• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROPOSAL PENELITIAN DASAR UNIVERSITAS LAMPUNG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PROPOSAL PENELITIAN DASAR UNIVERSITAS LAMPUNG"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

PROPOSAL PENELITIAN DASAR UNIVERSITAS LAMPUNG

ISOLASI SENYAWA BIOAKTIF ANTIFOULING DARI BAKTERI SIMBION LAMUN SEBAGAI BAHAN BAKU CAT KAPAL RAMAH LINGKUNGAN

TIM PENGUSUL

ANMA HARI KUSUMA, S.I.K, M.Si NIDN : 0020019005 SINTA ID : 6717692 EKO EFENDI, S.T, M.Si NIDN : 0029037808 SINTA ID : 38278

OKTORA SUSANTI, S.Kel, M.Si NIDN : 0001108804 SINTA ID : 6647290

PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS LAMPUNG 2022

(2)

ii

HALAMAN PENGESAHAN

PENELITIAN DASAR UNIVERSITAS LAMPUNG

Judul Penelitian : Isolasi Senyawa Bioaktif Antifouling dari Bakteri Simbion Lamun Sebagai Bahan Baku Cat Kapal Ramah Lingkungan

Ketua Peneliti

Nama Lengkap : Anma Hari Kusuma, S.I.K, M.Si

NIDN : 0020019005

a. SINTA ID : 6717692

b. Jabatan Fungsional : Asisten Ahli

c. Program Studi : Ilmu Kelautan

d. Nomor HP : 081802762095

e. Alamat surel (e-mail) : [email protected] / [email protected] Anggota Peneliti (I)

a. Nama Lengkap : Eko Efendi, S.T, M.Si

b. NIDN : 0029037808

a. SINTA ID : 38278

b. Program Studi : Ilmu Kelautan

Anggota Peneliti (II)

c. Nama Lengkap : Oktora Susanti, S.Pi, M.Si

d. NIDN : 0001108804

c. SINTA ID : 6647290

d. Program Studi :

Jumlah mahasiswa yang terlibat : 3 Jumlah alumni yang terlibat : Jumlah staf yang terlibat : -

Lokasi kegiatan : Pulau Pahawang

Lama Kegiatan : 6 (enam) bulan

Biaya penelitian : 25.000.000

Sumber dana : BLU Unila

Bandar Lampung, 17 Mei 2022 Mengetahui,

Dekan Fakultas Pertanian Ketua Peneliti,

Prof. Dr. Ir. Irwan Sukri Banuwa, M.Si.

NIP 19611020 198603 1 002

Anma Hari Kusuma, S.I.K,.M.Si.

NIP 199001202019031011

Menyetujui,

Ketua LPPM Universitas Lampung,

Dr. Ir. Lusmelia Afriani, D.E.A NIP 196505101993032008

(3)

iii

IDENTITAS DAN URAIAN UMUM

1. Judul Peneliti : Isolasi Senyawa Bioaktif Antifouling dari Bakteri Simbion Lamun Sebagai Bahan Baku Cat Kapal Ramah Lingkungan

2. Peneliti :

No Nama Jabatan Bidang

Keahlian

Program studi

Alokasi waktu (jam/minggu) 1 Anma Hari

Kusuma, S.I.K, M.Si

Ketua Biologi Laut Ilmu Kelautan

15

2 Eko Efendi, S.T, M.Si

Anggota Oseanografi Ilmu Kelautan

15 3 Oktora Susanti,

S.Pi, M.Si

Anggota Mikrobiologi Laut

Ilmu Kelautan

15

3. Objek Penelitian : lamun dari Pulau Pahawang 4. Masa Pelaksanaan

Mulai : bulan Maret tahun 2022 Berakhir : bulan September tahun 2022 5. Usulan Biaya : -

6. Lokasi Penelitian : - Pulau Pahawang

- Lab. Oseanografi Unila 7. Instansi yang terlibat

Tidak ada secara langsung. Namun hasil penelitian akan digunakan sebagai bahan diskusi dengan Pemerintah Daerah khususnya Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung 8. Kontribusi mendasar pada suatu bidang ilmu

Penelitian ini diharapkan dapat mengisi kekosongan literatur tentang :

• referensi tentang bahan aktif dari lamun

• pengembangan pengelolaan wialyah pesisir berkelanjutan 9. Jurnal ilmiah yang menjadi sasaran untuk setiap penerima hibah :

• Jurnal Biodiversitas (Q3)

• Jurnal Ilmu Teknologi Kelautan Tropis (S2)

(4)

iv DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ... ii

IDENTITAS DAN URAIAN UMUM ... iii

DAFTAR ISI ... iv

RINGKASAN ... v

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 1

1.3 Tujuan ... 2

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 2

2.1 Landasan Ilmiah (State of the art) ... 2

2.2 Sumber Antifoulant Alami ... 4

2.4 Biofouling ... 8

2.5 Road Map Penelitian ... 11

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 12

3.1 Bagan Alir Penelitian (Fishbone Diagram) ... 12

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian ... 12

3.3 Isolasi Bakteri Epifit ... 13

3.4 Isolasi Bakteri Endofit ... 13

3.5 Isolasi Bakteri Pembentuk Biofilm ... 13

3.6 Uji Penghambat Bakteri Simbion Lamun ... 14

3.7 Uji Penghambat Ektrak Bakteri Simbion Lamun ... 14

3.8 Uji Aplikasi Penghambat Ekstrak Bakteri Simbion Lamun ... 15

3.9 Identifikasi Bakteri ... 15

3.9.1 Ekastraksi DNA Bakteri... 16

3.9.2 Amplifikasi DNA ... 16

3.10 Analisis Pohon Filogenetik ... 16

3.11 Uji Penempelan Macrofouling ... 16

3.12 Pengukuran Parameter Hidro-Oseanografi ... 16

BAB 4. RENCANA ANGGARAN BELANJA DAN JADWAL PENELITIAN .. 17

4.1. Rencana Anggaran Biaya ... 17

4.2 Jadwal Pelaksanaan ... 18

DAFTAR PUSTAKA ... 19

LAMPIRAN ... 20

(5)

v

RINGKASAN

Biofouling adalah penempelan dan pertumbuhan organisme pada permukaan substrat baik yang bersifat abiotik maupun biotik yang berada di bawah permukaan air. Biofouling dibedakan menjadi microfouling yaitu pembentukan biofilm (kolonisasi bakteri dan mikroalga) dan macrofouling yaitu penempelan makroorganisme (kolonisasi avertebrata dan makroalga). Tahapan proses biofouling dimulai dari terbentuknya biofilm secara biokimia pada permukaan substrat diikuti penempelan mikroba atau microfouling dan tahap akhir adalah penempelan macrofouling. Biofouling banyak terjadi pada berbagai struktur di lingkungan laut dan telah menjadi permasalahan yang serius.

Usaha penanggulangan biofouling di laut banyak dilakukan dengan cara pengecatan menggunakan cat antifouling sintetis yang mengandung logam berat dan TBT (tributyltin). Aplikasi cat tersebut pada kenyataannya menyebabkan timbulnya pencemaran lingkungan karena merusak kehidupan organisme non-target yang merupakan spesies ekonomis penting. Hal tersebut menyebabkan penggunaan TBT sebagai antifoulant pada saat ini tidak boleh digunakan lagi. Berawal dari permasalahan tersebut maka penelitian potensi bakteri simbion tumbuhan lamun sebagai penghambat biofouling dilaut telah dilakukan. Penelitian ini dilakukan mulai bulan April-November 2022. Tahap awal dari penelitian ini adalah isolasi bakteri simbion tumbuhan lamun (epifit dan endofit) dari jenis Enhalus acoroides yang tumbuh di Pulau Pahawang, Pesawaran, Lampung. Penjebakan bakteri pembentuk biofilm yang digunakan untuk menguji kemampuan bakteri simbion lamun dilakukan pada tempat tumbuh lamun tersebut. Terhadap isolat bakteri yang diperoleh dilakukan pengkulturan murni terlebih dahulu sebelum digunakan untuk pengujian kemampuan penghambatan bakteri simbion lamun terhadap pertumbuhan bakteri biofilm. Pengujian penghambatan terhadap pertumbuhan bakteri biofilm dilakukan terhadap isolat bakteri dan ekstrak isolat bakteri simbion lamun. Aplikasi lapang terhadap penempelan macrofouling dilakukan untuk menguji kemampuan penghambatan bakteri simbion lamun yang teruji memiliki kemampuan maksimal pada pengujian skala laboratorium. Identifikasi bakteri potensial antifouling dilakukan di laboratorium oseanografi, unila kemudian engamatan suksesi proses biofouling dilakukan pada substrat kayu dan fiber. Analisis data uji hambat dilakukan dengan Analisis Ragam Rancangan Acak Kelompok (RAK). Penelusuran homologi bakteri dilakukan dengan program BLAST dan Analisis Filogenetik dengan software ARB Kata kunci: biofouling, lamun, bakteri endofit, bakteri epifit, bakteri biofilm

(6)

1

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Peristiwa biofouling pada berbagai benda di lingkungan laut telah mengakibatkan masalah bagi pelaku industri maritim khususnya dalam bidang transportasi laut seperti perkapalan dan struktur pelabuhan. Biofouling yang terjadi pada badan kapal mengakibatkan peningkatan kekasaran dan menambah beban daya tarik kapal sehingga menyebabkan konsumsi bahan bakar semakin meningkat.

Masalah biofouling juga dapat terjadi pada jaring budidaya, pipanisasi bawah laut dan struktur pelabuhan. Usaha penanggulangan biofouling telah dilakukan dengan beberapa metode antara lain dengan melakukan pengerokan dan pengecatan dengan cat yang mengandung bahan antifouling sintetis. Pengerokan organisme penempel pada badan kapal memerlukan cara tertentu dengan terlebih dahulu melakukan pendaratan kapal. Hal ini menyebabkan kerugian besar bagi industri perkapalan karena pada masa itu kapal tidak bisa melakukan aktifitasnya di laut. Pengecatan dengan antifouling sintetis banyak dilakukan dengan pengecatan antifouling yang mengandung logam berat seperti tembaga (Cu2+) dan TBT (tributyltin) sebagai unsur aktif yang paling efektif (Abarzua dan Jakubowski 1995). Cat antifouling ini mencegah terjadinya biofouling dengan mewujudkan biosida yang efektif dan konstan. Pada kenyataannya aplikasi cat berbahan TBT ini mengalami peluruhan dan menyebabkan timbulnya pencemaran pada lingkungan perairan. TBT merusak banyak bentuk kehidupan organisme laut lain yang merupakan spesies ekonomis penting selain organisme fouling.

Organisasi Maritim Internasional (IMO) telah melarang pemakaian bahan tersebut pada kapal yang secara efektif dimulai pada 17 September (Qian 2010). Berdasarkan hal tersebut maka alternatif yang efisien dari penggunaan TBT sebagai antifoulant pada saat ini sudah tidak dapat digunakan lagi. Oleh karena itu pencarian alternatif antifoulant alami yang ramah lingkungan sangat diperlukan pada saat ini (Mayavu et al. 2009).

1.2. Perumusan Masalah

Biofouling adalah penempelan dan pertumbuhan organisme pada permukaan substrat abiotik maupun biotik di bawah permukaan laut. Biofouling dibedakan menjadi microfouling yaitu pembentukan biofilm (kolonisasi bakteri dan mikroalga) dan macrofouling yaitu penempelan makroorganisme (kolonisasi avertebrata dan makroalga) (Railkin 2004). Menurut Egan (2001) proses pembentukan komunitas biofouling terjadi melalui suatu proses dimana kolonisasi pada suatu permukaan terjadi sebagai hasil suksesi dari beberapa tahap. Awalnya terjadi penempelan bahan organik pada suatu permukaan substrat yang bersih kemudian diikuti dengan penempelan bakteri atau microfouling yang kemudian membentuk lapisan eksopolisakarida (EPS) dan tahap akhir adalah penempelan macrofouling. Dalam hal ini terbentuknya biofilm merupakan syarat utama terjadinya biofouling sehingga untuk melakukan penghambatan terjadinya macrofouling dapat dilakukan dengan cara memutus rantai dengan melakukan penghambatan terjadinya biofilm bakteri. Organisme

(7)

2

laut yang hidup dalam perairan juga mengalami peristiwa biofouling namun tidak semua organisme mengalami biofouling karena memiliki kemampuan pertahanan diri dengan menghasilkan metabolit sekunder. Metabolit sekunder yang dihasilkan oleh organisme tersebut memiliki fungsi penting memberikan pertahanan kimia dalam melawan infeksi dan fouling (Davis et al. 1989). Menurut Sammarco dan Coll (1992), metabolit sekunder pada organisme laut berperan penting dalam fungsi ekologis terutama untuk perlindungan terhadap predator, kompetisi ruang hidup, reproduksi dan antifouling. Beberapa penelitian telah membuktikan beberapa metabolit sekunder yang dimiliki oleh lamun menunjukkan adanya aktivitas farmakologi dan merupakan kandidat baru sebagai bahan obat- obatan. Jika kita melakukan produksi bahan tersebut dari lamun maka kita akan memerlukan suplai biomas lamun dalam jumlah banyak secara kontinyu dimana akan mengakibatkan terjadinya masalah kerusakan akibat eksploitasi ekosistem lamun secara berlebihan karena ekosistem lamun merupakan tempat hidup berbagai biota laut. Berdasarkan hal tersebut perlu dilakukan upaya eksplorasi terhadap lamun tanpa melakukan kerusakan terhadap ekosistem lamun itu sendiri. Lamun adalah tumbuhan yang hidup terendam air laut sehingga tidak luput dari terjadinya biofilm. Organisme pembentuk biofilm pada permukaan organisme hidup adalah hanya organisme yang mampu bersimbiosis dengan organisme yang menjadi inangnya. Bakteri merupakan organisme utama pembentuk biofilm yang selalu menjadi pioner terjadinya biofouling baik pada benda mati maupun organisme hidup. Bakteri yang bersimbiosis pada organisme hidup sebagai inangnya merupakan bakteri yang hidup dengan bersimbiosis mutualisme. Bakteri simbion ini dapat menghasilkan senyawa hasil metabolit sekunder yang sama dengan inangnya sehingga jika kita mampu mengisolasi bakteri simbion lamun dan berhasil mengkulturnya maka kita bisa mendapatkan metabolit sekunder berupa bahan bioaktif yang sama dengan yang dihasilkan oleh lamun tersebut. Salah satu fungsi metabolit sekunder yang dihasilkan lamun adalah sebagai antifouling dengan demikian besar kemungkinan bahwa bakteri simbion lamun mampu menghasilkan metabolit sekunder yang dapat digunakan sebagai antifouling.

Hal ini merupakan terobosan untuk mendapatkan sumber antifoulant alami yang non-toksik dan ramah lingkungan karena hanya melakukan isolasi bakteri dari bagian tubuh lamun.

1.3. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menemukan bakteri simbion tumbuhan lamun yang berpotensi sebagai penghambat terjadinya biofouling di laut. Hasil penelitian ini bermanfaat bagi tersedianya sumber alternatif antifoulant alami yang ramah lingkungan.

(8)

3

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Ilmiah (State of the Art)

Lamun adalah tumbuhan laut yang memiliki arti penting dalam siklus ekologi pada perairan pantai tropis dan subtropis, khususnya berhubungan dengan produktivitas lautan. Tumbuhan ini merupakan produsen yang tinggi di daerah tropis. Salah satu hal penting dari lamun adalah memiliki daya adaptasi pada kondisi yang terendam air (hydrofit). Tumbuhan ini memiliki perkembangan rhizoma yang baik (secara horizontal) yang biasanya terdapat di bawah permukaan substrat dan asosiasinya saling menutup satu dengan yang lain. Hal tersebut menyebabkan tumbuhan lamun di lokasinya berperan pada proses sedimentasi karena dapat menangkap serasah dan menstabilkan substrat. Lamun biasanya memiliki akar yang lebat dan berkulit. Daunnya rata, berbentuk seperti pita, atau silindris jika dilihat dari irisan melintang. Tumbuhan ini dapat menahan gerakan air. Bunganya kecil dan muncul dari dasar tandan daun. Stamen (antera), pistil (style) dan stigma menjulur di atas petal. Biasanya pollen dikeluarkan dengan lapisan bergelatin yang akan terbawa oleh arus air. Butiran pollen memanjang (elongated) (Famili Potamogetonaceae) atau seperti bola (spherical) (Famili Hydrocharitaceae) dan tersusun saling melekat berbentuk monili seperti rantai. Pertumbuhan lamun sangat dipengaruhi oleh faktor internal seperti kondisi fisiologis dan metabolisme, serta faktor eksternal seperti zat hara (nutrien), kecerahan, temperatur, salinitas, ubstrat dan kecepatan arus.

Lamun di Indonesia terdiri dari tujuh genus. Tiga diantaranya : Enhalus sp, Thalassia sp dan Halophila sp yang masuk dalam Famili Hidrocharitaceae dan empat genus lainnya adalah Halodule sp, Cymodocea sp, Syringodium sp dan Thalassodendron sp yang termasuk Famili Potamogetonaceae (Dahuri 2003). Kekayaan jenis lamun di Indonesia menurut Dahuri (2003) terdapat 13 jenis lamun yaitu: Cymodocea serrulata, C. rotundata, Enhalus acoroides, Halodule uninervis, H. pinifolia, Halophila minor, H. ovalis, H. decipiens, H. spinulosa, H. sulawesii, Thalassia hemprichii, Syringodium isoetifolium dan Thalassodendron ciliatum.

Meskipun banyak biota laut yang langsung memakan daun lamun, namun komunitas epifit seperti biofilm bakteri, diatom dan alga juga memberikan makanan terhadap biota laut sebagai dasar dari rantai makanan yang akan dikonsumsi oleh juvenil ikan dan udang (Dawes 1981). Lamun di perairan biasanya terkoloni oleh mikroorganisme seperti bakteri dan mikroalga. Selanjutnya akan terjadi penempelan makroalga dan avertebrata namun hal ini tidak akan terjadi jika makrofita tersebut memiliki mekanisme pertahanan diri secara kimia dan fisika (Larkum 1989). Menurut Larkum (1989) jangka waktu hidup bagian tubuh lamun berbeda sehingga berakibat pada diversitas dan biomassa dari epifit. Simbiosis lamun dengan organisme dapat terjadi baik pada permukaan lamun itu sendiri (epifit) seperti umumnya pada tumbuhan air dan dapat bersifat endofit atau di dalam jaringan tanaman. Menurut Prihatiningtias (2006) mikroba endofit merupakan mikroba yang hidup dalam

(9)

4

jaringan tumbuhan tanpa menimbulkan gejala penyakit pada tumbuhan inangnya. Hubungan antara mikroba endofit dan tumbuhan inangnya merupakan suatu bentuk hubungan simbiosis mutualisme atau sebuah hubungan yang saling menguntungkan. Mikroba endofit dapat memperoleh nutrisi untuk melengkapi siklus hidupnya dari tumbuhan inangnya dan sebaliknya tumbuhan inang memperoleh proteksi terhadap patogen oleh senyawa yang dihasilkan mikroba endofit. Mikroba endofit yang diisolasi dari tumbuhan yang menghasilkan bahan bioaktif diketahui memiliki aktivitas yang lebih besar bahkan dapat memiliki aktivitas yang lebih besar dibandingkan aktivitas tumbuhan inangnya.

Dilihat dari sisi efisiensi maka hal ini sangat menguntungkan karena siklus hidup mikroba endofit lebih singkat dibandingkan siklus hidup tumbuhan inangnya. Hal ini dapat menghemat waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan senyawa tersebut dan jumlah senyawa yang diproduksi dapat dibuat dalam skala yang besar. Keuntungan lain yang dapat diperoleh yaitu menjaga kelestarian tumbuhan tersebut agar tidak dieksploitasi secara terus menerus yang akhirnya dapat mengakibatkan kepunahan.

Simbiosis diartikan sebagai hidup bersama atau terjadinya hubungan yang permanen diantara dua organisme yang berbeda. Endosimbion seringkali memperlihatkan adaptasi yang spesifik dalam kehidupan intraseluler inangnya. Seringkali mikroorganisme yang terlibat simbiosis dapat hidup tanpa inang, tetapi pada situasi yang lain mereka dapat kehilangan kemampuannya untuk hidup terpisah dari inangnya. Interaksi diantara mikroorganisme yang tipenya berbeda dan diantara mikroorganisme dengan organisme hidup yang lebih tinggi tingkatannya seperti hewan dan tumbuhan merupakan hal penting yang mendasar dalam ekologi di lingkungan lautan (Munn 2004). Radji (2005) mengatakan bahwa setiap tumbuhan tingkat tinggi dapat mengandung beberapa mikroba endofit yang mampu menghasilkan senyawa biologi atau metabolit sekunder yang diduga sebagai akibat evolusi atau transfer genetik dari tanaman inangnya ke mikroba endofit. Dalam hal ini tumbuhan lamun juga merupakan tumbuhan tingkat tinggi. Kemampuan mikroba endofit memproduksi senyawa metabolit sekunder sesuai dengan tanaman inangnya merupakan peluang yang sangat besar dan dapat diandalkan untuk memproduksi metabolit sekunder dari mikroba endofit yang diisolasi dari tanaman inangnya tersebut yang terdiri dari bakteri dan jamur. Karena endofit yang diisolasi dari suatu tanaman dapat menghasilkan metabolit sekunder sama dengan tanaman aslinya atau bahkan dalam jumlah yang lebih tinggi, maka kita tidak perlu menebang atau mengambil tanaman aslinya yang kemungkinan besar memerlukan waktu lama untuk dapat dipanen (Radji 2005).

2.2 Sumber Antifoulant Alami

Tumbuhan laut mempunyai pergerakan terbatas dibandingkan hewan laut oleh karena itu tumbuhan laut mampu mengembangkan sistem pertahanan diri dengan memproduksi senyawa kimia (chemical defense). Senyawa kimia yang dihasilkan berguna untuk mencegah dan mempertahankan diri dari serangan predator, media kompetisi, mencegah infeksi bakteri, membantu proses reproduksi dan mencegah sengatan sinar ultra violet (Murniasih 2005). Selain itu senyawa kimia tersebut juga

(10)

5

merupakan respon terhadap kompetisi dengan lingkungannya. Fungsi lain dari metabolit sekunder adalah sebagai media interaksi dengan organisme lain seperti hubungan antara predator maupun kompetitor, komensalisme dan mutualisme. mencegah terjadinya infeksi dari mikroorganisme (antifouling), dan sebagai media dalam proses reproduksi, seperti feromon.

Menurut Shafer et al. (2007) tumbuhan laut dan hewan laut merupakan sumber yang kaya akan bahan aktif biologi berupa metabolit sekunder, beberapa diantaranya memberikan kepentingan fungsi ekologis seperti pertahanan kimia yang potensial untuk melawan predator. Metabolit tersebut juga memberikan pertahanan kimia sebagai antimikroba untuk mencegah terjadinya infeksi dan fouling.

Metabolit sekunder pada mulanya diasumsikan sebagai hasil samping atau limbah dari organisme sebagai akibat produksi metabolit primer yang berlebihan. Namun dengan perkembangan ilmu pengetahuan, terbukti bahwa metabolit sekunder diproduksi oleh organisme sebagai respon terhadap lingkungannya (Murniasih 2005). Organisme laut, khususnya yang hidup di daerah tropis untuk kelangsungan hidupnya menghadapi berbagai tantangan, harus berkompetisi untuk mendapatkan ruang tumbuh, sinar dan makanan. Oleh karena itu, organisme laut dalam mengembangkan berbagai sistem mekanisme pertahanan diri, diantaranya adalah dengan tingkah. laku (behavioral misalnya cryptic, nocturnal), fisik (sclerites, pengerasan permukaan tubuh) dan substansi kimia “chemical defense”.

Metabolit sekunder banyak dihasilkan oleh organisme laut sesil seperti rumput laut, lamun, karang dan lainnya dan merupakan sebuah perspektif baru dalam mencegah pertumbuhan yang pesat dari epibiont (fouling) dan dapat berpotensi digunakan sebagai antifoulant (Pereira 2003). Metabolit sekunder dari organisme laut yang dapat berperan sebagai antifouling juga dapat diisolasi dari beberapa organisme laut lain termasuk bakteri, sponge, ascidian, bryozoa dan gorgonia. Seringkali terjadi kondisi dimana beberapa organisme laut tidak terlapisi oleh biofilm yang kompleks pada permukaan tubuhnya. Menurut Armstrong et al. (2000) tumbuhan laut dan hewan laut memiliki bakteri pada permukaan tubuhnya yang menghasilkan komponen untuk menghambat penempelan organisme. Suatu peran perlindungan oleh beberapa strain bakteri epibiotik hadir pada permukaan tubuhnya dengan mengeluarkan bahan kimia yang menghambat biofouling oleh organisme lain (Armstrong et al. 2000). Produksi komponen bioaktif oleh bakteri dan inangnya dilakukan secara bekerjasama untuk melindungi permukaan inangnya. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa terjadi simbiosis antara bakteri dan inangnya. Kerjasama atau simbiosis ini sering dilakukan untuk menghasilkan bahan bioaktif. Bertambahnya bukti keterlibatan mikroba simbion sebagai sumber yang bisa diandalkan dari komponen turunan beberapa organisme laut, menjadikan mikroba laut simbion sebagai hal penting di bidang biologi laut dan produk alami laut karena potensinya tersebut merupakan alternative menyelesaikan masalah suplai produk alami dari laut tanpa melakukan pemanenan biomas inang secara berlebihan (Li 2009).

(11)

6

Simbiosis organisme laut dengan bakteri dapat menghasilkan bahan aktif hasil metabolit sekunder yang memiliki peran penting bagi inangnya (Kelecom 2002). Peran penting metabolit sekunder yang dihasilkan oleh bakteri simbion epifit adalah memberikan perlindungan lingkungan permukaan organisme inangnya dengan menghambat perlekatan bakteri laut yang merugikan dan larva organisme lain yang biasanya menempati permukaan eukariotik seperti organisme bercangkang, alga dan barnacle (Armstrong et al. 2000). Lane dan Kubanek (2008) memperlihatkan bahwa makroalga dan bakteri dapat menghasilkan metabolit sekunder yang berfungsi untuk melindungi makroalga dari biofouling yang merugikan. Menurut Kelecom (2002) terdapatnya kandungan alkaloid pada sponge genus Reniera merupakan hasil dari simbiosis dengan mikroorganisme yang berfungsi sebagai antibakteri. Beberapa tumbuhan laut juga telah diteliti menghasilkan komponen antifouling seperti pada lamun Zostera sp. Seperti zosteric acid terbukti merupakan antifouling yang tidak beracun terhadap organisme non-target (Qian 2010). Tumbuhan memproduksi senyawa metabolit sekunder lebih banyak dibandingkan binatang (Wibowo et al. 2003). Untuk mengambil senyawa bioaktif secara langsung dari tanamannya dibutuhkan sangat banyak biomassa atau bagian dari tanamannya. Untuk mengefisienkan cara memperoleh senyawa bioaktif tersebut maka pemanfaatan mikroba simbion seperti mikroba epifit dan endofit perlu dikembangkan. Mikroba epifit adalah mikroba yang hidup pada permukaan tubuh inang dan mikroba endofit adalah mikroba yang spesifik yang diperoleh dari bagian dalam tanaman. Mikroba yang bersimbiosis tersebut diharapkan mampu menghasilkan sejumlah senyawa bioaktif yang dibutuhkan tanpa harus mengekstrak tanamannya inang (Simarmata et al. 2007). Penemuan antifoulant dari metabolit sekunder organisme laut dapat merupakan penemuan baru sebagai sebuah alternatif teknologi non-toksik untuk mengontrol biofouling lautan. Berbagai macam substansi telah diidentifikasi dan dipatenkan sebagai antifoulant, walaupun sebagian besar hanya dilakukan uji coba di laboratorium dengan larva fouling seperti barnacle dan bryozoa (Pereira et al. 2003). Salah satu bahan yang paling umum digunakan sebagai antifoulant alami adalah bahan organik irgarol 1051 (2-methylthio-4-tert-butylamino-6- isopropylamino-s-triazine). Irgarol termasuk herbisida s-triazine, bahan ini mempunyai struktur yang sama dengan herbisida atrazine yang digunakan dalam pertanian (Maxey 2006). Hasil penelitian Maxey (2006) menunjukkan bahwa irgarol merupakan pencemar yang umum di lautan. Pada lamun, irgarol mengalami bioakumulasi walaupun bervariasi. Konsentrasi irgarol pada jaringan lamun sepanjang tahun konsisten. Irgarol dimiliki oleh vegetasi yang terendam air laut sebagai pencegah pertumbuhan epifit atau bisa dikatakan sebagai antifouling. Jensen et al. (1989) dalam penelitiannya menemukan bahwa lamun Thalassia testudinum menghasilkan bahan antibiotik flavone glycoside yang berfungsi sebagai bahan pertahanan melawan mikroorganisme fouling. Bahan kimia flavone glycoside merupakan antibiotik baru untuk pertahanan lamun Thalassia testudinum dalam melawan zoospora fungi. Penelitian tersebut menemukan hipotesis bahwa metabolit sekunder dari lamun ini

(12)

7

dihasilkan dari asosiasi dengan populasi mikroba. Pertahanan kimia oleh antimikroba berfungsi menurunkan fouling pada permukaan lamun. Mayavu (2009) telah meneliti ekstrak lamun jenis Cymodosea serrulata dan Syringodium isoetifolium dapat berfungsi sebagai antifouling. Geiger (2003) meneliti ekstrak lamun jenis Zostera marina ternyata menghasilkan antifouling zosteric acid.

Newby (2006) dan Qi (2008) hasil penelitiannya memperlihatkan adanya kemampuan antifouling dari ekstrak Enhalus acoroides. Ravikumar et al. (2009) memperlihatkan hasil penelitiannya bahwa telah dapat diisolasi sebanyak 32 strain isolat bakteri endofit dan epifit dari lamun Syringodium isoetifolium dan Cymodocea serrulate memiliki kemampuan besar menghambat bakteri patogen Pseudomonas aeruginosa.

Penelitian mengenai antifoulant pada karang gorgonian memperlihatkan bahwa karang tersebut adalah salah satu binatang penghasil komponen antifouling. Ekstrak dari hewan dan tumbuhan laut penghasil antifouling dapat dicampur dalam cat atau pelapis antifouling yang lebih lengkap sebagai proteksi antifouling alami. Pada ekosistem laut terjadinya kolonisasi pada permukaan tubuh organisme signifikan dengan faktor pembatas perkembangan beberapa bentuk kehidupan. Oleh karena itu ketidakhadiran koloni organisme laut pada spesies karang dan tumbuhan laut merupakan hal yang mengejutkan. Penelitian lebih jauh terhadap karang gorgonian dan lamun Zostera marina ternyata menghasilkan komponen organik komplek, dimana pada saat ekstraksi dan aplikasi pengecatan dapat mencegah kolonisasi organisme fouling (Mittelman 1999). Callow dan Callow (2002).menemukan bahwa alga merah menghasilkan molekul yang dinamakan furanon. Furanon dipurifikasi dan ditambahkan pada cat kapal, jaring ikan dan lensa kontak. Setelah 5 bulan percobaan pada panel percobaan terjadi fouling dari makroalga namun pada panel yang berisi furanon tidak terjadi kolonisasi. Pada kenyataannya furanon dapat menghambat pembentukan biofilm dari ratusan spesies bakteri (Costerton 1999). Egan et al. (2001) memperlihatkan bahwa bakteri laut Pseudomonas tunicata mampu menghambat organisme fouling seperti larva avertebrata laut, alga, bakteri dan jamur sedangkan ekstrak bakteri Bacillus sp. dan Virgibacillus sp. yang diisolasi dari sponge Pseudoceratina purpurea mampu menghambat bakteri Vibrio algoniticus dan V. fishery yang yang menyebabkan fouling. Hasil penelitian Sabdono et al. (2005) memperlihatkan bahwa 371 isolat bakteri telah terisolasi dari karang lunak Sarcophyton sp. dan Sinularia sp. di perairan Ujung Kulon dan Karimun Jawa. Hasil uji antibakteri memperlihatkan bahwa 10 isolat (2,39 %) bakteri tersebut berpotensi menghasilkan senyawa antifoulant alami. Austin (1988) menemukan antibiotik dari hasil metabolisme sekunder bakteri yang pertama kali adalah senyawa pirol (pyrrole) yang mengandung unsur Bromium (Br). Bakteri ini melekat pada lamun (Thalassia testudinum) yang ditemukan di laut Karibia. Bakteri Vibrio sp. bersimbiosis dengan hewan laut porifera jenis Dysilea sp. ditemukan di samudera Hindia. Bakteri ini menghasilkan bahan bioaktif bis(dibromofenil)eter yang khas

(13)

8

ditemukan pada Dysilea sp. Hal ini juga membuktikan bahwa bakteri berperan menghasilkan metabolit sekunder pada simbiosis ini (Sidharta 2000).

2.3 Biofouling

Semua permukaan di lingkungan laut dipengaruhi oleh faktor biologi, fisika dan kimia yang menghasilkan bentuk suatu lapisan kompleks dari perlekatan mikroorganisme (microfouling) dan makroorganisme (macrofouling) yang dikenal sebagai biofouling. Komposisi spesies organisme yang ada pada kolom air merupakan faktor biologi yang sangat penting terhadap terjadinya biofouling.

Bakteri merupakan bagian penting dimana mereka membentuk pengkoloni yang pertama pada permukaan yang bersih dan mengubah sifat fisika-kimia permukaan. Sifat fisik dapat mempengaruhi perkembangan biofouling antara lain tekstur dan kontur permukaan, ketersediaan cahaya, kelembapan permukaan serta peningkatan panas, gas dan nutrien. Sifat kimia yang berpengaruh termasuk hadirnya berbagai macam molekul pada permukaan, kandungan kalsium, magnesium atau ion yang ada dalam air, ketersediaan nutrien yang spesifik dan sinyal kimia organisme di sekitarnya (Egan et al. 2001).

Menurut Railkin (2004) penyebab proses biofouling awalnya diperankan oleh adanya akumulasi nutrien pada permukaan karena hal tersebut memicu tersedianya sumber makanan sehingga menarik mikroorganisme untuk menempel. Akumulasi dan reproduksi mikroorganisme pada permukaan tersebut merupakan sumber nutrisi bagi perkembangan organisme jenjang trofik yang lebih tinggi dan selanjutnya dapat menarik organisme multiseluler. Proses kolonisasi pada permukaan meliputi pengkondisian secara biokimia, pengkolonian bakteri, kolonisasi eukariotik uniseluler, kolonisasi eukariotik multiseluler. Suatu permukaan materi yang terpapar dalam media air dengan cepat akan mengalami kondisi terlapis oleh polimer dan menghasilkan suatu modifikasi kimia yang berakibat mempercepat dan memperluas penempelan bakteri. Characklis et al. (1990) melaporkan pembentukan kondisi biofilm pada permukaan yang terpapar air laut. Penelitian tersebut menemukan bahwa biofilm adalah lapisan organik di alam yang terbentuk dalam hitungan menit dan berlanjut tumbuh pada beberapa jam.

Permukaan padat merupakan hal penting pada proses penempelan. Characklis et al. (1990) mencatat bahwa perluasan koloni mikroba muncul semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya kekasaran permukaan. Hal ini disebabkan karena kekuatan lapisan luar meningkat dan daerah yang kasar permukaannya menjadi lebih luas. Faktor fisika-kimia permukaan juga memegang peranan kuat dalam meningkatkan dan memperluas penempelan. Banyak peneliti menemukan bahwa mikroorganisme menempel pada media yang hydrophylic seperti permukaan non-polar antara lain teflon dan plastik dibandingkan pada material yang lebih hydrophobic seperti gelas atau logam (Michael dan Smith 1995; Kerr 1999 dan Donlan 2002). Komunitas macrofouling yang terdiri dari

’soft fouling’ dan ’hard fouling’, tumbuh dan berkembang dari komunitas microfouling. Soft fouling beranggotakan alga dan avertebrata seperti karang lunak, sponge, anemon, tunikata, dan cacing

(14)

9

tabung. Organisme spesifik yang berkembang dalam komunitas fouling tergantung pada substrat, lokasi geografis, musim dan faktor lain seperti kompetisi dan predasi. Komunitas fouling memiliki proses dinamika yang tinggi (Callow dan Callow 2002). Microfouling dan macrofouling merupakan proses yang overlapping yang dapat digambarkan dimana bakteri muncul setelah kira-kira 1–2 jam, diatom setelah 24 jam, spora makroalga dan protozoa setelah satu minggu dan larva makrofouler setelah 2-3 minggu (Abarzua dan Jakubowski 1995). Rangkaian peristiwa microfouling dan macrofouling dimulai dari pembentukan lapisan film secara biokimia dan dilanjutkan dengan terjadinya kolonisasi mikroba (bakteri, jamur dan diatom) Interaksi antara materi penempel dan substrat dipengaruhi oleh kelembaban substrat untuk menempel, kemampuan dari penempel.

Kelembaban merupakan area yang baik sebagai kontak antara penempel dan substrat. Hal tersebut juga berperan penting untuk menggambarkan besarnya interaksi antara penempel dan substrat.

Mikrostruktur yang padat mempengaruhi kemampuan mekanik dan kekuatan penempelan (Callow dan Callow 2002).

Analisa proses yang mendasar dari biofouling merupakan hal yang penting untuk mengetahui mekanisme kolonisasi oleh fouler (organisme penempel) pada permukaan keras alami dan struktur buatan manusia. Kolonisasi merupakan bagian dari akumulasi dan pertumbuhan. Akumulasi adalah pengertian timbulnya fouling pada suatu permukaan keras sebagai hasil dari transport oleh arus, pengkolonian dan pelekatan. Transport fouler ke substrat dilakukan oleh arus dan kolonisasi dianggap sebagai imigrasi. Walaupun faktanya mekanisme kolonisasi pada permukaan keras yang dilakukan oleh mikroorganisme, spora makroalga dan larva binatang berbeda, namun fenomena proses tersebut mirip. Kesamaan peristiwa proses kolonisasi dari mikroorganisme dan makroorganisme menurut Railkin (2004) adalah kesamaan bentuk hidup dimana terdapat satu organisme sesil yang dominan, kondisi dari transport oleh arus, pengkolonian, perlekatan, nutrisi dan pertumbuhan, kehadiran suatu permukaan keras sebagai suatu substrat dan keterbatasan area permukaan suatu substrat keras Menurut Bhaduri dan Wright (2004) proses biofouling secara lebih rinci memiliki 4 tahapan yaitu fouling diawali oleh proses substrat terendam air mengalami akumulasi materi organik terlarut dan molekul seperti polisakarida dan fragmen protein, bakteri dan diatom bersel tunggal akan menempel pada permukaan dan mulai menetap disana, membentuk lapisan (biofilm) mikroba, sel mulai tumbuh dan mulai membentuk koloni dimana terjadi perubahan besar pembentukan lapisan Ekso Poli Sakarida (EPS), penempelan organisme laut lain seperti barnacle, tunikata, kekerangan, bryozoa, dan cacing tabung, bersama dengan alga. Penempelan organisme ini diawali oleh pertumbuhan biofilm yang menjadi dasar bagi pertumbuhan alga, barnacle dan organisme lain. Bakteri, diatom, dan mikroalga membentuk lapisan primer berlendir bagi penempelan makroorganisme seperti moluska, sponge, anemon laut, cacing tabung, dan barnacle (Stanczak 2004). Akibat terjadinya peristiwa biofouling peningkatan penebalan badan kapal sebesar 1 mm dapat menyebabkan daya tarik kapal

(15)

10

meningkat 80% dan efisiensi bahan bakar dapat turun 40%. Hal tersebut menyebabkan peningkatan pengeluaran biaya perjalanan sebesar 77%. Peningkatan konsumsi bahan bakar menentukan peningkatan emisi gas rumah kaca, dimana hal ini dipercaya sebagai salah satu penyebab pemanasan global. Keberadaan komunitas biologi di perairan secara regional dapat juga mempengaruhi biofouling karena biaya transport harus dikeluarkan untuk spesies pendatang yang menempel pada kapal. Di teluk San Fransisco, 150 spesies non-native (spesies pendatang) telah berhasil dicatat, 100 spesies pendatang di Pearl Harbor, 50 spesies pendatang di Puget Sound, Washington, 100 spesies pendatang di Pelabuhan teluk Philip, Australia (Maxey 2006). Hal tersebut dapat merugikan komunitas laut karena introduksi dari spesies pendatang yang tidak terkalahkan dapat mempengaruhi perubahan biodiversitas spesies laut. Perlengkapan pembangkit yang menggunakan air laut sebagai pendingin dapat juga merupakan substrat biofouling yang baik. Biofouling pada tabung pendingin air pada pembangkit dapat menurunkan efisiensi kondenser karena dapat menurunkan keseluruhan daya pembangkit untuk kepentingan masyarakat. Hal ini dapat menyebabkan stasiun pembangkit secara temporer menutup pembangkit tenaga disebabkan karena terjadi biofouling (Maxey 2006). Biofouling secara komersial dapat menyebabkan dampak besar bagi konsumer, tetapi ahli lingkungan mengatakan bahwa biofouling memiliki beberapa kerugian yang lain. Penelitian yang dilakukan oleh Sudaryanto et al. (2001) dan Callow dan Callow (2002) membuktikan terjadinya akumulasi bahan TBT pada sedimen perairan di Indonesia dan menyebabkan terjadinya imposex pada gastropoda betina karena dapat menyebabkan penyumbatan pada saluran pengeluaran telur. Kelainan seksual pada spesies gastropoda yang terekspos TBT tergambar secara luas. Kandungan TBT juga diperlihatkan oleh adanya akumulasi pada ikan.

Usaha pertama untuk melakukan pencegahan biofouling di lautan adalah dengan menggunakan bahan kimia yang pada saat ini diketahui memiliki daya toksik yang tinggi, seperti arsen, organo- mercury, DDT, dan timah. Semua komponen tersebut beredar di pasaran pada tahun 1960. Bahan tersebut setelah dipelajari diketahui bahwa mereka berbahaya jika digunakan dan memiliki persisten tinggi di lingkungan. Tahap pencegahan biofouling berikutnya adalah perkembangan penggunaan cat antifouling berbahan dasar tributyltin (TBT). Produk tersebut dengan cepat berkembang dengan populer karena efektif dan penggunaannya menyebar ke seluruh dunia pada saat yang singkat. Pada tahun 1985 produksi antifouling TBT mencapai 8–10000 m/ton/tahun (Maxey 2006). Ketika pertama digunakan untuk mencampur cat berbahan dasar tembaga (Cu2+) terbukti memperlihatkan pencegahan biofouling. Cat-dengan tipe ini pada umumnya memiliki kecepatan peluruhan yang tinggi dari bahan aktifnya. Hal ini menyebabkan kandungan campuran pada di lingkungan menjadi sangat tinggi. Akibat kecepatan peluruhan yang tinggi menyebabkan kapal harus didaratkan lebih sering untuk dilakukan pengecatan kembali dan perbaikan. Hal tersebut menyebabkan penurunan efisiensi dan tingginya biaya bagi industri perkapalan. Hal tersebut tidak berlangsung lama setelah penggunaan

(16)

11

TBT di seluruh dunia memperlihatkan dampak negatif terhadap lingkungan. Indonesia bersama 74 negara anggota Organisasi Maritim Internasional (IMO) lainnya, menandatangani Konvensi Internasional Pengawasan Sistem Anti Pencemaran Bahan Berbahaya pada kapal di Inggris, yang melarang penggunaan jenis cat berbahaya untuk badan kapal. Dengan adanya kesepakatan tersebut, maka penggunaan cat kapal lama yang dianggap mengandung TBT tersebut dilarang. Menurut penelitian, cat yang digunakan untuk pengecatan badan kapal oleh hampir semua kapal di seluruh dunia termasuk Indonesia, selama ini ternyata mengandung bahan kimia TBT yang berbahaya dan dapat membunuh biota laut. Strategi penanggulangan biofouling menggunakan antifouling yang ramah lingkungan difokuskan pada pengkarakterisasi dan pengembangan produk berdasarkan pada pertahanan kimia pada organisme laut sesil yang dapat mengkondisikan permukaan tubuhnya bebas dari organisme fouling. Beberapa antifouling alami telah diekstrak dari tumbuhan laut dan organisme avertebrata. Pengkarakterisasian dan aplikasi komponen bioaktif telah diaplikasikan dalam cat antifoulant (Fusetani 2004).

2.4 Road Map Penelitian

Gambar 1. Roadmap diagram Metode Penelitian

Penelitian yang sudah dilakukan/sedang berlangsung

VKegiatan

1.Struktur komunitas lamun di Pulau Pahawang 2.Pemetaan

ekosistem lamun di Pulau Pahawang 3.Aktivitas

antioksidan lamun di Pulau Pahawang

Kajian Potensi Bakteri Simbion Lamun sebagai Penghambat

Terjadinya Biofouling di Laut

2022

VLuaran

1. Publikasi di Jurnal Nasional Sinta 4 (2020-2021

1. Jurnal terindeks scopus 2. Prosisding

terindek scopus 3. Jurnal

Nasional/Sinta 3

Bakteri simbion lamun Enhalus acoroides sebagai : Bioantifouling Kandidat antifouling baru Pelapis cat yang non-toksik dan ramah lingkungan

Potensi senyawa antifouling baru:

✓ Senyawa bioaktif bakteri simbion laun sebagai kandidat bioantifouling baru terhadap bakteri penempel (fouler)

(17)

12

BAB 3. METODE PENELITIAN 3.1 Bagan Alir Penelitian (Fishbone Diagram)

Gambar 2. Fishbone diagram Metode Penelitian 3.2 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan mulai Maret-November 2022. Pengambilan contoh lamun dan pengkuran kondisi hidro-oseanografi dilakukan di Pulau Pahwang. Isolasi bakteri epifit dan endofit, isolasi bakteri pembentuk biofilm, uji penghambatan bakteri simbion terhadap bakteri biofilm, uji penghambatan ekstrak bakteri simbion terhadap bakteri biofilm, uji aplikasi penghambatan ekstrak bakteri simbion lamun terhadap penempelan macrofouling, identifikasi bakteri, analisis pohon

• Sampling lamun di Pulau Pahawang

• Isolasi bakteri epifit

• Isolasi bakteri endofit

• Isolasi bakteri pembentuk biofilm

• Uji Penghambatan bakteri simbion lamun terhadap bakteri biofilm

• Uji Penghambatan ekstrak bakteri simbion lamun terhadap bakteri biofilm

• Uji aplikasi penghambatan ekstrak bakteri simbion lamun terhadap penempelan macrofouling

• Identifikasi bakteri

• Analisis pohon filogenetik

• Uji penempelan macrofouling pada jenis substrat kayu dan fiber

• Pengukuran parameter hidro- oseanografi perairan

• Didapatkan jenis lamun di Pulau Pahawang

• Didapatkan isolat bakteri epifit

• Didapatkan isolat bakteri endofit

• Didapatkan isolat bakteri pembentuk biofilm

• Didapatkan isolat bakteri simbion lamun terhadap bakteri biofilm

• Didapatkan isolat ekstrak bakteri simbion lamun terhadap bakteri biofilm

• Draft jurnal

• Didapatkan aktivitas ekstrak bakteri simbion lamun terhadap penempelan macrofouling

• Didapatkan jenis bakteri

• Didapatkan spesies bakteri

• Didapatkan aktivitas anti penempelan macrofouling

• Didapatkan kondisi hidro- oseanografi perairan

• Submitted jurnal internasional terakreditasi

2022 (Pulau Pahwang dan Laboratorium Oseanografi Jurusan Periakanan dan Kelautan, Fakultas Pertanian

Universitas Lampung)

Profil senyawa bioaktif dari

bakteri simbion

lamun sebagai bioantifouli ng terhadap

bakteri penempel

(fouler) KegiatanTahun dan Lokasi Penelitian

Indikator dan Luaran

(18)

13

filogenetik dan uji penempelan macrofouling pada jenis substrat kayu dan fiber dilakukan di laboratorium oseanografi, jurusan perikanan dan kelautan, fakultas pertanian, universitas lampung.

3.3 Isolasi Bakteri Epifit

Daun dari jenis lamun Enhalus acoroides yang terbebas dari makroepifit yaitu yang tidak dijumpai adanya makroorganisme yang menempel diambil sebanyak kurang lebih 5 cm. Sampel kemudian dimasukkan dalam kantong plastik dan ditempatkan dalam kontainer pendingin untuk selanjutnya dibawa ke laboratorium. Sampel selanjutnya disemprot dengan air laut steril (air laut yang disterilisasi) sebanyak tiga kali untuk mendapatkan biofilm permanen kemudian dilakukan pengerokan dengan alat pengerok steril. Hasil kerokan dimasukkan ke dalam 90 ml air laut steril dan diencerkan hingga diperoleh pengenceran 10-1, 10-2, dan 10-3 . Dari masing-masing tingkat pengenceran diambil 100 µl dengan pipet, dimasukkan ke dalam media ZoBell 2216E yang telah disiapkan di dalam cawan petri. Selanjutnya diratakan dengan menggunakan spreader dan diinkubasikan selama 2 x 24 jam pada suhu kamar. Pemurnian isolat bakteri dilakukan dengan metode goresan (streak method) hingga diperoleh kultur murni.

3.4 Isolasi Bakteri Endofit

Isolasi mikroba endofit dilakukan dengan modifikasi metode F. Tomita (Simarmata et al.

2007) yaitu daun lamun yang diambil dari lapangan dibersihkan dari kotoran dengan cara mencucinya dengan air mengalir. Kemudian daun lamun dipotong sepanjang 5 cm dan selanjutnya disterilisasi permukaannya menggunakan larutan alkohol 70%. Setelah itu sampel dibilas dengan air steril tiga kali dan kemudian dengan cara membelah bagian daun lamun dan meletakkan pada posisi tertelungkup ditanam di dalam media agar ZoBell 2216E . Cawan petri yang sudah mengandung sampel daun lamun kemudian diinkubasi dalam inkubator pada suhu kamar selama 2-4 hari. Mikroba yang tumbuh secara bertahap dimurnikan satu persatu.

3.5 Isolasi Bakteri Pembentuk Biofilm

Biofilm bakteri disiapkan dalam rangka memperoleh isolat bakteri pembentuk biofilm bakteri.

Beberapa jenis substrat penempel steril (kayu dan fiber) disiapkan, kemudian diikatkan pada penyangga dengan menggunakan tali yang dipasang sedemikian rupa sehingga dapat mewakili 4 penjuru mata angin. Selanjutnya dipasang di daerah lamun yang akan diisolasi bakterinya. Substrat diletakkan pada kedalaman 1 m di bawah permukaan laut pada surut paling rendah selama 1 minggu.

Substrat tersebut selanjutnya diambil dan dimasukkan ke dalam kotak pendingin dan dibawa ke laboratorium untuk proses isolasi. Substrat selanjutnya dicuci dengan air laut steril dengan cara disemprotkan sebanyak tiga kali untuk memastikan bahwa bakteri yang terisolasi adalah bakteri pembentuk biofilm yang sudah permanen. Isolasi bakteri dilakukan dengan metode pour plate (lempeng tuang) menurut Brock dan Madigan (1991). Substrat tersebut selanjutnya dimasukkan ke dalam cawan petri steril yang sebagian berisi air laut steril, kemudian dilakukan pengerokan

(19)

14

(scrapping) terhadap permukaan substrat dengan alat pengerok steril secara aseptik. Sampel selanjutnya dimasukkan ke dalam 90 ml air laut steril dan diencerkan hingga diperoleh pengenceran 10-1, 10-2, dan 10-3 . Dari masing-masing tingkat pengeceran diambil 100 µl dengan pipet ke dalam media ZoBell 2216 E yang telah disiapkan di dalam cawan petri. Selanjutnya diratakan dengan menggunakan spreader dan diinkubasikan selama 2 x 24 jam pada suhu kamar. Pemurnian isolat bakteri dilakukan dengan metode goresan (streak method) hingga diperoleh kultur murni. Semua alat dan bahan yang digunakan dilakukan sterilisasi terlebih dahulu dengan autoklaf.

3.6 Uji Penghambatan Bakteri Simbion Lamun (epifit dan endofit) terhadap pertumbuhan Bakteri Biofilm

Metode difusi agar dilakukan berdasarkan Radjasa et al. (2004) dengan menyiapkan cawan petri steril berisi 20 ml media Zobell 2216E. Sebanyak 75 μl kultur bakteri biofilm dalam media Zobell 2216E cair yang telah diinkubasi selama 1 hari diinokulasikan pada cawan petri tersebut dengan metode spread sampai merata dan didiamkan sekitar tiga menit supaya bakteri biofilm meresap pada media. Selanjutnya beberapa paper disk diletakkan secara aseptis pada permukaan agar lalu ditetesi 25 µl isolat bakteri yang akan diuji yaitu bakteri epifit atau endofit simbion lamun E. acoroides yang telah dikultur pada media Zobell 2216E cair dan telah dilakukan pengukuran kepadatan bakteri dengan spektrofotometer pada panjang gelombang (λ) 500 nm. Media tersebut selanjutnya diinkubasikan pada suhu kamar selama 2 x 24 jam. Pengamatan dilakukan dengan melihat ada tidaknya zona hambatan pertumbuhan bakteri di sekeliling paper disk. Zona hambat yang terbentuk diukur dengan menggunakan jangka sorong dengan ketelitian 0,05 mm.

3.7 Uji Penghambatan Ekstrak Bakteri Simbion Lamun (epifit dan endofit) terhadap Pertumbuhan Bakteri Biofilm

Metode yang digunakan dalam adalah metode difusi agar yang dilakukan berdasarkan Radjasa et al. (2004) dengan menyiapkan cawan petri steril berisi 20 ml media Zobell 2216E. Kemudian sebanyak 75 μl kultur bakteri biofilm dalam media Zobell 2216E cair yang telah diinkubasi selama 1 hari diinokulasikan pada cawan petri tersebut dengan metode spread sampai merata dan didiamkan sekitar tiga menit supaya bakteri biofilm meresap pada media. Selanjutnya beberapa paper disk diletakkan secara aseptis pada permukaan agar lalu ditetesi 25 µl ekstrak isolat bakteri yang akan diuji yaitu bakteri epifit atau endofit simbion lamun E. Acoroides yang telah dikultur pada media Zobell 2216E cair dan telah dilakukan pengukuran kepadatan bakteri dengan spektrofotometer pada panjang gelombang (λ) 500 nm. Media tersebut selanjutnya diinkubasikan pada suhu kamar selama 2 x 24 jam. Pengamatan dilakukan dengan melihat ada tidaknya zona hambatan pertumbuhan bakteri di sekeliling cawan petri. Zona hambat yang terbentuk diukur dengan menggunakan jangka sorong dengan ketelitian 0,05 mm.

(20)

15

3.8 Uji Aplikasi Lapang Penghambatan Ekstrak Bakteri Simbion Lamun terhadap Penempelan Macrofouling

Uji lapang dilakukan dengan cara mencampur cat yang tidak mengandung antifoulant sintetis dengan ekstrak bakteri untuk mengetahui kemampuan senyawa aktif dalam melindungi struktur dari penempelan organisme fouling (Burgess 2003). Disiapkan substrat berupa balok kayu berukuran 3 x 6 cm2 dan dibuat lubang kecil untuk memasukkan tali pengikat. Beberapa larutan campuran ekstrak bakteri simbion lamun dan cat kayu tanpa antifoulant dibuat dengan perbandingan 25 : 75 dan 50 : 50. Satu balok kayu dicat dengan campuran cat tanpa antifoulant dan pelarut hexana dan satu balok kayu tanpa penambahan ekstrak kasar bakteri digunakan sebagai kontrol. Selanjutnya larutan cat tersebut digunakan untuk mengecat balok kayu yang tersedia. Setelah itu dikeringkan selama 1 hari untuk memastikan cat benar-benar sudah menempel pada balok kayu. Balok-balok kayu tersebut diikat dengan tali plastik dan dilakukan perendaman pada air laut di lokasi aplikasi lapang. Balok kayu tersebut ditempatkan 50 cm dibawah permukaan air laut pada surut terendah. Balok kayu yang digunakan untuk setiap perlakuan sebanyak 3 buah untuk pengulangan. Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan perlakuan ekstrak isolat bakteri simbion lamun (epifit dan endofit), dan terdapat perlakuan kontrol atau pembanding yaitu kayu yang hanya dicat dengan cat tanpa antifoulant. Pengamatan dilakukan sekali dalam seminggu. Identifikasi dan penghitungan organisme penempel dilakukan setelah terdapat organisme penempel pada perlakuan kontrol.

3.9 Identifikasi Bakteri 3.9.1 Ekstraksi DNA Bakteri

Isolat murni bakteri dimasukkan tabung ependorf 1,5 ml diisi 100 ul akuades. Selanjutnya direbus dalam panci berisi air mendidih 10-20 menit dan setelah itu tabung dimasukkan dalam es 5- 10 menit. Sentrifuse dilakukan pada 12.000 rpm selama 10 menit dan super natan yang terjadi diambil dan dimasukkan tabung ependorf baru. Selanjutnya disimpan pada 4 oC sebelum digunakan.

3.9.2 Amplifikasi DNA

Amplifikasi DNA dilakukan dengan metode PCR (Polymerase Chain Reaction) berdasarkan metode yang dilakukan menurut metode Thiel and Imhoff (Radjasa et al. 2007). Primer yang digunakan untuk amplifikasi 16S rDNA adalah primer universal 27F (5'- AGAGTTTGATCMTGGCTCAG-3') (Radjasa et al. 2007). Amplifikasi DNA dengan PCR dilakukan dengan DNA thermal cycler dengan denaturasi awal dilakukan pada 94°C selama 5 menit dan selanjutnya dilakukan annealing (94°C selama 30 detik), ekstensi (54°C selama 45 detik), dan denaturasi (72°C selama 1 menit), sebanyak 35 siklus. Kemudian ekstra annealing selama 1 menit, dan ekstra ekstensi akhir pada 72°C selama 5 menit.

(21)

16

Visualisasi produk PCR dilakukan melalui elektroforesis dilakukan dengan Produk PCR sebanyak 50 μl dimasukkan ke dalam sumur gel agarose 0,6% yang diletakkan pada bufer TEB (Tris- acetat-EDTA Buffer) 1 X, dilakukan running selama 45 menit. Gel kemudian direndam dalam ethidium bromide selama 5 menit untuk mewarnai pita DNA yang terperangkap pada gel. Hasil amplifikasi 16S rDNA yang memiliki panjang sekitar 1460 bp dapat dilihat dengan meletakkan gel di atas UV transluminator (Radjasa et al. 2007). Analisis sekuen DNA isolat bakteri terbaik kemudian dibandingkan dengan sekuen DNA pada basis data DNA. Penelusuran homologi dilakukan dengan menggunakan internet melalui program pelacakan basis data Basic Local Alignment Search Tool (BLAST) (Radjasa et al. 2007).

3.10 Analisis Pohon Filogenetik

Analisis dengan pohon filogenetik digunakan untuk membuat struktur analisis maximum- likelihood. Temuan posisi tidak kurang dari 50% (masing-masing tiga) dari sekuen yang memiliki kesamaan dengan sekuen primer 16S rDNA adalah data yang akan ikut diperhitungkan dengan analisis filogenetik dengan software ARB (Radjasa et al. 2007).

3.11 Uji Penempelan Macrofouling pada Jenis Substrat Kayu dan Fiber

Pada tahap ini digunakan substrat kayu yang dicat dengan cat berwarna terang (putih) dan berwarna gelap (coklat) berukuran 4 x 8 cm2 dan dibuat lubang kecil pada salah satu ujungnya untuk memasukkan tali pengikat. Substrat kayu dan fiber yang telah diikat dengan tali plastik tersebut kemudian ditempatkan 50 cm dibawah permukaan laut pada surut terendah. Hal ini untuk lebih memastikan bahwa substrat akan selalu terendam air laut. Selanjutnya dilakukan pengamatan terhadap organisme penempel dua kali dalam seminggu hingga diperoleh organisme penempel yang dominan pada setiap substrat percobaan. Masing-masing jenis substrat dilakukan pengulangan sebanyak tiga kali. Pada akhir pengamatan dihitung jumlah makroorganisme penempel yang ada pada setiap substrat perlakuan.

3.12 Pengukuran Parameter Hidro-Oseanografi

Pengukuran terhadap parameter hidro-oseanografi dengan menggunakan Water Quality Checker, Salinetest, dan pH-meter dilakukan pada saat isolasi bakteri simbion lamun (epifit dan endofit) dan isolasi bakteri pembentuk biofilm pada substrat kayu dan fiber meliputi parameter turbiditas, kecepatan arus, temperatur, salinitas dan pH. Pengamatan parameter hidro-oseanografi pada pengamatan proses biofouling dan uji aplikasi lapang penempelan macrofouling pada jenis substrat meliputi, temperatur, salinitas dan pH.

(22)

17

BAB 4. RENCANA ANGGARAN BIAYA DAN JADWAL PENELITIAN 4.1 Rencana Anggaran Biaya

Pengadaan Alat dan Bahan Penelitian Material Justifikasi

Pemakaian

Kuantitas Harga Satuan (Rp)

Harga Total (Rp)

Metanol tehnis Ekstraksi 20 L 40.000,- 800.000

Alkohol 70% Sterilisasi 1 L 25.000,- 25.000

Erlenmeyer 1 L Ekstraksi 3 pcs 140.000, 420.000

Erlenmeyer 500 ml Ekstraksi 3 pcs 125.000,- 375.000

Petridish Uji Antibakteri 25 pcs 20.000,- 500.000

Tabung Reaksi Kultur Bakteri 50 pcs 10.000,- 500.000

Kapas steril Uji antibakteri 1 kg 130.000,- 130.000

Aluminium voil Uji antibakteri 4 pcs 35.000,- 140.000

Kassa Kultur bakteri 10 roll 29.000,- 290.000

Isolat Bakteri Uji Antibakteri 2 isolat 275.000,- 550.000 Media Zobell Uji antibakteri 500 gr 1.379.000,- 1.379.000

Masker hidung Ekstraksi 1 pack 25.000,- 25.000

Yellow Tip Uji Antibakeri 1 pack 95.000,- 95.000

Blue Tip Uji Antibakeri 1 pack 85.000,- 85.000

Sentrifuse Uji genetik 1 pack 4.500.000 4.500.000

Jangka Sorong Uji Antibakteri 1 buah 170.000,- 170.000

Pipet tetes plastik Uji antibakteri 2 buah 3.000,- 6.000

Corong Kaca Ekstraksi 2 buah 50.000,- 100.000

Paperdisk Uji Antibakteri 4 Pack 388.750,- 1.555.000

Media MEA Uji Antibakteri 500 gr 3.600.000,- 3.600.000

Kertas Saring Ekstraksi 5 lembar 30.000,- 150.000

Botol Vial Tempat Ekstrak 50 pcs 150.000

SUB TOTAL (Rp) 12.900.000

Alat Tulis Kantor/bahan habis pakai

Material Justifikasi Bahan Kuantitas Harga Satuan (Rp)

Harga Total (Rp)

Kertas HVS Laporan 4 rim 50.000,- 200.000

Alat Tulis Kantor Laporan 1 paket 500.000,- 500.000

Tinta Cetak 4 botol 150.000,- 600.000

Rotary evaporator Sewa 20 jam 45.000,- 900.000

Autoclave Sewa 20 kali 30.000, 600.000

Inkubator Sewa 25 hari 20.000, 500.000

Shacker Sewa 25 hari 20.000, 500.000

SUB TOTAL (Rp) 3.800.000

Biaya Perjalanan Penelitian

(23)

18 Kegiatan

Justifikasi Perjalanan

Kuantitas

Harga Satuan (Rp)

Harga Total (Rp)

Sampling ke Pulau Pahwang

Sewa 3x 700.000,- 2.100.000

Seminar Internasional

Tiket 2 orang PP 1.350.000, 2.700.000

SUB TOTAL (Rp) 4.800.000

Laporan/Diseminasi/Publikasi

Kegiatan Justifikasi Kuantitas

Harga Satuan

Harga Total (Rp)

Laporan Laporan 10 buah 50.000,- 500.000

Publikasi Jurnal 1 buah 3.000.000,- 3.000.000

SUB TOTAL (Rp) 3.500.000

TOTAL PENGGUNAAN DANA (Rp) 25.000.0000

4.2 Jadwal Penelitian

No Jenis Kegiatan

Tahun 2022

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 Sampling lamun

2 Isolasi bakteri epifit dan endofit 3 Isolasi bakteri pembentuk biofilm 4 Uji penghambatan bakteri simbion

terhadap bakteri biofilm

5 Uji penghambatan ekstrak bakteri simbion terhadap bakteri biofilm

6 Uji aplikasi penghambatan ekstrak bakteri simbion lamun terhadap penempelan macrofouling

7 Identifikasi bakteri

8 Analisis pohon filogenetik

9 Uji penempelan macrofouling pada jenis substrat kayu dan fiber

10 Pengukuran parameter hidro-oseanografi 11 Penyusunan dan penyerahan laporan

Kemajuan

12 Penyusunan dan penyerahan laporan akhir

(24)

19

DAFTAR PUSTAKA

Abarzua S dan Jakubowski S. 1995. Biotechnological investigation for the prevention of biofouling.Mar Ecol Prog Ser. 123: 301-312.

Armstrong E, Boyd G dan Burgess J. 2000. Prevention of marine biofouling using natural compounds from marine organisms. Elsevier Science. Biotechnology Annual Review 6: 221- 241.

Austin B. 1988. Marine microbiology. Cambridge University Press. New York.

Bhadury P dan Wright PC. 2004. Exploitation of marine algae: biogenic compounds for potential antifouling application. Planta. 219: 561-578.

Brock TD, Madigan M. 1991. Biology of microorganisms. 6th edition. Prentice Hall. New Jersey.

Callow ME dan Callow JA. 2002. Marine biofouling: a sticky problem. Biologist. 49:1-4.

Characklis WG dan Escher AR. 1990. Microbial fouling: Initial event. In marine biodeterioration.

A. A. Balkema. Rotterdam.

Costerton JW. 1999. Antifouling. Center for biofilm engeneering. Montana State University.

Bozeman.MT.

Dahuri R. 2003. Keanekaragaman hayati laut aset pembangunan berkelanjutan Indonesia. PT.

Gramedia Pustaka Utama. Jakarta

Dawes CJ. 1981. Marine botany. John Wiley and Sons, Inc. USA.

Donlan RM. 2002. Biofilm: Microbial life on surface. Emerging infectious diseases. 8 (9): 881-890.

Egan S. 2001. Production and regulation of fouling inhibitory compouns by the marine bacterium.

School of Microbiology and Immunology. Faculty of Life Science. The University of New South Wales. Sydney. Australia.

Fusetani N. 2004. Biofouling and antifouling. Nat.Prod.Rep: 94–104.

Geiger TP, Gasser, Hany R and.Zinn M. 2003. Functional polymers from poly (3- hydhoxyalkanoates): protection of surfaces from biofouling. European Cells and Materials.6 (1):32.

Jensen PR, Jenkins KM, Porter D, Fenical W. 1989. Evidence that a new antibiotic flavone glycoside chemically defends the Seagrass Thalassia testudinum against zoosporic fungi.

Applied and Environmental Microbiology. 2(1) :1490 -1496.

Kerr A. 1999. Some physical factors affecting the accumulation of biofouling. Journal of the Marine Biological Association of the UK 79 (2):357-359.

Kelecom A. 2002. Secondary metabolites from marine microorganisms. Anals da Academia Brasileira de Ciencias 74(1):151-170.

Lane AL dan Kubanek J. 2008. Secondary metabolite defence agains pathogen and biofoulers.

Biomedical and life science. In Algal Chemical Ecology. Pringer Berlin Heidelberg. 229- 243.

Larkum AWD, McComb AJ, dan Shepherd SA. 1989. Aquatic plant studies. Biology of seagrass. Elsevier Science Puplishers B. V. Netherlands.

Li Z. 2009. Advance in marine microbial symbionts in the China sea and related pharmaceutical metabolites. Mar. Drugs (7):113-129

Maxey IV CE. 2006. Occurrence and distribution of irgarol 1051 and its natural metabolites in biotic and abiotic marine samples, having been approved in respect to style and intellectual content, is referred to you for judgment. Florida International University.USA

Mayavu C, Sugesh S, dan Ravindran VJ. 2009. Antibacterial activity of seagrass species against biofilm forming bacteria. Research Journal of Microbiology .4(8):314-319

Michael T, Smith M. 1995. Lectin probe molecular film in biofouling: characterization of early film on non-living and living surface Mar.Ecol.Prog.Ser. 119:229-236.

Mittelman MW. 1999. Bacterial Biofilm And Biofouling : Translational Mesearch In Marine Biotechnology. National Research Council. USA.

Munn CB. 2004. Marine microbiology, Ecology and aplication. Scientific Publishers. UK.

(25)

20

Murniasih T. 2005. Substansi kimia untuk pertahanan diri dari hewan laut tak bertulang belakang.

Oseana 30( 2):19 – 27.

Newby, Bi-min Zhang, Cutright T, Barrios CA dan Xu Q. 2006. Zosteric acid an effective antifoulant for reducing fresh water bacterial attachment on coating. JCT Research. American Coatings Association. USA

Pereira RC, da Gama BAP, Teixeira VL danValentin Y. 2003. Ecological roles of natural product of the Brazilian red seaweed Laurencia obtusa. Braz.J.Biol 63 (4): 665-672.

Prihatiningtias W. 2006. Mikroba endofit, sumber penghasil antibiotik yang potensial. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Qian PY, Xu Y, dan Fusetani N. 2010. Natural products as antifouling compounds: recent progress and future perspectives. Biofouling 26(2):223-234.

Qi SH. 2008. Antifeedant, antibacterial and antilarval compounds from the south China sea seagrass Enhalus acoroides. Botanica Marina .51(5):441-447.

Radjasa OK, Martens T, Grossart HP, Brinkoff T, Sabdono A, dan Simon M. 2007. Antagonistic activity of a marine bacterium Pseudoalteromonas luteoviolacea TAB4.2 associated with coral Acropora sp. J. Biol. Sci 7(2):239-246

Radji M. 2005. Peranan bioteknologi dan mikroba endofit dalam pengembangan obat herbal.

Majalah Ilmu Kefarmasian II (3):113–126.

Railkin AI. 2004. Marine Biofouling. Colonization Processes and Defence. CRC Press. Florida.

Ravikumar S, Thajuddin N, Suganthi P, Inbaneson SJ dan Vinodkumar T. 2009. Bioactive potential of seagrass bacteria against human bacterial pathogens. Journal of Environmental Biology 31:387-389.

Sabdono A, Radjasa OK, dan Bachtiar T. 2005. Eksplorasi Senyawa Bioaktif Antifoulant Bakteri yang Berasosiasi dengan Avertebrata Laut sebagai Alternatif Penanganan Biofouling di Laut.

Pusat Studi Pesisir dan Laut Tropis-Universitas Diponegoro. Semarang.

Sammarco PW dan Coll JC. 1992. Chemical adaptation in the Octocorallia: Evolutionary considerations. Mar. Ecol. Prog. Ser 88:93-104.

Shafer DJ, Wyllie-Echeverria S, d a n Sherman TD. 2007. Growth and production of the introduced seagrass Zostera japonica from two Pacific Northwest estuaries. Aquatic Botany.

2(1):123:129

Sidharta BR. 2000. Pengantar Mikrobiologi Kelautan. Universitas Atmajaya. Yogyakarta.

Simarmata R, Lekatompessy S, dan Sukiman H. 2007. Isolasi Mikroba Endofitik Dari Tanaman Obat Sambung Nyawa (Gynura Procumbens) dan Analisis Potensinya Sebagai Antimikroba.

Pusat Penelitian Bioteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan, LIPI. Bogor.

Stanczak M. 2004. Biofouling: It’s Not Just Barnacles Anymore. Florida. USA.

Sudaryanto A, Muchtar M, Razak H dan Tanabe S. 2001. Pencemaran senyawa butyltin di sedimen dari perairan Indonesia. Jurnal Sains dan Teknologi 3(5): 64-69.

Wibowo AE, Supriyono A, Subintoro, dan Rusman Y. 2003. Studi Eksplorasi Senyawa Metabolit Sekunder dari Biota Laut. Jurnal Ilmu Teknologi Kelautan. 7(2):45-52

Referensi

Dokumen terkait

Urutan diagram blok pada penelitian ini adalah pada ada saat manusia(objek) berhenti di titik yang telah di tentukan untuk mengukur suhu tubuh, sensor ping ultrasonik akan mendeteksi

Penelitian tentang SDM pariwisata telah dilakukan, antara lain tentang kecenderungan SDM dalam pariwisata (Kaznacheeva et al., 2018), pengembangan SDM pariwisata daerah

Adapun manfaat penelitian ini nantinya penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat informasi terkait social support, customer review quality, social commerce

Kurniawati, 2020: 2). Di sisi lain, untuk menunjang proses perkuliahan praktik keterampilan berbicara bahasa Prancis maka akan lebih optimal jika penggunaan video

Berdasarkan hal ini, diperlukan analisis eksplanatory faktor yang mendorong perilaku aman petani dalam menggunakan pestisida berdasarkan Health Belief Model di

Selain dapat membuar ureter iritasi, batu ginjal juga dapat tersangkut dalam ureter atau uretra (saluran akhir pembuangan urine) sehingga bakteri terakumulasi dan

Sedangkan teknik wawancara yang digunakan adalah bebas terpimpin, yaitu mengajukan pertanyaan dikemukakan secara bebas, artinya kalimat tidak terpaku pada pedoman

Oleh karena itu melalui studi perbandingan, temuan yang ditargetkan dalam penelitian ini berupa konsep pemidanaan anak yang sejalan dengan paradigma baru pemidanaan