PEMBERIAN NAFKAH ANAK OLEH AYAH
KANDUNG SETELAH PERCERAIAN
(Studi Kasus Keluarga Broken Home Pada Siswa
di MAN Salatiga)
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat
guna memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam
Oleh
Muhamad Latif
NIM 211 11 015
FAKULTAS SYARI’AH
JURUSAN AHWAL AL- SYAKHSHIYYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA
MOTTO
PERSEMBAHAN
Skripsi ini kupersembahkan kepada Sang Maha Pencipta, Allah Swt, Nabi
Muhammad Saw, Ibunda Sri Yatimah, Ayahanda Ahmad Mahfud, Guru Pembuka
semangatku ibu Fathonah, ibu Sofyana, ibu fikri, Kakak Umi’, Kakak Virda, Adik
Zulfi, Sahabat sekaligus motivatorku Nur Khabib; Semua teman-temanku di
organisasi JQH Al-Furqon IAIN Salatiga, kakak-kakak TPQ Al-Barokah Kr. Alit
Salatiga, guru-guru MAN Salatiga yang senantiasa memotivasiku; Semua dosen,
karyawan dan teman-teman baik di kampus satu maupun kampus dua, khususnya
Nur Salim, Lukman Hakim yang senantiasa menyemangatiku, tetanggaku yang
menyayangiku, warga desaku yang ramah tamah. Terimakasih atas dukungan
kalian semua, sehingga aku mampu menyelesaikan perjuanganku menuju gelar
sarjana Hukum Islam dan menjadi orang yang besar seperti sekarang ini, Semoga
amal-amal kalian dicatat sebagai amal yang memenuhi timbangan kelak di akhirat
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, dengan Asma Allah Yang Maha Penyayang. Segala puji
hanya milik Allah swt atas segala kenikmatan yang bersifat lahir maupun batin yang senantiasa diberikan kepada kita. Shalawat salam semoga senantiasa Allah swt limpahkan kepada suri teladan kita, Nabi Muhammad saw beserta keluarga, dan para sahabat beliau. Semoga Allah memberikan ampunan-Nya kepada para pemimpin yang adil, serta kaum mukminin dan mukminat yang setia kepada ajaran Allah dan Rasul-Nya.
Kita perlu mengerti akan pentingnya pemberian nafkah anak oleh ayah setelah perceraian. Maka dari itu pemberian nafkah yang berdasarkan hukum positif maupun hukum Islam sangatlah diperlukan untuk terus diperhatikan baik hal yang disebut sebagai kewajiban maupun tanggung jawabnya. Sehingga kemaslahatan hidup untuk anak setelah perceraian dapat tercapai.
Dalam hal ini peneliti mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Dr. Rachmat Hariyadi, M. Pd selaku Rektor IAIN Salatiga.
2. Dra. Siti Zumrotun, M. Ag selaku Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Salatiga. 3. Bapak Syukron Makmun, M. Si selaku Ketua jurusan Ahwal Al-
Syakhshiyyah IAIN Salatiga.
4. Ibu Evi Ariyani, S.H.,M.H selaku Dosen Pembimbing Akademik. 5. Bapak Farkhani, S.H., S.HI.,M.H selaku Dosen Pembimbing Skripsi. 6. Seluruh dosen IAIN Salatiga dan karyawan akademik.
7. Bapak Moh. Khusen, M. Ag. M. A beserta staf jajarannya selaku Wakil Rektor di Bidang Kemahasiswaan.
8. Seluruh pegawai perpustakaan kampus IAIN Salatiga. 9. Teman-teman baik itu di organisasi, kampus IAIN Salatiga,
11. Keluarga tercinta di rumah.
Yang sudah bersedia memberikan motivasi, bimbingan dan do’a sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Peneliti menyadari karya tulis ini masih banyak kekurangan di dalamnya. Maka peneliti mengharapkan kritik dan saran para pembaca untuk perbaikan karya tulis ini.
Salatiga, 14 September 2015
ABSTRAK
Latif, Muhamad. 2015. Pemberian Nafkah Anak Oleh Ayah Kandung Setelah Perceraian (Studi Kasus Keluarga Broken Home Pada Siswa di MAN Salatiga). Skripsi. Fakultas Syari’ah. Jurusan Ahwal Al-Syakhshiyyah. Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Farkhani, S.H., M.H.
Kata Kunci: Nafkah, Anak broken home, Perceraian .
Penelitian ini merupakan upaya untuk mengembangkan pemberian nafkah oleh ayah kandung setelah terjadi perceraian (studi kasus terhadap siswa-siswi broken home di MAN Salatiga) . Penelitian ini yang pertama untuk mengetahui pemberian nafkah oleh orang tua laki-laki (ayah) kepada anak setelah perceraian pada siswa-siswi broken home di MAN Salatiga. Kemudian yang kedua untuk mengetahui upaya ibu yang dapat ditempuh agar orang tua laki-laki (ayah) melaksanakan kewajibannya menafkahi anaknya setelah perceraian pada siswa-siswi broken home di MAN Salatiga.
Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah Penelitian lapangan (Field Research). Penelitian lapangan (Field Research) yaitu penelitian yang mempelajari secara intensif dengan cara terjun kelapangan langsung untuk memperoleh data sebanyak dan seakurat mungkin. Metode pengumpulan data yang dipakai peneliti adalah metode wawancara (interview) dan observasi. Sedangkan teknik analisis data peneliti menggunakan metode kualitatif.
DAFTAR ISI
MOTTO DAN PERSEMBAHAN………... v
A. Pengertian Nafkah Anak………. 13
B. Profil Orang Tua Siswa-Siswi di MAN Salatiga... 40
C. Sebab-sebab Perceraian Orang tua di MAN Salatiga... 43
1. Tidak Ada Keharmonisan... 44
2. Terus-menerus berselisih... 45
3. Gangguan pihak ketiga... 46
D. Pola Pemberian Nafkah oleh ayah kepada Siswa-Siswi Broken Home di MAN Salatiga... 47
1. Pemberian Nafkah oleh ayah secara suka rela... 48
2. Pemberian Nafkah oleh ayah secara berbelit-belit... 52
3. Pemberian Nafkah oleh ayah tidak pernah diberikan.... 57
4. Pemberian Nafkah oleh ayah maupun pemeliharaan oleh Ibu tidak pernah dilaksanakan... 60
E. Upaya Hukum Ibu Terhadap Pelaksanaan Nafkah Anak Setelah Perceraian ... 64
BAB IV. ANALISIS………. 70
BAB V KESIMPULAN DAN PENUTUP……… 78
A. Kesimpulan……… . 83
B. Saran………... 84
1. Untuk Undang-undang...……... 84
2. Untuk Lembaga Sekolah……….... 85
DAFTAR PUSTAKA………... 85
LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Anak adalah mutiara kehidupan yang diamanahkan oleh Allah
kepada orang tua. Kehadirannya memberi arti untuk menggores kanvas
kehidupan mendatang. Namun realitas keadaan anak di muka peta dunia
belum menggembirakan. Nasib anak belum seindah ungkapan verbal yang
kerap kali memposisikan anak bernilai penting, penerus masa depan bangsa
dan sejumlah simbol lainnya.
Salah satu keadaan yang perlu mendapat perhatian khusus nyata kita
temukan di dalam masyarakat kita dewasa ini terkait dengan masalah anak
adalah “perceraian”. Fakta menunjukkan bahwa runtuhnya bangunan rumah
tangga karena kemelut yang menghantam keluarga berakibat anak ikut
menanggung resiko. Dalam hal ini, anak adalah “korban” termasuk korban
ketidaktahuan mereka sebab usia perkembangannya.
Konflik keluarga berkepanjangan dan berakhir dengan perceraian
ternyata berakibat fatal bagi kehidupan anak. Banyak anak nakal dan hancur
masa depannya karena pertengkaran dan perceraian orang tua. Sekarang dapat
dibayangkan bagaimana anak mendapatkan haknya secara sempurna jika
orang tua bercerai. Tidak dapat dipungkiri jika orang tua anak bercerai, maka
Pernyatan di atas merupakan mafsadat (kerusakan) yang ditimbulkan
oleh perceraian, sehingga Allah sendiri menghalalkan namun sangat
membencinya. Sesuai dengan sabda Rasulullah SAW:
(د واد ﻮﺑا ﻩاور) قﻼﻄﻟا ﻰﻟﺎﻌﺗ ﷲا ﻰﻟإ لﻼﺤﻟا ﺾﻐﺑأ
Artinya: Perbuatan yang halal namun sangat dibenci Allah adalah thalaq.(HR. Abu Dawud)
Kelahiran anak sebagai peristiwa hukum yang terjadi karena
hubungan perkawinan membawa konsekuensi hukum berupa hak dan
kewajiban timbal balik antara orng tua dan anak. Anak mempunyai hak yang
harus dipenuhi oleh orang tua, seperti pemenuhan kebutuhan materiil untuk
biaya kehidupan anak, pendidikan anak serta kasih sayang dari orang tua.
Dalam hal kebutuhan materiil sesuai dengan firman Allah Surat Al-Baqarah
ayat 233:
Artinya: “Para ibu hendaknya menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf....
Kemudian dalam hal pendidikan sesuai dengan sabda Rasulullah
SAW.
ِةَﺮْﻄِﻔْﻟا ﻰَﻠَﻋ ُﺪَﻟْﻮُـﻳ ٍدْﻮُﻟْﻮَﻣ ﱡﻞُﻛ
ِﻪِﻧاَﺮﱢﺼَﻨُـﻳ ْوَأ ِﻪِﻧﺎَﺴﱢﺠَﻤُﻳ ْوَأ ِﻪِﻧاَدﱢﻮَﻬُـﻳ ُﻩاَﻮَـﺑَﺄَﻓ ،
Artinya “Setiap bayi yang dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci) hingga bergerak lisannya, maka bapak ibunya akan menjadikan Yahudi, Nasrani atau Majusi”. (HR. Al-Baihaqi)
Selain orang tua merasa tidak cocok lagi dan memutuskan berpisah,
ada beberapa hal yang menjadi penyebab orang tua bercerai, diantaranya
adalah faktor ekonomi maupun adanya pihak ketiga dalam rumah tangga.
Seperti manusia secara keseluruhan yang memiliki hak asasi manusia,
seorang anak juga memiliki hak tersendiri yakni hak mendapatkan nafkah
dengan tujuan anak dapat tumbuh dan berkembang secara sempurna didalam
lingkungan keluarga yang utuh.
Dalam hal ini, baik Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang
Hukum Perkawinan maupun Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991 Tentang
Kompilasi Hukum Islam dengan tegas mengatur tentang kewajiban orang tua
terhadap biaya nafkah anak setelah terjadinya perceraian yang pada
hakikatnya membebankan kewajiban itu kepada orang tua laki-laki (ayah).
Diantaranya terdapat di dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974,
pasal 45 (1, 2) menjelaskan bahwa: “Kedua orang tua wajib memelihara dan
mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya”. Dan Kewajiban orang tua yang
dimaksud pada pasal (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau berdiri
sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua
orang tuanya putus. Di dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 149 (d)
menjelaskan bahwa bilamana perkawinan putus, maka bekas suami wajib
memberikan biaya hadhanan untuk anak-anaknya yang belum mencapai
Akan tetapi masih banyak orang tua laki-laki (ayah) setelah
perceraian tidak melaksanakan kewajibannya menafkahi anaknya. Hal ini
menjadi salah satu faktor ketidakberuntungan anak dalam proses kehidupan
dan perkembangannya baik dilihat dari sisi rohani maupun jasmani berupa
pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari dan pendidikan yang layak. Maka
dalam hal ini saya mencoba mengangkatkanya dalam sebuah penelitian
skripsi dengan judul: Pemberian Nafkah Anak Oleh Ayah Kandung Setelah
Perceraian (Studi Kasus Keluarga Broken Home Pada Siswa Di MAN
Salatiga).
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah pemberian nafkah oleh orang tua laki-laki (ayah) kepada
anak setelah terjadinya perceraian pada siswa-siswa broken home di
MAN Salatiga?
2. Upaya apa yang harus ditempuh oleh ibu agar (ayah) melaksanakan
kewajibannya dalam memberi nafkah kepada anaknya setelah terjadinya
perceraian pada siswa-siswa broken home di MAN Salatiga?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pemberian nafkah oleh orang tua laki-laki (ayah)
kepada anak setelah perceraian pada siswa-siswa broken home di
2. Untuk mengetahui upaya ibu yang dapat ditempuh agar orang tua
laki-laki (ayah) melaksanakan kewajibannya menafkahi anaknya
setelah perceraian pada siswa-siswa broken home di MAN Salatiga.
D. Manfaat Penelitian
Dari penelitian ini diharapakan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Manfaat Teoretis:
a. Memperluas wawasan dalam ranah keilmuan Hukum Perkawinan.
b. Sebagai bahan refrensi pembelajaran ilmu mata kuliah hukum
perkawinan khusunya tentang kewajiban ayah atas nafkah anak
setelah perceraian.
c. Sebagai bahan refrensi pembelajaran ilmu tentang kewajiban ayah
atas nafkah anak setelah perceraian bagi masyarakat.
2. Manfaat Praktis:
a. Bagi pembaca
Dapat menambah wawasan tentang kewajiban ayah atas nafkah anak
setelah perceraian.
b. Bagi peneliti
1) Menerapkan ilmu yang didapatkan dari Mata Kuliah Hukum
Perkawinan dalam menjawab persoalan atas nafkah ayah kepada
anak setelah perceraian di masyarakat maupun lembaga
2) Menambah pengalaman berharga dari kegiatan penelitian yang
terkait dengan kewajiban nafkah ayah terhadap anak setelah
perceraian yang dialami siswi-siswi di MAN Salatiga.
3) Untuk memenuhi syarat dalam memperoleh gelar sarjana strata
satu (S.1) dalam bidang Hukum Perdata Islam (Syari’ah).
E. Metode Penelitian
Adapun metode penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah
sebagai berikut:
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
a. Metode dan Pendekatan
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif.
Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menekankan pada makna,
penalaran, definisi suatu situasi tertentu (dalam konteks tertentu),
lebih banyak meneliti hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan
sehari-hari. (Munawaroh, 2012:17)
Penelitian yang digunakan adalah penelitian lapangan (Field
Research) yaitu mempelajari secara intensif dengan cara terjun
kelapangan langsung untuk memperoleh data sebanyak dan seakurat
mungkin. Disamping terjun kelapangan tentunya tetap didukung
dengan berbagai refrensi yang berkaitan dengan tema tersebut.
Penelitian ini berlokasikan di MAN Salatiga, rumah
masing-masing siswa Broken Home di lingkup Salatiga.
Penelitian ini menggunakan dua sumber data sebagai berikut:
1) Data Primer
Merupakan keterangan atau fakta yang terjadi dilapangan. Data
primer ini dapat diperoleh langsung dari keterangan ibu atau wali
serta siswa-siswa Broken Home di MAN Salatiga, mengenai
pemberian nafkah oleh ayah setelah terjadi perceraian.
2) Data Sekunder
Merupakan data yang mencangkup dokumen-dokumen resmi baik
berupa buku, majalah, artikel, hasil penelitian sebelumnya, atau
media lain yang menunjang sebagai landasan teori.
2. Teknik Pengumpulan Data
a. Wawancara (interview)
Wawancara adalah bentuk komunikasi antara dua orang,
melibatkan seseorang yang ingin memperoleh informasi dari seorang
lainnya dengan mengajukan pertanyaan, berdasarkan tujuan tertentu
(Mulyana, 2004:180). Wawancara yang akan dilakukan peneliti di
awali dari menghubungi salah satu guru BK di MAN Salatiga, yaitu
beliau Bu Sofyana. Kemudian dari beliau peneliti mendapatkan
informasi mengenai identitas siswa-siswa broken home di MAN
Langkah selanjutnya, peneliti menghubungi para siswa broken
home yang sebelumnya dihubungi lewat masengger (sms). Kemudian
peneliti dengan para siswa broken home menentukan tempat untuk
acara wawancara, baik disekolah, rumah, maupun di taman rekreasi.
b. Observasi (Pengamatan)
Observasi adalah pengamatan yang mendalam, biasanya dilakukan
untuk mendapatkan data tentang pengembangan kegiatan berbasis
masyarakat, pengembangan dan pengelolaan menggunakan observasi
terbuka (Maslihah, 2013:322). Dalam pengumpulan data peneliti
melakukan observasi langsung di sekolah dan rumah masing-masing
siswa broken home lingkup Salatiga.
3. Analisi Data
Penelitian ini menggunakan penganalisis data, peneliti menggunakan
metode kualitatif yakni analisis yaitu untuk meneliti dan mengkaji
kasus. Setelah tersaji data dan diuraikan serta dibandingkan dengan
teori yang ada selama ini.
F. Penegasan Istilah
Penegasan istilah dalam hal ini berguna untuk mengurangi
kesalahan, ambiguitas dan ketidakpahaman pembaca dalam menelaah dan
mengkaji penelitian. Maka dari itu, peneliti akan memberikan beberapa
gambaran pengertian mengenai ruang lingkup dalam penelitian sebagai
1. Nafkah adalah pengeluaran yang biasanya dipergunakan oleh seseorang
untuk sesuatu yang baik atau dibelanjakan untuk orang-orang yang
menjadi tanggung jawabnya (Dahlan, 1996: 1281)
2. Anak broken home adalah anak yang hidup di keluarga yang tidak
harmonis dan tidak berjalan layaknya keluarga yang rukun, damai, dan
sejahtera karena sering terjadi keributan serta perselisihan yang
menyebabkan pertengkaran dan berakhir pada perceraian. (Yusuf, 2000:
38)
3. Perceraian adalah secara bahasa talak (perceraian) bermakna melepas,
mengurai, atau meninggalkan; melepas atau mengurai tali pengikat
perkawinan (Supriatna, 2009:19)
Menurut Abdur Rahman al-Jazairi “Menghilangkan ikatan perkawinan
atau mengurangi ikatan pelepasannya dengan menggunakan lafadz
khusus” (Supriatna, 2009: 20)
G. Tinjauan Pustaka
Setelah melaksanakan penelusuran literatur yang membahas
mengenai pemberian nafkah ayah terhadap anak setelah perceraian, peneliti
telah menemukan beberapa refrensi khususnya dari skripsi dan buku.
Diantaranya yang dapat dijadikan sumber telaah pustaka adalah sebagai
berikut:
Pertama adalah Skripsi Dedy Sulistyanto yang berjudul “Kewajiban
menjelaskan mengenai kewajiban menafkahi oleh ayah kepada anaknya.
Penelitian ini terfokus pada pemberian nafkah oleh ayah selama di dalam
penjara dan hasil penelitiannya apa sang ayah dapat memberikan nafkah dari
hasil yang diperoleh selama bekerja dalam pembinaan kemandirian dilapas
dikumpulkan, diberikan saat keluarga menjenguknya. Memberikan
wewenang penuh kepada keluarga untuk mengelola barang yang
ditinggalkan.
Kemudian yang kedua adalah skripsi M.Fathur Rois yang berjudul
Pemberian Hak Nafkah Anak Setelah Putusnya Perceraian” (Studi Analisis Di
Pengadilan Agama Salatiga Tahun 2001). Dalam penelitian ini terfokus pada
minimnya pemahaman dan kesadaran masyarakat tentang perlindungan hak
nafkah anak setelah perceraian secara hukum di Penghadilan maupun dalam
Undang-Undang. Hal tersebut tergambar dengan tidak adanya gugatan nafkah
yang berdiri sendiri yang diajukan ke pengadilan. Permohonan nafkah hanya
diungkapkan secara lisan dimuka hakim pada saat replik dan duplik.
H. Sistematika Penulisan
Untuk memberikan gambaran umum yang lebih jelas mengenai
penelitian ini, peneliti akan menyajikannya dalam sistematika penulisan
penelitian sebagai berikut:
Bab pertama adalah Pendahuluan, yang meliputi tentang latar
belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
pendekatan dan jenis penelitian, lokasi penelitian, sumber data, tekhnik
pengumpulan data, dan sistematika penulisan.
Bab kedua adalah kajian pustaka, yang meliputi tentang hakikat
nafkah, dasar hukum kewajiban ayah atas nafkah anak, kadar pemberian
nafkah kepada anak, batas pemberian nafkah anak, hak dan kewajiban
memberi nafkah kepada anak, dan urgensi nafkah ayah terhadap kehidupan
anak.
Bab ketiga adalah hasil penelitian, yang meliputi tentang kondisi
kehidupan siswa-siswi broken home, upaya-upaya yang dilakukan ibu.
Bab keempat adalah analisis, berisi tentang analisis hukum islam
dan undang-undang mengenai kewajiban ayah terhadap nafkah anak setelah
perceraian.
Bab kelima adalah penutup, yang meliputi tentang kesimpulan,
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Hakikat Nafkah Anak (Hadhanah)
1. Pengertian Nafkah Anak (Hadhanah)
Kata nafkah berasal dari kata an-nafaqah yang artinya pengeluaran,
yaitu pengeluaran yang biasanya dipergunakan oleh seseorang untuk sesuatu
yang baik atau dibelanjakan untuk orang-orang yang menjadi tanggung
jawabnya (DEPAG,2008:112). Disebutkan juga oleh Ahmad Warson
Munawir, (1997:1449) dalam Al-Munawir Kamus Arab Indonesia bahwa
nafkah mempunyai arti yaitu biaya, belanja, dan pengeluaran uang, di
belanjakan. Dan disebutkan pula dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata bahwa nafkah mempunyai arti yaitu kewajiban bertimbal balik untuk
saling memberi. Dalam Ensiklopedi Islam Al-Kamil dijelaskan nafkah adalah
menanggung kehidupan orang yang ada dalam tanggungannya yang meliputi
makan, pakaian, tempat tinggal dan hal-hal lain yang terkait (Zaerodin,
2012:28).
Sedangkan hadhanah sendiri berasal dari kata Al-Hidhn yang
artinya rusuk. Kemudian kata hadhanah dipakai sebagai istilah “pengasuhan
anak karena seorang ibu yang sedang mengasuh anak sering meletakkannya
di sebelah rusuk. Dan menurut Syekh Manshur Ali Nashif dalam bukunya
anak hingga menjadi besar dapat memahami kata-kata dan menjawabnya
(Nashif, 1993:1087).
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa nafkah hadhanah adalah
pemberian yang wajib dilaksanakan oleh ayah terhadap anak untuk
pemeliharaan dan pengasuhan baik pemberian itu berupa sandang, pangan,
papan maupun pendidikan berdasarkan kemampuannya.
2. Dasar Hukum Nafkah Anak (Hadhanah)
a. Dasar Hukum Nafkah Anak (Hadhanah) dari Al-Qur’an
Q.S. Al-Baqarah ayat 233
kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan” (Q.S, Al-Baqarah: 233).
Menurut pendapat setengah ahli tafsir, ibu-ibu yang dimaksud ialah
perempuan yang di ceraikan oleh suaminya dalam keadaan mengandung.
Sebab ayat ini masih ada hubungannya dengan ayat yang sebelumnya, yaitu
mengenai cerai (Zaerodin, 2012: 30).
Abu Ali Al-Fadli berpendapat bahwa kewajiban suami memberi
nafkah itu bukan disebabkan karena istri itu menyusui anaknya, melainkan
karena isteri itu sendiri yang diceraikan oleh suaminya dan suami wajib
memberi nafkah atas istri sesuai dengan keadaan pada waktu itu. Dapat
diartikan bahwa kewajiban nafkah kepada mantan istri yang telah mempunyai
anak, adalah satu kesatuan yaitu nafkah istri dan pemeliharaan anak
(hadhanah). Begitu juga M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah
berpendapat atas ayat yang artinya merupakan kewajiban ayah, yaitu atas apa
yang dilahirkan untuknya (anak), yakni memberi makan dan pakaian kepada
para ibu kalau ibu anak-anak yang disusukan itu telah diceraikan secara bain
bukan raj’i. Adapun jika masih berstatus istri walau ditalak raj’i, maka
kewajiban memberi makan dan pakaian adalah kewajiban atas dasar
hubungan suami istri (Shihab, 2006: 300). Keharusan nafkah dari seorang
anak-anak dari istri itu, tetapi suami wajib memberi mereka nafkah bahkan saat
perceraian. Apalagi terhadap perawatan anak dan kesejahteraan ibu
merupakan tanggung jawab seorang ayah, meskipun terjadi perceraian jangan
sampai mengurangi nafkah yang wajar bagi ibu dan anaknya sesuai
keadaanya (Zaerodin, 2012: 31). Seperti yang dijelaskan dalam Al-Qur’an
Surat Al-Baqarah ayat 233:
Artinya: “… dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian
pada ibu dan anak dengan cara yang makruf…“ (Q.S, Al-Baqarah: 233).
Islam sebagai agama yang praktis, tidak memaksakan beban yang
berlebihan kepada salah satu pihak. Tetapi mereka harus melakukan yang
terbaik untuk kepentingan anak sesuai dengan kemampuan mereka. Apabila
mereka bertindak dengan tulus, maka Allah akan memberi solusi untuk
mengatasi masalah pemeliharaan anak, seperti yang dijelaskan dalam
Al-Qur’an Surat At-Talaq ayat 6, yang berbunyi:
mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka Nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak -anak) mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya; dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu), dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya” (Q.S, At-Talaq: 6).
Ayat di atas mempertegas hak-hak wanita itu memperoleh tempat
tinggal yang layak. Ini perlu dalam rangka mewujudkan yang ma’ruf,
sekaligus memelihara hubungan agar tidak semakin keruh dengan perceraian
itu. Ayat di atas menyatakan: tempatkanlah mereka para isteri yang di cerai
itu dimana kamu wahai yang menceraikannya bertempat tinggal. Kalau
dahulu kamu mampu tinggal di tempat yang mewah sedangkan sekarang
penghasilan menurun atau sebaliknya maka tempatkanlah mereka di tempat
menurut atau sesuai dengan kemampuan kamu sekarang, dan janganlah
sekali-kali kamu menyusahkan mereka dalam hal tempat tinggal atau
selainnya dengan tujuan untuk menyempitkan hati dan keadaan mereka
sehingga mereka terpaksa keluar atau minta keluar (Shihab, 2006:300). Dan
juga dijelaskan dalam surat At Talaq ayat 7 yang berbunyi:
Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan (Q.S, At-Talaq:7).
M. Quraish Shihab berpendapat bahwa ayat di atas menjelaskan
prinsip umum mencakup penyusuan dan sebagainya sekaligus menengahi
kedua pihak dengan menyatakan bahwa: Hendaklah yang lapang yakni
mampu dan memiliki banyak rezeki memberi nafkah untuk isteri dan
anak-anaknya sebatas kemampuan suami dan dengan demikian hendaknya ia
memberi sehingga anak dan isterinya itu memiliki pula kelapangan dan
keluasan berbelanja dan siapa yang disempitkan rezekinya yakni terbatas
penghasilannya, maka hendaklah ia memberi nafkah dari harta yang diberikan
oleh Allah kepadanya. Dalam jumlah nafkah, M. Quraish Shihab mengatakan
tidak ada ketentuan yang pasti melainkan melihat kondisi masing-masing dan
adat kebiasaan yang berlaku pada satu masyarakat atau apa yang diistilahkan
oleh Al-Qur’an dan Sunnah dengan urf yang tentu saja dapat berbeda antara
satu masyarakat dengan masyarakat yang lain serta waktu dan waktu yang
lain. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Imam Malik dan Abu Hanifah
(Zaerodin, 2012: 35).
Berbeda dengan pendapat Imam Syafi’i bahwa nafkah itu ditentukan
besarnya. Bagi orang-orang yang kaya dikenakan dua mud. (1 mud yaitu 1,5
kg), orang-orang yang sedang dikenakan satu setengah mud, sedangkan
orang-orang yang miskin dikenakan satu mud (Zaerodin, 2012: 35).
َﺲْﻴَﻟ َو ٌﺢْﻴِﺤَﺷ ٌﻞُﺟ َر َن َﺎﻴْﻔُﺳ َﺎﺑا َنا ِﷲا َل ﻮُﺳ َر َﺎﻳ : ْﺖَﻟ ﺎﻗ َﺔﺒْﺘُﻋ ِﺖﻨِﺑا ًﺪٌﻨِﻫ ﱠنا
َﺎﻣ ْي ِﺬُﺧ : َﻞَﻗ ,ُﻢَﻠْﻌَـﻳ َﻻ ﻮُﻫ َو ُﻪﻨِﻣ ُت ْﺬَﺧ ا َﺎﻣ ٌﻻ ا ْي ِﺪَﻟ َو َو ﻲِﻨْﻴِﻔْﻜَﻳ َﺎﻣ ﻲِﻨْﻴِﻄْﻌُـﻳ
ُﺮْﻌَﻤْﻟ ِﺎﺑ َكا د َل َو َو ِﻚْﻴِﻔْﻌَـﻳ
(ن ﺎﺤﻴﺸﻟا ﻩا ور) . ِف ْو
Artinya: Bahwa Hindun binti Utbah pernah bertanya,: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan itu adalah orang kikir, ia tidak suka memberi belanja yang cukup buat aku dan anak-anakku, melainkan dengan hartanya yang aku ambil tanpa setahu dia, apakah itu dosa bagiku”. Nabi saw. menjawab, “Ambillah hartanya yang cukup buatmu dan anak-anakmu dengan cara yang ma’ruf” (Riwayat Syaikhani) (Nashif, 1993: 1115).
ﻮﺑا و يء ﺎﺴﻨﻟاو ﻢﻠﺴﻣ ﻩاور .ﻪﺗ ﻮﻗ ﻚﻠﻤﻳ ﻦﻤﻋ ﺲﺒﺤﻳ نا ﺎﻤﺷ ا ء ﺮﻤﻟ ﺎﺑ ﻲﻔﻛ
.ت ﻮﻘﻳ ﻦﻣ ﺢﺘﻀﻳ نا ﺎﻤﺷا ء ﺮﻤﻟ ﺎﺑ ﻲﻔﻛ :
ﻪﻈﻔﻟو.دواد
Artinya: Cukup besar dosa seseorang bila ia menahan nafkah terhadap orang yang ia miliki. (Riwayat Muslim, Nasa’i dan Abu Daud). Menurut lafaz yang diketengahkan oleh Abu Daud menyebutkan, “cukup besar dosa seseorang bila ia menelantarkan orang yang wajib dinafkahi” (Nashif, 1993: 107).
ﻻا ﻪﻗ ز ﺮﻳ ﻻ ناو ﺔﻳ ﺎﻣ ﺮﻟاو ﺔﺣ ﺎﺒﺴﻟاو ﺔﺑ ﺎﺘﻜﻟا ﻪﻤﻠﻌﻳ نا ﺪﻟو ﻰﻠﻋ ﺪﻟﻮﻟا ﻖﺣ
(ﻲﻘﻬﻴﺒﻟا ﻩاور) ﺎﺒﻴﻃ
Artinya: Seorang Anak terhadap anaknya adalah mendapat pendidikan menulis, renang, memanah, dan mendapat rezeki yang halal (Riwayat Baihaqi) (Ali, 2006: 65).
c. Dasar Hukum Nafkah Anak (Hadhanah) dari Hukum Positif
1) Undang-undang no 1 tahun 1974 pasal 41
a) Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan
kepentingan anak bilamana ada perselisihan mengenai
penguasaan anak-anak pengadilan memberi keputusan.
b) Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya
pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu
bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi
kewajiban tersebut. Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu
ikut memikul biaya tersebut.
c) Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk
memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu
kewajiban bagi bekas istri.
2) Kompilasi Hukum Islam
Pasal 80
a) Suami adalah pembimbing terhadap istri dan rumah
tangganya, akan tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangga
yang penting-penting diputuskan oleh suami istri bersama
b) Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala
sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan
kemampuannya.
c) Suami wajib memberi pendidikan agama kepada istrinya dan
memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan
bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa.
(1) Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri.
(2) Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya
pengobatan bagi isteri dan anak.
(3) Biaya pendidikan bagi anak.
e) Kewajiban suami terhadap istrinya seperti tersebut pada ayat
(4) huruf “a” dan “b” di atas mulai berlaku sesudah ada
tamkin sempurna dari isterinya.
f) Istri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap
dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf “a” dan
“b”.
g) Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur
apabila istri nusyuz (Ali, 2006: 52).
Pasal 81
a) Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi isteri dan
anak-anaknya, atau bekas istri yang masih dalam iddah.
b) Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk
isteri selama dalam ikatan perkawinan, atau dalan iddah talaq
atau iddah wafat.
c) Tempat kediaman disediakan untuk melindungi isteri dan
anak-anaknya dari gangguan pihak lain, sehingga mereka
merasa aman dan tentram. Tempat kediaman juga berfungsi
sebagai tempat penyimpan harta kekayaan, sebagai tempat
d) Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan
kemampuannya serta disesuaikan dengan keadaan lingkungan
tempat tinggalnya, baik berupa alat perlengkapan rumah
tangga maupun sarana penunjang yang lainnya.
Pasal 149
Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib:
a) Memberikan mut’ah yang layak kepada bekas isterinya, baik
berupa uang atau benda, kecuali bekas isteri tersebut qobla al
dukhul.
b) Memberi Nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas isteri
selama dalam iddah, kecuali bekas isteri telah dijatuhi talaq
ba’in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil.
c) Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan
separoh apabila qobla ad dukhul.
d) Memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum
mencapai umur 21 Tahun (Ali, 2006: 77).
3. Kadar Pemberian Nafkah Anak (Hadhanah)
Tentang penentuan ukuran nafkah yang harus di berikan suami
kepada istri dan anak-anaknya baik pada waktu perkawinan atau setelah
perceraian tidak diatur batas-batasnya hanya diatur secara umum yaitu
nafkah pada istri atau anaknya, maka hendaklah diperhatikan beberapa hal,
yaitu;
a. Hendaklah jumlah nafkah itu mencukupi keperluan istri dalam
memelihara dan mengasuh anak dan disesuaikan keadaan dan
kemampuan mantan suami, baik yang berhubungan dengan sandang,
pangan, maupun pendidikan anak.
b. Hendaklah nafkah itu ada pada waktu yang tepat, yaitu ketika mantan istri
itu membutuhkan atau dengan cara ditentukan waktunya.
c. Sebaiknya ukuran nafkah tersebut didasarkan pada kebutuhan pokok dan
pendidikan anak, dan hal ini disesuaikan dengan keadaan perekonomian
di masyarakat (Muchtar, 1974: 134).
Dengan demikian, kadar nafkah keluarga bagi istri atau anak pada
waktu perkawinan atau setelah perceraian yang menjadi tangung jawab suami
harus disesuaikan dengan:
1) Kemampuan Suami
Dalam nafkah keluarga begitu juga nafkah anak baik pada waktu
perkawinan atau setelah perceraian, bahwa istri dituntut untuk tidak
membebani suami diluar kemampuannya. Suami hanya berkewajiban
memberikan nafkah sesuai dengan kemampuannya. Seperti dijelaskan dalam
Artinya: Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan (Q.S, At Thalaq: 7).
2) Tidak kikir dan tidak berlebihan
Jika suami bakhil, tidak memberi nafkah secukupnya kepada istri
tanpa alasan yang benar, maka istri berhak menuntut jumlah nafkah tertentu
baginya dan anak-anaknya. Dan hakim boleh memutuskan beberapa jumlah
nafkah yang harus diterima oleh istri, serta mengharuskan suami untuk
membayarnya jika tuduhan-tuduhan yang dilontarkan oleh istri ternyata
benar. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Surat Al – Isra’ ayat 29
Artinya: “Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya, karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal” (Q.S, Al Isra’: 29).
Maksud dari ayat tersebut adalah jangan terlalu kikir dan jangan pula
dikecam oleh Rasulullah SAW, sebagaimana dijelaskan dalam hadits yang
artinya: Cukup besar dosa seseorang bila ia menahan nafkah terhadap orang
yang ia miliki. (Riwayat Muslim, Nasa’i, dan Abu Daud). Menurut lafaz yang
diketengahkan oleh abu daud menyebutkan, “cukup besar dosa seseorang bila
ia menelantarkan orang yang wajib ia nafkahi” (Zaerodin, 2012: 40).
4. Batas Usia Pemberian Nafkah Anak (Hadhanah)
Dalam Al-Qur’an dan hadits juga tidak diterangkan dengan tegas
masa memberikan nafkah hadhanah, hanya ada isyarat-isyarat ayat yang
menjelaskan hal itu. Oleh karena itu para ulama’ berijtihad sendiri dengan
pedoman isyarat- isyarat tersebut.
Seperti Madhab Hanafi yang berpendapat bahwa masa nafkah
hadhanah untuk anak laki-laki berakhir pada saat anak tersebut tidak lagi
memerlukan penjagaan dan telah dapat mengurus keperluanya sendiri.
Sedangkan masa untuk anak perempuan apabila ia telah baligh atau telah
dapat masa haid pertamanya. Yaitu untuk laki- laki jika telah berumur 7 tahun
dan perempuan jika berumur 9 tahun (Zaerodin, 2012: 41).
Yang dijadikan ukuran ialah tamyiz dan kemampuan untuk berdiri
sendiri. Jika si anak kecil telah dapat membedakan mana yang benar dan
salah, tidak membutuhkan pelayanan perempuan dan dapat memenuhi
Dalam hal ini terdapat beberapa perbedaan diantara imam madzhab,
dan untuk lebih jelasnya dibawah ini dikemukakan beberapa pendapat tentang
batasan seorang anak berhak mendapatkan hadhanah:
a. Golongan Hanafiyah mengatakan bahwa masa asuh anak adalah sampai
dengan 7 tahun, dan menurut sebagian lainnya adalah 9 tahun.
b. Golongan Malikiyah berpendapat bahwa masa hadhanah berlangsung
sejak dia lahir sampai dewasa. Jika ia punya ibu, maka ibulah yang
mengasuhnya sampai dewasa lalu gugurlah hak hadhanah tersebut. Dan
mengenai biaya nafkahnya tetap kewajiban atas ayah.
c. Golongan Syafi’iyah mengatakan tidak ada batasan waktu bagian
pengasuhan. Sesungguhnya anak kecil berhak memilih antar ayah dan
ibunya, dan siapa yang dipilih olehnya, maka dialah yang berhak atasnya.
d. Golongan Hanbaliah mengatakan bahwa masa hadhanah baik laki-laki
maupun perempuan adalah 7 tahun. Tetapi jika anak telah berumur 7
tahun dan kedua orang tuanya sepakat agar salah satu dari mereka yang
mengasuhnya, maka dibolehkan. Dan jika keduanya berselisih maka anak
disuruh memilih.
Didalam KHI pasal 98 ayat 1 di jelaskan bahwa batas usia anak
untuk mendapatkan pemeliharaan adalah sampai ia mampu berdiri sendiri
atau dewasa (21 tahun), sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun
mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan (Zaerodin, 2012: 41).
Dalam pemeliharaan anak setelah terjadinya perceraian antara suami
istri, maka ibulah yang paling berhak mengasuhnya. Hal ini sudah ditentukan
dalam pasal 156 (a) KHI yaitu akibat putusnya perkawinan karena perceraian
ialah anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hak hadhanah dari
ibunya (Zaerodin, 2012: 42).
Dalam Undang-Undang no.1 tahun 74 pasal 41 (a) disebutkan bahwa
“baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik
anak-anaknya, semata mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada
perselisihan mengenai pengasuhan anak pengadilan memberi keputusannya”.
Para Imam madzhab sepakat bahwa hak memelihara ada pada ibu
selama ibu belum bersuami lagi, tetapi bila ia telah bersuami lagi dan sudah
disetubuhi, maka gugurlah hak untuk memelihara anaknya. Jika terjadi
perbedaan pendapat tentang pemeliharaan anak maka Undang-Undang
menyerahkan kebijaksanaan dan keputusan pada hakim dengan pedoman
bahwa kemaslahatan anak harus diutamakan (Zaerodin, 2012: 42).
Meskipun yang berhak memelihara anak adalah ibu, namun dalam
hal biaya pemeliharaan anak (nafkah hadhanah) tetap menjadi kewajiban ayah
menurut kemampuannya, sebagaimana dalam Al–Qur’an disebutkan dalam
surat Al-Baqarah ayat 233 yang artinya: “ … dan kewajiban ayah memberi
makan dan pakaian pada ibu dan anak dengan cara yang makruf … “.
Maksud dari ayat tersebut telah berlaku dan diterapkan dalam KHI
pasal 156 huruf d dan f yaitu akibat dari putusnya perkawinan karena
jawab ayah sesuai dengan kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak
tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri;
f. pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan
jumlah biaya pemeliharaan dan pendidikan anak yang tidak turut padanya.
Dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan Pasal 45
a. Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak
mereka sebaik-baiknya
b. Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini
berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri.
Kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua
orang tua putus.
Dan dalam KHI Pasal 80 (d)
Sesuai dengan penghasilan suami menanggung:
a. Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri
b. Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi
istri dan anak
c. Biaya pendidikan bagi anak
Dalam membangun keluarga tidak akan tercapai keluarga yang
bahagia tanpa tercukupnya nafkah. Dan hal ini merupakan kewajiban suami
sebagai kepala keluarga, meskipun telah terputus perkawinannya.
Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki)
telah menafkahkan sebagian dari harta mereka” (Q.S,
An-Nisa’:34).
Karena itu suami harus menyadari kewajiban dan tanggung
jawabnya dalam memenuhi nafkah untuk istri dan anak-anaknya. Maka suami
hendaknya berusaha sekuat tenaga, agar dapat mencukupi nafkah bagi istri
dan nak-anaknya dengan nafkah yang halal dan diperoleh dengan jalan yang
diridhai Allah SWT. Suami tidak pantas jika berpangku tangan dan tidak
selayaknya berlaku kikir terhadap orang yang menjadi tanggung jawabnya
(Zaerodin, 2012: 44).
B. Urgensi Nafkah Ayah Terhadap Kehidupan Anak
Biaya mengasuh anak dibebankan kepada ayah anak. Segala sesuatu
yang diperlukan anak diwajibkan kepada ayah untuk mencukupkannya.
Apabila ibu yang mengasuh tidak mempunyai tempat tingggal, maka ayah
sebaik-baiknya. Apabila untuk keperluan asuhan yang baik diperlukan pembantu
rumah tangga, maka ayah memang mampu diwajibkan menyediakan
pembantu rumah tangga itu. Apabila anak sudah waktunya masuk sekolah,
maka biaya pendidikan itu menjadi tanggungan ayah juga (Basyir, 1996:94).
Tegasnya, biaya mengasuh anak, apapun bentuknya apabila memang
benar-benar diperlukan adalah menjadi tanggungan ayah sesuai
kemampuannya yang ada. Kecuali biaya mengasuh, nafkah hidup anak pun
yang berupa makan, minum, pakaian, tempat tinggal, kesehatan, dan biaya
pendidikan dibebankan kepada ayahnya (Basyir,1996:94). Berikut ini urgensi
atau pentingnya nafkah ayah terhadap kehidupan anak:
1. Kebutuhan Hidup
Yang dimaksud dengan kebutuhan hidup adalah semua kebutuhan
hidup anak secara layak dan pantas. Adapun yang tergolong dalam kebutuhan
hidup ini meliputi kebutuhan pangan , kebutuhan sandang (pakaian) dan
kebutuhan pengobatan.
Yang pertama kebutuhan pangan yaitu kebutuhan akan makanan dan
minuman dengan segala rangkaiaan yang berlaku lazim di setiap keluarga,
sesuai dengan makanan pokok masing-masing daerahnya. (Zuhri,1991:465)
Dalam hal ini penulis berpendapat bahwa nafkah ayah sangatlah penting
untuk memenuhi kebutuhan pangan setiap hari bagi kelangsungan hidup
anaknya. Dalam kehidupan sehari-hari manusia membutuhkan asupan
Ketika melakukan aktivitas, manusia pastinya membutuhkan energi.
Manusia dapat memperoleh sumber energi dari asupan makanan dan
minuman yang dikonsumsinya setiap hari. Sumber energi itu bisa berupa nasi,
lauk, sayuran, dan minuman. Disisi lain, pangan juga mempunyai fungsi bagi
tubuh manusia yaitu untuk memenuhi zat-zat gizi tubuh, sesuai dengan jenis
kelamin, usia, aktivitas fisik dan bobot tubuh.
Kemudian yang kedua kebutuhan sandang (pakaian) yaitu segala
sesuatu yang diperlukan oleh anak untuk melindungi tubuh dari panas dan
dingin, menutupi auratnya menurut cara-cara yamg pantas sesuai etika yang
berlaku dalam kehidupan masyarakat.(Zuhaily,1984:802) Pakaian menjadi
barang kebutuhan yang utama bagi setiap orang. Dengan berpakaian, orang
dapat terlindung dari berbagai hal yang menimpa badan, misalnya cahaya
matahari, terlindung dari debu dan kotoran, terlindung dari udara yang dingin.
Pakaian menurut agama juga dapat melindungi tubuh dari aurat sehingga
orang itu jauh dari dosa.
(http://pojokmode.blogspot.com/2011/11/manfaat-berpakaian.html diakses 4 juni 2015)
Dengan berbagai mode busana, pria maupun wanita akan tampak
lebih indah dan menarik berkat berpakaian. Pada setiap zaman, pakaian selalu
memiliki tren yang berubah-ubah dan berbeda. Gaya dan model pakaian
ditampilkan sesuai dengan zamannya. Tak khayal setiap zaman para desainer
selalu berkarya dengan hasil terbarunya. Oleh karena itu, peranan nafkah
ayah dalam pemenuhan kebutuhan pakaian kepada anak-anaknya sangatlah
Yang ketiga adalah kebutuhan pengobatan, Menurut Asrori
(1987:38) kebutuhan pengobatan yaitu “kebutuhan akan pemeliharaan
kesehatan bagi anak, termasuk didalamnya adalah biaya pengobatan,
pemeriksaan kedokter dan lain-lainnya”. Penulis berpendapat bahwa nafkah
ayah sangat berguna untuk pemenuhan kebutuhan kesehatan anak sewaktu
sakit. Berobat kedokter atau tenaga kesehatan lainnya membutuhkan biaya
yang tidak sedikit. Hal ini karena disesuaikan dengan biaya perawatan
(apabila diperlukan) dan pengobatan penyakit yang diderita anaknya.
2. Kebutuhan Tempat Tinggal
Menurut Asrori (1987:38), kebutuhan papan yaitu “rumah yang
merupakan tempat berlindung dari panas dan hujan serta mara bahaya, dan
menyimpan harta kekayaan juga tempat tinggal bagi suami istri dan
anak-anaknya”. Penulis berpendapat bahwa nafkah ayah sangat penting untuk
pemenuhan kebutuhan papan anak-anaknya sebagai tempat tinggal. Tempat
tinggal atau sering disebut juga dengan rumah, dapat digunakan sebagai
tempat perlindungan, untuk menikmati kehidupan, beristirahat dan bersuka
ria bersama keluarga. Karena itulah rumah menjadi kebutuhan pokok bagi
anak-anaknya setelah perceraiaan kedua orangtuanya.
Adapun kebutuhan penunjang rumah lainya yang harus terpenuhi
yaitu kebutuhan perabotan rumah tangga. Yang dimaksud dengan kebutuhan
perabotan rumah tangga yaitu semua sarana dan prasarana yang menunjang
sarana mandi, sarana tidur, istirahat, sarana transportasi, sarana komunikasi
dan lain sebagainya. (Rusyid,2002:41)
Dalam hal ini penulis berpendapat bahwa nafkah ayah sangat penting
peranannya dalam hal pemenuhan kebutuhan perabotan rumah tangga
anak-anaknya. Dalam kehidupan kesehariannya, anak-anak sangat membutuhkan
sarana dan prasarana penunjang kehidupan. Misalkan sarana untuk
berkomunikasi seperti HP(Hand Phone). Kemudian untuk sarana tidur seperti
springbade(SB), bantal, guling, dan selimut. Selanjutnya sarana transportasi
seperti sepeda, sepeda motor, dan lain sebagainya. Sarana transportasi ini bisa
digunakan anak untuk berangkat sekolah atau berpergian ketempat tujuan
lainnya.
Kemudian pemenuhan kebutuhan yang berikutnya ialah kebutuhan
akan pelayanan. Yang dimaksud dengan kebutuhan akan pelayanan yaitu
merupakan sarana untuk memperingan beban anak istri, hal ini meliputi
penyediaan tenaga tambahan baik dari suami maupun pembantu rumah
tangga (jika diperlukan). (Bakar:90)
Dalam hal ini penulis berpendapat bahwa pemenuhan kebutuhan
akan pelayanan bisa menjadi hal yang sangat penting dalam kehidupan baru
anak-anaknya. Hal ini dikarenakan anak-anak yang tinggal bersama ibunya,
tentunya tidak bisa terlepas dari berbagai macam pekerjaan rumah tangga.
Mulai dari memasak, , mencuci piring, mencuci pakaian, menyetrika,
menyapu, dan lain sebagainya. Pekerjaan rumah tangga tersebut bisa jadi
ayah untuk menyediakan pembantu atau asisten rumah tangga sangat
BAB III
HASIL PENELITIAN
A. Identitas Siswa-Siswi Broken Home di MAN Salatiga
Dibawah ini adalah identitas siswa-siswi Broken Home yang ada di
MAN Salatiga.
a. Nama : Wiwik Setyaningsih
Tempat /Tanggal Lahir : Kab. Semarang, 27 Mei 1999
Kelas : XI.IPS.3
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat Tinggal : Sanggrahan, Tingkir Lor, RT
02/RW 01.
Ayah : Suprapto Bejo
Pekerjaan : Buruh
Ibu : Sri Suparmi Yatiningsih
Pekerjaan : Buruh
b. Nama : Fifi Fitriyatul A
Tempat /Tanggal Lahir : Kab. Semarang, 28 Maret 1999
Kelas : XI.IPA.3
Jenis kelamin : Perempuan
Ayah : M Zainal Kiram
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Ibu : Puji Rahayu
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
c. Nama : Sulaiman Nur Rokhim
Tempat /Tanggal Lahir : Ambarawa, 23 Februari 1999
Kelas : XI.IPA.4
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat Tinggal : Perum Bawen, RT 06/ RW 01.
Ayah : Agus Nur Ali
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Ibu : Agus Sri
Pekerjaan : Karyawan
d. Nama : Aprila Gusti Wisana
Tempat /Tanggal Lahir : Kab. Semarang, 1 April 1998
Kelas : XII.IPS.2
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat Tinggal : Gading, Tuntang RT 01/RW 02
Ayah : Setyo Agus Winarso
Pekerjaan : Buruh
Pekerjaan : Karyawan
e. Nama : Desy Setyaningrum
Tempat /Tanggal Lahir : Kab. Semarang, 17 Desember 1997
Kelas : XII.IPS.2
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat Tinggal : Gedangan, RT 02/ RW 05, Kec.
Tuntang
Ayah : Priyatno
Pekerjaan : Karyawan
Ibu : Istiqomah
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
f. Nama : Ratna Puspitasari
Tempat /Tanggal Lahir : Salatiga, 8 Juni 1998
Kelas : XII.IPA.4
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat Tinggal : Blambangan, Kauman Kidul RT
02/RW 05
Ayah : Munasir
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Ibu : Astuti
g. Nama : Dwi Aryanto
Tempat /Tanggal Lahir : Kab. Semarang 8 Juli 1999
Kelas : XI.IPS.4
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat Tinggal : Karanglo RT 02/RW 03, Kec.
Tuntang
Ayah : Supardi
Pekerjaan : Buruh
Ibu : Sri Ningsih
Pekerjaan : Buruh
h. Nama : Muhammad Yanuar
Tempat /Tanggal Lahir : Kab. Semarang, 21 Januari 1998
Kelas : XII.IPS.2
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat Tinggal : Gading, Tuntang RT 03/RW 02
Ayah : Jumri
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Ibu : Sumarni
B. Profil Orang Tua Siswa-Siswi di MAN Salatiga
Dibawah ini adalah profil orang tua siswa-siswi broken home yang ada di
MAN Salatiga:
1. Suprapto Bejo(orang tua dari Wiwik Setyaningsih) dilahirkan di Kec.
Tuntang tepatnya di dusun sanggrahan, Tingkir lor, Kab. Semarang,
pada 24 juli 1970. Beliau menempuh jenjang pendidikan sampai tamat
SMP. Untuk menambah wawasan dan pengalaman beliau juga pernah
belajar di pondok pesantren dikawasan Suruh. Beliau bekerja sebagai
kuli bangunan di mulai sejak tahun 1980an hingga sekarang. Beliau
juga turut aktif dalam kegiatan kemasjidan serta taat beribadah dengan
mengerjakan sholat 5 kali sehari.
2. M. Zaenal Kiram (orang tua dari Fifi Fitriatul A) dilahirkan di Kec.
Tuntang tepatnya di dusun Kalipanggang, Candirejo, Kab. Semarang,
pada 13 mei 1973. Beliau menempuh jenjang pendidikan sampai
tamat SMP. Beliau bekerja sebagai buruh pabrik sejak tahun 1980an
hingga sekarang. Semasa kecilnya, beliau tidak aktif mengikuti
pembelajaran baca tulis al-Qur’an. Sehingga sampai berumah
tanggapun beliau juga tidak aktif dalam kegiatan kemasjidan serta
tidak taat beribadah dengan meninggalkan kewajiban sholatnya.
3. Agus Nur Ali (orang tua dari Sulaiman Nur Rokhim) dilahirkan di
pendidikan sampai tamat Sarjana. Beliau bekerja sebagai Karyawan
di sebuah perusahaan pertambangan sejak tahun 1995 hingga
sekarang. Semasa kecilnya, beliau tidak aktif mengikuti pembelajaran
baca tulis al-Qur’an. Sehingga sampai berumah tanggapun beliau juga
tidak aktif dalam kegiatan kemasjidan serta tidak taat beribadah
dengan meninggalkan kewajiban sholatnya.
4. Setyo Agus Winarso (orang tua dari Aprila Gusti Wisana) dilahirkan
di Kab. Semarang tepatnya didesa Gading, Kec. Tuntang pada 20
agustus 1973. Beliau menempuh jenjang pendidikan sampai tamat
SMA. Beliau bekerja sebagai buruh pabrik di sebuah perusahaan
tekstil sejak tahun 1990 hingga sekarang. Diwaktu kecilnya, beliau
tidak aktif mengikuti pembelajaran baca tulis al-Qur’an. Sehingga
sampai berumah tanggapun beliau juga tidak aktif dalam kegiatan
kemasjidan serta tidak taat beribadah dengan meninggalkan kewajiban
sholatnya.
5. Priyatno (orang tua dari Desy Setyaningrum) dilahirkan di Kab.
Semarang tepatnya didesa Gedangan, kec. Tuntang pada 16 april
1972. Beliau menempuh jenjang pendidikan sampai tamat SMA.
Beliau bekerja sebagai Karyawan di sebuah instansi pemerintah sejak
tahun 1995 hingga sekarang. Semasa kecilnya, beliau tidak aktif
mengikuti pembelajaran baca tulis al-Qur’an. Sehingga sampai
berumah tanggapun beliau juga tidak aktif dalam kegiatan kemasjidan
6. Munasir (orang tua dari Ratna Puspitasari) dilahirkan di Sleman,
Yogyakarta pada 23 mei 1975. Beliau menempuh jenjang pendidikan
sampai tamat Sarjana. Beliau bekerja sebagai Karyawan di sebuah
perusahaan motor sejak tahun 1996 hingga sekarang. Semasa
kecilnya, beliau aktif mengikuti pembelajaran baca tulis al-Qur’an.
Sehingga sampai berumah tanggapun beliau juga aktif dalam kegiatan
kemasjidan serta taat beribadah dengan melaksanakan kewajiban
sholatnya.
7. Supardi (orang tua dari Dwi Aryanto) dilahirkan di Kab. Semarang
tepatnya di Karanglo, Kec. Tuntang pada 25 september 1972. Beliau
menempuh jenjang pendidikan sampai tamat SMP. Beliau bekerja
sebagai buruh bangunan sejak tahun 1995 hingga sekarang. Semasa
kecilnya, beliau tidak aktif mengikuti pembelajaran baca tulis
al-Qur’an. Sehingga sampai berumah tanggapun beliau juga tidak aktif
dalam kegiatan kemasjidan serta tidak taat beribadah dengan
meninggalkan kewajiban sholatnya.
8. Jumri (orang tua dari Muhamad Yanuar) dilahirkan di Kab. Semarang
tepatnya didesa Gading, Kec. Tuntang pada 10 juni 1973. Beliau
menempuh jenjang pendidikan sampai tamat SMP. Beliau bekerja
sebagai Karyawan pabrik sejak tahun 1993 hingga sekarang. Semasa
kecilnya, beliau tidak aktif mengikuti pembelajaran baca tulis
dalam kegiatan kemasjidan serta tidak taat beribadah dengan
meninggalkan kewajiban sholatnya.
C. Sebab-sebab Perceraian Orang Tua di MAN Salatiga
Dari banyak kasus perceraian orang tua siswa-siswi yang terjadi di
MAN Salatiga di sebabkan oleh banyak faktor. Faktor-faktor tersebut
diantara lain sebagai berikut:
1. Tidak ada keharmonisan
Di dalam kehidupan berkeluarga sikap saling pengertian satu
dengan yang lainnya akan menunjukkan hubungan keharmonisan. Dengan
keharmonisan akan terciptanya keluarga atau rumah tangga yang rukun
dan bahagia. Pada hubungan keharmonisan tersebut suami atau istri akan
menuju pada keluarga atau rumah tangga yang sakinah, mawadah, dan
warrohmah.
Akan tetapi untuk menjaga keharmonisan seringkali menjadi satu
masalah yang cukup sulit. Bahkan menjadi hal yang sangat rawan terjadi
di dalam rumah tangga yaitu tidak ada sikap saling pengertian. Yang ada
hanya sikap saling acuh tak acuh dan hilangnya rasa saling memahami.
Bahkan sering terjadi bantah membantah antara suami dan istri pada
waktu-waktu tertentu.
Kurangnya komunikasi antar anggota keluarga juga dapat memiliki
dampak yang besar pada munculnya keluarga tidak harmonis, baik itu
terpenting yang harus ada dalam membina sebuah keluarga yang
harmonis. Pasalnya, masalah sekecil apapun tidak akan bisa terselesaikan
dengan cepat dan baik tanpa adanya komunikasi antar individu-individu
yang memiliki masalah.
Banyak Masalah komunikasi yang sering muncul dalam membina
sebuah rumah tangga. Seperti pertengkaran atau percek-cokan antara
suami istri yang sering terdengar. Pertengkaran (cek-cok) yang
perkepanjangan dan tidak berujung terselesaikan dapat menimbulkan
ketidakharmonisan dalam keluarga. Ketidakharmonisan tersebut dapat
menimbulkan Kerenggangan dalam membina rumah tangga yang berujung
pada realita perceraian.
Menurut informan yang pertama, penyebab perceraian kedua orang
tuanya ialah, ”ayah dan ibu itu sebelum berpisah sering terdengar cek-cok
atau bertengkar. Saya juga belum tahu kenapa sebab mula pertengkaran
itu. Tiba-tiba saja terdengar suara bapak dan ibu bantah-bantahan seperti
orang berdebat”.
2. Terus –menerus berselisih
Berselisih yang terus menerus mempunyai arti bahwa di dalam
kehidupan rumah tangga sering terjadi perbedaan pendapat. Perbedaan
pendapat antara suami istri belum bisa ditolerensi bersama berujung pada
mempertahankan pendapatnya. Karena mereka (suami istri) berpandangan
bahwa pendapatnya masing-masing dianggapnya yang paling benar.
Dari perselisihan tersebut, dibutuhkan solusi untuk mendapatkan
kesepakatan bersama. Apabila tidak didapatkan kesepakatan bersama,
maka yang akan terjadi ialah perselisihan yang terus menerus dan
berkepanjangan. Maka dari sinilah akan muncul kerenggangan dalam
rumah tangga yang berujung pada realita perceraian.
Menurut informan yang lain, penyebab perceraian antara kedua
orang tuanya ialah, “bahwa ayah dan ibu sering berselisih pendapat
mengenai tempat tinggal kami sekeluarga. Yang mana ayah menginginkan
agar kami sekeluarga tinggal bersama di asrama tempatnya bekerja.
Sedangkan ibu tidak kerasan untuk tinggal di asrama ayah, dan
menginginkan agar kami sekeluarga bertempat tinggal di perumahan
miliknya. Akibat dari perselisihan berkepanjangan yang terjadi, akhirnya
ayah memutuskan untuk berpisah dengan ibu”.
3. Gangguan pihak ketiga
Kerusakan hubungan rumah tangga antara suami dan istri
dikarenakan faktor dari luar. Yaitu terjadi penghianatan janji kesetiaan
diantara suami istri dalam pergaulannya. Hal ini terjadi karena salah satu
pasangan merasa kecewa atau tidak puas dengan apa yang diharapkan
sebagian suami atau istri akan memilih jalan pintas untuk mencari
pasangan baru yang lebih bisa mewujudkan harapannya.
Akibat Campur tangan pihak ke tiga menimbulkan perasaan benci
dan juga marah terhadap suami istri yang dikhianati. Di lain pihak
anak-anak yang telah lahir dari perkawinan itu juga menunjukkan
kecenderungan yang sama, yaitu perasaan marah dan sedih. Perasaan
marah ditunjukkan pada orang tua mereka yang melakukan penghianatan,
sedangkan perasaan sedih ditunjukkan kepada orang tua yang menjadi
korban penghianatan. Sehingga kehidupan keluarga yang dibinanya tidak
harmonis lagi. Akhirnya suami istri memutuskan lebih baik untuk bercerai
daripada melanjutkan kehidupan berkeluarga.
Menurut informan yang lain, penyebab perceraian kedua orang
tuanya ialah, “ Sebelum ayah dan ibu itu berpisah sering terdengar
pertengkaran. karena ayah itu jarang pulang kerumah tanpa memberi
kabar. Jadi kalau ayah pulang, ibu itu sering marah-marah. Ternyata
setelah diketahui bahwa ayah itu sering jalan bersama dengan perempuan
lain”.
D. Pola Pemberian Nafkah Oleh Ayah Kepada Siswa-Siswi Broken Home di MAN Salatiga
Anak-anak secara langsung dipengaruhi oleh kondisi orang tua
atau walinya. Jika kondisi sumber kehidupan orang tua atau wali
terganggu, maka kondisi perekonomian merekapun juga demikian.
pemberian orangtuanya. Oleh karena itu, kondisi ekonomi yang terjadi
pada anak tergantung pada pemberian orang tua.
Namun setelah terjadi perceraian, tanggung jawab ayah untuk
menafkahi anaknya berangsur-angsur terabaikan. Hal ini secara
langsung berakibat pada kondisi perekonomian anaknya. Dalam
beberapa kasus perceraian orangtua siswa yang terjadi di MAN
Salatiga, terdapat berbagai varian dalam pemberian nafkah oleh ayah
kandung terhadap anaknya. Diantaranya sebagai berikut:
1. Pemberian nafkah oleh ayah secara suka rela
Setelah terjadi perceraian diantara kedua orang tuanya, sebut
saja nana, sekarang tinggal bersama ibunya. Sekarang nana bersama
ibunya tinggal dirumah neneknya. Bersama ibu dan neneknya ia
menjalani hidup bersama tanpa didampingi sang ayah. Sedangkan
ayahnya berada di rumah yang dulu ia bersama ibunya tinggal.
Sekarang nana hidup dilingkungan yang baru di tempat
neneknya. Di lingkungan yang baru ini, ia mulai belajar untuk
bersosial dengan tetangga sekitar. Nana mulai berkenalan dengan
tetangga satu dengan tetangga yang lainnya. Perkenalan itu dimulai
dari sapa menyapa di jalan, beli kopi di warung, ataupun ikut
kumpulan remaja dikampung.
Di lingkungannya yang baru nana belajar untuk beradaptasi
dengan temen-teman sebayanya di lingkungan sekitar. Bersama
barunyalah ia mulai menjalin tali persaudaraan. Di tempat yang baru
ini nana mulai merasakan kenyamanan hidup bersama ibu dan
neneknya.
Di dalam pergaulannya dengan teman-teman barunya,
terkadang nana merasa minder, malu atau kurang percaya diri.
Perasaan ini muncul karena akibat dari perceraian orangtuanya yang
mengakibatkan gangguan dalam beraktivitas menjalani kehidupan
sehari-hari. Walaupun teman-teman sebayanya tidak mengetahui
konflik yang terjadi pada keluarganya namun perasaan minder itu
kerap muncul saat berinteraksi dengannya. Namun dengan rasa optimis
mimin yakin bahwa lambat laut perasaan minder tersebut bisa hilang
dengan sendirinya.
Setelah ayah dan ibunya berpisah, kini nana harus belajar hidup
mandiri. Segala aktivitas harian dirumah nana lakukan bersama dengan
ibun dan nenekya. Mulai dari berkebun, memasak, mencuci,
membersihkan halaman dan lain sebagainya. Segala aktivitas rumah
tangga yang banyak nana kerjakan di sela-sela waktu luang belajarnya.
Pada kondisi demikianlah, yang melatih dirinya untuk tidak tergantung
pada orang lain.
Ibunya menyadari bahwa ia dan anaknya sekarang sudah tidak
lagi tinggal bersama suami (ayah). Beliau menyadari bahwa
sebelumnya ada suami (ayah) yang bekerja mencari nafkah untuk
sehari-hari, tentunya tidak mungkin menggantungkan biaya hidup dari
hasil kebun ibunya (nenek). Pada kondisi demikian, ibu yang
sebelumnya tidak bekerja, ia harus bekerja untuk menggantikan posisi
suami (ayah) sebagai pencari nafkah atau tulang punggung keluarga.
Akhirnya ibu ini memutuskan untuk mencari lapangan
pekerjaan baru yang tersedia. Dalam kurun waktu kurang lebih 2
bulan, akhirnya ibu ini mendapatkan pekerjaan. Ibu ini bekerja pada
sebuah rumah makan di area salatiga. Ibu berangkat bekerja mulai
pukul 08.00 pagi hingga 9.00 malam. Pendapatan ibunya dari
tempatnya bekerja cukup membantu untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari.
Pada kondisi yang demikian, mengubah seluruh kegiatan
aktivitas nana dalam kesehariannya. Yang semula dilakukan bersama
dengan ibu, sekarang sebagian dilakukannya sendirian. Mulai dari
mencuci baju, menyetrika, membersihkan halaman rumah, dan lain
sebagainya. Hal ini di sadari nana akan tuntutan pekerjaan yang harus
dikerjakan ibunya. Hal ini memacu anak hidup aktif dalam segala hal
kegiatan dirumah.
Dalam hal pemberian nafkah oleh ayah terhadap anaknya
setelah perceraian dilaksanakan secara suka rela. Hal ini dibuktikan
dengan kesadaran ayah dalam pemberian nafkah kepada nana setiap