• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dampak pernikahan dini pada pasutri dan implikasinya pada penyusunan program bimbingan dan konseling keluarga (studi kasus pada dua pasang suami istri di Desa Jurangjero, Ngawen, Gunung Kidul).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dampak pernikahan dini pada pasutri dan implikasinya pada penyusunan program bimbingan dan konseling keluarga (studi kasus pada dua pasang suami istri di Desa Jurangjero, Ngawen, Gunung Kidul)."

Copied!
195
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

DAMPAK PERNIKAHAN DINI PADA PASUTRI DAN IMPLIKASINYA PADA PENYUSUNAN PROGRAM BIMBINGAN DAN KONSELING

KELUARGA

(Studi Kasus pada Dua Pasang Suami Istri di Desa Jurangjero, Ngawen,Gunung Kidul)

Sulistyani

Universitas Sanata Dharma 2016

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak positif dan negatif apa saja yang muncul dari pernikahan dini pada pasutri khususnya yang tinggal di desa. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui program apa yang tepat untuk pencegahan kasus pernikahan dini. Penelitian ini dilakukan di sebuah desa yang bernama desa Jurangjero, Ngawen, Gunung Kidul.

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dalam bentuk studi kasus. Tempat penelitian adalah desa Jurangjero, Ngawen, Gunung Kidul. Sumber data dalam penelitian ini adalah dua pasutri yang menikah dini di desa Jurangjero, Ngawen, GunungKidul. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara dan observasi. Teknik analisis data kualitatif adalah dengan membuat verbatim kemudian mereduksi data dalam bentuk verbatim, membuat coding pada verbatim, dan memasukkan teori dari hasil analisis data.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat dampak positif maupun negatif pada pasutri yang menikah dini. Dampak yang terjadi berupa dampak fisik yaitu kesulitan ketika hamil dan melahirkan; dan dampak psikologis: perasaan setelah menikah, adaptasi dengan keluarga pasangan, adaptasi dengan status baru sebagai kepala keluarga dan ibu rumah tangga, berkumpul dengan teman sebaya, kesulitan mengurus anak, mengatasi masalah rumah tangga dan pribadi, mengatasi emosi, mengatur marah, dan tanggapan pasutri mengenai pernikahan dini; serta dampak sosio-ekonomi: kondisi finansial setelah menikah. Dampak positif yang ditemukan diantaranya adalah menjalani peran dalam rumah tangga dengan baik, pemikiran positif, belajar dari pengalaman, mengendalikan emosi, dan perasaan lega. Dampak negatifnya adalah keguguran (fisik), pemikiran negatif, egois, otoriter, peningkatan emosi, dan relasi yang kurang baik dengan keluarga.

(2)

ABSTRACT

THE IMPACT OF THE EARLY-AGE-MARRIAGE ON MARRIED COUPLEAND ITS IMPLICATION IN ARRANGING GUIDANCE AND

COUNSELING FAMILY PROGRAM

(A Case Study on Two Married Couples in Jurangjero Village, Ngawen, Gunung Kidul )

Sulistyani

Sanata Dharma University 2016

This research was aimed to know the positive and negative impacts of early-age- marriage on the married couples especially those who live in the village.It was also aimed to find the appropriate program to be used to prevent cases caused by early-age-marriage. This research was undertaken at the village names Jurangjero, Ngawen, Gunung Kidul.

The type of this research is a qualitative research in form of case study undertaken in Jurangjero, Ngawen, Gunung Kidul. The Source of the data in this research is two early-age- married couples in the intended village. The technique of data collection was interview and observation. The analysis of the qualitative data was done in the following order; making/programming, reducting the data into verbatim, coding at the verbatim, and combining the theory with the data analysis result.

The result ofthis research showed that the early-age-married couples experienced both positive and negative impacts. The firstimpact found wasthe physical impact; the complication in giving birth, and the second was the psychology impact; the emotional matters of both husband and wife during the marriage time, the adaptation with the spouse’s family, the adaptation to the new status as husband and wife, the need of interaction with friends from the same age, the problems in taking care of the children, in handling the household, and the third was the personal impact; the emotion and anger management, and the couples’ perception of early marriage itself, and finally, social-economic impact, i.e., financial condition. The research also showed the positive impacts; the couples’ responsibility of playing their part as husband and wife well, positive thinking, the intention of learning from their experience, the intention of controling of their emotional problems, and the feeling of relieveness. On the other hand, the research also found negative impact of the early-age-marriage; misscarriage (physical), having negative thought, being egoist, being authoritative, being highly emotional, and having bad relationship with the whole big family.

(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
(12)
(13)
(14)
(15)
(16)
(17)

BAB I PENDAHULUAN

Dalam bab ini dipaparkan latar belakang masalah, identifikasi masalah, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan batasan istilah variabel.

A. Latar Belakang Masalah

Pernikahan sejatinya menjadi sesuatu yang membahagiakan bagi sepasang insan. Bagaimana tidak, dua orang yang saling mencintai diikat dalam janji suci untuk hidup bersama sampai maut memisahkan. Setelah menikah pasangan suami istri hidup bahagia dalam suatu rumah tangga. Agama juga menganjurkan pernikahan bagi pasangan yang sudah siap satu sama lain. Seperti yang tertera dalam hadist Nabi: “Wahai para pemuda, barang siapa yang telah mampu, hendaklah menikah, sebab dengan menikah itu akan lebih menundukkan pandangan dan akan lebih menjaga kehormatan. Kalau belum mampu, hendaklah berpuasa, sebab puasa akan menjadi perisai bagimu” (HR. Bukhari dan Muslim). Satu hal yang perlu digaris bawahi dari hadits di atas adalah perintah menikah bagi para pemuda dengan syarat jika ia telah mampu, maksudnya adalah siap untuk menikah. Rifiani (2011: 131) mengatakan bahwa “kesiapan menikah dalam tinjauan hukum Islam meliputi 3 hal, yaitu: kesiapan ilmu, kesiapan harta atau materi, kesiapan fisik atau kesehatan”.

(18)

berpendapat bahwa “usia terbaik untuk melakukan pernikahan bagi

perempuan adalah 19 sampai dengan 25 tahun, sedangkan untuk laki-laki usia 25 sampai 28 tahun”. Pada usia tersebut organ reproduksi perempuan sudah berkembang dengan baik dan kuat, serta secara psikologis sudah dianggap matang untuk menjadi calon orang tua bagi anak-anaknya. Sementara kondisi fisik dan psikis laki-laki pada usia tersebut juga sudah kuat sehingga mampu menopang kehidupan keluarga dan melindunginya baik secara psikis, emosional, ekonomi, dan sosial.

(19)

syarat pernikahan adalah dewasa, maka izin untuk melakukan pernikahan bagi seorang anak adalah pada usia di atas 18 tahun. Walaupun sudah ada revisi undang-undang perkawinan, sebagian masyarakat Indonesia masih belum mengindahkan undang-undang tersebut. Terbukti pernikahan dini masih banyak terjadi di Indonesia (Koban, 2010: 3).

(20)

dengan jarak yang singkat, juga resiko tertular penyakit HIV (Fadlyana, 2009: 138).

Berdasarkan data dari penelitian yang dilakukan oleh BKKBN tahun 2012, Indonesia berada diperingkat ke-37 dunia dalam kasus pernikahan di bawah usia 18 tahun. Indonesia juga masuk peringkat kedua ASEAN setelah Kamboja dalam kasus pernikahan dini. Indonesia sendiri memiliki banyak pulau yang di dalamnya juga memiliki kasus yang sama yaitu pernikahan dini. Provinsi dengan persentase tertinggi kasus pernikahan dini dengan usia dibawah 15 tahun adalah Kalimantan Selatan sebanyak 9 persen, lalu disusul oleh Jawa Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, dan Banten. Selain provinsi-provinsi tersebut, D.I Yogyakarta juga termasuk kategori provinsi yang memiliki banyak kasus pernikahan usia dini, khususnya di daerah Gunung Kidul.

Pernikahan dini umumnya terjadi karena dilatarbelakangi oleh faktor budaya dan tingkat pendidikan orangtua yang rendah (Rafidah, 2009: 52). Selain faktor budaya dan pendidikan, faktor lain seperti ekonomi dan pergaulan bebas juga merupakan penyebab terjadinya pernikahan dini. Berdasarkan penelitian Rifiani (2011: 126), terdapat empat faktor utama yang menyebabkan terjadinya pernikahan dini yaitu faktor pendidikan, ekonomi, budaya, dan pergaulan bebas.

(21)

rumah tangga. Tanpa memikirkan dampak, para orangtua menikahkan anak-anak mereka walaupun masih berusia belia. Padahal salah satu hal yang harus dipikirkan setelah menikah adalah dampak dari pernikahan itu. Ketidakmatangan usia tentu akan mempengaruhi psikologis, terlebih bagi anak yang berada pada usia remaja. Salah satu kabupaten dimana banyak terjadi pernikahan dini adalah Gunung Kidul. Salah satu desa yang disoroti karena kasus pernikahan dini adalah desa Jurangjero, kecamatan Ngawen, Gunung Kidul. Berdasarkan data dari Pengadilan Agama Wonosari, angka dispensasi untuk menikah diusia dini pada tahun 2014 sebanyak 146 kasus dan pada tahun 2015 sebanyak 15 kasus. Pada umumnya pernikahan dini yang banyak terjadi di Gunung Kidul sebagian besar disebabkan oleh hamil diluar nikah atau biasa dikenal dengan sebutan “married by

accident”. Namun sebagian besar juga terjadi karena keinginan pasangan

muda itu sendiri. Bagi pasangan muda yang sudah terlanjur hamil, menikah adalah hal yang mutlak harus dilakukan. Demi menjaga nama baik keluarga, menikah di usia muda terpaksa harus dilakukan. Berbeda dengan mereka yang memang sudah siap menikah di usia muda, mereka menikah tanpa keterpaksaan. Dua pasangan ini tentu memiliki dampak yang berbeda yang mereka rasakan setelah menikah.

(22)

memandang menikah dini itu baik karena dapat menghindarkan sepasang laki-laki dan perempuan dari perzinahan. Menikah juga dapat membuat hati nyaman karena sudah tidak ada hal yang perlu ditakutkan lagi untuk dilakukan bagi sepasang laki-laki dan perempuan. Namun jika dilihat lebih jauh lagi ada dampak negatif juga yang ditimbulkan dari menikah dini. Misalnya usia yang belum matang membuat pasutri muda ini memiliki sifat egois sehingga muncullah masalah seperti KDRT, perselingkuhan, dan perceraian. Selain itu perempuan muda memiliki tingkat kesuburan yang sangat tinggi sehingga jika tidak diatur perempuan muda dapat dengan mudah melahirkan anak. Slogan “banyak anak banyak rejeki” memang tidak salah, namun memiliki banyak anak bagi pasangan muda dapat menimbulkan masalah. Salah satunya dapat memicu pertengkaran dalam rumah tangga.

(23)

Berdasarkan pengamatan peneliti tentang faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pernikahan dini, maka peneliti tertarik untuk mengangkat judul “DAMPAK PERNIKAHAN DINI PADA PASUTRI

DAN IMPLIKASINYA PADA PENYUSUNAN PROGRAM

BIMBINGAN DAN KONSELING KELUARGA (Studi Kasus pada Dua Pasang Suami Istri di Desa Jurangjero, Ngawen, Gunung Kidul)” dalam pemenuhan tugas akhir. Melalui skripsi ini peneliti berharap dapat mengungkap dampak apa saja yang ditimbulkan dari prnikahan dini dan membuat program bimbingan dan konseling keluarga bagi pasangan muda agar dapat mengatasi permasalahan yang timbul akibat dampak negatif dari pernikahan dini.

B. Identifikasi Masalah

Berangkat dari latar belakang masalah di atas, terkait dengan fenomena pernikahan dini dapat diidentifikasikan berbagai masalah sebagai berikut:

1. Bagi wanita di desa Jurangjero jika sudah lulus SD atau SMP dan tidak bekerja maka dianjurkan untuk menikah.

2. Faktor ekonomi menjadi salah satu alasan mengapa dilakukannya pernikahan dini.

(24)

4. Selain faktor ekonomi dan pendidikan, faktor budaya dan pergaulan bebas juga mempengaruhi banyaknya kasus pernikahan dini di desa Jurangjero, Ngawen, Gunung Kidul.

5. Belum adanya program bimbingan yang memberikan gambaran mengenai dampak negatif dan positif pernikahan dini di kalangan remaja desa Jurangjero, Ngawen, Gunung Kidul.

C. Fokus Penelitian

Dalam penelitian ini, fokus kajian di arahkan untuk masalah-masalah yang teridentifikasi di atas khususnya masalah-masalah mengenai dampak-dampak negatif dan positif apa saja dibalik terjadinya pernikahan dini di kalangan remaja desa Jurangjero, Ngawen, Gunung Kidul.

D. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Dampak-dampak negatif apa saja yang terjadi pada pasangan yang menikah di usia dini?

2. Dampak-dampak positif apa saja yang terjadi pada pasangan yang menikah di usia dini?

3. Program bimbingan dan konseling keluarga apa yang cocok untuk diberikan pada pasangan muda dalam mengatasi dampak negatif dari pernikahan dini?

E. Tujuan Penelitian

(25)

2. Mengeksplorasi dampak-dampak positif yang terjadi pada pasangan yang menikah di usia dini.

3. Membuat program bimbingan dan konseling keluarga untuk

diberikan pada pasangan muda dalam mengatasi dampak negatif dari pernikahan dini.

F. Manfaat Penelitian

Dengan adanya penelitian ini, diharapkan muncul beberapa manfaat sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan terhadap pengembangan pengetahuan mengenai dampak pernikahan dini pada pasutri desa Jurangjero, Ngawen, Gunung Kidul, khususnya dampak apa saja yang dialami para pasutri dari pernikahan dini di desa tersebut.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi para dosen Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

(26)

memberikan bimbingan dan konseling keluarga terkait persiapan pernikahan.

b. Bagi Remaja di Desa Jurangjero, Ngawen, Gunung Kidul

Bagi pasutri di desa Jurangjero, penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan informasi mengenai dampak positif dan negatif pernikahan dini. Selain itu penelitian ini juga dapat digunakan sebagai gambaran mengenai permasalahan pernikahan dini yang banyak terjadi. Sehingga bagi remaja yang mungkin belum menikah akan memperoleh gambaran seperti apa sebenarnya pernikahan dini itu, faktor-faktor apa saja yang melatar belakangi terjadinya pernikahan dini, dan apa saja dampak positif dan negatif dari pelaksanaan pernikahan di usia dini.

c. Bagi Peneliti

Manfaat penelitian ini bagi saya sebagai seorang pendidik adalah sebagai referensi dalam memberikan bimbingan yang bersifat preventif mengenai dampak pernikahan dini bagi peserta didik. Selain itu saya juga ingin memberikan bimbingan yang bersifat kuratif bagi pasangan muda dalam menjalani rumah tangga mereka.

G. Batasan Istilah Variabel

(27)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Dalam bab ini dipaparkan mengenai teori pernikahan dini, teori konsep remaja, teori bimbingan dan konseling keluarga, serta penelitian yang relevan.

A. Pernikahan Dini

1. Pengertian Pernikahan Dini

Pernikahan menurut Thalib adalah suatu perjanjian yang suci, kuat dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk membentuk keluarga yang kekal, santun menyantuni, kasih mengasihi, tentram dan bahagia (Ramulyo: 2002). Menurut Ghozali (2012: 7) pernikahan berasal dari kata nikah yang menurut bahasa artinya mengumpulkan, saling memasukkan, dan digunakan untuk arti bersetubuh. Secara Hukum, disebutkan dalam Undang-Undang perkawinan No.1 Pasal 1 Tahun 1974 bahwa perkawinan adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita untuk membentuk rumah tangga atau keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Kemudian dijelaskan lebih lanjut pada pasal 7 ayat 1 bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.

(28)

pernikahan dini adalah pernikahan yang dilakukan pada usia remaja, dimana biasanya remaja wanita berusia 15 tahun dan remaja pria berusia 18 tahun .

Menurut United Nations Populations Fund Associations (UNPFA, tahun: 2006) pernikahan dini adalah pernikahan yang dilakukan oleh remaja 18 tahun, yang secara fisik, fisiologis, dan psikologis belum memiliki kesiapan untuk memikul tanggungjawab perkawinan. Usia pernikahan dini berbeda-beda tergantung dari budaya dan tempat kejadian. Jadi dapat disimpulkan bahwa pernikahan dini adalah pernikahan yang dilakukan oleh pasangan di bawah usia 16 tahun (bagi perempuan) dan di bawah19 tahun bagi laki-laki (Fadlyana, 2009:137).

2. Faktor-faktor Penyebab Pernikahan Dini

Menurut penelitian Rifiani (2011: 126-127), secara umum sebagian masyarakat yang melangsungkan pernikahan dini dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:

a. Faktor ekonomi

(29)

pasangannya dan lepas dari keluarga. Oleh karena itu faktor ekonomi menjadi salah satu alasan mengapa sebagian orangtua menikahkan anaknya di usia yang seharusnya belum menikah. b. Faktor pendidikan

Pernikahan dini umumnya banyak terjadi di pedesaan. Hal ini dikarenakan rendahnya pendidikan yang ditempuh sebagian masyarakat pedesaan. Rendahnya pendidikan juga dipengaruhi oleh faktor ekonomi, karena sebagian dari masyarakat pedesaan memiliki mata pencaharian yang rendah, yaitu hanya sebagai petani atau buruh. Rendahnya pendidikan juga menyebabkan sebagian masyarakat pedesaan kurang memahami dampak dari pernikahan dini. Bagi sebagian masyarakat pedesaan menikah adalah salah satu hal yang lebih baik dilakukan jika sudah tidak menempuh pendidikan lagi. c. Faktor budaya

(30)

d. Faktor keinginan sendiri

Menikah di usia muda terkadang juga menjadi keinginan bagi pasangan sendiri. Tidak selamanya pasangan yang menikah muda dipaksa oleh keinginan orangtua. Bagi sebagian remaja yang sudah tidak sekolah dan tidak bekerja, menikah adalah hal yang mereka pilih. Menurut mereka dari pada menganggur dan tidak ada pekerjaan, lebih baik menikah dan mengurus rumah tangga. Selain itu menikah juga menghindarkan mereka dari perbuatan yang dilarang agama. e. Faktor pergaulan bebas

Seperti kita ketahui salah satu dampak dari pergaulan bebas adalah kehamilan yang tidak diinginkan atau hamil di luar nikah. Keadaan ini memaksa pasangan untuk segera melangsungkan pernikahan. Dampak pergaulan bebas yang dialami remaja memang memberi sumbangan besar dalam kasus pernikahan di usia dini. Sehingga dapat disimpulkan bahwa faktor pergaulan bebas adalah salah satu faktor terbesar dalam kasus pernikahan di usia dini.

3. Dampak-dampak Pernikahan Dini

(31)

tahun. Jadi dapat disimpulkan bahwa dampak pernikahan dini adalah pengaruh kuat dari pernikahan yang mendatangkan akibat baik negatif maupun positif. Pada dasarnya pernikahan adalah baik, karena pernikahan merupakan penyempurnaan ibadah. Namun pernikahan yang dilakukan di usia yang sangat muda biasanya memberikan dampak bagi pasutri.

Berangkat dari pengertian dampak, Walgito (1984: 25) mengungkapkan bahwa salah satu hal yang mempengaruhi pernikahan adalah usia. Usia mempengaruhi pernikahan baik dari segi fisik, psikologis, dan sosial-ekonomi. Undang-undang perkawinan membatasi usia menikah bagi wanita 16 tahun dan bagi pria 19 tahun. Pernikahan juga diizinkan bagi pria dan wanita yang belum memasuki usia tersebut dengan jalan mengajukan dispensasi. Pernikahan ini sering kita kenal dengan sebutan “pernikahan dini”. Berikut uraian dampak-dampak dari pernikahan

dini ditinjau dari segi fisik, psikologis, dan sosial-ekonomi: a. Dampak dari segi fisik

(32)

reproduksi. Pada wanita ditandai dengan datangnya menstruasi dan pada pria ditandai dengan mimpi basah. Artinya pada usia ini seseorang sudah dapat memproduksi keturunan. Memiliki keturunan merupakan salah satu tujuan menikah. Namun perlu diketahui bahwa pernikahan yang dilakukan di usia muda umumnya akan menimbulkan masalah secara fisik khususnya dialami pada remaja putri. Romauli dan Vindari (2012: 111) mengungkapkan bahwa “alat reproduksi remaja belum siap

untuk menerima kehamilan sehingga dapat menyebabkan berbagai bentuk komplikasi”. Papalia dan Old (2008: 607)

dalam bukunya Human Development mengungkapkan bahwa: Remaja yang hamil sering kali mengalami akibat yang buruk. Bayinya cenderung prematur atau kekurangan berat badan yang berbahaya atau dipuncak resiko kematian setelah kelahiran, masalah kesehatan, dan ketidakmampuan berkembang yang bisa terus berlanjut sampai dewasa.

(33)

persalinan yang dilakukan pada remaja putri juga dapat menyebabkan komplikasi kronik yaitu obstetric fistula. Fistula merupakan kerusakan pada organ kewanitaan yang menyebabkan kebocoran urin atau feses ke dalam vagina. Wanita berusia kurang dari 20 tahun sangat rentan mengalami obstetric fistula. Obstetric fistula ini dapat terjadi pula akibat

hubungan seksual di usia dini. b. Dampak dari segi psikologis

(34)

1) Perasaan setelah menikah

Perasaan setelah menikah memberi dampak pada segi psikologis. Pernyataan perasaan setelah menikah yang diungkapkan oleh pasangan dapat menggambarkan siap atau tidak siapnya pasangan ini menikah. Perasaan dipengaruhi oleh kematangan berpikir bagi pasangan. Seperti kita ketahui bahwa kematangan berpikir usia remaja belum sempurna, sehingga kemampuan berpikir yang belum matang dapat mendatangkan pikiran negatif. Jika pasangan berpikir negatif maka akan memberikan dampak negatif pula, contohnya munculnya perasaan takut dan ragu-ragu. Menurut Elkind (dalam Papalia dan Old, 2008: 561) “salah satu karakteristik pemikiran remaja

yang belum matang adalah ragu-ragu”. Maksud dari ragu-ragu adalah pada dasarnya remaja menyimpan berbagai alternatif dalam pikiran mereka pada waktu yang sama, namun karena kurangnya pengalaman mereka kekurangan strategi efektif untuk memilih. 2) Adaptasi dengan keluarga pasangan

(35)

pasangan yang tentu berbeda dengan keluarga asalnya. Hal ini tidak mudah karena individu harus berhadapan dengan suasana dan orang-orang yang jauh berbeda dengan dia dan keluarga asalnya. Terlebih lagi dalam diri remaja ada sifat yang disebut egosentrisme, dimana remaja belum bisa berpikir dari sudut pandang orang lain (Santrock, 2003: 122). Remaja hanya berpikir dari sudut pandang dirinya, yang artinya remaja merasa bahwa apa yang ia lakukan sudah benar menurut pandangannya. Selain itu remaja juga sensitif, artinya ia bisa salah mengartikan suatu hal karena ia merasa tersakiti hatinya. Jika individu susah beradaptasi dengan lingkungannya maka dapat memberikan dampak negatif yaitu stres dan munculnya perasaan tidak dihargai. Selain itu dapat berdampak pula pada relasi antara individu dengan keluarga pasangan, cotohnya sering terjadi kesalahpahaman antara istri/ suami dengan ibu/ ayah mertua.

3) Adaptasi dengan status baru sebagai kepala keluarga dan ibu rumah tangga

(36)

rumah tangga atau kepala keluarga memang tidak mudah. Terlebih pada pasangan yang menikah di usia muda. Faktor usia yang masih muda, ketidaksiapan untuk menikah, belum adanya pengalaman, pemikiran yang belum matang, dan sikap egois dapat memberikan dampak negatif bagi pasangan muda (Walgito, 1984: 25). Dampak negatif yang dihasilkan antara lain adalah munculnya sikap tidak peduli.

4) Pribadi: berkumpul dengan teman sebaya

Berkumpul dengan teman sebaya memberi dampak pada segi psikologis dan sosial. Berkumpul dengan teman merupakan sifat umum remaja. Hal ini mereka lakukan guna mencari jati dirinya. Selain itu perkembangan sosial remaja juga dipengaruhi oleh teman sebaya. Robinson (dalam Papalia dan Old, 2008: 617) mengungkapkan bahwa “sumber dukungan

emosional penting sepanjang transisi masa remaja yang kompleks adalah peningkatan keterlibatan remaja

dengan teman sebayanya”. Berdasarkan pernyataan

(37)

Burhmester (dalam Papalia dan Old, 2008: 618) mengatakan bahwa:

Teman sebaya merupakan sumber afeksi, simpati, pemahaman, dan panduan moral; tempat bereksperimen; dan setting otonomi dan independensi dari orang tua, yang juga merupakan tempat latihan bagi intimasi orang dewasa.

Berdasarkan pernyataan Burhmester tersebut tidak heran jika remaja sangat menyenangi berkumpul dengan teman sebaya sebagai tempat untuk melepas stres. Terlebih bagi remaja yang sudah disibuki dengan pekerjaan. Namun jika hal ini terjadi terus menurus tanpa adanya kontrol dari dalam diri dapat menimbulkan dampak negatif. Dampak negatif yang ditimbulkan antara lain adalah munculnya perasaan tidak peduli dan terbawa pengaruh buruk dari teman. Namun jika kumpul dengan teman sebaya diimbangi dengan kontrol diri maka akan memberikan dampak positif, diantaranya yaitu tempat untuk mengekspresikan diri dan tempat untuk melepas penat. 5) Kesulitan mengurus anak

Papalia dan Old (2008: 608) dalam bukunya “Human Development” mengungkapkan bahwa

“individu yang menjadi orangtua di usia remaja

(38)

kekurangan dukungan sosial untuk menjadi orangtua yang baik”. Berdasarkan pernyataan tersebut dapat

disimpulkan remaja yang menjadi orangtua umumnya mengalami kesulitan dalam mengurus anak. Dampak negatif yang ditimbulkan dari kesulitan mengurus anak adalah ketidakpedulian orangtua terhadap tumbuh kembang anak.

6) Mengatasi masalah rumah tangga/pribadi

(39)

mengekspresikan sesuatu yang ideal dan membuat pengorbanan yang dibutuhkan untuk mewujudkannya”.

Dampak dari ketidakdewasaan dalam mengatasi masalah rumah tangga/ pribadi adalah stres dan meningkatnya emosi. Bahkan ketidakdewasaan pasangan muda dalam mengatasi masalah juga bisa berujung pada perceraian dan KDRT (Rifiani, 2011: 128)

7) Mengatasi emosi

Mengatasi emosi memberi dampak pada segi psikologis. Seperti kita ketahui remaja masih memiliki emosi yang belum matang dan memiliki sifat egosentrisme. Sifat egosentrisme adalah ketidak- mampuan remaja melihat sesuatu dari sudut pandang oranglain (Santrock, 2003:122). Hal ini tentu mempengaruhi remaja dalam mengatasi emosi. Salah satu hal yang merupakan mengatasi emosi adalah mengatur marah. Marah adalah perasaan emosi yang negatif. Jika seseorang dapat mengatasi emosinya dengan baik maka ia juga dapat mengatur marahnya dengan baik.

(40)

diri mereka yaitu belum mampu mengatur emosi dengan baik. Hal ini dapat memberikan dampak negatif bagi pasangan suami istri yang mungkin berujung pada hal-hal yang tidak dinginkan. Dampak negatif yang mungkin muncul adalah stres dan keinginan untuk bercerai, melampiaskan marahnya pada suatu benda (contohnya menendang benda yang ada disekitarnya ketika sedang marah). Namun tidak semua remaja tidak dapat mengatasi emosinya. Belajar dari pengalaman, remaja yang telah menikah nyatanya dapat mengatasi emosi dengan baik. Hal ini tentu memberi dampak positif yaitu adanya perasaan lega. Maka dapat disimpulkan bahwa mengatasi emosi juga dapat memberikan dampak positif.

(41)

negatif yang umumnya terjadi adalah munculnya pemikiran dan perasaan takut dan ragu.

Selain kematangan dalam berpikir, Walgito (1984: 42) menuliskan beberapa faktor psikologis yang diperlukan dalam pernikahan yaitu “ kematangan emosi

dan pikiran, sikap toleransi, sikap saling pengertian, menerima, dan percaya antara suami dan istri”. Jika

faktor-faktor ini tidak ada dalam pernikahan maka dapat berdampak negatif pada pasutri muda.

c. Dampak dari segi sosial-ekonomi

(42)

d. Dampak dari segi hukum

Di Indonesia pernikahan sendiri diatur oleh undang-undang yang membatasi usia pernikahan. Undang-undang-undang pernikahan pasal 7 ayat 1 tahun 1974 menyebutkan bahwa usia minimum perkawinan untuk perempuan adalah 16 tahun, sedangkan untuk laki-laki adalah 19 tahun. Namun undang-undang itu tidak menjelaskan apakah pada usia itu orang sudah dikatakan dewasa atau belum. Ketidakjelasan undang-undang tersebut membuat sebagian orang tidak memikirkan apakah menikah perlu menunggu usia dewasa atau tidak. Bagi mereka jika seorang anak sudah dipandang layak untuk menikah, maka akan dinikahkan. Seperti yang terjadi pada masyarakat Toraja, budaya yang kuat serta pengetahuan yang kurang tentang dampak pernikahan dini membuat masyarakat Toraja tidak mempermasalahkan pernikahan walaupun di usia yang masih sangat muda. Bagi mereka jika sudah melaksanakan pernikahan sesuai adat maka pernikahan itu sah.

(43)

itu adalah masa peralihan anak-anak menuju remaja. Selain kehilangan haknya, mereka juga kehilangan masa remajanya yang sangat berharga. Hal ini dikarenakan pemerintah kurang mensosialisasikan tentang undang-undang pernikahan serta perlindungan anak (Landung, Thaha, & Abdullah, 2009: 93).

Namun pada dasarnya tidak selalu dampak negatif yang ditimbulkan dari pernikahan usia muda. Ada dampak positif yang dihasilkan dari pernikahan dini jika pasangan sudah mantap menikah dan memiliki tujuan yang sama dalam pernikahan. Bowman (1954: 28) dalam bukunya Marriage for Moderns mengungkapkan bahwa:

People marry for one of a number of reasons, such reason as love, economic security, the desire for a home and children, emotional security, parent’s wishes, escape from loneliness or from a parental home situation, money, companionship, sexual attraction, protection, social position and prestige.

Pernikahan yang didasari oleh tujuan yang sama dapat memberikan dampak positif bagi pasutri, termasuk pernikahan yang dilakukan pada usia muda. Walaupun dari segi usia mereka masih muda tetapi mereka mantap dan memiliki komitmen untuk menjalani pernikahan. Dampak yang mereka dapat adalah rasa aman, saling mengasihi, dan saling percaya. Adhim (2002: 82) mengungkapkan bahwa “pernikahan dengan tujuan yang baik dan

(44)

yang baik dan tanggung jawab akan memberi dampak positif bagi pasutri, termasuk pernikahan pada usia muda. Selain itu dampak positif yang dihasilkan dari pernikahan dini adalah frekuensi yang lama dalam membesarkan anak. Pasangan yang menikah muda biasanya akan memiliki anak pada usia yang juga masih muda. Hal ini tentu menguntungkan karena jarak orangtua dan anak tidak terlalu jauh. Sehingga orangtua dapat membesarkan dan mendidik anak dalam waktu yang lama dan dengan metode yang tidak kuno.

B. Konsep Remaja yang Menikah Dini 1. Pengertian Remaja

Remaja adalah individu yang berada diantara masa kanak-kanak akhir dan masa dewasa awal. Remaja, yang dalam bahasa aslinya disebut adolescence, berasal dari bahasa Latin adolescere yang artinya “tumbuh atau tumbuh untuk mencapai kematangan”

(Ali & Asrori, 2009: 9). Jadi dapat dikatakan bahwa remaja adalah individu yang sedang dalam masa pertumbuhan menuju kematangan baik secara fisik maupun psikologis.

(45)

menengah. Dapat kita lihat bahwa perempuanlah yang lebih cepat mengalami perubahan fisik dari pada laki-laki. Maka banyak yang mengatakan bahwa perempuan lebih cepat mengalami pubertas dan lebih cepat dewasa dari pada laki-laki. Hal ini dikarenakan perbedaan usia dalam hal kematangan baik secara fisik maupun psikologis.

2. Hakekat Perkembangan Remaja yang Belum Menikah dan yang Sudah Menikah

a. Perkembangan dari segi fisik

(46)

pertumbuhan rambut diwajah. Pada remaja perempuan ditandai dengan payudara membesar, tumbuhnya rambut pada kemaluan, tumbuhnya rambut ketiak, pinggul menjadi lebar, dan menstruasi.

Seperti telah kita ketahui bahwa remaja adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju dewasa. Masa peralihan ini ditandai dengan perkembangan fisik dan psikologis. Bagi remaja pada umumnya, perkembangan fisik merupakan hal yang biasa, khususnya perkembangan pada organ reproduksi. Pada remaja perempuan perkembangan reproduksi ditandai dengan menstruasi, sedangkan pada remaja laki-laki ditandai dengan mimpi basah. Perkembangan itu menandakan bahwa mereka akan menuju pada kedewasaan.

(47)

belum siap jika digunakan untuk kehamilan, karena secara fisik remaja memang belum siap melahirkan. (Romauli & Vindari, 2012: 110-111).

b. Perkembangan dari segi kognitif

Seperti dituliskan sebelumnya bahwa struktur otak remaja berkembang untuk menunjang perkembangan kognitifnya. Berbeda dengan anak-anak yang berpikir konkrit atau nyata, secara kognitif remaja sudah dapat berpikir abstrak. Seorang remaja tidak saja mengorganisasikan apa yang dialami dan diamati, tetapi remaja mampu mengolah cara berpikir mereka sehingga memunculkan suatu ide baru. Piaget (dalam Jahja, 2011: 231) menyebut tahap perkembangan kognitif ini sebagai tahap operasi formal. Pada tahap ini remaja dianggap sudah dapat berpikir lebih tinggi, dimana remaja dapat berpikir tentang konsekuensi dari tindakannya termasuk ancaman yang mungkin akan membahayakannya.

(48)

melakukan suatu hal maka ia akan melakukannya tanpa berpikir panjang kedepan (Jahja, 2011).

Seperti kita ketahui pada usia remaja perkembangan kognitif mulai memasuki tahap operasional formal. Namun perlu diingat bahwa perkembangan kognitif masa kanak-kanaknya juga belum hilang sepenuhnya, oleh karena itu remaja pada masa ini sering disebut labil. Mereka ingin disebut dewasa namun terkadang perilaku masih menunjukkan mereka masih anak-anak. Remaja yang merasa dirinya sudah dewasa terkadang melakukan tindakan yang menurutnya benar namun salah. Seperti misalnya bergaul dengan siapapun yang ia anggap benar, padahal tidak semua teman bergaulnya benar. Hal itulah yang bisa menyebabkan remaja terjerumus ke dalam hal negatif.

(49)

ingin menikmati masa muda tentu pikiran untuk berkumpul dengan teman-teman tentu masih ada, namun sekarang ia sudah terikat dan sudah tidak bisa bebas seperti dulu. Sedangkan bagi remaja perempuan dihadapi pada pemikiran bahwa ia harus mengurus suami dan anak. Remaja perempuan dipaksa untuk berpikir lebih jauh tentang mengurus keluarga walaupun mungkin sebenarnya ia belum tahu apa yang harus ia lakukan. Hal-hal inilah yang terkadang membuat remaja yang sudah menikah menjadi stres, dan stres berdampak pada kehidupan rumah tangga mereka.

c. Perkembangan dari segi kepribadian dan sosial

(50)

Remaja juga lebih senang berkumpul dengan teman sebayanya dari pada berkumpul dengan keluarga di rumah. Hal ini mereka lakukan mungkin untuk mencari sesuatu yang disebut identitas diri.

Bagi remaja yang sudah menikah, identitas diri terbentuk dari cara mereka melakukan perannya baik sebagai suami atau istri. Perkembangan sosial bagi remaja yang sudah menikah tentu mereka dihadapi pada kenyataan bahwa mereka sudah tidak dianggap sebagai remaja lagi. Mereka adalah pasangan suami istri yang tentunya juga harus bisa beradaptasi dengan pergaulan sosial, khususnya pergaulan dengan tetangga yang sudah menikah.

3. Fenomena Pernikahan Dini pada Remaja di Desa

(51)

yang negatif. Apalagi pernikahan dilakukan sesuai hukum adat yang berlaku, sehingga pernikahan itu dianggap sah.

Selain budaya yang mengakar kuat, masyarakat tersebut juga tidak mengindahkan masalah kesehatan. Bagi mereka ketika seorang remaja menikah yang terpenting adalah dapat mengandung dan melahirkan anak dengan baik. Mereka tidak memikirkan mengenai dampak kesehatan yang terjadi. Selain itu mereka juga tidak memikirkan hak anak yang telah kehilangan masa remajanya. Mereka tidak mengenal masa remaja, bagi mereka anak yang sudah akil baligh dianggap sudah pantas untuk menikah. Hal itulah yang membuat pernikahan dini khususnya di desa banyak terjadi. Faktor budaya dan keterbatasan pengetahuan menjadi pemicu banyaknya pernikahan dini di desa. Bahkan masalah pernikahan dini jarang tersentuh oleh pemerintah, sehingga masyarakat merasa bahwa pernikahan dini bukanlah suatu hal yang bermasalah (Landung, Thaha, & Abdullah, 2009: 91-94).

C. Bimbingan dan Konseling Keluarga

1. Pengertian Bimbingan dan Konseling Keluarga

(52)

mengarahkan diri dan dapat bertindak wajar, sesuai dengan tuntutan dan keadaan keluarga serta masyarakat. Konseling sendiri memiliki arti yang sedikit berbeda dengan bimbingan. Menurut Smith, 1955 (dalam Winkel, 2004:35) konseling adalah proses dimana konselor membantu konseli untuk membuat interpretasi dari kenyataan yang berhubungan dengan pilihan, rencana, atau penyesuaian yang seharusnya dibuat oleh konseli. Walaupun bimbingan dan konseling memiliki arti yang berbeda, namun konseling merupakan bagian dari bimbingan yang tidak dapat dipisahkan.

Keluarga sendiri memiliki arti yaitu kelompok sosial yang utama dan pertama, tempat seseorang belajar dan menyatakan diri sebagai manusia sosial dalam hubungan interaksi dalam kelompoknya. Box (1981: 9) mengemukakan bahwa “Family is a group of people whose relationship to another is determined by ties

of kinship”. Menurut Murdock, dalam bukunya Social Structure;

(53)

keturunan dari kakek dan nenek yang sama, termasuk keturunan suami dan istri yang disebut sebagai extended family.

Berdasarkan arti dari bimbingan, konseling, dan keluarga yang terpisah ini dapat disimpulkan bahwa bimbingan dan konseling keluarga adalah proses pemberian bantuan yang diberikan kepada individu sebagai anggota keluarga, baik dalam mengaktualisasikan potensinya, maupun dalam mengantisipasi serta menghadapi masalah yang dihadapi.

2. Tujuan Bimbingan dan Konseling Keluarga

(54)

a. Membantu individu-individu sebagai anggota keluarga untuk belajar dan menghargai secara ikatan emosional tentang adanya dinamika keluarga yang saling berkesinambungan. b. Membantu untuk saling memahami dan menyadari diantara

anggota keluarga tentang munculnya permasalahan pada salah satu individu akan saling berpengaruh pada individu-individu lainnya.

c. Membantu untuk meningkatkan rasa toleransi dan motivasi terhadap setiap individu sebagai anggota kelompok yang sedang menghadapi masalah yang sedang terjadi, baik karena faktor sistem keluarga atau di luar sistem keluarga.

d. Membantu untuk saling memberikan dan menjaga dalam berbagai persepsi, ekspektasi, serta berinteraksi diantara anggota keluarga.

3. Bentuk-bentuk Bimbingan dan Konseling Keluarga

(55)

tertentu. Bimbingan kelompok adalah bimbingan yang dilakukan dengan jumlah siswa yang lebih dari satu, biasanya dilakukan dalam kelompok kecil atau besar.

Bentuk-bentuk bimbingan dan konseling keluarga juga tidak berbeda jauh dari bentuk bimbingan pada umumnya. Bimbingan keluarga dapat diberikan secara individual jika yang dilayani hanya satu keluarga. Walaupun bersifat individual tetapi dalam pelaksanaannya bimbingan ini melibatkan seluruh anggota keluarga. Dengan kata lain bimbingan ini sering disebut sebagai konseling keluarga. Sedangkan bimbingan keluarga yang sifatnya kelompok biasanya dilakukan untuk memberi pembekalan bagi para orangtua dalam mengatasi masalah yang ada dalam keluarga. 4. Ruang Lingkup Permasalahan dalam Bimbingan dan

Konseling Keluarga

Lestari (2012: 103) mengungkapkan masalah yang sering terjadi dalam keluarga umumnya masalah yang disebabkan oleh konflik. Konflik yang biasanya muncul adalah konflik sibling, konflik orangtua-anak, dan konflik pasangan (Sillars, dalam Lestari, 2012: 103). Selain itu konflik yang bisa muncul juga berasal dari konflik mertua-menantu, dengan saudara ipar dan paman/ bibi (Vuchinich, dalam Lestari, 2012: 103).

(56)

ditimbulkan dari hubungan keluarga yang tidak sehat. Masalah inilah yang kemudian ditangani oleh pendidik bidang bimbingan dan konseling keluarga.

D. Penelitian yang Relevan

Beberapa penelitian tentang dampak pernikahan dini sudah banyak dilakukan, salah satunya pada penelitian Zulkifli Ahmad yang mengambil judul “Dampak Sosial Pernikahan Dini”. Jenis penelitian ini adalah

(57)

BAB III

METODE PENELITIAN

Dalam bab ini dipaparkan mengenai jenis penelitian, tempat dan waktu penelitian, subyek penelitian, teknik dan instrumen pengumpulan data, keabsahan data, dan teknik analisis data. Keenam sub judul tersebut merupakan bagian-bagian dari metode penelitian yang harus ada dalam sebuah penelitian. Setiap pengertian dan penjabaran didasarkan pada pemahaman logis, ilmiah, dan dapat dipertanggungjawabkan. Masing-masing sub-bagian akan dijabarkan secara singkat, padat, dan jelas. Berikut merupakan penjabaran dari masing-masing sub-bagian.

A. Jenis Penelitian

(58)

konteks khusus yang alamiah serta dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.

Menurut Daymond & Holloway: 2008, (dalam Tohirin, 2012: 19), studi kasus adalah pengujian intensif menggunakan berbagai sumber bukti terhadap suatu entitas tunggal yang dibatasi oleh ruang dan waktu. Pada umumnya studi kasus dihubungkan dengan sebuah lokasi atau sebuah organisasi, sekumpulan orang seperti kelompok kerja atau kelompok sosial, komunitas, peristiwa, proses, isu maupun kampanye. Chen & Pearce: 1995 (dalam Tohirin, 2012: 21), berpendapat bahwa studi kasus bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan mengenai berbagai peristiwa komunikasi kontemporer yang nyata dalam konteksnya.

B. Tempat dan Waktu Penelitian

(59)

C. Subyek Penelitian

Subjek penelitiannya adalah pasangan yang menikah di usia dini di desa Jurangjero, Ngawen, Gunung Kidul, D.I Yogyakarta yang berjumlah 2 pasang. Peneliti memilih pasangan itu dengan pertimbangan usia menikah yang masih terhitung sangat muda yaitu 15 tahun pada wanita dan 18 tahun pada pria .

D. Teknik Pengumpulan Data 1. Wawancara

(60)

yang terjadi, di mana hal ini tidak bisa ditemukan melalui observasi. Maksudnya adalah ketika melakukan wawancara peneliti tidak hanya memberikan satu pertanyaan inti, tetapi memberikan beberapa pertanyaan sampai jawaban dari pertanyaan inti terjawab.

2. Observasi

Observasi adalah salah satu cara mengumpulkan data dengan mengamati perilaku subjek secara langsung. Melalui observasi peneliti belajar tentang perilaku, dan makna dari perilaku tersebut, Marshall (dalam Sugiyono, 2010: 310). Burns: 1990 (dalam Basrowi & Suwandi, 2008: 93), berpendapat bahwa dengan observasi, peneliti dapat mendokumentasikan dan merefleksikan secara sistematis terhadap kegiatan dan interaksi subjek penelitian. Peneliti melakukan observasi saat datang ke lokasi dan saat melakukan wawancara. Observasi dilakukan guna memperoleh informasi lebih dalam mengenai subyek yang akan diteliti.

E. Instrumen Penelitian

(61)
[image:61.595.102.515.143.725.2]

Tabel 1. Pertanyaan-pertanyaan untuk wawancara mendalam

No. Pertanyaan Panduan untuk Istri

1. 2.

3.

4.

5.

6.

7.

Apakah anda pernah mengalami kesulitan ketika hamil dan melahirkan? Bagaimana perasaan anda setelah menikah? Hal apa yang mempengaruhi anda sehingga anda memiliki perasaan itu?

Setelah menikah anda tinggal dengan keluarga baru yang berbeda dari keluarga anda, apakah anda mengalami kesulitan untuk beradaptasi dengan keluarga baru anda? Jika ya/ tidak, hal apa yang membuat anda mengalami hal itu?

Setelah menikah anda dihadapkan pada status baru yaitu sebagai istri dan ibu rumah tangga, anda juga dihadapkan pada tugas untuk mengurus keluarga, apakah anda mengalami kesulitan dalam menjalani tugas itu? Jika ya/ tidak, apa yang membuat anda mengalami hal tersebut?

Setelah menikah kehidupan anda tentu tidak bebas seperti dulu, apakah terkadang masih terlintas dipikiran anda untuk bisa berkumpul dengan teman sebaya? Jika ya/ tidak, hal apa yang membuat anda berpikir seperti itu?

Setelah memiliki anak, apakah anda mengalami kesulitan dalam mengurus anak? Jika ya/ tidak, hal apa yang membuat anda merasa seperti itu?

(62)

8.

9.

10.

11.

Ketika anda mengalami emosi dengan masalah rumah tangga, pernahkah anda melakukan kekerasan fisik pada pasangan anda/ benda?

Ketika anda merasa marah dengan pasangan anda atau masalah rumah tangga anda, apakah anda langsung meluapkan kemarahan anda atau anda menahannya? Mengapa anda melakukan hal itu?

Hal baik atau kurang baik apa yang anda rasakan setelah anda menikah di usia muda dan mengarungi rumah tangga selama ini?

Setelah menikah secara ekonomi anda sudah ditanggung oleh suami, apakah anda mengalami kesulitan dalam hal ekonomi? Jika ya/ tidak bagaimana cara anda mengatasi masalah itu?

No. Pertanyaan Panduan untuk Suami

1.

2.

3.

Bagaimana perasaan anda setelah menikah? Hal apa yang mempengaruhi anda sehingga anda memiliki perasaan itu?

Setelah menikah anda tinggal dengan keluarga baru yang berbeda dari keluarga anda, apakah anda mengalami kesulitan untuk beradaptasi dengan keluarga baru anda? Jika ya/ tidak, hal apa yang membuat anda mengalami hal itu?

(63)

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

Setelah menikah kehidupan anda tentu tidak bebas seperti dulu, apakah terkadang masih terlintas dipikiran anda untuk bisa berkumpul dengan teman sebaya? Jika ya/ tidak, hal apa yang membuat anda berpikir seperti itu?

Setelah memiliki anak, apakah anda mengalami kesulitan dalam mengurus anak? Jika ya/ tidak, hal apa yang membuat anda merasa seperti itu?

Ketika anda mengarungi bahtera rumah tangga tentu ada masalah dalam perjalannya, bagaimana cara anda mengatasi masalah yang terjadi dalam rumah tangga anda? Hal apa yang membuat anda bisa seperti itu?

Ketika anda mengalami emosi dengan masalah rumah tangga, pernahkah anda melakukan kekerasan fisik pada pasangan anda/ benda?

Ketika anda merasa marah dengan pasangan anda atau masalah rumah tangga anda, apakah anda langsung meluapkan kemarahan anda atau anda menahannya? Mengapa anda melakukan hal itu?

Hal baik atau kurang baik apa yang anda rasakan setelah anda menikah di usia muda dan mengarungi rumah tangga selama ini?

(64)

No. Pertanyaan Panduan untuk Pihak Ketiga (orangtua/ teman/ tetangga) 1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

Setelah mereka menikah, mereka tinggal dengan keluarga baru yang berbeda dari keluarga asalnya, apakah mereka mengalami kesulitan untuk beradaptasi dengan keluarga barunya? Jika ya/ tidak, hal apa yang membuat mereka mengalami hal itu?

Setelah menikah mereka dihadapkan pada status baru yaitu sebagai ibu rumah tangga dan kepala keluarga, mereka juga dihadapkan pada tugas untuk bertanggungjawab terhadap keluarga, apakah mereka mengalami kesulitan dalam menjalani tugas itu? Jika ya/ tidak, apa yang membuat mereka mengalami hal tersebut?

Setelah menikah kehidupan mereka tentu tidak bebas seperti dulu, apakah terkadang masih terlintas dipikiran mereka untuk bisa berkumpul dengan teman sebaya? Jika ya/ tidak, hal apa yang membuat mereka berpikir seperti itu?

Setelah memiliki anak, apakah mereka mengalami kesulitan dalam mengurus anak? Jika ya/ tidak, hal apa yang membuat mereka merasa seperti itu?

Ketika mereka mengarungi bahtera rumah tangga tentu ada masalah dalam perjalannya, bagaimana cara mereka mengatasi masalah yang terjadi dalam rumah tangga mereka? Hal apa yang membuat mereka bisa seperti itu? Ketika mereka mengalami emosi dengan masalah rumah tangga, pernahkah mereka melakukan kekerasan fisik pada pasangan mereka/ benda?

(65)

8.

9.

tangga mereka, apakah mereka langsung meluapkan kemarahan mereka atau mereka menahannya? Mengapa mereka melakukan hal itu?

Apakah ada hal baik atau kurang baik yang mereka alami setelah mereka menikah di usia muda dan mengarungi rumah tangga selama ini?

Setelah menikah secara ekonomi mereka bertanggungjawab penuh pada keluarga barunya dan lepas dari tanggungjawab orangtua, apakah mereka mengalami kesulitan dalam hal ekonomi? Jika ya/ tidak bagaimana cara mereka mengatasi masalah itu?

No. Panduan Observasi untuk Istri Kriteria Jawaban Ya Tidak 1.

2.

3.

4.

5.

Istri menunjukkan ekspresi trauma ketika menceritakan pengalaman hamil dan melahirkan? Istri menunjukkan ekspresi wajah yang bahagia saat menyatakan perasaannya setelah menikah?

Istri dapat beradaptasi dengan baik dikeluarga barunya (dengan mertua, kakak dan adik ipar, saudara dari pihak suami, tetangga)?

Istri dapat menjalani tugas sebagai ibu rumah tangga (mengurus rumah, mengurus suami, mengurus anak) dengan baik?

(66)

6.

7.

8. 9.

10.

11.

teman sebayanya?

Istri dapat mengurus anak (momong, menyiapkan makan, memberi makan, memandikan, melakukan imunisasi, timbangan, melatih respon anak) dengan baik?

Istri mengkomunikasikan masalah rumah tangganya pada suami dengan baik?

Istri dapat mengatur emosinya dengan baik?

Istri dapat meredakan marahnya dan mengungkapkannya dengan cara yang baik?

Istri menunjukkan ekspresi wajah yang positif saat menceritakan pengalamannya menikah muda dan mengarungi bahtera rumah tangga?

Keadaan istri secara finansial cukup baik?

No. Panduan Observasi untuk Suami Kriteria Jawaban Ya Tidak 1.

2.

Suami menunjukkan ekspresi wajah yang bahagia saat menyatakan perasaannya setelah menikah?

(67)

3.

4.

5.

6.

7. 8.

9.

10.

Suami dapat menjalani tugas sebagai kepala keluarga (mencari nafkah, mendidik istri dan anak) dengan baik?

Suami masih sering mengunjungi dan berkumpul dengan teman sebayanya?

Suami dapat mengurus anak (momong, menyiapkan makan, memberi makan, memandikan, melakukan imunisasi, timbangan, melatih respon anak) dengan baik?

Suami mengkomunikasikan masalah rumah tangganya pada istri dengan baik?

Suami dapat mengatur emosinya dengan baik?

Suami dapat meredakan marahnya dan mengungkapkannya dengan cara yang baik?

Suami menunjukkan ekspresi wajah yang positif saat menceritakan pengalamannya menikah muda dan mengarungi bahtera rumah tangga?

Keadaan suami secara finansial cukup baik?

F. Keabsahan Data

(68)

Triangulasi teknik berarti peneliti menggunakan teknik pengumpulan data yang berbeda-beda untuk mendapatkan data dari sumber yang sama. Sedangkan triangulasi sumber untuk mendapat data dari sumber yang berbeda-beda dengan teknik yang sama. Triangulasi dengan sumber berarti membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam penelitian kualitatif (Patton dalam Moleong, 2009: 330-331).

Penelitian ini menggunakan triangulasi, yaitu triangulasi sumber. Menurut Denzin: 1978 (dalam Tohirin, 2012: 73) terdapat lima cara dalam menggunakan triangulasi sumber, yaitu:

1. Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara.

2. Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa yang dikatakannya secara pribadi.

3. Membandingkan apa yang dikatakan orang tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakannya sepanjang waktu.

4. Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang seperti rakyat biasa, orang yang berpendidikan rendah, menengah dan tinggi, orang berada, dan orang pemerintahan.

(69)

Peneliti menggunakan perbandingan tiga sumber yang berbeda, yaitu orangtua/ saudara/ tetangga, suami, dan istri (pasangan yang menikah dini). Hal ini dilakukan agar data yang terkumpul semakin valid dan jelas.

G. Teknik Analisis Data

Setelah proses pengumpulan data dilakukan, proses selanjutnya adalah melakukan analisis data. Menurut Muhadjir: 1998 (dalam Tohirin, 2012: 141) analisis atau penafsiran data merupakan proses mencari dan menyusun atur secara sistematis catatan temuan penelitian melalui pengamatan dan wawancara dan lainnya untuk meningkatkan pemahaman peneliti tentang fokus yang dikaji dan menjadikannya sebagai temuan untuk orang lain.

(70)
(71)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini akan diuraikan proses penelitian, deskripsi subjek, hasil pelaksanaan penelitian dan usulan program bimbingan dan konseling keluarga bagi pasutri yang menikah muda. Data-data yang disajikan adalah data hasil observasi dan wawancara mendalam terhadap subjek di desa Jurangjero, Ngawen, Gunung Kidul. Pada penyajian data, identitas subjek seperti nama dan alamat tempat tinggal dirahasiakan.

A. Proses Penelitian

Proses penelitian berjalan dengan lancar sesuai dengan agenda yang sudah direncanakan. Adapun penelitian dilakukan di desa Jurangjero, Ngawen, Gunung Kidul, D.I Yogyakarta. Peneliti mewawancarai kedua subjek dengan datang ke rumah subjek dalam kurun waktu dua minggu. Penelitian subjek pertama dilaksanakan pada tanggal 31 Agustus 2015 sampai dengan 6 September 2015. Penelitian subjek kedua dilaksanakan pada tanggal 7 September 2015 sampai dengan 13 September 2015. Para pasutri yang dijadikan sebagai subjek adalah pasutri yang menikah di usia 15 tahun (untuk wanita) dan 18 tahun (untuk pria). Para pasutri tersebut adalah Am (istri, usia 21 tahun) dan Dd (suami, usia 24 tahun) sebagai subjek 1, Al (istri, usia 16 tahun) dan Sg (suami, usia 19 tahun) sebagai subjek 2.

(72)

muda karena desakan keluarga, khususnya kakek Dd. Kakek Dd menyarankan ia untuk menikah saja daripada pacaran terlalu lama. Pada awalnya Am dan Dd merasa belum siap, tetapi karena desakan keluarga akhirnya mereka memutuskan untuk menikah di usia yang mereka anggap masih terlalu muda. Saat ini pernikahan Am dan Dd sudah berjalan selama enam tahun. Subjek kedua (Al dan Sg) menikah karena terjadi kehamilan sebelum menikah. Al yang saat itu baru saja lulus SMP terpaksa harus menikah karena sudah terlanjur hamil lima bulan. Sg yang saat itu juga baru akan meniti karirnya mau tidak mau harus menikahi kekasihnya yang sudah hamil. Pernikahan mereka dilaksanakan karena adanya kehamilan dan sempat tidak disetujui oleh orangtua Sg, namun suatu perbuatan yang mengakibatkan seseorang menderita tetap harus dipertanggungjawabkan. Pernikahan mereka saat ini telah berjalan satu tahun.

(73)

B. Deskripsi Subjek 1. Deskripsi subjek 1

Pasangan suami istri yang menjadi subjek pertama adalah Am dan Dd. Am adalah seorang ibu rumah tangga, sedangkan Dd bekerja sebagai sales makanan ringan. Pernikahan mereka telah berusia enam tahun dan mereka telah dikaruniai anak yang saat ini berusia dua setengah tahun. Am dan Dd menikah atas saran dari keluarga Dd khususnya kakek Dd.

Am dan Dd sama-sama berasal dari keluarga sederhana. Mereka juga berasal dari desa yang sama namun beda RT. Orangtua mereka sama-sama seorang petani. Setelah menikah Am ikut tinggal dengan suaminya. Am adalah pribadi yang sedikit pendiam namun mudah berterus terang jika ada hal yang dirasanya tidak enak, sedangkan Dd adalah pribadi yang keras dan agak kasar, namun Dd memiliki rasa tanggungjawab yang besar pada keluarga kecilnya.

2. Deskripsi subjek 2

(74)

bekerja di Yogyakarta. Al merasa Ibunya kurang memperhatikannya karena terlalu sibuk mengurus nenek dan adik-adiknya, oleh karena itu ia memutuskan untuk ikut dengan Ayahnya. Awalnya Al ingin tinggal dengan Ayahnya di Yogyakarta dan bersekolah di sana, namun ia tidak menemukan kenyamanan sampai akhirnya ia memutuskan tinggal di tempat buliknya di Desa Jurangjero, Ngawen, Gunung Kidul. Desa Jurangjero inilah yang mempertemukan Al dan Sg sampai akhirnya pacaran dan menikah.

Sg adalah warga asli Jurangjero, ia juga lulusan salah satu SMP Negri di desa Jurangjero. Sg bertemu dan mengenal Al di desa tersebut. Kedua orangtua Sg adalah petani dan warga asli Jurangjero. Sg berencana melanjutkan sekolahnya dengan menyambi kerja di sebuah bengkel kecil. Ia berencana sekolah dengan biayanya sendiri untuk meringankan beban orangtua. Namun semua itu tidak dapat ia wujudkan karena ia harus menikahi Al, kekasihnya yang saat itu sudah hamil. Sg membatalkan keinginannya dan menikahi kekasihnya, selain itu Sg juga keluar dari pekerjaannya.

C. Hasil Penelitian

1. Hasil wawancara mendalam

(75)

kedua subjek, berikut ini dipaparkan hasil wawancara mendalam berdasarkan pedoman wawancara:

a. Dampak dari segi fisik

1) Kesulitan ketika hamil dan melahirkan (khusus istri) Pernyataan subjek 1A (Am):

“Mungkin kesulitannya karena kurang informasi tentang kehamilan mba. Waktu hamil kan umur saya masih lima belas tahun mba jadi saya belum tahu banyak tentang hamil. Saya sempat dua kali keguguran mba sebelum dapat anak yang ketiga ini.”

(1A.5.1) Pernyataan subjek 2A (Al):

“Kalau pas hamil kayanya engga ada sih mba, cuma waktu itu anak saya lahir prematur, 6,5 bulan sudah lahir.”

(2A.5.1)

Berdasarkan pernyataan kedua subjek di atas, peneliti menyimpulkan bahwa kehamilan di usia remaja memberikan dampak negatif bagi remaja putri. Dampak negatifnya adalah keguguran dan kelahiran prematur.

b. Dampak dari segi psikologis 1) Perasaan setelah menikah

Pernyataan subjek 1A (Am):

“Ya perasaan saya takut mba karena kan saya baru pertama kali menikah dan belum punya pandangan tentang berkeluarga, tapi ya sudah dijalani saja.”

(1A.1.9) Pernyataan subjek 1B (Dd):

“Perasaan saya waktu itu ya ragu-ragu mba, apa sudah siap menikah atau belum.”

(1B.1.5)

(76)

menikah. Faktor usia yang masih muda melatarbelakangi ketidaksiapan mereka untuk menikah. Akibatnya mereka memiliki pikiran negatif mengenai pernikahan yang berdampak pada perasaannya. Perasaan yang dihasilkan dari pikiran negatif adalah perasaan takut dan ragu-ragu. Takut karena subjek berpikir belum memiliki pengetahuan tentang kehidupan setelah menikah, dan ragu karena subjek berpikir tidak dapat menghidupi keluarganya.

Pernyataan subjek 2A (Al):

“Perasaan saya...gimana ya, ada rasa lega, ya senang, tapi ada rasa takut juga mba.”

(2A.1.6) Pernyataan subjek 2B (Sg):

“Ya takut ada, ragu-ragu juga ada mba, takutnya itu besok bisa ngasih nafkah atau engga, ragu-ragunya itu benar tidak keputusan saya untu menikah muda tapi ya sudah jalani saja dulu mba.”

(2B.1.5)

(77)

ketidaksiapan mereka untuk menikah, faktor lain juga mempengaruhi subjek memiliki perasaan negatif yaitu perkataan tidak membangun dari orang yang sangat berpengaruh. Subjek 2A mengaku bahwa perkataan ibunya membebani pikirannya sehingga ia memiliki perasaan yang negatif terkait kehidupan setelah menikah.

2) Adaptasi dengan keluarga pasangan Pernyataan subjek 1A (Am):

“Saya merasa susah beradaptasi dengan keluarga suami mba.” (1A.2.1) “Yang bikin saya seperti itu karena kan saya ikut suami dan suami saya masih tinggal dengan orangtuanya otomatis saya tinggal dengan mertua. Kadang saya merasa jengkel dengan mertua saya mba, itu yang bikin saya susah beradaptasi.”

(1A.2.2) Pernyataan subjek 2A (Al):

“Ya susah mba, waktu awal-awal saya tinggal disini itu sering ada perselisihan mba.”

(2A.2.2) “Ya dengan mertua saya.”

(2A.2.3) “Ya contohnya ibu mertua pernah marah gara-gara saya salah masak nasi, harusnya kan bisa ngomong pelan-pelan mba, tapi ini ngomongnya agak kasar, orangtua saya saja ga sampai sebegitunya mba kalau memarahi saya, ini ibu mertua saya sampai sebegitu marahnya hanya karena hal sepele.”

(2A.2.5)

(78)

karena pernyataan subjek tidak sejalan dengan pernyataan Ibu mertua. Berikut pernyataan dari Ibu mertua masing-masing subjek:

Pernyataan subjek 1C (Ibu mertua Am, Sr):

“Sepertinya tidak mba, setelah tinggal disini ya menantu saya biasa saja namanya juga ikut suami mau ga mau kan harus tinggal disini, karena anak saya kan belum punya rumah, kalau disini kan seperti itu mba kalau perempuan sudah menikah ya harus ikut suami.”

(1C.1.4) Pernyataan subjek 2C (Ibu mertua Al, ):

“Ya tidak mba, menantu saya biasa saja tinggal di sini, kalau setiap pagi ya bangun merendam cucian terus bikin sarapan untuk suaminya, nanti setelah itu baru momong anaknya, ya setiap hari cuma begitu mba. Tapi memang menantu saya itu cepat tersinggung, kalau ada salah apa sedikit saya beritahu langsung marah, padahal itukan demi kebaikan dia juga to mba, masa ada orang salah dibilangin malah marah, tapi ya sudah saya diamkan saja nanti ndak dikira saya cerewet atau suka ngatur, ya namanya juga masih remaja ya mba jadi masih agak susah dibilangin.”

(2C.1.7)

Berdasarkan pernyataan dari pihak ketiga (ibu mertua), peneliti menyimpulkan memang terjadi adanya kesalahpahaman antara menantu dan mertua. Pemikiran egosentrisme inilah yang menyebabkan terjadinya banyak kesalahpahaman yang memicu masalah antara menantu dan ibu mertua. Padahal dari pihak ibu mertua hanya berusaha untuk melakukan yang terbaik bagi menantunya. Namun karena egosentrisme maka menantu mengartikan lain perilaku atau perkataan ibu mertuanya.

(79)

tinggal dengan mertua, mereka juga jarang bertemu dengan mertua. Hanya sesekali saja mereka mengunjungi mertua untuk sekedar silaturahmi. Hal ini membuat para suami jarang mengeluarkan pikiran egosentrisme mereka, sehingga mereka jarang mengalami masalah dengan keluarga istri. Walaupun ada sedikit perbedaan sifat keluarga mereka dengan keluarga istri, namun mereka menyatakan tidak begitu merasa kesulitan untuk beradapatasi.

Pernyataan subjek 1B (Dd):

“Ya awal-awalnya susah mba, pasti kan kita punya perbedaan kebiasaan, perbedaan sifat, perbedaan perilaku, dan masih banyak perbedaan lainnya mba, terkadangkan perbedaan itu suka bikin masalah antar keluarga to mba.”

(1B.2.1) “Kalau untuk bisa beradaptasi menurut saya meningkatkan keakraban mba, kalau sudah akrab pasti ke sana-sananya enak.”

(1B.2.11) Pernyataan subjek 2B (Sg):

“Ya kesulitan pasti ada mba, apalagi saya menikah usianya masih muda, kalau saya sih prinsipnya mengalah mba, kalau misalnya sana lagi marah ya saya ngalah saja gitu supaya tidak ribut.”

(2B.2.1)

3) Adaptasi dengan status baru sebagai kepala keluarga dan ibu rumah tangga

Pernyataan subjek 1A (Am):

“Engga sih mba, saya merasa bisa menjalaninya.”

(1A.3.1) “Ya soalnya dari sebelum menikah saya terbiasa dengan pekerjaan dirumah. Saya sudah terbiasa bersih-bersih rumah atau masak jadi saya tidak ada kesulitan bantu Ibu mertua saya untuk masak dan bersih-bersih rumah.”

(80)

Pernyataan subjek 1B (Dd):

“Kesulitan ya pasti ada mba, khususnya dalam hal ekonomi, saya dengan istri saya kan masih belum bisa mengatur uang, kadang masalah uang sering bikin kami ribut.”

(1B.3.1)

Berdasarkan pernyataan dari subjek pertama, peneliti menyimpulkan bahwa pernikahan usia muda dapat memberikan baik dampak negatif maupun positif dalam hal perubahan status. Dampak negatifnya adalah perasaan emosi yang tinggi dalam mengatur keuangan. Sebagai pencari nafkah, suami mengeluhkan uang gaji yang selalu habis belum sampai akhir bulan. Disisi lain istri juga mengeluhkan biaya kebutuhan hidup yang meningkat. Hal ini terkadang membuat mereka sering ribut. Faktor yang mempengaruhi dampak negatif ini adalah pemikiran yang belum matang. Perubahan status ini juga memberikan dampak positif. Hal ini didukung oleh pernyataan Ibu subjek yang menyatakan bahwa keduanya dapat menjalani peran masing-masing dengan baik.

Pernyataan subjek 1C (Sr):

“Kesulitan sih tidak ada mba, ya seperti biasa anak saya kalau pagi ya kerja, lalu istrinya dirumah kadang bantu saya masak dan bersih-bersih rumah, waktu itu sempat menantu saya kerja karena dia bosan dirumah, kalau saya sih terserah dia saja yang penting dia bisa menjalaninya.”

(1C.2.2)

(81)

menerima dan menjalani peran mereka walau masih minimnya pengalaman yang mereka miliki.

Pernyataan subjek 2A (Al):

“Sedikit kesulitan pasti ada mba cuma saya jalani saja mba, itu kan sudah jadi kewajiban saya, ya walaupun awalnya susah tapi bisa belajar sedikit-sedikit ngurus rumah tangga lama-lama jadi terbiasa.”

(2A.3.3) Pernyataan subjek 2B (Sg):

“Kesulitan pasti ada mba, soalnya saya menikah diusia yang masih muda juga terus saya masih ingin main-main, tapi saya ingat yang di rumah, misalnya saya mau main ke tempat teman saya, pulang-pulang pasti istri saya marah-marah, jadi kalau mau main ke tempat teman saya yang rumahnya agak jauh itu susah mba.”

(2B.3.2)

(82)

menyatakan sifat anaknya belum berubah walaupun sudah menikah.

Pernyataan subjek 2C (As):

“Kalau anak saya mungkin karena belum siap mba, kadang sifat yang dulu masih ada sampai sekarang misalnya suka keluar malam ketemu teman, dari dulu memang sukanya keluar malam sampai setelah menikah ya masih begitu.”

(2C.2.2)

Berbeda dengan istri, ia dengan mantap menyatakan tidak mengalami kesulitan dengan perubahan statusnya sebagai istri dan ibu rumah tangga. Dampak positifnya adalah ia memiliki pemikiran yang baik terkait perubahan statusnya sehingga ia dapat menjalani tugas sebagai ibu rumah tangga dengan baik. Hal ini juga didukung oleh pernyataan ibu mertua subjek yang menyatakan bahwa menantunya dapat menjalani perannya dengan baik.

“Kalau menantu, saya kurang tahu juga mba keliatannya dia tidak ada masalah karena saya lihat dia sayang sekali sama anaknya, terus dia juga melakukan pekerjaan ibu rumah tangga

Gambar

Tabel 1. Pertanyaan-pertanyaan untuk wawancara mendalam
Tabel 5. Hasil Observasi Subyek 1A
Tabel 6. Hasil observasi 1B
Tabel 7. Hasil Observasi Subyek 2A
+2

Referensi

Dokumen terkait

Semakin pesat dan berkembangnya media informasi, salah satunya media Internet yang banyak menyediakan berbagai macam informasi, maka penulis ingin mencoba membuat situs web Ikan

Alur pencarian solusi dengan algoritma genetika ini adalah dengan menampung semua solusi pada suatu populasi untuk didapatkan solusi yang terbaik pada generasi

Membahas mengenai sistem penjualan yang digambarkan dengan menggunakan Data Flow Diagram (DFD), Entity Relationship Diagram (ERD) dan Normalisasi yang kemudian diimplementasikan

Penggunaan Homepage itu sendiri sangatlah fleksibel karena jika terdapat penambahan atau pengurangan halaman web, maka Homepage dapat ditulis kembali, ditambah, dikurangi atau

Kartu Seminar PKL, PraSeminar (Biru) yang telah ditandatangani oleh Ketua Program Studi6. Tanda Terima Pengumpulan Laporan PKL dan

Mengulas bagaimana pemanfaatan driver dan mode grafis pada bahasa C di sebuah game, dan penerapannya ke dalam logika pemrograman. Game My Igo ini memiliki beberapa kelebihan

kepala madrasah menunjuk perwakilannya untuk mengikuti kegiatan tersebut tanpa di pungut biaya. Demikian atas perhatian dan kerjasamanya kami sampaikan

public class tampilmateri3 extends AppCompatActivity { String mtrJson = "";.