• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROSIDING SEMINAR NASIONAL BAHASA DAN BUDAYA III

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PROSIDING SEMINAR NASIONAL BAHASA DAN BUDAYA III"

Copied!
364
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

i

PROSIDING

SEMINAR NASIONAL BAHASA DAN BUDAYA III

REVITALISASI IDENTITAS MELALUI BAHASA DAN BUDAYA MARITIM

Penyunting Ahli Dr. I Ketut Sudewa, M.Hum

Penyunting Pelaksana Drs. I Wayan Teguh, M.Hum

DENPASAR, 25 – 26 SEPTEMBER 2018

FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR 2018

(4)

ii

KATA PENGANTAR

Pada kesempatan ini kami selaku panitia mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada pemakalah kunci Dr. Darmoko, M.Hum. (Universitas Indonesia); pemakalah utama: Prof. Dr. I Gde Arya Sugiartha, S.Skar., M.Hum. (Institut Seni Indonesia Bali), dan Dr. Purwadi, M.Hum. (Universitas Udayana) telah bersedia menyampaikan ide-ide dan gagasannya untuk memperkuat kegiatan SNBB III. Terimakasih pula kami ucapkan kepada para pemakalah pendamping, peserta dan mahasiswa yang sudah berupaya untuk turut berpartisipasi mengikuti kegiatan SNBB III.

Kami juga mengucapkan terimakasih atas dukungan Ibu Prof. Dr. Ni Luh Sutjiati Beratha, M.A. selaku dekan FIB serta koordinator Program Studi di lingkungan FIB, Bapak/Ibu Dosen, Mahasiswa dan civitas Akademika FIB Unud, yang telah ikut berpartisipasi pada kegiatan SNBB III ini. Dan tentunya tidak lupa pula kami juga mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada seluruh panitia SNBB III atas kerja kerasnya untuk mewujudkan kegiatan seminar ini sehingga dapat berjalan dengan lancar.

Akhirnya kami tidak pernah lupa dengan pepatah yang mengatakan bahwa ―Tiada gading yang tak retak‖. Oleh karena itu, kami mohon maaf jika ada hal-hal yang tidak berkenan di hati Bapak/Ibu selama acara ini berlangsung. Kritik dan saran sangat kami harapkan demi terlaksananya SNBB III yang lebih berkualitas di masa mendatang akan kami terima dengan tangan terbuka.

Panitia Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana

(5)

iii SAMBUTAN

Puji syukur kami panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa karena atas asung kerta wara nugraha-Nya maka buku kumpulan makalah-makalah yang dikompilasi dalam bentuk proceeding untuk Seminar Nasional Bahasa dan Budaya (SNBB) III dengan mengusung tema ‗Revitalisasi Identitas melalui Bahasa dan Budaya Maritim‘ dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Budaya kemaritiman menarik untuk dibahas dan didiskusikan secara akademis dalam rangka peringatan Hari Ulang Tahun ke-60, dan Badan Kekeluargaan ke-37 Fakultas Ilmu Budaya, serta Dies Natalis Universitas Udayana ke-56. Maritim adalah bagian budaya Nusantara karena merupakan identitas bagi Bangsa Indonesia yang dikenal sebagai negara Nusantara (archipelagic state). Melalui SNBB III, pembahasan mengenai wilayah perairan bukan saja sebagai pembatas, tetapi juga sebagai penghubung antarpulau yang menyatukan Nusantara sekaligus sumber daya melimpah yang harus dikelola dengan baik diharapkan menjadi fokus utama seminar ini. Budaya maritim sebagai identitas menyentuh dapat semua lini tata perilaku masyarakat, dan negara untuk melahirkan teknologi, seni, bahasa, dan budaya yang unik.

Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana mengembangkan ilmu bahasa dan budaya memiliki peran untuk merevitalisasi identitas masyarakat dan bangsa. Dinamika budaya kemaritiman yang berkaitan dengan konteks ideologi, sejarah, antropologi, arkeologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, bahasa, dan ketahanan tidak terbebas dari kerawanan dan kepunahan shingga perlu untuk merevitalisasi identitas tersebut.

Melalui kesempatan ini, kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada: 1. Para Koordinator Program Studi di lingkungan Fakultas Ilmu Budaya,

Universitas Udayana atas kerjasama yang baik sehingga seminar bersama bisa dilaksanakan.

2. Dr. Darmoko, M.Hum. (Unversitas Indonesia) sebagai pembicara kunci; pemakalah utama: Prof. Dr. I Gede Arya Sugiartha, S.Kar.,

(6)

iv

M.Hum (ISI Denpasar), Dr. Purwadi, M.Hum. (FIB Unud), serta para pemakalah pendamping lainnya.

3. Peserta SNBB III, 2018 yang terdiri atas, peneliti dan/atau dosen bahasa, sastra, dan budaya, mahasiswa, pekerja dan pengamat media, dll yang terlalu panjang bila disebutkan semuanya.

4. Panitia SNBB III yang telah bekerja keras mempersiapkan segala sesuatu yang terkait dengan penyelenggaraan seminar ini dengan sebaik-baiknya.

SNBB III yang diselenggarakan atas kerjasama semua Program Studi di lingkungan Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana dapat memberikan pencerahan, dan diharapkan bermuara pada penyatuan Visi Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana yaitu memiliki keunggulan dan kemandirian dalam bidang pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat dengan aplikasi keilmuan yang berlandaskan kebudayaan.

Melalui kesempatan ini sekali lagi kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu kelancaran pelaksanaan SNBB III, dengan harapan semoga Tuhan YME memberikan imbalan yang setimpal dengan pengorbanan Bapak/Ibu sekalian. Kami juga tidak lupa mohon maaf apabila ada hal-hal yang kurang berkenan dalam penyelengaraan acara ini. Kami ucapkan Selamat Berseminar, dan semoga bermanfaat.

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana Dekan,

(7)

v DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ... i KATA PENGANTAR ... ii SAMBUTAN ... iii DAFTAR ISI ... v PEMAKALAH KUNCI REVITALISASI TEKS-TEKS KEARIFAN LOKAL KEMARITIMAN UNTUK MEMBANGUN KEHIDUPAN BERMASYARAKAT, BERBANGSA, DAN BERNEGARA Darmoko ... 1

PEMAKALAH UTAMA SENI KELAUTAN MEMBANGUN HARMONISASI MANUSIA DENGAN ALAM I Gede Arya Sugiartha ... 15

STRATEGI MASYARAKAT NELAYAN KEDONGANAN MENGHADAPI KEMISKINAN Purwadi Soeriadiredja ... 22

PEMAKALAH PENDAMPING EKSISTENSI PURI AGUNG KARANGASEM DALAM DINAMIKA SOSIAL BUDAYA A.A.A Dewi Girindrawardani ... 41

VARIASI BAHASA SUNDA DI DAERAH PESISIR JABAR SELATAN Asri Soraya Afsari, Teddi Muhtadin ... 50

PERILAKU BUDAYA KESEHATAN DALAM PRAKTIK PERAWATAN KEHAMILAN DAN PERSALINAN PADA MASYARAKAT PESISIR DI MANGGARAI, NTT Bambang Dharwiyanto Putro ... 57

ANALISIS PEMAKAIAN RAGAM JURNALISTIK DI SMAN 1 ABIANSEMAL: KASUS MENULIS BERITA LANGSUNG I Gusti Ayu Agung Mas Triadnyani, Anak Agung Putu Putra, I Ketut Nama, Ni Putu N. Widarsini, Sri Jumadiah ... 67

(8)

vi

IDEOLOGI BUDAYA MARITIM DALAM PIDATO MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN

I Gusti Ayu Gde Sosiowati ... 73 CITRA DIRI PADA TEKS VERBAL MEDIA KAMPANYE PILGUB BALI I Gusti Ngurah Parthama, Ni Luh Kade Yuliani Giri ... 82 HEGEMONI BUDAYA DALAM PRAKTIK KEKUASAAN MARITIM I Ketut Darma Laksana ... 88 SITUS KAPAL U.S.A.T LIBERTY DI PANTAI TULAMBEN DALAM

PERSPEKTIF ARKEOLOGI MARITIM DAN PARIWISATA

I Ketut Setiawan ... 94 KECENDERUNGAN PEMAKAIAN BAHASA BALI SEBAGAI CERMIN IDENTITAS MASYARAKAT DI DAERAH PARIWISATA NUSA DUA I Made Rajeg, Ni Luh Sutjiati Beratha, Ni Wayan Sukarini ... 100 KERAS, KASAR, PEDAS, PENUH GAIRAH KARAKTERISTIK

MASYARAKAT PESISIR DALAM DRAMA ―MALAM JAHANAM‖ KARYA MOTINGGO BUSYE

I Made Suarsa ... 108 GAMBARAN PERJALANAN LAUT A.A. ISTRI AGUNG DAN

SUAMINYA DARI KARANGASEM KE JEMBRANA

I Made Suastika ... 114 PERAIRAN BALI SEBAGAI RUANG BUDAYA DAN PERADABAN

I Putu Gede Suwitha ... 120 MEMBANGUN KARAKTER BANGSA MELALUI PELESTARIAN DAN PENGIMPLEMENTASIAN NILAI BUDAYA: PERSPEKTIF

BUDAYA BALI

I Wayan Cika... 128 MELACAK KEBAHARIAN NUSANTARA BERDASARKAN

BUKTI-BUKTI ARKEOLOGIS

I Wayan Srijaya ... 135 REVOLUSI BIRU DAN HUMAN SECURITY NELAYAN DI KUSAMBA KLUNGKUNG

I Wayan Tagel Eddy, Anak Agung Ayu Rai Wahyuni ... 146 MEMAHAMI KATA TUGAS DALAM BAHASA INDONESIA DITINJAU DARI PELONCATAN KATEGORI DAN FUNGSI

(9)

vii

TERJEMAHAN ISTILAH KELAUTAN BAHASA INGGRIS KE DALAM BAHASA INDONESIA

Ida Ayu Made Puspani ... 163 FUNGSI DAERAH PESISIR DARI MASA KE MASA DI BALI

(KAJIAN KEPUSTAKAAN)

Ida Ayu Putu Mahyuni ... 172 SISTEM SEWA KONTRAK BERDASARKAN KURS DALAM NIAGA

BANDAR DI BULELENGBALI, PERTENGAHAN ABAD XIX

Ida Ayu Wirasmini Sidemen ... 178 FUNGSI MITOS BHATARA BAGUS BALIAN: PUTRA DEWA DAN PUTRI PENDETA

Ida Bagus Jelantik Sutanegara Pidada ... 186 KONTROVERSIAL PERDAGANGAN KERAMIK KUNO HASIL

PENGANGKUTAN DI LAUT CIREBON JAWA BARAT

Ida Bagus Sapta Jaya ... 197 WISATA BAHARI SEBAGAI DAYA TARIK OBYEK WISATA

POTENSIAL:STUDI KASUS PANTAI SANUR, DENPASAR SELATAN, KOTA DENPASAR-BALI

Ketut Darmana ... 203 PELATIHAN PENULISAN JURNALISTIK BAGI SISWA SMAN 1 KUTA SELATAN, KABUPATEN BADUNG

Ketut Riana, S.U, Putu Evi Wahyu Citrawati, I Nyoman Darma Putra,

Made Sri Satyawati, Wayan Teguh ... 212 MITOS TOKOH KEBO IWA DI PANTAI SOKA, TABANAN

Luh Putu Puspawati ... 218 PENGAMAN BATIN SEBAGAI SUMBER GAGASAN PENULISAN

KREATIF JURNALISTIK-SASTRA DI SMAN I PETANG KECAMATAN PETANG KABUPATEN BADUNG

Maria Matildis Banda, Ida Bagus Jelantik SP, I Made Suarsa,

Sri Jumadiah dan I Komang Paramartha ... 223 ASPEK MODAL DALAM PENULISAN KARYA SASTRA PRAGMATIS Maria Matildis Banda, Sri Jumadiah ... 232 AMA DAN EMANSIPASI WANITA

Ngurah Indra Pradhana ... 242 VARIASI POLA DESKRIPSI PADA ISTILAH BUDAYA BALI PADA TEKS BERBAHASA INGGRIS

(10)

viii

PERDAGANGAN ANTAR PULAU OLEH MASYARAKAT BALI KUNO PADA ABAD IX-XIV MASEHI: KAJIAN EPIGRAFIS DAN TAPONIMI Ni Ketut Puji Astiti Laksmi, Kristiawan ... 253 REPRESENTASI BUDAYA JEPANG DALAM SAMPUL NOVEL TEENLIT INDONESIA

Ni Luh Putu Ari Sulatri, Ni Made Andry Anita Dewi ... 260 AKTIVITAS KEMARITIMAN PADA MASA BALI KUNA

Ni Luh Sutjiati Beratha, I Wayan Ardika... 266 PENGGUNAAN KENJŌGO MŌSHIWAKE ARIMASEN DAN MŌSHIWAKE GOZAIMASEN DALAM DRAMA BERBAHASA JEPANG

Ni Made Andry Anita Dewi, Silvia Damayanti ... 275 MENCERMATI KEHIDUPAN REMAJA BERMASALAH DI KOTA

DENPASAR-BALI

Ni Made Wiasti, Ni Luh Arjani, I Ketut Kaler ... 282 PENGAJARAN BERBASIS ICT UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERBAHASA JEPANG MAHASISWA DALAM KELAS CHUJOKYU KAIWA (Studi Kasus Mahasiswa Sastra Jepang, Universitas Udayana)

Ni Putu Luhur Wedayanti, Choleta Palupi Titasari ... 289 BENTUK IKONIK KELAUTAN DALAM NOVEL SUARA SAMUDRA KARYA MARIA MATILDIS BANDA

Ni Putu N. Widarsini ... 294 TATA CARA PENULISAN DAN FUNGSI SURAT RESMI, SERTA

ANALISIS PERMASALAHAN DALAM PENGGUNAAN BAHASA INDONESIA

Ni Wayan Arnati ... 301 PENINGGALAN ARKEOLOGI DI WILAYAH DESA ADAT KEMONING MERUPAKAN PENGARUH CORAK BUDAYA HINDU/INDIA SEBAGAI AKIBAT HUBUNGAN SECARA MARITIM

Ni Wayan Herawathi ... 318 PARIWISATA BUDAYA: MEWUJUDKAN PEMBANGUNAN BERIMBANG ANTARA PARIWISATA DAN KEBUDAYAAN BALI

Nyoman Reni Ariasri ... 324 KEPERCAYAAN DALAM SIKLUS KEHIDUPAN PADA MASYARAKAT SUNDA PESISIR (KECAMATAN PAMEUNGPEUK, KABUPATEN GARUT, JAWA BARAT)

(11)

ix

JEJAK AWAL KEMARITIMAN PADA CADAS LIANG PU‘EN DI LEMBATA NTT

Rochtri Agung Bawono, Ni Ketut Puji Astiti Laksmi, Kristiawan, Coleta Palupi Titasari... 337 PURI TAMAN SABA : SIMBOLISASI PENDIDIKAN SENI BUDAYA BALI Sulandjari ... 343

(12)
(13)

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 1 Denpasar, 25-26 September 2018

REVITALISASI TEKS-TEKS KEARIFAN LOKAL KEMARITIMAN UNTUK MEMBANGUN KEHIDUPAN BERMASYARAKAT,

BERBANGSA, DAN BERNEGARA Darmoko

Universitas Indonesia pak.darmoko@gmail.com

ABSTRAK

Teks sebagai ungkapan bermakna suatu etnik dapat dieksplorasi sebagai kekayaan intelektual bagi siapa saja yang ingin meneliti dan menyajikannya dalam kerangka studi ilmiah akademik. Teks kearifan lokal di Indonsia terekspresikan melalui tradisi tulis maupun lisan dalam bentuk bahasa, sastra, adat-istiadat, artefak, dan kesenian. Ekspresi teks-teks lisan dan tulis tersebut dapat menggambarkan tingkat pengetahuan suatu masyarakat baik berkaitan dengan aspek pertanian maupun kemaritiman. Teks kemaritiman yang bersumber dari kearifan lokal memberikan andil yang cukup besar sebagai modal untuk membangun umat manusia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Keagungan suatu kerajaan (negara) yang berorientasi pada laut, keperwiraan dan kedigjayaan suatu tokoh penjelajah laut, peristiwa yang menggambarkan kecanggihan strategi dalam bertempur, dan ungkapan rasa bangga terhadap keberadaan laut sebagai sumber nafkah dan kehidupan merupakan nilai-nilai budaya yang dapat memberikan spirit dan motivasi bagi masyarakat untuk mempertebal rasa memiliki, membela, dan mempertahankan keutuhan masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia. Kesadaran dan pemahaman tentang budaya lokal kemaritiman sebagai milik bangsa dapat memupuk sikap nasionalisme, patriotisme, dan cinta tanah air. Studi ilmiah akademik memberikan ruang kepada peneliti untuk mengeksplorasi korpus data teks-teks kearifan lokal kemaritiman dari berbagai konteks (perspektif), kerangka teori maupun metodologi. Perspektif sejarah, politik, ekonomi, sosiologi, sastra, linguistik, antropologi, filologi, studi kawasan, dan lain-lain memberikan konteks bagi sebuah penelitian untuk disuguhkan bagi masyarakat luas. Permasalahannya bagaimana implementasi dan produk penelitian yang bersumber dari teks-teks kearifan lokal kemaritiman dapat memberikan dampak konstruktif bagi kehidupan umat manusia dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Untuk menangani permasalahan ini diperlukan metodologi yang komprehensif, di samping ketersediaan para pakar di bidang ilmu pengetahuan masing-masing, tata kelola (manajemen) birokrasi juga kemauan politik dari pemerintah pusat dan daerah untuk menginternalisasi nilai-nilai kearifan lokal kemaritiman yang bersifat universal kepada masyarakat sebagai penjaga kesatuan dan persatuan bangsa. Kata kunci: revitalisasi, kearifan lokal, kemaritiman

Pendahuluan

Sejak era reformasi bergulir di tengah percaturan politik Indonesia, sejak itu pula perubahan kehidupan mendasar berkembang di hampir seluruh kehidupan

(14)

berbangsa dan bernegara. Seperti merebaknya beragam krisis yang melanda Negara Kesatuan Republik Indonesia. Salah satunya adalah berkaitan dengan Orientasi Pembangunan. Di masa Orde Baru, orientasi pembangunan masih terkonsentrasi pada wilayah daratan. Sektor kelautan dapat dikatakan hampir tak tersentuh, meski kenyataannya sumber daya kelautan dan perikanan yang dimiliki oleh Indonesia sangat beragam, baik jenis dan potensinya. Potensi sumberdaya tersebut terdiri dari sumberdaya yang dapat diperbaharui, seperti sumberdaya perikanan, baik perikanan tangkap maupun budidaya laut dan pantai, energi non konvensional dan energi serta sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui seperti sumberdaya minyak dan gas bumi dan berbagai jenis mineral. Selain dua jenis sumberdaya tersebut, juga terdapat berbagai macam jasa lingkungan lautan yang dapat dikembangkan untuk pembangunan kelautan dan perikanan seperti pariwisata bahari, industri maritim, jasa angkutan dan sebagainya. Tentunya inilah yang mendasari Presiden Abdurrahman Wahid dengan Keputusan Presiden No.355/M Tahun 1999 tanggal 26 Oktober 1999 dalam Kabinet Periode 1999-2004 mengangkat Ir. Sarwono Kusumaatmaja sebagai Menteri Eksplorasi Laut. (https://kkp.go.id/page/6-sejarah).

Negara Republik Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia menduduki urutan kedua dalam daftar 10 negara yang memiliki garis pantai terpanjang di dunia, yaitu sepanjang 54,716 km, sedangkan urutan pertama ditempati oleh Kanada dengan garis pantai sepanjang 202.800 km dan urutan ketiga adalah Greenland yaitu sebuah divisi otonomi dari kerajaan Denmark dengan garis pantai sepanjang 44.087 km, keempat: Rusia, kelima: Filipina, keenam: Jepang, ketujuh: Australia, kedelapan: Norwegia, kesembilan: Amerika Serikat, dan kesepuluh: Selandia Baru. (https://ilmupengetahuanumum.co/10-negara-dengan-garis-pantai-terpanjang-di-dunia/).

Era pemerintahan Presiden Joko Widodo menetapkan bahwa visi pembangunan adalah ―Terwujudnya Indonesia yang berdaulat, mandiri dan berkepribadian berlandaskan gotong royong‖. Visi ini memberikan harapan dan mengembalikan semangat untuk memanggil kembali kejayaan maritim dengan memanfaatkan sumber daya kelautan. Kemudian, visi tersebut diturunkan menjadi 7 misi pembangunan, di mana tiga dari tujuh misi tersebut berhubungan dengan

(15)

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 3 Denpasar, 25-26 September 2018

kemaritiman dan posisi Indonesia sebagai negara kepulauan, yaitu: (1) mewujudkan keamanan nasional yang mampu menjaga kedaulatan wilayah, menopang kemandirian ekonomi dengan mengamankan sumber daya maritim, dan mencerminkan kepribadian Indonesia sebagai negara kepulauan; (2) mewujudkan politik luar negeri bebas-aktif dan memperkuat jati diri sebagai bangsa maritim; dan (3) mewujudkan Indonesia menjadi negara maritim yang mandiri, maju, kuat dan berbasiskan kepentingan nasional.

Pembentukan Kementerian Koordinator Kemaritiman mengedepankan konsep ―Poros Maritim Dunia‖ dan ―Tol Laut‖. Selain itu Presiden Joko Widodo juga sudah menandatangani Perpres No.16/2017 tentang Kebijakan Kelautan Indonesia. (Dickry Rizanny N; http://maritimnews.com/2017/05/perpres-162017-dan-pembangunan-maritim-indonesia/). Indonesia juga memiliki wilayah perairan yang kaya dengan potensi cadangan energi, potensi perikanan, potensi pariwisata bahari, serta memiliki jalur pelayaran strategis yang dapat dimanfaatkan sebagai basis pengembangan kekuatan geopolitik, ekonomi, dan budaya bahari. (Kementerian PPN Bappenas, 2015, http://Nusantarainitiative.com/ wp-content/uploads/2016/02/150915-Buku-Tol-Laut-bappenas.pdf)

Berdasarkan keterangan tentang orientasi pembangunan sektor kelautan dan sumber daya di dalamnya sejak era reformasi, Indonesia sebagai negara kepulauan dan memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia, serta memiliki potensi energi, perikanan, wisata bahari, pelayaran strategis yang dapat dimanfaatkan sebagai basis pengembangan kekuatan geopolitik, ekonomi, dan budaya bahari maka perlu mengkaji potensi lain yang mendukung pembangunan sektor kemaritiman yang berorientasi pada sumber daya budaya yang terkonsentrasi pada teks-teks kearifan lokal.

Geopolitik, ekonomi, dan budaya sebagai kesatuan masyarakat yang berdiri sendiri tersebut dikembangkan ke arah wawasan Nusantara yang berlandaskan pada pemikiran kewilayahan dan kehidupan bangsa Indonesia yang berwawasan nasional. Sektor wisata daerah yang berorientasi pada kemaritiman (mengandalakan pada laut dan perairan) terus mencari potensi kearifan lokal agar terus dapat ditingkatkan kualitas atraksi wisata dan kuantitas wisatawan. Riset terhadap eksistensi teks-teks kearifan lokal termasuk di dalamnya bahasa dan

(16)

sastra, adat-istiadat, kesenian dan benda-benda hasil budaya lokal dengan demikian perlu terus dikembangan.

Data dan Metodologi

Data yang dipergunakan sebagai titik tolak kertas kerja ini adalah teks-teks bahasa dan sastra, tradisi (adat-istiadat), dan kesenian. Data yang ada dianalisis menggunakan metode deskriptif kualitatif yang bertujuan untuk mengungkap fakta, fenomena (gejala), variabel, dan keadaan yang terjadi saat penelitian berjalan dan menyuguhkannya dengan apa adanya. Penelitian kualitatif menafsirkan dan menuturkan data yang ada dengan situasi masyarakat yang sedang terjadi, seperti: sikap serta pandangan, pertentangan dua keadaan atau lebih, hubungan antarvariabel, perbedaan antar fakta dari data yang ada, pengaruh terhadap situasi dan kondisi, dan lain-lain. Permasalahan yang dikaji pada penelitian kualitatif mengacu pada studi komparatif dan studi relasi sebuah unsur dengan unsur lainnya. Kegiatan penelitian ini meliputi pengumpulan data, analisis data, interprestasi data, dan penyimpulan yang mengacu pada analisis data yang telah dilakukan.

Metode deskriptif kualitatif untuk mengeksplorasi dan memahami makna yang dianggap berasal dari permasalahan sosial dan humaniora. Penelitian kualitatif melibatkan upaya penting, seperti mengajukan pertanyaan dan prosedur, pengumpulan data khusus dari partisipan, menganalisis data secara induktif, mulai dari tema khusus ke tema umum, kemudian menafsirkan makna data. Laporan akhir penelitian ini memiliki struktur (kerangka) yang fleksibel dan berfokus terhadap makna individual dan menerjemahkan kompleksitas suatu persoalan (Creswell, 2010: 4-5)

Teks-teks kearifan lokal kemaritiman meliputi bahasa dan sastra, tradisi (adat-istiadat), dan kesenian dipergunakan sebagai objek kajian status dan kedudukan dalam konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Objek tersebut dikaji berdasarkan implementasi fakta, fenomena (gejala), variabel, dan keadaan serta menafsirkan dan menuturkan data yang ada dengan situasi masyarakat yang sedang terjadi. Teks-teks kearifan lokal kemaritimana dikaji dalam berbagai perspektif dan hasilnya sebagai informasi yang dapat dijadikan sebagai wahana membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

(17)

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 5 Denpasar, 25-26 September 2018

Pembahasan

Di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ditemukan beberapa semboyan yang dipetik dari bahasa Sanskerta untuk institusi tertentu, seperti untuk TNI Angkatan Darat RI, Kartika Eka Paksi (prajurit gagah berani yang menjunjung keluhuran nusa dan bangsa serta prajurit sejati); untuk TNI Angkatan Udara RI, Swa Bhuwana Paksa (pelindung/ pembela tanah airku); untuk Kepolisian RI, Rastra Sewakottama (melayani masyarakat); dan untuk TNI Angkatan Laut RI, Jalesveva Jayamahe (di laut kita jaya).

Ungkapan Jales Viva Jayamahe (di laut kita jaya) merupakan slogan yang seharusnya diwujudkan dalam kenyataan. Sejauhmana kemampuan armada laut bangsa Indonesia dalam mengawal kedaulatan lautnya. Berapa banyak penyelundupan di laut dan pencurian ikan oleh nelayan asing tidak bisa diatasi secara tuntas. Dilihat dari besarnya jumlah pulau NKRI, ternyata masih ribuan yang belum bernama dan teridentifikasi secara akurat potensinya. Bagaimana harus disikapi dengan sebuah berita tentang ―nasib warga pulau terluar‖, ketika Camat Pulau Laut, Kabupaten Natuna, Baharuddin mengungkapkan: ―terus terang, saya atas nama masyarakat Kecamatan Pulau Laut merasa sangat bahagia karena selama hidup kami, baru kali ini kami benar-benar merasakan menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Peristiwa ini merupakan sejarah bagi masyarakat Pulau Laut‖. Sampai saat ini masih ribuan jumlah pulau yang belum bernama dan teridentifikasi dengan baik. Itu artinya masih banyak sejarah pulau yang belum dikaji. Dengan demikian masih terbuka luas bagi kajian sejarah maritim mengenai ‗pulau sejarah‘ yang juga terabaikan (the history of neglected islands). Suatu kajian Alex J. Ulaen patut diberikan tempat dalam konteks ini. Berlatar belakang antropologi yang kini banyak berkecimpung di bidang sejarah, ia mengungkap pulau-pulau di kepulauan Sangihie-Talaud yang nyaris terlupakan (dilihat dari sudut pandang tempatan) dalam kurun waktu masuknya pedagang dari Iberia di sana. (Zuhdi, 2006)

Presiden Joko Widodo, 20 Oktober 2014 pernah menyampaikan pidato sebagai berikut:

(18)

―Samudera, laut, selat, dan teluk adalah masa depan peradaban kita. Kita telah terlalu lama memunggungi laut, memunggungi samudera, selat, dan teluk. Sehingga jalesveva jayamahe, di laut kita jaya, sebagai semboyan nenek moyang kita di masa lalu kembali membahana.―

Pernyataan tersebut jelas adanya kemauan politik seorang Jokowi sebagai pemimpin bangsa dan negara Indonesia menginginkan adanya pemberdayaan fungsi dan eksistensi samodra, laut, teluk sebagai tumpuan harapan bagi peradaban masa depan dan menjadikan laut sebagai wahana menuju kejayaan bangsa dan negara Indonesia. Tentu saja semboyan masa lalu itu tidak hanya sebagai slogan semata, namun perlu implementasi serta kerja nyata dari seluruh komponen bangsa agar Indonesia benar-benar menjadi negara yang mandiri, maju, dan kuat seperti kerajaan Sriwijaya yang mengalami zaman keemasan pada masa lalu.

Sriwijaya menjadi kerajaan maritim yang mandiri, kuat, dan sejahtera karena manajemen pemerintahan yang baik, pertahanan dan keamanan yang kuat, dan melibatkan orang selat atau orang laut. Sebaliknya Sriwijaya menjadi terpuruk tatkala pemimpinnya menempatkan sebagaian besar orang-orang daratan untuk mengisi formasi pasukannya, sementara orang laut telah menyingkir, ahli navigasi dan penyelam dari orang laut mulai berkurang, maka kemudian Sriwijaya menjadi terbenam sebagai kerajaan maritim. Sudah saatnya Indonesia perlu menempatkan sdm di bidang kemaritiman pada bidang-bidang yang tepat seperti masa-masa kejayaan kerajaan Sriwijaya. TNI dan polisi perairan serta nakoda-nakoda handal yang didukung oleh awak-awak kapal profesional ditempatkan pada porsinya masing-masing.

Teks kearifan lokal kemaritiman perspektif sejarah dapat dilihat pada Sejarah Buton yang terabaikan: Labu Rope Labu Wana merupakan sebuah ulasan yang patut untuk didiskusikan lebih lanjut. Karya tersebut merupakan penghubung periode dinamis abad keenam belas/tujuh belas Buton, suatu periode, yang menurut penulis (Susanto Zuhdi), telah diabaikan karena hegemoni dari Gowa dan Ternate. Sebagai seorang sejarahwan yang telah memiliki informasi solid, penulis memahami Buton sebagai pulau mencoba untuk menanggapi pengaruh internal dan eksternal dengan mengambil perspektifnya sendiri dan memanfaatkannya dari

(19)

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 7 Denpasar, 25-26 September 2018

semua sarana yang tersedia untuk bertahan hidup: yaitu, melalui hubungan budaya dan struktural. Buku ini terdiri dari enam bab: (1) Pengantar; (2) wilayah Buton; (3) Labu Wana; (4) Labu Rope; (5) Kumpeni Walanda; (6) orang Kumpeni dari sudut pandang orang Buton; dan (7) kesimpulan. Kelalaian tampaknya menjadi kata kunci dalam sejarah Nusantara yang, untuk sampai batas tertentu, tidak hanya dipengaruhi oleh ―daratan‖ tetapi juga oleh laut dan pulau-pulaunya, yang, pada saat kedatangan armada kolonialisme pertama, memainkan peran penting. Buku ini memberi kita suatu uraian yang penting tentang bagaimana kolonialisme berkontribusi pada pengetahuan kita tentang hubungan yang rumit antara "asli" sultan dan kolonial. Ini membuat sketsa Buton sebagai harus menghadapi tidak hanya kekuatan Gowa dan Ternate, tetapi juga kekuasaan para penguasa Belanda laut. Bagi saya, salah satu poin paling menarik yang penulis ungkapkan adalah itu "Budaya" dan "struktur sosial" memberikan makna, dan juga sumber daya sebagai kendala pada saat bersamaan. Para sultan menggunakan tradisi dan budaya lainnya ekspresi untuk melegitimasi diri mereka dan memposisikan diri di antara mereka orang dan dalam hubungannya dengan pulau tetangga. Namun, posisi ini tidak stabil dalam hal hubungan sosial dengan sultan lain dan kemudian, dengan para kolonial. Kontestasi, preseden, dan kebutuhan untuk mengatur akses ke sumber ekonomi sangat penting. Yang terakhir adalah menjadi penting untuk Belanda tetapi penduduk setempat juga membutuhkan legitimasi budaya Dalam menghubungkan fenomena-fenomena ini, penulis mencoba mengidentifikasi hal-hal berikut masalah inti: (1) hubungan sosial antara pulau-pulau dan tetangga mereka otoritas di satu sisi dan Belanda di sisi lain yang menciptakan hubungan ambigu antara pengikut dan tuan (halaman 10), yang pada gilirannya, dipengaruhi (2) hubungan tidak stabil di antara mereka. Kolonial dipersepsikan situasi ini dalam hal "kemitraan" jadi bagi mereka itu mungkin untuk memaksa otoritas lokal untuk menandatangani perjanjian. Multi-level eksternal ancaman dipaksa mereka mengadopsi strategi tertentu tetapi juga merugikan mereka karena kegagalan mereka kesetiaan bahkan memimpin mereka untuk mengubah posisi dari pemenang menjadi itu pecundang di era modern. Buku ini memberikan kontribusi yang signifikan dalam hal "pulau sejarah" dan "pulau dalam sejarah", atau dalam istilah semiotik di "tanda sejarah" dan "masuk sejarah". (Christomy, 2011)

(20)

Dari objek bahasa dan sastra dapat diketengahkan sebuah judul lagu Nenek Moyangku Orang Pelaut ciptaan Ibu Soed yang dapat memberikan inspirasi bagi masyarakat yang mendengarkannya untuk selalu mengenang orang-orang yang sangat profesional dalam bidang kemaritiman.

Nenek moyangku orang pelaut Gemar mengarung luas samudera Menerjang ombak tiada takut Menempuh badai sudah biasa Angin bertiup layar terkembang Ombak berdebur di tepi pantai Pemuda berani bangkit sekarang Ke laut kita beramai-ramai

Syair lagu tersebut memuat konteks sejarah/ genealogi yang memeberikan ilustrasi tentang nenek moyang sebagai pelaut. Generasi muda juga diperkenalkan tentang lingkungan hidup kemaritiman, yaitu dengan mengetengahkan samodra yang berombak dan badai, meskipun ombak dan badai tersebut menerjang dianggap sebagai tantangan hidup karena hidup sesungguhnya penuh tantangan dan perjuangan, sehingga generasi muda tidak perlu takut dan harus kompak menaklukkan laut.

Dari perspektif sastra, seni dan politik teks kearifan lokal kemaritiman tergambar di dalam dunia pewayangan, dalam hal ini lakon Rama Tambak pernah dipergunakan oleh Soeharto melalui Joop Ave Menparpostel sebagai media untuk melepaskan belenggu dari krisis nasional di segala bidang pada tahun 1998 (ruwatan). Ekspresi simbolik dari lakon Rama Tambak pada pertunjukan wayang kulit purwa dimanfaatkan oleh kekuasaan (Orde baru) untuk membendung prahara krisis ekonomi, sosial, politik, dan budaya pada tahun 1998. Teks kearifan lokal kemaritiman ini terdapat relasi dengan permasalahan-permasalahan tersebut. Wayang kulit purwa berjudul Rama Tambak tersebut dipergelarkan atas prakarsa Yoop Ave, Menparpostel saat itu, yang sedikit banyak dipengaruhi oleh kekuasaan Orde Baru. Melalui wahana simbol Yoop Ave memainkan lakon Rama Tambak sebagai alat untuk membebaskan penderitaan rakyat dari belenggu krisis di segala bidang.

(21)

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 9 Denpasar, 25-26 September 2018

Wacana kekuasaan Orde Baru secara implisit tergambar di dalam lakon Rama Tambak. Upaya untuk mengadakan ruwat nasional rupanya mengalami kegagalan, karena pertunjukan wayang dengan lakon tersebut tidak mampu membendung malapetaka nasional. Konstruksi wacana kekuasaan yang berkelindan di dalam wayang kulit purwa lakon Rama Tambak tidak mampu untuk mempengaruhi rakyat Indonesia untuk bersama-sama menghentikan krisis di segala bidang. Soeharto sebagai pusat kekuasaan Orde Baru melalui Yoop Ave dan PEPADI gagal meruwat siatuasi dan kondisi secara nasional yang semakin memburuk dan yang pada akhirnya Soeharto lengser (mundur) dari jabatan kepresidenan karena desakan rakyat.

Pemanfaatan mitos lakon Rama Tambak secara tidak langsung diimplementasikan oleh Presiden Jokowi dengan sebuah konsepnya yang cukup populer, yaitu tentang rancangan dan implementasi pembangunan tol laut yang menghubungkan Medan, Batam, Jakarta, Surabaya, Makasar hingga Sorong. Tol laut itu sendiri merupakan konsep pengangkutan logistik kelautan yang dicetuskan oleh Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo. Program ini bertujuan untuk menghubungkan pelabuhan-pelabuhan besar yang ada di Nusantara. Dengan adanya hubungan antara pelabuhan-pelabuhan laut ini, maka dapat diciptakan kelancaran distribusi barang hingga ke pelosok. Selain hal itu, pemerataan harga Logistik setiap barang di seluruh wilayah Indonesia. Seperti dikutip dari pidato Presiden Jokowi, 5 April 2016 "Tol Laut untuk apa? Sekali lagi ini mobilitas manusia, mobilitas barang. Harga transportasi yang lebih murah, biaya logistik yang lebih murah, dan akhirnya kita harapkan harga-harga akan turun." (https://id.wikipedia. org/wiki/Tol_Laut).

Dirjen Perhubungan Laut, Agus Purnomo menuturkan dinaikkannya subsidi (33,43% dari tahun lalu Rp 335 miliar) guna mengoptimalkan fungsi tol laut dalam menjaga stabilitas harga bahan pokok di seluruh daerah. "Jadi, kita punya jaringan tol laut yang menghubungkan daerah potensial ke daerah terpencil. Tahun 2018 ini pemerintah berusaha keras supaya bagaimana harga bahan pokok beras, tepung termasuk semen dan lain-lain di daerah terpencil, harganya tidak terlalu jauh," jelasnya dalam focus group discussion di Hotel Sari Pan Pacific,

(22)

Jumat (2/3/2018). Tiga pelabuhan utama dalam tol laut adalah Pelabuhan Teluk Bayur (Padang), Pelabuhan Tanjung Priok (Jakarta) dan Pelabuhan Tanjung Perak (Surabaya). (https://www.cnbcindonesia. com/news/20180302113203-4-6000/tol-laut-jokowi-disubsidi-2018-rp-447-miliar-naik-33)

Dalam hubungannya dengan konsep pembangunan tol laut yang dicanangkan oleh Jokowi, lakon Rama Tambak deapat memberikan inspirasi kepada seluruh masyarakat bahwa untuk menyeberang lautan yang luas dengan ombak yang tinggi dan dihuni oleh makhluk mengerikan duperlukan upaya bala tentara Ramawijaya yang berupa kera untuk bergotong-royong dan bahu-membahu dengan semangat gugur gunung membangun tanggul laut (tol) yang berfungsi untuk menghubungan Pancawati dan Alengkadiraja. Upaya yang dilakukan oleh bala tentara kera yang dipimpin oleh Sugriwa dan Hanoman membuahkan hasil dan malapetaka laut Yuyu Rumpung dapat dipatahkan. Ramawijaya beserta bala tentara kera berhasil memasuki Alengka, terjadilah perang besar yang pada akhirnya pasukan Pancawati dapat menguasai Alengka dan melumpuhkan bala tentara Rahwana berupa raksasa. Ekspresi simbolik dalam lakon ini memberikan spirit dan motivasi kepada seluruh masyarakat bahwa laut Indonesia yang luas dengan beribu-ribu pulau yang ada dapat dihubungkan dengan pembangunan tol laut seperti halnya konsep yang dicanagkan oleh Jokowi.

(23)

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 11 Denpasar, 25-26 September 2018

Kebijakan penyusunan kawasan wisata pada Kementerian Pariwisata RI dalam rangka pengembangan destinasi wisata dilakukan beberapa bulan lalu bersama FIBUI, menekankan pada tiga kawasan yang penting yang kontak dengan perairan, yaitu Danau Toba (Sumatra Utara), Tanjung Kelayang (Bangka Belitung), dan Wakatobi (Sulawesi Tenggara). Gambaran wilayah perencanaan tiga tempat wisata perairan tersebut menunjukkan bahwa kondisi wilayah sangatlah penting, meliputi: kondisi geografis; kondisi fisik kawasan: topografi, penggunaanlahan, hidrologi; kondisi sarana dan prasarana; demografi; sosial keagamaan; tradisi dan budaya masyarakat sangatlah penting. Atraksi pada lokasi wisata yang kontak dengan perairan adalah daya tarik yang dapat mengundang wisatawan berupa benda-benda budaya, tradisi, ritual dan upacara, kesenian. Perencanaan pengembangan kawasan pariwisata kelautan, khususnya Tanjung Kelayang dan Wakatobi pengembangan atraksi dan daya tarik wisata dengan mengembangkan objek-objek wisata yang ada; mengembangkan wisata minat khsusus berbasis event/ tradisi, ritual dan upacara; mengembangkan daya tarik wisata pendukung berupa seni pertunjukan; mengembangkan daya tarik dengan menggali potensi kerajinan; mengembangkan atraksi alam, misal sungai, goa, laut; dan mengembangkan wisata pendidikan berbasis keagamaan.

Hasil diskusi Tim FIBUI dan Kementerian Pariwisata disampaikan hal-hal terkait pengembangan kawasan wisata daerah yang berada di pesisir, pantai, perairan laut dengan menyusun teks naratif sejarah masyarakat dan kebudayaan

desa Sijuk Belitung; menyusun narasi sejarah rumah tradisional dan benda-benda budaya masyarakat desa sijuk; menyusun buku teks naratif sejarah

(24)

masyarakat dan kebudayaan Toba (di dua desa sebagai sampel) dan Sulawesi Tenggara; menyusun narasi sejarah rumah tradisional dan benda-benda budaya masyarakat Toba (di dua desa sebagai sampel) dan Sulawesi Tenggara; mengelola aksara dan bahasa terkait idiom-idiom (ungkapan-ungkapan) budaya Batak dan Sulawesi Tenggara dalam tiga bahasa yang dipampang pada tempat2 tertentu.

Keikutsertaan FIBUI dalam sebuah riset bersama Kementerian Pariwisata tahun ini minimal memberikan kontribusi yang signifikan terkait pemikiran tentang pemberdayaan sumber daya budaya dan atraksi budaya pada destinasi wisata pesisir yang kontak dengan perairan baik pada lokasi danau maupun laut. Sumber daya budaya dan atraksi budaya yang dieksplorasi dari teks-teks kearifan lokal kemaritiman baik terkait dengan bahasa dan sastra, adat-istiadat, serta kesenian pada lokasi ―pantai‖ memberikan penguatan terhadap citra Indonesia sebagai negara yang kaya akan pulau dan perairan.

Simpulan

Kajian Revitalisasi Teks-Teks Kearifan Lokal Kemaritiman Untuk Membangun Kehidupan Bermasyarakat Berbangsa dan Bernegara menghasilkan beberapa simpulan sebagai berikut:

Dalam konteks riset, teks-teks kearifan lokal kemaritiman memberikan peluang untuk dikaji terus menerus oleh para pakar dari berbagai disiplin yang hasilnya dapat dipresentasikan kepada masyarakat demi kemajuan ilmu pengetahuan yang sekaligus bermanfaat sebagai sarana mencerdaskan kehidupan bangsa. Untuk membangun kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera diperlukan sejumlah pakar yang handal dari berbagai bidang ilmu pengetahuan baik sejarah, politik, sosial, ekonomi, maupun budaya untuk menangani permasalahan teks-teks kearifan lokal kemaritiman yang muaranya tercapainya wawasan kebangsaan yang kokoh dan maju. Kearifan lokal kemaritiman memberikan perspektif ekspresi simbolik terhadap realitas sosial yang diproyeksikan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Lakon Rama Tambak dalam seni pertunjukan wayang sebagai eskpresi simbolik memberikan spirit dan daya hidup terhadap penyelenggara negara untuk mengimplementasikan pembangunan tol laut dan menyatukan tanah air Indonesia sebagai negara kepulauan.

(25)

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 13 Denpasar, 25-26 September 2018

Dalam konteks manajemen (tata kelola) birokrasi, pemberdayaan teks-teks kearifan lokal kemaritiman perlu adanya sinergitas kerjasama yang erat dan kokoh di bawah koordinasi Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, yang mengkoordinasikan Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perhubungan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, serta Kementerian Pariwisata yang didukung Lembaga Swadaya Masyarakat dan Pemerintah Daerah untuk meningkatkan taraf hidup yang lebih sejahtera dengan mewujudkan wisata bahari yang khas disertai eksplorasi sumber daya budaya dan atraksi budaya lokal. Teks-teks kearifan lokal kemaritiman memberikan identitas (jatidiri) kepada masyarakat pendukungnya untuk membangun citra Indonesia sebagai negara maritim yang kaya akan sumber daya mineral dan sumber daya budaya.

Dalam konteks politik, pengembangan wawasan Nusantara melalui kesadaran akan pentingnya pemahaman tentang keragaman teks-teks kearifan lokal kemaritiman yang tersebar di seluruh pelosok tanah air dapat memberikan penguatan terhadap empat saka guru kebangsaan, yaitu Pancasila, UUD ‘45, Bhinneka Tunaggal Ika, dan NKRI. Teks-teks kearifan lokal yang memuat sejarah masa lalu memberikan perspektif kepada kehidupan masa datang agar lebih taktis dan strategis serta efektif dan efisien dalam mengambil suatu keputusan atas kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Labu Wana Labu Rope: Sejarah Butun Abad XVII memberikan perspektif masa depan yang lebih cerah dan terbuka tentang perlunya wawasan kemaritiman untuk membangun wawasan Nusantara demi terciptanya persatuan dan kesatuan bangsa.

Referensi

Christomy, Tommy. 2011. Sejarah Buton Yang Terabaikan: Labu Rope Labu Wana. Jakarta: Rajawali Pers, Yayasan Kebudayaan Masyarakat Buton, 2010, xli + 350 pages (including illustrations and maps). ISBN 9789797692292. Tinjauan Buku dalam Jurnal Wacana Vol. 13 No. 2. Artikel dalam file:///C:/Users/Acer/AppData/Local/Temp/Susanto_Zuhdi_Sejarah_Buton_y ang_terabaikan_Labu_r-1.pdf

Creswell, John W. (2010). Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed. (Achmad Fawaid, penerjemah). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Darmoko. 2013. Wacana Kekuasaan dalam Wayang Kulit Purwa: Tinjauan Pada

Lakon Rama Tambak. Artikel pada Seminar Ramayana dengan tema ―Ramayana Referensi Tekstual dan Latar Belakang Budaya dalam Konteks Indonesia‖, oleh Jurusan Sastra Nusantara Program Studi Sastra Jawa,

(26)

FIBUGM 5 Juni 2013 di Joglo Plawangan Boutique Jl. Raya Pakem Turi, Karang Gawang, Girikerto, Turi, Sleman, Yogyakarta.

Dickry Rizanny N. 2017. Perpres 16/2017 dan Pembangunan Maritim

Indonesiahttp://maritimnews.com/2017/05/perpres-162017-dan-pembangunan-maritim-indonesia/)

Kementerian PPN Bappenas. 2015. Laporan Implementasi Tol Laut 2015 Direktorat Transportasi Kementerian PPN Bappenas: Implementasi Konsep Tol Laut 2015-2019. Artikel pada http://Nusantarainitiative.com/wp-content/uploads/2016/02/150915-Buku-Tol-Laut-bappenas.pdf

Sejarah Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam https://kkp.go.id/page/6-sejarah.

Yuliati. 2014. Kejayaan Indonesia Sebagai Negara Marirtim. Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Th. 27, Nomor 2, Agustus 2014. Artikel pada file:///C:/Users/Acer/AppData/Local/Temp/5523-4795-1-SM.pdf

Zuhdi, Susanto. 1999. Labu Wana Labu Rope: Sejarah Butun Abad XVII. Disertasi Universitas Indonesia.

---. 2006. Laut, Sungai, dan Perkembangan Peradaban: Dunia Maritim Asia Tenggara, Indonesia dan Metodologi Strukturis. Artikel Konferensi Nasional Sejarah VIII di Jakarta, 14-16 November 2006. Artikel padahttp://www.geocities.ws/konferensinasionalsejarah/susanto_zuhdi_konfe rensi-final.pdf

---. Budaya Maritim, Kearifan Lokal, dan Diaspora Buton. Artikel dalam https://icssis.files.wordpress.com/2012/05/0609082010_18.pdf

(27)

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 15 Denpasar, 25-26 September 2018

SENI KELAUTAN

MEMBANGUN HARMONISASI MANUSIA DENGAN ALAM I Gede Arya Sugiartha

Institut Seni Indonesia Denpasar ABSTRAK

Sejak satu dekade terakhir ini di Indonesia muncul satu bentuk seni baru yang lazim disebut dengan seni lingkungan atau eco-Art. Seni lingkungan merupakan suatu kerja artistik yang mengajukan cara pandang, pemikiran, dan kepedulian atas berbagai bentuk dan sumber kehidupan dari planet bumi yang kita diami. Menggunakan konsep seni kontemporer, seni lingkungan dipergelarkan di alam terbuka seperti sungai, sawah, hutan, dan alam laut. Karya seni lingkungan yang terinspirasi dan dipergelarkan di alam laut juga sering disebut seni kelautan. Tiga karya seni kelautan yang menarik untuk kita cermati sebagai bahan diskusi, adalah Musik Kontemporer ―Harkat Bunyi Alam Manggrove‖ karya I Kadek Indra Wijaya, Dramatari ―Prapat‖ karya Ida Ayu Gede Sasrani Widyastuti, dan Dramatari ―Legu Gondong‖ karya Ida Ayu Ratih Wagiswari. Ketiga karya seni kelautan ini selain bertutur tentang keindahan auditif dan visual alam laut juga mengandung sikap, pesan, dan kepedulian seniman bahwa manusia hendaknya selalu membangun hubungan yang harmonis dengan alam lingkungan.

Kata kunci: seni kelautan, kontemporer, harmoni.

1. Pengantar

Sejak zaman dulu manusia telah memiliki kepedulian terhadap pelestarian alam lingkungan. Masyarakat Hindu Bali memiliki konsepsi Tri Hita Karana, yang salah satunya menyatakan bahwa untuk mencapai kebahagiaan, manusia hendaknya membangun hubungan yang harmonis dengan alam serta lingkungannya. Manusia dipersilakan memanfaatkan potensi alam dan lingkungan sebagai sumber kehidupan dan penghidupan, namun tidak dengan mengekploitasi dan mengubah ekosistemnya. Kepercayaan masyarakat Hindu Bali tentang Dewa Baruna sebagai Dewa laut, kepercayaan masyarakat Jawa tentang Nyai Roro Kidul penguasa laut selatan, upacara melasti yang dilakukan oleh masyarakat Bali, dan upacara Petik laut yang dilakukan oleh masyarakat pesisir di Jawa, adalah bentuk-bentuk penghormatan kepada penguasa laut agar manusia diberikan keselamatan lahir dan batin.

Selain mitos yang diyakini dapat digunakan untuk membangun harmonisasi manusia dengan alam dan lingkungannya, pada zaman modern juga

(28)

dilakukan dengan program-program terstruktur oleh pemerintah seperti membuat regulasi tentang pemanfaatan alam lingkungan. Seniman juga memiliki cara tersendiri untuk bersahabat dengan alam. Ada ungkapan menarik terkait dengan hubungan seniman dengan bentuk-bentuk di alam, yaitu natura artis magistra yang artinya alam adalah gurunya seniman (Soedarso, 1990:33). Karena dianggap guru, maka seniman menghormati dan mencintai alam yang diungkapkan dalam berbagai bentuk karya seni.

Sejak dua dekade terakhir ini di Indonesia muncul garapan-garapan seni pertunjukan yang dilakukan di alam terbuka yang sering disebut dengan seni lingkungan atau Art. Menurut Maryanto (2017:70) seni lingkungan atau eco-Art adalah suatu kerja artistik yang mengajukan cara pandang, pemikiran, dan kepedulian atas berbagai bentuk dan sumber kehidupan dari planet bumi yang kita diami. Tujuannya membangkitkan kesadaran, merangsang dialog, mengubah prilaku dan sikap hormat terhadap spesies lain serta mendorong rasa dan sikap menghargai sistem-sistem alami agar kita hidup berdampingan secara harmonis. Selain dilakukan di alam terbuka seperti laut, sungai, tempat pembuangan sampah, tebing, dan sawah, seni lingkungan biasanya mengangkat tema-tema yang menunjukkan sikap mereka terhadap situasi terkini yang sedang terjadi seperti eksploitasi atau pemanfaatan yang keliru terhadap potensi alam.

2. Tiga Karya Seni Kelautan

Ada tiga karya seni lingkungan yang saya pandang layak untuk kita cermati sebagai hahan diskusi, yaitu Musik Kontemporer ―Harkat Bunyi Alam Manggrove‖ karya I Kadek Indra Wijaya, Dramatari ―Prapat‖ karya Ida Ayu Gede Sasrani Widyastuti, dan Dramatari ―Legu Gondong‖ karya Ida Ayu Ratih Wagiswari. Ketiga karya seni pertunjukan tersebut mengambil inspirasi, tempat pergelaran, dan peralatan di alam laut sehingga kesenian ini dapat juga kita sebut dengan seni kelautan. Karya-karya yang dipersiapkan untuk pemenuhan tugas akhir S3 dan S2 ini tampil sukses dan memukau ratusan penonton yang sengaja ingin menyaksikan keunikan baik dari segi artistik maupun pesan yang ingin disampaikan.

(29)

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 17 Denpasar, 25-26 September 2018

Pertama, karya ―Harkat Bunyi Alam Mangrove‖ terinspirasi dari begitu uniknya suara-suara alam yang ada di lingkungan hutan mangrove Kedonganan dalam kesehariannya. Ada suara burung tengkek yang saling bersautan, ada gesekan pohon dan daun mangrove ketika diterpa angin, ada suara sayatan kepiting yang sedang memakan batang mangrove, ada suara senda gurau para nelayan yang akan pergi dan datang dari melaut (Indra Wijaya, 2016: 2). Suara-suara tersebut mengindikasikan sebuah kedamaian karena ekosistem berjalan alami. Suara-suara inilah dikemas dalam bahasa musikal dengan menggunakan alat-alat musik yang juga dibuat dari batang mangrove dengan kostum dari dedaunan dan pohon mangrove.

Selain menampilkan suara musik yang unik tentang keharmonisan alam mangrove, karya ini juga mengandung kritik sosial tentang fenomena yang sering terjadi di areal hutan mangrove Kedonganan. Terjadinya pembuangan sampah oleh masyarakat, pembuangan limbah industri oleh pengusaha, dan cara pemerintah mengisolasi areal hutan mangrove dari masyarakat dengan pagar kawat, dapat berdampak pada berubahnya ekosistem. Secara lugas Kadek Indra Wijaya menyatakan selain penikmatan estetis, hal yang paling diharapkan dari karya ini adalah dampak atau outcome guna menyadarkan masyarakat bahwa kita harus bersahabat dengan alam (Indra Wijaya, 2016: 125). Jika kita bersahabat maka harus dihindari upaya-upaya eksploitasi agar ekosistem alam dan lingkungan bisa berjalan dengan baik dan memberikan dampak yang positif bagi kehidupan manusia.

Kedua, Dramatari Legu Gondong menggunakan konsep seni lingkungan yang mengambil sumber inspirasi dari latar belakang dan rangkaian tradisi upacara Ngaro di Pantai Sanur. Menurut Lontar Purwa Wangsa Arya Madura upacara Ngaro dilaksanakan setiap purnamaning sasih karo sebagai upacara penghormaan kepada Dewa Baruna atas karunia yang diberikan kepada masyarakat pesisir, khususnya Sanur (Wagiswari, 2015:5). Upacara Ngaro ini dilatarbelakangi oleh sebuah cerita mitos bahwa masyarakat Sanur pernah dijangkiti wabah penyakit yang dibawa oleh sekawanan nyamuk yang disebut Legu Gondong. Nyamuk-nyamuk pembawa penyakit ini muncul dari arah laut kemudian menyerang warga sehingga banyak yang meninggal. Atas nasehat Raja

(30)

Kesiman, masyarakat Sanur diminta untuk segera melakukan upacara permohonan maaf dan penghormatan kepada Dewa Baruna. Upacara ini dianggap mampu menetralisir keadaan sehingga masyarakat Sanur terbebas dari penyakit.

Ada satu point menarik yang dapat dicermati dari karya ini, yaitu wejangan Raja Kesiman yang digubah dalam bentuk puisi sebagai berikut.

―Pasih, tasik, arungan segara….Bencah toyane kasisi. Tinggangane tan keaksi.

Katilar sinaring sasi. Kakardi wong memanah weci luu liyu tanpa rungu. Saru mapalu ring wong tamyu. Karebut buyung lan kadungu. Tan patut keanggen sangu. Pasih…..Pa… asih… Mulih ring kasih. Segara…… Sesama gora. Tan patut wera. Yan tan kaingin wenten wicara‖

Secara umum puisi di atas dapat diartikan bahwa laut merupakan tempat suci yang harus dijaga kesuciannya dari orang-orang yang berfikiran kotor dan jahat. Pasih atau laut adalah tempat yang menyenangkan dan tempat untuk menetralisir segala kotoran atau penyakit (Wagiswari, 2015: 47).

Ketiga, karya dramatari Prapat juga bertemakan pelestarian lingkungan dengan menjadikan areal hutan mangrove sebagai tempat pentas. Ida Ayu Sasrani mencoba menampilkan sesuatu yang baru dan ―tidak biasa‖ untuk mewadahi gagasannya. Pemilihan tempat di areal hutan mangrove (Tahura) Ngurah Rai dengan alasan pengkarya memiliki kepedulian terhadap pelestarian lingkungan mangrove dan biota laut (Sasrani, 2016: 88). Lewat karyanya yang berdurasi sekitar 45 menit pengkarya mampu memukau penonton dan dewan penguji yang hadir menyaksikan karyanya sore itu.

Dramatari ―Prapat‖ adalah seni kontemporer yang menggunakan konsep seni postmodern. Pemilihan bentuk dramatari disebabkan karena pengkarya ingin menyampaikan pesan-pesan yang lugas tentang pelestarian lingkungan khususnya hutan mangrove kepada masyarakat. Ceritera yang digunakan untuk membingkai kesatuan garapan bertutur tentang bagaimana manusia harus menjaga ekosistem hutan mangrove, melindungi biota laut seperti kepiting dari kepunahan, menjaga pohon mangrove agar sehat, serta memanfaatkan potensi hutan tidak dengan cara mengeksploitasi. Ada mitos yang berkembang di masyarakat Suwung Kauh (areal Tahura Ngurah Rai) yang menyatakan bahwa hutan mangrove dihuni oleh seorang dewi cantik dan sejumlah biota laut. Mereka inilah yang melindungi hutan dari berbagai ancaman termasuk manusia. Oleh sebab itulah ketika memasuki hutan

(31)

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 19 Denpasar, 25-26 September 2018

masyarakat harus bertindak sopan, tidak berkata-kata kasar, dilarang menebang pohon sembarangan, dilarang menangkap ikan dengan racun atau bom, karena jika dilakukan akan mendapat hukuman dari dewi penguasa hutan mangrove. Mitos ini masih dipercaya masyarakat dan sampai sekarang cukup ampuh digunaka untuk melindungi hutan mangrove.

5. Harmonisasi dan Membangkitkan Identitas Budaya Bahari

Seni dan estetika dapat mempengaruhi suasana hati sehingga pesan yang disampaikan diresapi secara mendalam dan masuk ke dalam kalbu. Dalam bidang musik Johan (2003: 28) menyebutkan bahwa musik dengan katagori positif menghasilkan peningkatan suasana hati yang positif, demikian pula musik yang sedih menghasilkan peningkatan suasana hati negatif. Seni bisa mengajak para penikmatnya masuk ke dalam suasana yang diinginkan seniman melalui transfer of feeling. Melalui kemampuannya mempengaruhi suasana hati inilah seniman dapat mempengaruhi situasi yang lebih luas. Sebagaimana karya Indra Wijaya yang menyajikan nuansa harmoni alam mangrove, penonton diajak menikmati indahnya suara-suara alam ketika ekosistem hutan mangrove berjalan harmonis dan terbebas dari suara-suara bising dan pencemaran limbah dan sampah. Masyarakat yang menikmati suara-suara indah ini tentu akan merasa senang sehingga tergugah dan menyetujui ajakan seniman agar hutan mangrove terus dipelihara agar ekosistem berjalan secara alami.

Muhammad Jamil dalam sebuah artikelnya berjudul Sistem Budaya Masyarakat Maritim (2015: 3-4) menyatakan ada sejumlah nilai dan norma yang telah menjadi budaya para nelayan dan pelayar Indonesia, antara lain adalah komunalisme, arif lingkungan, religius, kolektivitas, egalitarian, rukun dan setia kawan dalam kelompoknya, saling percaya, taat norma, bertanggung jawab, disiplin, kreatif-inovatif, teguh pendirian, kepetualangan, berani menanggung resiko, adaptif dan kompetitif, berwawasan kelautan dan kepulauan, multikulturalis, nasionalis, dan berpandangan dunia. Para nelayan Bali pada umumnya memiliki kelebihan pada sikap kebersamaan, melestarikan lingkungan ekosistem dan sumber daya perikanan laut serta pemanfaatan hasil-hasil secara bersama. Hal ini tercermin dari sejumlah pengetahuan termasuk mitos yang

(32)

dimiliki bertujuan untuk pelestarian alam laut. Sebagaimana dapat dicermati dari Dramatari Legu Gondong karya Ida Ayu Ratih Wagiswari, menyimpan makna kebersamaan dan pelestarian lingkungan yang terbalut dalam ceritera mitos. Mitos tentang adanya penguasa laut, yaitu Dewa Baruna bagi masyarakat Hindu Bali mengandung makna betapa alam mesti dijaga dengan cara membangun harmoni, bukan dengan mengesploitasi. Jika manusia menjaga alam maka alampun memberi perlindungan kepada manusia.

Estetika dewasa ini telah mengalami penambahan nilai dan makna, yaitu bukan hanya sebuah kelangenan atau untuk kesenangan melainkan juga daya. Sachari (2006:122-126) menyebutkan, selain mengandung daya pesona estetika juga mengandung daya pembelajar dan daya penyadar. Kedayaan estetik karya seni bahkan mampu menjadi ―provokator‖ untuk mempengaruhi berbagai situasi. Mengapa demikian, hal ini tentu disebabkan karena seniman memiliki ―cara ampuh‖, untuk menarik simpati agar dipercaya oleh masyarakat. Dramatari Prapat karya Ida Ayu Gede Sasrani Widyastuti mengandung daya pembelajar dan penyadaran kepada masyarakat bahwa hutan mangrove wajib dilestarikan dan dimanfaatkan dengan baik. Adanya mitos tentang Dewi Mangrove yang kemudian dijadikan ceritera dramatari Prapat adalah kearifan lokal yang memiliki makna dan nilai kebersamaan untuk mengedukasi masyarakat tentang pentingnya bersahabat dengan alam. Dengan membangun keharmonisan dengan alam laut, manusia dapat menjadikan laut sebagai sumber kehidupan dan penghidupan.

6. Penutup

Seni kelautan adalah seni yang menggunakan potensi alam laut sebagai sumber inspirasi dan tempat pergelaran. Selain menyimpan nilai keindahan bentuk, alam laut juga menyimpan berbagai peta makna yang memancing seniman untuk menjadikannya sebagai karya seni. Sejak satu dekade belakangan ini seni-seni kelautan selain bertutur indahnya alam laut, juga untuk menunjukkan sikap, partisipasi, dan kepedulian seniman dalam membangun harmonisasi antara manusia dengan alam laut. Hal ini sangat mendukung upaya membangkitkan identitas budaya bahari Indonesia yang menekankan kebersamaan, taat norma dan arif lingkungan.

(33)

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 21 Denpasar, 25-26 September 2018

Pustaka Acuan

Amien, A. Mappadjantji. 2005. Kemandirian Lokal: Konsepsi Pembangunan, Organisasi, Pendidikan dari Perspektif Sains Baru. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Barker, Chris. 2005. Cultural Studies: Teori dan Praktek. Bandung: PT Bentang Pustaka.

Giddens, Antony. 2009. Konskwensi-Konskwensi Modernitas. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Harjana, Suka. 2004. Musik: Antara Kritik dan Apresiasi, Jakarta: Penerbit Buku Kompas

Jamil, Muhammad. 2015. ―Sistem Sosial Budaya Masyarakat Maritim‖, dalam Kompasiana.com, tanggal 5 Januari 2015.

Johan. 2011. ―Perilaku Musikal dan Kepribadian Kreatif‖, Pidato Pengukuhan Guru Besar Pada Fakultas Seni Pertunjukan ISI Yogyakarta.

Lubis, M. Safrinal dkk. 2007. Jagat Upacara: Indonesia dalam Dialektika yang Sakral dan yang Profan. Yogyakarta: Ekspresi Buku.

Marianto, M. Dwi. 2017. ―Ecoart Dalam Seni Rupa‖, dalam Daya Seni: Bunga Rampai 25 Tahun Prodi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa UGM. Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.

Sachari, Agus. 2002. Estetika, makna, Simbol, dan Daya. Bandung: Penerbit ITB. Soedarso,SP. 1990. Tinjauan Seni, Sebuah Pengantar Untuk Apresiasi Seni.

Yogyakarta: Saku Dayar Sana.

Sumardjo, Jacob. 2010. Estetika Paradoks. Bandung: Sunan Ambu Press, STSI Bandung.

Supriadi, Dedi. 1994. Kreativitas, Kebudayaan dan Perkembangan Iptek. Bandung: CV ALFABETA.

Widyastuti, Ida Ayu Sasrani. 2016. ―Dramatari Prapat‖, Tesis Karya Seni Tugas Akhir pad Program Pascasarjana ISI Denpasar.

Wagiswari, Ida Ayu Ratih. 2015. ―Dramatari Legu Gondong‖, Tesis Karya Seni Tugas Akhir pada Program Pascasarjana ISI Denpasar.

Wijaya, I Kadek Indra. 2016. ―Harkat Bunyi Alam Mangrove‖, Disertasi Karya Tugas Akhir S3 pada Program Pascasarjana ISI Yogyakarta.

Sutrisno, Mudji dan Hendar Putranto. 2005. Teori-Teori Kebudayaan, Yogyakarta: Kanisius.

(34)

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 22 Denpasar, 25-26 September 2018

Purwadi Soeriadiredja

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana kuyahambu@yahoo.com

ABSTRAK

Kemiskinan dan keterbelakangan masyarakat nelayan, serta kerusakan lingkungan pesisir dan laut merupakan dampak dari kebijakan pembangunan yang selama ini berorientasi ke daratan. Sekalipun pemerintah menggulirkan kebijakan modernisasi perikanan untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan, namun hasil yang dicapai belum memuaskan. Secara umum nelayan masih terperosok dalam perangkap kerentanan sosial-ekonomi berkepanjangan. Kenyataan tersebut membuat perekonomian nelayan memprihatinkan.

Kedonganan terletak di kawasan wisata dan menjadi tujuan wisata pantai dan kuliner, namun hal itu bukan jaminan bagi para nelayan dapat meningkatkan kualitas hidupnya. Awalnya perkembangan di Kedonganan tanpa kendali sehingga menimbulkan banyak permasalahan di bidang ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan. Hal tersebut ditenggarai akan menimbulkan ketidakharmonisan dan mencoreng citra objek wisata Kedonganan, bahkan pariwisata budaya Bali.

Dengan berjalannya waktu, kini pantai Kedonganan berubah menjadi tujuan wisata pantai dan kuliner yang menarik. Hal tersebut tak lepas dari peran Desa Adat Kedonganan yang telah melibatkan masyarakat mulai dari perencanaan awal, pengelolaan dan evaluasi dengan tujuan meningkatkan perekonomian masyarakat, mempertahankan adat istiadat setempat dan pengelolaan yang berkelanjutan. Dalam hal ini bagaimana masyarakat Kedonganan dengan kearifanlokalnya menciptakan strategi dalam menghadapi salah satu permasalahan hidup mereka, yaitu kemiskinan, sehingga lambat laun terjadilah peningkatan ekonomi, sosial-budaya yang signifikan.

Sebagai nelayan, bermacam resiko dari pekerjaan sudah biasa mereka hadapi dan terima dengan besar hati karena bagi mereka hidup adalah sebagai anugerah. Suatu hal yang mereka harapkan adalah terciptanya keselarasan dan keserasian antara kehidupan duniawi dan kehidupan dengan Sang Hyang Widi. Untuk itu hidup harus dilandasi dengan sikap pasrah dan menerima apa adanya. Namun bukan berarti harus tetap tinggal diam saja. Pengelolaan pantai Kedonganan berbasis masyarakat ini dijiwai oleh filosofi Tri Hita Karana, karenanya hubungan masyarakat dengan lingkungan (alam, spiritual dan antar manusia) dapat terjalin secara harmonis dan berkelanjutan.

Kata Kunci : Strategi, Nelayan, Kemiskinan. Pendahuluan

Mubyarto dkk. (dalam Kinseng, 2014:38-39) mengemukakan bahwa keluarga nelayan umumnya lebih miskin daripada keluarga petani atau pengrajin. Para nelayan kecil dan buruh nelayan berada pada posisi yang lemah dan marginal.

(35)

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 23 Denpasar, 25-26 September 2018

Penguasaan dan akses terhadap sumber daya alam sering menjadi isu utama dalam konflik sosial. Kusnadi (2002) mengungkapkan bahwa kemiskinan, keterbelakangan masyarakat nelayan, kerusakan lingkungan pesisir dan laut merupakan dampak dari kebijakan pembangunan yang selama ini berorientasi ke daratan. Sekalipun pemerintah menggulirkan kebijakan modernisasi perikanan untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan, namun hasil yang dicapai tidak memuaskan. Secara umum nelayan masih terperosok dalam perangkap kerentanan sosial-ekonomi yang berkepanjangan. Kenyataan tersebut membuat perekonomian nelayan memprihatinkan.

Beberapa dekade terakhir, masyarakat nelayan Kedonganan masih mengalami keadaan yang memprihatinkan itu. Hal tersebut diketahui berdasarkan beberapa hasil penelitian yang mengungkapkan bahwa walaupun para nelayan Kedonganan telah merasakan proses modernisasi bidang perikanan, namun setiap nelayan hanya mampu menangkap ikan maksimal hanya 4,8 kg/hari saja (Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Badung). Menurut Widhianti (2005) meskipun Kedonganan terletak di kawasan wisata, namun hal itu bukan jaminan bagi para nelayan meningkatkan kualitas hidupnya. Berbagai kesulitan hidup ditemui, namun hal itu pun tidak menjadi halangan untuk tetap hidup sebagai nelayan. Penelitian Sucipta (2012) mengungkapkan sejak tahun 1995 Kedonganan mulai terjamah perkembangan kepariwisataan dan menjadi tujuan wisata pantai dan kuliner. Sebagai pengaruh dari keberhasilan pendirian kafe-kafe di pantai Jimbaran, masyarakat Kedonganan pun turut mendirikan kafe-kafe pula. Namun perkembangan di Kedonganan tanpa kendali sehingga menimbulkan banyak permasalahan di bidang ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan. Hal tersebut dikhawatirkan akan menimbulkan ketidakharmonisan dan mencoreng citra objek wisata Kedonganan, bahkan pariwisata budaya Bali. Ketidakharmonisan bisa diatasi bila masyarakat setempat turut berpartisipasi dalam penguasaan sumber daya alam.

Sejak tahun 2007 Desa Adat Kedonganan didukung oleh Pemkab Badung mulai menata pantai Kedonganan dengan memaksimalkan semua potensi desa termasuk penataan kafe-kafe. Pengelolaan kafe diberikan kepada masing-masing banjar di wilayah Kedonganan. Dengan berjalannya waktu, kini pantai

(36)

Kedonganan berubah menjadi tujuan wisata pantai dan kuliner yang menarik. Hal tersebut tak lepas dari peran Desa Adat Kedonganan yang telah melibatkan masyarakat mulai dari perencanaan awal dengan tujuan meningkatkan perekonomian masyarakat, mempertahankan adat istiadat setempat dan pengelolaan yang berkelanjutan. Dalam hal ini bagaimana masyarakat Kedonganan menciptakan strategi dalam menghadapi salah satu permasalahan hidup mereka, yaitu kemiskinan.

Kelurahan Kedonganan

Kelurahan Kedonganan berada di wilayah Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, dan merupakan wilayah (palemahan) Desa Adat Kedonganan. Kelurahan ini terletak di sebelah selatan kota Denpasar dan berjarak -/+ 20 km dari kota.

Luas wilayah Kelurahan Kedonganan 191 ha, yang sebagian besar dimanfaatkan untuk pemukiman. Sebagian lainnya merupakan hutan, pekuburan dan fasilitas umum. Seacara topografis, Kelurahan Kedonganan merupakan daerah dataran rendah pada ketinggian 31 m di atas permukaan laut dengan karakteristik wilayah pesisir dan jenis tanah berpasir yang kurang subur untuk pertanian. Di sebelah selatan merupakan tanah berbukit kapur.

Masyarakat Kedonganan merupakan masyarakat yang heterogen. Selain warga ―asli‖ Kedonganan, banyak pula warga masyarakat yang berasal dari wilayah Bali lainnya. Terlepas dari perbedaan wilayah asal, secara keseluruhan penduduk Kedonganan dapat diidentifikasikan sebagai orang Bali. Sedangkan penduduk pendatang dari etnis lainnya adalah Jawa, Madura, dan Cina.

Agama yang dianut secara mayoritas yaitu Hindu. Sedangkan lainnya ialah Islam, Kristen Protestan, Katholik dan Buddha. Orang Kedonganan percaya bahwa segala aktivitas keagamaan yang dilakukan untuk keselarasan dan keteraturan dalam hidup di dunia dan akhirat. Segala aktivitas keagamaan walau dianggap menyita waktu, tenaga dan biaya, namun mereka percaya bahwa hal itulah tanda bakti kepada Ida Sang Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa.

(37)

Seminar Nasional Bahasa dan Budaya III 25 Denpasar, 25-26 September 2018

M

ata pencaharian utama di Kelurahan Kedonganan adalah sebagai nelayan. Selain itu banyak pula bekerja dalam bidang perdagangan sebagai pengusaha kecil dan menengah, industri dan swasta. Hal itu disebabkan oleh semakin berkembangnya sektor pariwisata di Kedonganan.

Potensi Pariwisata

Wilayah Kedonganan termasuk dalam wilayah Kecamatan Kuta yang merupakan pusat dari pariwisata Bali. Kedonganan merupakan daerah pantai yang potensial sebagai peningkatan hidup masyarakat setempat. Sebelum berkembangnya kepariwisataan, Kedonganan merupakan desa nelayan yang kesehariannya lekat dengan kehidupan dan aktifitas kenelayanan.

Perkembangan kepariwisataan di Kedonganan tidak bisa dipisahkan dari perkembangan kepariwisataan di daerah Jimbaran. Dalam rencana induk pariwisata Bali tahun 1990, wilayah Kedonganan telah ditetapkan sebagai wilayah wisata (tourist resort). Beroperasinya Hotel Four Seasons Jimbaran Bali pada tahun 1993 membuka peluang bagi masyarakat Jimbaran untuk ikut merasakan dampak positif pariwisata. Dengan banyaknya wisatawan yang datang ke pantai Jimbaran, beberapa penduduk Jimbaran mendirikan warung-warung ikan bakar bagi wisatawan yang ingin menikmati makanan tradisional khas nelayan sambil melihat pemandangan matahari terbenam. Kesuksesan warung-warung ikan bakar di Jimbaran mendorong beberapa warga Kedonganan ikut mendirikan warung ikan bakar pula. Keberadaan warung-warung makan tersebut akhirnya berkembang menjadi kafe sehingga pantai Kedonganan dan Jimbaran dikenal sebagai lokasi untuk aktivitas wisata kuliner.

Faktor lain yang mendorong berdirinya kafe di sepanjang pantai Kedonganan adalah tidak terserapnya produksi ikan kelompok-kelompok nelayan Kedonganan yang berlimpah pada waktu itu. Pemindahan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) ke Jembrana mengakibatkan nelayan Kedonganan harus mengalokasikan biaya dan waktu yang lebih banyak untuk membawa hasil tangkapan ke Jembrana. Selain itu adanya keluhan dari otoritas Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai terhadap pencemaran bau di sekitar perairan pantai Kedonganan dan limbah ikan yang dibuang oleh nelayan Kedonganan di

(38)

tengah laut. Fakor-faktor tersebut menyebabkan nelayan Kedonganan beranggapan bahwa profesi nelayan tidak lagi menjanjikan sehingga mereka mulai beralih profesi. Salah satu peluang yang menjanjikan pada waktu itu adalah beralih profesi menjadi pengusaha kafe.

Pada awal perkembangan, pendirian kafe di pantai Kedonganan tanpa koordinasi. Warga yang ingin mendirikan kafe datang ke pantai untuk mengkapling area pantai seluas yang diinginkan dan dibutuhkan. Ketika lahan pantai Kedonganan sudah mulai terbatas, warga yang ingin mendirikan kafe tetap memaksakan diri di area yang sempit, yang mengakibatkan garis pantai Kedonganan didominasi oleh bangunan kafe tanpa perencanaan yang baik sehingga lingkungan Pantai Kedonganan menjadi tidak rapih dan terlihat kumuh. Di samping itu banyaknya jumlah kafe yang ada menimbulkan berbagai dampak negatif, antara lain berupa pencemaran sampah dan pencemaran bau yang bersumber dari limbah kafe yang dibuang langsung ke pantai atau ke laut sebagai akibat tidak adanya sistem pengolahan limbah. Hal tersebut tentunya berdampak tidak baik untuk perkembangan kepariwisataan, khususnya di Kedonganan. Untuk menatanya dibutuhkan suatu perencanaan dan pengelolaan yang didukung dan disetujui oleh seluruh warga masyarakat. Suatu penataan yang dilaksanakan dengan konsep berbasis masyarakat.

Kehidupan Nelayan Kedonganan

Di Kelurahan Kedonganan terdapat empat lembaga tradisional dalam kehidupan bermasyarakat, yaitu desa dinas, desa adat, banjar dan seka. Desa dinas bersifat administratif dan kedinasan yang dikepalai oleh Lurah. Para warga komunitas desa dinas disatukan oleh adanya kesatuan fungsi yang dijalankan oleh Kelurahan sebagai kesatuan administratif.

Desa adat adalah kesatuan masyarakat hukum adat di propinsi Tingkat I Bali yang memiliki satu kesatuan tradisional dan tata krama pergaulan hidup masyarakat Hindu secara turun-temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga. Desa adat mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Kekuasaan tertinggi di desa adat terdapat pada rapat anggota dan dikepalai oleh seorang bendesa adat. Desa adat

Referensi

Dokumen terkait

Penambahan batasan gomory pada metode cutting plane secara efektif akan menyingkirkan beberapa ruang penyelesaian yang tidak berisi titik bilangan bulat yang layak, tetapi tidak

Barang Bahan M entah KdPenjualan KdPelanggan NamaPembeli NamaSupir NoPlat KdBM Jumlah Tipe KdBarang NamaBarang Spesifikasi KdBM NamaBM UkuranBM HargaBM SatuanBM

1) Disiplin kerja berpengaruh signifikan kearah positif terhadap kepuasan kerja pada karyawan Indomobil Nissan-Datsun Solobaru. 2) Stres kerja berpengaruh signifikan kearah

Pasien berhak memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan peraturan yang berlaku di Rumah Sakit.. Pasien berhak meminta konsultasi tentang penyakit

Dari segi yuridis, kredit dan pembiayaan sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992

Berdasarkan penelitian sebelumnya, Capryol 90 memiliki kemampuan yang baik dalam melarutkan berbagai zat aktif obat yang akan dibuat dalam sediaan SNEDDS, salah

rendah dibandingkan musim kedua (Kerinjing) cenderung menyebabkan lebih tingginya intensitas serangan, namun sebaliknya parasitisasi yang lebih tinggi pada musim kedua

Dari Gambar 3-8 yang merupakan hasil perbandingan polarisasi Stasiun Tanjungsari dengan Stasiun Pontianak banyak terdapat data kosong sehingga pola dari