• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik DAS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik DAS"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

2.1. Karakteristik DAS

Daerah aliran sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang secara topografik dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung dan menyimpan air hujan untuk kemudian menyalurkannya ke laut melalui sungai utama. Wilayah daratan tersebut dinamakan daerah tangkapan air (catcment area) yang merupakan suatu ekosistem dengan unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam (tanah, air, dan vegetasi) dan sumberdaya manusia sebagai pemanfaat sumberdaya alam (Asdak, 2004).

Menurut Asdak (2004), DAS dapat dibagi ke dalam tiga komponen, yaitu : daerah bagian hulu, daerah bagian tengah dan daerah bagian hilir. Ekosistem bagian hulu merupakan daerah tangkapan air utama dan pengatur air. Ekosistem bagian tengah merupakan pembagi dan pengatur air, sedangkan ekosistem bagian hilir merupakan daerah pemakai air. Hubungan antara ekosistem tersebut menjadikan DAS sebagai satu kesatuan fungsi hidrologis.

Tidak ada ukuran yang baku bagi suatu DAS, namun secara umum dapat diketahui dari panjangnya anak sungai yang mengalir dari hulu ke hilir. Batas DAS juga tidak identik dengan batas wilayah administrasi. Wilayah DAS bisa meliputi berbagai wilayah administratif, misalnya antar desa, kecamatan, kabupaten, propinsi bahkan dapat meliputi antar negara yang mempunyai keterkaitan biogeofisik melalui daur hidrologi (Asdak, 2004)

DAS mempunyai potensi sumberdaya alam yang dapat dijadikan faktor produksi untuk menghasilkan barang dan jasa. DAS dapat dijadikan sebagai tempat dalam proses formulasi dan implementasi kegiatan masyarakat setempat dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Potensi sumberdaya alam ini bersifat terbatas, oleh karena itu pemanfaatannya harus tidak melebihi daya dukungnya dengan memperhatikan kelestariannya agar dapat memberikan manfaat secara berkelanjutan.

Konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) pada hakekatnya adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan

(2)

mereka (Soemarwoto, 2004). Dalam konteks DAS, pembangunan yang berkelanjutan menurut Asdak (2004) dapat dicapai apabila perangkat kebijakan yang akan diterapkan pada pengelolaan DAS telah mempertimbangkan beberapa hal sebagai berikut :

(1) Pengelolaan DAS dan konservasi tanah dan air merupakan “alat” untuk tercapainya pembangunan sumberdaya air dan tanah yang berkelanjutan. (2) Pengelolaan sumberdaya alam yang tidak memadai (pada skala DAS) telah

menyebabkan degradasi tanah dan air, dan pada gilirannya, menurunkan tingkat kemakmuran rakyat pedesaan.

(3) Penyebab utama tidak memadainya cara pengelolaan sumberdaya alam tersebut di atas seringkali berkaitan dengan kurangnya pemahaman keterkaitan biogeofisik antara daerah hulu-hilir DAS, sehingga produk kebijakan yang dihasilkan tidak atau kurang memadai untuk dijadikan landasan pengelolaan DAS.

(4) Adanya ketidak-sesuaian antara batas alamiah (ekologi) dan batas administratif (politik) suatu DAS seringkali menjadi kendala bagi tercapainya usaha pengelolaan DAS yang komprehensif dan efektif. Tantangan kebijakan dalam pengelolaan DAS yang cukup mendesak adalah mengusahakan tercapainya keselarasan persepsi antara dua sisi pandang tersebut di atas.

(5) Kebijakan pengelolaan DAS yang perlu dibuat dan dilaksanakan, antara lain, yang mendorong semua aktor yang terlibat dalam aktivitas pengelolaan sumberdaya alam pada skala DAS saling menyadari dampak apa yang akan ditimbulkan oleh aktivitas yang dilakukannya. Berdasakan hal tersebut, maka dapat dilakukan evaluasi dini terhadap gejala-gejala terjadinya degradasi lingkungan dan tindakan perbaikan yang diperlukan dapat segera dilaksanakan.

Permasalahan yang sering dijumpai pada DAS adalah degradasi lahan, erosi, sedimentasi, banjir, kekeringan, penurunan kuantitas dan kualitas air, serta pendangkalan sungai dan waduk. Permasalahan ini memerlukan penanganan yang serius dan harus dilakukan secara komprehensif. Upaya-upaya penanganan permasalah tersebut telah banyak dilakukan namun masih bersifat spasial, sebagai

(3)

contoh penanganan pendangkalan sungai dan waduk hanya ditangani dengan kegiatan pengerukan sedimen secara kontinyu, padahal kegiatan ini banyak menelan biaya.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Yunus (2005) dalam studi valuasi ekonomi kerusakan DAS di Sub DAS Citanduy Hulu Jawa Barat menunjukkan bahwa kerusakan selama tiga tahun di daerah hilir sama dengan biaya rehabilitasi daerah hulu, sehingga akan lebih ekonomis jika rehabilitasi daerah hulu dilakukan secara tuntas daripada melakukan pengerukan sedimen dan menderita segala dampak banjir di daerah hilir setiap tahun. Namun demikian di dalam pemilihan teknik rehabilitasi hutan dan lahan perlu diperhatikan sifat DAS yang mencakup tanah, iklim, sungai, bukit dan masyarakat yang ada didalamnya. Oleh karena itu pertimbangan memilih teknologi itu adalah tercapainya sasaran rehabilitasi hutan dan lahan dalam kerangka meningkatnya kesejahteraan masyarakat, khususnya masyarakat petani di sekitarnya.

Kerusakan hutan dan lahan di daerah hulu DAS menyebabkan erosi tanah. Proses erosi dimulai dari penghancuran agregat-agregat tanah akibat pukulan air hujan atau gesekan aliran air yang mempunyai energi lebih besar dari daya tahan tanah. MenurutAgusdan Widianto(2004) ada lima faktor penentu besarnya erosi, yaitu jumlah dan intensitas hujan (erosivitas hujan), kepekaan tanah terhadap erosi (erodibilitas tanah), bentukan lahan (kemiringan dan panjang lereng), vegetasi penutup tanah, dan tingkat pengelolaan tanah. erosivitas hujan merupakan sifat alam yang hampir tidak mungkin dikelola. Erodibilitas tanah dapat diperbaiki dengan memperbaiki struktur tanah dan meningkatkan kandungan bahan organik. Kemiringan dan panjang lereng, vegetasi, dan faktor pengelolaan tanah adalah faktor yang paling sering dikelola untuk mengurangi jumlah aliran permukaan serta menurunkan jumlah erosi.

Pada dasarnya masalah erosi berkaitan dengan tingginya erosivitas hujan, sifat tanah yang mudah tererosi, bentukan lahan dengan lereng yang curam dan panjang, serta penggunaan lahan yang terlalu intensif dan tidak sesuai dengan kemampuan lahannya. Terjadinya erosi dapat disebabkan oleh kondisi alamiah dan karena aktivitas manusia. Erosi alamiah dapat terjadi karena proses pembentukan tanah secara alami untuk mempertahankan keseimbangan tanah,

(4)

sedang erosi karena kegiatan manusia kebanyakan disebabkan oleh terkelupasnya tanah bagian atas akibat cara bercocok tanam yang tidak mengindahkan kaidah-kaidah konservasi tanah (Asdak, 2004).

Tingginya laju erosi tanah dan sedimentasi antara lain disebabkan karena menurunnya fungsi hutan dan lahan. Hutan mempunyai efektifitas pengendalian erosi yang cukup tinggi apabila tanamannya mampu membentuk serasah pada permukaan tanah atau bila tajuknya tersebar sedemikian rupa mulai dari tajuk rendah sampai tajuk tinggi. Dengan demikian mempertahankan keberadaan vegetasi penutup tanah tersebut adalah cara yang paling efektif dan ekonomis dalam usaha mencegah terjadi dan meluasnya erosi permukaan tanah.

Menurut Agus dan Widianto (2004) untuk mengatasi tingginya erosi dan sedimentasi teknik konservasi yang dapat dilakukan di wilayah DAS adalah dengan memperbaiki fungsi filter dari DAS. Peningkatan fungsi filter ini dapat ditempuh dengan penanaman rumput, belukar, dan pohon pohonan atau dengan membuat bangunan jebakan sedimen (sedimen trap). Apabila menggunakan metode vegetatif, maka penempatan tanaman di dalam suatu DAS menjadi penting. Penanaman tanaman permanen pada luasan sekitar 10% saja dari luas DAS, mungkin sudah sangat efektif dalam mengurangi sedimentasi ke sungai asalkan tanaman tersebut ditanam pada tempat yang benar-benar menjadi masalah, misalnya pada zone riparian (zone penyangga di kiri kanan sungai).

2.2. Gerakan Nasional Kemitraan Penyelamatan Air (GN-KPA)

Meningkatnya bencana banjir, tanah longsor dan kekeringan serta pencemaran kualitas air beberapa tahun terakhir mengindikasikan telah terjadinya gangguan pada keseimbangan siklus hidrologi pada daerah aliran sungai (DAS) yang berdampak pada kondisi krisis sumberdaya air. Hal ini disebabkan antara lain karena penciutan area dan kerusakan hutan serta kerusakan lahan DAS yang telah menimbulkan erosi dan sedimentasi, baik di saluran-saluran air, sungai, waduk, danau maupun di sepanjang pantai.

Bertitik tolak dari fenomena tersebut pada tanggal 28 April 2005, Pemerintah c.q Presiden Republik Indonesia mencanangkan suatu gerakan yang disebut Gerakan Nasional Kemitraan Penyelamatan Air (GN-KPA). Gerakan ini merupakan wadah jaringan kemitraan dan keterpaduan tindak nyata dari berbagai

(5)

sektor, wilayah, para pemilik kepentingan dalam pengelolaan sumberdaya air dan merupakan gerakan bersama.

GN-KPA bertujuan untuk mengembalikan keseimbangan siklus hidrologi pada daerah aliran sungai (DAS), sehingga keandalan sumber-sumber air baik kuantitas maupun kualitas airnya dapat terkendali. Sasaran yang akan dicapai dari GN-KPA adalah merespon dekade air untuk kehidupan 2005-2015 dan tercapainya tujuan pembangunan yang mencakup pengentasan kemiskinan, ketahanan pangan, peningkatan pertumbuhan ekonomi-sosial-budaya bangsa dan perlindungan ekosistem (Tim GN-KPA, 2006).

Sebagai langkah awal implementasi kegiatan GNK-PA telah ditentukan lokasi program terpadu jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang sebagaimana disajikan pada Tabel 1, 2 dan 3. Sub DAS Keduang, daerah hulu DAS Bengawan Solo adalah merupakan salah satu Sub DAS kritis yang menjadi

pilot project implementasi program jangka pendek GN-KPA dalam rehabilitasi hutan, lahan dan konservasi sumberdaya air berupa konservasi sipil teknis dan vegetatif di hutan dan lahan masyarakat dengan menekankan peran serta masyarakat sebagai bagian integral dari ekosistem hutan.

(6)

Tabel 1 Program GN - KPA jangka pendek tahun 2005-2007

No. Nama DAS

Kegiatan

1. DAS Ciliwung Penataan ruang dan pengendalian daya rusak air 2. DAS Citarum Kualitas air dan konservasi

3. DAS Cimanuk Konservasi DAS hulu dalam pembangunan Waduk Jatigede 4. DAS Citanduy Pengendalian sedimentasi Segara Anakan dan konservasi 5. DAS Cisadea-Cimandiri Penyelamatan mata air dan air untuk rumah tangga 6. DAS Asahan Konservasi DAS

7. DAS Sungai Ular Penghematan air irigasi dan pengendalian banjir

8. DAS Way Seputih pengendalian sedimen dan konservasi hulu waduk Batu Tegi 9. DAS Bengawan Solo Rehabilitasi hutan, lahan dan konservasi sumberdaya air 10. DAS Brantas Pengendalian sedimen dan konservasi

11. DAS Palung (NTB) Penyediaan air baku dan konservasi 12. DAS Benanain (NTT) Pengelolaan air tanah dan embung 13. DAS Manggar (Kaltim) Konservasi dan illegal logging 14. DAS Mahakam (Kaltim) Air baku dan illegal logging

15. DAS Jeneberang Penyediaan air baku dan pengendalian sedimen 16. DAS Walanae Cenranae Konservasi DAS dan danau Tempe

17. DAS Sambas (Kalbar) Konservasi dan rehabilitasi hutan 18. DAS Barito (Kalteng) Konservasi DAS dan rehabilitasi hutan 19. DAS Membramo (Papua) Penataan ruang dan konservasi

20. DAS Digul (Merauke) Penyusunan pola pengelolaan sumberdaya air

21. DAS Batanghari (Jambi) penatan ruang, konservasi sumberdaya alam, penyelamatan hutan, perkebunan dan lahan

Sumber : GN – KPA, 2006

Tabel 2 Program GN - KPA jangka menengah tahun 2007-2009

No. Nama DAS Kegiatan

1. DAS Ciujung Ciliman (Banten) -

2. DAS Jratun Seluna (Jawa Tengah) -

3. DAS Serayu Bogowonto (Jawa Tengah) -

4. DAS Krueng Aceh (NAD) -

5. DAS Indragiri (Riau) -

6. DAS Manna-Padang Guci Musi (Bengkulu) -

7. DAS Dodokan (NTB) -

8. DAS Kota Waringin (Kalteng) -

9. DAS Baubau-Wanca (Sultra) -

10. DAS Tondano (Sulut) -

11. DAS Tukad Unda (Bali) -

(7)

Tabel 3 Program GN - KPA jangka panjang tahun 2009-2025 No Nama DAS Kegiatan

1. DAS Krueng Peusangan (NAD)

-

2. DAS Lau Renun (Sumut) -

3. DAS Nias, Kepulauan (Sumut) -

4. DAS Kampar (Riau) -

5. DAS Rokan (Riau) -

6. DAS Kuantan (Riau) -

7. DAS Kampar Kanan (Riau) -

8. DAS Cipunegara (Jabar) -

9. DAS Kali Garang (Jateng) -

10. DAS Kali Bodri (Jateng) -

11. DAS Bribin (DIY) -

12. DAS Pasiraman (Jatim) -

13. DAS Rejoso (Jatim) -

14. DAS Sampean (Jatim) -

15. DAS Noelmina (NTT) -

16. DAS Aisissa (NTT) -

17. DAS Kambaheru (NTT) -

18. DAS Lois (NTT) -

19. DAS Billa (Sulsel) -

20. DAS Saddang (Sulsel) -

21. DAS Lasolo (Sultra) -

22. DAS Poso (Sulteng) -

23. DAS Lamboru (Sulteng) -

24. DAS Limboto (Sulut) -

25. DAS Dumoga (Sulut) -

26. DAS Hatu Tengah (Maluku) -

27. DAS Baliem (Papua) -

Sumber : GN – KPA, 2006

2.3. Rehabilitasi Hutan dan Lahan

Hutan hujan tropis Indonesia yang menduduki posisi ketiga setelah Brazil dan Zaire yang pada saat ini sedang mengalami degradasi dikarenakan tingkat deforestasi yang sangat tinggi. Kerusakan hutan semakin lama semakin meningkat. Sebelum tahun 1997 tingkat kerusakan hutan sekitar 800.000-900.000 ha per tahun, meningkat menjadi 3,8 juta ha pada tahun 2003 (Siahaan, 2007).

(8)

Pemerintah cq. Departemen Kehutanan telah memberikan perhatian yang serius terhadap kerusakan hutan tersebut, antara lain dengan telah terbentuknya Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (BRLKT) yang berfungsi untuk memperbaiki kondisi hutan dan lahan yang mengalami degradasi. Selama lima tahun (2003-2007) pemerintah telah melaksanakan kegiatan gerakan nasional rehabilitasi hutan dan lahan (GN-RHL) seluas 1.241.173 ha. (Departemen Kehutanan, 2007).

Berdasarkan UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Rehabilitasi Hutan dan Lahan dimaksudkan untuk memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga. Rehabilitasi hutan dan lahan pada umumnya diselenggarakan dengan cara penerapan teknik konservasi secara vegetatif dan sipil teknis pada lahan-lahan kritis dan lahan tidak produktif yang berada di wilayah hulu DAS. Namun demikian cara penerapan program rehabilitasi harus disesuaikan dengan lingkungan dimana program rehabilitasi tersebut dilaksanakan.

Menurut Asdak (2004) metode rehabilitasi untuk lahan hutan biasanya menggunakan prinsip-prinsip sebagai berikut :

1. Menghilangkan atau membatasi faktor-faktor penyebab terjadinya kerusakan sumberdaya hutan atau lahan hutan.

2. Memperluas atau mempertahankan vegetasi, terutama pada lahan-lahan yang tidak atau kurang ditumbuhi vegetasi.

3. Memisahkan aliran air (hujan) dari jalan hutan dengan cara membuat sistem drainase pada jalan tersebut.

4. Menutup jalan-jalan hutan yang tidak direncanakan dengan baik atau tidak dilengkapi dengan saluran-saluran pembuangan air.

Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut maka untuk rehabilitasi hutan dan lahan di wilayah DAS yang lebih sesuai adalah dengan menghilangkan atau membatasi faktor-faktor penyebab terjadinya kerusakan hutan dan lahan disertai dengan memperluas atau mempertahankan vegetasi yang ada. Trison (2005) mengemukakan tiga pendekatan untuk mengatasi degradasi dan mempercepat proses pemulihan ekosistem (recovery). Pertama, adalah restorasi (restoration)

(9)

yang didefinisikan sebagai upaya untuk memulihkan kembali (recreate) ekosistem hutan aslinya melalui penanaman dengan jenis tanaman asli yang ada pada kawasan atau lahan tersebut sebelumnya. Kedua, melalui rehabilitasi yang diartikan sebagai penanaman hutan dengan jenis asli dan jenis exotic. Dalam hal ini tidak ada upaya untuk menata ulang ekosistem asli. Tujuannya hanya untuk mengembalikan hutan pada kondisi stabil dan produktif. Oleh karena itu ekosistem hutan yang terbentuk adalah campuran termasuk jenis asli. Ketiga, adalah reklamasi yang berarti penggunaan jenis-jenis exotic untuk menstabilkan dan meningkatkan produktivitas ekosistem hutan. Dalam hal ini tidak ada sama sekali upaya perbaikan biodiversitas asli dari areal yang terdegradasi.

Permasalahan rehabilitasi hutan dan lahan dalam konteks DAS adalah degradasi lahan dan erosi. Pemilihan teknik rehabilitasi tergantung pada sifat DAS yang antara lain adalah sifat dan bentuk tanah serta masyarakat yang ada di dalamnya. Tanah yang berlereng curam mungkin tidak sesuai jika digunakan untuk tanaman semusim, karena disamping sistim pengolahan semusim dapat menyebabkan tanah menjadi mudah tererosi, juga menyulitkan dalam pengelolaannya. Oleh karena itu jenis tanaman yang lebih cocok adalah jenis tanaman keras (tahunan).

Rehabilitasi hutan dan lahan juga harus disesuaikan dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat, misalnya kepemilikan tanah, pengetahuan, penghasilan dan jumlah tenaga kerja. Sebagaimana dikatakan oleh Agus dan Widianto (2004) bahwa tindakan konservasi yang mudah diterima petani adalah tindakan yang memberi keuntungan jangka pendek dalam bentuk peningkatan hasil panen dan peningkatan pendapatan, terutama untuk petani yang status penguasaan lahannya tidak tetap. Kegiatan konservasi yang akan diterapkan seharusnya dipilih oleh petani dengan fasilitas penyuluh. Petani paling berhak mengambil keputusan untuk kegiatan yang akan dilakukan pada lahan mereka. Keberhasilan tindakan konservasi akan semakin mudah dicapai apabila masyarakat yang diharapkan berpartisipasi mengerti permasalahan yang akan dipecahkan dan manfaat dari tindakan tersebut.

(10)

2.4. Partisipasi Masyarakat

Perubahan paradigma sistem pengelolaan kebijakan dari top down ke buttom up sudah banyak diterapkan. Dalam beberapa hal, masyarakat sudah mulai dipandang sebagai bagian integral dari pengelolaan suatu kebijakan. Masalah rehabilitasi hutan dan lahan merupakan salah satu kebijakan konservasi sumberdaya alam yang tidak bisa dilepaskan dari peran dan keberadaan masyarakat setempat.

Dalam pasal 5 sampai dengan pasal 7 UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, telah diciptakan landasan hukum bagi eksistensi sosial dan partisipasi masyarakat. Demikian juga dalam pasal 67 sampai dengan pasal 70 UU No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan, memberikan landasan hukum pengakuan masyarakat dalam konteks ekosistem hutan. Iklim ini menunjukkan begitu pentingnya peran masyarakat dalam pengelolaan kebijakan lingkungan hidup. Kekuatan, kemampuan dan keikutsertaan masyarakat dalam proses pengelolaan kebijakan itulah yang disebut dengan istilah partisipasi masyarakat.

Menurut Adisasmita (2006), partisipasi berarti prakarsa, peran aktif dan keterlibatan semua pelaku pembangunan termasuk penyedia dan penerima pelayanan, serta lingkungan sosialnya dalam pengambilan keputusan, perumusan rencana, pelaksanaan kegiatan dan pemantauan pelaksanaan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial. Selanjutnya Adisasmita (2006) mendefinisikan partisipasi anggota masyarakat adalah keterlibatan anggota masyarakat dalam pembangunan, meliputi kegiatan dalam perencanaan dan pelaksanaan (implementasi) program/ proyek pembangunan yang dikerjakan di dalam masyarakat lokal.

Dalam konteks partisipasi masyarakat, definisi ini mengandung pengertian selain keterlibatannya, juga diperlukan adanya suatu prakarsa dan peran aktif dari masyarakat dalam pengambilan keputusan, baik pada tahap perencanaan maupun pada tahap pelaksanaan program. Seringkali partisipasi masyarakat hanya diukur dari jumlah kehadiran dalam suatu pertemuan. Mereka dikumpulkan hanya sebagai formalitas dalam program-program partisipasi tanpa adanya hak berpendapat dan keterlibatan secara aktif dalam setiap pengambilan keputusan. Oleh karena itu pelaksanaan program sering tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

(11)

Partisipasi sebagai strategi kebijakan dimaksudkan sebagai upaya atau tindakan dalam perumusan dan implementasi berbagai program pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat agar dapat terlaksana secara

reliable, acceptable, implementable, dan workable (Adisasmita, 2006). Pengertian

reliable adalah program-program yang dirumuskan meyakinkan dan terpercaya karena dilakukan oleh seluruh anggota masyarakat. Acceptable artinya dapat diterima oleh masyarakat luas karena program yang akan diimplementasikan disusun dan dirumuskan oleh, dari dan untuk anggota masyarakat setempat secara bersama-sama. Implementable artinya program-program dapat diimplementasikan karena disusun oleh masyarakat berdasarkan potensi, kondisi dan kemampuan yang dimilikinya sehingga sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Workable atau dapat dikerjakan masyarakat setempat, artinya bilamana ada hambatan atau kekurangan dalam implementasinya, maka dapat diatasi dengan partisipasi anggota masyarakat setempat (Adisasmita, 2006).

Menurut Baharsjah (1999) ada dua pengertian partisipasi masyarakat yang merupakan pusat dari proses pembangunan sosial. Pertama, partisipasi masyarakat sebagai tujuan sentral dari pembangunan sosial, yaitu terciptanya masyarakat yang aktif mengambil bagian dalam semua aspek kehidupan, baik ekonomi, politik, sosial, maupun budaya. Pengertian ini juga mencakup pemacuan keterlibatan seluruh warga masyarakat untuk mengambil peran dan sekaligus menikmati hasil-hasilnya. Kedua, partisipasi lebih menitik beratkan pentingnya keikutsertaan masyarakat secara ekonomi, sosial, budaya atau politik.

Pada saat ini program-program pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam banyak menggunakan pendekatan-pendekatan partisipatif. Hal ini dapat dilihat dalam produk-produk hukum yang telah mencantumkan hak, kewajiban, dan peran serta masyarakat, seperti UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup ( Bab III, pasal 7), UU No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (Bab IX, pasal 70) dan masih banyak lagi produk-produk hukum yang mensyaratkan keterlibatan masyarakat. Proses ini sangat berarti bagi pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam di masa-masa mendatang, karena memungkinkan dikembangkannya pendekatan partisipatif yang dapat merealisir

(12)

hak-hak masyarakat yang selama ini lebih banyak dikuasai oleh pemerintah dengan sistem kebijakan top down nya.

Ada beberapa alasan yang diberikan dalam penyertaan peran masyarakat, sebagaimana dikatakan oleh Mitchell dan Setiawan (2000) bahwa melalui konsultasi dengan masyarakat yang tinggal di wilayah yang akan terkena kebijakan, program, atau proyek, dimungkinkan untuk (1) merumuskan persoalan dengan lebih efektif, (2) mendapatkan informasi dan pemahaman di luar jangkauan dunia ilmiah, (3) merumuskan alternatif penyelesaian masalah yang secara sosial akan dapat diterima, dan (4) membentuk perasaan memiliki terhadap rencana dan penyelesaian, sehingga memudahkan penerapan. Meskipun pendekatan partisipatif mungkin memerlukan waktu lebih lama pada tahap-tahap awal perencanaan dan analisis, di dalam proses selanjutnya, pendekatan ini akan mengurangi atau menghindari adanya pertentangan.

Pengertian partisipatif menurut Daniel et al. (2006) adalah pengambilan bagian/ pengikutsertaan atau masyarakat terlibat langsung dalam setiap tahapan proses pembangunan mulai dari perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pelaksanaan (actuating) sampai kepada monitoring dan evaluasi (controlling).

Selanjutnya Daniel et al. (2006) mengatakan bahwa tingkat partisipasi dalam masyarakat tidak sama tergantung sejauh mana keterlibatan mereka dalam memecahkan masalah yang dihadapi. Sebagai contoh : (1) masyarakat bertanggung jawab untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan dari program pemerintah; (2) anggota masyarakat ikut menghadiri pertemuan-pertemuan perencanaan, pelaksanaan, dan pengkajian ulang proyek namun sebatas pendengar semata; (3) anggota masyarakat terlibat secara aktif dalam pengambilan keputusan tentang cara melaksanakan sebuah proyek dan ikut menyediakan bantuan serta bahan-bahan yang dibutuhkan dalam proyek; (4) anggota masyarakat terlibat secara aktif dalam semua tahapan proses pengambilan keputusan, yang meliputi perencanaan sebuah program, pelaksanaan, pengawasan dan monitoring. Dari keempat contoh tersebut, tingkatan partisipasi masyarakat yang tinggi secara berturut-turut adalah pada contoh kasus No. 4, 3, 1 dan 2. Bentuk-bentuk pengambilan bagian atau pengikutsertaan keterlibatan langsung) masyarakat

(13)

dalam pembangunan pertanian dapat berupa : pengambilan keputusan bersama pada semua aktivitas, belajar bersama, bertanggung jawab bersama, menerima manfaat bersama, melakukan monitoring, dan evaluasi bersama-sama.

Seperti halnya dengan Mitchell dan setiawan (2000), Daniel et al. (2006) juga mengatakan bahwa pendekatan partisipatif memberikan keuntungan, antara lain : orang-orang akan lebih energik, lebih komit, dan lebih bertanggung jawab bila mereka mengontrol lingkungan sendiri dibanding hal itu dilakukan oleh suatu ”kewenangan” dari luar. Komitmen dan tanggung jawab dalam berpartisipasi adalah (1) masyarakat lebih punya komitmen terhadap anggotanya daripada sistem pelayanan terhadap kliennya; (2) masyarakat lebih mengerti masalah-masalahnya daripada para profesional pelayanan; (3) masyarakat lebih fleksible dan kreatif daripada birokrasi besar; (4) masyarakat lebih mudah daripada profesional pelayanan; (5) masyarakat lebih efektif menguatkan standar sikap/ perilaku daripada birokrasi atau para profesional pelayanan; (6) lembaga-lembaga dan para profesional menawarkan pelayanan, masyarakat menawarkan kepedulian; (7) sistem pelayanan berfokus pada apa yang kurang, masyarakat berfokus pada kapasitas.

Upaya yang dapat dilakukan untuk memperoleh gambaran yang lebih utuh tentang kondisi partisipasi masyarakat adalah dengan memaparkan mekanisme, derajat, dan efektifitas partisipasi masyarakat. Mekanisme partisipasi merupakan media atau saluran yang dapat digunakan oleh seluruh lapisan masyarakat untuk menjalankan aktifitas partisipasinya. Sementara itu, derajat partisipasi merupakan upaya membandingkan mekanisme partisipasi yang berjalan tersebut dengan tangga partisipasi. Selanjutnya efektifitas partisipasi digunakan untuk menjelaskan apakah mekanisme dan aktivitas yang sudah berjalan telah mampu memuaskan

stakeholders terhadap partisipasi masyarakat.

Masyarakat petani pedesaan di sekitar DAS pada umumnya mempunyai karakteristik sosial ekonomi yang hampir sama, yaitu adanya keterbatasan-keterbatasan, seperti penghasilan, kepemilikan tanah, pendidikan dan keterampilan, namun pemahaman terhadap konsep partisipasi masing-masing masyarakat mungkin berbeda. Di dalam konsep partisipasi dibutuhkan pemahaman bahwa sesungguhnya partisipasi adalah merupakan pelimpahan

(14)

hak-hak kekuasaan kepada masyarakat dalam pengambilan suatu keputusan. Pemahaman inilah yang harus disikapi oleh masyarakat secara positif. Arenstein (1969) mengatakan bahwa partisipasi masyarakat adalah: “A categorical terms for citizen power. It is the redistribution of power that enables the have not citizens, presently excluded from the political and economic processes, to deliberately include in the future.”

Definisi ini menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat sebenarnya merupakan suatu kategori istilah kekuasaan masyarakat. Partisipasi sesungguhnya adalah pendistribusian kembali kekuasaan dari kekangan proses politik dan ekonomi untuk kemudian bebas menentukan masa depannya. Berdasarkan hal tersebut Arenstein (1969) mengidentifikasi tingkatan partisipasi masyarakat menjadi delapan tangga/tingkatan (level), mulai dari tanpa partisipasi sampai dengan pendelegasian kewenangan untuk mengawasi. Delapan tingkatan partisipasi tersebut secara grafis disajikan pada Gambar 2.

Nonparticipation Tokenism Citizen Power Manipulation Therapy Informing Consultation Placation Partnership Delegated Power Citizen Control 8 7 6 5 4 3 2 1

(15)

Pengertian dari masing-masing tingkatan partisipasi masyarakat menurut Arenstein(1969)adalah sebagai berikut :

Pertama, partisipasi masyarakat pada tingkatan manipulasi (manipulation). Tingkat partisipasi ini merupakan tingkatan yang paling rendah karena masyarakat hanya dipakai namanya sebagai anggota dalam berbagai badan penasehat (advising board). Pada tingkatan ini, partisipasi masyarakat sebenarnya diselewengkan dan dipakai sebagai alat publikasi oleh pihak penguasa dengan tujuan publik mengetahui bahwa masyarakat juga terlibat dalam proses pembangunan, bahkan sebagai badan penasehat.

Kedua, partisipasi masyarakat pada tingkatan terapi (therapy). Tingkat partisipasi ini sebenarnya hanyalah kedok dengan melibatkan peran masyarakat dalam perencanaan. Para perencana atau perancang sebenarnya memperlakukan anggota masyarakat seperti dalam proses penyembuhan pasien penyakit jiwa dalam group therapy. Meskipun masyarakat terlibat dalam berbagai kegiatan, pada kenyataannya kegiatan tersebut lebih banyak untuk mengubah pola atau cara pikir masyarakat yang bersangkutan daripada mendapatkan masukan atau usulan-usulan mereka.

Ketiga, partisipasi masyarakat pada tingkatan pemberian informasi

(informing). Pada tingkat ini pihak pelaksana pembangunan memberikan informasi kepada masyarakat tentang hak-haknya, tanggung jawabnya, dan berbagai pilihan yang dapat menjadi langkah pertama yang sangat penting dalam pelaksanaan peran masyarakat. Meskipun demikian, yang sering terjadi penekanannya lebih pada pemberian informasi satu arah dari pihak pemegang kuasa pelaksana pembangunan kepada masyarakat tanpa adanya kemungkinan untuk memberikan umpan balik atau kekuatan untuk negosiasi dari masyarakat. Dalam keadaan semacam itu, terutama bila informasi diberikan pada saat-saat terakhir perencanaan, masyarakat hanya memiliki sedikit kesempatan untuk mempengaruhi rencana program tersebut agar dapat menguntungkan mereka. Alat-alat yang sering dipergunakan untuk komunikasi satu arah adalah media berita, pamflet, poster, dan tanggapan atas pertanyaan-pertanyaan. Pada tingkatan ini, tidak tercipta komunikasi dialogis atau komunikasi dua arah sehingga aspirasi dari bawah tidak tersalurkan dengan baik.

(16)

Keempat, partisipasi masyarakat pada tingkatan konsultasi (consultation). Pada tingkatan ini, pihak penyelenggara pembangunan menggali opini dan aspirasi setelah memberikan informasi kepada masyarakat. Akan tetapi, bila konsultasi dengan masyarakat tersebut disertai dengan cara-cara peran yang lain, cara ini tingkat keberhasilannya rendah, karena tidak adanya jaminan bahwa kepedulian dan ide masyarakat akan diperhatikan. Metode yang sering dipergunakan adalah attitude surveys atau survai tentang arah pikiran masyarakat,

neighbourhood meeting atau pertemuan lingkungan masyarakat dan public hearing atau dengar pendapat dengan masyarakat.

Kelima, partisipasi masyarakat pada tingkatan perujukan (placation). Pada tingkat ini, masyarakat mulai mempunyai beberapa pengaruh meskipun beberapa hal masih tetap ditentukan oleh pihak yang mempunyai kekuasaan. Dalam pelaksanaannya beberapa anggota masyarakat yang dianggap mampu dimasukkan sebagai anggota dalam badan-badan kerja sama pengembangan kelompok masyarakat yang anggota-anggota lainnya wakil-wakil dan berbagai instansi pemerintah. Dengan sistem ini usul-usul atau keinginan dari masyarakat terutama lapis bawah dapat diungkapkan. Namun demikian, seringkali suara dari masyarakat tersebut tidak diperhitungkan karena kemampuan dan kedudukannya yang relatif lebih rendah, atau jumlah mereka terlalu sedikit dibanding dengan anggota-anggota instansi pemerintah lain. Biasanya masyarakat pada tingkatan ini akan mengalami berbagai kekalahan dalam memperjuangkan keinginan dan aspirasi komunitasnya.

Keenam, partisipasi masyarakat pada tingkat kemitraan (partnership). Pada tingkat ini, atas kesepakatan bersama, kekuasaan dalam berbagai hal dibagi antara pihak masyarakat dengan pihak pemegang kekuasaan. Dalam hal ini disepakati bersama untuk saling membagi tanggung jawab dalam perencanaan, pengendalian keputusan, penyusunan kebijaksanaan dan pemecahan berbagai masalah yang dihadapi. Setelah adanya kesepakatan tentang peraturan dasar tersebut, maka tidak dibenarkan adanya perubahan-perubahan yang dilakukan secara sepihak oleh pihak manapun. Pada tingkat ini posisi antara masyarakat dan pemegang kekuasaan dalam penyelenggaraan pembangunan relatif egaliter (setara).

(17)

Ketujuh, partisipasi masyarakat pada tingkat pendelegasian kekuasaan (delegeted power). Pada tingkat ini, masyarakat diberi limpahan kewenangan untuk membuat keputusan pada rencana atau program tertentu. Pada tahap ini, masyarakat mempunyai kewenangan untuk diperhitungkan bahwa program-program yang akan dilaksanakan bermanfaat dari mereka. Untuk memecahkan perbedaan yang muncul, pemilik kekuasaan yang dalam hal ini adalah pemerintah harus mengadakan tawar-menawar dengan masyarakat dan tidak dapat memberikan tekanan-tekanan dari atas. Proses-proses pemberdayaan tampaknya semakin diaplikasikan pada tingkatan ini.

Kedelapan, partisipasi peran masyarakat pada tingkat masyarakat yang

mengontrol (citizen control). Pada tingkat ini, masyarakat memiliki kekuatan untuk mengatur program atau kelembagaan yang berkaitan dengan kepentingan mereka. Mereka mempunyai kewenangan penuh di bidang kebijaksanaan, aspek-aspek pengelolaan dan dapat mengadakan negosiasi dengan pihak-pihak luar yang hendak melakukan perubahan. Dalam hal ini usaha bersama warga atau

neighbourhood corporation dapat langsung berhubungan dengan sumber-sumber dana untuk mendapatkan bantuan atau pinjaman dana tanpa melewati pihak ketiga. Pada tingkat ini peran masyarakat dipandang tinggi karena mereka benar-benar memiliki posisi untuk melakukan bargaining dengan pihak kedua tanpa harus melalui apalagi meminta bantuan dari pihak ketiga.

Selanjutnya Arenstein (1969)mengelompokkan delapan tingkatan partisipasi masyarakat menjadi tiga tingkatan menurut pembagian kekuasan, yaitu :

(a) Nonparticipation (tidak ada partisipasi / tingkatan partisipasi masyarakat

rendah). Termasuk ke dalam kelompok ini adalah: manipulation dan

therapy.

(b) Tokenism ( tingkatan partisipasi masyarakat sedang). Termasuk dalam kelompok ini adalah : informing, consultation, dan placation.

(c) Citizen power (tingkatan partisipasi masyarakat tinggi). Termasuk dalam kelompok ini adalah : partnership, delegatedpower, citizencontrol.

Dari berbagai definisi dan konsep yang telah dikemukakan, nampaknya semua mengarah kepada keterlibatan masyarakat di dalam proses pengambilan keputusan, bahkan menurut Arenstein (1969) tidak hanya terlibat saja namun

(18)

tingkatannya sampai dengan pendelegasian kekuasaan dan pengawasan. Satu hal yang perlu diingat bahwa efektif tidaknya program-program partisipasi masyarakat ditentukan oleh kepercayaan, komunikasi, kesempatan dan fleksibilitas (Mitchell dan Setiawan, 2000).

Upaya yang dapat dilakukan untuk memperoleh gambaran yang lebih utuh tentang kondisi partisipasi masyarakat adalah dengan memaparkan mekanisme, derajat, dan efektifitas partisipasi masyarakat. Mekanisme partisipasi merupakan media atau saluran yang dapat digunakan oleh seluruh lapisan masyarakat untuk menjalankan aktifitas partisipasinya. Sementara itu, derajat partisipasi merupakan upaya membandingkan mekanisme partisipasi yang berjalan tersebut dengan tangga partisipasi. Selanjutnya efektifitas partisipasi digunakan untuk menjelaskan apakah mekanisme dan aktivitas yang sudah berjalan telah mampu memuaskan

stakeholders terhadap partisipasi masyarakat (Muluk, 2007).

2.5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Partisipasi Masyarakat

Untuk membangun partisipasi masyarakat perlu diperhatikan faktor-faktor yang dapat menghambat dan mendorong keikut sertaan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Faktor-faktor penghambat tersebut dapat berasal dari dalam masyarakat maupun dari luar masyarakat. Dalam konteks konservasi, hambatan-hambatan tersebut oleh Suparmoko (1997) dibedakan menjadi hambatan fisik, hambatan ekonomi, hambatan kelembagaan dan hambatan teknologi. Hambatan fisik misalnya dalam hal pemanfaatan lahan di daerah lereng bukit maka harus dibuat teras terlebih dahulu, untuk itu diperlukan orang yang mempunyai kondisi fisik yang kuat. Hambatan ekonomi pada umumnya disebabkan karena kurangnya pendidikan, pengetahuan dan pendapatan, sehingga tidak memiliki akses permodalan. Hambatan kelembagaan karena mereka kurang memperhatikan manfaatnya, sedang hambatan teknologi adalah penyesuaian diri masyarakat dengan teknologi yang digunakan.

Kartasasmita (1996) dalam bukunya pembangunan untuk rakyat

menyatakan bahwa berbagai input seperti dana, prasarana dan sarana yang dialokasikan kepada masyarakat melalui berbagai program pembangunan harus ditempatkan sebagai rangsangan untuk memacu percepatan kegiatan sosial ekonomi masyarakat. Proses ini diarahkan untuk meningkatkan kapasitas

(19)

masyarakat (capacity building) sebagai faktor pendorong meningkatkan kemampuan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Kurangnya dana, pendidikan, dan sumber-sumber lain, serta tingkat organisasi merupakan suatu ekspresi dari ketidak mampuan masyarakat untuk berpartisipasi (Mikkelsen, 2001). Beberapa penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh Trison (2005), Gerung (2004), Matrizal (2005) dan Muis(2007) tentang partisipasi masyarakat, menujukan bahwa faktor umur, tingkat pendidikan, kepemilikan lahan, pendapatan, persepsi masyarakat, intensitas kegiatan sosialisasi program/ penyuluhan, ketersediaan sarana rehabilitasi, peran kelembagaan dan peran pendamping memiliki hubungan yang signifikan dengan tingkat partisipasi masyarakat.

Konsepsi pemikiran tersebut menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor pendorong atau penghambat, baik yang berasal dari dalam masyarakat (faktor internal) maupun yang ada di luar masyarakat (faktor eksternal). Faktor internal dapat diujudkan dalam bentuk penyediaan tenaga, sumbangan pemikiran, penyediaan lahan, perilaku dan kesepakatan-kesepakatan anggota masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan. Sedangkan faktor eksternal dapat berupa dukungan pemerintah yang diujudkan dalam bentuk kegiatan sosialisasi program/ penyuluhan, penyediaan sarana dan prasarana rehabilitasi (dana, bibit dan pupuk), fasilitasi pembentukan lembaga sosial serta kegiatan pendampingan. Kedua faktor tersebut dapat berinteraksi menjadi suatu kegiatan yang bersifat partisipatif.

Gambar

Tabel 2  Program GN - KPA jangka menengah tahun 2007-2009
Tabel 3  Program GN - KPA jangka panjang tahun 2009-2025     No     Nama DAS                                                  Kegiatan
Gambar  2    Delapan tingkatan partisipasi masyarakat menurut Arenstein (1969)

Referensi

Dokumen terkait

Panduan Kegiatan Pengabdian Pada Masyarakat LPPM Unsika Hal 9 Ketua Pengabdi bersama anggota bertanggung jawab untuk melaksanakan Pengabdian sesuai dengan proposal dan

Sementara ditinjau dari segi pengelolaannya, ekowisata dapat didefinisikan sebagai penyelenggaraan kegiatan wisata yang bertanggung jawab di tempat-tempat alami dan atau

Sebuah perusahaan yang melakukan praktik bisnis yang bertanggung jawab secara sosial berarti perusahaan tersebut mengadopsi kegiatan bisnis dan investasi yang mendukung

transparan, partisipatif, bertanggung jawab, dan pasti. Mewujudkan sistem perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah yang mencerminkan pembagian tugas kewenangan

Irving menyatakan bahwa selain sutradara harus bertanggung jawab akan budget yang akan dipakai untuk pembuatan film, sutradara juga bertanggung jawab atas lokasi apa yang

Menurut Permenkes No. Melaksanakan perencanaan berdasarkan analisis masalah kesehatan masyarakat dan analisis kebutuhan pelayanan yang diperlukan. Melaksanakan advokasi dan

Jumlah anggota rumah tangga kemungkinan dapat meningkatkan pendapatan karena makin besar jumlah anggota keluarga makin besar pula jumlah anggota keluarga yang ikut bekerja

(Independensi adalah kebebasan dari kondisi yang mengancam kemampuan kegiatan audit internal atau eksekutif kepala audit untuk melaksanakan tanggung jawab audit