. Menurut Van Den Berg (1991) siswa tidak mengikuti pelajaran fisika dengan kepala kosong yang dapat diisi dengan pengetahuan fisika. Tetapi sebaliknya kepala siswa sudah memiliki pengalaman dan pengetahuan yang berhubungan dengan pelajaran yang diajarkan.

Pengalaman-pengalaman tersebut membentuk intuisi dan “teori siswa” mengenai peristiwa-peristiwa fisika dalam lingkungan sehari-hari. Intuisi dan “teori” yang dibuat belum tentu benar atau sesuai dengan konsep fisika yang sudah ditemukan oleh ahli sebelumnya. Pada beberapa penelitian dalam lingkup pendidikan fisika tentang miskonsepsi ditemukan banyak siswa secara tidak sengaja mengembangkan konsep yang salah secara terus menerus.

Miskonsepsi didefinisikan sebagai kesalahpahaman tentang sebuah konsep atau pemahaman konsep yang tidak sesuai yang mungkin terjadi

(17)

selama proses belajar mengajar. Van Den Berg (1991) menjelaskan bahwa miskonsepsi adalah pola berfikir yang konsisten pada suatu situasi atau masalah yang berbeda-beda tetapi pola berfikir itu salah, atau dengan kata lain konsep siswa bertentangan dengan konsep fisikawan, biasanya menyangkut hubungan antar konsep, sedangkan menurut psikologi kognitif timbulnya miskonsepsi disebabkan adanya asimilasi dan akomodasi pada otak manusia dalam menanggapi dan memahami informasi yang baru diterimanya.

Menurut Piaget dalam Robert E. Slavin (2008), pengertian asimilasi adalah proses memahami suatu objek atau peristiwa baru dari skema yang ada, sedangkan akomodasi adalah proses mengubah skema yang ada agar sesuai dengan situasi baru. Proses perubahan perkembangan dari asimilasi ke akomodasi ini, yang dapat menyebabkan miskonsepsi pada suatu konsep. Miskonsepsi disebabkan oleh berbagai hal misalnya; siswa, guru, sumber belajar, pengalaman kehidupan dan sebagainya.

Dalam pembelajaran miskonsepsi terjadi apabila guru tidak memperhatikan miskonsepsi yang sudah terjadi sebelum pelajaran dimulai, ataupun tidak mampu menanamkan konsep yang benar dalam kegiatan pembelajaran tersebut, maka miskonsepsi tersebut akan berlanjut dan digunakan oleh siswa sampai ke sekolah tinggi. Hal ini berlanjut, dikarenakan konsep-konsep fisika selalu berhubungan satu sama lain sehingga, jika terjadi miskonsepsi pada konsep sebelumnya kemungkinan mempengaruhi pembelajaran konsep selanjutnya yang berhubungan dengan konsep tersebut.

(18)

Miskonsepsi banyak terjadi dalam pembelajaran fisika. Dalam artikel Research on Alternative Conceptions in Science (Wandersee, Minzes, dan Novak 1994 dalam Suparno 2005), menjelaskan bahwa konsep alternatif terjadi dalam semua bidang fisika. Dari 700 studi mengenai konsep alternatif bidang fisika, dan 300 yang meneliti tentang miskonsepsi dalam mekanika; 159 tentang listrik; 70 tentang panas; optika dan sifat-sifat materi; 35 tentang bumi dan antariksa; serta 10 studi mengenai fisika modern. Dalam artikel ini dapat dilihat bahwa bidang mekanika berada pada tingkat yang pertama yang banyak mengalami miskonsepsi.

Penelitian yang dilakukan oleh Martina yang berjudul “Pemahaman dan Miskonsepsi Konsep Gaya pada Siswa di Empat Sekolah Menengah Atas Swasta di Daerah Istimewa Yogyakarta,” menunjukan bahwa masih banyak terjadi miskonsepsi pada konsep gaya. Dalam penelitian ini miskonsepsi terjadi pada konsep kinematika, Hukum I Newton, Hukum II Newton, Hukum III Newton, Prinsip Superposisi, dan macam-macam gaya. Dalam Tesis Cicilia Saw (1990 dalam Van den Berg 1990) yang meneliti miskonsepsi siswa mengenai gaya pada benda rihat. Hasil dari penelitian menunjukan bahwa miskonsepsi gaya pada benda diam, menentukan gaya normal dalam suatu sistem, Hukum Newton I, Hukum Newton III.

Miskonsepsi juga terjadi dalam materi gerak, misalnya dua benda yang mempunyai massa yang berbeda dijatuhkan dalam waktu dengan ketinggian yang sama. Banyak sekali siswa yang menjawab bahwa benda yang mempunyai massa yang lebih berat akan menyentuh lantai terlebih dahulu

(19)

sedangkan dalam konsep fisika massa tidak berpengaruh pada benda yang mengalami peristiwa gerak jatuh bebas, dan masih banyak sekali miskonsepsi yang terjadi dalam materi gerak.

Beberapa hasil penelitian di atas menginspirasi peneliti untuk melakukan penelitian tentang miskonsepsi yang berhubungan dengan konsep Gerak dan Gaya. Penelitian ini akan dilakukan di sekolah yaitu pada SMAN I Titehena, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Penelitian dilakukan di tempat ini, karena pada SMAN I Titehena, ini belum pernah dilakukan penelitian yang berhubungan dengan miskonsepsi. Selain itu, jumlah siswa kelas XI IPA SMAN I Titehena termasuk sedikit yaitu berjumlah 10 orang.

Jika jumlah siswa sedikit maka kemungkinan guru bisa mengajar dengan baik, dan siswa akan lebih diperhatikan selama proses pembelajaran. Oleh karena itu, peneliti dapat mengetahui apakah dengan demikian akan lebih banyak siswa yang paham akan materi pembelajaran. Jumlah siswa yang sedikit juga mempermudah peneliti dalam menggali bentuk pemahaman dan miskonsepsi siswa tentang konsep gerak dan gaya, serta penyebab terjadinya miskonsepsi pada siswa. Penelitian ini dilakukan pada kelas XI, karena kelas ini sudah mendapatkan materi gerak dan gaya saat berada di kelas X, sehingga mempermudah peneliti untuk mendeteksi miskonsepsi yang terjadi pada materi tersebut.

(20)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas, maka pembatasan dan rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana tingkat pemahaman siswa kelas XI IPA SMAN I Titehena tahun ajaran 2016/2017 tentang konsep gerak dan gaya?

2. Apakah terjadi miskonsepsi pada pemahaman siswa kelas XI IPA SMAN I Titehena tahun ajaran 2016/2017 mengenai konsep gerak dan gaya?

3. Apa penyebab terjadi miskonsepsi pada pemahaman siswa kelas XI IPA SMAN I Titehena tahun ajaran 2016/2017 mengenai konsep gerak dan gaya?

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui:

1. Tingkat pemahaman siswa kelas XI IPA SMAN I Titehena tahun ajaran 2016/2017 tentang konsep gerak dan gaya.

2. Terjadinya miskonsepsi pada pemahaman siswa kelas XI IPA SMAN I Titehena tahun ajaran 2016/2017 tentang konsep gerak dan gaya.

3. Penyebab miskonsepsi pada pemahaman konsep mekanika oleh siswa kelas XI IPA SMAN I Titehena tahun ajaran 2016/2017.

(21)

D. Manfaat Penelitian 1. Bagi guru:

• Mengetahui hasil belajar siswa tentang konsep gerak dan gaya.

• Mengatasi terjadinya miskonsepsi dalam pembelajaran fisika

khususnya konsep gerak dan gaya. 2. Bagi siswa:

• Mengetahui seberapa jauh pemahamannya terhadap konsep gerak dan

gaya.

(22)

7 BAB II

LANDASAN TEORI A. Konsep

Dalam kehidupan sehari-hari banyak sekali konsep yang terbentuk dalam otak. Ketika berpikir bahwa meja berbentuk bulat dan bukan benda hidup, maka konsep tersebut akan tetap melekat di kepala, sampai melihat meja yang lain yang mungkin berbentuk panjang, persegi dan lain sebagainya. Konsep yang akan melekat di kepala tentang meja adalah meja berbentuk bulat, persegi, panjang, dan bukan benda hidup. Contoh lainnya adalah manusia. Manusia merupakan mahkluk hidup yang mempunyai ciri-ciri seperti bisa bernapas. Kemudian dengan melihat perbedaan ciri-ciri antara manusia dan meja, otak akan dapat membedakan konsep meja dan konsep manusia.

Menurut Van de Breg (1991), konsep merupakan benda-benda, kejadian-kejadian, situasi-situasi, atau ciri-ciri yang memiliki ciri-ciri khas data yang terwakili dalam setiap budaya oleh suatu tanda atau simbol. Konsep juga merupakan abstraksi dari ciri-ciri suatu yang mempermudah komunikasi antara manusia dan yang memungkinkan manusia berpikir. Tafsiran setiap orang terhadap konsep berbeda-beda sehingga kadang-kadang penafsiran yang salah terhadap konsep tersebut menyebabkan miskonsepsi.

B. Pemahaman Konsep

Ilmu pengetahuan yang dipelajari tidak terlepas dari konsep. Ilmu pengetahuan terdiri dari banyak konsep yang terus dikembangkan untuk kepentingan manusia. Ketika belajar tentang ilmu pengetahuan, secara tidak

(23)

langsung yang dipelajari adalah sebuah konsep. Konsep tersebut kemudian berkembang sejalan dengan tingkat pendidikan. Setiap konsep berhubungan dengan konsep lainnya, misalnya konsep percepatan yang konstan terdapat dalam konsep gerak lurus berubah beraturan. Dalam mempelajari hubungan antara dua konsep biasanya terjadi salah tafsiran. Menurut Van de Breg (1991), seringkali para pelajar hanya menghafalkan definisi konsep tanpa memperhatikan hubungan antara konsep dengan konsep-konsep lainnya. Dengan demikian konsep baru tidak masuk jaringan konsep yang telah ada dalam kepala siswa, tetapi konsep tersebut berdiri sendiri tanpa hubungan dengan konsep lainnya, maka konsep tersebut tidak bisa digunakan dan tidak ada artinya sehingga miskonsepsipun terjadi ketika konsep tersebut tetap dipertahankan.

C. Miskonsepsi

Miskonsepsi (Suparno, 2005) adalah suatu konsep yang tidak sesuai dengan konsep yang diakui oleh para ahli. Beberapa peneliti lebih suka mengunakan istilah konsep alternatif, karena dengan istilah itu menunjukan keaktifan dan peran siswa mengontruksikan pengetahuan mereka. Selain itu, konsep yang dianggap salah tersebut dalam banyak hal dapat membantu dalam memecahkan persoalan hidup mereka. Miskonsepsi atau salah konsep menunjuk pada suatu konsep yang tidak sesuai dengan pengertian ilmiah atau pengertian yang diterima para pakar dalam bidang itu, misalnya siswa berpendapat bahwa pada saat seseorang mendorong mobil dan mobil belum bergerak. Kemudian konsep ini diasumsikan tidak ada gaya yang bekerja pada

(24)

mobil tersebut. Konsep ini merupakan konsep yang salah meskipun mobil tidak bergerak, tetapi pada mobil bekerja gaya dorong yang terjadi akibat dorongan orang tersebut.

Miskonsepsi terdapat dalam semua bidang sains, seperti fisika, kimia, biologi dan bumi antariksa. Dalam bidang fisika, semua sub bidang juga mengalami miskonsepsi seperti mekanika, termodinamika, bunyi dan gelombang, optika, listrik dan magnet, dan fisika modern. Miskonsepsi ada yang mudah dibetulkan, tetapi ada yang sangat sulit, terlebih bila konsep itu memang berguna dalam kehidupan yang nyata. Miskonsepsi terjadi di semua jejang pendidikan, dari sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi, bahkan juga terjadi pada guru atau dosen.

Bentuk miskonsepsi dapat berupa konsep awal, kesalahan, hubungan yang tidak benar antara konsep-konsep, gagasan intuitif atau pandangan naif. Novak (1984, dalam Suparno, 2005), mendefinisikan miskonsepsi sebagai suatu interpretasi konsep-konsep dalam suatu pernyataan yang tidak diterima. Brown (1989;1992, dalam Suparno, 2005), menjelaskan miskonsepsi sebagai suatu gagasan yang tidak sesuai dengan pengertian ilmiah yang sekarang diterima. Feldsine (1987, dalam Suparno, 2005), menemukan miskonsepsi sebagai suatu kesalahan dan hubungan tidak benar antara konsep-konsep. Hanya Fowler (1987, dalam Suparno, 2005), menjelaskan dengan rinci arti miskonsepsi sebagai pengertian yang tidak akurat akan konsep, pengunaan konsep-konsep yang berbeda, dan hubungan hirarkis konsep-konsep yang tidak benar.

(25)

Miskonsepsi sendiri terbentuk karena adanya konsep yang salah dipahami, atau salah diartikan. Van Den Berg (1991) menjelaskan perkembangan konsep menurut psikologi kognitif, para ahli menyatakan bahwa manusia tidak lahir dengan kepala kosong seperti tape kaset yang dapat diisi, tetapi bahwa waktu lahir pun bayi sudah punya isi otak yang memungkinkan untuk belajar dari lingkungan. Bayi tidak belajar secara pasif dengan menyerap stimulus (informasi) apa saja dari lingkungannya, tetapi otaknya sudah selektif dengan memilih informasi apa yang masuk dan dengan mencari hubungan antara unsur-unsur yang berlainan. Rupanya ada struktur otak yang sejak semula sudah mengatur lalu lintas informasi di dalamnya dan lalu lintas informasi dengan dunia luar. Struktur itupun tidak tetap, tetapi berkembang dengan pengalaman dan umur.

Sekitar 70 tahun Piaget sudah mulai menerangkan konsep kognitif tersebut dengan istilah dari biologi, yaitu asimilasi (assimilation) dan akomodasi (accommodation). Dengan asimilasi informasi yang masuk otak jadi diubah sampai cocok dengan struktur otak sendiri, misalnya seorang anak kecil sudah mengenal konsep kucing sebagai sesuatu yang bergerak dengan 4 kaki dan ekor. Jika anak tersebut melihat seekor kucing, tidak usah setiap kucing diberi nama sendiri. Ciri-ciri umum kucing diperhatikan sedangkan cirri-ciri khas setiap individu kucing diabaikan. Pengamatan disesuaikan dengan struktur konsep kucing dalam otak. Dengan proses asimalasi lalu lintas informasi dalam otak bisa lebih efesien. Tetapi asimilasi dapat menyebabkan kekeliruan, misalnya kalau anak kecil tadi melihat seekor anjing dan berkata

(26)

kepada ibunya “itu kucing.” Hasil pengamatan jadi diubah dan disesuaikan dengan konsep yang sudah ada.

Akomodasi (accommodation) adalah bahwa struktur otak sendiri menyesuaikan dengan hasil pengamatan, misalnya pada suatu saat anak kecil akan membedakan antara kucing dan anjing. Struktur otak berubah sampai ada dua konsep, jika kucing dan anjing dibedakan berdasarkan cirinya. Sebelum terjadi perubahan konsep anak tersebut mungkin melihat perbedaan kucing dan anjing dengan matanya sendiri, tetapi tidak menyadari bahwa pengamatan tentang perbedaan tersebut tidak masuk ke otak.

Sejak lahir manusia sudah berpengalaman dengan peristiwa fisika. Anak kecil melihat gerak ataupun membuat gerakan dengan melemparkan permainannya. Anak mengamati air yang mengalir, hujan yang jatuh. Anak merasakan berat benda, anak menjajaki lingkungannya secara aktif termasuk peristiwa-peristiwa fisika. Otakpun terus-menerus berkembang melalui proses asimilasi dan akomodasi, dengan isi otak semula dan perkembangannya sejak lahir dalam otak manusia “prakonsepsi” (preconception) atau sejenis “teori anak” mengenai peristiwa-peristiwa fisika.

Banyak peneliti menemukan bahwa siswa telah mempunyai miskonsepsi atau konsep alternatif sebelum mereka memperoleh pelajaran formal. Menurut Clement (1987, dalam Suparno, 2005), jenis miskonsepsi yang terjadi adalah bukan pengertian yang sama selama proses belajar mengajar, tetapi suatu konsep awal (prakonsepsi) yang dibawa siswa ke kelas formal. Dari sini tampak pengalaman siswa dengan konsep-konsep itu sebelum pembelajaran

(27)

formal dikelas, sangat mewarnai miskonsepsi yang dipunyai. Hal ini juga berarti, siswa sebenarnya sejak awal, bahkan sejak kecil, sudah mengkontruksi konsep-konsep lewat pengalaman hidup mereka. Semenjak kecil, siswa sudah belajar untuk mengetahui sesuatu, bukan hanya sejak sekolah formal.

Menurut banyak peneliti (Suparno, 2005), miskonsepsi ternyata terdapat dalam semua bidang sains, seperti fisika (Comins, 1987; Gilbert dkk., 1982; Mohapatra, 1998), biologi (Marek dkk., 1994), kimia (Pendley dan Brets, 1994), dan astronomi (Comins, 1993 dalam Wandersee, Mintzes, dan Novak, 1994). Miskonsepsi dalam fisika pun meliputi banyak subbidang seperti mekanika, termodinamika, optika, bunyi, dan gelombang, listrik dan magnet, dan fisika modern.

Dari pengalaman, miskonsepsi sulit dibenahi atau dibetulkan terlebih bila miskonsepsi itu dapat membantu memecahkan persoalan tertentu. Misalnya, kesalahan mengerti massa dengan berat, agak sulit dipecahkan karena pengertian yang salah tersebut berguna dalam kehidupan sehari-hari. Miskonsepsi itu juga tidak hilang dengan metode mengajar klasik, yaitu ceramah (Clements, 1987, dalam Suparno, 2005), maka mereka menganjurkan untuk menggunakan cara mengajar baru, yang lebih menantang pengertian siswa, menimbulkan keraguan dalam pikirannya, dan kebingungan terhadap konsep awal yang dipegangnya. Beberapa ahli menyarankan menggunakan peristiwa anomali, yaitu peristiwa yang bertentangan dengan konsep yang dibawa siswa.

(28)

Miskonsepsi juga menghinggapi semua level siswa, mulai dari siswa sekolah dasar sampai dengan mahasiswa (Gill-Perez, 1990; Brown, 1989, dalam Suparno, 2005). Bahkan, dari beberapa penelitian, miskonsepsi banyak terjadi pada guru-guru, sehingga menyebabkan miskonsepsi pada siswa lebih besar. Miskonsepsi juga terdapat pada buku fisika yang dijual di pasaran. Akibatnya, baik guru dan siswa yang menggunakan buku itu akan mengalami miskonsepsi juga. Oleh sebab itu, pembetulan miskonsepsi perlu dilakukan di semua level dan sasaran tersebut. Inilah tantangan dunia pendidikan fisika. D. Penyebab Miskonsepsi

Menurut para peneliti miskonsepsi adalah salah konsep yang sebabkan oleh berbagai hal, yang tidak sesuai dengan konsep yang telah ditemukan oleh ahli sebelumnya. Banyak terjadi miskonsepsi dalam pembelajaran fisika karena berbagai peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan fisika sudah didapatkan terlebih dahulu dalam kehidupan sehari-hari, seperti mendorong meja, memasak air, bersepeda dan lain sebagainya. Ketika suatu konsep yang tidak tepat telah terbentuk di kepala maka di sini peran guru dibutuhkan untuk membantu membetulkan miskonsepsi yang terjadi dengan memberikan konsep baru yang sesuai dengan konsep para ahli fisika.

Para peneliti miskonsepsi menemukan berbagai hal yang menjadi penyebab miskonsepsi pada siswa. Secara garis besar, penyebab miskonsepsi dapat diringkas dalam lima kelompok yaitu: siswa, guru, buku teks, pengalaman kehidupan, dan metode mengajar. Penyebab yang berasal dari siswa dapat terdiri dari berbagai hal, seperti prakonsepsi awal, kemampuan,

(29)

tahap perkembangan, minat, cara berpikir, dan teman lain. Penyebab kesalahan dari guru dapat berupa ketidakmampuan guru, kurangnya penguasaan bahan, cara mengajar tidak tepat atau sikap guru dalam berelasi dengan siswa yang kurang baik. Penyebab miskonsepsi dari buku teks biasanya terdapat pada penjelasan atau uraian yang salah dalam buku tersebut. Konteks seperti budaya, agama, dan bahasa sehari-hari juga mempengaruhi miskonsepsi siswa, sedangkan metode mengajar yang hanya menekankan kebenaran satu segi sering memunculkan salah pengertian pada siswa. Penyebab-penyebab itu berdiri sendiri, tetapi kadang-kadang saling berkaitan satu sama lain, sehingga salah pengertiannya menjadi kompleks. Hal ini menyebabkan semakin tidak mudah untuk membantu siswa mengatasi miskonsepsi mereka. Penyebab-penyebab tersebut, kemudian dijabarkan sebagai berikut :

1. Siswa

Miskonsepsi dalam bidang fisika paling banyak berasal dari diri siswa sendiri. Miskonsepsi yang berasal dari siswa dapat dikelompokkan dalam beberapa hal, antara lain:

• Prakonsepsi atau konsep awal siswa

Banyak siswa sudah mempunyai konsep awal atau prakonsepsi tentang suatu bahan sebelum siswa mengikuti pelajaran formal dibawah bimbingan guru. Konsep awal ini sering kali mengandung miskonsepsi. Salah konsep awal ini jelas akan menyebabkan miskonsepsi pada saat mengikuti pelajaran fisika berikutnya, sampai

(30)

kesalahan diperbaiki. Miskonsepsi ini biasanya diperoleh dari orangtua, teman, sekolah awal, dan pengalaman di lingkungan siswa. • Pemikiran asosiatif siswa

Asosiasi siswa terhadap istilah sehari-hari kadang juga membuat miskonsepsi (Arons, 1981; Gilbert, Watts, Osborne, 1982; Marioni, 1989, dalam Suparno, 2005). Contohnya, siswa mengasosiasikan gaya dengan aksi atau gerakan. Gaya oleh banyak siswa dianggap selalu menyebabkan gerakan, maka jika siswa tidak melihat suatu benda bergerak, maka mereka memastikan tidak ada gaya yang bekerja. Padahal dalam fisika sebuah benda yang diam bukan berarti tidak ada gaya yang bekerja pada benda tersebut, contohnya saja buku diletakan diatas meja, ada gaya normal dan gaya gravitasi yang bekerja pada buku tersebut.

• Pemikiran humanistik

Siswa kerap kali memandang semua benda dari pandangan manusiawi (Gilbert, Watss, Osborne, 1982 dalam Suparno 2005). Benda-benda dan situasi dipikirkan dalam konteks pengalaman orang dan secara manuasiawi. Tingkah laku benda dipahami seperti tingkah laku manusia yang hidup, sehingga tidak cocok. Contohnya adalah miskonsepsi siswa akan kekekalan energi. Sebagai manusia, bila bekerja terus atau bermain terus akan menjadi lelah dan lapar. Dari pengalaman sebagai manusia yang menjadi lapar dan kehabisan energi

(31)

bila terus bekerja, siswa beranggapan bahwa kekekalan energi itu tidak mungkin terjadi. Energi yang ada pasti berkurang dan lenyap.

• Reasoning yang tidak lengkap/salah

Menurut Comins (1993 dalam Suparno, 2005), miskonsepsi juga dapat disebabkan oleh penalaran siswa yang tidak lengkap, atau salah. Alasan yang tidak lengkap dapat disebabkan karena informasi yang diperoleh atau data yang didapatkan tidak lengkap. Akibatnya, siswa menarik kesimpulan secara salah dan ini menyebabkan timbulnya miskonsepsi siswa. Pengamatan yang tidak lengkap dan telitipun dapat menyebabkan kesimpulan yang salah dan mengakibatkan miskonsepsi. • Intuisi yang salah

Intuisi yang salah dan perasaan siswa juga dapat menyebabkan miskonsepsi. Intuisi adalah suatu perasaan dalam diri seseorang yang secara spontan mengungkapkan sikap atau gagasan tentang sesuatu sebelum secara obyektif dan rasional diteliti. Pemikiran atau pengertian akan benda atau kejadian yang terus-menerus, akhirnya secara spontan bila menghadapi persoalan tertentu yang muncul dalam benak siswa adalah pengertian spontan.

• Tahap perkembangan kognitif

Perkembangan kognitif siswa yang tidak sesuai dengan bahan yang digeluti dapat menjadi penyebab adanya miskonsepsi siswa. Siswa yang belum sempurna perkembangan kognitifnya secara formal akan mengalami kesulitan dalam merumuskan dan memahami konsep

(32)

yang abstrak. Miskonsepsi ini kadang muncul apabila guru terburu-buru merumuskan konsep fisika dengan rumusan formal atau matematis tanpa disertai dengan contoh kejadian sehari-hari (Suparno, 2005 dalam Nanda, 2015).

• Kemampuan siswa

Menurut Suparno siswa dapat mengalami miskonsepsi karena siswa kurang berbakat di bidang fisika. Siswa yang mengalami kesulitan menangkap konsep fisika dalam proses pembelajaran, dapat mempunyai miskonsepsi walaupun sudah dijelaskan secara perlahan dan berulang-ulang oleh gurunya. Siswa yang IQ-nya rendah dengan mudah melakukan miskonsepsi karena mereka sulit untuk mengkontruksi pengetahuan fisika secara lengkap dan utuh.

• Minat belajar

Berbagai studi menunjukan bahwa minat siswa terhadap fisika juga berpengaruh dalam miskonsepsi. Secara umum dapat dikatakan siswa yang berminat pada fisika cenderung mempunyai miskonsepsi lebih rendah daripada siswa yang tidak berminat pada fisika. Siswa yang tidak tertarik atau benci pada fisika, biasanya kurang bisa memperhatikan penjelasan guru mengenai pengertian fisika yang baru. Mereka bahkan tidak mau mendengarkan gurunya menjelaskan bahan fisika. Mereka juga tidak mau mempelajari sendiri bahan-bahan fisika dari buku dengan sungguh-sungguh. Akibatnya, mereka akan lebih mudah salah menangkap dan membentuk miskonsepsi.

(33)

2. Guru atau pengajar

Miskonsepsi selain dapat terjadi karena siswa, juga terjadi karena guru atau pengajar. Miskonsepsi ini terjadi karena guru kurang menguasai materi, kurang berkompeten, atau bukan lulusan dari pendidikan fisika, akibatnya mereka mengajarkan secara keliru pada siswa.

3. Buku teks

Pengunaan buku sebagai media pembelajaran juga dapat menyebabkan miskonsepsi. Penyebab miskonsepsi ini adalah bahasa yang sulit dipahami, penjelasan yang kurang benar, penggunaan gambar dan tabel yang kurang tepat membuat siswa menjadi salah mengerti sehingga terjadi miskonsepsi (Suparno, 2005).

4. Pengalaman kehidupan

Miskonsepsi bisa terjadi karena pengalaman, bahasa sehari-hari, teman lain, keyakinan dan ajaran agama (Suparno, 2005). Miskonsepsi yang disebabkan oleh pengalaman contohnya dalam kehidupan sehari-hari siswa mengalami, bahwa mereka merasa lelah setelah bekerja keras. Motor akan mengalami kehabisan bahan bakar bila dipakai terlalu lama. Tampak bahwa energi hilang dan tidak kekal. Di sini siswa berpikir tentang kekekalan energi dalam pengertian yang terbatas dan tidak dalam pengertian luas (Stavy, 1991 dalam Suparno, 2005). Miskonsepsi yang datang dari pengunaan bahasa hari misalnya, dalam bahasa sehari-hari siswa mengerti dan mengunakan istilah berat dengan satuan kg, tetapi dalam fisika berat adalah suatu gaya, dan satuanya adalah newton.

(34)

Teman lain atau teman dalam kelaspun dapat memicu terjadinya miskonsepsi. Misalnya ketika belajar temannya menjelaskan suatu konsep fisika yang sebenarnya salah, tapi karena dijelaskan dengan sangat meyakinkan, teman-teman yang lain tidak kritis untuk membantah atau membenahi konsep tersebut, sehingga konsep tersebut akan diyakini sebagai konsep yang benar. Miskonsepsi dapat disebabkan oleh keyakinan dan agama. Menurut kitab suci ada beberapa hal yang berbeda dengan konsep para ahli sehingga terjadi miskonsepsi.

5. Metode pengajaran

Beberapa metode mengajar yang digunakan guru, terlebih yang menekankan satu segi saja dari konsep bahan yang digeluti, meskipun membantu siswa menangkap bahan, tetapi sering mempunyai dampak jelek yaitu memunculkan miskonsepsi siswa. Guru perlu kritis dalam menggunakan metode pembelajaran, dengan tidak membatasi pengunaan metode pembelajaran dengan satu metode saja.

E. Mendeteksi dan Mengatasi Miskonsepsi

Sebelum mengatasi miskonsepsi, sebaiknya dideteksi dulu penyebab dari miskonsepsi tersebut (Suparno, 2005). Salah satu cara yang digunakan adalah tes multiple choice dengan reasoning terbuka. Menurut Amir dkk (1987, dalam Supano, 2005), tes ini merupakan tes pilihan ganda (multiple choice) dengan pertanyaan terbuka, dimana siswa harus menjawab dan menulis mengapa ia mempunyai jawaban seperti itu. Treatgust (1987, dalam Suparno, 2005), menggunakan pilihan ganda dengan alasan (reasoning). Dalam bagian

(35)

alasan, siswa harus menulis mengapa ia memilih jawaban tersebut. Beberapa peneliti juga mengunakan tes wawancara untuk mengetahui miskonsepsi. Tujuan dari wawancara adalah untuk meneliti bagaimana siswa berpikir, dan mengapa mereka berpikir seperti itu (Suparno, 2005).

Setelah mendeteksi miskonsepsi yang terjadi, dilanjutkan dengan mencari berbagai cara untuk mengatasinya. Menurut Suparno (2005), banyak penelitian telah dilakukan oleh para ahli pendidikan fisika, biologi, kimia dan astronomi yang mengungkapkan bermacam-macam kiat untuk membantu siswa memecahkan persoalan miskonsepsi. Untuk mengetahui lebih lanjut miskonsepsi yang terjadi di dalam pembelajaran fisika, guru perlu mencari tahu penyebab yang terjadi kemudian mengatasinya, misalnya miskonsepsi terjadi karena penyampaian materi oleh guru yang belum jelas karena menggunakan metode pengajaran yang belum tepat, maka guru perlu mengganti metode pengajaran yang digunakan. Selanjutnya untuk menemukan penyebab ataupun asal miskonsepsi yang terjadi pada siswa, guru bisa dengan memberikan wawancara kemudian memberikan tes secara tertulis ataupun lebih banyak memberi kesempatan siswa untuk berdiskusi ataupun memberikan pendapat (Suparno, 2005).

F. Miskonsepsi pada Bidang Mekanika

Miskonsepsi banyak terjadi dalam bidang fisika. Wandersee, Mintzes, dan Novak (1994, dalam Suparno, 2005), dalam artikel mengenai Research on alternative conceptions in science, menjelaskan bahwa konsep alternatif terjadi dalam semua bidang fisika. Dari 700 studi mengenai konsep alternatif

(36)

bidang fisika, ada 300 yang meneliti miskonsepsi dalam mekanika; 159 tentang listrik; 70 tentang panas, optika, dan sifat-sifat materi; 35 tentang bumi dan antariksa; serta 10 studi mengenai fisika modern. Dari daftar diatas terlihat jelas bahwa mekanika berada diurutan teratas dari bidang-bidang fisika lainya yang mengalami miskonsepsi. Miskonsepsi terjadi pada bidang mekanika yaitu gerak, vektor, Gaya, Massa dan Berat, Hukum Newton, Mekanika Fluida dan Kerja, Kekekalan Energi dan Momentum.

Kebanyakan soal mekanika dapat dipecahkam dengan tiga hukum saja, yaitu Hukum Newton I, II, III dan Hukum Gravitasi Newton (Van de Berg, 1990). Bidang mekanika sangat berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Ketika belajar mekanika kepala siswa sudah dipenuhi oleh segala prakonsep ataupun pengalaman-pengalaman yang berkaitan dengan bidang tersebut. Prakonsep atau intuisi tersebut justru sering menganggu dari pada membantu siswa mempelajari mekanika.

Dalam tabel 2.1 dibawah ini ditunjukan beberapa miskonsepsi yang terjadi dalam bidang mekanika (Van de Berg, 1990).

Tabel 2.1 Penelitian Tentang Miskonsepsi pada Bidang Mekanika pada Level SMA

No Miskonsepsi

1 Benda diam, maka tidak ada gaya yang bekerja pada benda.

2 Gaya normal adalah sama dengan arah berlawan

dengan gaya gravitasi pada benda di bidang miring.

3 Benda didorong dan tidak bergerak maka gaya

gesekan dianggap lebih besar daripada gaya dorong atau tidak ada.

4 Kedua benda yang massanya berbeda kemudian

dijatuhkan dari ketinggan yang sama, dengan waktu yang sama dan gesekan dengan udara diabaikan,

(37)

G. Konsep Gerak dan Gaya

1. Gerak lurus, perpindahan, dan jarak

Suatu benda dikatakan bergerak jika posisinya selalu berubah terhadap suatu acuan. Misalnya, bus yang sedang bergerak meninggalkan terminal (acuan). Gerak lurus adalah gerak yang lintasannya berupa garis lurus. Posisi (besaran vektor) adalah letak suatu benda pada suatu waktu tertentu terhadap suatu acuan tertentu (Kanginan, 2002). Jarak (besaran skalar) adalah panjang lintasan yang ditempuh oleh suatu benda dalam selang waktu tertentu (Kanginan, 2002). Perpindahan (besaran vektor) merupakan perubahan posisi suatu benda dalam selang waktu tertentu (Kanginan, 2002). Perpindahan adalah vektor, yang ekornya berimpit dengan posisi awal dan kepalanya berimpit dengan posisi akhir benda.

Perhatikan gambar 2.1 berikut. Kereta I bergerak dari A ke B, sedangkan kereta II bergerak dari B ke A. Misalnya panjang lintasan AB

maka benda yang akan menyentuh lantai dahulu adalah benda yang massanya lebih besar.

5 Panjang lintasan tidak berpengaruh pada gerak

vertikal dan horizontal, dan variabel tertentu di abaikan dalam peristiwa ini.

6 Perbedaan jarak dan perpindahan

7 Benda yang mempunyai kedudukan yang sama

dengan benda lainya akan mempunyai kecepatan yang sama pula.

8 Gaya-gaya yang bekerja pada bola yang lemparkan secara vertikal ke atas.

9 Gerak semula tidak berpengaruh lagi ketika sebuah gaya bekerja pada sebuah benda.

10 Mengambarkan gaya sentripetal dan gaya sentrifugal pada benda yang melingkar dengan besar masing-masing sama.

(38)

adalah 100 m. Kereta I dan kereta II menempuh jarak yang sama yaitu 100 m, namun arah perpindahannya berbeda. Kereta I berpindah 100 m ke arah kanan sedangkan kereta II berpindah 100 m ke arah kiri. Hal ini menunjukkan bahwa jarak tidak bergantung pada arah sehingga termasuk besaran skalar. Sedangkan perpindahan bergantung pada arah sehingga termasuk besaran vektor. Kanginan (2002) mengatakan apabila kereta I bergerak dari A ke B dan kembali lagi ke A maka perpindahan (∆𝑥 = 0), tetapi jaraknya tidak nol (Jarak = AB + BA).

Gambar 2.1 Konsep Jarak dan perpindahan 2. Kecepatan, kecepatan rata-rata, dan kecepatan sesaat

Setiap benda yang bergerak pasti mempunyai kecepatan. Kecepatan merupakan besaran vektor (memiliki arah). Ada dua pengertian kecepatan, yaitu: kecepatan rata-rata dan kecepatan sesaat. Bila suatu benda memerlukan waktu (∆𝑡) untuk mengalami perpindahan (∆𝑠), maka termasuk kecepatan rata-rata. Untuk kecepatan rata-rata berlaku persamaan sebagai berikut (Kanginan, 2002):

Kecepatan rata-rata = perpindahan waktu yang diperlukan=

∆𝐬 ∆𝒕=

𝑆2−𝑆1

(39)

Arah kecepatan searah dengan perpindahan (∆𝑠). Kecepatan sesaat adalah kecepatan rata-rata apabila selang waktu mendekati nol. Secara matematis ditulis sebagai berikut (Kanginan, 2002):

Kecepatan sesaat = lim∆𝑡→0 ∆𝑠

∆𝑡 (2)

3. Kelajuan

Menurut Kanginan (2002), kecepatan berbeda dengan kelajuan. Kelajuan merupakan besaran skalar atau tidak bergantung pada arah. Kelajuan adalah besarnya kecepatan suatu benda yang bergerak, atau jarak yang ditempuh benda tiap satuan waktu. Secara matematis dapat ditulis sebagai berikut:

Kelajuan rata-rata = jarak total yang ditempuh waktu yang diperlukan =

𝑠

𝑡 (3)

Satuan kecepatan dan kelajuan adalah satuan jarak dibagi satuan waktu, yang sering digunakan adalah satuan: m/s dan km/jam.

4. Percepatan

Percepatan adalah besaran vektor. Suatu benda yang kecepatannya berubah terhadap waktu dikatakan mengalami percepatan. Karena kecepatan adalah besaran vektor, maka kecepatan dapat berubah melalui dua cara, yaitu berubah besarnya (bertambah atau berkurang) dan berubah arahnya. Jika sebuah benda mengalami perubahan kecepatan (∆𝑣) dalam selang waktu (∆𝑡); maka percepatan rata-ratanya (𝑎�) adalah (Kanginan, 2002):

(40)

𝑎� =∆𝑣∆𝑡 =𝑉2−𝑉1

𝑡2−𝑡1 , (4)

dengan 𝑉2 adalah kecepatan pada saat 𝑡 = 𝑡2 dan 𝑉1 adalah kecepatan pada saat 𝑡 = 𝑡1.

Sedangkan persamaan percepatan sesaat (𝑎𝑠𝑒𝑠𝑎𝑎𝑡) (Giancoli, 2001):

𝑎𝑠𝑒𝑠𝑎𝑎𝑡= lim∆𝑡→0∆𝑣∆𝑡 = 𝑑𝑣𝑑𝑡 (5)

5. Gerak lurus beraturan (GLB)

Ketika suatu benda menempuh jarak yang sama dalam selang waktu yang sama, maka benda tersebut dikatakan melakukan gerak beraturan. Jika gerak tersebut terjadi pada garis lurus atau dalam suatu lintasan lurus, maka disebut gerak lurus beraturan. Dengan kata lain gerak lurus beraturan adalah gerak benda pada lintasan lurus dengan kecepatan tetap atau percepatan nol (Kanginan, 2002). Dalam grafik dapat digambarkan pada gambar 2.2 berikut:

GLB dapat dinyatakan dengan persamaan (Kanginan, 2002):

(41)

(∆s = 𝑣. 𝑡 atau 𝑠 = 𝑠0+ 𝑣. 𝑡) (6)

Keterangan: ∆𝑠= perpindahan; 𝑠= posisi akhir benda terhadap titik acuan; 𝑠0= posisi awal benda terhadap titik acuan; dan 𝑣 = kecepatan yang besar dan arahnya konstan.

Secara umum dituliskan (Kanginan, 2002):

𝑣 =𝑠𝑡 atau 𝑠 = 𝑣𝑡 (7)

Keterangan: 𝑣 = kecepatan (m/s); 𝑠 = jarak (𝑚) 𝑑𝑎𝑛 𝑡 = waktu (𝑠) 6. Gerak lurus dengan percepatan tetap (GLBB)

Sebuah benda yang bergerak, akan mempunyai percepatan jika kecepatannya berubah. Jika perubahan kecepatan benda terjadi secara teratur dan lintasan benda tersebut lurus, maka gerak benda tersebut dinamakan gerak lurus berubah beraturan. Dengan kata lain gerak lurus berubah beraturan adalah gerak pada lintasan lurus dengan percepatan tetap (Kanginan, 2002).

Hal ini berarti, percepatan sesaat dan percepatan rata-rata gerak ini mempunyai nilai yang sama. Andaikan sebuah benda bergerak dengan percepatan (𝑎) tetap, kecepatan awal (𝑣0), maka setelah selang waktu (𝑡) kecepatannya menjadi (Kanginan, 2002):

𝑣𝑡= 𝑣𝑜+ 𝑎𝑡 (8)

dengan kecepatan awal (𝑣0), kecepatan akhir (𝑣𝑡) dan selang waktu (𝑡); jarak tempuh benda tersebut dapat dihitung dengan (Kanginan, 2002):

(42)

𝑠 = 𝑣𝑜𝑡 +12𝑎𝑡2; (9)

Selain itu pada GLBB juga berlaku persamaan 10. Persamaan ini digunakan untuk mengetahui kecepatan akhir dari sebuah benda yang mengalami percepatan tetap pada jarak tertentu dari posisi awalnya tanpa mempersoalkan selang waktu (Kanginan, 2002):

𝑣𝑡2 = 𝑣02+ 2𝑎𝑠 (10)

Ada dua macam GLBB, yaitu gerak lurus dipercepat beraturan (𝑎 berharga positif) dan gerak lurus diperlambat beraturan (𝑎 berharga negatif). Menurut Kanginan (2002), GLBB dipercepat beraturan terjadi pada benda yang mengalami pertambahan kecepatan yang sama dalam selang waktu yang sama. GLBB bisa dimulai dari benda diam (𝑣0 = 0), seperti pada gambar 2.3 berikut:

Gambar 2.3 Grafik kecepatan terhadap waktu benda mulai GLBB dari keadaan diam dipercepat

(43)

Bisa juga dimulai dari kecepatan tertentu (𝑣0 ≠ 0) seperti pada gambar 2.4 berikut:

Gambar 2.4 Grafik kecepatan terhadap waktu benda mulai GLBB dari keadaan bergerak

GLBB diperlambat beraturan terjadi pada benda yang mengawali gerakan suatu kecepatan tertentu dan selanjutnya selalu mengalami pengurangan kecepatan. Situasi ini dapat digambarkan dalam grafik pada gambar 2.5 berikut:

Gambar 2.5 Grafik kecepatan terhadap waktu benda mulai GLBB dari kecepatan tertentu diperlambat

(44)

7. Gerak jatuh bebas

Gerak jatuh bebas adalah gerak suatu benda yang dijatuhkan dari ketinggian tertentu tanpa kecepatan awal (𝑣0 = 0). Pada peristiwa benda jatuh secara bebas, banyak yang menganggap bahwa benda dengan massa yang lebih besar akan jatuh lebih cepat dibandingkan dengan benda yang mempunyai massa lebih kecil. Untuk kasus ini Galileo Galilei mendalilkan bahwa semua benda akan jatuh dengan percepatan konstan yang sama jika tidak ada udara atau hambatan lainnya. Untuk benda dengan massa besar udara tidak menjadi penghambat. Sedangkan untuk benda dengan massa yang lebih kecil dan luas permukaan yang lebih besar, udara akan menjadi penghambat. Pada keadaan biasa udara hambatan udara bisa diabaikan. Sumbangan yang diberikan Galileo terhadap pemahaman kita mengenai gerak benda jatuh dapat dirangkum sebagai berikut (Giancoli, 2001):

Pada suatu lokasi tertentu di Bumi dan dengan tidak adanya hambatan udara, semua benda jatuh dengan percepatan konstan.

Percepatan ini, yang kita sebut dengan percepatan yang disebabkan oleh gravitasi pada bumi, dengan memberinya simbol 𝑔. Besarnya kira-kira

𝑔 = 9,8 𝑚/𝑠2.

Ketika membahas benda-benda yang jatuh bebas kita dapat menggunakan persamaan pada GLBB, misalnya persamaan jarak:

(45)

di mana untuk 𝑎 kita gunakan nilai g yang diberikan di atas. Selain itu, karena gerak tersebut verikal, kita akan mengganti 𝑠 dengan ℎ, dan menempatkan ℎ0 di tempat 𝑠0 (Giancoli, 2001). Sehingga persamaan ketinggian untuk gerak jatuh bebas adalah:

ℎ = ℎ0+ 𝑣0𝑡 +12𝑔𝑡2 (12)

8. Gerak parabola

Gerak parabola adalah gerak dengan lintasan berupa parabola. Gerak parabola terjadi pada benda ketika berada di udara. Walaupun hambatan udara seringkali penting, efeknya pada banyak kasus bisa diabaikan dan kita akan akan mengabaikannya pada analisis berikut. Kita hanya memandang geraknya setelah dilempar dan bergerak bebas di udara dengan pengaruh gravitasi semata. Dengan demikian percepatan benda tersebut disebabkan oleh gravitasi, yang mempunyai arah ke bawah dengan besar 𝑔 = 9,80 𝑚 𝑠⁄ , dan kita anggap konstan (khusus untuk 2 jarak tempuh dan ketinggian maksimumnya di atas Bumi adalah kecil, bila dibandingkan dengan radius bumi 6400 km).

Galileo adalah yang pertama kali mendeskripsikan gerak peluru secara akurat. Ia menunjukan bahwa gerak tersebut bisa dipahami dengan menganalisa komponen-komponen horizontal dan vertikal gerak tersebut secara terpisah. Untuk mudahnya, kita anggap bahwa gerak dimulai pada waktu 𝑡 = 0 pada titik awal dari sistem koordinat 𝑥𝑦 (berarti 𝑥0 = 𝑦0 = 0).

(46)

Sebagai contoh kita akan menganalisis kasus peluru yang ditembakkan dari sudut atas (lihat gambar 2.6). Vektor kecepatan 𝑣 pada setiap saat searah dengan gerak bola pada saat itu. Dengan mengikuti gagasan Galileo kita tangani komponen verikal dan horisontal kecepatan (𝑣𝑥 dan 𝑣𝑦) secara terpisah, dan kita bisa menerapkan persamaan (Giancoli, 2001): 𝑣 = 𝑣0+ 𝑎𝑡 [𝑎 = konstan] (13) 𝑥 = 𝑥0+ 𝑣0𝑡 +12𝑎𝑡2 [𝑎 = konstan] (14) 𝑣2 = 𝑣 02+ 2𝑎(𝑥 − 𝑥0) [𝑎 = konstan] (15) 𝑣̅ =𝑣+𝑣0 2 [𝑎 = konstan] (16)

Pertama kita lihat komponen vertikal (𝑦) dari gerak tersebut. Begitu peluru ditembakkan (pada 𝑡 = 0), peluru mengalami percepatan vertikal ke bawah (𝑔) percepatan yang disebabkan oleh gravitasi. Oleh karena itu, 𝑣𝑦 terus berkurang sampai peluru mencapai titik tertinggi pada jalurnya. Setelah mencapai titik puncak peluru akan mengalami pertambahan 𝑣𝑦 dengan arah ke bawah (sampai peluru mengenai lantai). Jika kita menganggap 𝑦 positif ke atas, berarti 𝑎𝑦 = −𝑔, dan dari persamaan 13 kita bisa menuliskan 𝑣𝑦 = −𝑔𝑡 karena kecepatan awal dalam arah vertikal (𝑣𝑦0) adalah nol. Perpindahan vertikal (𝑦), dinyatakan dengan persamaan 𝑦 = −12 𝑔𝑡2 , jika kita tentukan 𝑦

(47)

tidak ada percepatan pada arah horisontal (Giancoli, 2001). Kita perlu menganalisis komponen kecepatan awal secara vertikal (𝑣0𝑥) dan kecepatan secara horisontal (𝑣𝑜𝑦). Untuk kecepatan awal secara vertikal berlaku 𝑣0𝑦 = 𝑣0sin 𝜃. Untuk kecepatan awal secara horisontal berlaku 𝑣0𝑥 = 𝑣0 cos 𝜃.

Gambar 2.6 Lintasan sebuah peluru yang ditembakan dengan kecepatan awal V0 dengan sudut θ terhadap garis horisontal

9. Gerak melingkar

Gerak melingkar adalah gerak dengan lintasan berupa lingkaran. Gerak melingkar dibedakan menjadi dua, yaitu gerak melingkar beraturan dan gerak melingkar berubah beraturan. Gerak melingkar beraturan adalah suatu gerak yang lintasannya berbentuk lingkaran dengan kelajuan yang konstan. Gerak melingkar dengan laju konstan terjadi jika gaya total pada benda yang diberikan menuju pusat lingkaran. Kecepatannya tidak konstan, karena arah kecepatan selalu berubah-ubah dengan teratur. Nilai kecepatannya konstan namun arah kecepatan terus berubah sementara

(48)

benda bergerak dalam lingkaran tersebut seperti pada gambar 2.7 berikut (Giancoli, 2001):

Gambar 2.7 Sebuah benda kecil bergerak membentuk lingkaran

Sedangkan gerak melingkar berubah beraturan adalah gerak melingkar dengan percepatan sudut atau percepatan anguler (α) konstan. Pada gerak melingkar bekerja gaya total. Jika gaya total tidak diarahkan menuju titik pusat melainkan sudut tertentu, gaya tersebut mempunyai dua komponen (lihat gambar 2.8). Komponen yang diarahkan menuju pusat lingkaran (𝐹𝑅), menyebabkan percepatan sentripetal (𝑎𝑅) dan mempertahankan gerak benda dalam lingkaran. Komponen tangent terhadap lingkaran tersebut (𝐹𝑡𝑎𝑛) bekerja untuk menaikan atau menurunkan laju, dan dengan demikian menghasilkan komponen percepatan yang merupakan tangent terhadap lingkaran (𝑎𝑡𝑎𝑛). Ketika laju berubah, komponen tangensial dari gaya akan bekerja (Giancoli,2001).

(49)

Gambar 2.8 Gaya dan komponennya pada gerak melingkar berubah beraturan

Komponen tangensial dari percepatan (𝑎𝑡𝑎𝑛) sama dengan perubahan besar kecepatan benda:

𝑎𝑡𝑎𝑛 =∆𝑣∆𝑡 (17)

Percepatan radial (sentripetal) muncul dari perubahan arah kecepatan dinyatakan dengan:

𝑎𝑅 =𝑣

2

𝑟 (18)

Persamaan (18) menunjukan bahwa percepatan bergantung pada 𝜐 dan 𝑟. Untuk laju yang lebih besar maka semakin cepat pula kecepatan berubah arah; dan semakin besar radius semakin lambat kecepatan berubah arah. Vektor percepatan selalu menuju ke arah pusat lingkaran. Tetapi vektor kecepatan selalu menuju ke arah gerakan. Dengan demikian vektor kecepatan dan percepatan selalu tegak lurus satu sama lain pada setiap titik

(50)

dijalurnya untuk melingkar beraturan yang ditunjukan dengan gambar 2.9 berikut (Giancoli, 2001):

Gambar 2.9 Arah sentripetal pada GMB

Percepatan tangensial selalu menuju ke arah tangen dari lingkaran, dan merupakan arah gerak (parallel terhadap 𝑣) jika laju bertambah (lihat gambar 2.10). Jika laju berkurang (𝑎𝑡𝑎𝑛) menunjukan arah yang antiparalel terhadap 𝑣. Dalam kedua kasus tersebut 𝑎𝑡𝑎𝑛 dan 𝑎𝑅 selalu tegak lurus satu sama lain; dan arah keduanya terus berubah sementara benda bergerak sepanjang jalur melingkarnya. Percepatan vektor totalnya (𝑎) adalah merupakan jumlah keduanya (Giancoli, 2001):

𝑎 = 𝑎𝑡𝑎𝑛+ 𝑎𝑅 (19)

Karena 𝑎𝑅 dan 𝑎𝑡𝑎𝑛 selalu tegak lurus satu sama lain, besar 𝑎 pada setiap saat adalah:

𝑎 = �𝑎𝑡𝑎𝑛2 + 𝑎 𝑅

(51)

Gambar 2.10 Vektor percepatan dan komponennya 10. Kecepatan linier dan kecepatan sudut

Besarnya sudut 𝜃 yang ditempuh dalam selang waktu t disebut kecepatan sudut (𝜔) gerak melingkar beraturan. Kecepatan sudut disebut juga kecepatan anguler. Kelajuan linier (𝑣) adalah hasil bagi panjang lintasan yang ditempuh dengan selang waktu tempuhnya. Rumus kecepatan sudut seperti berikut (Kanginan, 2002):

𝜔 = 𝜃𝑡 = 2𝜋𝑇 = 2𝜋𝑓 (21)

𝑣 = 𝑠𝑡= 2𝜋𝑅𝑇 = 2𝜋𝑅𝑓 (22)

dengan: 𝜔 =kecepatan sudut (rad/s); 𝑓 =frekuensi(Hz) 𝑇 = periode (s); 𝑅 = jari-jari (m); 𝑣 = kelajuan linier (m/s)

Hubungan 𝑣 dan 𝜔 adalah:

(52)

11. Hukum I Newton

Hukum I Newton menyatakan bahwa: setiap benda akan diam atau bergerak lurus beraturan apabila resultan gaya yang bekerja padanya bernilai nol (Giancoli, 2001). Ini artinya percepatan benda sama dengan nol jika gaya total (resultan gaya) yang bekerja padanya sama dengan nol. Secara matematis: ∑F = 0 (Kanginan, 2002). Setiap benda mempunyai sifat mempertahankan keadaannya (Giancoli, 2001). Benda yang sedang bergerak cenderung akan terus bergerak, demikian juga benda yang diam cenderung akan mempertahankan keadaan diamnya. Sifat tersebut dinamakan inersia atau kelembaman, dan hukum I Newton juga disebut sebagai hukum kelembaman (Giancoli, 2002).

12. Hukum II Newton

Hukum II Newton menyatakan bahwa: percepatan yang ditimbulkan oleh gaya yang bekerja pada suatu benda sebanding dengan besar gaya itu dan berbanding terbalik dengan massa benda, arah percepatan sama dengan arah resultan gaya (Giancoli, 2001). Secara matematis:

𝑎 =∑𝐹𝑚 atau ∑ F = 𝑚𝑎 (24)

dimana: [𝑎 =percepatan benda (m/s2); 𝑚 = massa benda (kg) dan

(53)

13. Massa dan berat

Dalam fisika massa dan berat adalah dua besaran yang berbeda. Massa: banyaknya zat yang dimiliki oleh suatu benda. Massa merupakan ukuran inersia benda (Giancoli, 2001), artinya massa suatu benda menunjukkan seberapa besar kecenderungan benda itu untuk mempertahankan keadaannya. Kita dapat mengatakan bahwa lebih sulit menggerakkan benda yang bermassa besar daripada menggerakkan benda yang bermassa kecil. Atau dapat juga dikatakan bahwa lebih sulit menghentikan gerak benda bermassa besar daripada menghentikan gerak benda bermassa kecil jika kelajuannya sama. Istilah sulit di sini maksudnya adalah memerlukan gaya yang lebih besar. Sedangkan berat atau gaya berat merupakan gaya gravitasi yang bekerja pada suatu benda yang berada di dekat permukaan bumi (Kanginan, 2002). Jadi berat benda tergantung pada besarnya gravitasi bumi. Massa dinyatakan dengan simbol (𝑚), sedang berat (𝑤) dan keduanya memenuhi persamaan: 𝑤 = 𝑚𝑔 dengan 𝑤 = berat (𝑁); 𝑚= massa (kg); 𝑔= percepatan gravitasi.

14. Hukum III Newton

Hukum III Newton menyatakan bahwa: setiap ada gaya aksi selalu timbul gaya reaksi dalam garis kerja yang sama. Gaya aksi sama besar dengan gaya reaksi, tetapi arahnya berlawanan (Kanginan, 2002). Dituliskan: Faksi = −Freaksi. Hukum III Newton ini menunjukkan bahwa tak ada gaya reaksi tanpa didahului oleh gaya aksi, dan tak ada gaya aksi yang tak diikuti gaya reaksi. Pasangan gaya aksi-reaksi selalu bekerja pada

(54)

dua benda yang berbeda, sehingga gaya-gaya tersebut tidak saling menghilangkan atau menghasilkan keseimbangan.

15. Gaya gesek

Kita dapat berjalan dan berlari karena adanya gesekan. Pada waktu kita berjalan, kita memberikan gaya pada lantai. Gesekan pada lantai memungkinkan lantai memberikan gaya reaksi pada kaki, sehingga kita dapat bergerak maju. Gerakan sepeda motor atau mobil dapat dihentikan karena adanya gesekan. Rem karet pada sepeda akan menghambat gerak putaran roda sepeda motor, sehingga sepeda motor dapat berhenti.

Besarnya gaya gesekan dipengaruhi oleh sifat permukaan sentuh, makin kasar permukaan sentuh, makin besar gaya gesek yang mungkin terjadi. Sifat permukaan sentuh dinyatakan dalam bentuk angka karakteristik, yang disebut koefisien gesek yang dilambangkan dengan (𝜇). Nilai koefisien gesek tersebut berkisar antara nol dan 1 ( 0≤ 𝜇 ≤1 ). Ada dua jenis koefisien gesek, yaitu koefisien gesek statis (μs) dan koefisien gesek kinetis (𝜇𝑘) dimana 𝜇𝑘 < 𝜇𝑠R(Tipler, 1991).

Ada dua macam gaya gesek, yaitu gaya gesek statis dan gaya gesek kinetis. Gaya gesek statis adalah gaya gesek antara dua buah benda yang berada dalam keadaan diam sampai siap bergerak. Sedang gaya gesek kinetis adalah gaya gesek antara dua buah benda yang berada dalam keadaan bergerak (Tipler, 1991).

Gambar (2.11a), (2.11b), dan (2.11c) di bawah ini adalah gambar sebuah balok yang diletakkan di atas lantai. Gaya yang bekerja pada balok

(55)

adalah gaya berat (𝑤) dan gaya normal (𝑁). Balok akan memberi tekanan ke lantai sebesar (𝑤) dan permukaan lantai akan memberi gaya pada permukaan balok sebesar (𝑁). Jika gaya luar yang diberikan lebih kecil dari gaya gesek (𝐹 < 𝑓𝑠) maka benda diam (lihat gambar 2.11a). Jika gaya luar yang diberikan sama dengan gaya gesek (𝐹 = 𝑓𝑠) maka benda masih tetap diam (lihat gambar 2.11b). Gaya gesek yang melawan gaya luar (𝐹) sehingga menghambat benda untuk bergerak, disebut gaya gesek statis (fs). Secara matematis dapat ditulis: (𝑓𝑠 ≤ 𝜇𝑠 𝑁); 𝑁 = gaya normal (Tipler, 1991).

Gambar 2.11a Benda dengan 𝐹 < 𝑓𝑠

Gambar 2.11b Benda dengan 𝐹 = 𝑓𝑠

Jika gaya luar yang diberikan lebih besar dari gaya gesek (𝐹 > 𝑓𝑠) maka benda begerak dengan percepatan (𝑎), dan gaya gesek yang bekerja

(56)

adalah gaya gesek kinetis (𝑓𝑘). Secara matematis dapat ditulis sebagai berikut: (𝑓𝑘 ≤ 𝜇𝑘𝑁).

(57)

42 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk jenis penelitian deskriptif kuantitatif (quantitative research). Dalam penelitian kuantitatif data yang diperoleh berupa angka. Sedangkan pada penelitian kualitatif deskriptif data yang diperoleh berupa keterangan atau data kualitatif. Gabungan kedua jenis penelitian ini akan saling memperjelas satu sama lain. Dalam penelitian ini, data yang diperoleh akan dianalisis untuk menjelaskan tingkat pemahaman, terjadinya miskonsepsi dan penyebab miskonsepsi pada siswa kelas XI IPA SMA mengenai konsep gaya dan gerak.

Penelitian ini dilakukan dengan cara memberikan soal-soal mengenai konsep gaya dan gerak. Hasil tes pada siswa akan dianalisis untuk mengetahui apakah terjadi miskonsepsi pada konsep gaya dan gerak. Berdasarkan hasil tes dilakukan wawancara kepada beberapa siswa untuk mengetahui secara lebih detail mengenai penyebab terjadinya miskonsepsi.

B. Waktu dan Tempat Penelitian

Waktu penelitian : 8 Agustus dan 15 Agustus 2016 Tempat penelitian : SMAN I Titehena

Lewolaga, Titehena, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur.

(58)

C. Desain Penelitian

Penelitian ini dimulai dengan memberikan tes pilihan ganda yang disertai dengan CRI kepada siswa. Namun skala CRI hanya mengandalkan kejujuran siswa. Bisa saja yang siswa tuliskan tidak sesuai dengan kenyataan. Oleh karena itu, setelah tes tertulis serta analisis data mengenai tes selesai maka perlu dilakukan wawancara kepada partisipan untuk menggali informasi lain yang dibutuhkan peneliti dalam penelitian ini.

Tes tertulis yang berupa pilihan ganda dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui tingkat pemahaman siswa mengenai konsep gerak dan gaya. Siswa diharapkan untuk menyelesaikan tes tersebut berdasarkan kemampuan siswa mengenai kosep gerak dan gaya. Kemudian skala CRI digunakan untuk mengetahui apakah siswa yakin dengan jawabannya atau hanya sekedar menerka jawaban. Untuk mengetahui apakah siswa dalam menjawab soal sesuai pemahaman mereka atau menerka maka untuk setiap soal siswa diminta untuk mengisi CRI dengan ketentuan sebagai berikut:

Tabel 3.1 Keyakinan Jawaban Siswa Berdasarkan CRI

Skala Keterangan

1 Jawaban menerka dengan mempertimbangkan pengetahuan yang dimiliki 2 Jawaban dengan menggunakan pengetahuan dan pikiran tetapi tidak yakin

akan kebenaran jawaban

3 Jawaban dengan menggunakan pengetahuan dan pikiran serta yakin akan kebenaran jawaban

(59)

Untuk memperoleh informasi lebih mengenai penelitian maka dilakukan wawancara kepada partisipan secara individu dan dalam waktu yang berbeda. Sebelum wawancara dilakukan peneliti merancang pertanyaan-pertanyaan wawancara. Wawancara dilakukan setelah analisis data tes tertulis selesai sehingga peneliti memiliki data mengenai tingkat pemahaman dan miskonsepsi pasa siswa kelas XI IPA di SMAN I Titehena tersebut. Wawancara antara peneliti dan partisipan direkam agar memudahkan peneliti dalam merekap data hasil wawancara.

D. Partisipan

Partisipan penelitian diambil dari kelas XI IPA SMAN I Titehena, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Alasan pemilihan partisipan adalah karena mereka telah mempelajari materi gaya dan gerak pada kelas X SMA. Partisipan diharapkan memahami materi mengenai gaya dan gerak.

E. Instrumen

Data dikumpulkan dengan dua cara, yaitu: 1. Tes Pilihan Ganda

Tes yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes dengan soal pilihan ganda. Pilihan dari soal pilihan ganda harus memiliki pengaruh terhadap siswa dalam memilih jawaban. Oleh karena itu, pilihan jawaban dalam soal ini harus terdiri dari jawaban benar dan jawaban pengecoh. Yang dimaksudkan dengan jawaban pengecoh adalah jawaban yang mungkin akan dipilih siswa jika tidak menguasai materinya. Tujuan dari penggunaan soal pilihan ganda adalah agar mudah dalam melakukan

(60)

analisis data. Selain itu soal pilihan ganda merupakan salah satu tes yang mampu mengukur seluruh bagian dari materi yang akan diujikan.

Jumlah soal tes dalam penelitian ini adalah 25 butir soal mengenai konsep gerak dan gaya. Dalam penelitian ini soal disusun berdasarkan kisi-kisi materi dan data miskonsepsi mengenai setiap sub materi yang biasanya terjadi pada siswa. Bentuk tes tertulis ini adalah soal pilihan ganda yang dilengkapi dengan CRI (Certainty of Response Index). Pada CRI siswa diminta untuk menentukan tingkat keyakinan siswa dalam menggunakan konsep-konsep untuk menyelesaikan soal tes tersebut. Hal ini akan menunjukan apakah terjadi miskonsepsi atau tidak dalam materi tersebut.

Kisi-kisi soal yang digunakan dalam penyusunan soal untuk penelitian ini terdapat pada tabel 3.2 berikut:

Tabel 3.2 Kisi-Kisi Soal Tes Tertulis

No. Indikator Keterangan Jumlah

1. Gerak jatuh bebas 1 dan 5 2 2. Perpindahan 2 1 3. Gerak vertikal ke atas 3 1 4. Gerak lurus dan gaya 4 1 5. Arah kecepatan linier 6 1 6. Gerak parabola 9 dan 10 2 7. Gaya-gaya dalam gerak melingkar 7 1 8. Gaya sentripetal 8 1 9. Resultan gaya pada benda di bidang

datar

11 1 10. Resultan gaya dan gaya gesek 12 1 11. Hukum Newton III 13 dan 14 2 12. Gaya gesek pada benda diam 15 1

(61)

No. Indikator Keterangan Jumlah

13. Gaya normal 16 dan 17 2 14. Hukum Newton I 18 1 15. Perlambatan dan gaya gesek 19 dan 20 2 16. Gaya-gaya ketika benda di udara 21 dan 22 2 17. Gaya gesek pada benda bergerak 23 1 18. Gaya aksi reaksi 24 dan 25 2

Melalui CRI dapat diketahui apakah siswa menyelesaikan soal karena menerka atau karena sungguh-sungguh paham pada materi tersebut. Selain itu, dapat juga diketahui apakah siswa mengalami miskonsepsi atau tidak dalam konsep gerak dan gaya. Jika skala CRI rendah dapat diketahui bahwa siswa kurang memahami konsep gerak dan gaya. Jika skala CRI tinggi maka diketahui siswa benar-benar yakin akan jawaban tersebut. Dengan menggunakan diagram penghubung antara jawaban siswa dan nilai CRI yang dipilih siswa dapat diketahui apakah siswa benar-benar memahami materi, atau apakah siswa telah mengalami miksonsepsi mengenai materi gerak dan gaya.

Misalnya pada kisi-kisi nomor 2 yaitu mengenai perpindahan. Pada materi perpindahan, biasanya siswa memiliki pemahaman bahwa perpindahan selalu sama dengan jarak, sehingga dapat dibuat soal sebagai berikut:

Seorang anak berjalan sejauh 4 m ke arah timur, kemudian bergerak ke utara sejauh 3 m. Setelah itu, anak tersebut berjalan ke barat sejauh 7 m dan ke selatan sejauh 7 m. Berapa perpindahan anak tersebut?

(62)

a. 21 m b. 5 m c. 26 m d. 3 m e. 7 m

Pada lembar jawaban telah diberi CRI dengan format lembar jawaban sebagai berikut:

Lembar Jawaban Nama:

Kelas :

Perhatikan! Tulislah pilihan jawaban yang menurut anda benar dengan menggunakan huruf kapital! Berikan skala keyakinan anda dalam memilih jawaban dengan memberi tanda silang (X) pada salah satu dari skala keyakinan!

1. ____

Keterangan Tidak yakin Ragu-ragu Yakin

Skala 1 2 3

Alasan:

_________________________________________________________ _________________________________________________________

Gambar

Tabel 2.1 Penelitian Tentang Miskonsepsi pada Bidang Mekanika pada  Level SMA
Gambar 2.1 Konsep Jarak dan perpindahan  2.  Kecepatan, kecepatan rata-rata, dan kecepatan sesaat
Gambar 2.2 Grafik kecepatan terhadap waktu benda GLB
Gambar 2.3 Grafik kecepatan terhadap waktu benda mulai GLBB dari  keadaan diam dipercepat
+7

Referensi

Dokumen terkait

UJI EFEKTIVITAS EKSTRAK ETANOL PURWOCENG ( Pimpinella pruatjan Molk ) TERHADAP PENURUNAN KADAR GULA DARAH TIKUS PUTIH YANG DIINDUKSI

Yang bertandatangan di bawah ini bersetuju menjadi terikat oleh dan tunduk kepada Syarat-Syarat Kontrak dan Senarai Kuantiti yang terletak harganya dan/atau Spesifikasi

dari sudut pandang sosiologi sastra yaitu aspek moral dalam hal ini yang diungkap adalah perbuatan, sikap, budi pekerti, susila para tokoh utama; aspek etika membahas

Film yang dirilis 15 Agustus 2012 di 8 negara, yakni USA, Hong Kong, Singapore, Taiwan, Jepang, German, Perancis, dan Korea Selatan, serta hak siar yang sudah

Antarmuka pembobotan KPI terdiri dari menu pemilihan kategori stakeholder , halaman input data ranking masing-masing KPI, tombol ‘input’ untuk menyimpan KPI ke dalam

AICS - Inventarisasi Bahan Kimia Australia; ASTM - Masyarakat Amerika untuk Pengujian Bahan; bw - Berat badan; CERCLA - Undang-Undang Tanggapan, Kompensasi, dan Tanggung Jawab

Pada evaluasi organoleptik semua sediaan pasta gigi telah dibuat dengan perbandingan konsentrasi basis berbeda yang menunjukkan sebelum dan sesudah penyimpanan

Berdasarkan peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 62/PMK.01/2009 tentang organisasi dan tata kerja Instansi vertikal Direktorat Jendral Pajak, Kantor