• Tidak ada hasil yang ditemukan

31 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Terapi Antiretroviral (ARV) pada Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di RSUD Dr. M. Haulussy Ambon

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "31 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Terapi Antiretroviral (ARV) pada Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di RSUD Dr. M. Haulussy Ambon"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

31 BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini berlangsung dari tanggal 17 Mei – 20 Juni 2016

di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Haulussy Ambon dan di rumah

masing-masing responden. Terkait dengan kerahasiaan status

pasien yang dijaga oleh pihak rumah sakit maka data yang diambil

dari pihak rumah sakit hanya berupa data kasus melalui wawancara

dengan salah satu penanggung jawab klinik VCT.

4.1. Gambaran Partisipan

Jumlah partisipan yang di dapat sebanyak 5 orang.

Partisipan yang terlibat dalam penelitian ini adalah ODHA yang

sedang menjalani terapi antiretroviral di RSUD Dr. Haulussy

Ambon dan bersedia untuk diwawancara.

Tabel 4.1. Karakteristik Partisipan

No Inisial Umur (Thn)

Lama Pengobatan

Riwayat Putus

Obat

Tahap Pengobatan

1 Ny. E 37 9 tahun - Lini I

2 Ny. A 42 8 tahun - Lini I

3 Ny. A 23 5 tahun - Lini II

4 Tn. E 37 6 tahun 3 Lini I

5 Tn. S 57 7 tahun 2 Lini I

(2)

32 4.2. Hasil Penelitian

Data hasil wawancara dari setiap partisipan dianalisis

berdasarkan berdasarkan indikator yang dipakai dalam

pedoman wawancara. Dari hasil analisis tersebut dapat terlihat

5 tema yang diidentifikasikan dalam faktor-faktor kepatuhan

terapi ARV pada ODHA di RSUD dr. Haulussy Ambon.

Berikut adalah tema-tema faktor kepatuhan terapi yang

merupakan hasil penelitian :

4.2.1. Tanggung jawab dalam keluarga sebagai motivasi

kepatuhan minum obat

Dalam ungkapan partisipan mengenai apa yang

menjadi motivasi untuk patuh minum obat, partisipan

mengungkapkan hadirnya keluarga serta perannya dalam

keluarga yang menjadi motivasi untuk tetap patuh menjalani

pengobatan. Hal tersebut terungkap dari responden:

P3: “sekarang kan su menikah.. jadi berfikir seng

par diri sendiri lai. Su par keluarga. Jadi kalo macam

berfikir.. kalo misalnya seng patuh berarti itu anggap

saja beta ingin par kasi tinggal beta keluarga. Jadi

yang motivasi beta sekarang, suami. “ (P3.42-45).

(sekarang saya sudah menikah, jadi berfikir tidak

untuk diri sendiri lagi. Sudah untuk keluarga. Jadi

kalau misalnya tidak patuh berarti anggap saja saya

ingin meninggalkan keluarga saya. Jadi yang motivasi

(3)

33

P5: “Ya.. karna saya ada 1 nona (anak) yang

cantik ini yang baru umur 4 tahun tanggal 1 kemarin

ini.. 1 Juni ini, jadi saya ada.. bergairah untuk hidup.”

(P5. 61-63)

Selain keluarga, salah satu partisipan juga

menambahkan adanya rasa takut untuk menjalani

pengobatan lini II:

P1: “Pertama beta pikir keluarga, beta punya

anak. Jadi beta harus bisa kalau bisa sih beta harus

patuh dengan obat supaya jangan sampe beta sakit.

Nanti kalo beta sakit bagaimana beta pung

rumahtangga? siapa yang ngurus anak? Mungkin

motivasi pertama tu beta pung keluarga. Yang kedua,

beta ketakutan sendiri untuk masuk.. pindah lagi ke

lini II. Kalo lini II itu, obatnya sudah besar-besar dibandingkan lini I.” (P1. 45-51)

(Pertama saya pikir keluarga, saya memiliki anak.

Jadi saya harus bisa patuh dengan obat supaya tidak

sakit. Nanti kalau saya sakit bagaimana rumahtangga

saya? Siapa yang mengurus anak? Mungkin itu

motivasi pertama, keluarga saya. Yang kedua, saya

ketakutan sendiri untuk masuk.. pindah lagi ke lini II.

Kalo lini II itu, obatnya sudah besar-besar

dibandingkan lini I)

Motivasi untuk patuh minum obat tidak lepas dari

sikap individu sendiri. Keinginan untuk hidup dengan

harapan dan cita-cita kedepan menjadi motivasi yang

(4)

34

P2: “ya beta ingin hiduplah.. to.. ya paling tidak

katong ingin hidup karna ada katong pung harapan

kedepan ada anak-anak, ada keluarga lai tu,

tanggung jawab jadi itu motivasinya..” (P2. 17-20)

(ya saya ingin hidup. Setidaknya kami ingin hidup

karena kami memiliki harapan kedepan ada

anak-anak, ada keluarga juga, tanggung jawab jadi itu

motivasinya)

P4: “ya karna beta mau.. mau.. punya cita-cita lah

deng ada beta pung keluarga jadi harus jadi orang..

harus lebih dari pada yang sekarang. Hari ini harus

lebih baik daripada hari kemarin. Itu saja” (P4.90-93)

(ya karena saya ingin memiliki cita-cita dalam hidup

ini. Harus jadi lebih baik dari sekarang. Hari ini harus

lebih baik daripada hari kemarin)

4.2.2. Penerimaan dan peran keluarga sebagai Pengawas Minum

Obat (PMO)

Partisipan menyatakan bahwa keberadaan mereka

diterima dan pengobatan yang dijalani didukung oleh

keluarga.

P1: “kebanyakan seluruh anggota keluarga

menerima bahkan beta minum satu gelas dengan

dong juga seng ada masalah. Makan satu piring

begitu, seng ada masalah. Paling 1,2 orang saja yang

kadang-kadang masih.. orang bilang masih kaku. Tapi

(5)

35

(kebanyakan seluruh anggota keluarga menerima

bahkan saya minum segelas dengan mereka tidak

masalah. Makan sepiring tidak masalah. Hanya satu

dua orang saja yang terkadang masih kaku. Tetapi

rata-rata keluarga besar saya semuanya menerima)

P2: “Kalo keluarga, malahan dong sendiri yang

menekan beta ikut pengobatan. Pas beta masih

tinggal deng mama tuh antua biasa cek.. kontrol. Beta

su minum ka balom. Tapi yang beta su bale deng

anak-anak sendiri nih paleng skali-skali sa baru antua

cek. Kalo seng ada dong, sapa yang mau lia beta sampe sekarang” (P2.45-49)

(kalau keluarga, bahkan mereka sendiri yang

menekan saya ikut pengobatan. Saat saya masih

tinggal dengan mama, beliau biasa mengecek..

kontrol. Saya sudah minum obat atau belum. Tetapi

saat saya sudah kembali dengan anak-anak sendiri,

sesekali saja beliau mengecek. Kalau tidak ada

mereka siapa yang mengurus saya sampai sekarang)

P3: “Dia selalu mendukung, malahan dia sering

mengingatkan untuk minum obat. Karna yang tau beta

pung status di keluarga tuh cuma beta mama deng

dia sa.” (P3.57-59)

(Dia selalau mendukung, bahkan dia sering

mengingatkan untuk minum obat. Karena yang tahu

status saya di keluarga hanya ibu saya dengan

dia(suami) saja)

P4: “Keluarga dengan status beta begini memang

dong kelihatannya menerima beta sa dengan

(6)

36

ujian buat beta kan.. sehingga beta kan bisa, dengan

ujian begitu beta bisa introspeksi diri kemudian benahi

beta punya diri untuk jadi lebih baik.” (P4.108-112)

(Dengan status saya ini memang keluarga tampak

menerima saya dengan menanggapi bahwa keluarga

itu anggap ya ini ujian untuk saya sehingga saya bisa

introspeksi diri kemudian benahi diri saya untuk jadi

lebih baik)

P5: “Ya keluarga yang lain mendukung ya.

Disuruh makan obat. Tadinya waktu saya putus juga

mereka marah karna saya putus obat kan saya ada

misinya bahwa ini separah apa kalo kita putus obat.”

(P5.101-104)

Seluruh partisipan mengakui adanya bantuan biaya

pengobatan dari pihak keluarga dari awal pengobatan

hingga sekarang. Beberapa diantaranya bahkan sempat

didampingi keluarga saat mengambil obat di klinik:

P1: “Ya suami yang bantu deng usaha kecil

-kecilan. Karena suami pertama menikah tuh suami

ojek.. jadi beta punya ongkos pi ambel.. karna 2009

tuh kan cuma ee.. bula-bale ambel obat aja. Jadi

paleng biaya administrasi per bulan dengan

transport.. transport kan diantar jadi paleng biaya par

pengobatan tuh yang dibiayai samua sama suami.”

(P1.230-235).

(Ya suami yang membantu dengan usaha

kecil-kecilan. Karena suami awal menikah itu suami ojek.

Jadi biaya transport saat ambil.. karena 2009 hanya

(7)

37

administrasi per bulan. Biaya pengobatan dibiayai

suami)

P2: “Ia, kamuka tu keluarga dampingi (P2. 60)

Cuma yang.. kalo yang su bula-bale par ambil obat nih

beta yang ambil sendiri (P2.62-63)Kebetulan

bersyukur mama tuh antua bantu beta.. biaya

pengobatan tuh antua yang biayai. Sampe sekarang

ini, karna su ada perobahan.. beta su bae,

pengobatan, Cuma ambel obat 25 ribu. Baru kan beta

ada dapa suami pung pensiun to jadi bisalah

(P2.141-144).

(Ia, dulu itu keluarga mendampingi. Hanya kalau yang

bolak-balik untuk ambil obat ini saya yang ambil

sendiri. Kebetulan bersyukur meme membantu saya.

Pengobatan dibiayai. Sampai sekarang karena saya

sudah membaik, pengobatan, ambil obat 25 ribu.

Saya mendapat dana pensiun suami jadi bisa diatasi.)

P3: “Kalo suami seng sibuk dia batamang..

katong dua datang ambil. Atau ada jua yang beta

datang ambil sendiri. Tapi skarang kan beta ada tiap

kali disini jadi pendamping. Jadi kalo obat su abis, beta langsung minta sa.” (P3.51-54). “Waktu pertama kali pasti ada beban. Baru kan, belum kerja juga to..

Samua masih mama yang biayai.” (P3.88-89). “Tapi

skarang jua jaga..kalo ada berkat lebih skali-skali kasi

gitu biar beta su menikah su tanggung jawab suami

dari antua tuh tetap adalah skali-skali.” (P3.92-94)

(kalau suami tidak sibuk dia menemani.. kami berdua

datang. Atau ada juga yang saya datang sendiri. Tapi

(8)

38

pendamping. Jadi kalau obat sudah habis, saya

langsung minta saja. Waktu pertma kali pasti jadi

beban. Belum ada pekerjaan. Semua masih dibiayai

mama. Tapi sekarang kalau ada berkat lebih sesekali

walaupun saya sudah menikah sudah menjadi

tanggung jawab suami beliau tetap ada)

P5: “dia selalu dengan obat kalo saya telat atau

saya ini lupa atau pergi lupa dia selalu telepon.. apa..

kirim obat atau nyusul bawa obat “(P5.78-80). “Keluarga juga dorong yang penting makan obat, patuh, dokter bilang apa ini semua patuh.. masalah

uang tidak perlu dipikirin. Apa saja yang dibutuhkan

keluarga ini semua pendonor-pendonor itu siap. Jadi

kita ade kakak ada 10, semuanya siap “(P4. 109-113).

istri saya yang selalu sama saya buat ambil

obat.(P4.213-214)

Partisipan lainnya mengakui tidak didampingi

keluarga dalam pengobatan namun mendapat kepercayaan

dari pihak keluarga dalam menjalani pengobatan ini.

P4: “Seng. Kalo par.. Cuma par ambil obat gitu,

dong percaya beta. Pokoknya percaya beta sa

(P4.126-127)Kalo bantuan dari keluarga sih..

keluarga tuh pasti bantu saja. Beta pung biaya dari

kemarin yang kira TB tuh sampe skarang ambil obat

tiap bulan Cuma 25 ribu dong ada tetap bantu jua.

Cuma kan.. ya artinya seng seintens kaya dolo beta

drop. Tapi adalah. Keluarga tu tetap ada bantu

(9)

39

(Tidak. Kalau hanya untuk ambil obat, mereka

percaya saya. Intinya percaya saya saja. Kalau

bantuan dari keluarga, tentu keluarga membantu.

Biaya pengobatan dari TB dampai sekarang ambil

obat setiap bulan hanya 25 ribu mereka tetap ada saja

memberikan bantuan. Hanya saja tidak sintens

seperti dulu saat saya lemah. Tetapi ada keluarga

tetap membantu)

4.2.3. Dukungan informasional dan emosional keluarga dalam

mempertahankan kepatuhan minum obat pasien

Dukungan informasional dapat diberikan dalam

bentuk nasehat, saran bahkan solusi dari masalah. Seluruh

partisipan mendapatkan saran ataupun nasehat yang

seragam dari pihak keluarga untuk tetap mengikuti

pengobatan secara teratur.

R1: “Kalo saran sih paling tuh patuh dengan obat,

seng boleh putus-putus minum obat, dengan rajin

kontrol.. cek misalnya cek kesehatan kuh kaya katong

karna katong minum obat teratur eh minum obat

setiap hari, jadi yang katong musti rajin kontrol tuh

LAB” (P1.146-150).

(Kalau saran itu patuh dengan obat, tidak outus

minum dengan rajin kontrol.. mengecek kesehatan

karena minum obat setiap hari jadi harus rajin kontrol

LAB)

R3: “Jadi antua bilang ikut perkembangan saja.

(10)

40

bilang ikut begitu saja maksudnya kaya macam ikut

arahan dokter saja.”(P3.72-74). “Mama Cuma kasi

saran, untuk minum obat teratur, jaga jang sampe drop.” (P3.97-98).

(Jadi beliau bilang ikuti perkembangan apapun yang

diarahkan suster dan dokter. Mama hanya

memberikan saran untuk minum obat teratur jaga

jangan sampai drop)

P4: “Nasehat sih kaya, sudahlah memang balom

ada obat par kasi sembuh tapi dengan ada obat par

setidaknya par tolonglah. Ya kalo bisa sih minum yang

batul. Tapi memang dong percaya beta soal

minum-minum obat nih. Dengan yang tadi pertama beta

bilang tuh keluarga bilang bahwa, ini ujian. Ujian..

cobaan buat katong supaya katong juga bisa

introspeksi diri. Bisa melindungi katong pung diri..”

(P4.197-203).

(Nasehat seperti, memang belum ada obat untuk

menyembuhkan tetapi ada obat untuk tolong

setidaknya. Ya kalau bisa minum dengan benar. Tapi

memang mereka percaya saya mengenai minum

obat. Dengan yang sudah saya bilang bahwa

keluarga melihat ini sebagai ujian untuk introspeksi

diri. Bisa melindungi diri kami)

P5: “Istri saya biasa kita berdua ngobrol-ngobrol,

dia yang paling menguatkan. Gak usah banyak

pikiran, kita sudah ada nona ini jadi harus.. nda usah

mikir yang berat-berat. Itu dia sering bicara” (P

(11)

41

Dalam dukungan informasional yang diberikan

keluarga, salah satu partisipan mengungkapkan adanya

upaya keluarga yang melakukan pendekatan dengan salah

satu ODHA yang diketahui keluarga.

P2: “kebetulan itu, Sdri. E kan di LSM to, jadi

katong deng Sdri. E.. ada teman sebaya begitu par

datang untuk liat katong to.. rekan-rekan kaya katong

begini. Jadi dong pendekatan deng Sdri. E lalu Sdri. E datang cari katong di rumah.” (P2.66-69). “Kalo keluarga, sarannya Cuma pengobatan saja.. seng

ada macam diskriminasi.. seng. Kalo dari beta pihak keluarga, seng.”(P2.71-72)

(kebetulan ada teman di LSM jadi ada teman sebaya

rekan-rekan seperti kami untuk melihat kami. Jadi

mereka pendekatan dengan Sdri. E kemudian Sdri. E

datang ke rumah. Kalau saran dari keluarga hanya

pengobatan saja. Tidak ada diskriminasi dari pihak

keluarga)

Setiap partisipan pada penelitian ini mendapatkan

bentuk dukungan emosional yang cukup beragam.

Beberapa partisipan menceritakan adanya kasih sayang

dalam keluarga, nasehat dan sikap keluarga yang tidak

membeda-bedakan setelah mengetahui status partisipan

sebagai ODHA serta dukungan spiritual membuat partisipan

(12)

42

P1: “Dukungan dari beta keluarga yang bikin beta

nyaman mungkin, kasih sayang. Seng ada

diskriminasi terus dukungan kasih sayang kemudian

dong memberikan beta kebebasan untuk bisa apa

orang bilang yang namanya orang tua tuh pengen

anaknya tuh sukses dalam orang bilang karir”

(P1.157-161).

(Dukungan dari keluarga yang membuat saya

nyaman mungkin kasih sayang. Tidak ada

diskriminasi dan mereka memberikan saya

kebebasan untuk bisa sukses dalam karir)

P2: “segala sesuatu bisa katong terbuka deng

dong. Deng dong jua tahu katong pung kehidupan to.

Dong mendukung katong dalam segala hal. Dalam

pengobatan, dalam katong punya makan hari-hari,

katong pung kehidupan hari-hari, terutama juga dukungan spiritual, doa..” (P2.79-83).

(Segala sesuatu kami bisa terbuka dengan mereka.

Mereka tahu kehidupan kami. Mereka mendukung

kami dalam segala hal. Dalam pengobatan, makanan

sehari-hari, kehidupan sehari-hari, terutama spritual

dan doa )

P3: “yang bikin beta nyaman tuh karna dong

selalu kasi beta nasehat.. kaya macam

masukan-masukan par beta pung kesehatan ataupun

maksudnya sering-sering bicara deng beta.. seng..

maksudnya beta seng rasa minder karna dalam

(13)

43

(yang membuat saya nyaman itu karena mereka

selalu memberi nasehat. Seperti masukan-masukan

untuk kesehatan saya atau pun sering berbicara

dengan saya. Saya tidak merasa minder karena

dalam keluarga tidak ada yang menjauhi)

P4: “ya macam tadi tu, dong seng bedakan beta

dari beta masih ketahuan TB sampe su positif HIV,

diskriminasi gitu, seng. mungkin karna hidup

kekeluargaan yang tinggi kan. Hidup kekeluargaan masih kental.” (P4.216-219).”Beta nih kan anak yang tua. Jadi dalam struktural keluarga tuh beta seng ada

kurang sedikitpun apa masalah kewenangan bagitu”(P4.352-354).

(ya seperti tadi itu, mereka tidak membedakan saya

dari saya masih ketahuan TB sampai sudah positif

HIV, tidak ada diskriminasi. Mingkin karena hidup

kekeluargaan yang tinggi. Saya anak sulung. Jadi

kewenangan dalam struktural keluarga tidak

berkurang sedikitpun)

P5: “mereka mendukung pengobatan ini tapi takut

sepertinya dengan penyakit ini. gitu loh. Jadi

mungkin.. apa.. mau salaman gitu, kita liat mereka

dekat-dekat aja tuh masih.. bahkan ada kakak yang

tua, punya anak, dia punya cucu-cucu dia larang main ke sini “(P5.149-152). Ya kalo dari istri, ya dia cukup membantu skali. Karna dia yang mengurus

semuanya. Kalo dengan saya itu, ya seperti tadi saya

(14)

44

4.2.4. Ketersediaan stok obat ARVdan akses pelayanan

kesehatan

Mengenai pelayanan kesehatan, seluruh partisipan

menceritakan hal yang sama terkait dengan ketersediaan

stok obat ARV yang sempat kosong namun mampu diatasi

oleh pihak rumah sakit dengan cara mengecer obat.

P1: “Kalo terlambat ambil obat memang.. pasti

ada, sering. Sering maksudnya.. pertama itu, eem..

bukan berarti beta putus obat. Tapi karena memang

beta stok obat masih ada dirumah” (P1.242-244). Biasa dari rumah sakit tuh dong ambil kebijakan, untuk ee.. mengecar. Mengecer obat.” (R1.273-274). (kalau terlambat ambil obat memang pasti ada sering.

Sering maksudnya pertama itu bukan berarti saya

putus obat. Tapi karena memang stok obat saya

masih ada di rumah. Biasanya dari rumah sakit

mengambil kebijakan untuk mengecer obat.)

P2: “..kadang kala jua kalo ada obat yang

pengiriman dari sana terlambat, katong masih dapat

satu botol untuk satu bulan. Tapi kalo benar-benar

terlambat tuh berarti 1 botol dibagi-bagi. Tapi seng putus sampe sekarang” (P2.100-104).

(Kadang jika ada keterlambatan pengiriman obat,

kami masih dapat satu botol untuk satu bulan. Tapi

kalo benar-benar terlambat berarti 1 botol dibagi-bagi.

(15)

45

P3: “Stok obat kan dalam tahun kemarin kan

sempat kosong. Ya tahun kemarin ada.. tahun ini ada.

Tapi kan dari petugas rumah sakit kan.. tepi seng

sampe putus. Kan biar cicil tapi dapat minum. Seng

putus. Memang rumah sakit memang punya

pengiriman dari pusat ke sini kan ada sempat lambat.

Tapi petugas klinik mengatasi dengan cara mengecer

obat to biar samua pasien dapat. Jadi seng ada yang putus.” (P3.164-170).

(stok obat dalam tahun kemarin sempat kosong. Ya

tahun kemarin ada, tahun ini ada. Tapi petugas klinik

mengatasi dengan cara mengecer obat agar semua

pasien bisa mendapat obat. Jadi tidak ada yang

putus)

P4: “stok obat sempat kosong tahun lalu” (P4.292). ”Bukan kosong sama skali. Ada tapi diencer. Diencer sedikit.. maksudnya kaya 1 bulan mustinya kasi 1

bulan, jadinya 2 minggu begitu. Untuk antisipasi saja

to. Nanti kalo kemudian sampe 2 minggu, nanti kalo

kemudian sampe 2 minggu su mau abis ini dikasi 1

minggu lai dolo. Sambil tunggu-tunggu.. karna banyak kali pemakaiannya sama to”(P4.296-302)

P5: “Dulu pernah kosong di RSU. Ia.. kita cari obat

di teman-teman sampe Jakarta. Kalo kirim dari sana

ke sini.. hahaa.. jadi kita takut putus obatnya” (P 5.215-217) “Dari RSU juga yang sisa sedikit-sedikit yang di simpan untuk mendesak, dikasi. Datang tuh dapat 2

butir.. hahaa.. kadang-kadang tuh semakin menipis,

(16)

46

Secara keseluruhan partisipan dalam penelitian ini

bertempat tinggal di kota Ambon. Oleh karena itu,

pelayanan kesehatan yang di berikan masih bisa di jangkau

dari segi jarak serta biaya yang harus di keluarkan setiap

kali pengambilan obat.

P1: “Seng ada masalah to. karna Ambon kan kecil

jadi. kalo naik angkot lumayan pengeluarannya karna

2 kali naik. Pengambilan 1 bulan, per orang itu katong

mengeluarkan biaya 25 ribu. Cuma karna kebetulan

beta pung suami su mengakses BPJS, jadi setiap

bulan katong minta rujukan di dokter yang BPJS. Jadi ambil obat gratis”(P1.299-304).

P2: “Seng jauh juga sih.. su biasa. Memang nai

angkot dua kali tapi paling Cuma transport pulang

bale, hitung 20 ribu.. tambah deng uang ambil obat 25

ribu ya tarulah 50 ribu 1 bulan. Seng begitu memberatkan sih” (P2.172-175).

P3: “Jarak lumayan jauh.” (P3.145). Tapi

maksudnya perjalanannya kan agak lama tuh. Tapi

maksudnya seng bosan sih karna su biasa setiap bulan pulang bale.” (P3.147-149)

P4: “Mudah.. masih..karna maksunya kan masih

tinggal dalam kota Ambon kan. Dan akses obat tuh

kan hanya 1 pintu saja di Ambon.” (P4.229-230).

P5: “Ya.. Tidak begitu jauh dari sini RSU dan cukup

murah lah. 25 ribu sebulan cukup murah.” (P

(17)

47

4.2.5. Kualitas layanan kesehatan yang di berikan

Dalam ungkapan mengenai pelayanan kesehatan di

klinik VCT-CST tempat para partisipan mengambil obat

ARV partisipan menceritakan pelayanan yang diberikan.

Beberapa partisipan mengungkapkan sikap perawat di

klinik yang ramah dan terbuka dalam berkomunikasi

dengan responden.

P3: “susternya bagus.. maksudnya katong tanya,

katong rasakan apa, katong bicara, katong tanya

tetap antua menjawab. Jadi antua memberikan

masukan ataupun apa yang katong tanyakan antua

tetap menjawab.. maksudnya bicara dengan enak,

nyambung lai gitu.” (P3.134-138).

P5: “Ya.. biasa-biasa saja. Paling datang ambil

obat, gitu.. kalo kemarin kan baru cek up sekali suster

Y suruh to. Cek up ambil darah untuk cek up

semuanya. Dan hasilnya bagus sih. Mereka sangat

ramah ya. Apalagi suster Y tuh ramah skali jadi kita gak canggung.” (P5.224-228).

Partisipan lain menceritakan keterlambatan

pengambilan obat dari partisipan yang tidak begitu

ditanggapi oleh perawat di klinik. Selain itu pengobatan di

atas satu tahun yang sudah tidak diingatkan lagi dan di

(18)

48

P1: “Ya seperti biasa kaya misalakan kan kalo

katong ambil obat tuh kan ada kartu obat tuh.. jadi

tanggal bale harus sesuai deng tanggal bale. Kalo

katong terlambat, misalkan 3 hari atau 4 hari nanti

ditanya kenapa terlambat. Katong harus memberikan

alasan to. Cuma itu dari pihak medis maksudnya

suster.. tapi kalo misalkan yang seng datang ambel

kadang-kadang ya itu dong seng ada tanggapan balik

untuk respon untuk telpon macam dong pung niat

untuk dong telepon gitu ke pasien. Jadi orang bilang kaya ada pembiaran” (P1.196-204)

P2: “Pelayanan di klinik.. di Rumah sakit..katong

kan tiap bulan ambil obat, pelayanan bagus,

pengobatan tetap sampe skarang katong masih

ambel. Suster-suster semua baik.

(P2.98-100).“Kamuka yang awal-awal tu sa dong kasi ingat par minum obat musti. Deng paleng kalo beta

terlambat datang 1, 2 hari begitu kan dapa tanya

to”(P2.107-109)

RP: “Ya begitulah.. datang kasi obat la sudah”(P4.253). “Biasa pengobat baru. Kalo baru -baru begitu kan masih ada. Masih harus diawasi kan.

Tapi kalo su pengobatan di atas 1 tahun akang

tindakan Cuma ambil obat saja.”(P4.256-259)

4.3. Pembahasan

Dalam pembahasan ini peneliti akan mendiskusikan

tetang tema yang telah didapatkan dari hasil wawancara

(19)

49

penelitian dilakukan dengan cara membandingkan pada

penelitian sebelumnya.

1. Tanggung jawab dalam keluarga sebagai motivasi

kepatuhan minum obat

Penelitian ini menemukan bahwa adanya rasa

tanggung jawab partisipan terhadap keluarga merupakan

alasan utama bagi partisipan untuk dapat bertahan hidup

dan tidak ingin sakit. Interaksi yang terjalin antara

partisipan dengan pihak anggota keluarga yang telah

mengetahui status partisipan sebagai ODHA mampu

mendorong partisipan untuk patuh dalam menjalani terapi

melalui peran keluarga sebagai pengawas minum obat.

Hal serupa juga pernah dikemukakan Yuniar dan

Lestari (2014) dalam hasil penelitiannya bahwa faktor

yang mendukung ODHA dalam minum obat ARV adalah

faktor keluarga, teman selain itu faktor internal dalam diri

ODHA seperti motivasi diri untuk tetap hidup dan

melakukan aktifitas yang baik.Dalam membahas motivasi

sebagai salah satu faktor kepatuhan, persepsi seseorang

turut memegang peranan penting sebelum melaksanakan

atau memilih suatu tindakan atau pekerjaan. Dalam hal ini

(20)

50

tanggung jawabnya tentu dapat membantu untuk

membentuk persepsi pasien. Hal tersebut yang akan

memunculkan alasan dari sikap kepatuhan pasien sebagai

motivasi.

2. Penerimaan dan peran keluarga sebagai Pengawas

Minum Obat (PMO)

Pada penelitian ini, status para partisipan sebagai

orang dengan HIV/AIDS dapat diterima oleh pihak

keluarga. Keluarga yang mengetahui status tersebut

bahkan turut serta berperan sebagai pengawas minum

obat bagi responden. Dalam penelitiannya Payuk, Arsin &

Abdullah (2012) mengungkapkan bahwa ODHA yang

memiliki kualitas hidup yang baik, berbanding terbalik

dengan ODHA yang mendapatkan dukungan yang kurang.

Dukungan keluarga (orangtua, suami, istri, anak atau

saudara) dapat meningkatkan kepatuhan minum obat ARV

bagi ODHA. Keluarga dalam hal ini bisa berfungsi menjadi

pengawas minum obat. Dukungan dari teman melalui sms

dan telepon untuk mengingatkan jadwal minum obat

memberikan pengaruh dalam meningkatkan kepatuhan

minum obat (Yuniar, 2013).

Dalam pembahasan diatas dapat terlihat betapa

(21)

51

menjalani terapi antiretroviral ini. Oleh sebab itu penilaian

pihak keluarga mengenai status pasien dengan HIV/AIDS

turut memberikan pengaruh selama pengobatan.

Keluarga yang mengetahui dan menerima anggota

keluarganya dengan status HIV/AIDS dapat dilibatkan oleh

pihak petugas kesehatan di klinik sebagai pengawas

minum obat. Hal tersebut dibutuhkan terkait dengan

tingkat kepatuhan yang tinggi untuk mencegah resistensi.

3. Dukungan informasional dan emosional keluarga

dalam mempertahankan kepatuhan minum obat

pasien

Hasil penelitian menunjukan bentuk dukungan

informasional yang didapat partisipanberupa nasehat atau

saran dari keluarga sedangkan dukungan emosional yang

ada tergambar dalam keadaan keluarga yang tidak

mendiskriminasi serta adanya kasih saying dari keluarga

yang membuat partisipan merasa nyaman. Hal yang sama

pernah ditemukan pada penelitian Chakrapani,

velayudham & Shunmugam (2014) di India Selatan yang

mengungkapkan bahwa kurangnya dukungan keluarga

dan ketakutan didiskriminasi merupakan hambatan

(22)

52

Terkait dengan pembahasan di atas dapat dilihat

bahwa proses pengobatan yang harus berlangsung

seumur hidup ini tidak menutup kemungkinan bahwa di

dalamnnya pasien mengalami kejenuhan. Dukungan

informasional dan emosional sebagai bagian dari bentuk

dukungan keluarga diharapkan dapat membantu

mempertahankan kepatuhan minum obat.

4. Ketersediaan stok obat ARVdan akses pelayanan

kesehatan

Ketersediaan obat ARV dari rumah sakit yang

menyediakan sangat penting mengingat kebutuhan ODHA

yang harus mengkonsumsi obat tersebut setiap hari.

Dalam penelitian ini para partisipan mengaku sempat

diberikan obat dengan jumlah yang lebih sedikit dari

biasanya akibat kekurangan stok obat diklinik.Meskipun

demikian akses menuju kIinik tidak menjadi hambatan

untuk partisipan kembali mengambil obat. Hal ini dukung

dengan hasil penelitian Senkonago, Guwatudde, Breda &

Khoshnood (2011) di Uganda yang menemukan bahwa

salah satu alasan ketidakpatuhan terapi ARV disebabkan

pasien kehabisan obat dan tidak ada transportasi ke klinik

(23)

53

Seperti telah diuangkapkan Senkonagi dkk (2011)

pada penelitian diatas yang mendukung hasil penelitian

ini, peneliti juga menyimpulkan bahwa ketersediaan obat

dan akses ke klinik tempat mengambil obat turut

berpengaruh dalam kepatuhan terapi. Hal ini mengingat

obat ARV yang hanya dapat di akses hanya melalui rumah

sakit umum Dr. Haulussy Ambon untuk provinsi Maluku,

banyaknya pasien yang mengikuti pengobatan dan obat

yang harus diminum setiap harinya serta jarak tempuh dan

biaya yang di keluarkan dapat menjadi penghambat bagi

pasien yang memiliki keterbatasan waktu dan keadaan

ekonomi.

5. Kualitas layanan kesehatan yang di berikan

Dalam penyelengaraan layanan kesehatan,

kepuasan layanan merupakan hal yang perlu di perhatikan

karena cukup berpengaruh dalam kepatuhan minum

obat.Penelitian ini menemukan bahwa dalam

penyelengaraan layanan kesehatan yang di berikan

diklinik partisipan dilayani dengan ramah dan komunikasi

yang baik membuat partisipan measa nyaman. Hal

tersebut sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan

oleh Broaddus, Hanna, Schuman & Meier (2015)

(24)

54

petugas kesehatan dalam menanggapi stigma tentang HIV

yang beredar dapat membantu pasien untuk tetap

mengikuti pengobatan.

Hasil tema mengenai kualitas layanan kesehatan ini

dapat disimpulkan peneliti bahwa komunikasi yang baik

dengan pihak yang berwenang (perawat, konselor dan

dokter) di klinik pada setiap kunjungan dapat membantu

mempertahankan kepatuhan minum obat pada pasien.

4.4. Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan pada penelitian ini adalah hanya membahas

mengenai tiga faktor kepatuhanyaitu motivasi, dukungan

keluarga dan pelayanan kesehatanberdasarkan teori

kepatuhan Neven (2012) sehingga peneliti dalam area

penelitian ini diharapkanmengangkat landasan teori yang

Referensi

Dokumen terkait

yang Memengaruhi Kepatuhan Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) dalam Menjalani Terapi Antiretroviral (ARV) di Puskesmas Teladan Kota Medan. Tahun 2016” ini beserta

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa faktor – faktor yang terbukti berpengaruh terhadap kepatuhan terapi ARV pada pasien HIV/AIDS adalah pekerjaan

Dengan HIV/AIDS (ODHA) dalam Menjalani Terapi Antiretroviral (ARV) di Puskesmas Teladan Kota Medan Tahun 2016 ” yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh

The result of study indicated that there is no the influence of knowledge as respondent with obedience primarily in getting therapy ARV (p = 0.169), there is influence of

Untuk mengetahui pengaruh faktor pendukung (ketersediaan sarana dan fasilitas kesehatan, lingkungan) terhadap kepatuhan dalam menjalani terapi antiretroviral di

Menurut Kementerian Kesehatan RI, 2011 pedoman orang dewasa untuk memulai terapi antiretroviral perlu dilakukan pemeriksaan jumlah CD4 (bila tersedia) dan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa faktor – faktor yang terbukti berpengaruh terhadap kepatuhan terapi ARV pada pasien HIV/AIDS adalah pekerjaan

Hasil penelitian Hovarth (2014) juga menunjukkan bahwa untuk membuat pasien patuh dalam minum obat ARV maka ODHA harus memiliki informasi yang relevan,