commit to user
i
“Evaluasi Implementasi Kerjasama Antar Daerah
SUBOSUKAWONOSRATEN Bidang Pariwisata”
Disusun oleh:
Catur Wulandari
D0106041
SKRIPSI
Disusun Dan Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna
Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial
Jurusan Ilmu Administrasi
Program Studi Administrasi Negara
JURUSAN ILMU ADMINISTRASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
commit to user
commit to user
commit to user
iv MOTO
“ Sungguh, kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”
( Q.S. At-Tin:4)
“ Bukankah Dia (Allah) yang memperkenankan (doa) orang-orang yang dalam
kesulitan apabila dia berdoa kepadaNya, dan menghilangkan kesusahan dan
menjadikan kamu (manusia) sebagai khilafah (pemimpin) di bumi?apakah
disamping Allah ada tuhan (yang lain)?sedikit sekali (nikmat Allah) yang kamu
ingat”
(Q.S. An-Naml:62)
Man jada wa jadda
There is will there is way
commit to user
v
LEMBAR PERSEMBAHAN
Karya ini penulis persembahkan kepada:
· Kedua orang tua yang senantiasa mendoakan untuk kemudahan setiap
langkah penulis
· Kakak-kakak tersayang yang selalu memberi dukungan moral dan material
· Semua saudara seiman yang turut mendoakan
commit to user
vi
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Alhamdulillahirobbil’alamin, segala puji syukur senantiasa kita panjatkan
kehadirat Allah SWT yang telah memberikan berkah dan nikmat yang tidak bisa
kita hitung satu persatu. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada
uswah dan qudwah kita Nabi Muhammad SAW, manusia terbaik sepanjang masa.
Berkat rahmat dan nikmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul Evaluasi Implementasi Kerjasama Antar Daerah
SUBOSUKAWONOSRATEN Bidang Pariwisata yang merupakan kewajiban
penulis sebagai mahasiswa demi mencapai gelar sarjana jurusan Ilmu
Administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
Penulis menyadari banyak kelemahan dan keterbatasan dalam penulisan
skripsi ini. Untuk itu penulis mengharapkan kritik konstruktif untuk perbaikan
dari karya ini. Terima kasih penulis sampaikan kepada orang – orang yang telah
membantu sampai terselesaikannya skripsi ini. Dalam kesempatan ini penulis
ingin mengucapakan terima kasih yang sebesar - besarnya kepada :
1. Drs. H. Supriyadi, S.N, S.U, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
commit to user
vii
3. Drs. Wahyu Nurharjadmo, M.Si,dosen Pembimbing Skripsi yang telah
memberikan bimbingan dan waktunya hingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini.
4. Bapak/ Ibu dosen jurusan Ilmu Administrasi Negara yang telah
memberikan ilmunya selama penulis menempuh pendidikan di FISIP.
5. Bapak Budi Sartono (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Surakarta), Bapak
Mufti (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Surakarta), Bapak Ing Ramto (
BKAD SUBOSUKAWONOSRATEN), Bapak Joko Suyanto (STP Sahid
Surakarta), Bapak Bambang Gunadi (PHRI Surakarta), Bapak Suharto
(ASITA Surakarta) serta bapak Hidayat (GTZ-RED).
6. Serta semua pihak yang telah membantu penyelesaian karya ini yang tidak
dapat disebutkan satu-persatu.
Hasil dan proses penulisan skripsi ini memberikan ilmu yang berharga
bagi penulis. Akhir kata, semoga skripsi Evaluasi Implementasi Kerjasama
Antar Daerah SUBOSUKAWONOSRATEN Bidang Pariwisata ini dapat
bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.
Surakarta, April 2011
Penulis,
commit to user
viii DAFTAR ISI
Halaman Judul ... i
Halaman Persetujuan ... ii
Lembar Pengesahan ... iii
Moto ... iv
Lembar Persembahan ... v
Kata Pengantar ... vi
Daftar Isi ... viii
Daftar Tabel ... xii
Daftar Gambar ... xiii
Abstrak ... xiv
Abstract ... xv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 9
C. Tujuan Penelitian ... 9
D. Manfaat Penelitian ... 10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori ... 11
1. Evaluasi Implementasi Kebijakan ... 11
a. Implementasi Kebijakan... 11
b. Evaluasi Implementasi Kebijakan ... 19
commit to user
ix
2. Kerjasama Antar Daerah dalam Era Otonomi Daerah ... 31
a. Konsep Dasar dan Perlunya Kerjasama Antar Daerah dalam Otonomi Daerah... 31
b. Bentuk Kerjasama dalam Otonomi Daerah dan Objeknya ... 36
3. Kerjasama Antar Daerah dalam bidang Pariwisata ... 40
a. Pariwisata ... 41
b. Peran dan Permasalahan Pariwisata ... 43
c. Pengembangan Pariwisata... 46
4. Aspek yang di kaji dalam Evaluasi Implementasi Kerjasama Antar Daerah SUBOSUKAWONOSRATEN Bidang Pariwisata ... 50
a. Implementasi Kerjasama Antar Daerah SUBOSUKAWONOSRATEN Bidang Pariwisata ... 50
b. Faktor-faktor yang mempengaruhi Implementasi Kerjasama Antar Daerah SUBOSUKAWONOSRATEN Bidang Pariwisata ... 51
B. Kerangka Berfikir ... 53
BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 54
B. Desain Penelitian Evaluasi ... 55
C. Lokasi Penelitian ... 55
D. Sumber Data ... 56
E. Teknik Pengambilan Sampel (Informan) ... 57
F. Teknik Pengumpulan Data ... 57
commit to user
x
H. Teknik Analisis Data ... 60
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kerjasama Antar Daerah SUBOSUKAWONOSRATEN ... 62
1. Latar Belakang, Tujuan dan Dasar Kerjasama Antar Daerah SUBOSUKAWONOSRATEN ... 62
2. Profil Daerah SUBOSUKAWONOSRATEN ... 65
B. Implementasi Kerjasama Antar Daerah SUBOSUKAWONOSRATEN Bidang Pariwisata ... 67
1. Implementasi Kerjasama Antar Daerah SUBOSUKAWONOSRATEN Bidang Pariwisata ... 67
a. Tahap Interpretasi ... 67
b. Tahap Pengorganisasian ... 77
c. Tahap Aplikasi ... 106
2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kerjasama Antar SUBOSUKAWONOSRATEN Bidang Pariwisata ... 116
a. Kecenderungan-kecenderungan (Political will) ... 117
b. Komunikasi ... 121
c. Standar ... 122
d. Sumber-sumber Kebijakan... 123
e. Struktur Birokrasi ... 128
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 138
commit to user
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1. Tempat Wisata di Wilayah SUBOSUKAWONOSRATEN ... 7
Tabel 2.1. Tipe Evaluasi... 23
Tabel 4.1. Pembiayaan Kegiatan
Forum Pariwisata Solo Raya Tahun 2007 ... 93
Tabel 4.2. Pembiayaan Kegiatan
Forum Pariwisata Solo Raya Tahun 2008... 94
Tabel 4.3. Pembiayaan Kegiatan
Forum Pariwisata Solo Raya Tahun 2009 ... 95
Tabel 4.4. Pembiayaan
Kegiatan Forum Pariwisata Solo Raya Tahun 2010-2011 ... 96
Tabel 4.5. Tabel Tahap Implementasi Kerjasama Antar Daerah
commit to user
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1. Peningkatan Pertumbuhan Ekonomi dan Peningkatan Kesenjangan
Pembangunan Antar Wilayah ... 3
Gambar 2.1. Model Implemantasi Kebijakan Van Meter dan Van Horn ... 28
Gambar 2.2. Model Implementasi Kebijakan Menurut Edwards III... 31
Gambar 2.3. Kerangka Berfikir ... 61
Gambar 3.1. Model Analisis Interaktif ... 61
Gambar 4.1. Aktor yang Terlibat dalam Kebijakan Publik ... 78
Gambar 4.2. Triple Helix Kerjasama Antar Daerah SUBOSUKAWONOSRATEN Bidang Pariwisata ... 79
commit to user
xiii ABSTRAK
Catur Wulandari, D0106041, Evaluasi Implementasi Kerjasama Antar Daerah SUBOSUKAWONOSRATEN Bidang Pariwisata, Jurusan Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2011, 144 halaman.
Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui implementasi kerjasama antar daerah SUBOSUKAWONOSRATEN bidang pariwisata dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif evaluatif. Evaluasi dilakukan pada tahap implementasi dengan membandingkan pelaksanaan kegiatan dengan perencanaan kerjasama antar daerah SUBOSUKAWONOSRATEN bidang pariwisata. Teknik pengambilan sampel dengan purposive sampling, validitas data menggunakan triangulasi data, sedangkan analisis menggunakan analisis interaktif.
Implementasi kerjasama antar daerah SUBOSUKAWONOSRATEN bidang pariwisata ini melalui beberapa tahap yaitu i) Tahap Interpretasi, ii) Tahap Pengorganisasian, iii) Tahap Aplikasi. Pada tahap interpretasi, belum ada kesamaan interpretasi dalam pelaksanaan kebijakan di masing-masing daerah. Pada tahap pengorganisasian, kurang sinergis antara berbagai pihak yang terlibat, belum adanya SOP, terbatasnya sumber daya finansial, belum adanya struktur dalam forum pariwisata Solo Raya serta pelaksanaan kegiatan oleh pelaksana yang juga memiliki tugas lain. Sedangkan pada tahap aplikasi pelaksanaan kerjasama antar daerah SUBOSUKAWONOSRATEN bidang pariwisata ini belum sesuai dengan perencanaan.
Ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap pelaksanaan kerjasama antar daerah SUBOSUKAWONOSRATEN dalam bidang pariwisata tersebut. Pertama, faktor political will baik di lembaga eksekutif maupun lembaga legislatif. Kedua, Komunikasi yang intensif secara formal maupun informal memudahkan pelaksanaan kerjasama antar daerah. Ketiga, dari sisi SDM adalah kurangnya profesionalitas, kemauan, kepahaman dan komitmen, yang menyebabkan kurangnya sinergisitas antara pihak-pihak yang terlibat, sedangkan sumber daya finansial adalah tidak adanya peraturan mengenai keuangan dalam kerjasama antar daerah. Keempat, belum adanya standar pelaksanaan kegiatan (Juklak dan Juknis) dan standart keberhasilan pelaksanaan kegiatan. Kelima,penggabungan beberapa bidang dalam satu nomenklatur SKPD dan pergantian pejabat di SKPD menyebabkan kurangnya prioritas dan kontinuitas pelaksanaa kegiatan pengembangan pariwisata di Solo Raya.
Saranyang diberikan adalah peningkatan peran pemerintah daerah melalui pembuatan kebijakan mengenai mekanisme pengangaran dan standar yang jelas sebagai pedoman pelaksanaan kegiatan oleh forum pariwisata Solo Raya serta peningkatan profesionalisme pelaksana kebijakan. Pelaku wisata meningkatan peran dan inovasi pengembangan pariwisata di Solo Raya. Selain itu diperlukan peran aktif masyarakat serta kajian dunia akademisi dalam pelaksanaan kerjasama antar daerah bidang pariwisata tersebut.
commit to user
xiv ABSTRACT
Catur Wulandari, D0106041, Evaluation of Implementation Intergovernmental Cooperation in Tourism SUBOSUKAWONOSRATEN, Public Administration Depaertment, Social and Political Faculty of Sebelas Maret University, 2011, 144 pages.
This study aimed to describe the implementation of intergovernmental cooperation in tourism SUBOSUKAWONOSRATEN and factors. This study used a qualitative approach. Kind research used is descriptive evaluative. The evaluation was done at the implementation stage by comparing the implementation of activities with the planning of intergovernmental cooperation in tourism SUBOSUKAWONOSRATEN. The sampling technique used purposive sampling, validity of data using triangulation of data, while analysis using an interactive analysis.
Implementation of intergovernmental cooperation in tourism SUBOSUKAWONOSRATEN through some stage: i) Interpretation stage, ii) Organizing stage, iii) Application stage. There is haven’t same interpretation in each government on the first stage. Some problem found in the organizing stage are low of stakeholders collaboration, haven’t had standard operating procedure, low of financial sources, haven’t had structure of Solo Raya Tourism forum and the activity was done by implementor who have another job. Whereas, in the application stage found that implementation of intergovernmental cooperation in tourism SUBOSUKAWONOSRATEN haven’t appropriated with the planning.
There are many factors that affect to intergovernmental cooperation in tourism SUBOSUKAWONOSRATEN implementation. First, political will factor in eksekutive and legislative. Second, formal and informal intensive communication facilitate implementation activity. Third, low of professionalism, desire, ability and commitment man which result low of stakeholders collaboration. While, there is no regulation about financial sources in intergovernmental cooperation. Fourth, haven’t had standard implementation program and success indicator of implementing program. Fifth, merging some sector in the same nomenclatur SKPD and biroktat turnover cause low of priority dan continuity of tourism development implementation.
Advice given relating to the implementation of intergovernmental cooperation in the field of tourism SUBOSUKAWONOSRATEN this is the increasing role of local government, tourism actors, society and academics in the implementation of cooperation among the region. Increasing role of local government through production regulation about financial sources and standard implementing program, along with increase professionalism in implementing policy. Tourism stakeholders increase their role and innovation of tourism development in SUBOSUKAWONOSRATEN. In addition, active role society and academic studies is needed to implementing intergovernmental cooperation in tourism SUBOSUKAWONOSRATEN.
commit to user BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia mengalami
perubahan dan perkembangan yang sangat dinamis. Penyelenggaraan
pemerintah daerah ini sangat dipengaruhi oleh kebijakan desentralisasi.
Penyelenggaraan desentralisasi harus dijiwai dengan semangat
mengukuhkan bentuk kesatuan negara Republik Indonesia.
Perubahan sosial politik sejak reformasi politik tahun 1998
membawa pembaharuan dalam pelaksanaan desentralisasi. Desentralisasi
di Indonesia baru berjalan dengan efektif sejak di berlakukannya UU No.
22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999
tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, yang telah diubah
menjadi UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004. Kebijakan
ini merubah penyelenggaraan pemerintahan dari yang sebelumnya
sentralistik menjadi terdesentralisasi meliputi antara lain penyerahan
kewenangan pemerintah pusat ke pemerintah. Undang-Undang ini
memberikan pengakuan adanya otonomi luas kecuali lima urusan
pemerintah pusat, yaitu politik luar negeri, pertahanan dan keamanan,
justisi, moneter dan fiskal nasional serta agama.
Pelaksanaan desentralisasi tersebut masih banyak memunculkan
permasalahan, Keban (2007:1) menyatakan bahwa :
commit to user
dipersepsikan dan disikapi secara variatif oleh beberapa Pemerintah Daerah di Indonesia. Misalnya mereka mempersepsikan otonomi sebagai momentum untuk memenuhi keinginan-keinginan daerahnya sendiri tanpa memperhatikan konteks yang lebih luas yaitu kepentingan negara secara keseluruhan dan kepentingan daerah lain yang berdekatan. Akibatnya, muncul beberapa gejala negatif yang meresahkan antara lain berkembangnya sentimen primordial, konflik antar daerah, berkembangnya proses KKN, konflik antar penduduk, eksploitasi sumberdaya alam secara berlebihan, dan munculnya sikap ‘ego daerah’ yang berlebihan. Kabupaten atau kota cenderung memproteksi seluruh potensinya secara ketat demi kepentingannya sendiri, dan menutup diri terhadap kabupaten atau kota lain. Dampak negatif kegiatan ekonomi di suatu daerah pada daerah lain, seperti externalities, juga tidak dihiraukan lagi. Bahkan sentimen daerah mulai timbul dengan adanya kecenderungan umum mengangkat “putera daerah” menjadi pegawai negeri sipil daerah”
Pada dasarnya kebijakan desentralisasi memiliki konsep yang baik
dalam upaya pengembangan daerah dalam kerangka Negara Kesatuan,
namun permasalahan yang selama ini muncul merupakan permasalahan
dalam pelaksanaannya.
Berkaitan dengan permasalahan dalam kebijakan desentralisasi,
pemerintahan daerah harus memiliki inovasi dalam memecahkan dan
menghadapi tantangan-tantangan yang muncul. Saat ini konsep
desentralisasi dan otonomi daerah hanya dipahami sebagai cara untuk
menata pembangunan daerah di wilayahnya masing-masing dengan di
berikannya kebebasan, namun paradigma ini akan mengarah pada
disintegrasi bangsa. Padahal kemajuan suatu daerah dipengaruhi oleh
daerah lain. Tarigan (2009:1) menyebutkan bahwa untuk mengoptimalkan
commit to user
inovasi/konsep yang didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan
efektivitas, sinergis dan saling menguntungkan terutama dalam
bidang-bidang yang menyangkut kepentingan lintas wilayah. Kebijakan
desentralisasi dan otonomi daerah, melalui berbagai payung regulasi
(peraturan pemerintah) mendorong kerjasama antar daerah. Kerjasama
diharapkan menjadi satu jembatan yang dapat mengubah potensi konflik
kepentingan antar daerah menjadi sebuah potensi pembangunan yang
saling menguntungkan. Sehingga dengan adanya Kerjasama dalam
kebijakan desentralisasi ini mampu meningkatkan pembangunan antar
daerah ataupun wilayah.
Namun, sejak pelaksanaannya otonomi daerah kesenjangan
pembangunan antar wilayah cenderung mengalami peningkatan.
Gambar 1.1. Peningkatan Pertumbuhan Ekonomi dan
commit to user
Sumber: Himawan Hariyoga. Kebijakan Revitalisasi Pengembangan Ekonomi Lokal. 2007.
Kerjasama antar daerah ini dibangun dalam rangka peningkatan
potensi dan kesejahteraan daerah dimana setiap daerah saling mendukung
dan memberikan kemanfaatan untuk kemajuan daerah. Kesadaran akan
urgensi kerjasama antar daerah dalam menunjang pelaksanaan
desentralisasi membuat beberapa daerah yang berdekatan di Jawa Tengah
membentuk kesepakatan kerjasama antar daerah. Beberapa daerah yang
berdekatan di Provinisi Jawa Tengah yaitu Kabupaten Klaten, Sragen,
Wonogiri, Boyolali, Karanganyar, dan Kota Surakarta, membentuk
kerjasama ditingkat regional dengan terbentuknya forum kerjasama antar
daerah melalui Keputusan Bersama Bupati/Walikota pada tanggal 30
Oktober 2001. Kerjasama antar enam kabupaten dan satu kota tersebut
diwadahai dalam Badan Kerjasama Antar Daerah (BKAD)
SUBOSUKAWONOSRATEN. Tujuan kerjasama tersebut adalah untuk
memelihara persatuan dan kesatuan serta mengembangkan berbagai
potensi daerah dalam rangka meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan
masyarakat.
Kerjasama ini diharapkan mampu mewujudkan pengembangan
masing-masing daerah sesuai dengan potensinya dengan adanya dukungan
dari daerah-daerah lain. Namun munculnya arus globalisasi membuat
kerjasama antar daerah harus mampu bersaing dalam era globalisasi.
Pemerintahan daerah mempunyai peran yang besar dalam
commit to user
menyatakan bahwa desentralisasi bukanlah penghambat dalam
menghadapi globalisasi, justru menciptakan peluang untuk memperkuat
basis lokal dalam menghadapi tantangan globalisasi.
Penguatan basis lokal ini diharapkan mampu menjadi sarana
pembangunan daerah. Dalam upaya pembangunan daerah, pemerintah
Indonesia telah memperoleh bantuan teknis dari Pemerintahan Jerman
melalui Program Pengembangan Ekonomi Wilayah (Regional Economic
Development/RED). Sebagai Pilot Projetc dalam pelaksanaan dan
pengembangan RED adalah Wilayah SUBOSUKAWONOSRATEN.
Secara umum RED ini bertujuan untuk meningkatkan daya saing
ekonomi wilayah melalui penguatan manajemen wilayah, peningkatan
pemasaran wilayah, penciptaan iklim bisnis yang kondusif bagi investasi
dan dunia usaha, serta dukungan terhadap Usaha Mikro Kecil dan
Menengah (UMKM). Pemasaran wilayah merupakan salah satu bidang
yang menjadi fokus kerjasama antar daerah dalam pengembangan
ekonomi wilayah di SUBOSUKAWONOSRATEN. Salah satu sektor
yang menjadi fokus pemasaran wilayah ini adalah Pariwisata.
Wilayah SUBOSUKAWONOSRATEN ini lebih dikenal dengan
sebutan Solo Raya sebagai upaya pemasaran wilayah. Solo Raya
merupakan kawasan yang kental dengan tradisi jawa yang harmoni.
Kerjasama pariwisata di Solo Raya ini dijiwai semangat kebersamaan
dalam proses pengembangan ekonomi Otonomi yang dilandaskan pada
commit to user
budaya, sejarah dan nilai-nilai luhur pendahuluya. Hal ini membuat
wilayah tersebut memiliki potensi keanekaragaman sumber daya alam,
budaya, religi, tradisi, etnis, kuliner dan lainnya. Besarnya potensi wisata
yang ada di Solo Raya membuat sektor ini layaknya di kelola dengan baik
agar mampu memberikan kontribusi yang besar terhadap perekonomian
regional. Suwantoro (1997:35-36) aspek ekonomi pariwisata berhubungan
dengan usaha perhotelan, restoran, penyelenggara paket wisata, industri
lain seperti transportasi, telekomunikasi dan bisnis eceran. Lebih dari itu
sektor ini diharapkan menjadi penghasil devisa utama. Disamping
penggerak ekonomi pariwisata juga merupakan sarana untuk mengurangi
pengangguran. Dengan demikian, sektor pariwisata ini mampu
memberikan kontribusi terhadap pembangunan daerah atau wilayah.
Pariwisata memiliki peran yang besar terhadap perekonomian
nasional maupun daerah. Pemerintah daerah diharapkan mampu menjadi
regulator dengan melibatkan swasta dan masyarakat dalam pengembangan
pariwisata. Sehingga potensi pariwisata yang dimiliki daerah mampu
digunakan sebagai penggalian pendapatan asli daerah serta dikelola secara
profesional agar mampu memuaskan wisatawan dan berdaya saing global.
Potensi wisata yang ada di wilayah Surakarta, Boyolali,
Sukaharjo, Karanganyar, Wonogiri, Saragen dan Klaten dapat dilihat
commit to user
Tabel 1.1. Beberapa Tempat Wisata di Wilayah
SUBOSUKAWONOSRATEN
No Daerah Tempat Wisata
1 Kabupaten Boyolali · Waduk Kedungombo · Waduk Cengklik 3 Kota Surakarta · Keraton Kasunanan
· Taman Jurug (Taman Satwa Taru Jurug) · Pura Mangkunegaran
· House of Danar Hadi (Museum Batik Danar Hadi)
4 Kabupaten Sukoharjo · Batu Seribu
· Pemandian Air Hangat Langenharjo · Pandawa Water World
· Pabrik Gula Gondang Baru · Deles Indah
6 Kabupaten Sragen · Ganesha Technopark
· Taman Dayu (Dayu Park/Taman Dayu Alam Asri)
commit to user
7 Kabupaten Wonogiri · Girimanik atau Air Terjun Setren · Hutan Wisata Ketu
· Waduk Gajah Mungkur · Pantai Sembukan · Pantai Nampu · Khayangan
Sumber: http://id.wikipedia.org
Besarnya potensi wisata yang ada di wilayah
SUBOSUKOWONOSRATEN tersebut akan lebih berdaya saing apabila
dikelola bersama. Pengelolaan secara parsial akan cenderung
menimbulkan ketimpangan antar daerah, sebab usaha pariwisata tidak
mengenal batas wilayah (borderless). Kesadaran akan besarnya potensi
wisata di masing-masing daerah dalam menunjang pemasaran wilayah
inilah yang membuat daerah-daerah tersebut melakukan kerjasama dengan
membuat promosi bersama. Kerjasama ini ditujukan untuk pengembangan
ekonomi wilayah yang dilaksanakan melalui kerjasama Satuan Kerja
Parangkat Daerah pelaksana opersional bidang kepariwisataan di
masing-masing daerah serta beberapa stakeholder.
Pada kenyatannya besarnya potensi pariwisata masih belum
berkembang, Menurut Sunario (2007:2) kelemahan pariwisata terletak
pada lemahnya menajemen dan destinasi disetiap tingkatan, tidak jelasnya
political will dan komunikasi yang kurang baik. Beberapa permasalahan
tersebut yang juga masih dialami oleh wilayah Solo Raya. Hal ini
menyebabkan promosi wisata yang mengusung Solo sebagai ’the spirit of
commit to user
sebagai branding tujuh wilayah oleh masyarakat pada umumnya.
Kerjasama pariwisata di SUBOSUKAWONOSRATEN sudah di mulai
sejak 2003, namun baru berjalan efektif sejak dibentuknya forum
pariwisata Solo Raya pada tahun 2007. Untuk mengetahui bagaimanakah
implementasi atau pelaksanaan kerjasama antar daerah
SUBOSUKAWONOSRATEN dalam pariwisata maka penulis melakukan
penelitian dengan judul “Evaluasi Implementasi Kerjasama Antar
Daerah SUBOSUKAWONOSRATEN Bidang Pariwisata ”
B. RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah merupakan persoalan atau permasalahan yang
hendak diteliti yang merupakan fokus dari penelitian. Permasalahan yang
ingin dijawab memalui penelitian ini adalah:
1. Bagaimanakah implementasi kerjasama antar daerah
SUBOSUKAWONOSRATEN bidang Pariwisata ?
2. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi implementasi kerjasama
antar daerah SUBOSUKAWONOSRATEN bidang Pariwisata?
C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan yang hendak dicapai melalui penelitian ini adalah untuk:
1. Mengetahui implementasi kerjasama antar daerah
SUBOSUKAWONOSRATEN bidang Pariwisata.
2. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi
kerjasama antar daerah SUBOSUKAWONOSRATEN bidang
commit to user D. MANFAAT PENELITIAN
Manfaat dari dilakukannya penelitian ini adalah:
1.Secara praktis, penelitian ini memberikan rekomendasi bagi
Pemerintah Daerah maupun pihak ketiga dalam melaksanakan
kerjasama antar daerah dalam bidang pariwisata
2.Secara teoritis, penelitian ini ditujukan untuk pengembangan ilmu
commit to user BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.LANDASAN TEORI
1. Evaluasi Implementasi Kebijakan
a. Implementasi Kebijakan
Implementasi merupakan salah satu tahap penting dalam kebijakan
karena sebaik dan sebagus apapun kebijakan jika tidak mampu
diimplementasikan, maka kebijakan tersebut tidak akan mampu
memberikan perubahan.
Nugroho (2004:51-52) menyatakan bahwa kebijakan publik
merupakan manajemen pencapaian tujuan nasional, karena pada dasarnya
kebijakan publik adalah usaha pencapaian tujuan nasional dan ukurannya
adalah sejauhmana pencapaian cita-cita yang sudah ditempuh.
Sedangkan Thomas R. Dye mengatakan bahwa kebijakan publik
adalah apa yang dilakukan maupun tidak dilakukan oleh pemerintah.
Pengertian ini dipandang terlalu luas sehingga berkembanglah kebijakan
publik dengan batasan dan ruang lingkup lebih jelas yang dikemukakan
oleh beberapa ahli (Badjuri dan Yuwono, 2003:9-10). Seperti yang
dikemukakan oleh Harol D. Laswell:
commit to user
pengangguran, dan berbagai masalah sosial lainnya. Analisis Kebijakan membantu dalam mendefinisikan tujuan, menggambarkan program alternatif tindakan dan mengevaluasi biaya jangka pendek dan panjang serta keuntungannya)
W.I. Jenkins (dalam Wahab 1997: 4) menyebutkan adanya unsur
aktor dalam kebijakan publik dengan menyatakan bahwa kebijakan publik
sebagai : “ as set of interrelated decisions taken by a political actor or
group of actors concerning the selection goals and the means of achieving
them within a specified situation where these decisions decision should, in
principle, be within the power or these actors to achieve” ( serangkaian
keputusan yang saling berkaitan yang diambil oleh seorang aktor politik
atau sekelompok aktor politik berkenaan dengan tujuan yang telah dipilih
beserta cara-cara mencapainya dalam suatu situasi dimana keputusan-
keputusan itu pada prinsipnya masih berada dalam batas-batas
kewenangan kekuasaan dari para aktor tersebut)
Dari beberapa pengertian diatas kebijakan publik mengandung
ciri-ciri :
1) Kebijakan publik merupakan serangkaian tindakan yang berkaitan dan
berpola.
2) Kebijakan publik melibatkan aktor politik/kebijakan.
3) Kebijakan publik mengarah pada tindakan yang mengarah pada tujuan.
4) Kebijakan publik mengatasi permasalahan publik yang seharusnya
diatasi oleh pemerintah.
commit to user
Kebijakan publik merupakan rangkaian tindakan, sehingga dalam
pelaksanaan kebijakan publik akan diturunkan menjadi program, proyek
maupun kegiatan. Untuk mengimplementasikan kebijakan publik ada dua
pilihan yaitu diimplementasikan dalam bentuk program-program atau
melalui formulasi kebijakan derivat/turunan dari kebijakan publik tadi.
(Nugroho, 2004:158).
Dalam proses kebijakan publik, implementasi kebijakan adalah
sesuatu tahap yang penting, bahkan jauh lebih penting daripada pembuatan
kebijakan. Kebijakan-kebijakan hanya akan menjadi dokumen jika tidak
diimplementasikan (Udoji dalam Abdul Wahab, 1997:59). Pelaksanaan
kebijakan bukanlah suatu proses yang sederhana, sebab kendala yang
sering muncul pada sebuah kebijakan adalah pada tahap implementasinya.
Van Horn dan Van Meter (dalam Wahab, 1997: 65) mengartikan
implementasi sebagai ”Those action by public an private individual (or
groups) that are directed at the achievement of objectives set fort in prior
policy decisions”. (tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh
individu-individu atau pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintahan atau
swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah
digariskan dalam keputusan kebijakan). Pengertian ini memberikan
pemahaman bahwa sebuah kebijakan baru dapat diimplementasikan jika
tujuan sudah ditetapkan sebelumnya yang kemudian keputusan-keputusan
commit to user
Mazmanian dan Sabatier (dalam Wahab,1997:65) menjelaskan
makna implementasi dengan mengatakan bahwa:
”Memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian implementasi kebijaksanaan, yakni kejadian-kejadian dan kegiatan-kegiatan yang timbul sesudah disahkannya pedoman-pedoman kebijaksanaan negara, yang mencakup baik usaha-usaha untuk mengadminisrasikannya maupun untuk menimbulkan akibat/dampak nyata pada masyarakat atau kejadian-kejadian”
Ripley dan Franklin (dalam Winarno,2008:145) berpendapat
bahwa implementasi adalah apa yang terjadi setelah undang-undang
ditetapkan yang memberikan otoritas program, kebijakan, keuntungan
(Benefit), atau suatu jenis keluaran yang nyata (tangible output).
Pengertian tersebut memberikan pemahaman bahwa implementasi
kebijakan merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mencapai tujuan
yang ditetapkan sehingga dampak yang diharapkan bisa terwujud dan
aktivitas implementasi ini dilakukan oleh berbagai aktor.
Sedangkan O’ Toole (2000:266) menyatakan bahwa policy
implementation is what develops between the establishment of an apparent
intention on the part of government to do something, or to stop doing
something, and the ultimate impact in the world of action. (implementasi
kebijakan adalah apa yang dikembangkan antara apa yang diinginkan
pemerintah untuk melakukan sesuatu, atau tidak melakukan sesuatu, dan
dampak tertinggi dalam dunia kerja).
Dari beberapa pengertian tersebut memberikan pemahaman bahwa
commit to user
mencapai tujuan yang ditetapkan sehingga dampak yang diharapkan bisa
terwujud dan aktivitas implementasi ini dilakukan oleh berbagai aktor.
Implementasi kebijakan ini menimbulkan rangkaian aktivitas.
Darwin (dalam Widodo, 2007:89) menyatakan setidaknya ada 6 hal
penting dalam dalam persiapan proses implementasi. Persiapan tersebut
yaitu pendayagunaan sumber, pelibatan orang atau sekelompok orang
dalam implementasi, interpretasi, manajemen program dan penyediaan
layanan dan manfaat pada publik. Sedangkan Jones menyatakan aktivitas
implementasi ada tiga macam, yaitu organization, interpretation, dan
application.
Penjelasan dari tahap-tahap implementasi kebijakan ini adalah
sebagai berikut (Widodo, 2007:90-94):
1) Tahap Interpretasi (Interpretation)
Tahap Interprestasi ini merupakan penjabaran sebuah kebijakan
yang masih abstrak ke dalam kebijakan yang lebih bersifat teknis
operasional . Kebijakan umum atau kebijakan strategis dijabarkan
dalam kebijakan manajerial dan kebijakan manajerial dijabarkan dalam
kebijakan teknis operasional.
Kebijakan umum atau kebijakan strategis diwujudkan dalam dalam
bentuk peraturan daerah (Perda) yang dibuat bersama-sama oleh
lembaga legislatif (DPRD) dan lembaga eksekutif (Pemerintah
Daerah). Kebijakan manajerial diwujudkan dalam bentuk
commit to user
operasional diwujudkan dalam bentuk kebijakan kepala dinas, kepala
badan atau kepala kantor sebagai pelaksana teknis pemerintah daerah.
Aktivitas interpestasi ini juga diikuti dengan mengkomunikasikan
kebijakan (sosialisasi) agar seluruh masyarakat (stakeholders) dapat
mengetahui dan memahami apa yang menjadi arah, tujuan dan sasaran
(kelompok sasaran) kebijakan. Komunikasi/sosialisasi ini diperlukan
agar mereka terlibat secara langsung maupun tidak langsung terhadap
kebijakan tadi.
2) Tahap Pengorganisasian (to Organized)
Tahap pengorganisasian ini mengarah pada proses kegiatan
pengaturan dan penetapan siapa pelaksana kebijakan (penentuan
lembaga organisasi); penetapan anggaran (besar, sumber, bagaimana
menggunakannya dan pertanggungjawabannya); penetapan sarana dan
prasarana yang diperlukan dalam pelaksanaan kebijakan, penetapan
tata kerja (juklak dan juknis); dan penetapan manajemen pelaksanaan
kebijakan termasuk penetapan pola kepemimpinan dan koordinasi
pelaksanaan kebijakan. Aktivitas dalam tahap pengorganisasian ini
meliputi:
a) Pelaksana Kebijakan ( Policy Implementor)
Pelaksana kebijakan (Policy Implementors) ini tergantung pada
jenis kebijakan yang dilaksanakan. Penetapan pelaksana kebijakan ini
commit to user
tanggungjawab masing-masing pelaku kebijakan. Pelaksana kebijakan
ini dapat diidentifikasikan sebagai berikut:
I. Dinas, badan, kantor, unit pelaksana teknis (UPT) dilingkungan
pemerintah daerah.
II. Sektor swasta (Private Sector).
III. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
IV. Komponen masyarakat.
b) Standar Prosedur Operasi ( Standard Operating Procedure)
Standard Operating Procedure (SOP) ini digunakan sebagai
pedoman, petunjuk, tuntunan dan referensi bagi para pelaku kebijakan.
SOP ini memberikan pengetahuan tentang apa yang harus dilakukan,
siapa sasarannya dan hasil apa yang ingin dicapai dari kebijakan
tersebut. SOP ini juga mampu mencegah perbedaaan bersikap dan
bertindak dalam menghadapi masalah dalam melaksanakan kebijakan.
Dengan demikian dalam pelaksanaan sebuah kebijakan diperlukan
prosedur tetap atau prosedur baku berupa standar prosedur operasi atau
standar pelayanan minimal (SPM).
c) Sumber Daya Keuangan dan Peralatan
Aktivitas selanjutnya dalam tahap pengirganisasian ini adalah
menetapkan besarnya anggaran, sumber anggaran serta peralatan yang
dibutuhkan untuk melaksanakan kebijakan tersebut.
Besarnya anggaran ini tergantung macam dan jenis kebijakan yang
commit to user
lain berasal dari pemerintah pusat (APBN), APBD, sektor swasta,
swadaya masyarakat, dan lain-lain.
Demikian pula macam dan jenis peralatan peralan yang diperlukan
sangat bervariasi dan tergantung kepada macam dan jenis kebijakan
yang dilaksanakan. Peralatan yang digunakan ini harus memadai agar
tidak mengurangi efektivitas dan efisiensi pelaksanaan kebijakan.
d) Penetapan Manajemen Pelaksanaan Kebijakan
Hal ini menekankan pada penetapan pola kepemimpinana dan
koordinasi dalam melaksanakan sebuah kebijakan. Apabila pelaksana
kebijakan melibatkan lebih dari satu lembaga maka harus jelas pola
kepemimpinan yang digunakan apakah dengan sistem kolegial atau
ada satu lembaga yang ditunjuk sebagai koordinator.
Bila ditunjuk salah satu diantara pelaku kebijakan menjadi
koordinator biasanya lembaga terkait erat dengan pelaksanaan
kebijakan diberi tugas sebagai leading sector bertindak sebagai
koordinator dalam pelaksanaan kebijakan tersebut.
e) Penetapan Jadwal Kegiatan
Penetapan jadwal kegiatan ini diperlukan untuk pedoman dalam
pelaksanaan kebijakan dan standar untuk menilai kinerja pelaksanaan
kebijakan, terutama dilihat dari dimensi proses pelaksanaan kebijakan.
Oleh karena itu, setiap pelaksanaan kebijakan perlu ditegaskan atau
commit to user
3) Tahap Aplikasi (Application)
Tahap aplikasi ini merupakan tahap penerapan rencana proses
implementasi kebijakan dalam realitas nyata. Tahap ini merupakan
perwujudan dari pelaksanaan masing-masing tahapan yang telah
disebutkan sebelumnya.
b.Evaluasi Implementasi Kebijakan
Implementasi sebuah kebijakan memerlukan sebuah monitor atau
kontol agar berjaalan dengan baik. Nugroho (2004:183) menyatakan
bahwa sebuah kebijakan publik tidak akan lepas begitu saja, kebijakan
memerlukan pengawasan dan salah satu mekanisme pengawasan tersebut
adalah dengan evaluasi kebijakan. Untuk melakukan pengawasan terhadap
implementasi inilah maka dilakukan evaluasi.
Evalusi sendiri merupakan kegiatan yang ditujukan untuk menilai
sebuah kebijakan. William N. Dunn (2003: 608) menyebutkan secara
umum istilah evaluasi dapat disamakan dengan penaksiran (apparsial),
pemberian angka (rating) dan penilaian (assessment). Jones mengartikan
evaluasi sebagai “an activity designed to judge the merits of government
policies which varies significantly in the specification of object, the
techniques of measurement and methods of analysis”. Evaluasi merupakan
suatu aktivitas yang dirancang untuk menilai hasil-hasil kebijakan
pemerintah yang mempunyai perbedaan-perbedaan yang sangat penting
dalam spesifikasi objeknya, teknik-teknik pengukurannya dan metode
commit to user
merupakan kegiatan pengkhususan (spesification), pengukuran
(measurement), analisis dan rekomendasi.
Weiss menyatakan “the purpose of evaluation research is to
measure the effects of a program against the goals it setout to accomplish
as a means of contributing to subsequent decision making about the
program and improving future program” (Tujuan dari penelitian evaluasi
adalah untuk mengukur dampak program terhadap tujuan-tujuan yang
dirancang sebagai sarana memberikan kontribusi bagi keputusan
berikutnya tentang program ini dan meningkatkan program di masa depan)
(Widodo. 2007: 114).
Dari beberapa pengertian diatas dapat diambil kesimpulan secara
umum mengenai evaluasi, yaitu suatu kegiatan dalam siklus tahapan
kebijakan yang digunakan untuk melihat hasil yang dicapai oleh sebuah
kebijakan/program/proyek/kegiatan, menilai dan melihat faktor-faktor
yang mempengaruhi keberhasilan ataupun kegagalan, serta memberikan
rekomendasi terhadap kelangsungan kebijakan/program/proyek/kegiatan
di masa yang akan datang.
Kegiatan evaluasi kebijakan dapat dilakukan dalam setiap tahapan
kebijakan mulai dari proses pembuatan sampai pada dampak kebijakan
bahkan evaluasi dapat dilakukan pada lingkungan kebijakan. Samodra
(1994: 9) menyatakan bahwa evaluasi kebijakan ditujukan untuk
mengetahui 4 aspek yaitu proses pembuatan kebijakan, proses
commit to user
Evaluasi kebijakan publik juga dibedakan menjadi beberapa tipe.
Menurut Langbein dalam Joko Widodo (2007:116) Evaluasi kebijakan
publik di bedakan dalam dua tipe.
1) Tipe Evaluasi Hasil (Outcomes of publik policy Implementation)
Tipe evaluasi ini merupakan riset yang mendasarkan diri pada tujuan
kebijakan. Sehingga ukuran keberhasilan pelaksaaan kebijakan adalah
dengan melihat sejauh mana apa yang menjadi tujuan kebijakan dapat
dicapai.
2) Tipe Evaluasi Proses (Process Of Publik Policy Implementation)
Merupakan riset evaluasi yang mendasarkan diri pada petunjuk
pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis). Ukuran keberhasilan
pelaksanaan suatu kebijakan adalah kesesuaian proses implementasi
suatu kebijakan dengan garis petunjuk (Guide lines) yang telah
ditetapkan.
Sedangkan tipe evaluasi kebijakan publik menurut Rossi dalam Joko
Widodo (2007: 119-122) adalah:
1) Research for Program Planning dan Development
Merupakan riset perencanaan dan pengembangan kebijakan untuk
merancang kebijakan agar sesuai dengan tujuan yang dikehendaki.
Riset ini memberikan informasi apakah sebuah kebijakan dirancang
secara optimal dengan menggunakan pengetahuan dan Informasi
commit to user 2) Project Monitoring Evaluation Research
Riset ini bertujuan untuk mengetahui apakah kebijakan telah
diimplementasikan/dilaksanakan sesuai dengan rancangan
kebijakan/proyek. Ada dua macam pertanyaan pokok dalam riset ini
yaitu apakah suatu kebijakan/program telah mencapai kelompok
sasaran (Target Groups), dan apakah usaha yang dilakukan dalam
intervensi telah sesuai dengan rancangan kebijakan.
3) Impact Evaluation
Riset evaluasi ini untuk mengetahui sejauh mana suatu kebijakan
menyebabkan perubahan sesuai dengan yang dikehendaki (Intended
Impact). Sehingga riset ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas
kebijakan/proyek daam pencapaian tujuan kebijakan. Untuk
melakukan evaluasi ini diperlukan pendefinisian tujuan dan kriteria
keberhasilan secara lebih operasional.
4) Economic Efficiency Evaluation
Tipe riset evaluasi ini ditujukan untuk menghitung efisiensi ekonomi
kebijakan. Riset evaluasi yang didasari efisiensi secara ekonomi ini
didasari adanya keterbatasan sumber daya, namun banyak kebijakan
yang bersaing untuk mendapatkan dana. Pada dasarnya dalam evaluasi
ini mempertimbangkan perbandingan antara cost dengan outcomes.
5) Comprehensive Evaluation
Evaluasi ini mencakup monitoring, impact, cost benefit or cost
commit to user
pertama yaitu menentukan perlu atau tidak suatu kebiajakan/proyek,
intervensi atau treatment dilakukan seperti yang direncanakan. Kedua,
menilai apakah suatu kebijakan/program menghasilkan perubahan
sesuai dengan outcomes yang diharapkan (Intended Outcomes).
Ketiga, menilai apakah dana kebijakan digunakan secara efisien.
Tabel 2.1 Tipe Evaluasi
Sumber: Peter H. Rossi (dalam Widodo. 2007: 123)
Berdasarkan tipe kebijakan tersebut, evaluasi implementasi
kebijakan merupakan tipe evaluasi proses (Process Of Public Policy
Implementation) menurut Langbein dan Project Monitoring Evaluation
commit to user
Evaluasi implementasi kebijakan merupakan evaluasi yang
dilakukan pada tahap dilaksanakannya sebuah kebijakan. Menurut
Palumbo (dalam Parsons, 2008:549) evaluasi yang dilakukan ketika
kebijakan atau/program sedang diimplementasikan merupakan analisis
tentang bagaimana program diimplementasikan dan faktor apa yang
mempengaruhi keberhasilan implementasi. Oleh karena itu implementasi
memerlukan sebuah evaluasi untuk memonitor bagaimana program
dikekola dan diatur sehingga mengasilkan umpan balik yang berfungsi
untuk meningkatkan proses implementasi.
Evaluasi implementasi ini dapat dilihat dalam kemampuan untuk
mengoperasionalkan program- program yang telah dirancang sebelumnya.
Sedangkan keseluruhan proses implementasi kebijakan dapat dievaluasi
dengan mengukur atau membandingkan antara hasil akhir dari program-
program tersenut dengan tujuan-tujuan kebijakan. (Wahab, 1990:125)
Secara umum evaluasi implementasi merupakan evaluasi pada
tahap pelaksanaan sebuah kebijakan, yang akan memberikan masukan
untuk proses implementasi serta untuk mengetahui faktor yang
mempengaruhi implementasi
c. Faktor yang mempengaruhi Implementasi Kebijakan Publik
Salah satu tujuan evaluasi implementasi kebijakan publik adalah
untuk mengetahui variabel-variabel yang berpengaruh dalam implementasi
commit to user
implementasi kebijakan, dapat dilihat dari beberapa model implementasi
kebijakan publik. Beberapa model tersebut antara lain:
1) Model Meter dan Horn
Model implementasi ini diperkenalkan oleh Donald Van Meter dan
Carl Van Horn. Model yang mereka kemukakan memiliki enam
variabel yang membentuk kaitan (linkaged) antara kebijakan dengan
kinerja (performance). Hubugan antara variabel tersebut digunakan
untuk melihat bagaimana proses kebijakan berlangsung.
Variabel-variabel tersebut adalah (Winarno, 2008:156-166):
a) Ukuran-ukuran dasar dan tujuan kebijakan
Variabel ini menjadi faktor utama yang menentukan kinerja
kebijakan. Ukuran dasar dan tujuan kebijakan ini digunakan untuk
menguraikan tujuan kebijakan secara menyeluruh. Penilaian
melalui indikator-indikator kinerja yang digunakan untuk
mengukur sejauh mana ukuran-ukuran dasar dan tujuan kebijakan
dapat direalisasikan. Dengan kata lain ukuran-ukuran dasar dan
tujuan kebijakan ini merupakan dasar penilaian pencapaian tujuan
kebijakan secara menyeluruh yang dilihat dari indikator-indikator
kinerja kebijakan.
b) Sumber-sumber kebijakan
Sumber-sumber kebijakan yang tersedia menunjang keberhasilan
pelaksanaan kebijakan. Sumber tersebut menjadi input yang akan
commit to user
outcomes yang diharapkan. Sumber-sumber yang dimaksud
mencakup dana atau perangsang lain yang mendorong dan
memperlancar implementasi yang efektif.
c) Komunikasi antar organisasi dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan
Implementasi kebijakan akan berjalan dengan efektif apabila
ukuran-ukuran dasar kebijakan dan tujuan kebijakan telah
dipahami oleh individu-individu yang bertanggungjawab dalam
kinerja kebijakan. Dengan demikian diperlukan kejelasan
ukuran-ukuran dasar dan tujuan kebijakan serta ketepatan komunikasi.
Untuk dapat mentransfer hal tersebut diperlukan komunikasi yang
jelas dan baik didalam organisasi maupun antar organisasi.
Kejelasan komunikasi ini dilakukan agar tidak terjadi interprestasi
yang berbeda-beda antar pelaksana kebijakan sehingga mampu
mengurangi terjadinya kesalahpahaman yang mampu menghambat
implementasi kebijakan.
d) Karaktersitik badan-badan pelaksana
Dalam melihat karakteristik badan pelaksana tidak terlepas dari
struktur birokrasi. Komponen dari model ini terdiri dari ciri-ciri
struktur formal dari organisasi-organisasi dan atribut yang tidak
formal dari personil mereka serta Non Government Organization
commit to user
e) Kondisi ekonomi, sosial dan politik
Kondisi ekonomi, sosial dan politik merupakan variabel yang
mampu mempengaruhi pelaksanaan kebijakan. Variabel ini hanya
mendapatkan perhatian kecil, namun menurut Meter dan Horn
mempunyai efek yang mendalam terhadap pancapaian
badan-badan pelaksana. Bahkan variabel ini bisa menjadi faktor yang
sangat berpengaruh sebab kebijakan publik tidak bekerja pada
ruang hampa, namun ada kondisi ekonomi, sosial dan politik yang
tidak bisa dihindari.
f) Kecenderungan pelaksana
Pelaksana kebijakan harus benar-benar memahami dasar-dasar dan
tujuan kebijakan agar mampu melaksanakan kebijakan
sebagaimana seharusnya. Namun, pada tahap pelaksanaan ini
subyektivitas pelaksana bisa mempengaruhi tindakan pelaksana.
Bisa jadi subyektivitas tersebut bertentangan dengan tujuan
kebijakan yang harus dicapai. Penolakan pelaksana kebijakan
terhadap tujuan-tujuan yang kebijakan akan menyebabkan
kegagalan pelaksanaan kebijakan. Begitu pula sebaliknya,
penerimaan terhadap ukuran-ukuran kebijakan dan tujuan
kebijakan akan menjadi pendorong bagi pelaksanaan kebijakan
yang berhasil. Model implementasi Kebijakan ini digambarkan
commit to user Gambar 2.1
Model Implemantasi Kebijakan Van Meter dan Van Horn
Sumber: Riant Nugroho, Kebijakan Publik: Formulasi, Implementasi dan
Evaluasi, 2004: 168
2) Model Edwards III
Model implementasi kebijakan menurut Edwards III dimulai dari
dua pertanyaan mendasar yaitu prakondisi-prakondisi apa yang
mempengaruhi keberhasilan kebijakan dan hambatan-hambatan utama
apa yang menyebabkan kebijakan gagal. Dalam menjawab pertanyaan
commit to user
dalam implementasi kebijakan publik. Variabel-variabel tersebut
adalah (Winarno, 2008:175):
a) Komunikasi
Secara umum Edwards membahas tiga hal penting dalam proses
komunikasi kebijakan yakni transmisi, konsistensi dan kejelasan.
Persyaratan pertama bagi implementasi kebijakan yang efektif
adalah implementor kebijakan paham mengenai apa yang harus
dilakukan. Untuk itulah keputusan-keputusan dan perintah-perintah
harus disampaikan secara tepat dan cermat. Sehingga petunjuk
pelaksanaan kebijakan mudah dipahami dan jelas/tidak
membingungkan. Pada dasarnya dalam komunikasi ini ada
transmisi kebijakan yaitu adanya pembuatan keputusan dan
pemberian perintah dalam aturan atau kegiatan pelaksanaan,
adanya kejelasan komunikasi isi kebijakan, dan konsistensi
perintah-perintah pelaksanaan kebijakan.
b) Sumber-sumber
Ketersediaan sumber-sumber yang diperlukan dalam pelaksanaan
kebijakan sangat mempengaruhi efektivitas pelaksanaan kebijakan.
Sumber-sumber yang penting meliputi staff yang memadai serta
mempunyai keahlian dalam pelaksanaan tugas, wewenang dan
fasilitas-fasilitas yang diperluka untuk melaksanakan pelayanan
commit to user
c) Kecenderungan-kecenderungan
Kecenderungan dari pelaksana kebijakan merupakan faktor yang
berpengaruh dalam implementasi kebijakan yang efektif.
Kecenderungan ini seringkali mempengaruhi pola pikir dan
tindakan dari pelaksana kebijakan. Sehingga implementasi
kebijakan sangat ditentukan oleh interprestasi pelaksana kebijakan
terhadap kebijakan. Untuk itulah pelaksana kebijakan harus
mampu menginterprestasikan kebijakan dengan obyektif.
d) Struktur birokrasi
Birokrasi merupakan badan yang paling sering menjadi pelaksana
kebijakan baik birokrasi pemerintah maupun swasta. Untuk itulah
struktur birokrasi mempunyai peran dalam keberhasilan
implementasi kebijakan. Ripleys dan Franklin dalam Winarno
(2008:202) mengidentifikasi enam karaktersitik birokrasi. Pertama,
birokrasi sebagai instrumen sosial untuk menangani masalah
publik. Kedua, birokrasi merupakan institusi yang dominan dalam
pelaksanaan program kebijakan. Ketiga, birokrasi mempunyai
sejumlah tujuan yang berbeda. Keempat, fungsi birokrasi berada
dalam lingkungan yang luas dan kompleks. Kelima, birokrasi
selalu hidup. Keenam, birokrasi bukan merupakan sesuatu yang
netral dan tidak juga secara penuh dikuasai oleh kekuasaan yang
berasal dari luar. Dengan peran yang dijalankan birokrasi dalam
commit to user
merupakan faktor yang fundamental dalam mengkaji implementasi
kebijakan.
Gambar 2.2
Model Implementasi Kebijakan Menurut Edwards III
Sumber: AG Subarsono, Analisis Kebijakan Publik, 2006: 91
2. Kerjasama Antar Daerah dalam Era Otonomi Daerah
a. Konsep Dasar dan Perlunya Kerjasama Antar Daerah dalam
Otonomi Daerah
Kerjasama daerah merupakan hubungan yang dibangun diantara
beberapa daerah/pihak dalam rangka mencapai tujuan yang telah
disepakati bersama. Pamudji (1985:28) menyatakan kerjasama antar
daerah merupakan suatu kerangka kerjasama antara dua atau lebih
pemerintahan daerah yang setingkat dalam menangani suatu atau beberapa
obyek tertentu demi tercapainya kepentingan masing-masing pihak. Komunikasi
Struktur BIrokrasi
Sumber Daya
Implementasi
commit to user
O’ toole (1995) juga mengungkapkan hal yang sama untuk
menjelaskan kerjasama antar pemerintah bagian di Amerika yang
mengyebutkan bahwa “Intergovernmental relations is the subject of how
our many varied American governments deal with each other; and what
their relative roles, responsibilities, and levels of influence are and should
be”. (Hubungan antar pemerintah adalah subyek dari bagaimana beberapa
pemerintah Amerika saling berhubungan/bersepakat dan apa peran relatif
mereka, tanggung jawab, dan tingkat pengaruh yang diinginkan)
Unsur pokok dari konsep yang disebutkan diatas adalah adanya
hubungan yang didalamnya ada kesepakatan, pembagian peran dan
tanggungjawab masing-masing serta apa yang harus dilakukan dalam
kerangka kerjasama tersebut.
Patterson (dalam Warsono, 2009: 15) menyatakan kerjasama antar
pemerintahan daerah (intergovernmental cooperation) sebagai “an
arrangement between two or more government for accomplishing common
goals, providing a service or solving a mutual problem”. (Pengaturan
antara dua atau lebih pemerintah untuk mencapai tujuan bersama, yang
menyediakan layanan atau memecahkan masalah bersama). Dalam definisi
ini tersirat adanya kepentingan bersama antara dua daerah atau lebih untuk
memberikan pelayanan bersama-sama atau memecahkan permasalahan
bersama-sama.
Adanya kerjasama antar daerah ini pada dasarnya merupakan hasil
commit to user
Namun konsep regionaliasi lebih luas dari kerjasama antar daerah. Region
dalam konteks supra-nasional misalnya Uni Eropa, ASEAN dan
sebagainya. Dalam konteks trans-nasional misalnya Sijori
(Singapura-Johor-Riau), IMTGT (Indonesia, Malaysia, Thailand Growth Triangel).
Sedangkan dalam konteks sub-nasional misalnya Solo Raya,
Barlingmascakep (Jawa Tengah), Ciayukumajakuning (Jawa Barat) dan
lain-lain. (Warsono, 2009:14)
Pelaksanaan kerjasama daerah di Indonesia diatur dalam Peraturan
Pemerintah No. 50 tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama
Daerah, yang menyebutkan bahwa kerja sama daerah adalah kesepakatan
antara gubernur dengan gubernur atau gubernur dengan bupati/wali kota
atau antara bupati/wali kota dengan bupati/wali kota yang lain, dan atau
gubernur, bupati/wali kota dengan pihak ketiga, yang dibuat secara tertulis
serta menimbulkan hak dan kewajiban.
Kerjasama antar daerah merupakan sebuah kebijakan yang
dilaksanakan karena adanya otonomi daerah. Sedangkan otonomi
merupakan konsekuensi dari adanya desentralisasi. Tujuan utama otonomi
daerah ini adalah untuk menumbuhkan prakarsa daerah sekaligus
memfasilitasi aspirasi daerah sesuai dengan keanekaragaman kondisi
masing-masing daerah.
Isu kerja sama antar daerah bukanlah suatu yang baru, isu ini
merupakan konsekuensi logis ketika era otonomi daerah mulai bergulir,
commit to user
dampak negatif yang ditimbulkan oleh pemahaman sempit oleh daerah
terkait otonomi daerah.(Sanctyeka, 2009: 2)
Pada kenyatannya kewenangan yang diberikan oleh pemerintahan
pusat kepada pemerintahan daerah melalui otonomi daerah ini dipahami
sebagai kebebasan pemerintahan daerah dalam mengelola daerah.
Pemahaman yang tidak tepat dan kurang siapnya daerah menyebabkan
berbagai daerah bersemangat mengelola daerah sesuai dengan keinginan
sendiri, namun kurang berorientasi pada kesejahteraan masyarakat.
Sehingga pelaksanaan desentralisasi menimbulkan banyak permasalahan
di daerah. Seperti yang diungkapkan Rauf (2005:168) bahwa otonomi
daerah sangat kondusif bagi terjadinya konflik. Kebebasan yang menyertai
otonomi seringkali ditafsirkan sebagai kesempatan untuk mengembangkan
diri dengan mengelola sumber daya alam dan sumber daya manusia
menurut kepentingan sendiri yang merupakan sumber konflik yang amat
potensial di masa-masa mendatang. Penyerahan kewenangan kepada
daerah ini dipersepsikan secara bervariatif oleh daerah.
Egoisme sektoral atau ego daerah merupakan salah satu
permasalahan penting yang harus mendapatkan perhatian. Semangat
(egoisme) kedaerahan membuat daerah merasa tidak perlu menjalin
kerjasama dengan daerah lain. Permasalahan tersebut akan menimbulkan
kesenjangan antara daerah yang potensial dan tidak potensial serta rentan
commit to user
Gejala-gejala negatif yang demikian dapat mengancam integrasi
bangsa sehingga hubungan atau kerjasama antara pemerintahan daerah
yang satu dengan pemerintahan daerah yang lain harus mendapatkan
perhatian yang lebih.
Sanctyeka (2009:2) juga menyatakan ada beberapa hal yang
dihadapi oleh daerah sebagai suatu wilayah yang otonom:
“Pertama, ketika daerah dibenturkan dengan isu kewenangan wajib yang mereka miliki namun bersifat lintas wilayah administrasi kepemerintahannya. Kedua, ketika daerah memiliki keinginan untuk mengembangan perekonomian wilayahnya yang bersifat lintas batas (regional). Ketiga, Ketika daerah berkeinginan untuk meningkatkan kualitas sistem pelayanan publik di wilayah perbatasan dan Keempat, Ketika daerah berupaya meminimalisir dan menyelesaikan konflik horisontal di wilayah perbatasan yang memiliki potensi tersebut.”
Dalam konteks ini kerjasama antar daerah berkaitan dengan batas
administratif dan batas fungsional sebuah daerah. Setiap daerah memiliki
batas administratif yang ditentukan oleh aturan formal (peraturan
perundangan) namun pada kenyatannya permasalahan sering timbul akibat
hubungan fungsional sosial ekonomi yang melewati batas administratif.
Dalam konteks ini kerjasama antar daerah diperlukan untuk menyelesaikan
permasalahan batas administrasi tersebut dengan memanfaatkan potensi
yang dimiliki oleh setiap daerah untuk mencapai tujuan bersama.
Pada umumnya terdapat dua motivasi utama bagi perwujudan suatu
kerangka kerja sama antar daerah, yaitu (Pamudji, 1985:9):
1) Sebagai usaha untuk mengurangi kemungkinan adanya kemajuan
commit to user
terhadap daerah-daerah sekitarnya, langsung maupun tidak langsung.
Titik berat perhatian ditujukan pada usaha untuk mewujudkan
keserasian perkembangan wilayah dari daerah-daerah yang
berdekatan
2) Sebagai usaha untuk memecahkan masalah bersama dan atau untuk
mewujudkan tujuan bersama terhadap bidang-bidang tertentu. Titik
berat perhatian ditujukan pada usaha untuk mewujudkan tujuan
bersama, terlepas dari kenyataan apakah daerah-daerah itu secara
geografis berdekatan atau tidak
b. Bentuk Kerjasama dalam Otonomi Daerah dan Objeknya
Pasal 195 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, menyatakan
bahwa dengan pertimbangan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik,
sinergi dan saling menguntungkan daerah-daerah dapat melakukan
kerjasama. Kerjasama antar daerah tersebut dapat diwujudkan dalam
bentuk badan kerjasama antar daerah yang diatur dengan keputusan
bersama. Dengan demikian kerjasama antar daerah ini merupakan sebuah
peluang yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah dalam pelaksanaan
kebijakan desentralisasi.
Pamudji (1985:21 dan 26) membagi kerjasama antar daerah dalam
dua bentuk:
1) Kerjasama Bilateral
Suatu kerangka kerjasama yang hanya melibatkan dua pihak.
commit to user
Suatu kerjasama antar daerah yang dilakukan oleh tiga daerah atau
lebih untuk mengatur secara bersama-sama kepentingan
daerah-daerah yang bersangkutan.
Henry (dalam Warsono, 2009:23-24) menyebutkan bentuk dan
metode kerjasama antar pemerintah daerah meliputi:
1) Intergovernmental Service Contrac
Jenis kerjasama ini dilakukan bila suatu daerah membayar daerah lain
untuk melaksanakan jenis pelayanan tertentu seperti penjara,
pembuangan sampah, kontrol hewan atau ternak, penaksiran pajak.
2) Joint Service Agreement
Jenis kerjasama yang kedua ini dilakukan untuk menjalankan fungsi
perencanaan, anggaran dan pemberian pelayanan tertentu kepada
masyarakat daerah yang terlibat, misalnya dalam pengaturan
perpustakaan wilayah, komunikasi antar polisi dan pemadam
kebakaran, kontrol kebakaran, pembuangan sampah.
3) Intergovernmental Service Transfer
Jenis kerjasama ketiga merupakan transfer permanen suatu tanggung
jawab dari satu daerah ke daerah lain seperti bidang pekerjaan umum,
prasarana dan sarana, kesehatan dan kesejahteraan, pemerintahan dan
keuangan publik.
Sedangkan berdasarkan format kelembagaan, menurut Sanctyeka.
(2009:7) dibedakan menjadi dua yaitu Intergovernmental Relations (IGR)
commit to user
1) Intergovernmental Relations (IGR)
Wilayah dengan format kelembagaan ini misalnya adalah Kedung
sepur dimana kerjasamanya sebatas koordinasi pembangunan. Format
kelembagaan berdasarkan IGR adalah
a. Pola hubungan antara para anggota hanyalah hubungan
koordinatif
b. Pola asosiasi lebih bersifat public interest group, karena
lembaga ini hanya berfungsi sebagai pelobi kepada pemerintah
pusat.
c. Status hukum kelembagaan hanyalah sebagai sebuah forum
tanpa kewenangan dalam pemerintahan tertentu.
2) Intergovernmental Management (IGM)
Wilayah dengan format kelembagaan ini misalnya adalah
Barlingmascakeb, Subosukawonostraten dan Sampan dengan adanya
Regional Manager. Format kelembagaan IGM adalah
a. Pola asosiasi antar pemerintah daerah untuk melakukan
pengelolaan suatu bidang pemerintahan tertentu yang
sama-sama mereka butuhkan.
b. Assosiasi ini terbentuk karena adanya kebutuhan bersama
pada bidang tertentu dan keyakinan bahwa apabila bidang
tersebut dikerjakan bersama-sama akan tercipta efisiensi dan
commit to user
Arus globalisasi yang tidak dapat dibendung membuat pelaksaaan
desentraliasipun semakin dinamis. UNDP (dalam Muluk, 2007:97)
membuat laporan yang menyatakan bahwa globalisasi menawarkan
peluang besar bagi kemajuan manusia bila disertai kepemerintahan yang
lebih kuat, jika tidak akan banyak ancaman yang harus dipenuhi yakni
penguatan finansial, kesehatan, budaya, pribadi, lingkungan, serta
ketidakamanan politik dan masyarakat. Sehingga pemerintahan daerah
memiliki peran yang penting dalam menghadapi dan menciptakan inovasi
untuk menghadapi tantangan globalisasi. Kerjasama antar daerah ini
diharapkan mampu menjadi salah satu kekuatan pemerintah daerah dalam
menghadapi tantangan globalisasi.
Sedangkan objek kerjasama antar daerah adalah seluruh urusan
pemerintah yang telah menjadi kewenangan daerah otonom. PP No. 50
tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Antar Daerah
menyatakan bahwa objek kerja sama daerah adalah seluruh urusan
pemerintah yang telah menjadi kewenangan daerah dan dapat berupa
penyediaan pelayanan publik. Pelayanan publik ini merupakan pelayanan
yang diberikan bagi masyarakat oleh pemerintah berupa pelayanan
administrasi, pengembangan sektor unggulan dan penyediaan barang dan
jasa seperti rumah sakit, pasar, pengelolaan air bersih, perumahan, tempat
pemakaman umum, perparkiran, persampahan, pariwisata dan lain-lain.
Menurut pasal 10 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004, Pemerintahan