• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan : Keterlibatan Masyarakat & Peran Pemimpin Lokal di Kampung Sawinggrai Kabupaten Raja Ampat T2 092009106 BAB I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan : Keterlibatan Masyarakat & Peran Pemimpin Lokal di Kampung Sawinggrai Kabupaten Raja Ampat T2 092009106 BAB I"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Bab Satu

Pendahuluan

“Tanah Papua, tanah yang kaya, Surga kecil jatuh

ke bumi, seluas tanah sebanyak batu adalah harta harapan.., Tanah Papua, tanah leluhur di sanalah aku lahir. Bersama angin bersama daun aku dibesarkan, Hitam kulit, keriting rambut aku

Papua... Biar nanti langit terbelah aku Papua”1

Penggalan lirik lagu di atas, mencerminkan keindahan alam

yang tiada tara yang dimiliki oleh pulau Papua, ibarat “surga kecil”

yang jatuh ke bumi. Raja Ampat sebagai salah satu kepulauan di Papua, menjadi ikon keindahan bawah lautnya yang oleh para

penyelam diibaratkan sebagai “surga bawah laut” yang tiada tara.

Selain itu, keberadaan dan keindahan burung Cenderawasih (Paradise bird), dengan keunikan dan keindahannya membuat banyak kalangan menyebutnya, sebagai burung surga, yang ikut menegaskan kekayaan Tanah Papua, khususnya keindahan Raja Ampat. Keunikan alam – potensi bahari - daerah ini, dipengaruhi oleh posisinya yang terletak di gugusan segitiga karang dunia, menjadikan kepulauan ini dilimpahi berbagai jenis karang dan ikan yang unik. Inilah yang kemudian membuat peneliti – mengawali tulisan ini dengan lagu yang dipopulerkan oleh Edo Kondologit,

sehingga keberadaan (makna) “surga kecil” ini dapat dimanfaatkan

dan dinikmati oleh masyarakat lokal Papua – yang sering diidentikkan dengan kulit hitam dan rambut keriting -, dan bukan dikomersialkan untuk kepentingan-kepentingan segelintir orang.

Pada awalnya kepulauan Raja Ampat tidak begitu dikenal oleh publik internasional atau domestik. Raja Ampat mula-mula merupakan daerah kepulauan yang berbentuk distrik2, dihuni oleh beberapa suku-suku pendatang3, yang bermigrasi meninggalkan

1

Syair lagu ini, diciptakan oleh (alm) Frangki Sahilatua, dan dinyanyikan (dipopulerkan) oleh Edo Kondologit.

2

Distrik merupakan istilah yang telah diundangkan dalam UU.No 21 Tahun 2001 (Pasal 1 ayat k) Distrik yang dulu dikenal dengan kecamatan…, Istilah Distrik sama dengan kecamatan dalam Era Desentralisasi (otonomi daerah).

3

(2)

kampung halamannya untuk mencari tempat menetap yang baru4. Dalam perjalanan waktu kepulauan ini menjadi terkenal di bidang kebaharian. Kepulauan Raja Ampat sebelumnya secara administrasi berada di wilayah Kabupaten Sorong (kabupaten induk). Baru kemudian pada tanggal 3 Mei 2003, kabupaten Raja Ampat dimekarkan dari kabupaten induk, berdasarkan Undang Undang Nomor 26 tahun 20025. Sebagai kabupaten yang sebagian besar wilayahnya dikelilingi oleh laut, kabupaten ini dikenal dengan istilah kabupaten bahari atau kabupaten seribu pulau. Kabupaten Raja Ampat memiliki potensi sumberdaya alam dan keragaman sosial budaya yang beranekaragam, menjadikannya salah satu kabupaten yang unik dan memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi daerah tujuan alternatif – bahkan tujuan utama - wisata di wilayah kawasan timur Indonesia – selain Bali, Sulawesi Utara dan NTB (Lombok). Sebagai daerah kepulauan, perkembangan Raja Ampat menjadi pilihan bagi para wisatawan (mancanegara dan domestik) untuk berkunjung.

Proses berkembangnya daerah ini menjadi sangat mendunia, diawali ketika beberapa lembaga-lembaga perlindungan lingkungan hidup melakukan penelitiannya, dan menemukan potensi keindahan dan keanekaragaman hayati sebagai yang tertinggi di dunia6.

daerah asalanya dan kemudian menetap di beberapa pulau di kepulauan Waigeo, Misool, dsb, yang kemudian dalam perkembangannya memberi nama dan tempat tinggal mereka dengan nama bahasa daerah (kampung) marga (fam) yang sesuai dengan marga dari tempat asal mereka.

4

Bapeda Kab Raja Ampat, 2007, “Profil Kabupaten Raja Ampat”, Bapeda Raja Ampat, 2007

5

Pada akhir tahun 2003, Raja Ampat dideklarasikan sebagai kabupaten baru, berdasarkan UU No. 26 tentang Pembentukan Kabupaten Sarmi, Kabupaten Kerom, Kabupaten Sorong Selatan, dan Kabupaten Raja Ampat, tanggal 3 Mei tahun 2002. Kabupaten Raja Ampat merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Sorong dan termasuk salah satu dari 14 kabupaten baru di Tanah Papua. Saat ini, Kabupaten Raja Ampat merupakan bagian dari Provinsi Irian Jaya Barat (sekarang Provinsi Papua Barat) dengan ibukota kabupaten berada di Kota Waisai (terletak di pulau Waigeo bagian Selatan) yang terdiri dari 4 pulau besar yaitu Pulau Waigeo, Batanta, Salawati dan Misool, dan lebih dari 600 pulau-pulau kecil. (Profil Kab. Raja Ampat, 2007)

6

(3)

Lembaga-lembaga penelitian dan pelestarian internasional inikemudian membuat kegiatan-kegiatan konservasi, yang pada akhirnya membawa para peneliti dan beberapa pemerhati lingkungan global ke Raja Ampat. Kondisi Raja Ampat sebagai pusat penelitian internasional, secara tidak langsung berdampak terhadap berbagai macam kebijakan dan program yang dilaksanakan bersama-sama dengan pemerintah daerah. Program kerjasama dengan berbagai LSM tersebut dilakukan dalam rangka penyelamatan dan perlindungan terhadap potensi keanekaragaman hayati yang dimiliki kabupaten ini.

Sebagai sebuah kabupaten yang baru dimekarkan, sudah barang tentu pemerintah daerah akan melakukan berbagai promosi dan kegiatan/event yang semuanya bermuara untuk mendatangkan para investor dan para wisatawan ke kabupaten bahari ini. Berkunjungnya para investor dan wisatawan ke Kabupaten Raja Ampat, secara tidak langsung berdampak pada perkembangan pembangunan – secara umum - dan sektor pariwisata – secara khusus. Konsekuensi dari berkembangnya suatu daerah atau kawasan menjadi suatu daerah tujuan wisata ikut berpengaruh – baik positif maupun negatif - terhadap perubahan struktur sosial ekonomi dan budaya pada masyarakat lokal maupun terhadap perkembangan pembangunan daerah secara keseluruhan.

Perkembangan pariwisata di Raja Ampat, juga ikut berpengaruh terhadap perkembangan kampung-kampung di wilayah ini. Salah satu kampung yang juga mengalami dampak dari perkembangan pariwisata di Raja Ampat yaitu Kampung Sawinggrai. Kampung Sawinggrai menjadi salah satu kampung di kabupaten Raja Ampat, yang ditetapkan oleh pemerintah daerah pada tahun 2008 menjadi kampung (desa) wisata7. Bersama-sama dengan empat kampung lainnya yaitu, kampung Saundarek, kampung Yebuba, kampung Yenwaupnour dan kampung Arborek, kampung Sawinggrai menjadi kampung terakhir di distrik Meosmansar, yang ditetapkan sebagai kampung wisata. Penetapan kampung ini sebagai kampung wisata, menjadi bermakna mengingat potensi keindahan alam dengan tempat pengamatan burung

di daerah ini 1.074. Di darat, penelitian ini menemukan berbagai tumbuhan hutan, tumbuhan endemik dan jarang, tumbuhan di batuan kapur serta pantai peneluran ribuan penyu. (Laporan TNC, Raja Ampat, 2008).

7

(4)

Cenderawasihnya membuatnya berbeda dibandingkan kampung lainnya.

Kampung ini menarik karena sebelum ditetapkan oleh pemerintah daerah sebagai kampung wisata, kampung ini sudah melakukan berbagai macam aktivitas dalam mendukung pengembangan pariwisata. Inisiatif yang dilakukan oleh masyarakat setempat dalam menjaga dan melestarikan lingkungan kampung serta aktivitas pelaku-pelaku usaha wisata – ada inisiator / actor - menjadi salah faktor pendorong mengapa kampung ini kemudian ditetapkan sebagai kampung percontohan wisata di Raja Ampat. Terlepas dari keindahan potensi alam berupa keindahan burung Cenderawasih (Paradise Rubra)8 - dan beberapa obyek wisata alam lainnya, - yang menjadi ikon kampung Sawinggrai, menarik pula untuk dilihat (dikaji) bagaimana aktivitas komunitas masyarakat lokal dikampung ini dalam mendukung dan mengembangkan pariwisata di kampungnya. Peran komunitas masyarakat lokal dalam pengembangan pariwisata, menjadi penting mengingat konsep pengembangan pariwisata Raja Ampat yang mengandalkan potensi alam – kebaharian -, perlu untuk dijaga kondisi lingkungan alamnya agar bermanfaat – dari sisi ekonomi, sosial budaya - bukan hanya untuk saat ini, melainkan untuk kemanfaatan generasi yang akan datang. Oleh sebab itu penelitian ini menjadi relevan untuk melihat realita komunitas masyarakat lokal di Sawinggrai dalam menjaga dan mengembangkan konsep pariwisata berkelanjutan.

Berbicara mengenai pariwisata disadari bahwa sektor ini, oleh pemerintah daerah baru ditetapkan sebagai sektor unggulan setelah periode kedua pemerintahan bupati Markus Wanma. Ini menjadi wajar-wajar saja jika kita mengacu pada pembentukan kabupaten yang tergolong baru di provinsi Papua Barat. Kebijakan penetapan pariwisata sebagai sektor unggulan bersama-sama dengan sektor perikanan dan kelautan di era otonomi khusus (otsus) di Tanah Papua, disambut baik oleh semua kalangan – investor, LSM, masyarakat lokal – mengingat setelah kabupaten Raja Ampat

8

Informasi yang diperoleh dari bapak Yesaya Mayor, bahwa di Sawinggrai ada beberapa jenis burung Cenderawasih antara lain, yaitu Cenderawasih merah (Paradisaea rubra), Cenderawasih belah rotan (Cicinnurus Magnificus), cenderawasih kecil (Paradisaea Minor), dan Cenderawasih besar (Paradisaea Apoda). Dari keempat jenis ini, cenderawasih merah merupakan maskot cenderawasih di kampung ini.

(5)

berkembang menjadi daerah otonom baru, daerah ini berkembang menjadi kabupaten yang maju dibandingkan dengan beberapa kabupaten lainnya dari sisi pembangunan sarana dan prasana publik (Darmawan, 2010). Fakta ini menunjukkan, bahwa, keseriusan pemerintah daerah untuk mengembangkan daerahnya menjadi titik tolak kemajuan daerah ini. Ada banyak sarana prasaranaa fisik (akan) dibangun untuk menunjang pembangunan di Raja Ampat. Salah satu contoh konkrit adalah dengan diresmikannya bandar udara (bandara) MARINDAH 9 di Waisai, pada tanggal 09 Mei 2012 oleh Menteri Perhubungan RI. Fakta ini menunjukkan bahwa, pemerintah daerah secara serius mempersiapkan sarana prasarana publik – khususnya sektor perhubungan – yang sampai saat ini masih menjadi kendala utama dalam memobilisasi pembangunan di Raja Ampat.

Konsekuensi yang kemudian muncul adalah dari berbagai kebijakan pemerintah daerah membangun (secara fisik) serta mengundang berbagai investor – khususnya investasi di bidang pariwisata - datang ke Raja Ampat, pertanyaan yang kemudian muncul adalah bagaimana dengan pengembangan masyarakatnya, ketika suatu saat, Raja Ampat akan didatangi oleh berbagai investor

– peneliti mengistilahkan dengan wisatawan investor? Kemudian, bagaimana posisi masyarakat lokal? Ketika proses pembangunan sarana parasaran - fasilitas pendukung pariwisata, seperti hotel,

resort, restoran dan sebagainya - itu dengan gencar-gencarnya dibangun, bagaimana dengan kondisi daya dukung lingkungan alam akan menampung semua itu? Menarik untuk dikaji mengenai pengembangan pariwisata berkelanjutan di Raja Ampat, serta baik juga untuk diteliti tentang pengembangan pariwisata berbasis masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam untuk dijadikan sebagai sumber pendapatan masyarakat (ekonomi rumah tangga),

9

(6)

dengan tetap menjaga kaidah-kaidah konservasi alam dalam kerangka keberlanjutan untuk generasi mendatang.

Harapannya ketika itu dilakukan maka pengembangan Raja Ampat yang menjual potensi kebaharian dan keanekaragaman hayati menjadi relevan untuk dipertahankan. Namun, ketika kondisi lingkungan diabaikan untuk kepentingan ekonomi semata dalam jangka pendek, akibat pembangunan sarana prasaranaa dan demi kepentingan para investor (wisatawan rupiah), maka suatu ketika

Raja Ampat akan ditinggalkan atau dilupakan sebagai “surga bawah

laut” di dunia. Belajar dari pengalaman pengembangan pariwisata di

Bali dan beberapa kawasan daerah tujuan wisata (DTW) lainnya di Indonesia – seperti di Bunaken dan daerah lain -, yang bertahun-tahun gencar dikembangkan oleh pemerintah – aras daerah bahkan pusat – dengan mengundang para investor untuk mengembangkannya, membuat daya dukung lingkungan menjadi berkurang, terjadi krisis air bersih dan kemerosotan budaya lokal (Arida, 2010)10 akibat interaksi dengan budaya luar, menjadi sesuatu pelajaran berharga yang harus dilihat sebagai akibat dari terlalu fokus pada pengembangan pariwisata jangka pendek.

Untuk itulah, pengembangan pariwisata berkelanjutan dan peran masyarakat lokal dibutuhkan dalam menjaga dan melestarikan lingkungan hidup sebagai asset utama dalam pariwisata. Peran masyarakat dalam pengembangan pariwisata pada umumnya baru mendapat sedikit perhatian melalui beberapa kajian penelitian. Karena itu sebelum peneliti lebih jauh membahas tentang konsep penelitian ini, ada baiknya peneliti menyampaikan beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Ini dilakukan dengan maksud untuk mengetahui berbagai kajian atau penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh beberapa peneliti, baik yang terpublikasikan, maupun yang tidak terpublikasikan. Penelitian mengenai pengembangan pariwisata, di Raja Ampat dan keterlibatan masyarakat dalam pembangunan pariwisata terbatas. Penelitian yang dilakukan oleh Rumbekwan (2011)11, lebih memfokuskan penelitiannya pada persepsi wisatawan terhadap pengembangan

10

Arida, Nyoman Sukma, 2010. “Strategis Alternatif Untuk Keberlanjutan Pariwisata Bali” ; dalam “P ariwisata Berkelanjutan Dalam Pusaran Krisis Global”. Denpasar : Penerbit : Udayana University Press.

11

Rumbekwan, D. Kalasina, 2011. “Persepsi Wisatawan Terhadap

(7)

pariwisata di Raja Ampat. Penelitian Sayori (2009)12 mengananalisis dampak pemekaran kabupaten Raja Ampat terhadap pembangunan di Raja Ampat. Dari penelitian ini, ada beberapa temuannya antara lain, Ada pengaruh positif dari pemekaran kabupaten Raja Ampat. Kedua, dari kajiannya, menggunakan analisis sektoral, menunjukan bahwa sektor perikanan dan kelautan serta pertambangan masih mendominasi terhadap sumbangsihnya terhadap PAD kabupaten Raja Ampat. Sedangkan sektor pariwisata belum menunjukkan kontribusinya terhadap PAD. Sama halnya dengan penelitian yang dilakukan Darmawan (2010)13 melihat dampak pemekaran dan pemberlakun otonomi khusus, berdampak positif terhadap percepatan pembangunan di kabupaten bahari ini. Hal itu dijumpai dengan pembangunan dan pemenuhan sarana dan prasarana fisik yang dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, misalnya sarana dan aksebilitas transportasi fasilitas-fasilitas publik – pendidikan, kesehatan, dan sebagainya - dibangun di kabupaten ini.

Selain itu, dalam penelitian Wanma (2011)14, lebih memfokus penelitiannya kepada kelestarian dan pemanfaatan konservasi hutan, dalam rangka pemanfaatannya bagi pengembangan ekowisata di Raja Ampat. Penelitian yang dilakukan oleh Wanma berlokasi di lima desa wisata yang berada di distrik Meosmansar. Dari hasil penelitiannya lebih memfokuskan pada pengembangan ekowisata oleh masyarakat. Penelitian yang tidak berbeda dilakukan oleh Tafalas (2010)15, dengan kajian yang dilakukan masih lebih memfokuskan pada pengembangan ekowisata dalam rangka melihat dampaknya terhadap sosial ekonomi

12

Sayori, Nelson, 2009. “Analisis Dampak Pemekaran Wilayah Terhadap Pemekaran Wilayah Kepulauan dan Pengembangan Pariwisata Bahari (Studi

Kasus Di Kabupaten Raja Ampat Provinsi Papua Barat)”; Bogor : Tesis Master

Sekolah Pascasarjana IPB.

13

Darmawan, Iksan, 2010, Perkembangan Raja Ampat Pasca Pemekaran Daerah dan Penerapan Otonomi Khusus”, Disampaikan dalam Seminar Internasional ke XI: Dinamika Politik Lokal di Indonesia : tanggal 21-23 Juli 2010, Yayasan Percik, Salatiga 2010; Hal : 24

14

Wanma, Y Fransiska, 2011. “Strategi Pengembangan Ekowisata Berbasis Masyarakat di Distrik Meosmansar Kabupaten Raja Ampat ; Yogyakarta : Tesis Master Ekonomi Pembangunan UGM.

15

(8)

masyarakat di pulau Mansuar distrik Meosmansar. Selain Tafalas (2010) lebih melihat pengaruh pengembangan pariwisata dari kehadiran investor dalam kaitannya dengan manfaat yang diterima oleh masyarakat, dimana ada manfaat positif dari pengembangan ekowisata bahari, namun juga ditemui adanya konflik yang ditimbulkan akibat pengembangan ekowisata itu sendiri.

Penelitian Sayori (2009) dan Darmawan (2010) lebih menitik beratkan kajiannya terhadap dampak pemekaran kabupaten Raja Ampat, serta dampak pemberlakuan otonomi khusus (otsus), yang secara langsung telah membawa perubahan dalam pengembangan pembangunan secara umum di Raja Ampat. Sedangkan penelitian Wanma dan Tafalas, secara umum lebih melihat kajiannya terhadap pengembangan ekowisata dalam pengembangan pariwisata di lima desa wisata yang terdapat di distrik Meosmansar. Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Rumbekwan (2011), berbeda dari penelitian yang dilakukan oleh keempat peneliti sebelumnya, karena lebih fokus pada melihat perspektif wisatawan terhadap pelayanan dalam pengembangan pariwisata.

Penelitian-penelitian yang telah disinggung di atas, secara umum tidak menjelaskan bagaimana proses awal pengembangan pariwisata di suatu kawasan atau kampung-kampung wisata yang telah ditetapkan oleh pemerintah daerah. Selain itu dalam penelitian-penelitian tersebut, tidak secara detil membahas bagaimana peran serta masyarakat lokal dalam mengembangkan pariwisata dalam pengertian bahwa mereka tidak melihat bagaimana peran komunitas masyarakat dalam menjaga lingkungan alamnya, atau bagaimana peran anggota masyarakat secara langsung terlibat sebagai pelaku usaha lokal dalam aktivitas pariwisata. Pada titik inilah, atau pada celah ilmiah inilah peneliti memposisikan diri dalam melihat dan memotret mengenai fenomena peran serta masyarakat dalam pengembangan pariwisata di Kampung Sawinggrai distrik Meosmansar.

Situasi sosial yang telah dikemukakan di atas, membuat munculnya suatu topik pertanyaan umum. Bagaimana pengalaman pengembangan pariwisata berkelanjutan di kampung Sawinggrai, kabupaten Raja Ampat? Untuk menjelaskannya secara kualitatif, maka beberapa pertanyaan emprisnya adalah sebagai berikut :

(9)

dinamika partisipasi (peran serta) masyarakat lokal di kampung Sawinggrai dalam pengembangan pariwisata ?

Pertanyaan-pertanyaan yang telah dirumuskan di atas menjadi acuan untuk menggambarkan dan menjelaskan seluruh proses pengembangan pariwisata berbasis masyarakat di kampung Sawinggrai. Pembahasan diawali dengan mendeskripsikan kondisi (potret) obyek pariwisata yang berada di kampung Sawinggrai. Kemudian, dilanjutkan dengan membahas proses pengembangan atau penetapan kampung Sawinggrai sebagai salah satu desa wisata di Raja Ampat. Pembahasan selanjutnya menggambarkan beberapa aktivitas masyarakat lokal dalam aktivitas kegiatan pariwisata, khsususnya , bagaimana peran komunitas lokal dalam menjalankan usaha homestay, serta peran pemimpin lokal dalam kapasitasnya mengembangkan pariwisata di kampung Sawinggrai.

Organisasi Penulisan

Setelah penulisan Bab Satu, kemudian dilanjutkan dengan bab Dua yang berisikan Kajian Pustaka (Review Literatur) yang memuat tentang dua konsep besar yang meliputi, pengembangan pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism development) dan konsep pengembangan pariwisata berbasis kemasyarakatan (community based tourism). Dalam pembahasan di bab dua, juga dijelaskan beberapa konsep tentang peran komunitas dalam konservasi lingkungan, serta beberapa peran serta masyarakat dalam kegiatan kewirausahaan dan konsep peran pemimpin lokal dalam pengembangan pariwisata.

Bab tiga merupakan rangkaian penjelasan tentang metode dan pengalaman peneliti selama melakukan proses penelitian. yang isinya menggambarkan prosedur yang digunakan dalam pengumpulan data lapangan, serta permasalahan-permasalanan yang dijumpai selama melakukan penelitian lapangan. Tentu, pengalaman yang tidak kalah menarik adalah ketika peneliti selama melakukan penelitian sambil berwisata di kepulauan Raja Ampat

(10)

kebijakan-kebijakan pemerintah daerah dalam rangka mendukung pengembangan pariwisata sebagai sektor unggulan. Serta dijelaskan pula karakteristik wisatawan yang berkunjung ke Raja Ampat.

Bab lima, merupakan bab empirik yang didalamnya mengulas atau mendeskripsikan situasi dinamika masyarakat lokal di kampung Sawinggrai dalam pengembangan pariwisata. Isi bab ini diawali dengan mengulas proses awal kampung Sawinggrai ditetapkan sebagai salah satu kampung wisata di Raja Ampat. Kemudian, pembahasan dilanjutkan dengan melihat potret aktivitas masyarakat lokal dalam menjalankan usaha-usaha mereka dalam aktivitas pariwisata. Pada bagian lain dari bab ini juga dimunculkan peran inisiator dari salah satu anggota masyarakat yang secara serius mengawali dan berusaha memanfaatkan potensi alam di kampung Sawinggrai untuk dikembangkan sebagai daya tarik wisata. Akhir dari bab ini (bab lima) juga digambarkan berbagai persoalan yang ditimbulkan akibat pengembangan pariwisata di kampung Sawinggrai.

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Muslihuddin (2012:197-198) model pembelajaran tipe Talking Stick juga memiliki kelebihan serta kekurangan. Adapun kelebihannya adalah: 1) peserta didik dapat

Berdasarkan surat penetapan penyediaan barang dan jasa Nomor 20/PPJB.04.01/III/2015 tanggal 27 Maret 2015, dengan ini pejabat pengadaan barang dan jasa Dinas pertanian

Sehubungan dengan diterbitkannya Addendum Dokumen Pengadaan paket tersebut diatas, maka kepada peserta dipersilahkan untuk mengunduh (download) Addendum Dokumen

Munculnya penyalahgunaan bahan tambahan /aditif pangan tersebut disebabkan oleh ketidaktahuan masyarakat mengenai zat pewarna untuk makanan, para produsen makanan belum memahami

Barang /Jasa Dinas Pendidikan Tahun Anggaran 2012 menyatakan bahwa akan dilaksanakan lelang ulang. untuk Pengadaan Peralatan Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan SMP

Jurusan Pendidikan Teknik Elekt ro, Fakult as Teknik Universit as Negeri Yogyakart a... Ket erlam bat an perkuliahan dit oleransi 15

Format registrasi dilakukan mahasiswa yang baru pertama kali melakukan pendaftran, sedangkan format update adalah layanan bagi mahasiswa untuk mengubah data yang telah

Dengan ini diberitahukan kepada seluruh peserta lelang untuk Paket Peningkatan Jalan Jangkang-Pantai Ulin, Kecamatan Simpur tahun 2013 kodel lelang 388282. Sehubungan