METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2016 – Januari 2017 di
Perairan Kawasan Ekosistem Mangrove Desa jaring Halus, Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara. Identifikasi dan analisis sampel mangrove dan sampel kepiting bakau dilakukan di Laboratorium
Terpadu, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Pengukuran parameter fisika dan kimia perairan dilakukan langsung di lapangan dan analisis substrat
dilakukan di Laboratorium Riset dan Teknologi Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 3 dan rencana kegiatan penelitian dapat dilihat pada Lampiran 1.
Alat dan Bahan Penelitian
Alat yang digunakan adalah bubu (alat tangkap kepiting bakau), Global Positioning System (GPS), DO meter, refraktometer, termometer, pH meter, pipet tetes, tool box, pipa paralon 4,5 inchi, meteran, parang, kamera digital, timbangan digital, gunting, penggaris, kertas milimeter gulung, tali rafia, kantong plastik, buku identifikasi kepiting bakau, buku identifikasi mangrove, dan alat tulis.
Bahan yang digunakan adalah contoh kepiting bakau, bagian tumbuhan mangrove, contoh air dan substrat, ikan mayung (umpan bubu), akuades, tissue,
karet gelang, tally sheet, lakban, dan kertas label. Rincian biaya penelitian dapat dilihat pada Lampiran 2.
Deskripsi Area Penelitian
Penelitian dilakukan di perarairan kawasan mangrove desa Jaring Halus Kecamatan Secanggang Kabupaten Langkat Sumatera Utara, pada lokasi ini
terdapat ekosistem mangrove yang berada dekat dan berbatasan dengan pemukiman warga dan laut. Desa ini merupakan sebuah perkampungan yang
letaknya jauh dari pusat kota. Adapun penetapan lokasi penelitian dilakukan dengan metode Purposive Sampling. Secara geografis, Desa Jaring Halus terletak pada 3º51'30" - 3º59'45" LU dan 98º30' - 98º42' BT dengan ketinggian ± 1 m dpl.
Adapun batas-batasnya antara lain :
Sebelah barat : Desa Tapak Kuda
Stasiun I
Stasiun ini memiliki kondisi mangrove yang sangat baik dan pada lokasi ini tidak ditemukan adanya kegiatan masyarakat. Lokasi ini berada pada koordinat
03°56'21,6" - 03°56'21,75" LU dan 098°33'44,0" - 098°34'27,42" BT dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4.
Lokasi
Penelitian Stasiun I
Stasiun II
Stasiun ini terjadi pemanfaatan ekosistem mangrove dan merupakan daerah nelayan meletakkan bubu untuk menangkap kepiting bakau. Stasiun ini
Gambar 5. Lokasi Penelitian Stasiun
Stasiun III
Stasiun ini merupakan stasiun yang berada dekat dengan pemukiman
rumah warga dan langsung berbatasan dengan laut. Stasiun ini berada pada titik koordinat 03°56'44,21" - 03°56'47,5" LU dan 098°34'09,11" - 098°34'12,3" BT dapat dilihat pada Gambar 6.
Prosedur Penelitian
Pengumpulan Contoh kepiting bakau
Contoh kepiting bakau ditangkap dengan menggunakan alat tangkap bubu
berdiameter 110 cm dan tinggi 14 cm dengan menggunakan umpan ikan mayung yang diikatkan pada pacak ditengah bubu. Jumlah bubu yang digunakan 45 unit, pada tiap stasiun diletakkan 15 unit. Pemasangan bubu dilakukan di setiap plot
yaitu 5 per plot pada saat air laut surut dan diangkat pada saat pasang. Pengumpulan contoh kepiting bakau dilakukan 3 (tiga) kali sampling dengan
interval waktu 2 (dua) minggu. Selanjutnya kepiting bakau yang di dapat diidentifikasi, dihitung jumlah induvidu perjenis dan diukur lebar karapas.
Kerapatan Mangrove
Pengambilan contoh untuk analisis vegetasi dilakukan dengan menggunakan transek garis (line transect). Identifikasi jenis mangrove dapat
langsung ditentukan di lapangan dan jenis mangrove yang belum diketahui jenisnya diidentifikasi di Laboratorium Terpadu, Manajemen Sumberdaya
Perairan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara dengan mengacu pada buku identifikasi Noor dkk (2012). Pada transek pengamatan dibuat petak-petak contoh dengan tingkat tegakan menurut Kusmana (1997) dapat dilihat pada
Gambar 7.
1. Pohon, adalah memiliki diameter batang lebih besar dari 10 cm pada petak
contoh 10 x 10 meter.
3. Semai, adalah anakan yang memiliki tinggi kurang dari 1,5 meter pada petak
Gambar 7. Transek Pengukuran Vegetasi Mangrove (10m x 10m), Anakan (5m x 5m), dan semai (2m x 2m).
Parameter Lingkungan
Pengambilan data parameter fisika kimia ini dilakukan saat keadaan perairan Pasang. Parameter kualitas air dan metode analisis pengukuran dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Pengukuran Parameter Lingkungan Perairan
Parameter Satuan Alat / Metode Lokasi
Analisis Data
Kerapatan Mangrove
Hasil pengukuran data vegetasi mangrove yang telah dikumpulkan
kemudian diolah dan selanjutnya dianalisis sebagai berikut:
Kerapatan Kerapatan Jenis :
Keterangan :
K = Kerapatan jenis dalam satuan Individu/Ha LPC = Luas petak contoh
Kepadatan Relatif :
Analisis Struktur Komunitas Kepiting Bakau Kepadatan Biota
Keterangan :
K = Kepadatan
ni = Jumlah individu suatu jenis A =: Luas Area
Keterangan :
H’ : Indeks keanekaragama Shannon - Wienner
Pi : Proporsi jumlah individu spesies ke-i terhadap jumlah individu total yaitu Pi = ni/N dengan ni : jumlah suatu spesies I dan N : total jumlah spesies
Kriteria yang digunakan untuk menginterpretasikan keanekaragaman Shannon Wiener yaitu:
H’ = < 1, Keanekaragaman tergolong rendah H’ = 1-3, Keanekaragaman tergolong sedang H’ = > 3, Keanekaragaman tergolong tinggi
Indeks Keseragaman (E) H’ : Indeks Keanekaragaman S : Jumlah Spesies
Menurut Krebs (1998), Indeks keseragaman berkisar antara 0 - 1, dimana : E > 0,6 : Keseragaman tinggi
0,4 ≤ E ≤0,6 : Keseragaman spesies sedang E < 0,4 : Keseragaman spesies rendah
Indeks Dominansi (C)
Indeks dominansi digunakan untuk menggambarkan penguasaan atau dominansi jenis tertentu di suatu lokasi. Dalam penelitian ini menggunakan rumus
Simpson (1949) dalam Odum (1983) :
Keterangan :
C : Indeks dominansi
Kriteria indeks dominansi ialah sebagai berikut:
0 < C ≤ 0,5 : Tidak ada jenis yang mendominasi 0,5 < C ≤ 1 : Terdapat jenis yang mendominasi
Hubungan Kerapatan Mangrove dan C-Organik dengan Kepadatan Kepiting Bakau
Analisis Regresi
Analisis regresi digunakan untuk menguji berapa besar variasi variabel tak bebas dapat diterangkan oleh variable bebas dan menguji apakah
estimasi parameter tersebut signifikan atau tidak. Rumus yang digunakan Steel dan Torrie (1980) adalah:
Y = a + bX
Keterangan :
Y = Kepadatan Makrozoobenthos X = Kepadatan Mikroplastik a = Konstanta
b = Slope
Uji Korelasi
Uji korelasi yang digunakan pada penelitian ini, merupakan uji korelasi pearson (r). Nilai r, berkisar antara 0.0 (ada korelasi), sampai dengan 1.0
(korelasi yang sempurna). Selain berdasarkan angka korelasi, tanda juga berpengaruh pada penafsiran hasil. Tanda – (negatif) pada output menunjukkan
No Koefisien Tingkat Hubungan
1 0,00 - 0,199 Sangat Rendah
2 0,20 - 0,399 Rendah
3 0,40 - 0,599 Sedang
4 0,60 - 0,799 Kuat
5 0,80 - 1,000 Sangat Kuat
Analisis Substrat
Berikut ini adalah langkah-langkah penentuan tekstur substrat yaitu :
1. Menentukan komposisi dari masing-masing fraksi subsrat. Misalnya fraksi pasir 45%, debu 30% dan liat 25%.
2. Menarik garis lurus pada sisi presentase pasir dititik 45% sejajar dengan sisi presentase debu, kemudian ditarik garis lurus pada sisi persentase debu di titik 30% sejajar dengan presentase liat, dan tarik garis lurus pada sisi
presentase liat 25% sejajar dengan sisi presentase pasir.
3. Titik perpotongan ketiga garis tersebut akan menentukan tipe substrat yang dianalisis, misalnya hal ini adalah lempung. Untuk analisis substrat
menggunakan Segitiga The United States Department of Agriculture (USDA) dapat dilihat pada Gambar 8.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Jenis Kepiting Bakau (Scylla spp.) yang Ditemukan
Hasil penelitian yang telah dilakukan di perairan kawasan mangrove desa Jaring Halus Kabupaten Langkat Sumatera Utara diperoleh 3 jenis kepiting bakau yaitu:
1. Scylla serrata
Hasil pengamatan yang di peroleh dari penelitian bahwa tubuh kepiting
bakau species Scylla serrata mempunyai bentuk bundar dan tebal. Tubuhnya berwarna coklat tua. Bentuk alur H pada karapas tidak begitu dalam, duri pada dahi tinggi, tipis agak tumpul dengan tepian cenderung cekung dan membulat,
kedua bagian atas dan bawah capit berukuran sama besar dan mata tidak menonjol keluar seperti terlihat pada Gambar 8.
Gambar 8. Scylla serrata
2. Scylla oceanica
Kepiting bakau jenis spesies Scylla oceanica yang didapati dari penelitian
capit bagian bawah, duri pada dahi tumpul dan mata agak menonjol keluar dapat
dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9. Scylla oceanica
3. Scylla tranquebarica
Kepiting bakau jenis spesies Scylla tranquebarica yang didapati dari penelitian mempunyai bentuk bundar dan tebal. Tubuhnya berwarna coklat
kehijau-hijauan dengan bentuk alur H pada karapas dalam, duri pada dahi tumpul dan dikelilingi celah sempit dan mata agak menonjol keluar dapat dilihat pada
Gambar 10.
Gambar 10. Scylla tranquebarica
Kepadatan Kepiting Bakau (Scylla spp.)
Kepadatan tertinggi terdapat pada jenis Scylla serrata pada stasiun II yaitu
Tabel 2. Kepadatan Jenis (ind/ha) Kepiting Bakau (Scylla spp.) di perairan kawasan mangrove desa Jaring Halus Kabupaten Langkat Sumatera Utara
Nama Spesies Stasiun I Stasiun II Stasiun III
Scylla serrata 230 450 130
Scylla oceanica 150 180 60
Scylla tranquebarica 130 240 210
Indeks Keanekaragaman (H’), Keseragaman (E’) dan Dominansi (C) Kepiting Bakau (Scylla spp.)
Hasil penelitian yang telah dilakukan pada masing-masing stasiun penelitian memperlihatkan nilai indeks keanekaragaman (H’) tertinggi terdapat
pada stasiun I dengan nilai sebesar 1,06 dan nilai terendah sebesar 0,99 yaitu terdapat pada stasiun III. Nilai indeks keseragaman (E’) tertinggi terdapat pada
stasiun I sebesar 0,97 dan nilai keseragaman terendah terdapat pada stasiun III sebesar 0,90. Indeks dominansi (C) tertinggi terdapat pada stasiun III dengan nilai sebesar 0,40 dan nilai terendah sebesar 0,35 yaitu terdapat pada stasiun I dapat
dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Nilai Indeks Keanekaragaman (H’), Dominansi (C) Keseragaman (E’) Kepiting Bakau (Scylla spp.) di perairan kawasan mangrove desa Jaring Halus Kabupaten Langkat Sumatera Utara
Keterangan Stasiun I Stasiun II Stasiun III
deks Keanekaragaman (H’) 1,06 1,02 0,99
Hasil analisis data vegetasi mangrove di desa Jaring Halus Kabupaten Langkat Sumatera Utara dengan menggunakan metode transek garis pada 3
Tabel 4. Jenis-Jenis dan Kerapatan Mangrove (ind/ha) Tingkat perairan kawasan mangrove desa Jaring Halus Kabupaten Langkat Sumatera Utara
No. Nama Spesies Stasiun I Stasiun II Stasiun III
Pengukuran parameter lingkungan perairan di perairan kawasan mangrove desa Jaring Halus Kabupaten Langkat Sumatera Utara meliputi pengukuran suhu, salinitas, pH dan DO (Dissolved Oxygen). Hasil pengukuran parameter
lingkungan perairan dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 7. Hasil Pengukuran Parameter Lingkungan di perairan kawasan mangrove desa Jaring Halus Kabupaten Langkat Sumatera Utara
Parameter
Tabel 8. Karakteristik Substrat di perairan kawasan mangrove desa Jaring Halus Kabupaten Langkat Sumatera Utara
Keterangan : L = Lempung ; Llip = Lempung liat berpasir ; Lp = Lempung berpasir
Kerapatan Mangrove Terhadap Kepadatan Kepiting Bakau
Hasil analisis menggunakan korelasi Pearson menunjukkan hubungan antara kerapatan mangrove dengan kepadatan kepiting bakau sebesar 0,432 dengan tingkat hubungan sedang. Nilai korelasi kerapatan mangrove dengan
kepadatan kepiting bakau dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Nilai Korelasi Pearson Kerapatan Mangrove Terhadap Kepadatan Kepiting Bakau
Parameter Kepadatan Kepiting Bakau Kerapatan Mangrove 0,432
C- Organik Terhadap Kepadatan Kepiting Bakau
Hasil analisis menggunakan korelasi Pearson menunjukkan hubungan antara C-Organik dengan kepadatan kepiting bakau sebesar 0,404 dengan tingkat
hubungan sedang. Nilai korelasi C-Oraganik dengan kepadatan kepiting bakau dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Nilai Korelasi Pearson C-Organik Terhadap Kepadatan Kepiting Bakau Parameter Kepadatan Kepiting Bakau
Pembahasan
Jenis Kepiting Bakau
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di perairan kawasan
mangrove desa Jaring Halus Kabupaten Langkat Sumatera Utara ditemukan 3
spesies kepiting bakau yaitu Scylla serrata, Scylla oceanica, dan Scylla tranquebarica. Menurut Nurdin Armando (2010), di Indonesia terdapat
empat jenis kepiting bakau, yaitu Scylla serrata, Scylla oceanica, Scylla tranquebarica dan Scylla paramamosain. Namun pada penelitian ini hanya dijumpai 3 spesies yaitu Scylla serrata, Scylla oceanica dan Scylla tranquebarica. Hasil ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Mulya (2000) di suaka margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut
Provinsi Sumatera Utara dan juga beberapa penelitian yang pernah dilakukan oleh Rachmawati (2009) di Indonesia pada 14 lokasi penelitian ditemukan tiga jenis spesies kepiting bakau yaitu Scylla serrata, Scylla tranquebarica, dan
Scylla oceanica. Ketiga jenis ini menyebar luas di perairan Indonesia, meliputi perairan di Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Papua.
Dalam penelitian ini tidak dijumpai jenis Scylla paramomosain karena penyebarannya terbatas dan hidup didaerah perairan yang terendam sepanjang tahun dan mempunyai salinitas yang rendah. Pendapat ini diperkuat oleh
Keenan (1998) yang menyatakan bahwa habitat Scylla paramamosain berasosiasi dengan hutan mangrove dan garis pantai yang terendam dengan salinitas air laut
lebih rendah dari air laut hampir sepanjang tahun.
tertangkap bevariasi yaitu Scylla serrata 46 mm sampai 96 mm, Scylla oceanica
41 mm sampai 75 mm dan Scylla tranquebarica 41 mm sampai 67 mm.
Kepadatan Kepiting Bakau (Scylla spp.)
Stasiun I kepadatan jenis kepiting bakau yang tertinggi adalah jenis
Scylla serrata yaitu 230 ind/ha sedangkan yang terendah adalah Scylla tranquebarica yaitu 130 ind/ha. Stasiun II kepadatan jenis kepiting bakau
yang tertinggi adalah jenis Scylla serrata yaitu 450 ind/ha sedangkan yang
terendah adalah Scylla oceanica yaitu 180 ind/ha. Stasiun III kepadatan jenis kepiting bakau yang tertinggi adalah jenis Scylla tranquebarica 210 ind/ha sedangkan yang terendah adalah Scylla oceanica yaitu 60 ind/ha.
Dari ketiga jenis kepiting bakau yang tertangkap di tiga stasiun pengamatan kepadatan jenis spesies kepiting bakau yang tertinggi yaitu jenis
spesies Scylla serrata dan yang terendah adalah jenis spesies Scylla tranquebarica. Hal ini karena Scylla serrata penyebarannya lebih luas dan
lebih toleran terhadap perubahan lingkungan terutama perubahan salinitas.
Hill (1978) menyatakan bahwa Scylla serrata mampu mentolerir perairan dengan salinitas hingga 60 ppt.
Kepadatan kepiting bakau yang tertinggi terdapat pada stasiun II terendah
terdapat pada stasiun III. Hal ini karena stasiun II merupakan daerah penangkapan kepiting bakau oleh nelayan yang berdekatan dengan paluh-paluh sungai, selain
dengan cara meliang. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Mulya (2000) yang
menemukan Scylla serrata yang berukuran kecil sampai sedang di daerah depan dan tengah hutan mangrove yang berdekatan dengan paluh-paluh sungai.
Stasiun III terdapat kepadatan kepiting bakau paling rendah apabila dibandingkan dengan stasiun I dan II karena stasiun III berdekatan dengan pemukiman masyarakat dan sering dimanfaatkan oleh masyarakat untuk mencari
kayu bakar. Selain itu stasiun III mempunyai kerapatan mangrove paling rendah apabila dibandingkan dengan stasiun I dan II. Dalam penelitian yang dilakukan
oleh Sirait (1997), kepadatan kepiting bakau sangat dipengaruhi oleh kerapatan mangrove, dimana semakin tinggi kerapatan mangrove maka guguran daun mangrove yang jatuh juga semakin banyak dan keberadaan kepiting bakau
semakin banyak, karena kerapatan mangrove akan mempengaruhi jumlah bobot serasah yang dalam hal ini sebagai makanan alami dari kepiting bakau.
Indeks Keanekaragaman (H’), Keseragaman (E’) dan Dominansi (C) Kepiting Bakau (Scylla spp.)
Keanekaragaman kepiting bakau di perairan kawasan mangrove desa Jaring Halus Kabupaten Langkat Sumatera Uratara dihitung dengan menggunakan
indeks keanekaragaman Shannon Weiner (H’). Indeks keanekaragaman kepiting bakau pada ketiga stasiun pengamatan dengan rerata sebesar 1,02
(keanekaragaman sedang). Tinggi rendahnya keanekaragaman jenis dapat dilihat dari jumlah jenis yang ditemukan serta kelimpahan di alam. Keanekaragaman cenderung akan rendah apabila adanya beberapa kelompok jenis-jenis kepiting
keanekaragaman yang tinggi apabila di dalam komunitas tersebut terdapat satu
atau lebih jenis yang dominansinya mencolok jauh di atas sebagian besar jenis lainnya.
Nilai indeks keanekaragaman tertinggi terdapat pada stasiun I dengan nilai sebesar 1,06 (keanekaragaman sedang) dan nilai terendah terdapat pada stasiun III yaitu sebesar 0,99 (keanakaragaman rendah). Hal ini karena stasiun I
memiliki kerapatan mangrove yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan stasiun II dan III sehingga banyak menghasilkan serasah atau luruhan daun
mangrove yang merupakan asupan terpenting bagi kepiting bakau. Hal ini sesuai dengan pendapat Soviana (2004) yang menyatakan bahwa salah satu faktor yang berpengaruh terhadap keanekaragaman kepiting bakau adalah ketersediaan
makanan alami yang berasal dari mangrove dan adanya luruhan daun mangrove. Nilai indeks keseragaman tertinggi terdapat pada stasiun I sebesar 0,97 dan nilai keseragaman terendah terdapat pada stasiun III sebesar 0,90. Hal ini karena
Stasiun I merupakan kondisi mangrove dalam keadaan alami, sehingga memiliki keanekaragaman dan keseragaman tertinggi dibandingkan dua stasiun lainnya
yang merupakan lokasi mangrove yang dimanfaatkan untuk penangkapan ikan dan dekat dengan pemukiman masyarakat. Berdasarkan aktivitas yang terjadi pada setiap stasiun akan mempengaruhi biota yang hidup di ekosistem mangrove. Hal
ini sesuai dengan Hartoni dan Agussalin (2013) yang menyatakan bahwa biota pada ekosistem mangrove sangat dipengaruhi oleh perubahan yang terjadi pada
lingkungan ataupun perubahan dari hutan mangrove, misalnya perubahan fungsi
lahan mangrove menjadi areal pemukiman ataupun lahan tambak.
Pada saat pengamatan, ketiga jenis kepiting bakau selalu ditemukan pada
setiap stasiun dengan jumlah yang hampir sama sehingga tidak ada spesies yang mendominasi. Nilai indeks dominansi pada satasiun I sebesar 0,35 stasiun II sebesar 0,38 dan stasiun III sebesar 0,40 ini artinya pada semua stasiun tidak
terdapat spesies yang mendominasi spesies lainnya. Kepiting bakau yang ada di kawasan penelitian ini memiliki adaptasi yang baik terhadap kondisi lingkungan.
Kerapatan Mangrove
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pada seluruh stasiun
pengamatan, kerapatan mangrove di perairan kawasan mangrove desa Jaring Halus Kabupaten Langkat Sumatera Utara masih tergolong baik. Nilai kerapatan tertinggi pada tingkat semai terdapat pada stasiun I sebesar 79166 ind/ha dan yang
terendah pada stasiun III sebesar 45000 ind/ha. Nilai kerapatan tertinggi pada tingkat pancang terdapat pada stasiun I sebesar 9334 ind/ha dan yang terendah
pada stasiun III sebesar 5734 ind/ha. Nilai kerapatan tertinggi pada tingkat pohon terdapat pada stasiun I sebesar 5166 ind/ha dan yang terendah pada stasiun III sebesar 1567 ind/ha. Berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 201
Tahun 2004 bahwa kondisi mangrove dengan kerapatan >1500 ind/ha dikategorikan masih dalam keadaan baik dengan kriteria sangat padat.
mangrovenya masih alami, tetapi kepadatan kepiting bakau tertinggi terdapat pada
stasiun II. Hal ini karena stasiun II merupakan daerah penangkapan yang dekat dengan paluh-paluh sungai sebagai habitat yang cocok bagi kepiting bakau. Hal
ini sesuai dengan Mulya (2000) yang menemukan kepiting bakau dengan ukuran kecil sampai besar pada ekosistem mangrove yang dekat dengan paluh-paluh sungai.
Kerapatan mangrove dan kepadatan kepiting bakau terendah terdapat pada stasiun III, karena stasiun III dekat dengan pemukiman masyarakat dan
dimanfaatkan oleh masyarakat sehingga kepadatan kepiting bakau paling rendah dibandingkan dengan stasiun yang lain. Hill (1982) menyatakan bahwa perairan disekitar hutan mangrove yang baik sangat cocok untuk kehidupan kepiting
bakau, karena sumber makananya seperti bentos dan serasah cukup tersedia. Kerapatan jenis mangrove yang berbeda-beda dan memiliki jenis yang bervariasi pada setiap stasiun, salah satunya dipengaruhi oleh faktor lingkungan
yang ada pada lokasi stasiun masing-masing dan pemanfaatan di setiap stasiun yang ditentukan. Hal ini sesuai dengan Talib (2008) yang menyatakan bahwa
kondisi-kondisi lingkungan luar yang terdapat di kawasan mangrove cenderung bervariasi di sepanjang gradien dari laut ke darat. Banyak spesies yang telah beradaptasi terhadap gradien ini, sehingga di dalam suatu kawasan suatu spesies
mungkin tumbuh lebih efisien daripada spesies lain.
Parameter Lingkungan
yang mempengaruhi distribusi suatu organisme. Kisaran suhu yang terdapat pada
setiap stasiun pengamatan merupakan kisaran suhu yang mampu mendukung kehidupan kepiting bakau. Menurut Baliao dkk (1983) kepiting bakau dapat
tumbuh cepat pada perairan dengan kisaran suhu 23-32oC, sedangkan Wahyuni dan Ismail (1987) melaporkan di perairan hutan mangrove Tanjung Pasir, Tangerang kepiting bakau didapatkan pada perairan dengan suhu rata-rata
28,8oC.
Kisaran salinitas pada stasiun I, II dan III berkisar antara 9,16-15,66 ppt.
Beberapa faktor yang mempengaruhi salinitas suatu perairan adalah pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan, dan aliran air tawar dari sungai. Lokasi penelitian ini berdekatan dengan muara sungai, hal ini diduga yang menyebabkan kisaran
salinitas yang rendah yang berpengaruh terhadap kehidupan kepiting bakau, sehingga keanekaragaman kepiting bakau rendah hingga sedang. Secara umum kisaran salinitas yang dapat ditolerir oleh kepiting bakau cukup luas. Kasry (1996)
melaporkan bahwa kepiting bakau dapat hidup pada pada kisaran salinitas <15 - >30 ppt. Dalam penelitian Sirait (1997) juga menemukan kepiting bakau
pada salinitas terendah 8,9 ppt. Namun beberapa penelitian juga melaporkan menemukan kepiting bakau pada kisaran salinitas yang lebih tinggi. Hutabarat (1983) menemukan kepiting bakau di perairan Ujung Alang, Cilacap pada kisaran
salinitas 25-28 ppt. Sudiarta (1988) menemukan kepiting bakau di perairan Laguna Talanca Cikaso, Sukabumi pada kisaran salinitas 26,5-32,4 ppt.
biota perairan. Nilai derajat keasaman (pH) perairan yang terukur pada ketiga
stasiun pengamatan selama penelitian berkisar antara 6,96-7,16. Setiap jenis biota atau organisme perairan lainnya mempunyai toleransi yang berbeda-beda terhadap
nilai pH. Namun pada umumnya biota air dapat hidup layak pada kisaran 5-9. Barus (2001) menyatakan bahwa nilai pH ideal untuk organisme di perairan adalah antara 7-8,5. Menurut Wahyuni dan Ismai (1987) kepiting bakau dapat
hidup pada kondisi perairan asam, yaitu pada daerah bersubstrat lumpur dengan pH rata-rata 6,5. Berdasarkan pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa pada
ketiga stasiun penelitian mempunyai derajat keasaman (pH) yang cukup baik bagi kehidupan organisme.
Pengukuran oksigen terlarut (DO) pada ketiga stasiun berkisar antara
6,3-6,43 mg/L. Perubahan kandungan oksigen sangat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup bagi biota air. Semakin tinggi kadar oksigen di perairan maka semakin banyak organisme yang bisa bertahan hidup. Menurut Effendi (2003),
hampir semua organisme akuatik menyukai kondisi dengan kelarutan oksigen >5 mg/L. Menurut Susanto dan Muwarni (2006) kebutuhan oksigen untuk
kehidupan kepiting bakau adalah >4 mg/L, sedangkan menurut Shelleyand Lovatelli (2011), kebutuhan oksigen untuk pertumbuhan kepiting
bakau adalah >5 mg/L, namun juga dinyatakan bahwa kepiting bakau memiliki
toleransi terhadap konsentrasi oksigen terlarut yang rendah atau lebih kecil dari angka tersebut. Kandungan oksigen terlarut hasil pengukuran dilokasi penelitian
Karakteristik Substrat
Karakteristik substrat yang diamati meliputi kadar C-Organik dan fraksi substrat. Hasil analisis rata-rata kadar C-Oganik pada setiap stasiun berkisar 3,96 -
4,3 %. Hasil rata-rata kadar C-Organik tertinggi ditemukan pada stasiun I sebesar 4,3%. Tinggi rendahnya kandungan bahan organik diduga berkaitan dengan aktivitas yang terjadi atau kondisi lingkungan yang berada disekitarnya. Kondisi
lingkungan yang dipengaruhi langsung oleh ombak cenderung mempunyai bahan organik yang relatif rendah. Rustam (2003) menyatakan bahwa ombak akan
menghanyutkan sedimen dan menghanyutkan bahan organik.
Hasil penelitian yang dilakukan pada ketiga stasiun memiliki subtrat yang berbeda. Stasiun I dan II berupa lempung liat berpasir dan lempung, dan stasiun
III lumpur berpasir. Stasiun I dan II mempunyai kepadatan kepiting bakau yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan stasiun III, ini menunjukkan bahwa kepiting bakau lebih suka hidup di subtrat lempung liat berpasir dan lempung. Hal
ini sesuai dengan Chairunnisa (2004) yang menyatakan bahwa kepiting bakau menyenangi habitat yang bertanah lumpur dan liat, kedua jenis tanah tersebut
merupakan habitat alami bagi kepiting bakau.
Semakin tinggi kandungan bahan organik pada substrat maka semakin
baik substrat tersebut untuk pertumbuhan vegetasi mangrove. Kandungan
C-Organik yang tinggi juga menandakan banyaknya serasah daun mangrove yang terdekomposisi sehingga dapat diduga persediaan makanan alami kepiting bakau
cukup tinggi maka nilai kandungan C-Organiknya relatif lebuh rendah, seperti
pada stasiun III memiliki kandungan C-Organik, kelimpahan kepiting bakau dan kerapatan mangrove yang lebih rendah apabila dibandingkan dengan stasiun I dan
II.
Substrat yang halus di ekosistem mangrove banyak mengandung serasah dan bahan organik yang dihasilkan dari daun-daun mangrove yang jatuh ke
lumpur sekitar pohon mangrove yang terdekomposisi oleh bakteri sehingga banyak ditemukan makanan bagi organisme. Menurut Kasry (1996) tekstur
substrat dasar yang baik bagi kehidupan kepiting bakau terdiri dari lempung berpasir atau tanah lempung berdebu dan tidak bocor (porous) yang berfungsi untuk menahan air. Sejalan dengan pendapat Setiawan dan Triyanto (2012),
tekstur substrat yang sangat halus seperti lempung berdebu disukai oleh kepiting bakau sebagai habitatnya. Selain itu kepiting bakau juga tedapat pada habitat yang memiliki tekstur sedang, namun tidak menyukai habitat yang bersubstrat kasar.
Substrat lempung berdebu tersebut dalam kategori mudah digali oleh kepiting bakau untuk membuat liang atau lubang yang digunakan untuk membenamkan
diri, bersembunyi, mempertahankan diri agar tetap dingin selama air surut dan melindungi diri dari predator.
Kerapatan Mangrove Terhadap Kepadatan Kepiting Bakau
Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan hubungan antara kerapatan mangrove
dengan kepadatan kepiting bakau sebesar 0,432 dengan tingkat hubungan sedang. Hal ini
menunjukkan bahwa kerapatan mangrove mempengaruhi kepadatan Kepiting bakau.
erat dengan ketersediaan bahan organik yang terdapat pada lingkungan yang
mendukung pertumbuhan dekomposer untuk melakukan penguraian bahan
organik, seperti oksigen terlarut (DO), salinitas dan substrat. Hal ini juga
dibuktikan dalam penelitian ini yang menemukan kepadatan kepiting bakau
tertinggi pada stasiun II dengan kerapatan mangrove yang lebih rendah apabila
dibandingkan dengan stasiun I. Hal ini disebabkan karena stasiun II merupakan
stasiun yang dekat dengan paluh-paluh sungai dan apabila terjadi surut stasiun ini
masih tetap tergenang air. Hal ini sesuai dengan pendapat Mulya (2000) yang
menemukan Scylla serrata melimpah berukuran kecil sampai sedang di daerah depan dan tengah hutan mangrove yang berdekatan dengan paluh-paluh sungai.
C- Organik Terhadap Kepadatan Kepiting Bakau
Hasil korelasi Pearson menunjukkan hubungan antara c-organik terhadap
kepadatan kepiting bakau sebesar 0,404 dengan tingkat hubungan sedang. Hal ini
menunjukkan bahwa kepadatan kepiting bakau di perairan kawasan mangrove Desa
Jaring Halus di pengaruhi oleh kandungan c-organik. Kandungan c-organik berbanding
lurus dengan kepadatan kepiting bakau. Pamuji dkk (2015) menyatakan kepadatan
makrozoobenthos disebabkan karena material-material padatan yang terbawa arus
dan mengendap mengandung tekstur yang cocok bagi organisme benthos, selain karena tekstur yang cocok faktor lain adalah karena material yang mengendap
yang mengandung kadar bahan organik yang tinggi sebagai pendukung kehidupan hewan makrozoobenthos.
Supriyadi (2008) menyatakan bahwa bahan organik cenderung meningkat
dengan meningkatnya kandungan lempung dan liat. Putri dkk. (2016) menyatakan bahwa
lain. Semakin besar jumlah persentase lempung dalam substrat, maka semakin besar pula
kandungan bahan organiknya. Namun, semakin kecil persentase fraksi lempung, semakin
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Berdasarkan penelitian yang dilakukan diketahui bahwa nilai indeks keanekaragaman kepiting bakau di perairan kawasan mangrove desa Jaring
Halus Kabupaten Langkat Sumatera Utara pada stasiun I sebesar H’= 1,06 (kategori sedang) stasiun II sebesar 1,02 (kategori sedang) dan stasiun III
sebesar 0,99 (kategori rendah).
2. Hasil penelitian dan perhitungan yang dilakukan diketahui bahwa kerapatan mangrove di perairan kawasan mangrove desa Jaring Halus Kabupaten
Langkat Sumatera Utara termasuk dalam kategori kerapatan yang sangat padat, dan kondisi lingkungan masih mendukung kehidupan kepiting bakau.
Saran
Saran yang dapat diberikan ialah meningkatkan manajemen pengelolaan