• Tidak ada hasil yang ditemukan

buku-mekanika-kuantum.pdf

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "buku-mekanika-kuantum.pdf"

Copied!
141
0
0

Teks penuh

(1)

Mekanika Kuantum (draft)

I Wayan Sudiarta, Ph.D

Program Studi Fisika

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Mataram

(2)
(3)

Daftar Isi

Kata Pengantar iii

1 Pendahuluan 1

2 Mekanika Klasik 5

2.1 Koordinat Umum atau Generalized Coordinates . . . 5

2.2 Mekanika Lagrange . . . 7

2.3 Mekanika Hamilton . . . 10

2.4 Transformasi Kanonik . . . 12

2.4.1 Poisson Brackets . . . 13

3 Fenomena-Fenomena Kuantum 15 3.1 Radiasi Benda Hitam . . . 15

3.1.1 Radiasi Rongga dengan Teori Klasik . . . 19

3.1.2 Radiasi Rongga dengan Teori Kuantum . . . 22

3.2 Efek Fotolistrik . . . 24

3.3 Efek Compton . . . 27

3.4 Spectrum Hidrogen Atom . . . 31

3.5 Hipotesis de Broglie . . . 32

4 Keadaan Sistem 35 4.1 Observables . . . 36

5 Persamaan Schr ¨odinger 47 5.1 Fungsi Gelombang dengan Momentum Tertentu . . . 47

5.2 Persamaan Schr¨odinger . . . 50

5.3 Sifat-Sifat Fungsi Solusi Persamaan Schr¨odinger . . . . 53

5.4 Konservasi Probabilitas . . . 53

5.5 Teorema Ehrenfest . . . 56

5.6 Persamaan Schr¨odinger Tidak Bergantung Waktu . . . . 58

6 Solusi Persamaan Schr ¨odinger Satu Dimensi 63 6.1 Partikel Bebas . . . 63

6.2 Potensial Tangga . . . 65

6.3 Potensial Penghalang Persegi . . . 69

6.4 Sumur Potensial Persegi Tak Berhingga . . . 74

(4)

ii Daftar Isi

7 Osilator Harmonik 83

7.1 Osilator Harmonik . . . 83

7.2 Metode Aljabar . . . 85

7.3 Metode Analitik . . . 90

8 Notasi Dirac dalam Mekanika Kuantum 95 8.1 Bra-Ket . . . 95

8.2 Amplitudo Probabilitas . . . 99

8.3 Fungsi Gelombang . . . 99

8.4 Representasi Operator dengan Matriks . . . 100

8.5 Sifat-sifat Matriks dan Definisi . . . 102

8.6 Contoh Harmonik Osilator . . . 104

9 Momentum Angular 107 10 Rigid Rotator 109 11 Partikel pada Sumur Potensial Kotak 3D 111 12 Atom dengan Satu Elektron 115 13 Teori Perturbasi 121 13.1 Kasus Non-degenerate . . . 121

13.2 Kasus Degenerate . . . 124

14 Perturbasi tergantung waktu 127 14.1 Sistem Dua Tingkat Energi . . . 129

14.2 Perturbasi Harmonik . . . 129

14.3 Aplikasi . . . 129

15 Partikel Identik 131 15.1 Prinsip Larangan Pauli . . . 132

15.2 statistik . . . 132

(5)

Kata Pengantar

Penulis bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas probabilitas pe-nyelesaian buku ini yang cukup besar dalam waktu yang cukup sing-kat.

Buku ini masih dalam tahap penyusunan dan belum mencapai ting-kat kesempurnaan yang diinginkan penulis. Walaupun demikian, bu-ku ini tetap berguna untuk mempermudah pemahaman tentang me-kanika kuantum.

Buku ini ditulis dalam jangka waktu yang singkat, sekitar satu se-tengah bulan. Sudah pasti tidak semua hal dijelaskan secara detil. Kekurangan penjelasan dan pembahasan hal-hal penting akan dileng-kapi pada saat kuliah.

Buku mekanika kuantum ini hanya membahas teori kuantum yang tidak relativistik.

Teori kuantum bukanlah sebuah teori yang mudah dicerna atau di-pahami. Dari semua teori yang ada, teori kuantum selalu dianggap paling sulit. Ada beberapa faktor yang selalu menjadi penghambat dalam pemahaman yaitu (1) Konsep-konsep yang ada di dalam teo-ri kuantum tidak dapat atau tidak mempunyai analogi di fisika klasik atau yang kita jumpai sehari-hari, terkadang konsep kuantum terlihat aneh, ajaib dan tidak masuk akal. (2) Memerlukan pemahaman mate-matika yang lebih banyak dari teori lain, (3) Buku-buku belum banyak tersedia yang memberi penjelasan tentang konsep-konsep dasar teori kuantum.

Dalam mempelajari ilmu fisika, kita perlu selalu mengingatkan diri kita bahwa teori fisika seperti teori kuantum tidaklah mudah dipelaja-ri, sehingga memerlukan waktu yang lebih banyak untuk memahami konsep-konsepnya. Oleh karen itu, penulis menyarankan agar setiap bab tidak dibaca dengan cepat. Bacalah perlahan dan ingatkan bahwa kita perlu memahami (bukan menghafalkan) dan jangan melompati bab-bab awal sebelum memahami isinya. Di samping itu, latihan de-ngan mencoba banyak soal-soal perlu dilakukan untuk memperkuat pemahaman konsep.

Sebuah pernyataan yant perlu diingat yaitu:

”One doesn’t understand the physics unless one can solve problems” dan juga,

”Just solving problems, without the capacity to lucidly discuss tho-se problems and the attendant concepts and ideas, may also indicate insufficient understanding”

(6)

whi-iv Daftar Isi

ch none of us really understands but which we know how to use. It works perfectly, as far as we can tell, indescribing physical reality, but it is a ”counter-intuitive discipline,” as the social scientists would say. Quantum mechanics is not a theory, but rather a framework within which we believe any correct theory must fit.” (Murray Gell-Mann, in Mulvey(1981))

Terima kasih penulis ucapkan kepada semua mahasiswa yang mem-bantu menyempurnakan buku ini dan memaklumi bahwa kesempur-naan bisa diperoleh jika kesalahan sudah dilakukan.

Terima kasih. Penulis

(7)

1

Pendahuluan

Pada abad ke 17, fenomena-fenomena perambatan cahaya dapat di-jelaskan oleh dua teori: (a) teori gelombang yang dikemukakan oleh Christian Huygens menyatakan bahwa cahaya merupakan gelombang dan (b) teori corpuscle di mana cahaya terdiri dari partikel-partikel atau corpuscle yang dikembangkan oleh Sir Isaac Newton. Dua teo-ri ini dapat menjelaskan fenomena perambatan cahaya yang seperti perambatan garis lurus dan pemantulan cahaya. Tetapi fenomena in-terferensi dan difraksi tidak dapat dijelaskan oleh teori corpuscle dan hanya bisa dijelaskan dengan teori gelombang. Pada interferensi ca-haya, jika dua cahaya dipadukan akan menghasilkan fenomena gelap dan terang. Perpaduan dua cahaya menghasilkan gelap (interferensi pelemahan) tidak dapat dijelaskan dengan menggunakan konsep par-tikel dan hanya bisa menggunakan konsep gelombang. Pada abad ke 19, Sir James Maxwell memperkuat konsep gelombang dengan mem-buktikan bahwa cahaya merupakan gelombang elektromagnetik.

Walaupun demikian, konsep partikel tidaklah ditinggalkan, tetapi muncul kembali dengan penemuan fenomena fotolistrik oleh Heinri-ch Hertz yang hanya dapat dijelaskan jika cahaya terdiri dari paket-paket atau kuanta atau partikel (disebut foton). Eksperimen yang di-lakukan oleh Compton menunjukkan bahwa cahaya bersifat seperti partikel (foton) ketika bertumbukan dengan sebuah elektron.

Dua contoh eksperimen, interferensi cahaya dan hamburan Comp-ton membuktikan bahwa cahaya memiliki dua sifat atau dualitas: sifat partikel dan sifat gelombang. Dengan mempertimbangkan sifat dua-litas cahaya ini, kemudian de Broglie berhipotesis bahwa sifat duali-tas tidak hanya dimiliki oleh cahaya, tetapi juga dimiliki oleh partikel atau materi. Fenomena gelombang untuk elektron dapat ditunjukkan dengan eksperimen difraksi elektron pada kristal (Davisson dan Ger-mer).

(8)

perta-2 Pendahuluan

nyaan adalah eksperimen interferensi partikel (contohnya elektron) yang melalui celah ganda. Pada eksperimen celah ganda ini, partikel ditembakkan satu per satu ke arah celah ganda dan hasil interferen-si dilihat pada layar (atau detektor). Contoh hainterferen-sil pada layar untuk penembakan elektron satu per satu yang dilakukan oleh Tanamura diperlihatkan pada Gambar 1.1 (a). Jika jumlah elektron yang ditem-bakkan masih sedikit, tidak terlihat adanya pola interferensi. Teta-pi jika jumlah elektron pada layar sudah cukup banyak akan terli-hat bahwa ada pola interferensi yang ditunjukkan dengan pola gelap-terang. Perlu disebutkan lagi bahwa elektron di sini ditembakkan satu per satu. Jadi tidak ada hubungan antara elektron satu dengan elek-tron yang lainnya. Hal ini menunjukkan sesuatu yang menakjubkan bahwa elektron berinterferensi dengan dirinya sendiri! atau dengan kata lain elektron melalui dua celah sekaligus seperti pada interfe-rensi gelombang cahaya. Eksperimen celah ganda ini mengkonfirmasi bahwa partikel memiliki sifat gelombang dengan panjang gelombang-nya. Eksperimen celah ganda dengan partikel yang lebih besar seperti atom dan molekul juga menunjukkan pola interferensi [referensi].

Gambar 1.1: Hasil eksperimen celah ganda menggunakan elektron

Eksperimen celah ganda menunjukkan secara garis besar konsep mekanika kuantum yang akan kita pelajari di dalam buku. Dengan mekanika kuantum kita dapat menghitung probabilitas partikel me-numbuk layar dengan akurat sehingga menghasilkan distribusi

(9)

parti-3

kel. Walaupun demikian, kita tidak bisa tahu pasti kapan elektron ak-an menumbuk posisi tertentu pada layar. Atau dengak-an kata lain, elek-tron menumbuk secara acak atau tidak dengan urutan tertentu. Inilah konsep kuantum yang tidak mudah dicerna/dipahami oleh mahasiswa. Eksperimen celah ganda ini menunjukkan hasilnya yang pasti tidak bisa diprediksi, tetapi kita bisa menentukkan probabilitas-probabilitas hasilnya atau kejadiannya. Konsep probabilitas sangatlah berbeda de-ngan konsep kepastian yang telah diajarkan di mekanika klasik New-ton.

Bagaimana jika kita amati partikel (di sini elektron) yang melalui dua celah. Cara sederhana adalah dengan melakukan dua kali ekspe-rimen, (1) menutup salah satu celah (kita label celah A) dan kemudian melihat hasil pada layar, (2) menutup celah yang satu lagi (label celah B) dan kemudian mengamati hasilnya. Jika memang partikel melalui secara pasti salah satu celah maka pola diperolehnya merupakan pen-jumlahan dua pola dari salah satu celah tertutup. Atau dengan kata lain, umpama probabilitas hasil yang melalui celah A adalah PA dan

yang melalui celah B adalah PB, maka jika memang partikel melalui

hanya satu celah saja, maka probabilitasnya yaituP = PA+ PB. Tetapi

kenyataannya bahwa untuk eksperimen dengan dua celah yang terbu-ka menghasilterbu-kan P 6= PA+ PB. Jadi tidak merupakan penjumlahan

probabilitas.

Penjelasan mengenai terjadinya interferensi jika kita meninjau kon-sep amplitudo probabilitas yang biasanya direpresentasikan dengan bilangan kompleks. Probabilitas kejadianP dihitung dengan mengku-adratkan nilai mutlak amplitudo probabilitas ψ atau

P = |ψ|2 (1.1)

Umpamanya kita mengetahui amplitodo probabilitas partikel me-lalui celah A adalah ψA dan celah B adalah ψB. Jika kita lakukan

eksperimen dengan salah satu celah tertutup akan menghasilkan pola pada layar dengan probabilitas,

PA= |ψA|2 danPB = |ψB|2 (1.2)

Jika kita lakukan eksperimen dua celah terbuka, maka yang di-hasilkan merupakan penjumlahan amplitudo probabilitas bukan pen-jumlahan probabilitas.

(10)

4 Pendahuluan

P = |ψA+ ψB|2 6= |ψA|2+ |ψB|2

(11)

2

Mekanika Klasik

Pada bab ini kita akan mempelajari konsep-konsep mekanika klasik yang berguna dalam memahami mekanika kuantum. Formulasi me-kanika klasik dengan menggunakan konsep energi seperti fungsi La-grange dan Hamilton digunakan sebagai langkah pertama untuk me-mformulasikan mekanika kuantum.

Mempelajari mekanika klasik, biasanya diawali dengan belajar ti-ga hukum Newton. Konsep yang terpenting dalam hukum Newton adalah konsep gaya dan percepatan. Umpama ada beberapa gaya yang bekerja pada sebuah benda, percepatan benda dapat diperoleh dengan menentukan terlebih dahulu jumlah vektor dari gaya-gaya yang beker-ja dan kemudian menggunakan hukum Newton. Dengan mengetahui percepatan benda inilah kita mendapatkan persamaan gerak benda tersebut.

Formulasi Newton untuk mekanika klasik dengan konsep gaya dan percepatan tidaklah merupakan satu-satunya cara. Formulasi meka-nika klasik dengan konsep energi, yang diperkenalkan oleh Lagrange dan Hamilton, juga dapat digunakan. Pada banyak permasalahan, menggunakan konsep energi jauh lebih mudah untuk mendapatkan persamaan gerak benda dibandingkan dengan formulasi Newton.

2.1 Koordinat Umum atau Generalized

Coordi-nates

Hal-hal yang perlu diketahui untuk mendapatkan persamaan gerak benda-benda dalam mekanika Newton adalah massa benda mi,

posi-si ri, kecepatan vi dan gaya-gaya yang bekerja pada benda. Hukum

kedua Newton menyatakan bahwa perubahan kecepatan benda-benda yang dihasilkan berbanding lurus dengan jumlah gaya-gaya dan ber-banding terbalik dengan massa benda.

(12)

6 Mekanika Klasik

Untuk N partikel yang non-relativistik dengan massa yang tetap mi dengan indeks i = 1, · · · , N, menggunakan hukum kedua Newton

pada ruang tiga dimensi menghasilkan3N persamaan gerak. d2r i dt2 = Fnet,i mi = 1 mi X k Fk,i, (2.1) Hukum kedua

Newton di mana Fnet,iadalah gaya total (atau netto) yang bekerja pada

par-tikel kei. Kita perhatikan persamaan di atas adalah persamaan dife-rensial orde dua.

Kita dapat mengubah persamaan gerak menggunakan kecepatan benda vi = dri/dt, sehingga kita memperoleh persamaan diferensial

orde satu, dri dt = vi, d2v i dt = Fnet,i mi , (2.2)

Untuk sistem yang konservatif atau total energi mekanik konstan (atau kekal), gaya F yang bekerja pada benda dapat diperoleh dari sebuah potensialU(r) dengan menggunakan operasi gradien ∇ yaitu

F= −∇U(r) = −∂U(r)

∂r (2.3)

Persamaan gerak sangat mudah dihasilkan menggunakan persa-maan Newton untuk sistem yang tidak memiliki keterikatan atau ba-tasan sebagai contoh gerak proyektil dan gerak atom-atom. Untuk sistem dengan batasan tertentu, seperti gerak benda pada permukaan melengkung atau pada tali yang tidak lurus, persamaan gerak benda tidak mudah ditentukan dengan persamaan Newton.

Sebagai contoh sederhana, perhatikan sebuah benda diikat dengan tali dan digantung membentuk sebuah bandul sederhana. Untuk mem-permudah kita menganggap bahwa benda bergerak dalam ruang dua dimensi. Untuk mendiskripsikan gerak bandul ini, dengan menggu-nakan mekanika Newton, kita membutuhkan dua variabel (atau po-sisi) yaitu (x, y) dan benda memiliki keterikatan atau batasan gerak bahwa benda harus bergerak dalam sebuah lingkaran dengan jari-jari L, atau panjang tali. Keterikatan atau ketidakbebasan ini mempunyai persamaan yaitu x2 + y2 = r2 = L2. Jika kita pertimbangkan untuk

(13)

Mekanika Lagrange 7 mengganti sistem koordinat dengan koordinat polar,(r, θ) maka persa-maan batasan menjadir = L, jadi pada contoh ini hanya satu variabel yang diperlukan untuk mendiskripsikan gerak benda yaituθ. Satu ko-ordinat,θ, merupakan sebuah contoh koordinat umum di mana jumlah koordinat umum (generalized coordinates) sama dengan jumlah dera-jat kebebasan. Ingat bahwa jumlah deradera-jat kebebasan sama dengan F = 3N − K di mana N adalah jumlah partikel atau benda dan K adalah jumlah persamaan keterikatan.

Umpama kita sudah memiliki koordinate umum (generalized coo-rdinates), bagaimana menentukan persamaan geraknya? Ini mungkin sulit ditentukan dengan menggunakan formulasi Newton. Caranya adalah menggunakan metode Lagrange atau metode Hamilton.

2.2 Mekanika Lagrange

Umpama kita sudah memiliki koordinat umumqi yang jumlahnya

sa-ma dengan jumlah derajat kebebasan. Mekanika Lagrange menggu-nakan sebuah fungsiL(q, ˙q, t) dalam menentukan persamaan gerak (di sini kita menggunakan notasi q = {q1, q2, . . . , qN}. Untuk sistem yang

konservatif, fungsi Lagrange atau Lagrangian,L adalah

L = T − V (2.4)

.

di manaT adalah energi kinetik dan V adalah energi potensial. Dalam formulasi Lagrange, momentum umum didefinisikan dengan

pi =

∂L ∂ ˙qi

(2.5)

Kemudian persamaan gerak dapat diperoleh dengan menggunakan persamaan Lagrange yaitu

˙pi = ∂L ∂qi (2.6) atau d dt  ∂L ∂ ˙qi  − ∂L ∂qi = 0 (2.7)

Perhatikan bahwaL merupakan fungsi ˙q dan terdapat bagian d dt



∂L ∂ ˙qi

 yang menghasikan turunan kedua pada qi. Jadi persamaan Lagrange

(14)

8 Mekanika Klasik

merupakan persamaan diferensial orde dua.

Sebagai contoh, untuk gerak sebuah partikel pada ruang satu di-mensi di dalam sebuah potensial V (x, t), fungsi Lagrange sistem ini yaitu

L = T − V = 12m ˙x2 − V (x, t) (2.8)

Prosedur untuk menuliskan fungsi Lagrange L adalah sebagai ber-ikut,

1. Tentukan T dan V (mungkin lebih mudah dalam koordinat Kar-tesius).

2. TuliskanL = T − V .

3. Tulis kembali semua koordinat ke dalam koordinat umumqi dan

turunannya ˙qi.

Sangat penting untuk menulis L dalam bentuk koordinat umum dan kecepatan sebelum menentukan persamaan geraknya.

Untuk memahami prosedur, mari kita tentukan fungsi Lagrange untuk sebuah benda diikat dengan tali membentuk bandul sederhana.

Gambar 2.1: Bandul sederhana.

Benda bergerak dalam ruang dua dimensi dengan posisi(x, y) pada koordinat Kartesius. Energi kinetiknya merupakan sebuah fungsi dari kecepatan(vx, vy),

(15)

Mekanika Lagrange 9 T = 1 2mv 2 x+ 1 2mv 2 y = 1 2m ˙x 2+1 2m ˙y 2 (2.9)

Ingat bahwa vx = ˙x dan vy = ˙y.

V = mgy (2.10) Sehingga, L = T − V = 1 2m ˙x 2+ 1 2m ˙y 2 − mgy (2.11)

Bentuk fungsi Lagrange ini belum sesuai karena (x, y) bukan koo-rdinat umum. Jika kita perhatikan bahwa, hanya sudut dari bandul itu yang berubah, maka kita dapat mengubah koordinat menjadi koo-rdinat polar, di mana

x = L sin θ

y = −L cos θ (2.12)

Kita tentukan turunannya terlebih dahulu (dengan aturan rantai),

˙x = L ˙θ cos θ

˙y = L ˙θ sin θ (2.13)

Substitusi ke persamaan (2.11), fungsi Lagrange menjadi

L = 1 2mL 2˙θ2cos2θ + 1 2mL 2˙θ2sin2θ + mgL cos θ = 1 2mL 2˙θ2+ mgL cos θ (2.14)

Persamaan gerak yang dihasilkan dengan substitusi fungsi Lagra-nge ke persamaan LargraLagra-nge adalah

∂L ∂θ = −mgL sin θ ∂L ∂ ˙θ = mL 2˙θ d dt  ∂L ∂ ˙θ  = mL2θ¨ mL2θ + mgL sin θ = 0¨ (2.15)

(16)

10 Mekanika Klasik

atau dapat disederhanakan menjadi,

¨ θ + g

Lsin θ = 0 (2.16)

Fungsi-fungsi Lagrange yang sering akan dijumpai di dalam buku ini yaitu

1. Fungsi Langrange untuk sebuah partikel dengan massam berge-rak pada ruang tiga dimensi di dalam sebuah potensialV (x, y, z),

L = 1 2m( ˙x

2+ ˙x2+ ˙x2

) − V (x, y, z) (2.17)

2. Seperti di atas dalam bentuk koordinat bola, L = 1

2m( ˙r

2+ r2˙θ2+ r2sin2(θ) ˙φ2

) − V (r, θ, φ) (2.18)

3. Fungsi Lagrange untuk sebuah partikel bermuatanq berinterak-si dengan medan elektromagnetik dengan potenberinterak-sial skalarφ dan potensial vektor A.

L = 1 2m( ˙x

2 + ˙x2+ ˙x2

) − qV (x, y, z, t) + q ˙r · A(r, t) (2.19)

Momentum umum untuk kasus ini adalah

p = ∂L

∂r = m˙r + qA (2.20)

Perhatikan bahwa momentum umum belum tentu sama dengan momentum linier.

2.3 Mekanika Hamilton

Mekanika Hamilton akan digunakan selanjutnya untuk mempelajari mekanika kuantum yang sangat berhubungan erat dengan energi dari suatu sistem. Dalam mekanika Hamilton menggunakan sebuah fung-si HamiltonH(p, q, t) merupakan fungsi dari momentum umum p dan koordinat umumq bukan q dan ˙q.

(17)

Mekanika Hamilton 11 H = f X i=1 pi˙qi− L (2.21)

denganpi = ∂L/∂ ˙qi danf adalah jumlah derajat kebebasan.

Persamaan gerak Hamilton yaitu

˙qi = ∂H ∂pi ˙pi = − ∂H ∂qi (2.22)

Prosedur untuk menentukan fungsi Hamilton adalah sebagai beri-kut:

1. Tuliskan H dengan persamaan (2.21). Jika sistem yang konserva-tif dan nonrelativistik, fungsi Hamilton dapat diperoleh dengan

H = T + V (2.23)

2. Tulis kembali fungsi Hamilton dengan menggunakan momentum umum dan koordinat umum.

Persamaan gerak Hamilton adalah

˙qi = ∂H ∂pi (2.24) ˙pi = − ∂H ∂qi (2.25)

Sebagai contoh, untuk gerak sebuah partikel pada ruang satu di-mensi di dalam sebuah potensial V (x, t), fungsi Hamilton sistem ini yaitu L = 1 2m ˙x 2 − V (x, t) (2.26) px = ∂L ∂ ˙x = m ˙x sehingga ˙x = p m (2.27)

Setelah substitusi, diperoleh H = T + V = 1 2m ˙x 2 − V (x, t) = p 2 x 2m+ V (x, t) (2.28)

(18)

12 Mekanika Klasik

1. Sebuah partikel dalam ruang tiga dimensi,

H = 1 2mp

2+ V (x, y, z) (2.29)

2. Dalam bentuk koordinat bola,

H = 1 2m(p 2 r+ p2 θ r2 + p2 φ) r2sin2(θ) + V (r, θ, φ) (2.30)

3. sebuah partikel bermuatanq dalam medan EM,

H = 1

2m[p − qA(r, t)]

2+ qV (x, y, z, t) (2.31)

2.4 Transformasi Kanonik

Sebelumnya kita pelajari bahwa kita membutuhkan momentum umum (p) dan koordinat umum (q). Banyak pilihan momentum dan koordi-nat (p, q) yang bisa digunakan. Penentuan koordinat dan momentum yang mana sebaiknya digunakan tidak menjadi permasalahan. Tentu-nya kita ingin menggunakan koordinat dan momentum yang memiliki keistimewaan tersendiri, contohnya persamaan gerak yang diperoleh lebih sederhana. Oleh karena itu kita perlu mentransformasikan(p, q) ke momenta dan koordinat baru(P, Q) dengan struktur dinamika Ha-milton yang sama. Koordinat transformasi ini disebut dengan tran-sformasi kanonik.

Motivasi untuk melakukan transformasi koordinat adalah untuk mengubah ke koordinat siklik. Variabel untuk koordinat siklik tidak tertulis secara eksplisit dalam fungsi Hamilton. Jika fungsi Hamilton tidak tergantung pada sebuah koordinat qs, maka persamaan

Hamil-ton mengimplikasikan momentum yang sesuai denganqs adalah

kon-stan.

˙ps= −

∂H ∂qs

= 0 , jadi ps = kostan = αs (2.32)

Koordinat yang seperti qs disebut koordinat siklik atau dapat

(19)

Transformasi Kanonik 13

2.4.1

Poisson Brackets

Sebelumnya kita sudah memformulasikan dinamika yang disesuaik-an dengdisesuaik-ana koordinat ydisesuaik-ang dipilih. Mungkin lebih baik jika formulasi teori tanpa menentukan sistem koordinat. Formulasi yang tidak ter-gantung pada sistem koordinat menggunakan Poisson bracket.

Poisson bracket untuk dua fungsi u dan v terhadap variabel kano-nik(q, p) adalah [u, v]P = f X s=1  ∂u ∂qs ∂v ∂ps − ∂u ∂ps ∂u ∂qs  (2.33)

sebagai contoh, jikav = qj atauv = pj, kita memperoleh,

[u, qj]P = − ∂u ∂pj (2.34) [u, pj]P = ∂u ∂qj (2.35)

Poisson bracket yang penting adalah ketika mensubstitusi u = qi

danu = pi, kita memperoleh

[qi, qi]P = 0, [pi, pi]P = 0, [qi, pi]P = δij (2.36)

Poisson brackets dapat digunakan untuk menuliskan persamaan gerak yang tidak tergantung koordinat untuk fungsif ,

df dt =

∂f

∂t + [f, H]P (2.37)

Konsequensi dari ini adalah dH

dt = ∂H

∂t (2.38)

karena [H, H]P = 0

Kita juga memperoleh,

˙qi = [qi, H]P (2.39)

dan

(20)
(21)

3

Fenomena-Fenomena Kuantum

Sejak abad ke 19, banyak fenomena fisika yang tidak dapat dijelask-an oleh teori fisika klasik (mekdijelask-anika newton ddijelask-an teori untuk gelom-bang elektromagnetik). Teori fisika klasik terbentuk dari pengamatan-pengamatan yang bersifat makroskopik. Fenomena-fenomena mikros-kopik yang tidak bisa dijelaskan oleh fisika klasik antara lain:

1. Spektrum radiasi benda hitam. 2. Efek fotolistrik

3. Efek Compton

4. Spektrum garis atom hidrogen. 5. Eksperimen Frank-Hertz

6. Eksperimen Stern-Gerlach, Momentum Angular dan Spin 7. Eksperimen difraksi elektron

8. Interferensi celah ganda

Pada bab ini kita akan mempelajari beberapa fenomena fisika dan konsep-konsep fisika kuantum yang dapat menjelaskan fenomena ter-sebut. Terutama kita memulai mempelajari konsep kuantum dengan mempertimbangkan radiasi benda hitam.

3.1 Radiasi Benda Hitam

Pada bagian ini kita akan membahas mengenai radiasi termal (panas) yang dipancarkan oleh benda-benda. Radiasi termal adalah radiasi yang dipancarkan oleh benda-benda yang dihasilkan oleh benda kare-na benda itu mempunyai suhu. Semua benda memancarkan radiasi

(22)

16 Fenomena-Fenomena Kuantum

termal ke lingkungan dan menyerap radiasi dari lingkungan. Umpa-manya untuk benda dengan suhu lebih tinggi dari lingkungan akan memancarkan lebih banyak radiasi termal daripada menyerap energi dari lingkungan. Sehingga lebih banyak energi yang keluar benda dan suhu benda akan turun. Ketika kesetimbangan termal dicapai, radia-si diemiradia-sikan dan diserap sama, suhu benda dan lingkuangan menjadi sama.

Benda-benda dalam keadaan terkondensasi (seperti zat padat dan zat cair) memancarkan spektrum radiasi yang kontinyu. Secara detail dari spectrum radiasi hampir tidak tergantung pada jenis materi teta-pi tergantung besar dari suhunya. Pada suhu biasa atau suhu kamar, semua benda terlihat tidak dari cahaya yang dipancarkan melainkan dari cahaya yang dipantulkan. Jika tidak ada cahaya maka benda ti-dak akan terlihat. Benda-benda akan memancarkan cahaya sendiri pada suhu yang sangat tinggi, suhu di atas beberapa ribu kelvin.

Bentuk yang detil dari spektrum dari radiasi termal yang diemisik-an benda tergdiemisik-antung pada komposisi benda. Eksperimen menunjukk-an bahwa ada sebuah tipe benda ymenunjukk-ang mempunyai bentuk karakter yang universal. Tipe benda ini dinamakan benda hitam. Tipe benda ini menyerap sempurna semua radiasi termal diterimanya. Ini arti-nya benda tidak merefleksikan cahaya, seperti halarti-nya benda hitam. Terlihat hitam jika suhunya masih rendah dan belum memancarkan cahaya dengan panjang gelombang yang bisa dilihat dan dengan inte-sitas masih rendah. Ditemukan bahwa semua benda hitam pada suhu yang sama memancarkan radiasi termal dengan spektrum yang sama. Hal ini bisa dimengerti dari konsep termodinamika tentang tempera-ture yang sama.

Untuk mempelajari radiasi benda hitam, kita menggunakan notasi R untuk daya emisi total dari benda hitam. R merupakan fungsi dari temperature dan frekuensi atau panjang gelombang. Pada tahun 1879, J. Stefan menemukan rumus empiris untuk daya emisi total R yang tergantung pada temperatur,

R(T ) = σT4 (3.1)

di manaσ = 5, 67×10−8W m−2K−4adalah konstanta Stefan-Boltzmann.

Kita beri notasi R(λ, T ) untuk spektrum daya dan R(λ, T )dλ meru-pakan daya yang diemisikan per satuan luas untuk suhu absolut T dan panjang gelombang antaraλ dan λ + dλ.

(23)

Radiasi Benda Hitam 17

Gambar 3.1: Spektrum radiasi termal benda hitam.

R(T ) = Z ∞

0

R(λ, T )dλ (3.2)

Nilai panjang gelombang dengan daya emisi tertinggi (nilai mak-simum pada spektrum radiasi termal) bergeser berbanding terbalik dengan suhu. Pergeseran frekuensi ini dinamakan hukum pergeseran Wien λmax ∝ 1 T (3.3) atau λmaxT = konstanta (3.4)

(24)

18 Fenomena-Fenomena Kuantum

dengan konstanta yang ditemukan (dinamakan konstanta Wien) bernilai2, 898 × 10−3mK

Gambar 3.2: Sebuah rongga dengan sebuah lubang celah kecil.

Sebuah contoh benda hitam yang sangat penting untuk dipertim-bangkan yaitu sebuah benda dengan rongga yang memiliki celah atau lubang kecil (lihat Gambar 3.2). Cahaya yang masuk ke lubang kecil ini akan dipantulkan dan diserap berkali-kali oleh dinding rongga dan tidak ada atau sangat sedikit sekali cahaya yang keluar dari lubang kecil itu. Jadi seluruh cahaya yang masuk ke lubang kecil itu diserap. Jadi lubang itu terlihat gelap. Lubang ini bersifat sama dengan benda hitam. Banyak benda hitam di dalam eksperimen dibuat seperti ini.

Jika rongga di panaskan pada suhu tertentu, dinding rongga akan memancarkan radiasi dan memenuhi rongga. Sebagian dari radiasi di dalam rongga dapat keluar dari rongga melalui lubang kecil dan memancarkan radiasi termal. Karena lubang memiliki sifat benda hitam, maka spektrum yang dikeluarkan melalui lubang merupakan spektrum benda hitam. Karena radiasi dari lubang merupakan sebuah sampel dari radiasi di dalam rongga, maka kita dapat menyimpulkan radiasi dalam rongga juga merupakan radiasi benda hitam. Spektrum radiasi rongga ini merupakan karakteristik spektrum untuk benda de-ngan suhu tertentu. Ini berarti bahwa untuk mempelajari spektrum radiasi benda hitam kita juga dapat mempelajari spektrum radiasi

(25)

Radiasi Benda Hitam 19 rongga dan distribusi spektrum lebih bagus dipelajari dengan kera-patan energi ρ(λ, T ) pada rongga. Spektrum benda hitam ditemukan sebanding dengan spektrum benda hitam,

ρ(λ, T ) = 4

cR(λ, T ) (3.5)

Radiasi di dalam sebuah rongga dengan dinding pada temperature T mempunyai karateristik yang sama dengan radiasi yang pancarkan oleh sebuah permukaan benda hitam. Lebih mudah melakukan eks-perimen untuk menghasilkan spektrum benda hitam dengan menggu-nakan rongga di dalam benda dipanaskan. Juga lebih mudah secara teoritis mempelajari radiasi benda hitam dengan menganalisa radiasi rongga, karena lebih mungkin memprediksi sifat radiasi rongga secara umum.

Pada tahun 1893, W. Wien menunjukkan bahwa fungsi ρ(λ, T ) de-ngan argumentasi termodinamika mempunyai bentuk,

ρ(λ, T ) = 1

λ5f (λT ) (3.6)

3.1.1

Radiasi Rongga dengan Teori Klasik

Lord Rayleigh dan J. Jeans mencoba menggunakan model sebagai beri-kut. Pertimbangkan sebuah rongga (agar lebih mudah kita akan meng-gunakan rongga berbentuk kubus dengan panjang sisia) dengan din-ding metalik dipanaskan pada suhuT , dinding memancarkan radiasi gelombang elektromagnetik. Karena dinding berupa permukaan me-talik, radiasi di dalam rongga akan membentuk gelombang berdiri de-ngan simpulnya pada dinding rongga. Karena dua sisi dinding sejajar dan sumbu-sumbu yang kita gunakan saling tegak lurus, maka tiga komponen radiasi (sesuai dengan arah sumbu koordinat) tidak saling mempengaruhi maka kita dapat menganalisa secara terpisah. Ini bia-sanya dinamakan dengan metode pemisahan variabel.

Ex(x, t) = E0sin(kxx) sin(2πνt) (3.7)

kx = 2π/λx (3.8)

λν = c (3.9)

(26)

20 Fenomena-Fenomena Kuantum

2a/λ = nx, nx = 1, 2, 3, . . . (3.10)

atau

λx = 2a/nx, nx = 1, 2, 3, . . . (3.11)

Gambar 3.3: Sebuah rongga berbentuk kubus dengan panjang sisi-sisinya adalaha.

Dengan cara yang sama untuk komponen dengan arah sumbuy dan z,

Ey(y, t) = E0sin(kyy) sin(2πνt) (3.12)

ky = 2π/λy (3.13)

λy = 2a/ny, ny = 1, 2, 3, . . . (3.14)

Ez(z, t) = E0sin(kzz) sin(2πνt) (3.15)

kz = 2π/λz (3.16)

(27)

Radiasi Benda Hitam 21 Bilangan gelombang,k, k = qk2 x+ ky2+ k2z = π a q n2 x+ n2y+ n2z (3.18) atau 2a λ = q n2 x+ n2y+ n2z (3.19)

atau untuk frekuensiν ν = c λ = c 2a q n2 x+ n2y + n2z (3.20)

Jumlah frekuensi yang diperbolehkan antara ν dan ν + dν adalah sama dengan berapa banyak titik-titik latis antarar dan r + dr,

N(ν)dν = N(r)dr (3.21)

r =qn2

x+ n2y+ n2z =

2a

c ν (3.22)

N(r)dr sama dengan volume dalam satu kulit dikalikan dengan ke-rapatan titik-titik latis.

N(r)dr = 1 84πr 2dr = 1 2πr 2dr (3.23) N(ν)dν = π 2  2a c 3 ν2dν (3.24)

Hasil ini kita kalikan dengan 2, karena setiap frekuensi terdapat dua polarisasi, maka

N(ν)dν = π 2a c

3

ν2dν (3.25)

Prediksi termodinamika klasik, dengan menggunakan prinsip eku-ipartisi, setiap derajat kebebasan memiliki energi rata-rata sebesar kT /2. Untuk kasus gelombang berdiri energinya sebesar dua kalinya, maka

¯

E = kT (3.26)

atau dengan anggapan bahwa energi bisa bernilai berapa saja dari 0 sampai ∞

(28)

22 Fenomena-Fenomena Kuantum ¯ E = R∞ 0 ǫ exp −βǫdǫ R∞ 0 exp −βǫdǫ = 1 β = kT (3.27)

Kerapatan energi per satuan volume untuk frekuensi antara ν dan ν +dν adalah energi rata-rata tiap gelombang berdiri dikalikan dengan jumlah gelombang berdiri dibagi dengan volumea3,

ρ(ν, T )dν = 8πkT c3 ν 2 (3.28) ingat ν = c/λ |dν| = c/λ2dλ (3.29) atau ρ(λ, T )dλ = 8πkT λ4 dλ (3.30)

Inilah rumus Rayleigh-Jeans untuk radiasi benda hitam. Tetapi jika kita integralkan untuk mendapatkan total energi,

ρ(T ) = Z ∞

0 ρ(λ, T )dλ = ∞

(3.31)

yang bernilai tak hingga, ini karena jika λ → 0, ρ(λ, T ) → ∞. Ini dinamakan katastrofi ultraviolet.

3.1.2

Radiasi Rongga dengan Teori Kuantum

Untuk mengatasi permasalahan pada teori Rayleigh-Jeans, Planck pa-da tahun 1900 mempostulatkan bahwa energi osilator dengan frekuen-siν tidak dapat bernilai sembarangan antara 0 dan tak-hingga mela-inkan bernilai diskrit, nǫ0, di mana n adalah bilangan bulat positif.

Jadi energi rata-rata osilator menjadi,

¯ E = P∞ n=0nǫ0exp(−βnǫ0) P∞ n=0exp(−βnǫ0) (3.32) = −d " ln ∞ X n=0 exp(−βnǫ0) # (3.33) = −d  ln  1 1 − exp(−βǫ0)  (3.34) = ǫ0 exp(βǫ0) − 1 (3.35)

(29)

Radiasi Benda Hitam 23

Gambar 3.4: Perbandingan antara teori Planck dan Rayleigh-Jeans dengan eksperimen pada suhu 1600 K. (ref?)

sehingga diperoleh, ρ(λ, T ) = 8π λ4 ǫ0 exp(ǫ0/kT ) − 1 (3.36)

Agar sesuai dengan hukum Wien,ǫ0harus berbanding lurus dengan

frekuensi,ν. ǫ0 = hν = hc λ (3.37) ρ(λ, T ) = 8π λ4 hc/λ exp(hc/λkT ) − 1 (3.38) ρ(λ, T ) = 8πhc λ5 1 exp(hc/λkT ) − 1 (3.39)

Dengan melakukan pendekatan dengan deret Taylor, dapat dibuk-tikan bahwa untuk nilai panjang gelombang yang besar,

ρ(λ, T ) → 8πkTλ4 (3.40)

Untuk panjang gelombang yang pendek λ → 0, ρ → 0 karena ada-nya faktor penyebutexp(hc/λkT ) − 1.

(30)

24 Fenomena-Fenomena Kuantum

Secara fisis artinya sebagai berikut. Untuk panjang gelombang yang panjang, energiǫ0 = hc/λ jauh lebih kecil dari kT atau efek

disk-rit dari energi bisa dianggap kontinyu. Sedangkan untuk panjang ge-lombang pendek, atau energiǫ0 = hc/λ sebanding dengan kT sehingga

efek diskrit dari energi tidak bisa diabaikan atau dianggap kontinyu. Dari spektrum Planck dapat diturunkan bahwa panjang gelombang dengan nilai spektrum maksimum adalah

λmaxT =

hc

4, 965k (3.41)

Kerapatan energi total,

ρT ot = aT4 a = 8π5k4 15h3c3 (3.42) konstanta Stefan-Boltzmann, σ = 2π 5k4 15h3c2 (3.43)

Catatan tentang konstanta Planck, h. Mempunyai satuan J.s.

Di-mensi untuk konstanta Planck adalah [energi][waktu] atau [panjang][momentum]. Dimensi ini dinamakan [aksi] atau [action]. Konstanta Planck dikenal

dengan fundamental quantum action.

3.2 Efek Fotolistrik

Pada tahun 1886 dan 1887, Heinrich Hertz melakukan eksperimen tentang gelombang EM. Hertz menemukan bahwa discharge elektron antara dua plat elektroda lebih mudah terjadi ketika sinar ultraviolet mengenai permukaan salah satu elektroda. Lenard mengikuti eks-perimen Hallwachs menunjukkan bahwa elektron keluar dari katoda ketika disinari dengan sinar UV. Fenomena ini disebut dengan efek fotolistrik.

Ilustrasi alat yang digunakan dalam eksperimen fotolistrik diperli-hatkan pada Gambar 3.5 dan 3.6. Cahaya ultraviolet disinarkan pada plat katoda (C) dan elektron keluar dari plat yang kemudian meng-enai plat anoda (A) sehingga menghasilkan arus I pada rangkaian. Arus yang dihasilkan diukur dan pengaruh potensial (V) dipelajari. Hasil eksperimen fotolistrik menunjukkan hubungan antara tegangan V dan I pada Gambar 3.7. Ketika V bernilai positif, elektron ditarik

(31)

Efek Fotolistrik 25

Gambar 3.5: Efek fotolistrik.

Gambar 3.6: Efek fotolistrik.

menuju anoda. Ketika tegangan V dinaikkan, arus I meningkat sam-pai nilai saturasi pada tenggangan yang cukup besar. Jika tegangan bernilai negatif, arus I tetap bisa teramati. Pada tegangan −V0

dite-mukan arus menjadi nol yang mengindikasikan bahwa tidak ada lagi elektron yang diemisikan. Dari hasil ini diperoleh bahwa nilai maksi-mum kinetik energi adalah

(32)

26 Fenomena-Fenomena Kuantum

Kmax = eV0 (3.44)

Di samping itu, arus I diamati oleh Lenard sebanding dengan inten-sitas cahaya ultraviolet yang digunakan. Einstein pada tahun 1905 da-pat menjelaskan fenomena fotolistrik dengan mempostulatkan bahwa cahaya tidak berupa gelombang tetapi berupa partikel ”foton” dengan energi diskrit yang tergantung pada frekuensi cahaya sesuai yang di-temukan oleh Planck.

E = hν (3.45)

Karena energi pada foton selurunya ditransfer ke elektron, maka kinetik energi elektron ketika keluar dari plat logam adalah

K = hν − W (3.46)

denganW adalah fungsi kerja dari plat logam.

Gambar 3.7: Efek fotolistrik.

Untuk nilai maksimum kinetik energi menjadi

Kmax = eV0 = hν − W0 (3.47) dan dihasilkan V0 = h eν − W0 e (3.48)

Dengan mengukur tegangan ”stopping” dan frekuensi cahaya dapat diperoleh koefisien h/e. Hubungan ini dikonfirmasi oleh eksperimen yang dilakukan oleh R.A. Millikan pada tahun (1914-1916). Hasil eks-perimen itu diperlihatkan pada Gambar 3.8. Persamaan linier pada grafikV0vsν, konstanta h/e bisa didapatkan. Karena muatan elektron

(33)

Efek Compton 27

Gambar 3.8: Efek fotolistrik.

3.3 Efek Compton

Sebelumnya, Planck menyatakan bahwa energi radiasi tidak bernilai sembarangan atau kontinyu, melainkan dalam bentuk diskrit. Einste-in dalam menjelaskan efek fotolistrik menggunakan cahaya merupak-an kumpulmerupak-an foton ymerupak-ang memiliki energi tertentu,E = hν. Jadi cahaya dapat berprilaku seperti partikel. Konfirmasi bahwa cahaya berupa partikel ditunjukkan oleh eksperimen yang dilakukan oleh Compton pada tahun 1923. Pada eksperimen Compton, seberkas cahaya sinar-x dengan panjang gelombang tertentu disinarkan/ditembakkan pada se-buah target grafit dan kemudian intensitas sinar-x yang dihamburk-an diukur sebagai fungsi pdihamburk-anjdihamburk-ang gelombdihamburk-ang. Walaupun sinar-x ydihamburk-ang digunakan memiliki satu panjang gelombang, hamburan sinar-x mem-punyai intensitas dengan puncak pada dua panjang gelombang, satu panjang gelombang yang sama dengan sinar-x yang digunakan dan satu lagi memiliki panjang gelombang yang lebih besar dari digunak-an dengdigunak-an pergeserdigunak-an pdigunak-anjdigunak-ang gelombdigunak-ang (∆λ). Addigunak-anya puncak ydigunak-ang berbeda tidak dapat dijelaskan menggunakan sifat radiasi yang beru-pa gelombang elektromagnetik. Ini karena, jika elektron dipengaruhi oleh gelombang elektromagnetik, elektron akan berosilasi dan meman-carkan gelombang dengan frakuensi atau panjang gelombang yang sa-ma. Compton dan juga Debye dapat menjelaskan pergeseran intensi-tas hamburan sinar-x ini jika cahaya bersifat seperti partikel. Dalam hal ini terjadi proses tumbukan antara foton dengan energi hν dan elektron bebas.

(34)

28 Fenomena-Fenomena Kuantum

Gambar 3.9: Efek Compton.

Gambar 3.10: Efek Compton.

Mari kita bahas mengenai proses tumbukan antara foton dan elek-tron bebas yang dalam keadaan diam.

Radiasi dari sinar-x memiliki energi sebesar (sesuai dengan yang dikemukakan Planck)

E = hν (3.49)

(35)

Efek Compton 29

E = m0c2/p1 − v2/c2 (3.50)

Kita ketahui bahwa kecepatan cahaya adalah c dengan energi hν, dan massa diam untuk foton adalah nol. Jadi foton dapat dipertim-bangkan sebagai partikel dengan massa diam nol dan semua energi-nya adalah energi kinetik.

Momentum foton dapat diturunkan dari persamaan umum untuk energi dan momentum relativitas,

E2 = c2p2+ (m0c2)2 (3.51)

Karena massa diam foton adalah nol, maka

E = pc p (3.52)

atau

p = E/c = hν/c = h/λ (3.53)

Untuk menganalisa tumbukan, kita menggunakan hukum keke-kalan energi dan kekekeke-kalan momentum. Momentum foton pada awal dan akhir tumbukan adalah p0 dan p1, dan momentum elektron

pa-da akhir tumbukan apa-dalah p. Sketsa proses tumbukan diperlihatkan pada Gambar 3.10.

Dari hukum kekekalan momentum, diperoleh dua persamaan (un-tuk dua arah, sumbu x dan y)

p0 = p1cos(θ) + p cos(φ) atau p0− p1cos(θ) + p cos(φ) (3.54)

dan

p1sin(θ) = p sin(φ) (3.55)

Kuadrat kedua sisi persamaan di atas, dihasilkan,

(p0− p1cos(θ))2 = p2cos2(φ) (3.56)

dan

p21sin2(θ) = p2sin2(φ) (3.57)

Setelah persamaan di atas dijabarkan dan kemudian dijumlahkan, diperoleh

(36)

30 Fenomena-Fenomena Kuantum

Dari hukum kekekalan energi kita mendapatkan persamaan E02+ m0c2 = E1 + K + m0c2 (3.59)

atau

E0− E1 = K (3.60)

Menggunakan hubungan energi dan momentum untuk foton,

c(p0− p1) = K (3.61)

Menggunakan persamaan (3.51) untukK + m0c2,

(K + m0c2)2 = c2p2+ (m0c2)2 (3.62)

setelah penjabaran, diperoleh

K2+ 2Km0c2 = c2p2 (3.63)

Substitusi nilai K dari persamaan (3.61) dan p2 dari persamaan

(3.58), (p0 − p1)2+ 2m0c(p0− p1) = p20 + p21− 2p0p1cos(θ) (3.64) Setelah manipulasi, m0c(p0− p1) = p0p1(1 − cos(theta)) (3.65) atau 1 p1 − 1 p0 = 1 m0c(1 − cos(θ)) (3.66)

Menggunakan momentum foton, p = h/λ, dihasilkan pergeseran panjang gelombang, ∆λ = λ1− λ0 = h m0c(1 − cos(theta)) (3.67) ∆λ = λ1− λ0 = h m0c 2 sin2(θ/2) (3.68)

Nilai konstanta pengali pada sisi kanan persamaan di atas dina-makan panjang gelombang Compton,

(37)

Spectrum Hidrogen Atom 31 Kita perhatikan persamaan di atas, pergeseran Compton tidak ter-gantung pada panjang gelombang tetapi pada sudut hamburan elek-tron. Perhatikan hasil yang diperoleh Compton, semakin besar sudut hamburan, semakin besar pergeserannya.

Gambar 3.11: Efek Compton.

Dengan menggunakan software pengolahan citra untuk mengukur pergeseran Compton pada Gambar 3.11. Hasil pengukuran tersebut ditampilkan pada Gambar 3.12.

3.4 Spectrum Hidrogen Atom

Spektrum cahaya yang dipancarkan oleh gas atom hidrogen menun-jukkan spektrum yang diskrit atau garis-garis spektrum. Garis-garis itu memiliki keteraturan, J Balmer menemukan bahwa garis-garis spektrum (Hα,Hα,Hα,. . .) dapat diperoleh dengan persamaan

λ = Cn

2

n2− 4 (3.70)

(38)

32 Fenomena-Fenomena Kuantum

Gambar 3.12: Efek Compton.

Pada tahun 1889, J.R. Rydberg menemukan bahwa rumus yang le-bih berguna yaitu

1 λ = RH  1 22 − 1 n2  (3.71)

dengan konstanta Rydberg, RH = 109677, 58 cm−1.

Rumus yang lebih umum untuk semua jenis garis spektrum hidro-gen adalah 1 λ = RH  1 n2 a − 1 n2 b  (3.72)

[Teori atom Bohr di sini. untuk sementara baca foto copian]

3.5 Hipotesis de Broglie

Maurice de Broglie asal Francis (fisika eksperimen), memberitahu sau-daranya Louis de Broglie tentang fenomena cahaya yang bisa berprila-ku seperti gelombang dan partikel. Louis de Broglie kemudian mengu-sulkan bahwa sifat dualisme partikel-gelombang tidak hanya dimiliki

(39)

Hipotesis de Broglie 33 oleh cahaya tetapi juga materi. Hipotesis keberadaan gelombang ma-teri dikemukakan de Broglie pada tesis doktoral di tahun 1924. Sifat dualisme ini merupakan simetri dari alam.

Gelombang EM atau cahaya dengan frekuensi ν dan panjang ge-lombangλ memiliki sifat partikel dengan energi:

E = hν (3.73)

dan momentum

p = h/λ (3.74)

Konsep partikel berhubungan dengan kuantitas energi dan momen-tum, sedangkan konsep gelombang berhubungan dengan kuantitas pan-jang gelombang dan frekuensi. Dari persamaan (3.74, materi juga mempunyai sifat gelombang dengan panjang gelombang de Broglie:

λ = h/p (3.75)

Seperti halnya sifat gelombang, dua fenomena yang sering diamati adalah difraksi dan interferensi. Eksperimen yang digunakan untuk menunjukkan sifat gelombang materi adalah dengan melakukan eks-perimen difraksi. Pada ekseks-perimen Davidson dan Germer, elektron di-tembakkan ke sebuah kristal dan kemudian pola difraksinya diukur. Pada difraksi kristal, distribusi intensitas persamaan Bragg:

(40)
(41)

4

Keadaan Sistem

Keadaan sistem kuantum dideskripsikan oleh fungsi gelombang atau fungsi keadaan atau juga vektor keadaaan. Tiga sebutan ini akan digunakan silih berganti yang disesuaikan dengan konteksnya tan-pa menimbulkan ketidakmengertian. Sebagai contoh untuk sistem yang terdiri dari satu partikel fungsi gelombangnya dinotasikan de-ngan Ψ(r, t). Fungsi gelombang tergantung pada posisi r dan waktu t. Semua informasi mengenai sistem diberikan oleh fungsi-gelombang. Sifat-sifat fisis sistem dapat diperoleh dari fungsi gelombang.

Untuk menyederhanakan pembahasan, untuk beberapa bab awal buku ini akan mengggunakan sistem satu partikel saja. Sistem de-ngan partikel banyak akan dijelaskan kemudian. Jadi tanpa menye-butkan kembali bahwa sistemnya adalah satu partikel saja, jika hanya ada satu posisi saja r, maka sistem adalah sistem dengan satu partikel saja.

Perubahan atau evolusi dari fungsi gelombang diberikan oleh per-samaan gerak atau perper-samaan gelombang, untuk sistem yang tidak relativistik diberikan oleh persamaan Schr¨odinger.

Fungsi gelombang dari suatu sistem berkaitan dengan probabilitas menemukan partikel pada suatu daerah tertentu dengan hubungan,

P (r, t)d3r = |Ψ(r, t)|2d3r (4.1)

Tentuknya probabilitas menemukan partikel memiliki kondisi nor-malisasi yaitu Z S P (r, t)d3r = Z S|Ψ(r, t)| 2d3r = 1 (4.2)

Batas integrasi pada persamaan di atas disesuaikan dengan sis-temnya, biasanya integrasi pada seluruh ruang (S). Pada kasus terten-tu di mana partikel terkekang di dalam sebuah volume maka integrasi dalam satu volume saja.

(42)

36 Keadaan Sistem

Dua konsep penting yang perlu diingat dalam mekanika kuantum yaitu (1) Posisi partikel pada waktu tertentu tidak dapat ditentukan secara pasti, yang bisa kita peroleh adalah probabilitas lokasi partikel. Walaupun sistem berada pada keadaan tertentu, kita hanya tahu pro-babilitasnnya saja. (2) Konsep probabilitas ada hubungannya dengan konsep observables (apa yang bisa di observasi atau dilihat). Fung-si gelombang Ψ(r, t) tidak dapat di observasi atau dilihat, walaupun demikian fungsi gelombang memainkan peranan yang paling penting. Perlu dimengerti bahwa fungsi gelombang memenuhi sifat superpo-sisi, sedangkan probabilitas tidak memenuhi. fungsi gelombang dise-but pula dengan amplitudo probabilitas. Sifat superposisi: Dua fungsi gelombang dapat dijumlahkan menghasilkan fungsi gelombang baru.

Ψ(r, t) = ΨA(r, t) + ΨB(r, t) (4.3)

Sedangkan probabilitas tidak memenuhi sifat superposisi.

P (r, t) 6= PA(r, t) + PB(r, t) (4.4)

Fungsi gelombang memiliki fase tertentu, ada dua jenis keadaan: pure state (keadaan murni) dan mixed state (keadaan campuran). [Je-laskan lagi perbedaan keduanya]

Buku ini hanya membahas keadaaan murni atau pure state saja. Keadaan campuran akan dibahas di buku statistika kuantum.

4.1 Observables

Seperti disebutkan sebelumnya bahwa sifat-sifat fisis suatu sistem di-peroleh dari fungsi gelombangnya. Bagaimana caranya? Sebelum mengenal itu, kita perlu mengenal terlebih dahulu tentang pengerti-an ”observables” apa ypengerti-ang bisa diamati atau dilihat. Sifat-sifat fisis seperti posisi partikel, momentum, energi, momen dipol, yang dapat diukur secara eksperimental adalah merupakan variabel-variabel

ob-servables. Kunci kata yang perlu diingat untuk observables adalah sesuatu yang bisa diukur atau pengukuran atau yang bisa dilihat.

Dalam fisika klasik, sesuatu sudah bisa ditentukan, artinya me-miliki nilai yang pasti dan ditentukan dengan melihat nilai variabel-nya. Sedangkan pada teori kuantum, kita tidak bisa secara langsung mengetahui sifat-sifat fisis, tetapi kita harus melakukan semacam pe-ngukuran dengan menggunakan operator. Dengan kata lain suatu

(43)

Observables 37 sifat fisis suatu sistem, kita harus mengoperasikan operator yang se-suai pada fungsi gelombangnya.

Suatu operator jika dioperasikan pada sebuah fungsi gelombang akan menghasilkan sebuah fungsi gelombang yang baru. Sebagai con-toh sebuah operator ˆΩ (dinotasikan dengan tanda topi (hat)) untuk ope-rator dari observableΩ dioperasikan pada fungsi gelombang Ψ(r, t) ak-an menghasilkak-an sebuah fungsi gelombak-ang, sebagai contohnyaΦ(r, t),

ˆ

ΩΨ(r, t) = Φ(r, t) (4.5)

Perlu diingat notasi yang kita gunakan disini, variabel tanpa tanda topi, Ω merupakan observable, sedangkan jika diberikan tanda topi berarti sebuah operator, ˆΩ.

Sekarang bagaimana menentukan suatu operator yang sesuai un-tuk observable?

Tentunya sudah pasti operator tidak bisa diturunkan dari variable dalam fisika klasik karena fisika klasik tidak kompatible dengan teori kuantum. Tetapi ada teknik atau resep yang sudah terbukti sebagai jembatan antara fisika klasik dan teori kuantum. Ditemukan bahwa operator yang sesuai untuk posisiˆr dan momentum ˆpadalah

ˆr = r (4.6)

ˆ

p= −i~∇. (4.7)

Perlu diingat bahwa i adalah bilangan imaginer i = √−1 dan ~ = h/(2π) di mana h adalah konstanta Planck. ∇ adalah operator gradien. Penggunaan representasi dua operator ini disebut dengan representasi koordinat. Cara lain adalah dengan representasi momentum di mana ˆ

p = p dan ˆr = i~∇. Buku ini akan menggunakan hanya representasi koordinat.

Operator dengan sendirinya tidak memiliki sifat apapun dan ha-nya berguna ketika dioperasikan pada suatu fungsi gelombang. Ingat bahwa operatorˆr merupakan operasi perkalian dengan r.

ˆrψ(r, t) = rψ(r, t) (4.8)

sedangkan untuk operator momentum,

ˆ

(44)

38 Keadaan Sistem

Secara umum operator untuk observable merupakan sebuah fung-si dari operator ˆr dan ˆp atau operator dari fungsi ˆF dapat diperoleh dengan,

ˆ

F = F (ˆr, ˆp) = F (r, −i~∇) (4.10)

Sebagai contoh untuk operator energi kinetik, di manaT = 1/2mv2 =

p2/(2m), maka dengan melakukan penggantian variabel p dengan ope-ratorpˆ diperoleh, ˆ T = p.ˆˆ p 2m = [−i~∇].[−i~∇] 2m = − ~2 2m∇ 2 (4.11)

Operator untuk energi sistem yang ditentukan oleh fungsi Hamil-tonian H untuk sistem dengan potensial yang tidak tergantung pada kecepatan partikel adalah

ˆ

H = ˆT + ˆV (r) = −~

2

2m∇

2+ V (r) (4.12)

Hubungan antara sifat observable dan fungsi gelombang diperoleh dengan menghitung nilai ekspektasi/harapan yaitu

hˆΩi = Z

ψ∗(r, t) ˆΩψ(r, t)d3r (4.13)

Persamaan ini menjadi dasar membandingkan prediksi dari ha-sil mekanika kuantum dengan haha-sil eksperimen. Posisi atau urutan operator pada persamaan di atas tidak boleh diubah, terkecuali pada kasus tertentu yang memang bisa diubah. Karena hasil dari operasi operator tergantung pada urutan operasinya. Sebagai contoh, untuk operator momentumpˆ = −i~∇,

ψ∗(r, t)ˆpψ(r, t) 6= ˆpψ∗(r, t)ψ(r, t) (4.14)

Kita perhatikan nilai ekspektasi untuk operator posisi:

hˆri = Z ψ∗(r, t)rψ(r, t)d3r = Z r|ψ(r, t)|2d3r = Z rP (r, t)d3r (4.15)

(45)

Observables 39 Ini sesuai dengan rumus nilai rata-rata untuk distribusiP (r, t). Ni-lai ekspektasi observable posisi r menghasilkan posisi rata-rata mene-mukan partikel.

Observable seperti posisi, momentum, dan energi adalah bernilai nyata, jadi nilai ekspektasi harus juga bernilai nyata untuk fungsi ge-lombang manapun. hˆΩi = hˆΩi∗ Z ψ∗(r, t) ˆΩψ(r, t)d3r = Z ψ(r, t)[ ˆΩψ(r, t)]∗d3r Z ψ∗(r, t) ˆΩψ(r, t)d3r = Z [ ˆOψ(r, t)]∗ψ(r, t)d3r (4.16)

Ini menunjukkan bahwa sebuah operator tidak boleh berbentuk apa saja tetapi harus memenuhi syarat di atas. Operator yang meme-nuhi syarat di atas untuk semua fungsi gelombang disebut Hermitian atau self-adjoint. Perlu ditekankan lagi bahwa setiap operator untuk observable harus Hermitian.

Di samping Hermitian, operator observable juga harus linier,

ˆ

Ω[c1ψ1(r, t) + c2ψ2(r, t)] = c1Ωψˆ 1(r, t) + c2Ωψˆ 2(r, t) (4.17)

Kondisi Hermitian juga berlaku untuk dua keadaaan atau fungsi gelombang,

Z

φ∗(r, t) ˆΩψ(r, t)d3r = Z

[ ˆΩφ(r, t)]∗ψ(r, t)d3r (4.18)

Kita perhatikan setiap pengukuran atau operasi operator mengha-silkan nilai ekspektasi yang berbeda karena fungsi gelombang tergan-tung pada waktu.

Apakah ada fungsi keadaan yang menghasilkan nilai pengukuran yang selalu sama?

Untuk mengetahui ini, kita lihat dengan cara menentukan nilai penyebaran nilai observable Ω, yang didefinisikan

(46)

40 Keadaan Sistem [∆Ω]2 = Z ψ∗(r, t)[ ˆΩ − hˆΩi]2ψ∗(r, t)d3r = Z ψ∗(r, t)[ ˆΩ − hˆΩi][ˆΩ − hˆΩi]ψ(r, t)d3r = Z ([ ˆΩ − hˆΩi]ψ(r, t))∗[ ˆΩ − hˆΩi]ψ(r, t)d3r = Z |[ˆΩ − hˆΩi]ψ(r, t))|2d3r (4.19)

Kita memperoleh hasil yang selalu sama artinya nilai penyebaran-nya∆Ω = 0 atau Z |[ˆΩ − hˆΩi]ψ(r, t))|2d3r = 0 (4.20) atau [ ˆΩ − hˆΩi]ψ(r, t) = 0 (4.21) ˆ Ωψ(r, t)) = hˆΩiψ(r, t) = ωψ(r, t) (4.22)

Ingatω = hΩi adalah sebuah bilangan nyata.

Persamaan ini menunjukkan bahwa ada keadaan atau fungsi ge-lombang yang jika dioperasikan dengan sebuah operator ˆΩ akan meng-hasilkan fungsi gelombang yang sama yang dikalikan dengan sebuah konstantaω. Persamaan ini dinamakan persamaan eigen. Fungsi ge-lombang yang memenuhi kondisi ini disebut dengan fungsi eigen atau keadaan eigen dari operator ˆΩ. Sedangkan nilai konstanta pengalinya ω disebut dengan nilai eigen. Jadi jika sistem dalam keadaan atau de-ngan fungsi gelombang yang merupakan fungsi eigen suatu operator

ˆ

Ω, maka pengukuran observable Ω akan menghasilkan nilai eigen ω dari operator tersebut.

Umpama kita sudah mengetahui solusi persamaan eigen, dan mem-peroleh semua fungsi eigen n} dan nilai eigen {ωn} untuk operator

ˆ Ω,

ˆ

Ωψn(r, t) = ωnψn(r, t) (4.23)

di mana ωn dan ψn(r, t) adalah nilai dan fungsi eigen dari operator

ˆ

Ω, n = 1, 2, 3, ... dan ωn 6= ωmuntukn 6= m. Artinya tidak ada nilai eigen

(47)

Observables 41 Jika kita kalikan persamaan (4.23) dengan ψ∗

m(r, t) dari sebelah

kanan dan integralkan, kita memperoleh Z

ψm∗(r, t) ˆΩψn(r, t)d3r = ωn

Z

ψm∗(r, t)ψn(r, t)d3r (4.24)

Jika kita kompleks konjugat kedua sisi dan kemudian menukar in-deksn dan m, menghasilkan

Z

ψn(r, t)[ ˆΩψm(r, t)]∗d3r = ωm

Z

ψm∗(r, t)ψn(r, t)d3r (4.25)

Dari sifat operator Hermitian, diperoleh Z

ψ∗m(r, t) ˆΩψn(r, t)d3r = ωm

Z

ψ∗m(r, t)ψn(r, t)d3r (4.26)

Dari persamaan (4.24) dan (4.26) digabungkan menjadi,

ωm Z ψm∗(r, t)ψn(r, t)d3r = ωn Z ψm∗(r, t)ψn(r, t)d3r (4.27) atau (ωm− ωn) Z ψm∗(r, t)ψn(r, t)d3r = 0 (4.28)

Karenaωn6= ωm, maka haruslah kita mempunyai,

Z

ψm∗(r, t)ψn(r, t)d3r = 0 (4.29)

Kondisi ini disebut sifat orthogonalitas. Artinya fungsi ψm dan ψn

adalah orthogonal. Z

ψm∗(r, t)ψn(r, t)d3r = 0 jika ωm 6= ωn (4.30)

Sebagai analogi, kita dapat membayangkan sebagai operasi perka-lian vektor ”dot” atau skalar. Jika dua vektor orthogonal atau tegak lurus maka perkalian dot atau skalar sama dengan nol.

Jika kita pertimbangkan sebuah vektor pada ruang tiga dimensi, kita mengetahui bahwa vektor apa saja bisa dibentuk kedalam pen-jumlahan komponen vektor basis. Seperti contohnya a= axi+ ayj+ azk

dibentuk dengan komponen vektor basis (i, j, k). Seperti halnya vektor, fungsi gelombang apa saja juga dapat dibentuk dari kombinasi linier semua fungsi basis dalam hal ini fungsi eigen,

(48)

42 Keadaan Sistem φ(r, t) = ∞ X n=1 cnψn(r, t) (4.31)

di mana proyeksiφ(r, t) ke basis atau fungsi eigen,

cn =

Z

φ∗(r, t)ψn(r, t)d3r (4.32)

Fungsi-fungsi eigen dari suatu operator dapat mempunyai nilai ei-gen yang sama (atau yang disebut deei-generate). Umpama dua fungsi eigen yang memiliki nilai eigen yang sama (ω1 = ω2 = ω) yaitu ψ1 dan

ψ2, maka kombinasi linier dari dua fungsi eigen iniφ = c1ψ1+ c2ψ2 juga

merupakan solusi persamaan eigen dengan nilai eigen yang samaω. ˆ

Ωφ = c1Ωψˆ 1 + c2Ωψˆ 2 (4.33)

ˆ

Ωφ = c1ω1ψ1 + c2ω2ψ2 (4.34)

karena ω1= ω2 = ω atau degenerate maka

ˆ

Ωφ = ω(c1ψ1 + c2ψ2) = ωφ (4.35)

Jadi terbukti bahwa kombinasi liniernya juga merupakan solusi persamaan eigen.

Jika adas banyaknya fungsi eigen yang independen linier yang me-miliki nilai eigen yang sama, di sebut dengan degenerate s-lipatan.

Fungsi-fungsi eigen dinyataan independen linier maksudnya ada-lah fungsi-fungsi eigen memenuhi persyaratan berikut ini.

s

X

n=1

cnψn(r) = 0 untuk semua r (4.36)

dan solusinya hanyac1 = c2 = c3 = · · · = cs= 0.

Fungsi-fungsi eigen yang degenerate tidak harus ortogonal satu sa-ma lain. Tetapi kita dapat membentuk fungsi-fungsi baru dari kombinasi-kombinasi linier fungsi-fungsi eigen tersebut sehingga fungsinya men-jadi ortogonal.

Di samping itu pula, fungsi eigen tidak harus ternormalisasi kare-na perkalian konstanta sembarang pada fungsi eigen juga merupakan solusi persamaan eigen. Jadi kita bisa memilih agar fungsi eigen yang didapatkan sehingga ternormalisasi dan saling ortogonal satu sama lain atau memenuhi kondisi berikut,

(49)

Observables 43

Z

ψ∗mψnd3r = δmn (4.37)

di mana kita menggunakan kronecker delta yang didefinisikan se-bagai,

δmn = 1 if m = n,

0 if m 6= n (4.38)

Fungsi gelombang yang memenuhi sifat ini disebut ortonormal. Sifat penting dari sebuah operator Hermitian ˆΩ adalah semua fungsi-fungsi eigen solusi dari persamaan eigen yang ortonormal membentuk sebuah kumpulan/himpunan yang komplit/lengkap. Ini berarti bah-wa fungsi gelombang apa saja bisa dibentuk dengan kombinasi linier fungsi-fungsi eigen atau ekspansi ke fungsi basis.

φ(r, t) =X

n=1

cnψn(r, t) (4.39)

Koefisien ekspansi diperoleh dari proyeksiφ(r, t) ke basis atau fung-si eigen,

cn=

Z

φ∗(r, t)ψn(r, t)d3r (4.40)

Di sini kita berasumsi bahwa kumpulan/himpunan nilai eigen ωn

adalah diskrit.

Sekarang kita perhatikan penggunaan ekspansi ini untuk menda-patkan nilai ekspektasi dariΩ dalam fungsi gelombang ψ(r, t),

hˆΩi = Z

ψ∗Ωψdˆ 3r (4.41)

(50)

44 Keadaan Sistem hˆΩi = Z " X m=1 c∗ mψm∗ # ˆ Ω " X n=1 cnψn # d3r =X m=1 X n=1 c∗mcn Z ψm∗Ωψˆ nd3r =X m=1 X n=1 c∗mcnωn Z ψm∗ψnd3r =X m=1 X n=1 c∗mcnωnδmn =X n=1 ωn|cn|2 (4.42)

Ingat di sini kita menggunakan ˆΩψn = ωnψndan persamaan (4.37).

Sekarang kita ingin menginterpretasikan hasil yang kita peroleh. Untuk itu kita menganggap untuk sementara bahwa sistem yang ki-ta bahas adalah sistem yang non-degenerate yang artinya pengukuran dari observable Ω dengan operator ˆΩ pada fungsi eigen ψn(r, t)

meng-hasilkan nilai ekspektasi ωn. Kita bisa interpretasikan persamaan di

atas bahwa

hˆΩi = X

n=1

ωnP (ωn) (4.43)

atau

Artinya pengukuran dari observableΩ pada sistem dengan ψ mem-punyai probabilitas P (ωn) = |cn|2 yang menghasilkan nilai ωn.

Interp-retasi ini sesuai dengan sifat probabilitas bahwaP

n=1P (ωn) = 1 yang

dapat dibuktikan dari sifat normalisasi fungsiψ,

Z ψ ∗ ψd3r = Z " X m=1 c∗mψm∗ # " X n=1 cnψn # d3r =X m=1 X n=1 c∗mcn Z ψ∗mψnd3r =X m=1 X n=1 c∗mcnδmn =X n=1 |cn|2 = 1 (4.44)

(51)

Observables 45 Hasil ini menunjukkan sifat diskrit dari hasil pengukuran untuk Ω. Pengukuran yang menghasilkan nilai selain ωn tidak pernah

ter-jadi. Kesimpulan ini merupakan akibat dari fungsi-fungsi eigen dari observable membentuk himpunan yang komplit. Konsep diskrit ini ti-dak ditemukan pada teori klasik yang selalu menghasilkan sifat yang kontinyu. Inilah perbedaan mendasar dari teori kuantum dan klasik. Seperti yang ditunjukkan dari spektrum atom hidrogen yang berupa garis-garis spektrum.

Sebelumnya kita menganggap bahwa sistem adalah non-degenerate. Sekarang kita ingin tahu bagaimana jika ada sejumlah s fungsi eigen yang degenerate dengan nilai eigen ωk+1 = ωk+2 = · · · = ωk+s = ωd.

Probabilitas menemukan ωd dalam pengukuran untuk sistem dengan

fungsi gelombang ψ adalah jumlah dari semua probabilitas masing-masing fungsi eigen degenerate,

P (ωd) = k+s

X

n=k+1

|cn|2 (4.45)

Seandainya kita melakukan pengukuran pada sistem non-degenerate dengan ψ(r, t) untuk observable Ω dan menemukan hasilnya adalah ωm. Ini menunjukkan setelah dioperasikan dengan operator ˆΩ

dipero-leh fungsi gelombang, ˆ

Ωψ(r, t) → ψm(r, t) (4.46)

Jika dilakukan pengukuran kedua langsung setelah pengukuran pertama akan menghasilkan nilai yang sama ωm. Jadi dengan kata

lain, setelah pengukuran yang menghasilkan ωm, sistem berada

pa-da keapa-daan dengan fungsi gelombang ψm. Pengukuran di sini

menye-babkan ”collapse of wavefunction”, fungsi gelombang yang menyem-pit. Artinya sebelum pengukuran, fungsi gelombangnya adalah psi, tetapi setelah pengukuran fungsi gelombangnya psin. Fungsi

gelom-bang sistem mengalami perubahan drastis (diskrit) yang disebabkan oleh pengukuran/pengamatan. Jika kita perihatikan bahwa fungsi ge-lombang berevolusi (perubahan terhadap) secara kontinyu, tetapi me-miliki perubahan yang diskontinyu jika pengukuran dilakukan. Kon-sep ”collapse of wavefunction” karena pengukuran tidak bisa dijelask-an ddijelask-an dimengerti. Walaupun kita bisa membuat formulasi kudijelask-antum yang dapat menjelaskan hasil eksperimen, tetapi kita tidak mampu mengerti implikasi dari teori kuantum.

(52)

46 Keadaan Sistem

Jika sistem mempunyai fungsi eigen yang degenerate untuk ope-rator ˆΩ, maka fungsi gelombang yang dihasilkan untuk energi yang degenerate pada pengukuran adalah

ˆ Ωψ(r, t) → k+s X n=k+1 cnψn(r, t) (4.47)

(53)

5

Persamaan Schr¨odinger

5.1 Fungsi Gelombang dengan Momentum

Ter-tentu

Sebelum mengkaji persamaan Schr¨odinger, mari kita meninjau terle-bih dahulu sebuah fungsi gelombang untuk sebuah partikel dengan momentum tertentu. Untuk itu kita menggunakan energi partikel yang berkaitan dengan prinsip kuantisasi Planck yaitu

E = hν (5.1)

dan momentum partikel yang berhubungan dengan panjang gelom-bang,

p = h

λ (5.2)

Selain menggunakan frekuensi (ν) dan panjang gelombang (λ) un-tuk menuliskan energi dan momentum, kita akan sering juga meng-gunakan frekuensi sudutω,

ω = 2πν (5.3)

dan bilangan gelombang k,

k = 2π

λ (5.4)

dan

konstanta Planck yang terreduksi (~),

~= h

(54)

48 Persamaan Schr¨odinger

Dengan frekuensi sudut dan bilangan gelombang, energi dan mo-mentum menjadi

E = ~ω dan p = ~k (5.6)

Sekarang kita pertimbangkan sebuah partikel bebas bergerak ke arah sumbu x positif dengan momentum p = pxxˆ di mana px > 0.

Da-lam buku ini kita menggunakan notasi vektor satuan untuk koordinat kartesius,x,ˆ y, danˆ ˆz.

Fungsi gelombang berjalan yang sesuai dengan pergerakan parti-kel bebas ini adalah sebuah gelombang bidang yang diberikan oleh

Ψ(x, t) = A exp[i(kxx − ωt)] (5.7)

Menggunakan relasi kx = px/~ dan ω = E/hbar, gelombang bidang

menjadi

Ψ(x, t) = A exp[i(pxx − Et)/~] (5.8)

Fungsi gelombang ini, kita akan gunakan untuk memformulasikan persamaan Schr ¨dinger. Agar lebih paham mari kita operasikan fung-si ini dengan melakukan derivatif atau turunan terhadap pofung-sifung-si dan waktu. Operasi derivatif (atau turunan parsial) terhadap x (∂/∂x) di-peroleh ∂ ∂xΨ(x, t) =  ipx ~  A exp[i(pxx − Et)/~] (5.9)

atau dengan mengembalikan fungsi gelombangnya, dihasilkan ∂ ∂xΨ(x, t) =  ipx ~  Ψ(x, t) (5.10)

Jadi, fungsi gelombang (Pers. (5.8) memenuhi persamaan diferen-sial,

−i~∂x∂ Ψ(x, t) = pxΨ(x, t) (5.11)

Ini menyatakan, operasi−i~∂x∂  pada fungsi gelombang Ψ(x, t) meng-hasilkan nilai momentumpx dikali fungsi gelombangnya.

Selanjutnya, kita operasikan turunan parsial terhadap variabel t padaΨ atau ∂Ψ/∂t, ∂ ∂xΨ(x, t) =  −iE~  A exp[i(pxx − Et)/~] (5.12)

(55)

Fungsi Gelombang dengan Momentum Tertentu 49 atau ∂ ∂tΨ(x, t) =  −iE~  Ψ(x, t) (5.13)

atau bisa dituliskan lebih berarti yaitu

i~∂

∂tΨ(x, t) = EΨ(x, t). (5.14)

Ini menunjukkan bahwa operasii~∂t∂ pada fungsi gelombang Ψ(x, t) menghasilkan nilai energiE dikali fungsi gelombangnya.

Persamaan (5.11) dan (5.14) merupakan persamaan eigen. Kita bi-sa simpulkan dari perbi-samaan (5.11) dan (5.14) bahwa operator−i~

∂x

 dan i~∂

∂t menghasilkan nilai momentum dan energi. Sehingga kita

dapat mendefinisikan operator momentum dan energi:

ˆ px = −i~ ∂ ∂x (5.15) dan ˆ E = i~∂ ∂t (5.16)

Fungsi gelombang bidang yang lebih umum untuk momentum p = ~kdengan arah yang sembarang dan energiE adalah

Ψ(x, t) = A exp[i(p · x − Et)/~] (5.17)

Seperti prosedur sebelumnya, kita mendapatkan operator momen-tum yang lebih umum pada ruang tiga dimensi yaitu

ˆ p = −i~∇ = −i~  ˆ x ∂ ∂x + ˆy ∂ ∂y + ˆz ∂ ∂z  (5.18)

Operator momentum dan energi kita peroleh dengan memproses fungsi gelombang bidang. Tentunya fungsi gelombang ini hanya sesuai untuk partikel bebas. Untuk partikel dalam kondisi yang lebih umum, postulat kuantum mekanik menyatakan bahwa operator yang sama juga berlaku. Jadi dalam formulasi kuantum variabel dinamis p dan E direpresentasikan dengan operator ˆpdan ˆE (pers. (5.11) dan (5.14)).

(56)

50 Persamaan Schr¨odinger

5.2 Persamaan Schr¨

odinger

Supaya kita memahami lebih jelas, mari kita tinjau terlebih dahulu prosedur untuk mendapatkan persamaan Schr¨odinger untuk partikel bebas pada ruang satu dimensi. Fungsi gelombang partikel bebas di-berikan oleh persamaan (5.8). Energi partikel bebas dalam mekanika klasik berkaitan dengan momentum sesuai dengan relasi,

E = p

2 x

2m (5.19)

Jika kita kerjakan turunan parsial dua kali terhadapx pada fungsi gelombang persamaan (5.8), kita memperoleh,

∂2 ∂x2Ψ(x, t) =  −p 2 x ~2  Ψ(x, t) (5.20)

dan seperti sebelumnya turunan parsial terhadap t, kita menda-patkan, ∂ ∂tΨ(x, t) =  −iE~  Ψ(x, t) (5.21) Menggunakan relasi E = p2

x/2m, kita dapat menyatukan

persama-an (5.20) dpersama-an (5.21) dengpersama-an cara sebagai berikut. ∂ ∂tΨ(x, t) =  − ip 2 x 2m~  Ψ(x, t) (5.22) ∂ ∂tΨ(x, t) =  i~ 2m   −p 2 x ~2Ψ(x, t)  (5.23)

Substitusi dengan persamaan (5.20), kemudian dihasilkan persa-maan akhir yaitu

∂ ∂tΨ(x, t) =  i~ 2m  ∂2 ∂x2Ψ(x, t) (5.24)

Untuk menyederhanakan persamaan ini, kita kalikan kedua sisi-nya dengani~ sehingga kita peroleh

i~∂ ∂tΨ(x, t) = − ~2 2m ∂2 ∂x2Ψ(x, t) (5.25)

(57)

Persamaan Schr¨odinger 51 Mari kita kaji persamaan ini dengan memperhatikan definisi ope-rator momentum pˆx dan operator energi ˆE. Persamaan ini dapat

di-tulis kembali dengan menggunakan operator momentum dan energi menjadi

ˆ

EΨ(x, t) = 1 2m[ ˆpx]

2Ψ(x, t) (5.26)

Generalisasi untuk ruang tiga dimensi dapat dilakukan dengan ca-ra yang sama dan menggunakan hubungan energi dan momentum (mekanika klasik),

E = p

2

2m (5.27)

dapat diperoleh persamaan gerak untuk partikel bebas yaitu ˆ EΨ(r, t) = 1 2mpˆ 2Ψ(r, t) (5.28) atau i~∂ ∂tΨ(r, t) = − ~2 2m∇ 2Ψ(r, t) (5.29) di mana Laplacian2, ∇2 = ∂ 2 ∂x2 + ∂2 ∂y2 + ∂2 ∂z2  (5.30)

Generalisasi untuk sebuah partikel yang berada pada sebuah po-tensialV (r, t) didapat dari hubungan energi,

E = p

2

2m + V (r, t) (5.31)

dan melakukan penggantian variabel klasik dengan operator, kita dapat tuliskan persamaan geraknya,

ˆ EΨ(r, t) = ˆp 2 2m + V (r, t)  Ψ(r, t) (5.32) atau i~∂ ∂tΨ(r, t) = − ~2 2m∇ 2Ψ(r, t) + V (r, t)Ψ(r, t) (5.33)

Persamaan inilah yang dinamakan persamaan Schr¨odinger yang bergantung waktu. Persamaan ini menentukan evolusi fungsi gelom-bang.

(58)

52 Persamaan Schr¨odinger

Untuk formulasi yang lebih umum, kita perhatikan bahwa operator-operator pada sisi kanan persamaan (5.32) adalah operator-operator Hamilto-nian, ˆ H = −~ 2 2m∇ 2+ V (r, t) = ˆT + ˆV (5.34)

Jadi persamaan Sch¨odinger yang berlaku untuk semua keadaaan adalah

i~∂

∂tΨ(r, t) = ˆHΨ(r, t) (5.35) Pada mekanika klasik, energi total dari suatu sistem yang dieksp-resikan dalam bentuk variabel koordinat dan momentum disebut de-ngan fungsi Hamiltonian dari sistemnya.

E = H(r, p, t) = p

2

2m + V (r, t) (5.36)

Dari fungsi Hamiltonian ini, operator Hamiltonian kuantum me-kanik diperoleh dengan melakukan penggantian variabel momentum dengan operator momentum, p→ ˆp = −i~∇ atau

H = H(r, −i~∇, t) (5.37)

Kita bisa ringkas bahwa persamaan Schr¨odinger yan bergantung waktu dapat diperoleh dengan penggantian variabel-variabel klasik dengan operator-operator kuantum.

E → ˆE = i∂

∂t (5.38)

p→ ˆp = −i~∇ (5.39)

dan

r→ ˆr = r (5.40)

Persamaan Sch¨odinger di atas bersifat linier dan homogen. Persa-maan Schr¨odinger hanya terdapat turunan order satu terhadap vari-abel waktu. Sehingga evolusi dari fungsi gelombang dapat diketahui jika fungsi gelombang pada waktu tertentut0 sudah diketahui.

Fung-si gelombang untuk waktu yang lain diperoleh dengan menyelesaikan persamaan Sch¨odinger.

Gambar

Gambar 1.1: Hasil eksperimen celah ganda menggunakan elektron
Gambar 2.1: Bandul sederhana.
Gambar 3.1: Spektrum radiasi termal benda hitam.
Gambar 3.2: Sebuah rongga dengan sebuah lubang celah kecil.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Menurut guru dan siswa bahan ajar berbasis web pada topik teori atom mekanika kuantum memiliki desain visual dan audio yang sederhana, mampu menarik pengguna

1 Ruang keadaan kuantum dinyatakan dalam mo- dul Hilbert kanan M di atas gelanggang R yang disertai dengan fitur-fitur yang mungkin untuk membangun mekanika kuantum modular ini:

Sedangkan keadaan dalam mekanika kuantum standar diwakili oleh bentuk fungsi gelombang pada persamaan Schrödinger standar yang dibangkitkan dari kernel integral

• Tetapi bilamana system partikel bersifat indistinguishable maka penerapan teori ensemble klasik mesti dilakukan hati-hati, bahkan bisa memberikan kesimpulan yang salah dalam

Tetapi jika sebagai ruang yang menampung keadaan-keadaan kuantum adalah ruang yang unsurnya adalah vektor-vektor yang termuat dalam irisan domain operator-operator tersebut, maka

Sedangkan pada sistem yang tersusun oleh partikel-partikel identik (tidak terbedakan), hukum- hukum fisika klasik tidak cukup memadai untuk merepresentasikan keadaan

ˆ Dalam mekanika kuantum, nilai suatu besaran fisika dihitung sebagai prediksi nilai hasil pengukuran, yaitu sebagai prediksi nilai rata-rata atau disebut juga dengan nilai

Tetapi jika sebagai ruang yang menampung keadaan-keadaan kuantum adalah ruang yang unsurnya adalah vektor-vektor yang termuat dalam irisan domain operator-operator tersebut, maka dapat