• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pencemaran Pesisir dan Laut

Miller dalam Mukhtasor (2007) mendefinisikan pencemaran sebagai proses penambahan sebarang zat pada udara, air dan tanah, atau makanan yang dapat membahayakan kesehatan, ketahanan, atau kegiatan manusia atau organisme hidup lainnya. Sementara, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mendefinisikan pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan. Lebih spesifik, Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Persyaratan Dan Tata Cara Perizinan Pembuangan Air Limbah Ke Laut, mendefinisikan pencemaran laut sebagai masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan laut oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan laut tidak sesuai lagi dengan baku mutu dan/atau fungsinya.

Sementara Kantor Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup (KLH, 1991) menyatakankan pencemaran laut adalah masuknya zat atau energi, secara langsung maupun tidak langsung, oleh kegiatan manusia ke dalam lingkungan laut termasuk daerah pesisir pantai, sehingga dapat menimbulkan akibat yang merugikan baik terhadap sumberdaya alam hayati, kesehatan manusia, gangguan terhadap kegiatan di laut, termasuk perikanan dan penggunaan lain-lain yang dapat menyebabkan penurunan tingkat kualitas air laut serta menurunkan kualitas tempat tinggal dan rekreasi. Definisi pencemaran laut tersebut sejalan dengan pengertian dalam United Nations Environmental Programs yang mengartikan pencemaran laut adalah dimasukannya substansi atau energi ke dalam lingkungan laut oleh manusia secara langsung atau tidak langsung yang mengakibatkan terjadinya pengaruh yang merugikan seperti merusak sumberdaya hidup, bahaya pada kesehatan manusia, gangguan terhadap kegiatan kelautan diantaranya

(2)

perikanan, rusaknya kualitas air, dan pengurangan pada keindahan dan kenyamanan.

Pencemaran laut juga dapat didefinisikan sebagai dampak negatif (pengaruh yang membahayakan) bagi kehidupan biota, sumberdaya, kenyamanan ekosistem laut, serta kesehatan manusia, dan nilai guna lainnya dari ekosistem laut, baik disebabkan secara langsung mau\pun tidak langsung oleh pembuangan bahan-bahan atau limbah ke dalam laut yang berasal dari kegiatan manusia (Dahuri, 2003). Berdasarkan definisi-definisi di atas, dapat ditarik suatu benang merah bahwa pencemaran pesisir merupakan dampak negatif dari zat atau energi yang masuk baik secara langsung maupun tidak langsung pada lingkungan laut, yang berakibat pada turunnya kualitas (degradasi) lingkungan dan masyarakat yang hidup dari lingkungan tersebut.

2.1.1. Sumber Pencemaran

Samawi (2007) menyebutkan sekitar 80% bahan pencemar yang ditemukan di laut berasal dari kegiatan manusia di daratan (land base activity). Bahan-bahan pencemar berasal dari kegiatan seperti rumahtangga, industri, aktivitas pelabuhan dan lain-lain yang akhirnya menimbulkan dampak negatif kepada perairan pantai. Secara garis besar sumber pencemaran perairan pantai kota berasal dari industri, limbah cair pemukiman (sewage), limbah cair perkotaan (urban stomwater), aktivitas pelabuhan, tempat pendaratan ikan (TPI), padatan, unsur hara, pestisida, logam beracun, organisme eksotik dan pathogen, plastik, bahan organik.

Bahan pencemar yang masuk ke lingkungan laut dapat digolongkan menjadi bahan pencemar yang bersumber dari darat (Land Based Pollution) dan bersumber dari laut (Marine Based Pollution). Eiswerth dalam Samawi (2007) menjelaskan bahwa pencemaran laut yang disebabkan oleh kegiatan di darat dapat digolongkan menjadi empat kategori sebagai berikut:

a. Pencemaran yang disebabkan oleh limbah industri

Kegiatan industri yang dilakukan oleh manusia di daratan bermacam-macam, namun yang dinilai paling potensial menimbulkan pencemaran

(3)

adalah industri pulp, industri kertas, industri pengolahan makanan atau minuman dan industri farmasi-kimia.

b. Pencemaran yang disebabkan oleh sampah (limbah domestik)

Limbah domestik yang terbawa oleh aliran air dari daratan atau yang sengaja dibuang ke perairan akan mengendap di dasar perairan, dan selanjutnya akan mengalami pembusukan dan terurai. Apabila jumlah sampah yang masuk ke perairan melampaui batas kemampuan lingkungan atau kapasitas asimilasi perairan untuk diasimilasikannya, maka timbul pencemaran.

c. Pencemaran yang disebabkan oleh sedimentasi

Kegiatan manusia di daratan yang menimbulkan erosi akan menyebabkan meningkatnya proses sedimentasi khususnya di daerah pantai.

d. Pencemaran yang disebabkan oleh kegiatan pertanian

Kegiatan pemupukan (di sawah atau kolam ikan) yang mengandung unsur nitrogen dan fosfor (pupuk ZA, TSP) akan menyebabkan penyuburan perairan dan tumbuhnya gulma air termasuk fitoplankton, sehingga terjadi proses pembusukkan dan pengendapan yang dapat menimbulkan bau menyengat dan berkurangnya kadar oksigen terlarut dalam air.

2.2. Dampak Pencemaran Pesisir dan Laut

Pencemaran pesisir dan laut menyebabkan degradasi lingkungan atau menurunnya kualitas lingkungan yang pada akhirnya menimbulkan dampak ekonomi, sosial dan lingkungan kepada masyarakat yang hidup dan bergantung pada sumberdaya pesisir.

1) Dampak Ekologis

Dampak yang sangat terlihat dari pencemaran pesisir adalah dampak lingkungan atau ekologis yang terjadi di daerah pesisir dan laut. Dampak ekologis ini menimbulkan perubahan pada kualitas lingkungan di sekitar

(4)

pesisir dan lain. Dampak lingkungan yang terjadi antara lain seperti terjadinya5:

a. Eutrofikasi, yakni pencemaran air yang disebabkan oleh munculnya nutrient yang berlebihan ke dalam ekosistem air. Eutrofikasi telah dikenal sebagai penyebab utama penyebab utama kerusakan karang yang tumbuh di daerah pesisir yang dekat dengan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi.

b. Sedimentasi akibat perubahan lahan untuk membangun fasilitas-fasilitas perumahan atau industri yang akhirnya sampai di laut. Sedimen yang sampai di laut akan menyebabkan kerusakan karang melalui penutupan secara langsung dan mengurangi kemampuan karang untuk bereproduksi,

c. Akresi dan abrasi6. Abrasi adalah berkurangnya daratan dan akresi adalah pertambahan daratan. Adanya pasokan sediment yang besar dari daratan menyebabkan sebagian besar pantai mengalami akresi. Di pihak lain, adanya pola arus tertentu yang selalu bergerak sepanjang tahun menyebabkan beberapa bagian pantai mengalami abrasi. Abrasi dan akresi tidak hanya dipicu oleh alam tetapi juga disebabkan oleh eksploitasi langsung baik yang berupa penambangan batu karang maupun pasir.

d. Menumpuknya sampah padat dan logam berat. 2) Dampak Ekonomi

Pencemaran pesisir dan laut yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat (limbah industri/domestik) menyebabkan penurunan jumlah sumberdaya yang terkandung di wilayah pesisir. Berkurangnya jumlah tangkapan ikan merupakan salah satu akibat pencemaran pesisir, terlebih apabila limbah yang dibuang ke sungai/laut mengandung bahan kimia berbahaya. Hal ini mengakibatkan hilangnya mata pencaharian nelayan

       5  http://www.walhi.or.id/kampanye/cemar/industri/060720_penctlkjkt_cu/ (diakses tanggal 10 Januari  2010)  6  http://www.suaramerdeka.com/harian/0608/30/kot10.htm, (diakses tanggal 25 Januari 2010) 

(5)

yang secara langsung akan menurunkan tingkat kesejahteraan ekonomi masyarakat yang akses terhadap sumberdaya.

3) Dampak Sosial

Menurunnya kesejahteraan ekonomi akan berdampak pada aspek kehidupan yang lain, termasuk pendidikan. Contohnya orang tua yang tidak lagi memiliki sumber mata pencaharian (livelihood) tidak mampu lagi membiayai sekolah anaknya sehingga terpaksa harus putus sekolah. Sementara dalam aspek kesehatan, pencemaran pesisir yang mengandung limbah berbahaya akan mengancam kesehatan masyarakat yang mengakses sumberdaya tersebut. Tingkat pendidikan dan kesehatan sebagai salah satu tolok ukur kesejahteraan sosial, akan menurun seiring semakin menurunnya kesejahteraan ekonomi masyarakat akibat degradasi sumberdaya pesisir.

2.2.1. Pencemaran Teluk Jakarta dan Dampaknya

Hariyadi et al (2004) menyebutkan bahwa pencemaran di Teluk Jakarta telah menjadi isu sejak lama. Terdapat informasi bahwa di perairan Teluk Jakarta sejak tahun 1974 sering terjadi ledakan populasi alga yang disebut red tide. Di Indonesia ada sekitar 20 jenis alga (fitoplankton) yang dapat menyebabkan ikan mati, sementara di Teluk Jakarta sendiri terdapat 17 jenis yang tergolong beracun dan akan meledak (blooming) bila terjadi pengayaan nutrien di perairan. Nutrien itu berupa fosfat yang berasal dari limbah seperti deterjen dan organik yang dihanyutkan air sungai ke laut (Hariyadi et al, 2004).

Telah dilakukan pemantauan kualitas air oleh Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) DKI Jakarta bekerjasama dengan Balai Penelitian Perikanan Laut (BPPL) Jakarta pada 23 titik pengamatan di perairan Teluk Jakarta. Berdasarkan data terlihat kondisi perairan yang tergolong berkualitas buruk tersebut terutama disebabkan oleh tingginya nilai beberapa parameter seperti nitrit, fenol, logam-logam berat Cu, Ni, Pb, Zn dan bakteri

coliform yang melebihi baku mutu. Anggraeni (2002) juga menyebutkan bahwa

(6)

tersuspensi, deterjen dan amonia serta kadar oksigen terlarut yang rendah di muara-muara sungai.

Berita berjudul “Teluk Jakarta tercemar, nelayan tak bisa melaut” pada Harian Kompas edisi Rabu, 8 Agustus 2001, disebabkan oleh tercemarnya air laut Teluk Jakarta oleh limbah kimia, yang diduga dibuang oleh pabrik-pabrik pengawetan kayu di sekitar Marunda dan Kali Baru, sehingga air berwarna merah kecoklatan yang menyebabkan ikan, kepiting, udang bahkan kerang hijau mati. Sementara Harian Suara Pembaharuan edisi 28 Juli 2002 memuat tulisan berjudul “Pencemaran di Teluk Jakarta memprihatinkan” yang berisi pernyataan peneliti LON LIPI tentang tingginya kandungan logam berat Pb dalam kerang hijau dan sedimen serta tingginya limbah domestik yang dibuang ke perairan.

Harian Tempo edisi 27 Mei 2004 memberitakan pernyataan pemerintah melalui konferensi pers tanggal 21 Mei 2004 bahwa penyebab terjadinya kematian massal ikan di Teluk Jakarta adalah akibat blooming dari fitoplankton sehingga terjadi penurunan oksigen yang menyebabkan ikan-ikan mati kekurangan oksigen. Dalam tulisan yang sama juga disajikan hasil pengamatan Tim PKSPL-IPB menunjukkan hasil yang berbeda. Menurut kajian TIM PKSPL-IPB tidak terlihat adanya indikasi blooming fitoplankton pada saat kematian massal ikan terjadi.

Harian Republika edisi 25 Mei 2004 juga menurunkan berita berjudul “Dampak Pencemaran Teluk Jakarta” antara lain berisi tingkat kandungan pestisida yang mencapai rata-rata 9 ppb PCB dan 13 ppb DDT (melebihi ambang batas yang diperbolehkan sebesar 0,5 ppb). Sementara salah satu berita harian Kompas edisi 4 Juni 2004 adalah mengenai ribuan meter kubik sampah dibuang ke laut. Mengutip pendapat Asisten Deputi Ekosistem Pesisir Laut KLH, disebutkan bahwa sekitar 1500 m3 sampah Jakarta per hari masuk ke Teluk Jakarta

melalui sungai. Juga disebutkan bahwa 80% pencemaran laut bersumber dari limbah domestik, hanya 20% yang bersumber dari industri. Sementara itu hasil penelitian BPLHD (biro lingkungan hidup daerah) Jakarta juga menunjukkan bahwa kualitas air Teluk Jakarta sangat dipengaruhi oleh 13 sungai yang bermuara di pesisir Teluk Jakarta.

Salah satu berita yang diturunkan Harian Kompas edisi 20 Juli 2004 bertajuk “Industri Pencemar Utama di Teluk Jakarta” yang didasarkan atas hasil

(7)

penelitian Indo Repro-Indonesia. Sumber pencemar dari industri antara lain adalah logam berat, POP (Persistent Organic Pollutant) dan hidrokarbon (minyak). Disebutkan pula bahwa sejak tahun 1987, Teluk Jakarta telah tercemar limbah dari sekitar 800 industri yang berada di pinggir pantai, hanya 10 persen yang memiliki instalasi pengolahan air limbah (IPAL).

Salah satu berita harian Kompas edisi 8 September 2004 berjudul “Deformasi Kerang Hijau” disebutkan adanya hasil penelitian Sudaryanto dan koleganya dari Ehime University, Jepang, tentang kandungan tributiltin (TBT) yang tinggi pada daging kerang yang dikumpulkan dari Muara Kamal, Cilincing dan Ancol, masing-masing dengan kadar 13,38 dan 37 ng/g daging kering. Sementara beberapa peneliti dari LON LIPI menemukan kandungan TBT di kolom air laut sebesar 2-15 ng/l, dan dalam sedimen sebesar 119-506 ng/l. Data tersebut menunjukkan kandungan TBT di Teluk Jakarta yang sudah sangat tinggi karena baku mutu yang ditetapkan oleh Pemerintah Amerika terhadap kandungan TBT di dalam jaringan tubuh biota laut tidak boleh lebih dari 10 ng/g daging kering.

Pencemaran pesisir dapat berasal dari limbah industri maupun sampah rumahtangga yang masuk ke laut dan menyebabkan degradasi lingkungan pesisir dan laut dan berpengaruh pada lingkungan biotik maupun abiotik masyarakat di sekitarnya. Darimanapun asalnya pencemaran, bahan-bahan itu berdampak negatif terhadap biota perairan yang tercemar dan lingkungannya. Dengan laut yang tercemar, maka nelayan tidak dapat melaut sehingga rantai produksi tata niaga hasil perairan dan perikanan terputus. Nelayan tidak mendapatkan pendapatan dan konsumen tidak mendapatkan ikan. Ikan atau hasil perairan lainnya yang ditemukan dari perairan tercemar tidak lagi dapat dimanfaatkan atau dikonsumsi. Keadaan ini akan sangat merugikan dan juga akan berdampak pada masyarakat di wilayah pesisir. Keadaan ini menyebabkan pelaku-pelaku ekonomi dalam kegiatan perikanan yaitu nelayan penjual ikan, pengusaha budidaya kerang dan karamba menjadi gundah (Hariyadi, et al, 2004). Dampak terbesar akibat degradasi lingkungan akan dirasakan oleh nelayan yang sudah miskin akibat musim yang semakin tidak menentu, dan diperparah oleh pencemaran pesisir yang menyebabkan menurunnya hasil dan jumlah tangkapan ikan.

(8)

2.3. Karakteristik Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir

Secara geografis, kawasan pesisir terletak pada wilayah transisi antara darat dan laut. Sebagian besar masyarakat yang hidup di wilayah tersebut disebut sebagai masyarakat nelayan. Dalam konteks ini, masyarakat nelayan didefinisikan sebagai kesatuan sosial kolektif sosial masyarakat yang hidup di kawasan pesisir dengan mata pencahariannya menangkap ikan di laut, yang pola-pola perilakunya diikat oleh sistem nilai budaya yang berlaku, memiliki identitas bersama dan batas-batas kesatuan sosial, struktur sosial yang mantap, dan masyarakat terbentuk karena sejarah sosial yang sama. Sebagai sebuah entitas sosial, masyarakat nelayan memiliki sistem budaya yang tersendiri dan berbeda dengan masyarakat lain yang yang hidup di daerah pegunungan, lembah atau dataran rendah, dan perkotaan (Kusnadi, 2009).

Satria (2002) mendefinisikan bahwa secara sosiologis, karakteristik masyarakat pesisir berbeda dengan karakteristik masyarakat agraris seiring perbedaan karakteristik sumberdaya yang dihadapi. Nelayan menghadapi sumberdaya yang hingga saat ini masih bersifat open access. Karakteristik sumberdaya ini menyebabkan nelayan harus berpindah-pindah untuk memperoleh hasil yang maksimal sehingga memiliki elemen resiko yang tinggi. Kondisi sumberdaya yang beresiko inilah yang menyebabkan masyarakat nelayan memiliki karakter yang keras, tegas dan terbuka.

Lebih lanjut Kusnadi (2009) mendefinisikan kebudayaan nelayan sebagai sistem gagasan atau sistem kognitif masyarakat nelayan yang dijadikan referensi kelakuan sosial budaya oleh individu-individu dalam interaksi bermasyarakat. Kebudayaan ini terbentuk melalui proses sosio-historis yang panjang dan kristalisasi dari interaksi yang intensif antara masyarakat dan lingkungannya. Kondisi-kondisi lingkungan atau struktur sumberdaya alam, mata pencaharian, dan sejarah sosial-etnisitas akan mempengaruhi karakteristik kebudayaan masyarakat nelayan. Dalam perspektif antropologis, eksistensi kebudayaan nelayan tersebut adalah sempurna dan fungsional bagi kehidupan masyarakatnya. Dalam perspektif stratifikasi sosial-ekonomi, masyarakat pesisir bukanlah masyarakat yang homogen. Masyarakat pesisir terbentuk oleh

(9)

kelompok-kelompok sosial yang beragam. Dilihat dari aspek interaksi masyarakat dengan sumberdaya ekonomi yang tersedia di kawasan pesisir, masyarakat pesisir terkelompok sebagai berikut:

1) Pemanfaatan langsung sumberdaya lingkungan, seperti nelayan (yang pokok), pembudidaya ikan di perairan pantai (dengan aring apung atau keramba), pembudi daya rumput laut/mutiara, dan petambak;

2) Pengolah hasil ikan atau hasil laut lainnya, seperti pemindang, pengering ikan, pengasap, pengusaha terasi/krupuk ikan/tepung ikan dan sebagainya; dan,

3) Penunjang kegiatan ekonomi perikanan, seperti pemilik toko atau warung, pemilik bengkel (montir dan las), pengusaha angkutan, tukang perahu, dan kuli kasar (manol).

2.4. Sistem Patron Klien

Struktur sosial dalam komunitas nelayan dicirikan oleh kuatnya ikatan patron klien. Hubungan patron klien ini timbul sebagai konsekuensi dari sifat penangkapan ikan yang penuh resiko dan ketidakpastian (Satria, 2002), Koentjaraningrat (1990) dalam Satria (2002) melihat patron klien sebagai pola hubungan yang didasarkan pada asas timbal balik. Scott (1981) juga melihat sistem patron klien sebagai mekanisme pertukaran antara patron dan klien, dimana patron memberikan penghidupan subsisten dasar, memberikan jaminan krisis subsisten berupa pinjaman saat klien menghadapi kesulitan ekonomi, memberikan perlindungan terhadap klien dari ancaman pribadi dan ancaman umum, memberikan jasa kolektif seperti mendukung festival serta perayaan desa, sedangkan kliennya membalasnya dengan memberikan kesetiaan untuk bekerja pada patron. Dengan pola tersebut, maka klien akan terus memiliki keterikatan dengan patron. Bagi klien sendiri, pemberian bantuan tersebut dianggap sebagai taktik patron untuk mengikat kliennya sehingga bisnisnya terus berjalan (Satria, 2002). Kusnadi (2003) menyebutkan bahwa pola patron klien ini terjelma dalam

(10)

dua kelembagaan strategis komunitas nelayan, yaitu kelembagaan penangkapan ikan dan kelembagaan pemasaran.

2.5. Klasifikasi Nelayan

Satria (2002) mengklasifikasikan nelayan berdasarkan kapasitas teknologi, orientasi pasar, serta karakteristik hubungan pribadi dalam empat tingkatan, yaitu

peasant fisher, post peasant, commercial fisher, dan industrial fisher.

a. Peasant fisher merupakan nelayan yang masih berorientasi pada

pemenuhan kebutuhan sendiri, peasant fisher dicirikan oleh teknologi sederhana, ukuran perahu kecil, daya jelajah dan daya muat terbatas, besaran modal usaha terbatas, jumlah anggota penangkapan kecil, pembagian kerja kolektif serta mengutamakan nlai-nilai kekeluargaan dan kekerabatan.

b. Post peasant merupakan nelayan yang ‘lahir’ setelah terjadi modernisasi perikanan. Nelayan post peasant dicirikan dari penggunaan teknologi tangkap yang lebih maju, berorientasi pasar, serta tidak lagi menggantungkan produksi pada tenaga kerja keluarga.

c. Commercial fisher merupakan nelayan yang berorientasi pada peningkatan keuntungan. Commercial fisher dicirikan oleh banyaknya jumlah tenaga kerja yang digunakan, diferensiasi status awak kapal yang berbeda-beda karena teknologi penangkapan membutuhkan spesialisasi dalam pengoperasiannya.

d. Industrial fisher mengorganisir produksinya yang padat modal dengan manajemen yang mirip dengan perusahaan agroindustri. Pendapatan yang dihasilkan jauh lebih tinggi karena produk yang dihasilkan adalah ikan kaleng dan ikan beku untuk ekspor

Sementara Kusnadi (2002) mengklasifikasikan nelayan berdasarkan (1) penguasaan alat produksi atau peralatan tangkap, (2) investasi modal usaha serta (3) teknologi peralatan tangkap. Berdasarkan penguasaan alat produksi nelayan dibagi menjadi nelayan pemilik dan nelayan kuli, berdasarkan investasi modal

(11)

usaha, nelayan dibagi menjadi nelayan besar dan nelayan kecil, sementara berdasarkan teknologi peralatan tangkap, nelayan dibagi menjadi nelayan modern dan tradisional.

2.6. Stratifikasi Masyarakat Nelayan

Stratifikasi sosial adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (Sorokin dalam Soekanto, 1994). Basis pembedaan kelas menurut Sorokin adalah hak dan privilege (rights and privilege), kewajiban dan tanggung jawab (duties and responsibiliy), nilai sosial dan privasi (social

values and privations), serta kekuasaan dan pengaruhnya terhadap masyarakat

(social power and influences among the members of a society), Sorokin (1962) dalam Satria (2002) membagi bentuk stratifikasi menjadi tiga, yaitu:

1. Stratifikasi berdasar ekonomi (economically stratified), yaitu jika dalam suatu masyarakat terdapat perbedaan atau ketidaksetaraan status ekonomi, 2. Stratifikasi berdasar politik (politically stratified), yaitu jika terdapat

rangking sosial berdasarkan otoritas, prestise, kehormatan dan gelar, atau jika ada pihak yang mengatur (the rulers) dan yang diatur (the ruled), 3. Stratifikasi berdasarkan pekerjaan (occupationally stratified), yaitu jika

masyarakat terdiferensiasi kedalam berbagai pekerjaan, dan berbagai pekerjaan itu lebih tinggi statusnya dibandingkan pekerjaan lain.

Zanden (1990) dalam Satria (2002) menyebutkan setidaknya terdapat tiga pendekatan yang dapat dilakukan untuk mempelajari stratifikasi sosial, yaitu:

a. Pendekatan obyektif, yaitu menggunakan ukuran obyektif berupa variabel yang mudah diukur secara statistik,

b. Pendekatan subyektif (self-placement), kelas dilihat sebagai kategori sosial dan disusun dengan meminta par responden survei untuk menilai status sendiri dengan jalam menempatkan diri pada skala kelas tertentu,

c. Pendekatan reputasional, subyek penelitian diminta untuk menilai status orang lain dengan jalan menempatkan orang lain itu pada skala tertentu.

(12)

2.7. Mobilitas Sosial

Mobilitas sosial adalah perpindahan posisi seseorang atau sekelompok orang dari lapisan yang satu ke lapisan yang lain. Mobilitas horizontal merupakan peralihan individu atau obyek-obyek sosial lainnya dari suatu kelompok sosial ke kelompok sosial lainnya yang sederajat. Tidak terjadi perubahan dalam derajat kedudukan seseorang dalam mobilitas sosialnya, sementara mobilitas sosial vertikal adalah perpindahan individu atau objek-objek sosial dari suatu kedudukan sosial ke kedudukan sosial lainnya yang tidak sederajat. Sesuai dengan arahnya, mobilitas sosial vertikal dapat dibagi menjadi dua, mobilitas vertikal ke atas (social climbing) dan mobilitas sosial vertikal ke bawah (social sinking). Sumber mata pencaharian nelayan yang berubah akibat adanya pencemaran merupakan indikator masyarakat nelayan melakukan mobilitas sosial vertikal atau horizontal.

2.8. Strategi Hidup Masyarakat Nelayan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1999), strategi adalah rencana yang cermat mengenai kegiatan untuk mencapai sasaran khusus. Strategi adalah suatu tindakan yang digunakan untuk mengatasi masalah dengan cara menetapkan pilihan dari beberapa alternatif tindakan yang tersedia (Ependi, 2004). Masyarakat nelayan dalam upaya mempertahankan kelangsungan hidupnya melakukan berbagai bentuk strategi. Menurut Crow (1989) dalam Dharmawan (2001), pengertian dari strategi adalah seperangkat pilihan diantara berbagai alternatif yang ada. Konsep strategi ini merupakan bagian dari teori pilihan rasional dengan memperlhatikan unsur untung rugi yang akan diperoleh.

Crow (1989) dalam Dharmawan (2001) menyebutan terdapat beberapa aspek strategi yaitu:

1) Adanya pilihan sehingga dapat memilih diantara beberapa alternatif yang ada,

2) Adanya kemampuan untuk melatih kekuatan karena seseorang yang memiliki lebih banyak kontrol akan lebih memiliki kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya,

(13)

3) Pemilihan strategi yang baik dapat mengeliminir ketidakpastian,

4) Strategi merupakan respon terhadap tekanan karena situasi ekonomi. Semakin kompleks tekanan yang dihadapi, strategi yang disusun semakin terperinci,

5) Adanya sumberdaya dan pengetahuan untuk menyusun dan melakukan beragam strategi,

6) Strategi biasanya merupakan keluaran dari konflik dan proses yang terjadi dalam rumahtangga.

Dalam penerapan suatu strategi, rumahtangga nelayan memanfaatkan berbagai sumberdaya yang dimilikinya. Scoones (1998) menyebutkan bahwa terdapat berbagai strategi yang dapat dimanfaatkan masyarakat dalam upaya untuk dapat bertahan dengan memanfaatkan berbagai sumberdaya yang dimilikinya yaitu:

a. Rekayasa sumberdaya nafkah yang dilakukan dengan memanfaatkan sektor produksi secara lebih efektif dan efisien, baik melalui penambahan input eksternal berupa tenaga kerja atau teknologi (ekstensifikasi) maupun dengan memperluas lahan produksi (intensifikasi),

b. Pola nafkah ganda yang dilakukan dengan menerapkan keanekaragaman pola nafkah dengan cara mencari pekerjaan lain selain pertanian untuk menambah pendapatan (diversifikasi pekerjaan),

c. Rekayasa spasial merupakan usaha yang dilakukan dengan cara melakukan mobilisasi baik secara permanen maupun secara sirkuler.

Selain strategi di bidang ekonomi (produksi), rumahtangga nelayan juga menerapkan strategi non-produksi yang melibatkan nilai-nilai tradisional yaitu strategi berbasiskan modal sosial. Menurut Dharmawan (2002), dalam konsep modal sosial terdapat tiga esensi atau pilar penting yang mendukung stok modal sosial yaitu kepercayaan (trust) yang dibangun melalui kepercayaan antar individu dalam jangka waktu yang lama dan melalui proses sosial yang rumit, jaringan sosial (social networking), dan norma-norma sosial (shared norms). Stok modal

(14)

sosial inilah yang dapat membantu nelayan untuk menghadapi tekanan dengan mendorong terjadinya kerjasama dalam hubungan antara anggota komunitas.

Dharmawan (2001) dalam Lestari (2005) menyebutkan terdapat dua macam strategi yang dikembangkan oleh rumahtangga peasant terkait dengan fase-fase kehidupannya, yaitu strategi yang dikembangkan saat kehidupan berada dalam keadaan normal dan strategi yang dikembangkan saat kehidupan berada dalam keadaan krisis. Secara khusus strategi nafkah rumahtangga miskin dapat dikelompokkan pada dua macam strategi, yaitu strategi ekonomi dan strategi sosial. Strategi ekonomi merupakan strategi yang didasarkan pada penggunaan struktur alokasi tenaga kerja dalam rumahtangga, sedangkan strategi sosial merupakan strategi yang didasarkan pada penggunaan lembaga tradisional dan jejaring sosial yang ada di sekitar rumahtangga miskin (Widodo, 2009).

Menurut Dharmawan (1993), terdapat tiga tahapan capaian status nafkah yang dijalankan oleh rumahtangga petani berdasarkan lapisan sosialnya, yaitu:

1) Strategi keamanan dan stabilitas (srategi bertahan hidup) adalah strategi minimal yang dilakukan seseorang untuk mempertahankan hidup. Strategi ini dilakukan dengan berbagai cara oleh berbagai lapisan (atas, menengah, bawah) untuk dapat bertahan hidup. Artinya semua hasil yang diperoleh digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup minimal kebutuhan subsisten pangan.

2) Strategi konsolidasi adalah strategi yang berisi aksi-aksi tindakan seseorang yang telah melewati tingkat keamanan dari sekedar bertahan hidup. Strategi ini digunakan sebagai langkah untuk memantapkan posisi rumahtangga secara lebih aman dalam jaminan nafkah bila dibandingkan dengan pemenuhan kebutuhan subsisten. Strategi konsolidasi dilakukan dengan memiliki pekerjaan sampingan terutama pada bidang non-pertanian untuk menghasilkan pendapatan tambahan.

3) Strategi akumulasi yaitu tindakan yang diterapkan oleh seseorang yang telah melewati dua tahap dibawahnya. Strategi ini biasanya diterapkan oleh seseorang yang telah melewati dua tahap dibawahnya. Strategi akumulasi merupakan bentuk strategi yang dijalankan dengan

(15)

mengumpulkan berbagai aset/kekayaan untuk tujuan tertentu misalnya memberi jaminan hidup generasi berikutnya.

Komunitas nelayan Kampung Bambu sebagai responden penelitian tergolong dalam nelayan miskin yang hanya mampu mengusahakan perpanjangan distribusi pendapatan untuk memenuhi kebutuhan subsisten, sehngga masyarakat nelayan dalam komunitas tersebut cenderung hanya mampu melakukan strategi keamanan dan stabilitas (bertahan hidup). Hidayati (2000) mengemukakan bahwa disamping melakukan kegiatan yang dapat merusak SDL, masyarakat pesisir mengupayakan berbagai strategi untuk dapat bertahan hidup. Strategi bertahan hidup masyarakat pesisir antara lain:

1) Meminjam bantuan pada ‘bos’

2) Mobilitas dan diversifikasi kerja dalam rumahtangga

Referensi

Dokumen terkait

Dalam faktor lingkungan terdapat tiga hal yang dapat menimbulkan stres bagi perawat yaitu ekonomi, politik dan teknologi. Perubahan yang sangat cepat karena adanya

a) Perubahan dalam lingkungan operasi. Perubahan dalam lingkungan peraturan dan operasi dapat mengakibatkan perubahan dalam tekanan persaingan dan risiko yang

Fluktuasi di estuari terjadi karena daerah tersebut merupakan tempat pertemuan antara massa air tawar yang berasal dari sungai dengan massa air laut serta diiringi dengan

Elastisitas pendapatan dikatakan tidak elastis apabila koefisien elastisitasnya adalah kurang dari satu, yaitu apabila perubahan pendapatan menimbulkan perubahan yang

Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup memberikan definisi Pencemaran Lingkungan Hidup sebagai

Wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara darat dan laut; kearah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering ataupun terendam air, yang masih dipengaruhi sifat

Makroalga di daerah tropis khususnya seperti di Indonesia memiliki keanekaragaman spesies yang tinggi, tetapi alga akan sangat rentan dengan perubahan lingkungan

Proses ini tidak menimbulkan perubahan fasa kecuali rekristalisasi. Banyak faktor yang dapat menimbulkan timbulnya tegangan di dalam logam sebagai akibat dari proses