• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan IL-10 Dengan Gastritis H.pylori Dan Non H.Pylori

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan IL-10 Dengan Gastritis H.pylori Dan Non H.Pylori"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Gastritis

Secara sederhana definisi gastritis adalah proses inflamasi pada mukosa dan

submukosa lambung secara histopatologi. Sedangkan definisi lain dari gastritis adalah

proses inflamasi pada mukosa dan submukosa lambung sebagai respon terhadap jejas

(injury) yang dapat bersifat akut maupun kronik.1,15

Mukosa lambung terdiri dari sel-sel yang memproduksi asam dan enzim. Asam

dan enzim ini akan berperan dalam pencernaan makanan, sedangkan mukus berperan

dalam melindungi mukosa lambung dari asam. Ketika mukosa mengalami inflamasi,

maka produksi asam, enzim dan mukus akan terganggu. Gastritis merupakan gangguan

kemerahan pada mukosa yang nampak pada saat pemeriksaan endoskopi dan tidak bisa

mengantikan istilah dispepsia. Sampai saat ini masih belum jelas hubungan antara

gambaran mikroskopi (histopatologi) dengan keluhan pada lambung. Hubungan antara

gambaran mikroskopi dengan endoskopi juga tidak konsisten. Pada kebanyakan pasien

dengan gambaran gastritis pada pemeriksaan PA sering tidak meunjukkan kelainan saat

endoskopi . 16

2.2Epidemiologi Gastritis

Gastritis merupakan masalah kesehatan yang umum ditemui dalam pelayanan

klinis. Sekitar 10% kunjungan pada unit gawat darurat merupakan kasus gastritis.

Berdasarkan penelitian WHO (Word Health Organization) dilaporkan prevalensi gastritis

dibeberapa negara sebagai berikut : Inggris 22%,China 31%, Jepang 14,5%, Kanada 35%

dan Perancis 29,5%. Sekitar 1,8-2,1 juta penduduk mengalami gastritis setiap

tahunnya.17,18

Angka kejadian gastritis di Indonesia menurut WHO adalah 40,8% dan

merupakan salah satu dari sepuluh penyakit terbanyak pada pasien rawat inap di rumah

(2)

23 2.3Etiologi Gastritis

Terdapat beberapa penyebab gastritis diantaranya infeksi kuman Heliobacter

pylori (H.pylori) ; gangguan fungsi sistem imun ; infeksi virus seperti : enteric rotavirus, calicivirus dan cytomegalovirus ; infeksi jamur seperti : candida species, histoplasma capsulatum dan mukonacea serta obat anti inflamasi nonsteroid, konsumsi alkohol, usia,

stress oleh karena trauma, tindakan operatif, luka bakar, dll.15

Infeksi kuman H.pylori merupakan penyebab gastritis yang sangat penting.

Prevalensi infeksi H.pylori pada orang dewasa di negara berkembang ± 90%. Di

Indonesia, prevalensi kuman H.pylori yang dinilai melalui pemeriksaan urea breath test

pada pasien dispepsia menunjukkan jumlah yang menurun .15

Gastritis dapat muncul secara tiba-tiba (gastritis akut) ataupun membutuhkan

waktu yang lama (gastritis kronik). Gastritis akut adalah proses inflamasi akut pada

mukosa lambung biasanya berupa kondisi erosi dan hemorgik. Penyebab yang paling

sering diantaranya Non Steroid Anti Inflammatory Drugs (NSAIDs), kortikosteroid,

paparan zat kimia berupa alkohol, kondisi stress seperti luka bakar berat, myocard

infarction, lesi intrakaranial dan periode postoperatif, kemoterapi dan iskemia. Secara endoskopi berupa hiperemis mukosa dengan erosi multipel, kecil dan superfisial serta

dapat juga ditemukan ulkus. Secara mikroskopi dapat ditemukan epitel superfisial injury

dan nekrosis pada kelenjar superfisial. Perdarahan pada lamina propria dapat ditemukan.

Sel-sel inflamasi dijumpai dalam jumlah kecil, meskipun neutropil lebih dominan. Pada

kasus ringan, pasien biasanya asimptomatik atau hanya memiliki gejala dispepsia ringan.

Pada kasus sedang sampai berat, biasanya pasien dengan nyeri ulu hati, mual, muntah,

hematemesis dan melena. Pada kasus berat, pasien biasanya telah mengalami ulkus yang

dalam dan komplikasi berupa perforasi. 19

Sedangkan gastritis kronik didefinisikan secara histologi berupa peningkatan

jumlah sel limfosit dan sel plasma pada mukosa lambung. Berdasarkan etiologi, gastritis

kronik dikelompokkan menjadi tipe A yaitu berasal dari autoimun, tipe B yaitu berasal

dari infeksi H.pylori dan berapa kasus lain dengan etiologi yang belum jelas. Secara

endoskopi, mukosa menunjukkan gambaran atropi. Sedangkan secara histologi

ditemukan infiltrasi sel limfosit-plasma pada daerah mukosa sel-sel parietal. Neutrofil

jarang ditemukan. Mukosa dapat menunjukkan perubahan ke arah metaplasia intestinal.

Pada stadium akhir, mukosa atropi dan sel-sel parietal tidak ditemukan, namun H. Pylori

(3)

ditemukan berupa : nyeri epigastrium ringan, mual dan tidak nafsu makan. Pemeriksaan

endoskopi perlu dilakukan oleh karena gastritis kronik berisiko terhadap terjadinya ca

gaster. Pasien gastritis tipe A, memiliki kelainan autoimun pada organ lain khususnya penyakit tiroid. 19

Etiologi gastritis oleh Rugge (2011) atas dasar agen yang ditransmisikan yaitu :

kimiawi, fisik, faktor imun, dan idiopatik. Rugge juga membagi etiologi gastritis

berdasarkan 3 bentuk utama antara lain gastritis H.pylori, gastritis kimiawi, dan gastritis

autoimun. Lalu Toljamo (2012) mengelompokkan etiologi gastritis menjadi 3 kelompok

yaitu agen kimiawi, penyakit, dan faktor fisik/mekanik. Adapun Adibi (2014)

menuliskan etiologi gastritis menjadi 2 bagian besar yaitu gastritis H. pylori dan gastritis

non H. pylori.20,21

2.3.1 Etiologi Gastritis Berdasarkan Agen yang Ditransmisikan, Kimiawi, Fisik, Imun,

dan Idiopatik

Berikut ditampilkan tabel etiologi gastritis yang ditulis oleh Rugge (2011). 20

Tabel 2.1. .Etiologi Gastritis Berdasarkan Agen yang Ditransmisikan, Kimiawi, Fisik, Imun,

dan Idiopatik 20

Etiologi Agen Etiologi Spesifik Klinis Keterangan

(4)

25

Agen Fisik Radiasi Akut/kronik Non atrofik &

atrofik*

Idiopatik Crohn’s disease

Sarkoidosis

Keterangan: prevalensi : *** tinggi, ** rendah, * sangat rendah

2.3.2 Etiologi Utama

Adibi P menulis ada 2 etiologi utama dari gastritis yaitu gastritis H.pylori dan

gastritis non H.pylori (Adibi, 2014). Berbagai macam penyebab terjadinya gastritis non

H.pylori antara lain:21 1. Gastritis kimiawi

i. Gastritis alkoholik

ii. Gastritis yang diinduksi obat

Obat yang berhubungan dengan gastritis antara lain acarbose, alkohol,

antibiotik (eritromisin oral), bifosfonat, herbal (garlic, ginkgo, saw

(5)

metformin, miglitol, NSAID (termasuk COX-2), opiat, orlistat,

potasium klorida (KCl), teofilin (Loyd et al., 2011).

iii. Gastritis refluks (empedu atau duodenal juice)

iv. Gastritis kimiawi lainnya

2. Gastritis radiasi

3. Gastritis alergi

4. Gastritis autoimun

5. Bentuk khusus gastritis, gastritis NOS/ unspecified

6. Duodenitis

2.4Klasifikasi Gastritis

Sampai saat ini belum ada klasifikasi gastritis yang dapat diterima secara luas.

Salah satu klasifikasi yang digunakan oleh banyak ahli adalah the Sydney System yang

diperbaharui. Klasifikasi tersebut dapat dilihat pada tabel berikut (Dixon et al,1996):22

Tabel 2. Klasifikasi gastritis kronik berdasakan topograpi, morfologi & etiologi 22

Type of gastritis Etiologic factors Gastritis Synonyms

(6)

27 Noninfectious

Granulomatous

Eosinophilic

Other infectious gastritides

Gluten

Drug(ticlopidine) ? H.Pylori

Crohn,s disease Sarcoidosis

Wegener,s granulomatous and other vasculitides

Foreign substances Idiopatic

Food sensitivity?other allergies

Bacteria (other than H.pylori) Viruses

Fungi Parasites

opic)

Celiac disease-associated

Isolated granulamatous Alergic Phiegmoncus

Gastritis dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu berdasarkan atas ada tidaknya

atropi dan distribusi topografi dari atropi. Atropi yaitu tidak ditemukannya kelenjar pada

mukosa atau terdapatnya fibrosis atau proliferasi fibromuskular atau hilangnya mukosa

normal dan digantikan dengan intestinal metaplasia. Kelompok besar ini seperti terlihat

pada gambar berikut (Dixon et al, 1994):22

(7)

Beberapa klasifikasi lain dari gastritis yaitu : klasifikasi berdasarkan infiltrat

inflamasi yang membagi menjadi akut dan kronik; klasifikasi secara makroskopis yang

membagi menjadi gastritis erosiva dan non erosiva; klasifikasi berdasarkan endoskopi

yang membagi menjadi gastritis komplit, inkomplit, dan erosif hemoragik; serta

klasifikasi menurut ICD-10.22

2.4.1 Klasifikasi secara Histopatologis

Penelitian pemetaan dari sejumlah spesimen biopsi dengan H.pylori positif

ditemukan dari pemeriksaan empat spesimen (dua daerah antrum dan dua daerah corpus).

Kedua lokasi ini memiliki probabilitas H.pylori yang tinggi. Biopsi daerah corpus

berfungsi untuk menilai respon terapi setelah pengobatan khususnya proton pump

inhibitor. Biopsi pada corpus penting untuk menilai pattern gastritis yang berimplikasi penting dalam menilai risiko yang berhubungan dengan penyakit. Biopsi di incisura

angularis penting untuk menilai atropi dan intestinal metaplasia serta merupakan daerah yang juga sering mengalami premalignan displasia. Ketiga regio ini merupakan regio yng

dianjurkan untuk histologi. Berikut ini merupakan gambar sisi pengambilan spesimen

biopsi (Dixon et al., 1996):22

Gambar 22. Skema daerah yang direkomendasikan untuk biopsi. Satu spesimen harus berasal dari daerah curvatura minor (A1) dan curvatura mayor (A2) daerah antrum yauitu kedua duanya berjarak 2-3 cm dari pylorus ; dari curvatura minor corpus sekitar 4 cm proximal dari angulus (B1); bagian tengah corpus dari curvatura mayor, sekitar 8 cm dari cardia (B2); dan dari insisura angularis (IA). 22

Sistem diagnosis gastritis yang dikembangkan sekarang adalah gabungan antara

temuan endoskopi dan histologis yang dikenal dengan nama Sydney System. Klasifikasi

Sydney dari gastritis per endoskopi bertujuan untuk menstandarisasi laporan klasifikasi gastritis per endoskopi berdasarkan tampilan mukosa seperti edema, punctuate and

(8)

29 intramural bleeding spots, dan coarse nodularity. Semua hasil endoskopi dilaporkan termasuk penilaian subjektif dari tingkat keparahan seperti ringan, sedang, berat, lalu

diklasifikasikan ke salah satu dari 8 kategori yaitu gastritis superfisial, gastritis

hemoragik, gastritis erosiva, gastritis verukosa, gastritis atrofik, gastritis metaplastik,

gastritis hiperplastik, dan gastritis khusus .23

2.4.2 Klasifikasi secara Makroskopis

Klasifikasi ini membagi gastritis menjadi gastritis erosiva dan gastritis non

erosiva. Gastritis erosiva merupakan erosi mukosa gaster disebabkan kerusakan/ defek

pertahanan mukosa. Umumnya bersifat akut, bisa dengan perdarahan, namun bisa

bersifat subakut atau kronik dengan sedikit gejala atau asimtomatis. Paling sering

disebabkan oleh NSAID, alkohol, stres. Penyebab lain yang jarang seperti radiasi, infeksi

virus, injuri vaskular, dan trauma langsung. Erosi superfisial dan lesi mukosa punktata

bisa terjadi. Erosi dalam, ulkus, bahkan perforasi terjadi pada kasus berat atau yang tidak

ditangani. Lesi khas muncul di korpus, tetapi antrum juga bisa terlibat. Ciri khas dari

gastritis erosiva adalah lesi mukosa tidak menembus lapisan mukosa muskularis.

Sementara gastritis non-erosiva mengacu pada kelainan histologis yang terutama akibat

infeksi H.pylori. Kebanyakan pasien gastritis non-erosiva asimtomatis. 24

2.4.3 Klasifikasi Gastritis Berdasarkan Endoskopi

Klasifikasi ini membagi gastritis menjadi gastritis komplit dengan tipe matur

dan imatur, gastritis inkomplit, serta gastritis erosif hemoragik. 25

Tabel 2.3. Klasifikasi gastritis berdasarkan endoskopi 25

Main class Subclass Characteristic features

I Complete Innumerable pinpoint-sized hemorahages on the Mucosal surface

Ia Mature type The surrounding mucosal elevation irreversible due to fibrosis

Ib Immature The bulging border is due to oedema Type

II Incomplete A simple defect of the mucosal layer

Without Reaction to surrondings IIa Erosion located on flat mucosa

IIb Erosion located on the prominent folds of the prepyloric region

III Haemorrhagic Innumerable pinpoint-sized hemorrhages on the Erosive gastritis Mucosal surface with erythrodiapedesis

(9)

2.5Gastritis H.pylori

H.pylori pertama kali ditemukan oleh Robin Warren dan Marshall pada tahun 1983. H.pylori merupakan bakteri gram negatif yang ditemukan pada permukaan epitel

lambung yang menginfeksi sekitar 50% dari populasi umum. H.pylori bersifat

mikroaerofilik, berbentuk batang melengkung, berukuran panjang 1-3 µm dan lebar

0,3-0,6 µm serta berflagella pada satu ujung polenya. Bakteri ini memiliki adaptasi yang

sangat baik pada kondisi asam. H.pylori mengekskresikan urease yang berperan dalam

merubah urea menjadi amonia sehingga pH gaster meningkat. H.pylori juga dapat

menghindari kontak dengan gastric juice yang bersifat asam melalui crossing lapisan

tebal dari mukus dengan menggunakan flagelnya. 26

Epidemiologi H.pylori sekitar 50% populasi di dunia. Di negara barat seperti

USA, prevalensi H.pylori < 30% pada usia < 30 tahun dan > 75% pada usia > 60 tahun.

Di Asia, prevalensi H.pylori sangat tinggi namun jika dihubungkan dengan munculnya

ca gaster berbeda pada masing-masing daerahnya. 26

Infeksi kronik dari H.pylori biasanya menyebabkan atrofi serta metaplasia dan

juga diplasia serta ca gaster. H.pylori dapat menyebabkan ulkus peptikum (70%) dan

ulkus duodeni (90%). Transmisi infeksi H.pylori melalui mulut ke mulut atau feses ke

mulut. 26

Gejala klinis pada gastritis kronik biasanya asimtomatik. Tetapi pada gastritis

akut oleh karena H.pylori biasanya berupa nyeri perut, mual, muntah dan kembali pulih

setelah beberapa hari. Gejala khas gastritis kronik oleh karena H.pylori biasanya nyeri

epigastrium, disertai kram, mual dan muntah. 27,28

Indikasi diagnosis dan terapi dari infeksi H.pylori berdasarkan American

College of Gastroenterology guideline the management of H.pylori dpat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 2.4 Indikasi diagnosis dan terapi H.pylori

Kondisi

Active peptic ulcer disease (gastric or duodenal ulcer)

Riwayat penyakit peptic ulcer ( tidak pernah diobati untuk H.pylori) Gastric Malt lymphoma (low grade)

• Setelah reseksi gaster oleh karena kanker gaster stadium awal • Uninvestigative dyspepsia ( prevalensi H.pylori tinggi) Kontroversi

Nonulcer dyspepsia

(10)

31 • Pengguna Nonsteroidal Antiinflammatory Drugs

• Anemia Defisiensi Besi

• Populasi yang memilik risiko tinggi Ca gaster

Nonulcer dyspepsia (Functional dyspepsia) merupakan kontroversi oleh karena pemeriksaan dan terapi H.pylori bergantung secara individu meliputi : usia, riwayat

penggunaan NSAID, malignansi lambung ( suku, riwayat keluarga men derita kanker

lambung). Sedangkan GERD tidak direkomendasikan untuk diagnostik dan terapi

H.pylori langsung oleh karena terdapat pendapat yang menyatakan terjadi perburukan atau perbaikan GERD pada terapi H.pylori. Pada pengguna NSAID, diagnostik dan

terapi H.pylori didasarkan pada hasil yang diperoleh. Pada anemia defisiensi besi,

penurunan jumlah besi biasanya disebabkan oleh karena H.pylori biasanya menyebabkan

pangastritis sehingga terjadi kondisi achlorhydria dan sekresi asam ascorbat menurun dan

berefek terhadap penurunan absorbsi zat besi. Selain itu juga biasanya disertai dengan

occult bleeding oleh karena gastritis erosiva dan pnggunaan zat besi yang meningkat oleh H.pylori. Namun dari beberapa penelitian dilaporkan bahwa tidak terdapat hubungan sebab akibat antara H.pylori dengan anemia defisiensi besi. Pada populasi yang memiliki

risiko tinggi terhadap H.pylori masih terdapat kontroversi diagnostik dan terapi H.pylori.

29

Metode diagnostik untuk mendeteksi kuman H.pylori dibagi menjadi

pemeriksaan invasif dan pemeriksaan non invasif. Beberapa metode telah dikembangkan

untuk mendeteksi keberadaan infeksi kuman H. pylori, yang dapat dilihat pada tabel di

bawah ini.28,29

(11)

Selain tabel di atas, terdapat keuntungan dan kerugian dari penggunaan masing-masing

test untuk diagnostik H.pylori. Keuntungan dan kerugian tersebut dapat dilihat pada tabel

berikut :

Tabel 2.6 Keuntungan dan kerugian test H.pylori 29

Test endoskopi Keuntungan Kerugian

1. Histologi

2. Rapid Urease Test

3. Kultur

4. Polimerase Chain Reaction

1. Antibody testing (quantitative & qualitative)

2. Urea Breath Test (13C dan 14C)

3. Faecal antigent test

Murah, tersedia, NPV baik

Identifikasi aktif H.pylori, NPV &PPV

baik, berguna pada pre& post terapi

Identifikasi aktif H.pylori, NPV &PPV

baik, berguna pada pre& post terapi

Poliklonal test lebih baik dibandingkan UBT, tidak nyaman

H.pylori dapat dideteksi dari endoskopi melalui histologi, kultur, maupun tes urease, dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Semua metode berbasis biopsi tersebut

dapat mengalami kesalahan pengambilan sampel karena infeksi tersebut bersifat patchy.

Sekitar 14% pasien tidak mengalami infeksi di antrum namun memiliki H.pylori di suatu

tempat di lambung, terutama jika pasien tersebut mengalami atrofi gaster, metaplasia

intestinal, ataupun refluks empedu. Selain itu, pasca-eradikasi dengan efektivitas parsial,

(12)

33 menimbulkan overestimasi efikasi eradikasi dan tingkat reinfeksi. Penghambat pompa proton

mempengaruhi pola kolonisasi H.pylori di lambung dan mengurangi akurasi biopsi di antrum.

Oleh karena itu, pedoman konsensus merekomendasikan untuk dilakukan biopsi multipel dari

antrum dan korpus untuk histologi dan satu untuk metode lain (baik kultur maupun

pemeriksaan urease). 39

2.5.1 Pemeriksaan invasif

1. Histologi. Meskipun H.pylori dapat dikenali dari bagian yang diwarnai dengan

hematoksilin dan eosin saja, dibutuhkan pengecatan tambahan (seperti Giemsa, Genta,

Gimenez, perak Warthin-Starry, violet Creosyl) untuk mendeteksi infeksi dalam kadar rendah

dan untuk menunjukkan karakteristik morfologi H.pylori. Keuntungan pemeriksaan secara

histologi selain dapat disimpan, irisan dari biopsi dapat diperiksa kapanpun; dan adanya

gastritis, atrofi, ataupun metaplasia intestinal dapat pula diperiksa. Spesimen biopsi dari

bagian lain lambung dapat disimpan dalam formalin untuk diproses hanya jika histologi

antrum tidak dapat disimpulkan. 39

2. Kultur. Isolasi mikrobiologi adalah baku emas teoritis untuk identifikasi infeksi bakteri,

namun kultur H.pylori kurang dapat dipercaya. Risiko pertumbuhan berlebih maupun

kontaminasi membuatnya kurang sensitif, dan metode ini adalah metode yang paling tidak

mudah dikerjakan bersama endoskopi. Meskipun hanya sedikit pusat kesehatan yang secara

rutin menawarkan isolasi mikrobiologis H.pylori, prevalensi strain multiresisten membuat

metode kultur dan uji sensitivitas terhadap antibiotik menjadi persyaratan bagi pasien dengan

infeksi persisten dengan kegagalan terapi.39

3. Uji urease. Metode ini bersifat cepat dan sederhana untuk deteksi infeksi H.pylori namun

hanya menunjukkan ada atau tidaknya infeksi. Pemeriksaan CLO dan pemeriksaan urease

yang lebih murah ternyata memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang serupa. Namun,

sensitivitas pemeriksaan urease seringkali lebih tinggi dibanding metode berbasis biopsi

karena seluruh spesimen biopsi ditempatkan di dalam media sehingga dapat menghindari

sampel tambahan ataupun kesalahan proses terkait histologi maupun kultur. Sensitivitas

pemeriksaan urease biopsi terlihat jauh lebih rendah (sekitar 60%) pada pasien dengan

perdarahan saluran cerna atas. Namun kondisi tersebut dapat diperbaiki dengan menempatkan

(13)

2.5.2 Pemeriksaan non-invasif

1. Serologi. Infeksi H.pylori menimbulkan respon mukosa lokal dan antibodi sistemik.

Antibodi IgG terhadap H.pylori dalam sirkulasi dapat dideteksi melalui antibodi enzyme

linked immunosorbent assay (ELISA) atau uji aglutinasi lateks. Pemeriksaan tersebut

umumnya sederhana, reprodusibel, tidak mahal, dan dapat dilakukan terhadap sampel yang

disimpan. Metode ini banyak digunakan dalam studi epidemiologi, termasuk studi

retrospektif untuk menentukan prevalensi maupun insiden infeksi. Individu sangat bervariasi

terkait respon antibodi terhadap antigen H.pylori, dan tidak ada antigen yang sama yang

dapat dikenali melalui serum dari semua subyek. Oleh karena itu akurasi pemeriksaan

serologis bergantung kepada antigen yang digunakan sehingga penting untuk melakukan

validasi lokal terhadap ELISA H.pylori. Pada orang tua dengan infeksi yang telah

berlangsung lama, gastritis atrofi dikaitkan dengan hasil negatif palsu. Konsumsi obat

anti-inflamasi non-steroid juga dilaporkan mempengaruhi akurasi ELISA. Titer antibodi turun

secara perlahan pasca-keberhasilan eradikasi sehingga serologi tidak dapat digunakan untuk

menentukan eradikasi H.pylori ataupun untuk menentukan tingkat reinfeksi. Meskipun titer

antibodi IgM terhadap H.pylori menurun seiring bertambahnya usia, tidak ada assay yang

menunjukkan akuisisi baru. Karena infeksi ini biasanya asimtomatik, sulit untuk

mengidentifikasi dan menegakkan jalur transmisi. Keuntungan metode serologi adalah

perkembangan uji finger prick yang menggunakan assay fase solid terfiksir untuk mendeteksi

adanya imunoglobulin H.pylori. Near patient test (NPT) dapat dilakukan di pusat kesehatan

primer dan lebih sederhana dibanding 13C-urea breath test yang merupakan satu-satunya NPT yang digunakan saat ini. Namun akurasi NPT serologis lebih rendah dibanding yang

dilaporkan untuk pemeriksaan ELISA standar menggunakan preparat antigen yang sama.

Pemeriksaan ini sering digunakan untuk menenangkan pasien, namun saat ini belum ada studi

yang membandingkan akurasi, efektivitas biaya, dan nilai jaminan dari 13C-urea breath test dengan NPT serologis di pusat kesehatan primer.39

2. Urea breath test (UBT). Deteksi non-invasif terhadap H. pylori melalui uji 13C-urea breath test memiliki prinsip dasar yaitu larutan yang dilabel urea dengan karbon-13 akan dihidrolisasi secara cepat di sepanjang mukosa lambung dan melalui sirkulasi sistemik,

diekskresikan sebagai 13CO2 dalam udara ekspirasi. Pemeriksaan ini mendeteksi infeksi saat

(14)

35 eradikasi, dan mendeteksi infeksi pada anak. Pemeriksaan 14C-urea breath test mirip dengan

13

C-urea breath test namun bersifat radioaktif dan tidak dapat dilakukan di pusat kesehatan primer. 39

3. Faecal antigen test. Dalam pemeriksaan antigen di feses, ELISA sandwich sederhana

digunakan untuk mendeteksi keberadaan antigen H. pylori yang terbungkus feses. Studi

melaporkan sensitivitas dan spesifisitas yang mirip dengan 13C-urea breath test (>90%), dan teknik ini berpotensi untuk dikembangkan sebagai NPT. Keutungan utama dari pemeriksaan

ini adalah dalam studi epidemiologi berskala besar terhadap akuisisi H. pylori pada anak.39

2.6 Patofisiologi

2.6.1 Patofisiologi Gastritis secara Umum

Terjadinya gastritis secara umum karena ketidakseimbangan faktor agresif dan

defensif, di mana faktor agresif lebih dominan daripada faktor defensif. Yang termasuk

faktor agresif antara lain asam lambung, pepsin, refluks bilier, nikotin, alkohol, NSAID,

kortikosteroid, H.pylori, dan adanya radikal bebas. Yang termasuk faktor defensif antara

lain mikrosirkulasi mukosa, sel epitel permukaan, prostaglandin, fosfolipid, mukus,

bikarbonat, dan motilitas saluran pencernaan. 30

Gambar 2.3. Patofisiologi gastritis 31

Keterangan : (A) mukosa gaster normal akibat adanya keseimbangan antara faktor agresif dan pertahanan mukosa. (B) pembentukan ulkus gaster karena ketidakseimbangan faktor agresif dan faktor pertahanan mukosa.

(15)

2.6.2 Patofisologi Gastritis H.Pylori

H.pylori memiliki efek stimulasi terhadap respon non spesifik dan spesifik. Kolonisasi H.pylori pada mukosa gaster akan merangsang sistem imun non spesifik

berupa aktivasi proinflamasi dan faktor antibakterial dari sel epitel gaster. H.pylori juga

menstimulasi sistem imun spesifik yaitu selluler dan humoral. Meskipun demikian sangat

sulit untuk mengeliminasi H.pylori dari mukosa gaster dan biasanya infeksi H.pylori

menetap (persisten). Hal ini disebabkan H.pylori memiliki kemampuan untuk

mempengaruhi respon imun untuk menghindari eliminasi serta menurunkan regulasi

kerusakan jaringan. Respon H.pylori terhadap sistem imun humoral yaitu menstimulasi

terbentuknya antibodi yaitu IgA dan IgG. Namun efek antibodi ini masih kontroversi

yaitu melindungi sedangkan dari laporan lainnya menyebakan persistensi kolonisasi dan

menghambat efek perlindungan. Sel T memiliki efek dominan dalam sistem imun H.pylori. Sel Th1 memproduksi IFN-γ dan akan menyebabkan munculnya proinflamasi lain seperti : TNF-α, IL-12 dan IL-18.31

H.pylori tinggal di lapisan mukus yang melapisi epitel gaster. H.pylori mensekresikan faktor-faktor, peptida, dan lipopolisakarida yang bersifat kemotaktik

terhadap neutrofil dan monosit. In vivo, infeksi H.pylori di mukosa gaster menginduksi

produksi sitokin-sitokin IL-1β, IL-6, IL-8 dan TNF-α. IL-1 atau TNF-α saja, maupun

TNF-α bersinergis dengan IFN-γ menginduksi produksi IL-8 di sel gaster. Peningkatan

produksi IL-8 bisa disebabkan infeksi H.pylori maupun sekunder dari peningkatan kadar

IL-1 atau TNF-α. Produksi IL-8 oleh sel epitel gaster berkepanjangan dapat

menyebabkan rekruitmen neutrofil dan limfosit ke jaringan yang terinfeksi.24

(16)

37 H.pylori menginduksi sitokin-sitokin proinflamasi seperti IL-1β, IL-6, TNF-α, IL -8 melalui aktivasi NF-κB. Respons inflamasi yang terjadi menyebabkan Treg

mensekresikan sitokin imunosupresif, yang mempertahankan kadar H.pylori dalam

mukosa gaster. Peran Treg dalam memodulasi respon imun pejamu selama infeksi

H.pylori telah beberapa kali dipikirkan. Treg adalah subset dari sel T yang mensupresi

respon imun pejamu dan berhubungan dengan kanker. Sel T khusus tersebut

mengekspresikan marker seperti CD4, CD25, dan FoxP3. Treg meningkatkan toleransi

terhadap antigen diri sendiri dan pada saat bersamaan memfasilitasi pertumbuhan tumor

melalui imunosupresi. Beberapa studi menyebutkan peningkatan dari TH1, TH2, Treg,

mengindikasikan keseimbangan imunomodulasi pejamu untuk inflamasi. Infeksi

H.pylori memiliki respon TH1 yang kuat yang dimediasi oleh sitokin TH1 termasuk IFN-γ, IL-12, TNF-α, dll. Kondisi inflamasi ini diseimbangkan dengan IL-10 dari Treg untuk menyebabkan infeksi kronik dengan imunosupresi parsial. 32

(17)

2.7 Hubungan Sitokin Inflamasi dengan Gastritis

2.7.1 Sitokin Inflamasi terhadap Gastritis non H .pylori

Kadar serum sitokin seperti IL-6, TNF-α, IL-1β, dan IFN-γ pada pasien yang

mengalami inflamasi lebih tinggi daripada individu normal. Penurunan kadar IL-6 dan

TNF-α merupakan petunjuk terjadinya perbaikan inflamasi. IL-6 disekresikan oleh sel T

dan makrofag untuk menstimulasi respons imun terutama selama ada kerusakan jaringan

yang menyebabkan terjadinya inflamasi. IL-6 juga berperan dalam melawan infeksi. TNF-α merupakan sitokin yang terlibat dalam inflamasi sistemik dan termasuk kelompok sitokin yang menstimulasi reaksi akut. TNF-α menginduksi apoptosis dan inflamasi. IL-6 dan TNF-α berperan dalam lesi di lambung. 14

Injuri gaster akibat kimiawi seperti NSAID bisa menyebabkan peningkatan ekspresi mediator inflamasi seperti TNF-α, IL-1β, maupun IL-8. Penelitian Lee et al (2012) pada tikus menemukan pemberian indometasin secara signifikan meningkatkan

ekspresi TNF-α, IL-1β, IL-8 pada sel epitel gaster. Hal ini mengkonfirmasi mediator

inflamasi berperan dalam kerusakan sel epitel gaster akibat indometasin. Menurut

Tanigawa et al (2009), pemberian PPI bisa menurunkan produksi TNF-α dan IL-1β. Jadi

PPI memiliki efek anti inflamasi dengan menekan secara langsung induksi TNF-α dan

IL-1β melalui inhibisi NF-κB dan aktivasi ERK pada sel-sel inflamasi. Penelitian

Tanigawa et al (2009) dan Lee et al (2012) mengkonfirmasi bahwa pada erosi gaster

terjadi peningkatan sitokin-sitokin inflamasi. 12,13

Gastritis kimiawi/gastropati seperti NSAID memiliki berbagai patogenesis/

mekanisme yang menyebabkan cedera seperti inhibisi prostaglandin, efek toksik

langsung dari NSAID, dan stimulasi sitokin proinflamasi seperti TNF-α, IL-1β, IL-6,

IL-8, IFN-γ dan infiltrasi sel-sel inflamasi di lamina propria yang menyebabkan penurunan

aliran darah mukosa, hipoksia, dan penurunan pertahanan mukosa. 15,33

Pada percobaan terhadap model tikus yang terkena gastritis akibat diinduksi oleh

HCl/etanol, terjadi peningkatan kadar serum dari IL-6 dan TNF-α. Adanya penurunan

sitokin proinflamasi ini setelah mendapatkan gastroprotektor. 14

(18)

39 inflamasi jaringan gaster. Peningkatan IL-10 sebagai sitokin antiinflamasi guna menekan

inflamasi di gaster. 34

Naito et al dan Jainu et al melaporkan bahwa inflamasi gaster mukosa akibat

aspirin akibat peningkatan produksi TNF-α dan IL-1 yang berdampak pada akumulasi

neutrofil. 35,36

Iskemia pun menginduksi lesi gaster, kemungkinan akibat banyak pembentukan radikal bebas, tetapi peranan sitokin proinflamasi seperti IL-1β dan TNF-α dalam proses penyembuhan lesi ini belum dipelajari mendalam. Konturek et al melakukan percobaan

pada tikus menemukan bahwa lesi gaster dimediasi oleh pembentukan radikal bebas,

menyebabkan supresi mikrosirkulasi gaster dan aktivitas sekresi dari gaster. Serta terjadi peningkatan superoksida dismutase dan pelepasan IL-1β dan TNF-α bisa mengaktivasi ekspresi ICAM-1 dan infiltrasi neutrofil, yang berperan penting dalam progresivitas

iskemia yang menginduksi erosi gaster akut menjadi ulkus kronis. 37

2.7.2 Sitokin Inflamasi terhadap Gastritis H.pylori

H. pylori yang menginfeksi kurang lebih 50% penduduk di seluruh dunia, yang

menyebabkan inflamasi lambung kronis yang akan menjadi atrofi, metaplasia, displasia

dan akhirnya kanker lambung. 4

Inflamasi kronis tersebut melibatkan netrofil, limfosit (sel T dan B), sel plasma,

dan makrofag, sesuai dengan tingkat degenerasi dan kerusakan selnya. Mekanisme

inflamasi lainnya melalui kontak langsung dengan sel epitel lambung dan merangsang

pembentukan serta pelepasan sitokin inflamasi. Adanya inflamasi karena H pylori dapat

ditunjukkan dengan peningkatan IL-1β, IL-2, IL-6, IL-8 dan TNF-α . 38

Inflamasi lambung ditemukan bervariasi pada pasien yang terinfeksi dengan H

pylori tergantung dari respon imun pejamu terhadap organisme. Mekanisme inflamasi terhadap infeksi H pylori melibatkan respon imun spesifik dan imun non spesifik, seperti

terlihat pada gambar di bawah ini. Proses tersebut juga akan menimbulkan keluarnya

mediator sitokin, pada gastritis karena H pylori, seperti pada tabel di bawah. 39

Tabel 2.7 Sitokin yang dihasilkan sebagai implikasi dari gastritis H.pylori 40

Mediator Usual actions Cytokines

TNFα Pro-inflamatory (activation of leukocytes) IL-1αβ Pro-inflamatory (activation of leukocytes)

IL-6 Pro-inflamatory, B- and T-cell activation/differentiation IL-7 T- and B-cell regulation

(19)

IL-12 Stimulation of Th 1 response

IFN-γ Pro-inflamatory, especially cellular immunity GM-CSF Pro-inflamatory, maturation factor

Chemokines

IL-8 Nuetrophil recruitment and activation GRO-α Nuetrophil recruitment and activation RANTES Mononuclear cell recruitment and activation MIP-1α Mononuclear cell recruitment and activation

Gambar 2.6. Inflamasi yang berhubungan dengan H. Pylori. 39

TNF-α berperan untuk meningkatkan reaksi inflamasi dan diyakini berperan

penting dalam kerusakan mukosa gaster akibat H.pylori. TNF-α menyebabkan kaskade

inflamasi terhadap infeksi, respons inflamasi berlebihan di mukosa gaster yang

berhubungan dengan inhibisi sekresi asam lambung dan kerentanan yang lebih tinggi

terhadap Ca gaster.40

(20)

41 neutrofil, di mana makin tinggi kadar sitokin sebanding dengan peningkatan derajat

inflamasi dan aktivitas neutrofil. 8

Sementara IL-10 yang merupakan sitokin anti inflamasi dapat mengurangi

inflamasi dan efek sitotoksik dari sitokin-sitokin proinflamasi. Lebih lanjut IL-10 dapat

menghambat perlengketan monosit ke sel endotel. IL-10 diketahui bekerja menurunkan

aktivitas sel imun dan inflamasi seperti sel T dan neutrofil. Semua data ini menunjukkan

IL-10 potensial menekan inflamasi dan mendukung kolonisasi H.pylori yang lebih lama

pada mukosa gaster.8.26,40

2.8. Interleukin-10

2.8.1 Definisi Interleukin 10

IL-10 merupakan sitokin imunoregulator yang poten dan bersirkulasi sebagai

homodimer yang terdiri dari 160 protein asam amino. IL-10 ini terletak pada kromosom

manusia 1q31-32. IL-10 pertama kali dikenal sebagai cytokine synthesis inhibiting factor

(CSIF) oleh karena dapat menekan sintesis sitokin pada sel T tertentu. IL-10 merupakan

anggota dari keluarga sitokin IL-10 yang terdiri dari IL-19, IL-20, IL-22, IL-24, IL-26,

IL-28 dan IL-9. 26

IL-10 diproduksi oleh banyak sel diantaranya sel B, sel T khususnya Tregs (T cell

regulatory), monosit dan makrofak serta sel dendritik, tetapi tidak diproduksi oleh sel-sel epitel. Sebuah penelitian yang meneliti tentang defisiensi IL-10 pada tikus menyebutkan

bahwa Tregs merupakan sumber penting dalam produksi IL-10. Pada awalnya hanya T

helper (Th)2 yang dapat memproduksi IL-10, namun pada saat-saat ini Th 1 juga dilaporkan dapat menghasilkan IL-10. Dendritic Cell (DC) yang diaktivasi oleh H.pylori

akan memproduksi sejumlah sitokin diantaranya TNF-α, IL-1β, IL-6, IL-8, IL-10, IL-12

dan IL-23. TNF-α merupakan sitokin tertinggi yang diproduksi yaitu 1000-2000 kali

lipat dibanding nilai basal, sedangkan IL-6 kenaikan 1000 kali lipat, IL-10 mengalami

kenaikan 200-400 kali lipat, IL-8 mengalami kenaikan 10 kali lipat dan IL-1β 150 kali

lipat. 41,42

IL-10 yang disekresikan oleh Tregs merupakan senyawa yang penting dalam

mencegah penyakit pada saluran gastrointestinal. Sebuah penelitian juga menyebutkan

bahwa terdapat banyak IL-10 pada intra epitel limfosit pada usus halus dan limfosit

lamina propria pada kolon setelah stimulasi sel T reseptor. Kulberg dkk, melaporkan

(21)

IL-10 juga dapat mengontrol inflamasi dan mencegah terbentuknya antigen usus dan

kerusakan epitel usus pada kolitis ulseratif. IL-10 dengan kadar tinggi merupakan

prognosis yang rendah dari Ca gaster. 26

2.8.2. Mekanisme kerja Interleukin 10

Mekanisme kerja utama 10 adalah menekan inflamasi dan regulasi sel T.

IL-10 dapat secara spesifik menekan produksi IFN-Y dan IL-2 melalui Th1. Th1

merupakan sumber utama dari IFN-Y, yang bersifat mengaktivasi monosit dan

menginhibisi proliferasi Th2. Melalui penekanan terhadap IFN-Y, IL-10 membantu

memelihara polarisasi sel T helper pada Th2. IL-10 juga dapat menghambat produksi

IFN-Y melalui sel Natural Killer (NK) dan menghambat aktivasi NF-Kb. Faktor-faktor

transkripsi ini mengontrol proinflamasi dan gen antiapototik yang berperan penting

dalam terjadinya inflamasi akut atau kronik. Melalui blokade aktivasi NF-Kb, IL-10

menginhibisi IL-1 dalam menginduksi sintesis COX-2 dan ekspresi COX-2 pada

neutrofil. IL-10 juga dapat menghambat perlekatan monosit dengan sel-sel endotel.

Disisi lain, IL-10 menunjukkan imunostimulator pada sel B dan sel endotel. IL-10 dapat

mempengaruhi fungsi sel mast dan secara signifikan memperluas aktivitas pertumbuhan

faktor stem sel pada sel ini. Berikut ini merupakan tabel yang berisikan beberapa faktor

yang diregulasi oleh NF-kB sebagai respon terhadap H. pylori . 26

Peranan yang luas dari IL-10 pada penyakit-penyakit infeksi, termasuk infeksi

H.pylori, memiliki dua gambaran utama yaitu sebagai pencegah berkembangnya lesi-lesi imunopatologi yang merupakan dampak dari respon imun protektif yang mengalami

eksarsebasi, sedangkan di sisi lain IL-10 berperan dalam timbulnya persistensi patogen

dengan cara mempengaruhi sistem imun alamiah dan adaptif. 3

Tabel 2.8. Beberapa faktor yang diregulasi oleh NF-kB sebagai respon terhadap infeksi

H.pylori . 26

H.pylory-induced

Host factors regulated by

NF-kB activation

Role References

IL-8 Chemotaxis for neurotrophil and lymphocytes

(Chu et all., 2003)

iNOS Enzyme that generates cell damaging NO

(Lim et al., 2001)

(22)

43 synthesis of prostaglandins

hBD-2 Anti-bacterial peptide (Wada et al., 2001)

MMP-9 and -7 Matrix metalloproteinases tumour invasiveness

(Mori et al., 2003;

Wroblewski et al., 2003) IAP and Mel-1 Anti-apoptotic genes (Chang et al., 2004;

Maeda et al., 2002) IL-12p40.TNF-α.

IFN-γ. IL-2.IL-6

Pro-inflammatory cytokines (Lu et al., 2005;

Takesima et al., 2009;

Toyoda et al., 2009) VEGF.HIF-α Angiogenic growth factors (Yeo et al., 2006)

Bax Apoptotic gene (Cha et al., 2009)

PAI-2 Inhibit fibrinolysis (degradation Of blood clots

(Varro et al., 2004)

Ekspresi IL-10 minimal pada jaringan yang normal dan memerlukan pencetus dari

flora patogenik maupun komensal. Induksi IL-10 melibatkan ERK1/2, p38, dan sinyal

NF-κB, dan aktivasi transkripsi melalui promoter dari faktor transkripsi NF-κB dan AP

-1. Mekanisme IL-10 dalam imunoregulasi dan efek stimulasi dapat dilihat pada gambar

berikut : 42,43

(23)

IL-10 dilepaskan oleh sel T sitotoksik untuk menghambat kerja sel NK selama

respons imun terhadap infeksi virus. IL-10 menurunkan ekspresi sitoksin Th1, antigen

MHC kelas II, dan makrofag. IL-10 dapat meningkat masa hidup sel B, proliferasi, dan

produksi antibodi. IL-10 mampu menghambat sintesis sitokin proinflamasi seperti IFN-γ,

IL-2, IL-3, TNF-α, GM-CSF yang diproduksi oleh makrofag dan sel T regulator. IL-10

juga dapat menekan kapasitas presentasi antigen dari APC (Antigen Presenting Cells). Di

satu sisi IL-10 dapat bersifat stimulasi terhadap Th2, sel mast, dan merangsang maturasi

sel B dan produksi antibodi. 42,43

IL-10 secara spesifik menekan produksi IFN-γ dan IL-2 oleh sel Th. IL-10 juga dapat menghambat produksi IFN-γ oleh sel NK dan menghambat aktivasi NF-κB. Melalui blokade aktivasi NF-κB, IL-10 menghambat IL1 yang dimediasi oleh induksi sintesis protein COX-2 dan ekspresi protein COX-2 di neutrofil. Lebih lanjut IL-10 dapat

menghambat perlengketan monosit ke sel endotel. IL-10 diketahui bekerja menurunkan

aktivitas sel imun dan inflamasi seperti sel T dan neutrofil. IL-10 juga diketahui menekan

sekresi IL-8 dan ekspresi molekul adhesi intraseluler-1 (ICAM-1). Semua data ini

menunjukkan IL-10 potensial menekan inflamasi dan mendukung kolonisasi H.pylori

yang lebih lama pada mukosa gaster. Pada model tikus, IL-10 terbukti melindungi dari

perkembangan gastritis berat dan kerusakan mukosa dengan menurunkan H.pylori yang

diinduksi oleh respons Th1. 41,42,43

Sitokin 10 merupakan agen utama dalam memodulasi berbagai penyakit.

IL-10 merupakan supresor alamiah dari reaksi imunologi. Pada penelitian yang dilaporkan

oleh Abdollahi H, et al, tidak terdapat perbedaan level IL-10 pada serum ataupun antrum

dan corpus gaster. Pada beberapa kondisi IL-10 ini tidak terdeteksi pada H.pylori oleh

karena beberapa alasan diantaranya: rendahnya respon sel Th2 terhadap H.pylori ataupun

oleh karena aktivitas yang lemah dari endotoksin LPS (Lipopolisakarida). Disebutkan

juga level serum IL-10 tidak tergantung pada infeksi H.pylori, namun peningkatan IL-10

terjadi pada kasus malignansi pada gaster. 44

2.8.3 Hubungan antara IL-10 dengan gastritis H.pylori

Populasi yang terinfeksi H.pylori memiliki manifestasi yang berbeda-beda

diantaranya ada yang simptomatik dan juga asimptomatik. Belum terdapat penjelasan yang

pasti, namun disangkakan hal ini dipengaruhi beberapa faktor diantaranya : bakteri,

(24)

45 melaporkan bahwa genetik dari host mempengaruhi inflamasi H.pylori serta genetik host juga

mengontrol patogen dari H.pylori yaitu dengan cara memproduksi IL-10.45

H.pylori bertahan secara persisten pada mukosa lambung oleh karena terjadi hasil interaksi lingkungan gaster dengan sistem imun. Faktor dari H.pylori berupa kemampuan

kolonisasi, kemampuan adhesi yang dipengaruhi oleh BabA serta virulen H.pylori lainnya.

Kolonisasi H.pylori menyebabkan rekrutmen sel-sel inflamasi seperti neutrofil, limfosit dan faktor proinflamasi kronik seperti sitokin : IL-1β, IL-6, IL-8,IL-17 dan TNF-α. Faktor virulens dari H.pylori dan Il-1β berkontribusi terhadap terjadinya ulkus peptikum dan metaplasia intestinal.46

Beberapa studi telah menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara IL-10 dengan

gastritis H.pylori yaitu terdapat peningktan IL-10 diantaranya penelitian oleh Holck et al,

2003. Holck et al melaporkan terdapat peningkatan nilai IL-10 pada H.pylori dibandingkan

non H.pylori dan juga terdapat hubungan antara IL-10 dengan skor aktivitas inflamasi,

inflamasi kronik dan bacterial load. 8

Pada Penelitian Goll et al, 2007. Goll et al melaporkan sampel pasien dengan H.pyori

(+) terjadi peningkatan IL-10 sebanyak 6,7 kali dibandingkan dengan pasien non H.pylori .

Menurut Bodger, et al dilaporkan bahwa sekresi IL-10 pada epitel lambung dapat mereduksi

respon imun lokal dalam menghadapi antigen intralumen, IL-10 juga berperan dalam

(25)

2.9.

Kerangka Teori

Gambar 2.8. Kerangka Teori

Pasien Abdominal Discomfort

Dispepsia

Gastritis

Endoskopi: mukosa mengalami edema, eritema (spotted, patchy, linear) /eksudat/ perdarahan/ erosif.

Biopsi

CLO test: gel tetapkuning (negatif) / berubah warna menjadi merah (positif)

Histopatologi: Dinilai derajat infiltrasi limfosit, neutrofil, atrofi, dan metaplasia intestinal. Skor 0-3 (ringan, sedang, berat) menurut system Sydney.

Hubungan IL-10 pada gastritis H. pylori (+) Hubungan IL-10 pada gastritis H. pylori (-) Wawancara PADYQ: kuesioner dengan 11 pertanyaan yang mengevaluasi gejala nyeri epigastrium, mual, muntah, perut kembung, dan

early satiation. Gejala nyeri epigastrium, mual,

perut kembung bagian atas dinilai intensitas, durasi, dan frekuensi; sementara muntah dan

early satiationdinilai frekuensi. Skor > 6 :

dispepsia

Biopsi dilakukan pada 5 tempat kurvatura mayor dan minor antrum, insisuraangularis, anterior dan posterior korpus

H. pylori (+)

H. pylori (-)

IL-10 IL-10

Gambar

Tabel 2.1. .Etiologi Gastritis Berdasarkan Agen yang Ditransmisikan, Kimiawi, Fisik, Imun,
Tabel 2. Klasifikasi gastritis kronik berdasakan topograpi, morfologi & etiologi 22
Gambar 2.1. Skema representasi dari distribusi inflamasi dan atropi pada berbagai tipe  gastritis kronik atropi dan nonatropi
Gambar 22. Skema daerah yang direkomendasikan untuk biopsi. Satu spesimen harus berasal dari daerah curvatura minor (A1) dan curvatura mayor (A2) daerah antrum yauitu kedua duanya berjarak 2-3 cm dari pylorus ; dari curvatura minor corpus sekitar 4 cm prox
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dijumpai peningkatan kadar serum VEGF dan MMP-9 pada penderita gastritis H.pylori dibandingkan dengan non H.pylori, namun MMP-9 tidak bermakna secara statistik,..

Tetapi dari penelitian didapatkan bahwa terjadi peningkatan VEGF pada lesi pra keganasan gaster seperti gastritis kronik atrofi dan metaplasia intestinal, yang menunjukkan

diagnosis of Helicobacter pylori in benign lesions and gastric adenocarcinoma.. Rehnberg-Laiho L, Rautelin H, Koskela P, Sarna S, Pukkala E, Aromaa

Ditemukan rerata kadar IL-2 serum lebih tinggi ( 0,92 ) pada gastritis H.pylori dibandingkan non H.pylori ( 0,81), dan kadar IL-2 serum yang secara signifikan lebih tinggi pada

berdasarkan infiltrat inflamasi yang membagi menjadi akut dan kronik; klasifikasi.. secara makroskopis yang membagi menjadi gastritis erosiva dan

Inflamasi lambung ditemukan bervariasi pada pasien yang terinfeksi dengan H pylori tergantung dari respon imun pejamu terhadap

a) Gastritis atrofi antrum, gambaran khas berupa atrofi-metaplastik yang merupakan akibat dari Helicobacter pylori. Terdapat kemerahan yang mengarah ke distal yang menyebabkan

Gastritis merupakan proses inflamasi pada mukosa dan submukosa lambung sebagai respon terhadap jejas ( injury ) yang dapat bersifat akut maupun kronik dimana