PROPOSAL
PENELITIAN DIPA FISIP UNIVERSITAS LAMPUNG
PEMETAAN POTENSI SUBNASIONAL DI KAWASAN ASIA TENGGARA: TELAAH PROYEKSI KEMITRAAN STRATEGIS KERJASAMA INTERNASIONAL DAERAH PROVINSI LAMPUNG
TIM PENGUSUL
Ketua : Fahmi Tarumanegara, M.Si., M.B.A NIDN : 0025088006
Sintha ID : 6008736 Anggota : Hasbi Sidik, S.IP., M.A
NIDN : 0030127902 Sintha ID : 5976870
Fitri Juliana Sanjaya, S.IP., M.A NIDN : 0017078805
Sintha ID : 6680587
Dibiayai oleh Dana DIPA FISP Unila Tahun Anggaran 2021
JURUSAN HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS LAMPUNG 2021
PROPOSAL
PENELITIAN DIPA FISIP UNIVERSITAS LAMPUNG
PEMETAAN POTENSI SUBNASIONAL DI KAWASAN ASIA TENGGARA: TELAAH PROYEKSI KEMITRAAN STRATEGIS KERJASAMA INTERNASIONAL DAERAH PROVINSI LAMPUNG
TIM PENGUSUL
Ketua : Fahmi Tarumanegara, M.Si., M.B.A NIDN : 0025088006
Sintha ID : 6008736 Anggota : Hasbi Sidik, S.IP., M.A
NIDN : 0030127902 Sintha ID : 5976870
Fitri Juliana Sanjaya, S.IP., M.A NIDN : 0017078805
Sintha ID : 6680587
Dibiayai oleh Dana DIPA FISP Unila Tahun Anggaran 2021
JURUSAN HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS LAMPUNG 2021
ii
HALAMAN PENGESAHAN PENELITIAN FISIP UNILA
Bandarlampung, 1 April 2021 Mengetahui
Ketua Jurusan Hubungan Internasional
Dr. Ari Darmastuti, M.A NIP. 196004161986032002
Ketua Penelitian
Fahmi Tarumanegara, M.Si., M.B.A NIP. 198008252014041001 Menyetujui,
Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kerja Sama
Dr. Dedy Hermawan, M.Si.
NIP 197507202003121002
Judul Penelitian : Pemetaan Potensi Subnasional Di Kawasan Asia
Tenggara: Telaah Proyeksi Kemitraan Strategis Kerjasama Internasional Daerah Provinsi Lampung
Manfaat Sosial Ekonomi : Sosial Humaniora / Hubungan Internasional
Jenis Penelitian : Penelitian Dasar
Ketua Peneliti
a. Nama Lengkap : Fahmi Tarumanegara, M.Si., M.B.A
b. NIDN : 0025088006
c. SINTA ID : 6008736
d. Jabatan Fungsional : Tenaga Pengajar
e. Jurusan : Hubungan Internasional
f. Nomor HP : 081322885500
g. Alamat surel (e-mail) : [email protected] Anggota Peneliti (1)
a. Nama Lengkap : Hasbi Sidik, S.IP., M.A
b. NIDN : 0030127902
c. SINTA ID : 5976870
d. Jurusan : Hubungan Internasional
Anggota Peneliti (2)
a. Nama Lengkap : Fitri Juliana Sanjaya, S.IP., M.A
b. NIDN : 0017078805
c. SINTA ID : 6680587
d. Jurusan : Hubungan Internasional
Jumlah mahasiswa yang terlibat : 3 orang
Luaran : Rekomendasi Kebijakan Daerah dan Artikel Ilmiah
Lokasi kegiatan : Bandar Lampung
Lama kegiatan : 6 bulan
Biaya Penelitian : Rp. 12.500.000
(dua belas juta lima ratus ribu rupiah)
Sumber dana : DIPA FISIP Universitas Lampung tahun 2021
iii
IDENTITAS DAN URAIAN UMUM PENELITIAN
1. Judul Penelitian : Pemetaan Potensi Subnasional Di Kawasan Asia Tenggara: Telaah Proyeksi Kemitraan Strategis Kerjasama Internasional Daerah Provinsi Lampung.
2 Tim Peneliti :
No Nama Jabatan Bidang
Keahlian
Progam Studi
Alokasi Waktu Jam/Minggu 1 Fahmi Tarumanegara,
S.I.P., M.Si., M.B.A Ketua EPI Hubungan
Internasional 15 2 Hasbi Sidik,
S.IP., M.A Anggota 1 KI Hubungan
Internasional 15 3 Fitri Juliana Sanjaya,
S.IP., M.A Anggota 2 KI Hubungan
Internasional 15
4 Zizi Fransisco Mahasiswa 1 - Hubungan
Internasional 5
5 Yunia Mahasiswa 2 - Hubungan
Internasional 5 6 Yoga Adi Pratama Mahasiswa 3 - Hubungan
Internasional 5 3. Objek Penelitian : Kebijakan dan perfora potensi daerah
Provinsi Lampung dan mitra daerah dan negara 4. Masa Pelaksanaan :
Mulai : Bulan April Tahun 2021
Berakhir : Bulan September Tahun 2021 5. Usulan Biaya : Rp. 12.500.000
(dua belas juta lima ratus ribu rupiah) 6. Lokasi Penelitian : Lapangan dan Situs Resmi Pemerintah
Bandarlampung, Indonesia 7. Instansi yang
Terlibat
: Pemerintah Provinsi Lampung
Pemerintah Kotamadya Bandarlampung 8. Kontribusi mendasar pada suatu bidang ilmu:
Penelitian ini mencoba memetakan potensi subnasional-subnasional di Kawasan Asia Tenggara dengan pendekatan dan metode yang umum belum dimanfaatkan oleh keilmuan Hubungan Internasional. Pemetaan potensi subnasional dan pemetaan kebutuhan dan karakteristik kerjasama internasional Provinsi Lampung digunakan untuk membangun model kerjasama dan prioritas mitra strategis Provinsi Lampung di kawasan Asia Tenggara.
8 Jurnal Ilmiah yang menjadi sasaran untuk setiap penerimaan hibah:
Indonesian Journal Of International Relations, edisi Juli 2021 – Juni 2021 (Asosiasi Hubungan Internasional Indonesia)
Jurnal Hubungan Internasional (JHI), edisi Januari 2021 – Juni 2021 (Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta)
iv DAFTAR ISI
Halaman Pengesahan ...………..………… ii
Identitas Dan Uraian Umum Penelitian ...………..………… iii
Daftar Isi ………….……….…… iv
Daftar Tabel dan Gambar …...…….………..……….. v
BAB I : PENDAHULUAN ...……….…..………… 1
1.1. Latar Belakang Masalah ...….…..………… 1
1.2. Rumusan Masalah …...……….…..…………7
1.3. Urgensi Penelitian …...……….…..…………9
1.4. Tujuan Penelitian .…...……….…..………… 9
1.5. Kontribusi Penelitian ...………...…..………… 9
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA ...………….…..………… 11
2.1. Penelitian Terdahulu …...……….…..………… 11
2.2. Paradiplomasi ...…...……...…..………… 17
2.3. Strategi Tata Kelola …...…...…..………… 21
2.4. Kerangka Pemikiran ...……….…..………… 23
BAB III : METODE PENELITIAN ...………….…..………… 24
3.1. Jenis Penelitian ...…...……….…..………… 24
3.2. Instrumen Penelitian ...…..………… 25
3.3. Teknik Pengumpulan Data ...……….…..………… 26
3.4. Sumber Data ...…...…….…..………… 26
3.5. Populasi dan Batasan Penelitian ....………...…..………… 27
3.6. Teknik Analisis Data …...……….…..………… 27
BAB IV : BIAYA DAN JADWAL ...………….……....…… 29
4.1. Rencana Jadwal Kegiatan Penelitian ...……… 29
4.2. Rencana Anggaran Biaya Penelitian .…...……….…..………… 30
Daftar Pustaka ..……….……….……….. 32
Personalia Penelitian ...………...…,,..……….. 34
v
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Ragam Penggunaan Istilah Lain dari Paradiplomasi ...… 18 Tabel 4.1. Rencana Jadwal Pelaksanaan Penelitian ...… 29 Tabel 4.2. Rencana Anggaran Biaya Penelitian ...… 31
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Tiga level dan Jenis Analisis Strategi ...….. 22 Gambar 2.2. Kerangka Pemikiran Penelitian ...….. 23
I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Kerjasama internasional sejak lama telah dilaksanakan oleh berbagai aktor baik negara termasuk yang dilakukan oleh daerah yang kemudian dikenal dengan istilah paradiploamsi. Paradiplomasi dalam konteks aktivitas bukanlah hal baru, purna rupa aktivitas ini telah hadir sejak 5000 tahun lalu ketika kota-kota di Yunani Kuno, Mesir, Mesopotamia, dan beberapa daerah di Asia terhubung dalam perdagangan dan kerjasama di jalur sutera. Berbeda dari masa itu, paradiplomasi di era negara bangasa modern baru tercatat ketika beberapa daerah di Asutralia membuka hubungan perdagangan dan kantor perwakilan di Eropa yaitu di London dan Paris. Paradiplomasi di abad 20 dimulai ketika Sao Paulo Brazil pada tahun 1907 dengan mengadakan perjanjian kerjasama internasisonal yang lebih kompleks dengan Jepang. Paradiplomasi sejak itu kian berkembang didukung arus globalisasi yang juga mempercepat arus keuangan, mobilitas barang dan manusia, melalui perkembangan teknologi komunikasi, informasi, dan transportasi. Konsekuensinya kepentingan dan kebutuhan negara meluas ke berbagai dimensi, sehingga medorong pembagian kerja antara pemerintah pusat negara dan pemerintah daerah.1
Perkembangan paradiplomasi juga mendorong hadirnya kerjasama multilateral antar daerah. Pembentukan International Union of Local Authorities (IULA) di tahun 1913 yang mengawali hadirnya berbagai organisasi otoritas daerah pada skala internasional. Kini tercatat sejumlah 125 jejaring kerjasama multilateral
1 Sepanjang tahun 1858-1891 ketika wilayah Victoria, Australia Selatan, Quennsland, Quebec, Tasmania, dan Australia Barat; tercatat sebagai daerah yang pertama melakukan paradiplomasi lintas kawasan. Sedangkan Sao Paulo menyusul dengan berhasil membangun kerjasama internasional dengan pemerintah Jepang dalam pembukaan arus imigran Jepang ke daerah tersebut. Dirangkum Rodrigo Tavares. 2016. Paradiplomacy: Cities and States as Global Players. New York: Oxford University Press. Halaman 10-11.
paradiplomasi telah hadir dan bergerak di berbagai isu.2 Perkembanganan paradiplomasi juga tidak hanya dapat diukur dari perkembangan jejaring yang terbentuk di arena internasional, namun juga dengan semakin besarnya posisi dan kekuatan daerah. Tavares dalam penelitiannya mencatat dari 30 entitas politik dengan GDP tertinggi di dunia (baik negara, daerah, dan kota), sejumlah 20 entitas atau sebesar 66% adalah daerah atau kota yang umumnya berasal dari negara- negara maju.3 Hal ini diperkuat dengan kenyataan bahwa performa ekonomi makro negara-negara pada dasarnya ditopang oleh performa industri yang ada di daerah.
Di Indonesia, gelombang aktivitas paradiplomasi juga telah melibatkan berbagai provinsi dan kota untuk melakukan kerjasama internasional. Pemerintah pusat telah menunjukan komitmennya terhadap upaya dan kerjasama luar negeri pemerintah daerah melaui pelbagai kerangka regulasi. Pemerintah pusat melalui Kementerian Luar Negeri telah mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Luar Negeri Republik Indonesia (RI) Nomor 03/A/OT/X/2003/01 pada tanggal 29 Oktober 2003 tentang Panduan Umum Tata Cara Hubungan Luar Negeri oleh Pemerintah Daerah. Ketentuan-ketentuan ini selanjutnya diubah berdasarkan Peraturan Menteri Luar Negeri RI No.09/A/KP/XII/2006/01 di tahun 2006 dan direvisi kembali melalui Peraturan Menteri Luar Negeri RI No. 3 Tahun 2019.
Komitmen pemerintah pusat tidak hanya terlihat pada keluarnya aturan tersebut di atas. Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Dalam Negeri juga telah mengatur tata kelola kerjasama pemerintah daerah dengan pihak luar negeri dengan mengeluarkan Peraturan Kementerian Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 3 Tahun 2008 dan Permendagri Nomor 74 tahun 2012 tentang Pedoman Kerjasama Pemerintah Daerah Dengan Badan Swasta Asing. Selanjutnya, kedua Permendagri tersebut di atas telah dicabut dan digantikan dengan dikeluarkannya Permendagri Nomor 25 Tahun 2020 sebagai pembaharuan tata kelola pelaksanaan paradiplomasi oleh daerah-daerah di Indonesia.
2 Pertemuan terbesar yang dikenal adalah World Regional Governments Summit (WRGS) (sejak 2009) yang dilaksanakan oleh Forum of Regional Governments and Global Associations of Regions (FOGAR), serta World Council of the United Cities and Local Governments (UCLG) (sejak 2010). Ibid. Halaman 10-26.
3 California (8), Texas (13), Tokyo (14), New York City (15), New York State (19), Guangdong (21), Jiangsu (22), Shandong (23), Los Angles (26), Florida (27), Île- de-France (29), Su Paulo (30). Ibid. Halaman 3-4.
Keterlibatan pemerintah pusat khususnya kementerian luar negeri dalam kerjasama luar negeri daerah Indonesia juga giat dilakukan melalui pelibatan kedutaan-kedutaan besar Indonesia ataupun konsulat-konsulat jenderal.
Keterlibatan tersebut dilakukan dengan memfasilitasi ragam pertemuan antara dua atau lebih pemerintah daerah di Indonesia dengan pemerintah daerah luar negeri, mempromosikan potensi daerah atau membantu kebutuhan kerjasama daerah luar negeri. Sedangkan kementerian lainnya seperti Kementerian Dalam Negeri juga aktif melakukan sosialisasi kerjasama luar negeri daerah dengan pelibatan pemerintah provinsi, kota, kabupaten dan dinas-dinas terkait serta berkerjasama dengan lembaga negara lainnya seperti Dewan Perwakilan Daerah atau Dewan Perwakilan Rakyat.
Keleluasaan daerah dalam melaksanakan paradiplomasi juga meluas ke berbagai aspek meskipun masih fokus pada aspek low politics. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2018 Tentang Kerjasama Daerah, dinyatakan bahwa Kerjasama Daerah dengan Pemerintah Daerah Luar Negeri (KSDPL) merupakan kerjasama yang secara umum ditujukan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat dan percepatan pemenuhan pelayanan publik. Peraturan ini juga menegaskan empat objek KSDPL yaitu: pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pertukaran budaya, peningkatan kemampuan teknis dan manajemen pemerintahan, promosi potensi daerah dan objek kerjasama lainnya yang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Peraturan ini lahir dari pertimbangan atas pasal 369 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Selanjutnya, Peraturan Pemerintah, Peraturan Kementerian Luar Negeri ataupun Peraturan Kementerian Dalam Negeri ini menyajikan fakta bahwa telah hadirnya kemauan kuat dan dukungan pemerintah pusat atau negara terhadap pemerintah daerah untuk memperluas dan mengembangkan kerjasama luar negeri daerahnya.
Atas adanya komitmen dan dukungan pemerintah pusat, sejumlah Pemerintah Daerah (Pemda) di Indonesia baik di tingkat provinsi, kabupaten atau kota, sudah melakukan berbagai kerjasama luar negeri. Upaya ini ada yang dilakukan setelah regulasi kerjasama luar negeri daerah di keluarkan oleh pemerintah ataupun dilaksanakan sebelum regulasi tersebut muncul. Sebelum
panduan kerjasama dikeluarkan, Daerah Istimewa Yogykarta telah melakukan kerjasama dengan pemerintah prefektur Kyoto di tahun 1985. Selain itu, kerjasama yang paling lama adalah kerjasama sister city antara kota Bandung dan kota Braunschweig di Jerman yang sudah dimulai sejak tahun 1960. Saat ini, dua kota atau pemerintah daerah tersebut bahkan menjadi daerah yang memiliki jumlah kerjasama luar negeri terbanyak dibandingkan pemda lain di seluruh wilayah Indonesia.4
Pulau Jawa tercatat memiliki kerjasama pemerintah daerah dan objek KSDPL yang lebih banyak banyak dan beragam dibandingakan pemerntah daerah (Pemda) di pulau atau daerah lainnya. DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan sejumlah pemda yang memiliki jumlah KSDPL paling banyak saat ini. Pemda DIY saat ini memiliki 25 KSDPL, diikuti DKI Jakarta dengan 21 KSDPL dan kota Bandung dengan 14 KSDPL. Selanjutnya, pemda Jawa Tengah, Jawa Timur dan Banten meskipun memiliki KSDPL lebih sedikit diantara keseluruhan pemda di pulau Jawa, namun masih tetap lebih banyak dibandingkan bila dibandingkan pemda lainnya dari berbagai daerah Indonesia lainnya. Mitra KSDPL pemda-pemda di pulau Jawa saat ini didominasi oleh kerjasama pemda dengan pemda dan negara Tiongkok dengan fokus objek kerjasama berada pada bidang pendidikan dan kebudayaan serta pengembangan ekonomi.5
Di daerah bagian Tengah dan Timur Indonesia, sejumlah pemda juga sudah mulai melakukan KSDPL meskipun jumlahnya masih sangat sedikit. Pemda dengan KSDPL terbanyak dilakukan oleh pemda Bali yang fokus pada pengembangan pariwisata dan ekonomi. Pemda Bali di sepanjang tahun 2016 hingga 2019 telah melakukan 5 KSDPL dengan fokus pada pengembangan pariwisata. Nusa Tenggara Timur juga menjadi daerah dengan jumlah kerjasama terbanyak; serta diikuti oleh Maluku, Kalimantan Timur, Makasar, Kalimantan Selatan dan Papua. Kerjasama daerah yang dilakukan oleh berbagai pemerintah
4 Diolah dari berbagai sumber. Diakses melalui http://jogjainvest.jogjaprov.go.id/kerjasama-luar- negeri.html pada 20 April 2021 pukul 21.00, http://pemksm.jabarprov.go.id/Kerja-Sama/Mitra- Luar-Negeri pada 20 April 2021 pukul 21.05, http://kerjasama.bandung.go.id/ksln/ksdpl pada 20 April 2021 pukul 21.15, http://kerjasama. humasjatim.id/index.php/tblksln pada 20 April 2021 pukul 21.20, https://birope merintahan.bantenprov.go.id/upload/20110308095052-kerjasama- luar-negeri-oleh-pemerintah-daerah.pdf pada 20 April 2021 pukul 21.10.
5 Ibid.
daerah tersebut secara umum mulai gencar dilakukan ditahun 2019 dengan mitra daerah luar negeri terbanyak berasal dari Asia seperti Korea Selatan dan Tiongkok.
Di pulau Sumatera, Aceh merupakan daerah dengan jumlah kerjasama yang paling banyak dengan sebaran mitra ada di daera Eropa seperti Belanda, Jerman, Turki dan negara-negara di Asia Timur seperti Jepang. Pemerintah Riau juga menjadi daerah terbanyak meskipun mitra kerjasamanya didominasi oleh pemerintah daerah dari Malaysia. Selanjutnya diikuti oleh Pemerintah daerah Sumatera Utara dengan mitra berasal dari Belanda, Korea Selatan dan Tiongkok.
Pemerintah Sumatera Barat juga melakukan kerjasama dengan mitra yang dominan berasal dari Eropa. Pemerintah daerah lainnya seperti Jambi, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Bengkulu dan Kepulauan Riau juga sudah melakukan KSDPL namun masih sangat sedikit dan umumnya dimulai sejak tahun 2015. Berdasarkan objek kerjasama KSDPL, mayoritas pemerintah daerah di pulau Sumatera fokus pada dimensi ekonomi, pendidikan dan kebudayaan dengan pemerintah Aceh dan Riau sebagai pemerintah daerah dengan fokus utama pendidikan dan budaya.
Sedangkan Lampung memiliki mitra dengan Australia, Selandia Baru dan Kroasia.
Provinsi Lampung sendiri merupakan provinsi terluas ke 21 dari total 34 provinsi yang ada di Indonesia. Luas provinsi ini adalah 34.623,80 km persegi atau setara dengan 1,81% luas Indonesia, serta memiliki 132 pulau di wilayahnya.
Provinsi Lampung terbagi ke 13 wilayah administratif setara kabupaten dan kota, 228 kecamatan, serta 2654 kelurahan. Dalam urusan politik, indeks demokrasi Provinsi Lampung sebesar 72,56 berada di bawah rata-rata nilai secara nasional sebesar 74,92. Jumlah penduduk Provinsi Lampung sebesar 9,007 juta jiwa atau terbesar ketiga di wilayah Sumatera dan kedelapan di Indonesia. Jika dilihat dari aspek migrasi, maka Provinsi Lampung tercatat sebagai salah satu provinsi yang mengalami perpindahan penduduk relatif tinggi dimana angka migrasi masuk ke Lampung sebesar 1,485 juta jiwa dan yang keluar hanya sebesar 0,385 juta jiwa.6
Masyarakat Provinsi Lampung umumya bermata pencarian di empat sektor utama; yakni: pertaniandan perikanan, konstruksi, manufaktur, serta perdagangan ritel. Dilihat dari aspek pendidikan, provinsi ini memiliki performa pendidikan
6 Dirangkum oleh peneliti. Badan Pusat Statistik, 2021, Statistika Indonesia 2021, Jakarta: BPS.
dasar berupa ketersediaan sekolah dasar dan menengah yang relatif tinggi di Sumatera. Uniknya performa ini tidak berbanding lurus dengan ketersediaan institusi pendidikan lanjutan dan tinggi yang jauh berada di bawah provinsi lain di Sumatera. Provinsi Lampung memiliki 80 instititusi pendidikan tinggi yang angka ini berada di bawah Provinsi Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan dan Aceh. Tingkat kecakapan teknologi di provinsi ini juga relatif rendah bila dibandingkan provinsi lain di Sumatera, yang dilihat dari tingkat penguasan komputer, akses internet, dan kepemilikan telepon selular.7
Secara makro pemasukan daerah Provinsi Lampung terbesar ditopang oleh pemasukan daerah di tingkat kabupaten atau kota. Pemasukan daerah di tingkat provinsi sebesar Rp. 6,941 trilyun, kabupaten dan kota sebesar Rp. 23.214 trilyun, serta di tingkat desa sebesar Rp. 3,663 trilyun. Pemasukan dalam bentuk pendanaan financing juga serupa dimana di tingkat provinsi sebesar Rp. 0,253 trilyun dan di tingkat kabupaten dan kota sebesar Rp. 0,767 trilyun. Di tahun 2020 pemasukan daerah financing Provinsi Lampung juga mengalami defisit. Pendapatan baik provinsi dan kabupaten dan kota tersebut tercatat kurang dari 2,00% pendapatan nasional, dimana jika memperhitungkan rerata seluruh provinsi maka pemasukan daerah dapat ditingkatkan hingga ke 2,94% pendapatan nasional. Hal ini menunjukan bahwa performa pemasukan daerah Provinsi Lampung butuh dan dapat ditingkatkan.8
Salah satu potensi unggulan Lampung adalah sektor pertanian, perkebunan, dan peternakan. Pada sektor pertanian Provinsi Lampung adalah pemasuk utama padi dan beras di wilayah Sumatera dan Jawa dengan performa lahan produksi dan hasil produksi kedua terbesar setelah Sumatera Utara. Pada tahun 2020, produksi komoditas tersebut mencapai 2,605 juta ton. Di sektor perkebunan, komoditas unggulan Lampung adalah pisang, pepaya, mangga, kopi, kakao, dan gula; yang secara umum komoditas tersebut juga serupa dengan potensi Sumatera Selatan.
Sedangkan pada sektor peternakan, komoditas unggulan Lampung adalah sapi potong yang mencapai 850 ribu ekor per tahun dan kambing 1,480 juta ekor.
Uniknya keseluruhan komoitas olahan dari berbagai komoditas di atas bukanlah
7 Ibid.
8 Ibid.
merupakan komoditas unggulan Provinsi Lampung; yang berarti potensi Lampung untuk meningkatkan dan memperluas produksi berbagai komoditas mentah tersebut sangat berpeluang untuk dilakukan.9
Di sektor pariwisata, Provinsi Lampung tercatat sebagai provinsi dengan tingkat hunian akomodasi pariwisata tertinggi di Sumatera atau sebesar 44,11%
untuk akomodasi hotel berbintang serta 20,74% untuk hunian jenis lainnya. Hal ini justru kontras dengan performa ketersediaan akomodasi dan sarana pariwisata Lampung yang relatif rendah seperti ketersediaan hotel sebesar 373, kamar sebesar 7.494 unit, dan tingkat ketersediaan tempat tidur sebesar 10.462; yang menjadi beberapa indikator kesiapan akomodasi pariwisata. Dengan kata lain, tingginya tingkat hunian Lampung terjadi karena belum seimbangnya ketersediaan akomodasi pariwisata dengan tingginya tingkat kunjungan ke provinsi ini. Hal tersebut juga butuh diperhitungkan sebagai alasan dibutuhkannya kerjasama dengan pihak eksternal. Tidak hanya itu, dalam sektir tarnsportasi khususnya yang mendukung arus perdagangan internasional, Lampung tercatat sebagai provinsi terpadat sebagai hub perlintasan baran antar pulau dan antar negara tertinggi di pulau Sumatera atau urutan ke delapan di Indonesia. Angka bongkar muat dari seluruh pelabuhan aktif di provinsi Lampung tercatat mencapai 14,260 juta ton.10
Belum maksimalnya performa berbagai sub-sektor ekonomi Provinsi Lampung juga sejalan dengan tingkat investasi yang masuk ke provinsi ini.
Domestic direct investment ke Lampung tercatat sebesar Rp. 7,120 trilyun sedangkann foreign direct investment ke Lampung tercatat sebesar US$ 498 juta.
Angka investasi domestik dan asing tersebut berada di bawah angka investasi provinsi Riau, Sumatera Utara, Kepulauan Riau, dan Sumatera Selatan.11
1.2. Rumusan Masalah
Berbagai potensi dalam dimensi geografi, kependudukan, dan ekonomi telah dimiliki oleh Provinsi Lampung. Dalam dimensi ekonomi Lampung tidak
9 Ibid.
10 Ibid.
11 Ibid.
hanya tercatat sebagai Provinsi penopang produksi berbagai komoditas pertanian, perkebunan, dan perdagangan; lebih dari itu dalam sektor pariwisata dan transportasi pedagangan Lampung juga memiliki modal besar. Di beberapa komoditas Lampung bahkan tercatat sebagai produsen utama nasional bila dibandingkan dengan berbagai provinsi lain baik di wilayah Sumatera atau bila dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia. Berbagai potensi tersebut nyatanya belum sejalan dengan performa capaian Provinsi Lampung di berbagai indikator seperti tingkat pendidikan dan ketersediaan fasilitas pendidikan, pemasukan daerah, tingkat perdagangan, dan serapan investasi domestik maupun asing. Tidak hanya itu berbagai sektor perekonomian di Provinsi Lampung yang juga dengan memperhitungkan fokus lapangan pekerjaan yang tersedia masih berpusat di sektor agraris dan belum mengarah pada sektor manufaktur dan jasa yang lebih menguntungkan secara ekonomi.
Berbgai kondisi tersebut di satu sisi memperlihatkan berbagai keunggulan dan kelemahan yang dimiliki Provinsi Lampung, namun di sisi lain juga menggambarkan besarnya peluang kerjasama yang dapat dibangun provinsi Lampung secara domestik maupun internaisonal, baik dalam konteks kerjasama antar dan dengan pemerintah, swasta, dan masyarakat dari daerah lainnya.
Meskipun langkah kerjasama dalam kerangka paradiplomacy telah dibangun oleh pemerintah Lampung seperti dengan Australia dan Kroasia, namun terdapat beberapa poin penting dari hal tersebut: pertama, kerjasama tersebut masih belum maksimal bila dibandingkan kerjasama internasional yang telah dibangun provinsi lain di Indonesia baik dalam jumlah mitra maupun keluasan kerjasama; kedua, kerjasama yang ada umumnya bukan kerjasama yang diinisiasi pemerintah Provinsi, Kabupaten, atau Kota di Provinsi Lampung; ketiga, kerjasama yang dibangun belum menangkap potensi dan kebutuhan daerah atau negara mitra yang secara geografis dekat dengan Lampung seperti negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Negara dan daerah di kawasan ini pada dasarnya memiliki beberapa kesamaan karakteristik yang dapat mendukung kerjasama. Selain itu kerjasama di kawasan ini pada dasarnya berpotensi besar untuk dilakukan baik dengan inisiatif mandiri Provinsi Lampung maupun bergerak di bawah kerangka kerja Ass Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) dan United Cities and Local
Governments Asia Pacific (UCLG ASPAC). Atas berbagai paparan di atas maka penelitian ini mengangkat pertanyaan: Bagaimana pemetaan potensi dan peluang kerjasama subnasional di Kawasan Asia Tenggara terhadap Provinsi Lampung?
1.3. Urgensi Penelitian
Penelitian ini penting untuk dilakukan karena meski mengalami peningkatan, berbagai perfoma ekonomi Lampung mulai tersaingi oleh daerah lain di Sumatera dan daerah lain di Indonesia. Kondisi Kondisi ini lambat laun akan berdampak terhadap pergeseran arah arus investasi domestik dan asing dari Lampung ke daerah lain. Pemaksimalan beberapa indikator ekonomi daerah juga menjadikan Lampung berpeluang menciptakan peningkatan pemasukan daerah yang menjamin terjadinya percepatan dan pembangunan yang berkesinambungan di Provinsi Lampung.
1.4. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini dimaksudkan menjadi arahan mendapatkan jawaban penelitian, yaitu untuk:
- Memetakan potensi subnasional di kawasan Asia Tenggara,
- Memetakan potensi dan kebutuhan Provinsi Lampung dalam kerangka kerjasama luar negeri,
- Memproyeksikan pola kerjasama dan mitra strategis Provinsi Lampung di kawasan Asia Tenggara.
1.5. Kontribusi Pengetahuan
Dari tercapainya tujuan penelitian, maka penelitian ini diharapkan juga dapat menghasilkan manfaat (outcome) atau berkontibusi guna:
- Keilmuan / Pengetahuan : penelitian ini diharapan mampu memberikan alternatif model kemitraan startegis dalam kerangka kerjasama subnasional khususnya di kawasan Asia Tenggara yang didasasri hasil pemetaan potensi berbagai subnasional.
- Praktis : penelitian ini juga diharapkan dapat menghasilkan rekomendasi berupa model kerjasama dan usulan mitra strategis untuk dijajaki dan ditindaklanjuti oleh pemerintah provinsi, kabupaten atau kota khususnya di Provinsi Lampung.
II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penelitian Terdahulu
Penelitian dengan topik kerjasama internasional yang melibatkan pemerintah daerah telah banyak dilakukan. Salah satunya adalah penelitian karya Firstyarinda Valentina Indraswari yang berjudul Kerjasama Indonesia-Korea Selatan dalam Pengembangan Desa Melalui Sistem Saemaul Undong: Studi Kasus Kerjasama Lintas Batas Daerah Istimewa Yogyakarta dan Gyeongsangbuk-Do. Penelitian tersebut mengangkat latar belakang kian terlibatnya pemerintah provinsi, kota, bahkan desa dalam aktivitas diplomasi (paradiplomasi) yang menopang diplomasi pemerintah pusat negara. Aktivats itu berupa kerjasama seperti sister city dan sister province, yang juga melibatkan aktor non pemerintah seperti International Non Governmental Organizations (INGOs).
Wujud kerjasama antar daerah dipaparkan dalam penelitian tersebut salah satunya adalah diadopsinya konsep Saemaul Undong dari Korea Selatan oleh berbagai daerah di lebih dari 70 negara dunia. Di Indonesia kerjasama Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) tercatat melakukan kerjasama pengembangan Saemaul Undong dengan Provinsi Gyeongsangbuk-Do sejak 2005. Penelitian Indraswari kemudian mencoba melihat keseluruhan proses kerjasama kedua daerah dari awal terbentuk hingga saat ini.12
Penelitian tersebut mengangkat konsep Cross Border Cooperation dan konsep Saemaul Undong. Indraswari mengadopsi konsep Cross Border
12 Firstyarinda Valentina Indraswari. 2015. Kerjasama Indonesia - Korea Selatan dalam Pengembangan Desa Melalui Sistem Saemaul Undong: Studi Kasus Kerjasama Lintas Batas Daerah Istimewa Yogyakarta dan Gyeongsangbuk-Do. Jurnal Transformasi Global, Vol 2, No 2 (2015). Malang: Universitas Brawijaya. Diakses melalui https://transformasiglobal.ub.ac.id/
index.php/trans/article/view/28 pada 25 Maret 2021 pukul 02.22.
Cooperation dari De Sousa yang menjelaskan adanya tiga kerangka pendorong kerjasama antar daerah yaitu: ekonomi, kepemimpinan politik, dan geografis.
Kerjasama yang terbentuk kemudian mengalami transformasi secara bertingkat yaitu dimulai dari adanya peningkatan kesadaran kerjasama, kemudian mendorong adanya pemberian bantuan yang saling menguntungkan, selanjutnya meningkat menjadi kerjasama fungsional, hingga pada akhirnya membentuk kapasitas institusional antar daerah dan antar negara. Di sisi lain, konsep Saemaul Undong diterangkan Indraswari merupakan ide yang lahir dari President Park Chung Hee yang ditujukan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat pedesaan di negara berkembang. Penelitian mengenai Saemaul Undong juga telah dilakukan oleh Edward P.Reed juga diadopsi oleh Indraswari dalam penelitiannya, dengan menjelaskan bahwa kesuksesan jalannya Saemaul Undong ditentukan dari tiga faktor utama yaitu: peningkatan infrastruktur fisik desa, pengadopsian sistem baru dengan mempertimbangkan kondisi masyarakat (sosial, politik, ekonomi), serta kepemimpian kepala daerah dan negara.13
Penelitian Indraswari memaparkan kerjasama Pengembangan Desa melalui Sistem Saemaul Undong dilakukan di dua leevel berbeda yaitu antar negara dan antar provinsi. Kerjasama di tingkat provinsi telah diinisiasi lebih dulu yaitu sejak pertemuan wakil kedua daerah terjadi di tahun 2001. Penandatanganan Leter of Intent (LoI) terjadi di tahun 2003, dilanjutkan penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) di tahun 2005; yang pada periode ini terjadi berbagai kunjungan bilateral. Kerjasama berlanjut di periode 2005-2015 berupa aktivitas dan pemberian bantuan pengiriman relawan muda, tenaga pengajar, dan tenaga medis ke berbagai desa di Yogyakarta. Desa Salamrejo pada tahun 2010 ditetapkan sebagai daerah implementasi Saemaul Undong, yang di desa tersebut berhasil didirikan Balai Pertemuan Desa, tempat pembudidayaan sapi, pembangunan sumur bor, serta pembangunan infrastruktur jalan. Pada tahun 2015 juga didirikan Pusat Studi Tri Sakti dan Saemaul Undong di Universitas Gadjah Mada. 14
Penelitian Indraswari menemukan adanya tren positif antara pembangunan desa dan daerah yang sejalan dengan penguatan kerjasama yang terjadi. Penelitian
13 Ibid.
14 Ibid.
tersebut menyimpulkan bahwa kerjasama pengadopsian Saemaul Undong beerawal dari besarnya peran kerjasama di tingkat daerah yang mendorong pemerintah pusat melakukan kerjasama antar negara di bidang yang sama. Dalam kesimpulannya Indraswari menekankan butuhnya penyesuaian kerjasama tersebut dengan kearifan lokal yang berlaku di masing-masing wilayah.15
Penelitian ini melihat bahwa Indraswari dalam menggunak konsep Cross- Border Cooperation telah menghilangkan penggunaan konteks sebagai salah satu elemen lahirnya konsep tersebut. Ia menyatakan bahwa Sousa mencoba menjelaskan fenomena integrasi Eropa dan kebutuhan tahapan kerjasama yang harus dilalui. Namun dalam konteks Yogyakarta dan Gyeongsangbuk-Do, tidak ada proses integrasi apapun yang mendahului. Cross-Border Cooperation juga sangat berkait dengan posisi geografis yang berdekatan. Fakta ini tidak sesuai dengan Indonesia dan Korea Selatan serta Yogyakarta dan Gyeongsangbuk-Do tidak berada dalam wilayah yang bersinggungan, sehingga penggunaan konsep tersebut tidak sepenuhnya dapat diggunakan.
Penelitian lain yang membahas kerjasama daerah antar negara adalah karya Henike Primawanti, Windy Dermawan, Widiya Ardiyanti yang berjudul Kerjasama Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Dengan Pemerintah Kota Beijing China Dalam Skema Sister City. Ketiganya mengawali peneitian dengan menjelaskan bahwa di tengah arus globalisasi negara bukanlah satu-satunya pemain utama kerjasama internasional. Meskipun di kalangan akademisi Hubungan Internasional hal ini masih diperdebatkan, penelitian mengenai kerjasama internasional antar kota atau provinsi butuh dilakukan terlebih sejak berlakunya Undang-Undang No.22 tahun 1999 tentang otonomi daerah. Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan Beijing yang keduanya merupakan ibukota negara Indonesia dan Republik Rakyat Tiongkok telah menandatangani MoU sejak tahun 1992.
Koordinasi pusat dan daerah menjadi fokus Primawanti,Dermawan, dan Ardiyati.16
15 Ibid.
16 Henike Primawanti, Windy Dermawan, Widiya Ardiyanti. 2019. Kerjasama Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Dengan Pemerintah Kota Beijing China Dalam Skema Sister City. Journal of Political Issues, Vol 1, No 1 (2019). Pangkalpinang: Universitas Bangka Belitung. Diakses melalui http://jpi.ubb.ac.id/index.php/JPI/article/view/3 pada 25 Maret 2021 pukul 03.15.
Pendekatan liberalisme dijadikan landasan dalam penelitian tersebut dimana ide utama yang diangkat bahwa individu adalah pusat dari masyarakat dan tatanan sosial, dengan begitu negara bukan satu-satunya aktor penting dalama hubungan internasional yang meluas dimensinya mencakup ekonomi ekonomi, sosial, budaya, politik, dan dimensi lainnya. Berdasarkan logika tersebut, ketiganya mengangkat konsep kerjasama transgovernmental yang merupakan kerjasama dengan hubungan teratur dan peran jelas antar berbagai aktor daerah (kota atau provinsi) yang kemudian membentuk transgovernmental relations yang kompleks.
Konsep sister city dan sister province dariO'Toole juga diangkat dalam penelitian tersebut sebagai wujud dari transgovernmental relations.17
Pemikiran O'Toole dijelaskan dalam penelitian tersebut merupakan konsep hubungan antar dua daerah berupa kerjasama berbagai bidang dengan tujuan untuk mengatasi berbagai masalah atau sekedar meningkatkan intensitas hubungan dua daerah. Konsep sister city sendiri telah diatur di Indonesia melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah Daerah dengan Pihak Luar Negeri.18
Primawanti, Dermawan, dan Ardiyanti di awal analisisnya menjelaskan hubungan di level negara antara Republik Indonesia dan Republik Rakyat Tiongkok yang meski telah dibangun sejak tahun 1950, namun dalam perjalanannya sempat dibekukan dan mengalami pasang surut hingga tahun 1999. Di tahun itu Indonesia dan Tiongkok kembali menandatangani MoU untuk mengembalikan hubungan diplomatik kedua negara. Di tahun 2013, kedua negara menyepakati komitmen Tiongkok-Indonesia Comprehensive Partnership. Di tahun 2016, kedua negara juga kembali membahas peningkatan kerjasama yang mengarah pada people to people contact. Berbeda dari sebelumnya, di level daerah kerjasama Jakarta dan Beijing baru dimulai sejak penandatanganan MoU di tahun 1992. Aktualisasi kerjasama kedua daerah tersebut mencakup pemberian bantuan (revitalisasi lingkungan dan obat-obatan untuk korban bencana), pertandingan olahraga persahabatan, kunjungan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa kerjasama antara Jakarta dan Beijing di bidang
17 Ibid.
18 Ibid.
pendidikan telah menajadi wujud berlakunya soft power Tionkok yang seharunya dapat juga dilakukan Jakarta karena kerjasama tersebut membuka kesempatan yang sama bagi Jakarta dan Indonesia untuk mempromosikan budayanya.19 Dibalik paparan yang ada penelitian tersebut pada dasarnya belum menhasilkan tujua yang telah ditetapkan sebelumnya, yaitu menjelaskan secara mendalam peluang dan tantangan yang dihadapi Jakarta dan Beijing.
Penelitian terakhir yang menjadi refersi awal penelitian ini adalah karya Laode Muhamad Fathun dengan judul Paradiplomasi Menuju Kota Dunia:
Studi Kasus Pemerintah Kota Makassar. Penelitian ini dilatarbelakangi pemaparan penulis mengenai adanya pergeseran cara pandang akademisi dan pergeseran aktivitas internasional dari yang berpusat pada negara dan bersifat hard power ke aktor selain negara dan dengan sifat hubungan kerjasama. Pergeseran tersebut juga mewarnai bagaiamana diplomasi harus dimaknai ulang dan diperluas hingga mencakup paradiplomasi. Pemerintah Indonesia sejalan dengan kondisi ini telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang direvisi ke Undang-Undang Nomor 12 tahun 2008, dan direvisi kembali menjadi Undang‐Undang Nomor 23 Tahun 2014.20
Penelitian tersebut mengangkat konsep paradiplomasi dan smart city.
Fathun yang mengadopsi pemikiran Arsyad dan Masrie meyakini bahwa paradiplomasi bukan sekedar suatu jalannya diplomasi dan kerjasama melainkan juga wujud terjadinya sinergi pemerintah pusat dan daerah. Fathun juga mengadopsi penjelasan Kertajaya dan Yuswohady yang menerangkan pemerintah daerah harus menciptakan transformasi dari pemerintahan yang monopolistik ke pemerintahan entrepreneurial, berbasis customer, dan akuntabel. Terakhir Fathun juga menambahkan kerangka pemerintah daerah yang berorientasi global dengan mengadopsi pemikiran 3C dari Moss Kanter yaitu butuh kejelasan dan dibangunnya Concept-Competence-Connection. Kegelisahan apakah otonomi daerah dan kerangka paradiplomasi mampu mendorong kemajuan daerah dan
19 Ibid.
20 Laode Muhamad Fathun. 2016. Paradiplomasi Menuju Kota Dunia: Studi Kasus Pemerintah Kota Makassar. Indonesian Perspective Vol. 1 No. 1 (2016). Semarang: Universitas Diponegoro. Diakses melalui https://ejournal.undip.ac.id/index.php/ip/ article/view/10430 pada 25 Maret 2021 pada 25 Maret 2021 pukul 04.07.
negara atau bahkan menciptakan kekuasaan absolut di tingkat daerah menjadi fokus penelitian tersebut.21
Analisis dalam pelitian Fathun diawali dari paparan awal terciptanya inisiasi Makassar menjadi Smart City sejak penandatanganan MoU pemerintah kota Makassar dengan Microsoft, Tekom Indonesia, Bank Rakyat Indonesia, Nusantara Infrastructure, dan kelompok korporasi Margautama Nusantara.
Makassar bersama mitranya kemudian mendirikan City Command Center, Urban CCTV Surveillance, Decision Support System, aplikasi Panic Button bagi masyarkat, Citizen Public Portal, serta implementasi Machine to Machine (M2M) yang menghubungkan seluruh City Apps. Pemerintah Makassar juga menghadirkan layanan berbasis teknologi komunikasi dan informasi bagi 42 Satuan Kerja Pemerintah Daerah. Fasilitas tersebut hadir di hampir seluruh dimensi. 22
Bagi Fathun Makassar dengan penerapan berbagai hal tersebut berpeluang untuk mendapatkan empat keunggulan yaitu: dunia (global city), menjadi kota forum internasional, menjadi tempat dimana pejabat daerah berperan menjadi aktor diplomasi, serta kesempatan membangun kerjasama Sister City. Dalam kesimpulan penelitiannya potensi Makassar terbesar adalah menggeser dirinya menjadi kota yang mengaktifkan peran pejabat daerah. Sehubungan dengan itu dan memperhatikan berbagai pembangunan Smart City di Makassar, mampu menjadikan tata kelola pemerintahan di kota tersebut semakin terbuka dan akuntabel serta menjauhkan para pejabatnya dari melakukan aksi atau tidndakan korupsi.23
Penelitian tersebut nyatanya belum memaparkan data pendukung terkait kerjasama konkrit antara Makassar dengan mitranya. Berbagai capaian Makassar sebagaimana kesimpulan penelitian tersebut belum dipaparkan sebelumnya, sehingga belum ada penjelasan mengenai keterhubungan antara pembangunan Smart City di Makassar dengan perubahan dan penurunan tingkat korupsi pejabat daerah di kota tersebut.
21 Ibid.
22 Ibid.
23 Ibid.
Penelitian ini akan menggunakan konsep Paradiplomasi secara mendalam, dengan melibatkan berbagai model di dalamnya. Konsep paradiplomasi dalam penelitian ini nantinya berguna untuk membaca potensi daerah dan potensi kerjasama daerah, menjadi rujukan untuk penentuan model implementasi kerjasama antar daerah dan antar negara, serta untuk menggambarkan hubungan ideal antara pusat dan daerah ketika paradiplomasi diimplementasikan oleh Provinsi Lampung. Berbagai elemen penjelas dalam konsep paradiplomasi diharapkan juga mampu memberikan proyeksi ke depan mengenai keuntungan dan kerugian yang mungkin didapatkan oleh Provinsi Lampung.
2.2. Paradiplomasi
Konsep paradiplomasi juga kian berkembang. Istilah paradiplomasi pertama kali diperkenalkan oleh Ivo Duchacek dan Panayotis Soldatos pada tahun 1980an, yang secara sederhana dapat diartikan sebagai aktivitas hubungan internasional yang dilakukan aktor sub-nasional guna mendukung, melengkapi, mendampingi, mengkoreksi, menduplikasi, dan bahkan menentang diplomasi yang dilakukan pemerintah pusat negara.24 Aktor utama paradiplomasi secara umum dengan begitu berada di level daerah (di bawah level negara). Secara umum aktor utama dalam paradiplomasi adalah: sub-national government (SNGs), sub-state governments (SSGs), non-central governments (NCGs), dan aktor lainnya.25
Keseluruhan otoritas tersebut juga menunjukan pada dasarnya paradiplomasi masih erat kaitannya dengan besarnya kekuasaan pemerintah pusat.
Paradiplomasi dengan begitu dapat melibatkan dan dilakukan oleh entitas swasta (industri dan trande union), institusi formal dan informal yang ada di daerah (organisasi daerah, lembaga swadaya masyarakat, social movement, transnational organization), serta masyarakat daerah itu sendiri. Paradiplomasi kemudian dalam aktivitasnya menargetkan suatu hubungan luar negeri terhadap aktor serupa di
24 Rodrigo Tavares. 2016. Paradiplomacy: Cities and States as Global Players. New York: Oxford University Press. Halaman 7-8.
25 Berbagai otoritas di bawah pemerintah pusat negara diantaranya adalah: cantons, counties, departments, districts, krays, länder, oblasts, okrugs, prefectures, provinces, regions, republics, territories, dan zones. Jorge A. Schiavon. 2019. Comparative Paradiplomacy. New York:
Routledge. Halaman 6.
wilayah negara lain; atau secara lebih rinci maka paradiplomasi dapat merupakan aktivitas untuk membangun hubungan antar: daerah-negara, daerah-daerah, daerah- aktor non pemerintah di daerah negara lain, antar kelompok otoritas daerah, atau antar kelompok aktor lainnya.26 Meskipun dikenal dalam beragam itilah, label lain dari paradiplomasi selalu memuat dua elemen yaitu: pelaku atau cakupan aksi atau interaksinya, serta bentuk atau sifatnya.
Tabel 2.1: Ragam Penggunaan Istilah Lain dari Paradiplomasi
Istilah Organisasi/Akademisi
Paradiplomacy (Paralel Diplomacy), Transborder Regional Microdiplomac,
Transregional Microdiplomacy, Global Paradiplomacy, Protodiplomacy
Ivo Duchacek (1980) Panayotis Soldatos (1980)
Decentralized Cooperation
European Union (EU), United Nations Development Program
(UNDP),
United Nations Department of Economic and Social Affairs (UNDESA); dan Negara- Negara Eropa, Afrika, Karibia, dan Pasifik
pada 4th Lomé Convention (1989) Federative Diplomacy Luiz Felipe Lampreia (Menteri Luar Negeri)
dan President Fernando Henrique, Brazil Constituent Diplomacy, Local Diplomacy,
Foreign Policy Localization Local Foreign Policy, Micro-Diplomacy,
Local Government External Action, Plurinational Diplomacy, Pos-Diplomacy,
Regional Diplomacy, Substate Diplomacy Subnational Foreign Affairs,
Subnational Foreign Policy
Rodrigo Tavares merangkum dari berbagai sumber (ahli, akademisi, aktivis, dan penggiat
paradiplomasi) bahwa istilah paradiplomasi juga sering diganti dengan menggunakan
berbagai istilah tersebut.
Multi-Layered Diplomacy Brian Hocking
Transfederal Relations, Transborder Actions
Transborder Interactions Charlie Jeffery
International Affairs, Relations Of Sub-State
(National) Governments Jorge A. Schiavon
Sumber: Dirangkum dari berbagai sumber.27
Paradiplomasi terjadi dalam dua pola kondisi. Pertama, paradiplomasi sebagai proses desentralisasi atau transfer sumber daya, tanggung jawab, dan kewenangan dari pemerintah nasional ke pemerintah daerah; serta umumnya
26 Dirangkum dari Op.Cit. Rodrigo Tavares. Halaman 1-7 dan 55-59. Op.Cit. Jorge A. Schiavon.
Halaman 6. Op.Cit. Francisco Aldecoa, Michael Keating, et.all. Halaman 6-10.
27 Dirangkum Ibid. Halaman 7-9. Alexander S. Kuznetsov. 2015. Theory and Practice of Paradiplomacy: Subnational Governments In International Affairs. New York: Routledge.
Halaman 29-30. Francisco Aldecoa, Michael Keating, et.all. 2013. Paradiplomacy In Action:
The Foreign Relations of Subnational Governments. New York: Routledge. Halaman 187-190.
Dan dari Jorge A. Schiavon. 2019. Comparative Paradiplomacy. New York: Routledge.
Halaman 6.
berlaku pada agenda atau isu low politics. Kedua, paradiplomasi merupakan proses masuk atau terlibatnya daerah secara independen di arena internasional; yang dalam konteks ini daerah dapat bersanding dengan negara atau daerah lain membangun protokol, menetapkan norma, dan berkontribusi di level internasional; termasuk untuk melakukan pertemuan, perundingan, dan bahkan perjanjian dengan negara lain di level internasional. Paradiplomasi dengan begitu telah mennjadi jembatan penghubung antara dua hal yaitu jejaring transnasional dan diplomasi, serta hubungan luar negeri dan ragamnya kebutuhan sehari-hari.28
Tavarno dikutik oleh Tavares merangkum bahwa skala aktivitas paradiplomasi dapat dikelompokan ke dalam empat kategori, yaitu:
- Ceremonial Paradiplomacy – paradiplomasi yang cenderung bersifat umum dan tidak spesifik pada suatu isu; umumnya melibatkan pertemuan pejabat tinggi dan politisi daerah dalam pertemuan rutin.
- Single-Themed Paradiplomacy – paradiplomasi terbatas pada isu spesifik, serta umumnya melibatkan banyak aktor yang berkaitan dengan isu tersebut.
- Global Paradiplomacy – paradiplomasi yang dilakukan oleh suatu aktor ke banyak mitra di dunia, pada isu spesifik yang meluas ke isu lainnya.
- Sovereignty Paradiplomacy – paradiplomasi yang dilakukan daerah guna mendapatkan pengakuan kedaulatan internasional.29
Aldecoa dan Keating di tulisan berbeda memiliki pandangan bahwa kategori Tavarno di atas setara dengan istilah lain yang merujuk dimensi atau fenomena yang sama. Ceremonial paradiplomacy setara transborder regional micro diplomacy, single-themed paradiplomacy setara transregional micro diplomacy, sedangkan sovereignty paradiplomacy setara dengan proto diplomacy.30 Paradiplomasi dalam pandangan Kuznetsov juga diperdebatkan dan dapat ditelaah lebih beragam; mencakup aspek: konstitusi, federal, perbatasan, globalisasi, hubungan internasional, keamanan, ekonomi, lingkungan, bentuk diplomasi, dan separatisme.31
28 Ibid. Rodrigo Tavares. Halaman 6, 11-28.
29 Dirangkum dari Ibid. Rodrigo Tavares. Halaman 29-41.
30 Dirangkum dari Op.Cit. Francisco Aldecoa, Michael Keating, et.all. Halaman 187-190.
31 Op.Cit. Alexander S. Kuznetsov. Halaman 50-51.
Aldecoa dan Keating menjelaskan bahwa paradiplomasi memiliki lima faktor pembangunnya, yaitu: tujuan dan motivasi, arah pelibatannya, struktur dan sumber daya yang dimiliki daerah, level partisipasi daerah, serta strateginya.32 Motivasi atau tujuan menjadi faktor fundamental yang menentukan keberadaan faktor lainnya, serta tujuan paradiplomasi bagi Tavares dapat diklasifikasikan untuk berbagai hal.33 Daerah yang telah merumuskan tujuannya selanjutnya butuh mempertimbangkan strateginya melalui tahapan: perencanaan (initiation, planning dan desisgn), pengelolaan (execution dan construction), pengawasan dan pemberian motivasi (monitoring dan controlling systems), serta perampungan dan penyempurnaan (dengan menjalankan procedures dan protocols untuk mencapai tujuan). Pemerintah sub-nasional cenderung membangun strategi yang memiliki unsur foreign component dalam foreign policynya, menyangkut:
- perdagangan dan investasi,
- lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan, - pariwisata, budaya, dan olahraga,
- kebijakan-kebijakan sosial,
- pembangunan ekonomi, industri, infrastruktur, dan agrikultul, - komunikasi dan branding,
- menerima dan menyalurkan pinjaman, - pendampingan pembangunan internasional, - lobby untuk pemenuhan kebutuhan daerah, - menyelenggarakan acara (internasional).34
Pertimbangan strategi tersebut harus mempertimbangan unsur cost dan benefit. Pertimbangan strategi butuh untuk melihat sejauh apa aktor lainnya seperti swasta dapat terlibat. Pemerintah daerah juga butuh mempertimbangkan keseimbangan atas unsur lokal (batasan dan keunggulan daerah) dan global (perubahan dan dinamika internasional).35 Langkah ini dibutuhkan untuk
32 Dirangkum dari Op.Cit. Francisco Aldecoa, Michael Keating, et.all. Halaman 21-25.
33 Dirangkum dari Op.Cit. Rodrigo Tavares. Halaman 40-47.
34 Ibid. Halaman 120.
35 Dirangkum dari Op.Cit. Francisco Aldecoa, Michael Keating, et.all. Halaman Halaman 11, 18- 20.
memastikan bahwa kebijakan yang diambil daerah mampu memiliki nilai jual dan daya tarik internasional, tanpa menggerus nilai-nilai dan merugikan daerah.
Selain faktor-faktor di atas, terdapat beberapa faktor yang dapat dijadikan variabel penyelia dalam menentukan kesuksesan paradiplomasi yaitu: kepercayaan diri pemerintah pusat, iklim politik (daerah dan pusat), kualitas manajemen dan diplomasi pada elit (daerah dan pusat), heterogenitas atau homogenitas etnis dan kondisi masyarakat, serta dasar sistem sosial, hukum, dan politik yang berlaku.36 Berbeda dari pandangan di atas; Tavares menjelaskan kelayakan kebijakan paradiplomasi dapat dinilai dari berbagai variabel berikut:
- Sejalannya paradiplomasi dengan seluruh prioritas pemerintah pusat, - Potensi keuntungan dan dampak positif paradiplomasi,
- Dukungan modal dan sumber daya (keuangan, manusia, political willl), - Keberadaan aturan dan komponen legal,
- Internal performance legacy (performa potensi dan rekam jejak penggagas) - External performance legacy (performa potensi dan rekam jejak mitra).37
Soldatos menyempurnakan instrumen kelayakan kebijakan Tavares, dengan mengajukan empat model kebijakan paradiplomasi; yang terdiri dari:
- Cooperative-coordinated – daerah di bawah koordinasi pemerintah pusat, - Cooperative-joint – diplomasi daerah hadir atas dari inklusi formal atau
informal konstituen seluruh stakeholdernya,
- Parallel-harmony model – daerah bertindak independen dengan kebijakan yang tidak kontradiktif dengan kebijakan luar negeri negara,
- Parallel-disharmony model – aktivitas daerah bertentangan dengan kebijakan pemerintah pusat.38
2.3. Strategi Tata Kelola
Pengelolaan berbagai hal di dunia ini baik institusi dan perusahaan dalam persaingannya tidak dapat dilepaskan dari analisis strategi. Analisis strategi dalam
36 Ibid. Halaman 187-190
37 Op.Cit. Rodrigo Tavares. Halaman 119.
38 Alexander S. Kuznetsov. 2015. Theory and Practice of Paradiplomacy: Subnational Governments In International Affairs. New York: Routledge. Halaman 64
kajian manajemen dibutuhkan untuk membangun negara, daerah (provinsi atau kota), termasuk perusahaan dalam suatu lingkungan persaingan. Nigel Evans menjelaskan bahwa analisis strategi terdiri dari tiga level analisis yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya dan seyogianyan dilakukan secara bersamaan. Pada praktiknya semakin kompleks suatu strategi maka semakin kompleks pula analisis strategi yang butuh dilakukan. Nigel Evans menyebut tiga level analisis strategi tersebut menjadi: level strategis, level taktikal, dan level operasional.39
Gambar 2.1: Tiga level dan Jenis Analisis Strategi.40
Berkenanaan dengan dasar pemikiran bahwa strategi dibutuhkan dalam suatu lingkungan persaingan, maka telaah atas faktor-faktor utama penentu keberhasilan pencapaian strategi butuh dilakukan baik dalam konteks internal maupun eksternal.
Faktor internal dalam analisis strategi mencakup telaah atas seluruh sumber daya yang dimiliki institusi atau organisasi. Sehubungan dengan telaah atas paradiplomasi Provinsi Lampung, maka faktor internal dapat mencakup potensi alam provinsi, kompetensi sumber daya manusia, kesiapan sistem dan aturan hukum, serta dukungan pemerintah pusat dan masyarakat. Sedangkan faktor eksternal adalah seluruh kondisi lingkungan luar baik mikro dan makro, serta persaingan dan keberadaan pesaing Provinsi Lampung. Lingkungan mikro dan makro juga dapat mencakup seluruh faktor releven pada berbagai bidang politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya; serta kondisi penyerta lainnya seperti bentuk dan sifat sistem internasional, kondisi perkembangan teknologi dan lainnya.41
39 Nigel Evans. 2015. “Strategic Management for Tourism, Hospitality and Events”. London:
Routledge. Halaman 20.
40 Ibid.
41 Ibid.
Strategic Level
Tactical Level
Operational Level Strategic
Implementation
Strategic Analysis
Strategic Selection
Telaah faktor internal dan eksternal juga bererkaitan dengan telaah erat stregth-wakness-opportunity-threat (SWOT) yang berkenaan pada suatu institusi.
Pemetaan SWOT menghasilkan posisi suatu objek telaah pada empat kondisi yang menghasilkan suatu titik posisi dimana institusi itu berada dalam lingkungan persaingan. Strength dan weakness merupakan telaah pada aspek internal, sedangkan opportunity dan threat merupakan telaah pada aspek eksternal. Keempat kondisi tersebut terdiri dari posisi: stregth-opportunity (S-O), strength-threat (S-T), weakness-opportunity (W-O), serta weakness-threat (W-T). Konsekuensi dari posisi daerah dalam pemetaan ini dapat dijadikan acuan dasar pertimbangan strategi daerah ke depannya.
2.4. Kerangka Pemikiran
Penelitian ini memposisikan paradiplomasi Provinsi Lampung merupakan suatu keharusan ditengah semakin ketatnya peningkatan performa daerah-daerah di Indonesia yang juga merepresentasikan adanya persaingan antar daerah. Pemetaan potensi mitra strategis Provinsi Lampung dan arah tujuan pembangunan Lampung, diharapkan mampu menghasilkan gambaran komprehensif mengenai siapa mitra strategis dan apa strategi yang butuh dilakukan Provinsi Lampung, khususnya dalam membangun kerjasama internasionalnya. Atas berbagai paparan sebelumnya maka kerangka pemikiran penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2.2: Kerangka Pemikiran Penelitian
Kemitraan Berkelanjutan Faktor Internal
Faktor Eksternal Kondisi Daerah
Analisis Strategik
Analisis Potensi
Model dan Mitra Paradiplomasi
Policy Making
Implementasi Paradiplomasi Pusat dan Daerah
Kemajuan Progresif Daerah dan Negara
III
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Penelitian mengenai Pemetaan Potensi Mitra Strategis Provinsi Lampung ini berlendaskan pendekatan penelitian mix method. Penelitian mix method dengan begitu memadukan worldview (perspektif dan logika berfikir), inquiry (strategi penelitian), maupun methods (teknik atau alat penelitiannya) baik turunan dari pendekatan kualitatif maupun kuantitatif.42 Pendekatan mix method dipilih dalam penelitian ini untuk menjamin luaran penelitian yang dihasilkan dapat terbangun secara komprehensif dan mendalam, serta mampu dipertanggungjawabkan validitas dan reliabilitasnya. Pendekatan mix method di satu sisi dapat menggedepankan jalannya pendekatan kuantitatif yang disusul (diperkuat) dengan pendekatan kualitatif, atau sebaliknya. Penelitian mix method dalam implementasi praktisnya harus dimaknai berlaku di setiap tahapan penelitian mulai dari: penetapan instrumen penelitian, pembangunan hipotesa dan asumsi, pengumpulan data, hingga analisis data.43
Penelitian ini akan diawali dengan eksplorasi mendalam berbagai fakor internal dan eksternal yang dihadapi Provinsi Lampung dalam mewujudkan dan memanfaatkan otonomi daerah dan kerjasama luar negerinya (wujud berlakunya pendekatan kualitatif). Selanjutnya, penelitian ini juga akan melakukan pemaparan potensi berbagai daerah dari negara-negara di Asia Tenggara yang berpotensi bekerjasama dengan Provinsi Lampung (wujud berlakunya pendekatan kuantitatif).
42 John W Creswell. 2014. Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches 4th ed. London: SAGE Publication.
43 Bryman, Alam. 2012. “Social Research Methods 4th edition”. New York: Oxford University Press.
3.2. Instrumen Penelitian
Guna mendapatkan data relevan penelitian ini membangun instrumen penelitian berjenjang. Di tahap awal, sejumlah elemen penting disarankan Kuzetsov dan Shiavon digunakan untuk menelaah secara mendalam karakter Provinsi Lampung dalam melakukan paradiplomasi.44 Kerangka tersebut dalam penelitian ini dirangkum ke dalam lima pertanyanyaan yang terdiri dari:
- Apakah motif utama Provinsi Lampung telah atau akan melakukan kerjasama Internasional?
- Apa landasan dan faktor utama dari jalannya aktivitas paradiplomasi yang telah atau akan dilakukan Provinsi Lampung?
- Bagaimana paradiplomasi Provinsi Lampung telah atau rencananya terinstitusionalisasi?
- Bagaimana posisi dan sikap pemerintah pusat atas aktivitas atau rencana paradiplomasi Provinsi Lampung?
- Apa kebutuhan yang dipersepsikan pemerintah Provinsi Lampun dari telah atau akan dilaksanakannya paradiplomasi?
- Bagaimana karakteristik mitra strategis yang telah atau akan dibangun bagi Provinsi Lampung?
Khusus dalam menelaah institusionalisasi paradiplomasi sebagaimana pendapat Shiavon, maka penelitian ini juga akan menggunakan enam eleman untuk melihat level rencana atau jalannya institusionalisasi paradiplomasi Provinsi Lampung. Instrumen yang digunakan berupa pertanyaan:
- Sejauh apa rencana atau telah hadirnya lembaga atau badan atau institusi khusus paradiplomasi Provinsi Lampung?
- Bagaiamana keberadaan utusan atau lembaga pererwakilan Provinsi Lampung di daerah negara lain?
- Bagaimana rencana atau berjalannya kegiatan, konferensi, eksibisi, dan perundingan international antar otoritas terlibat?
- Keterlibatan Provinsi Lampung selama ini untuk berpartisipasi dalam jejaring antar daerah guna memecahankan berbagai masalah internasional?
44 Jorge A. Schiavon. 2019. Comparative Paradiplomacy. New York: Routledge. Halaman 10.
- Bagaimana praktik kegiatan direncanakan atau telah hadir dari jalannya kerjasama internasional Provinsi Lampung?45
Sedangkan instrumen yang digunakan untuk menilai mitra startegis potensial Provinsi Lampung adalah berbagai faktor performa kemajuan daerah pada dimensi ekonomi, sosial, budaya, politik dan karakteristik kepemerintahan, sejarah, dan berbagai faktor dari dimensi pendukung lainnnya.
3.3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini secondary data analysis dan wawancara Focus Group Discussion (FGD). Teknik analisis data sekunder pada kenyataannya bukanlah sekedar teknik analisis data namun juga mencakup set prosedur pengumpulan data dan pengelolaan data sekunder.46 Pengumpulan data sekunder akan digunakan untuk mendapatkan informasi yang lengkap guna membandingkan performa daerah-daerah terpilih dari negara-negara di Asia Tenggara yang berpeluang menjadi mitra strategis Provinsi Lampung.
Sedangkan wawancara dan atau FGD dilakukan untuk menggali informasi laten secara mendalam mengenai berbagai dorongan faktor internal dan eksternal yang dipersepsikan Pemerintah Provinsi Lampung untuk merencanakan atau menjalankan paradiplomasinya.
3.4. Sumber Data
Data kuantitatif mengenai performa mitra strategi potensial Provinsi Lampung berasal dari berbagai laporan resmi negara-negara Asia Tenggara serta badan statistik negara. Selain itu data pendukung yang bersumber dari laporan yang laporan, dokumen resmi, dan dashboard berbagai lembaga internasional seperti:
World Bank, World Trade Organization, dan Interrnational Trade Center; juga dilibatkan. Sedangkan data kualitatif penelitian ini bersumber dari hasil wawancara dan atau FGD yang dilakukan dengan melibatkan Kepala Daerah Provinsi Lampung atau Kepala Biro dan atau Dinas Kerja terkait kerjasama daerah.
45 Jorge A. Schiavon. 2019. Comparative Paradiplomacy. New York: Routledge. Halaman 11
46 Ibid.