• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Deskriptif Mengenai Optimisme Pada Mahasiswa Fakultas Psikologi Yang Sedang Mengerjakan Usulan Penelitian Lanjutan di Universitas "X" Kota Bandung.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi Deskriptif Mengenai Optimisme Pada Mahasiswa Fakultas Psikologi Yang Sedang Mengerjakan Usulan Penelitian Lanjutan di Universitas "X" Kota Bandung."

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

pada mahasiswa Fakultas Psikologi yang sedang mengerjakan Usulan Penelitian Lanjutan di Universitas “X” di kota Bandung. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan penggunaan teknik survey. Pemilihan sampel menggunakan metode purposive sampling dengan responden sebanyak 60 mahasiswa.

Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini merupakan Attributional Style Questionnare (ASQ) dari Martin E. P. Seligman (2000) terdiri dari 48 item dan telah dimodifikasi oleh peneliti agar sesuai dengan variabel dan sampel yang ingin diteliti. Pengujian validitas alat ukur pada penelitian ini menggunakan metode rank Spearman dimana kesemua item yang ada mempunyai validitas di atas 0,3 (dapat dilihat pada tabel validitas alat ukur). Pengujian reliabilitas alat ukur pada penelitian ini menggunakan teknik split half dan diperoleh reliabilitas sebesar 0,5157. Item-item tersebut mewakili dimensi permanence, pervasiveness, dan perzonalitation baik dalam good maupun bad situation.

(2)

Lembar Pengesahan ………..ii

Abstrak ………iii

Kata Pengantar ………iv

Daftar Isi ………..…………...vi BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang Masalah ……….1

1.2Identifikasi Masalah …………..……….9

1.3Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian ………..……….9

1.3.2 Tujuan Penelitian ………...……….10

1.4Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoretis ...………...……10

1.4.2 Kegunaan Praktis ………...……….10

1.5Kerangka Pemikiran ……….11

1.6Asumsi Penelitian ……….23

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ………25

(3)

2.1.2.3 Dimensi Personalization...29

2.1.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Explanatory Style 2.1.3.1 Explanatory Style Significant Person...30

2.1.3.2 Kritik Orang Dewasa...32

2.1.3.3 Kritik yang Dialami Saat Masa Kanak-Kanak...33

2.1.4 Mengubah Pesimisme Menjadi Optimisme...34

2.2 Perkembangan Kognitif pada Masa Dewasa Awal...36

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian ……….………...38

3.2 Bagan Rancangan Penelitian ……….…………...38

3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ………...39

3.4 Alat Ukur 3.4.1 Kuesioner Optimisme ………...………...40

3.4.2 Sistem Penilaian ………...41

3.4.3 Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur 3.4.3.1 Validitas ………...43

3.4.3.2 Reliabilitas ………...44

(4)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Responden………....47

4.1.1 Berdasarkan Jenis Kelamin………...………47

4.1.2 Berdasarkan Usia………...………48

4.1.3Berdasarkan Lamanya Mengontrak UPL ………...………48

4.2 Hasil Penelitian dan Pembahasan 4.2.1 Hasil Penelitian……….………49

4.2.2 Pembahasan………...……51

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan………57

5.2 Saran 5.2.1 Saran Bagi Peneliti Lain………...………58

5.2.2 Saran Praktis……….………58

(5)

Tabel 4.1 Gambaran Responden Berdasarkan Jenis Kelamin………....………44

Tabel 4.2 Berdasarkan Usia.. ….……….……….……….………….45

Tabel 4.3 Berdasarkan Lamanya Mengontrak Usulan Penelitan Lanjutan...45

Tabel 4.4 Tabel Optimisme Mahasiswa….……….……….………..46

Tabel 4.5 Tabel Tiap Dimensi dalam Good dan Bad Situation…………...……...47

Tabel 4.6 Tabel Explanatory Style Significant Person Individu………..….…...49

(6)

Bagan Prosedur Penelitian….………..….………….…….………..….………….….35

DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 : Kuesioner

Lampiran 2 : Kuesioner Data Penunjang Lampiran 3 : Validitas

Lampiran 4 : Reliabilitas

Lampiran 5 : Tabulasi Silang dengan Explanatory Stlyle Significant Person Lampiran 6 : Tabulasi Silang dengan Kritik Orang Dewasa

(7)

1.1Latar Belakang Masalah

Membicarakan tentang pendidikan memang tidak ada habisnya. Tidaklah heran bila kesadaran masyarakat awam tentang pentingnya pendidikan berangsur-angsur menunjukkan peningkatan. Jumlah penduduk yang relatif besar merupakan potensi yang besar pula untuk memasarkan pelbagai program pendidikan. Banyak pihak yang mendirikan institusi pendidikan, baik yang dikelola oleh pemerintah maupun oleh swasta, kesemuanya menawarkan keunggulan dan keunikan tertentu. Adapun pelaksanaan pendidikan formal di Indonesia, secara umum dilakukan mengikuti jenjang-jenjang SD, SMP, SMA, dan Perguruan Tinggi.

(8)

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, skripsi adalah karangan ilmiah yang wajib ditulis oleh mahasiswa sebagai bagian dari persyaratan akhir pendidikan akademisnya. Proses penyusunan skripsi di Fakultas Psikologi Universitas “X” Bandung, yang akan diteliti ini, sedikit memiliki perbedaan

dibandingkan dengan proses penyusunan skripsi di jurusan atau fakultas lain di lingkup Universtas X. Di Fakultas Psikologi saat menyelesaikan skripsinya mahasiswa akan dibimbing oleh dua orang dosen pembimbing. Kedua pembimbing tersebut disebut sebagai Pembimbing I dan Pembimbing II. Pembimbing I berperan memberikan arahan konseptual, sedangkan Pembimbing II bertindak sebagai reader.

Sebelum mengontrak skripsi, mahasiswa harus mengikuti rangkaian mata kuliah prasyarat yang secara berurutan diungkapkan berikut ini: Metodologi Penelitian 1, Metodologi Penelitian Lanjutan, Usulan Penelitian, dan diakhiri dengan skripsi. Kesemua mata kuliah tersebut ditempuh dalam semester yang berurutan dengan mata kuliah sebelumnya merupakan persyaratan bagi mata kuliah berikutnya.

(9)

Adapun yang menjadi ketertarikan peneliti adalah pada proses penyelesaian Usulan Penelitian itu sendiri, dimana sebagian besar mahasiswa di Fakultas ini tidak berhasil menyelesaikan Usulan Penelitian dalam kurun waktu satu semester, sehingga harus mengontrak Usulan Penelitian Lanjutan pada semester berikutnya. Secara tidak langsung, kenyataan ini berdampak pada masa studi mahasiswa, yaitu setidak-tidaknya menjadi bertambah satu semester.

Panjangnya mata rantai proses penyusunan skripsi yang bermula dari mengikuti mata kuliah Metodologi Penelitian 1 hingga penyusunan skripsi, diantaranya menjadi penyebab rata-rata mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas “X” Bandung baru dapat menyelesaikan jenjang studi S1-nya dalam

kurun waktu lima tahun atau 10 semester. Proses penyusunan skripsi menjadi dua bagian yaitu Usulan Penelitian dan Skripsi, tidak dengan sendirinya dapat memperpendek mata rantai penyusunan skripsi setidaknya bila dilihat dari segi waktu yang dihabiskan. Menurut wawancara peneliti kepada lima mahasiswa yang sedang mengerjakan Usulan Penelitian Lanjutan, ada beberapa hal yang menjadi catatan panjangnya waktu yang diperlukan, yaitu menjalani proses bimbingan individual dengan dua orang dosen Pembimbing yang terus menerus hingga menemukan kesepakatan persepsi dalam pengerjaan Usulan Penelitian Lanjutan ini, yang ternyata dirasa cukup menguras ketahanan fisik dan psikologis mahasiswa bersangkutan.

(10)

agar para mahasiswa memahami tata cara penyusunan skripsi secara baik dan benar dari segi metodologis. Dalam Metodologi Penelitian Lanjutan, mahasiswa diharuskan menyusun suatu rencana penelitian yang secara kurikuler diantisipasi sebagai jembatan menuju Usulan Penelitian. Artinya, rancangan penelitian yang telah tertuang dalam karya ilmiah pada mata kuliah Metodologi Penelitian Lanjutan ini sangat terbuka kemungkinannya untuk dilanjutkan menjadi Usulan Penelitian pada semester berikutnya, dan kemudian menjadi sebagian dari materi skripsi. Hanya saja fenomena yang terjadi adalah, sebagian besar mahasiswa tidak berhasil melanjutkan topik penelitian yang telah tertuang dalam Metodologi Penelitian Lanjutan itu menjadi Usulan Penelitian, karena dosen pembimbing dari kedua mata kuliah tersebut seringkali berbeda. Perbedaan dosen pembimbing akan membedakan pula persepsi, pemahaman, latar belakang kajian yang dimiliki, pengalaman membimbing, dan perbedaan-perbedaan mendasar lainnya, sehingga Metodologi Penelitian Lanjutan yang sebelumnya telah disetujui oleh dosen pembimbingnya dinilai tidak layak untuk dilanjutkan menjadi Usulan Penelitian oleh dosen pembimbing Usulan Penelitian.

Keterangan berikut yang diperoleh peneliti adalah mahasiswa Fakutas Psikologi Universitas “X” kota Bandung ini menyarankan agar mata kuliah

(11)

yang harus menjalaninya. Pada kenyataannya, kedua orang dosen pembimbing tidak jarang memiliki persepsi berbeda tentang topik yang diteliti, sehingga mahasiswa menjadi sulit untuk menentukan harus memberikan revisi menurut masukan pembimbing I atau pembimbing II. Proses bimbingan dengan dua orang dosen pembimbing ini juga tidak dapat dijalani dengan mudah dan lancar. Keharusan untuk berulang-ulang melakukan bimbingan sehubungan dengan feed back, diskusi judul atau topik yang akan diteliti, perbaikan Latar Belakang

Masalah, dan penataan ulang Kerangka Pikir sesuai dengan masukan kedua orang dosen Pembimbing bukanlah tugas mudah yang harus dilewati mahasiswa bersangkutan. Dibutuhkan keuletan tersendiri, misalnya dari segi waktu, adalah sulit sekali untuk menyocokkan waktu yang disediakan oleh dosen pembimbing dan waktu yang dimiliki mahasiswa. Hal ini sangat bisa dimaklumi mengingat kesibukan dosen tidak hanya membimbing, melainkan ada tugas-tugas lain yang harus dilaksanakan secara berimbang.

(12)

mengerjakan Kerangka Pikir. Berdasarkan fenomena di atas, tidak sedikit mahasiswa yang setelah melakukan bimbingan berulang-ulang tapi masih belum juga memperoleh persetujuan dari dosen pembimbingnya lalu menjadi malas dalam mengerjakan Usulan Penelitiannya itu. Mahasiswa perlu ulet dan bekerja keras, karena hanya mahasiswa yang uletlah yang akan mampu bertahan saat harus berulang-ulang melakukan revisi berdasarkan hasil umpan balik dari dosen pembimbing.

Sebenarnya pihak Fakultas Psikologi Universitas “X” Bandung menyusun rangkaian kurikulum di atas dengan tujuan untuk mempermudah mahasiswa dalam mengerjakan skripsi, sehingga nantinya akan memperpendek masa studi mahasiswa, akan tetapi pada kenyataannya, tidak lebih dari 10% mahasiswa dari satu angkatan yang sama mampu menyelesaikan studinya tepat delapan semester. Selebihnya membutuhkan waktu lebih dari itu.

(13)

pada deadline pengumpulan Usulan Penelitian sehingga terpikir tidaklah mungkin untuk mengejarnya, sehingga akan memperpanjangnya pada semester berikutnya. Di pihak lain, mahasiswa yang berhasil menuntaskan penyusunan Usulan Penelitian dalam satu semester secara sama menegaskan perlunya kegigihan dalam mengerjakan Usulan Penelitian, terutama tidak mengeluh, rajin melakukan bimbingan, konsisten memprioritaskan proses penyusunan Usulan Penelitian dibandingkan aktivitas lainnya, dan tetap optimistis. Ini berarti optimisme merupakan kunci kekuatan yang perlu tetap dipertahankan pada diri mahasiswa yang sedang menyelesaikan Usulan Penelitian termasuk Usulan Penelitian Lanjutan.

(14)

back dan revisi yang harus dikerjakan berulang-ulang sebagai sesuatu yang

bersumber dari kelemahan sendiri, sehingga menyebabkan mahasiswa bersangkutan merasa dirinya tidak mampu bahkan tidak menggerakkannya untuk berbuat lebih baik, maka mahasiswa tersebut dapat dikatakan pesimistik.

Berdasarkan survei awal yang dilakukan kepada 10 orang mahasiswa yang tengah menyelesaikan Usulan Penelitian Lanjutan didapatkan penjelasan, bahwa kegagalan mengerjakan Usulan Penelitian dalam satu semester dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi rasa malas setelah mengalami penolakan berkali-kali, sebagaimana yang dirasakan oleh 70% mahasiswa yang diwawancarai. Sedangkan 30% sisanya menjawab masih disibukkan oleh beban mata kuliah lainnya, kurang memahami teori, dan sibuk mengerjakan hobi lainnya. Sedangkan hambatan eksternal yang paling dirasakan oleh 90% mahasiswa ini adalah sulitnya menyocokkan waktu dengan dosen pembimbing sehingga proses bimbingan seringkali terkendala oleh kegagalan dalam menyepakati waktu bimbingan.

(15)

yang disurvai menyatakan akan berusaha lebih giat lagi di semester depan agar tidak memperpanjang lagi penyelesaian Usulan Penelitian.

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat dilihat, bahwa pada dasarnya Usulan Penelitian Lanjutan yang harus ditempuh oleh para mahasiswa Fakultas

Psikologi Universitas “X” Bandung memberikan dampak optimisme yang

beragam. Oleh karena itu, peneliti ingin mengetahui secara empirik seperti apakah gambaran optimisme pada mahasiswa yang mengontrak Usulan Penelitian Lanjutan ini berdasarkan penelusuran dimensi-dimensi permanence, pervasiveness, dan personalization-nya.

1.2Identifikasi Masalah

Melalui penelitian ini ingin diketahui seperti apakah gambaran optimisme para mahasiswa yang sedang mengerjakan Usulan Penelitian Lanjutan di Fakultas Psikologi Universitas “X” di Bandung.

1.3Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian

(16)

1.3.2 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui explanatory style pada diri mahasiswa yang sedang mengerjakan Usulan Penelitian Lanjutan, khususnya dilihat dari dimensi-dimensi permanence, pervasiveness, dan personalization.

1.4Kegunaan Penelitian

1.4.1 Kegunaan Teoretis

Memanfaatkan teori explanatory style dalam mengkaji keadaan yang melatarbelakangi mahasiswa yang mengontrak Usulan Penelitian Lanjutan guna memahami secara komprehensif setiap dimensi dari optimisme itu sendiri.

1.4.2 Kegunaan Praktis

(17)

b. Memberikan gambaran bagi fakultas psikologi Universitas “X” di Bandung, khususnya bagi para dosen mengenai gambaran optimisme para mahasiswanya, sehingga dapat dilakukan tindak lanjut untuk meningkatkan performa para mahasiswa tersebut.

c. Memberi informasi khususnya bagi peneliti lain yang ingin melanjutkan penelitian ini atau sedang melakukan penelitian yang berhubungan dengan penelitian ini.

1.5Kerangka Pemikiran

Sudah merupakan kewajibannya, jika seorang mahasiswa yang akan menyelesaikan pendidikan Strata1 (S1), harus mengerjakan skripsi sebagai akhir dari rangkaian kurikulum yang harus diselesaikan. Pada Fakultas Psikologi, proses pengerjaan Skripsi tersebut dibagi menjadi dua bagian, yaitu bab satu sampai dengan bab tiga menjadi bagian dari Usulan Penelitian; sedangkan bab empat dan lima menjadi bagian dari skripsi.

(18)

Fenomena yang terjadi di fakultas Psikologi Universitas “X” ini adalah, sebagian besar mahasiswa tidak berhasil menyelesaikan Usulan Penelitian dalam kurun waktu satu semester sehingga mengharuskannya mengontrak Usulan Penelitian Lanjutan pada semester berikutnya. Agar dapat menyelesaikan Usulan Penelitiannya Lanjutan ini, maka dibutuhkan motivasi yang kuat. Selain motivasi yang kuat, mahasiswa penting juga mengembangkan beliefs bahwa dirinya akan dapat menyelesaikan Usulan Penelitian Lanjutan. Melalui beliefs itulah, mahasiswa dapat kembali bangkit jika mengalami umpan balik untuk merevisi secara berulang-ulang bagian demi bagian dari usulan penelitian lanjutan yang tengah disusunnya berdasarkan masukan dari dosen pembimbing.

Seligman (1990) menyatakan bahwa yang menentukan tinggi rendahnya optimisme pada diri seseorang adalah kebiasaannya dalam menjelaskan situasi yang terjadi pada dirinya, hal ini yang disebut sebagai explanatory style. Explanatory style ini lebih dari sekedar kata-kata atau keluhan yang diucapkan

individu ketika menghadapi pelbagai peristiwa baik atau buruk yang menimpanya.

(19)

Dimensi yang pertama, permanence, merupakan penjelasan mahasiswa tentang jangka waktu berlangsungnya masalah yang sedang dihadapi. Penjelasan yang bersifat permanen terhadap kegagalan dan keharusan secara terus-menerus guna memperbaiki Usulan Penelitian Lanjutan yang tengah diselesaikannya itu akan menimbulkan ketidakberdayaan berkepanjangan, sedangkan penjelasan yang bersifat sementara akan menimbulkan daya tahan.

Saat mengalami kegagalan dalam menyelesaikan bagian-bagian dalam Usulan Penelitian Lanjutannya, mahasiswa yang optimis menjelaskan kegagalan dalam menyelesaikan bagian-bagian dalam Usulan Penelitian Lanjutannya tersebut sebagai sesuatu yang bersifat sementara waktu (temporer) sehingga menggugahnya untuk meningkatkan kemampuan diri termasuk bersemangat untuk bangkit dari keterpurukan. Sebaliknya pada mahasiswa yang pesimis, kegagalan dalam menyelesaikan bagian-bagian dalam Usulan Penelitian Lanjutannya ini relatif akan terus menetap dan berubah menjadi keputusasaan sehingga mahasiswa ini akan terus-menerus merasakan ketidakberdayaan dalam jangka waktu yang relatif lama, dan memungkinkan mahasiswa ini akan menyerah atau menunda untuk melanjutkan Usulan Penelitian Lanjutan (Permanence Bad = PmB).

(20)

mengerjakan Usulan Penelitian Lanjutan. Oleh karena itu, mahasiswa ini cenderung mengerahkan usaha yang lebih besar setelah berhasil menyelesaikan bagian demi bagian dari Usulan Penelitian Lanjutan yang sedang disusunnya. Sedangkan mahasiswa yang pesimis berpendapat bahwa keberhasilan dalam menyelesaikan bagian-bagian dalam Usulan Penelitian Lanjutannya yang didapatkannya itu akan dimaknakan berlangsung sementara saja, sehingga walaupun nantinya mereka berhasil menyelesaikan bagian demi bagian dari Usulan Penelitian Lanjutan itu, tidak akan memacunya untuk mengerahkan usahanya kembali (Permanence Good = PmG).

Dimensi kedua, yaitu pervasiveness, merupakan penjelasan mahasiswa tentang ruang lingkup masalah yang sedang dihadapi. Saat mengalami kegagalan dalam menyelesaikan bagian-bagian dalam Usulan Penelitian Lanjutannya, mahasiswa yang optimis akan memiliki penjelasan yang bersifat spesifik tentang keadaannya, yaitu bahwa kesulitan yang ada harus diatasi sehingga kegagalan tersebut tidak memengaruhi aspek-aspek kehidupan yang lain. Sebaliknya, mahasiswa yang pesimis merasa bahwa kegagalan dalam menyelesaikan bagian-bagian dalam Usulan Penelitian Lanjutannya tersebut bersifat universal, sehingga merekapun akan memandang dirinya tidak berdaya mengatasi kesulitan dalam aspek-aspek kehidupannya yang lain (Pervasiveness Bad = PvB).

(21)

berdampak pada peluang keberhasilan dalam aspek kehidupan yang lain. Sedangkan pada mahasiswa pesimis, jika mereka merasakan keberhasilan dalam salah satu bagian yang diperbaiki dari Usulan Penelitian Lanjutan yang sedang dikerjakannya, maka mereka akan memaknakannya dengan menggunakan penjelasan spesifik, bahwa keberhasilan itu hanya terjadi pada bagian tertentu saja dari usulan penelitian lanjutan yang sedang diselesaikannya dan tidak mempengaruhi aspek kehidupan mereka yang lain. (Pervasiveness Good = PvG).

Dimensi ketiga adalah personalization, yang terdiri atas internalization dan externalization, merupakan penjelasan mahasiswa mengenai siapa penyebab dari masalah yang sedang mereka hadapi. Ketika mahasiswa menghadapi keharusan untuk memperbaiki berkali-kali bagian-bagian dari Usulan Penelitian Lanjutan sebagaimana yang diumpanbalikkan oleh dosen pembimbing, maka terbuka kemungkinan untuk menyalahkan diri sendiri sebagai sumber kelemahan (internalisasi) atau menyalahkan orang lain (eksternalisasi) sebagai sumber kesulitan.

Ketika mengalami kegagalan dalam mengerjakan bagian-bagian Usulan Penelitian Lanjutannya, mahasiswa yang optimis akan menyalahkan pihak eksternal, misalnya dosen pembimbing sulit ditemui atau teman-teman dan keluarga yang kurang mendukung mereka (Personalization Bad - External = PsB - External). Sedangkan mahasiswa yang pesimis akan menyalahkan dirinya

(22)

Ketika mengalami keberhasilan dalam meyelesaikan bagian-bagian dari Usulan Penelitian Lanjutan yang sedang dikerjakannya, maka mahasiswa yang optimis akan memandang keberhasilan itu sebagai hasil kerja keras dan kegigihannya karena pada dasarnya dirinya memiliki kapasitas kemampuan memadai untuk menyelesaikan Usulan Penelitian Lanjutan tersebut (Personalization Good - Internal = PsG - Internal). Sedangkan pada mahasiswa

yang pesimis, keberhasilan menyelesaikan salah satu bagian dari Usulan Penelitian Lanjutannya dianggap dikarenakan faktor eksternal, misalnya karena dosen pembimbing mudah ditemui dan secara konsisten berkomitmen tinggi untuk menyediakan waktu bimbingan secara teratur, selain karena memperoleh dukungan dan keluarga dan teman-teman (Personalization Good - External = PsG - External).

Ketiga dimensi dalam explanatory style pada individu, termasuk mahasiswa yang sedang menempuh Usulan Penelitian Lanjutan, sudah terbentuk sejak masa anak-anak, dan cenderung menetap seumur hidupnya (Seligman, 1995 : 52). Ketiga dimensi dalam explanatory style tersebut dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu explanatory style significant person, kritik orang dewasa, dan krisis yang dialami saat masa anak-anak (Seligman, 1990).

Faktor yang pertama dan paling utama adalah explanatory style dari significant person mahasiswa tersebut saat mereka masih anak-anak. Dalam

(23)

degree individu tersebut. Seorang individu (anak) akan belajar dari perkataan dan

perbuatan significant person. Karena perkataan dan perbuatan significant person didengar dan dilihat berulang-ulang, maka hal tersebut akan mempengaruhi explanatory style anak saat dewasa.

Apabila anak sering mendengar significant personnya mengomentari hal baik yang terjadi pada diri significant person tersebut sebagai sesuatu yang akan berlangsung selamanya (dimensi permanence), mempengaruhi aspek kehidupan yang lain (dimensi pervasiveness), dan menganggapnya sebagai kemampuan dari dirinya sendiri (dimensi personalization); maka mahasiswa tersebut akan membentuk pola demikian sebagai pola explanatory stylenya. Sebagai contoh, jika saat masih anak-anak dan ibunya memaknai hal baik yg menimpanya sebagai sesuatu yang akan berlangsung selamanya, mempengaruhi aspek kehidupan yang lain, dan menganggapnya sebagai kemampuan dari dirinya sendiri; maka mahasiswa tersebut akan menciptakan pola yang serupa sebagai pola explanatory stylenya yang memungkinkan dirinya terbentuk sebagai mahasiswa yang opsimis.

(24)

sesekali terjadi, spesifik pada kejadian yang berlangsung, dan merupakan bantuan dari pihak luar; maka mahasiswa tersebut akan menciptakan pola yang serupa sebagai pola explanatory stylenya yang memungkinkan dirinya terbentuk sebagai mahasiswa yang pesimis.

Apabila anak sering mendengar bahwa significant personnya mengomentari hal buruk yang terjadi pada diri significant person tersebut sebagai sesuatu yang sesekali terjadi (dimensi permanence), spesifik pada kejadian yang berlangsung (dimensi pervasiveness), dan bukan selalu merupakan akibat dari kesalahannya (dimensi personalization); maka mahasiswa tersebut akan menciptakan pola yang serupa sebagai pola explanatory stylenya. Sebagai contoh, jika saat masih anak-anak dan ibunya mengalami hal buruk yg menimpanya sebagai sesuatu yang hanya sesekali terjadi, spesifik pada kejadian yang berlangsung, dan bukan selalu merupakan akibat dari kesalahannya; maka mahasiswa tersebut akan menciptakan pola yang serupa sebagai pola explanatory stylenya yang memungkinkan dirinya terbentuk sebagai mahasiswa yang optimis.

(25)

menimpanya sebagai sesuatu yang akan berlangsung selamanya, ikut merusak aspek kehidupan yang lain, dan menganggapnya sebagai kesalahan dari dirinya sendiri; maka mahasiswa tersebut akan menciptakan pola yang serupa sebagai pola explanatory stylenya yang memungkinkan dirinya terbentuk sebagai mahasiswa yang pesimis.

Faktor kedua adalah kritik yang diterima anak dari orang dewasa yang ada di sekitar anak tersebut. Anak cenderung mempercayai kritik yang mereka dengar dari orang dewasa dan bagaimana cara orang dewasa memberikan kritikan itu pada dirinya. Hal ini membentuk explanatory style bagi anak tersebut.

Apabila orang dewasa di sekitar mereka mengatakan bahwa keberhasilan mereka itu bersifat menetap (dimensi permanence), mempengaruhi aspek kehidupan yang lain (dimensi pervasiveness), dan merupakan kemampuan dari dirinya sendiri (dimensi personalization); maka mereka akan mempercayai hal tersebut sampai mereka dewasa dan akan menciptakan pola yang serupa sebagai pola explanatory stylenya yang memungkinkan dirinya terbentuk sebagai mahasiswa yang optimis. Sebaliknya ika orang dewasa di sekitar mereka mengatakan bahwa keberhasilan mereka itu bersifat sementara (dimensi permanence), tidak mempengaruhi aspek kehidupan yang lain (dimensi

pervasiveness), dan merupakan bantuan dari pihak luar (dimensi personalization);

(26)

Apabila orang dewasa di sekitar mereka mengatakan bahwa kegagalan mereka itu bersifat sementara (dimensi permanence), tidak mempengaruhi aspek kehidupan yang lain (dimensi pervasiveness), dan dikarenakan kelalaian pihak luar (dimensi personalization); maka mereka akan mempercayai hal tersebut sampai mereka dewasa dan akan menciptakan pola yang serupa sebagai pola explanatory stylenya yang memungkinkan dirinya terbentuk sebagai mahasiswa

yang optimis. Sebaliknya jika orang dewasa di sekitar mereka mengatakan bahwa kegagalan mereka itu bersifat menetap (dimensi permanence), akan mempengaruhi aspek kehidupan yang lain (dimensi pervasiveness), dan merupakan kelalaian dirinya sendiri (dimensi personalization); maka mereka akan mempercayai hal tersebut sampai mereka dewasa dan akan menciptakan pola yang serupa sebagai pola explanatory stylenya yang memungkinkan dirinya terbentuk sebagai mahasiswa yang pesimis.

Faktor yang terakhir adalah krisis yang dialami anak pada masa kanak-kanak. Krisis-krisis yang dialami seorang anak dan mempunyai dampak pada kehidupan mereka misalnya peristiwa kehilangan orangtua disaat mereka masih kecil dan masih bergantung pada orangtua mereka. Kehilangan seperti ini sifatnya menetap, karena orangtua yang sudah meninggal tidak mungkin hidup lagi dan mengubah seluruh aspek kehidupan anak kembali.

(27)

mempengaruhi area kehidupan yang lain (dimensi pervasiveness). Sedangkan anak yang mengalami krisis pada masa kanak-kanaknya dan tidak berhasil mengatasinya, sehingga masih merasakan dampaknya walaupun krisis itu sudah berlalu akan membentuk pola bahwa kejadian buruk yang menimpanya bersifat permanen (dimensi permanence), dan tidak dapat diubah sehingga akan mempengaruhi aspek kehidupan yang lain (dimensi pervasiveness).

Dipengaruhi ketiga faktor itulah, explanatory style seorang anak terbentuk. Explanatory style tidak akan mempengaruhi bagaimana mahasiswa tersebut saat melakukan bimbingan dengan dosen pembimbingnya, akan tetapi explanatory style menentukan perilaku mahasiswa tersebut, apakah mereka

(28)

Faktor-faktor yang mempengaruhi derajat optimisme :

1. Explanatory style significant person,

2. Kritik orang dewasa,

3. Krisis yang dialami saat anak-anak. Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas “X” Bandung yang gagal mengerjakan UP dalam satu semester

Dimensi-dimensi explanatory style :

1. Permanence :

belief mahasiswa dalam menjelaskan menetap atau tidaknya keberhasilan dan kegagalan yang terjadi saat mengerjakan Usulan Penelitian Lanjutan. 2. Pervasiveness :

belief mahasiswa dalam menjelaskan ruang lingkup keberhasilan dan kegagalan yang terjadi saat mengerjakan Usulan Penelitian Lanjutan. 3. Personalization :

(29)

1.6Asumsi

1. Mahasiswa yang sedang mengerjakan usulan penelitian lanjutan memerlukan optimisme untuk menuntaskan tugasnya.

2. Optimisme diperlukan agar mahasiswa tetap dapat mempertahankan konsistensi dan semangatnya untuk menyelesaikan usulan penelitian lanjutan.

3. Perbedaan antara mahasiswa yang optimis dengan mahasiswa yang pesimis dalam menyelesaikan usulan penelitian lanjutan, akan tercermin melalui pandangan dan penilaiannya atas keberhasilan atau kegagalan dalam menjalani proses bimbingan.

4. Mahasiswa yang optimis akan menilai keberhasilan dalam menyelesaikan bagian-bagian dari usulan penelitian lanjutannya sebagai sesuatu yang sifatnya menetap, dapat mempengaruhi aspek kehidupan yang lain, dan merupakan hasil kerja kerasnya.

5. Mahasiswa yang optimis akan menilai kegagalan dalam menyelesaikan bagian-bagian dari usulan penelitian lanjutannya sebagai sesuatu yang sifatnya sementara, tidak mempengaruhi aspek kehidupan yang lain, dan memang merupakan kesalahannya.

(30)
(31)

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan pengolahan data yang telah dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa :

1. 45% mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas “X” yang sedang mengerjakan Usulan Penelitian Lanjutan optimis.

2. 55% mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas “X” yang sedang mengerjakan Usulan Penelitian Lanjutan pesimis.

3. Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas “X” yang akhirnya mampu menyelesaikan Usulan Penelitian Lanjutan dalam semester ini adalah mahasiswa yang optimis secara keseluruhan, baik dalam bad situation maupun good situation.

(32)

5.2 Saran

5.2.1 Saran Untuk Penelitian Lanjutan

Bagi penelitian selanjutnya disarankan untuk meneliti kontribusi dimensi-dimensi optimisme sebagai faktor keberhasilan dalam menyelesaikan Usulan Penelitian Lanjutan, jika hal itu memang berkaitan.

5.2.2 Saran Guna Laksana

1. Bagi pihak Fakultas Psikologi Universitas “X” disarankan untuk mempertimbangkan beberapa keluhan yang dialami oleh mahasiswa dan memikirkan kiat-kiat yang dapat membantu untuk meningkatkan optimisme pada diri mahasiswa. Misalnya pihak Fakultas Psikologi

Universitas “X” dapat memberikan seminar tentang model ABC dari

Albert Ellis.

(33)

Nazir, Moh. 2003. Metode Penelitian. Jakarta : Ghalia Indonesia.

Santrock, W.John. 2004. Life-Span Development, 9th Edition. New York : McGraw-Hill.

(34)

DAFTAR RUJUKAN

Wina Linggardi. 2008. Suatu Penelitian Mengenai Hubungan antara Optimisme dan Prestasi Kerja pada Agen Asuransi Jiwa yang Berusia antara 22-40 tahun di PT “X” Bandung . Skripsi. Bandung : Program Sarjana Fakultas Psikologi. Universitas Kristen Maranatha.

http://id.wikipedia.org/wiki/Skripsi (06 Mei 2009)

http://www.maxmore.com/optimism.htm

http://www.shearonforschools.com/learned_optimism.htm

Referensi

Dokumen terkait

literatur menyebutkan bahwa terapi konservatif pada kasus empiema subdural dapat dilakukan jika memenuhi kriteria berikut yaitu : status pasien yang tidak menurun,

Ampa (2011) dalam Harmana dan Suardana (2014:472) membuktikan bahwa penerapan perencanaan pajak yang baik, dapat dilihat pada rasio laba pajak terhadap laba

 Mesin pengering cengkeh ini akan mati dengan sendirinya apabila nilai kelembaban yang dibaca sensor telah sesuai seperti

Dengan demikian, untuk mengantisipasi dampak signifikan yang ditimbulkan dari ancaman tersebut maka organisasi perlu menerapkan suatu rencana pemulihan yang

[r]

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan spiritual well being ODHA dewasa muda yang memutuskan menjadi pendamping sesama ODHA setelah mengetahui dirinya positif

Keterpenuhan unsur hara yang berasal dari pemberian pupuk kandang dan pupuk kimia dan atau perpaduan keduanya baik dalam bentuk pupuk padat maupun cair pada tanaman

a. Tidak adanya penyuluhan dan pelatihan dari pemerintah setempat dalam melakukan aktifitas pertambangan. Keterbatasan biaya diantara para penambang untuk membeli