BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Rumah Sakit
Menurut WHO (1968) rumah sakit adalah institusi yang merupakan bagian
integral dari organisasi kesehatan sosial yang berfungsi menyediakan pelayanan kesehatan yang lengkap baik kuratif dan preventif bagi pasien rawat jalan dan rawat inap melalui kegiatan medik serta perawatan. Rumah sakit juga merupakan pusat
pendidikan dan latihan tenaga kesehatan serta riset kesehatan.
Definisi lain tentang rumah sakit dikemukakan oleh American Hospital
Association (1974) bahwa rumah sakit adalah suatu organisasi yang terorganisir serta sarana kedokteran yang permanen dan menyelenggarakan pelayanan kedokteran, asuhan keperawatan yang berkesinambungan, diagnosis serta pengobatan penyakit
yang diderita oleh pasien.
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009
tentang rumah sakit, menyatakan bahwa rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan bagi masyarakat dengan karakteristik tersendiri yang dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan kesehatan, kemajuan teknologi dan kehidupan
sosial ekonomi masyarakat yang harus tetap mampu meningkatkan pelayanan yang lebih bermutu dan terjangkau oleh masyarakat agar terwujud derajat kesehatan yang
perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan,
dan gawat darurat.
Rumah sakit adalah salah satu dari sarana kesehatan tempat
menyelenggarakan upaya kesehatan yang meliputi setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, bertujuan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat. Upaya kesehatan diselenggarakan dengan pendekatan
pemeliharaan, peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif) dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif), yang
dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan. Di Indonesia, rumah sakit merupakan rujukan pelayanan kesehatan untuk puskesmas terutama dalam upaya pemulihan dan penyembuhan sebab rumah sakit mempunyai fungsi
utama menyelenggarakan upaya kesehatan yang bersifat pemulihan dan pemeliharaan bagi penderita, yang berarti pelayanan rumah sakit untuk penderita rawat jalan dan rawat inap hanya bersifat spesialistik.
2.2 Rumah Sakit Gigi dan Mulut
2.2.1 Pengertian Rumah Sakit Gigi dan Mulut
Rumah sakit gigi dan mulut adalah rumah sakit khusus yang
menyelenggarakan pelayanan kesehatan gigi dan mulut dan merupakan sarana pendidikan dan penelitian tenaga kesehatan gigi tingkat akademik (S1) dan profesi
rumah sakit gigi dan mulut menyatakan bahwa rumah sakit gigi dan mulut adalah
sarana pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan gigi dan mulut perorangan untuk pelayanan pengobatan dan pemulihan tanpa mengabaikan
pelayanan peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit yang dilaksanakan melalui pelayanan rawat jalan, gawat darurat dan pelayanan tindakan medis. Rumah Sakit Gigi dan Mulut terbagi atas beberapa klinik, yaitu :
1. Klinik Periodonsia
2. Klinik Oral Medicine (Penyakit Mulut)
3. Klinik Bedah Mulut 4. Klinik Prostodonsia 5. Klinik Ortodonsia
6. Klinik Konservasi Gigi 7. Klinik Pedodonsia
8. Klinik Ilmu Kesehatan Gigi Masyarakat
2.2.2. Fungsi dan Tujuan Rumah Sakit Gigi dan Mulut Fungsi RSGM adalah :
1. Pelayanan atau pengabdian kepada masyarakat meliputi :
a. Sarana pelayanan kesehatan gigi dan mulut primer, sekunder dan tersier. b. Penunjang, rujukan dan gawat darurat kesehatan gigi dan mulut.
2. Pendidikan. Sarana pendidikan dan pelatihan di bidang kedokteran gigi, dokter
gigi, dokter gigi spesialis, dokter gigi spesialis konsultan, magister, doktor dan pendidikan berkelanjutan bidang kedokteran gigi.
3. Penelitian : (a) pusat penelitian, pengkajian, dan pengembangan ilmu kedokteran gigi, (b) pusat penerapan obat, bahan dan kedokteran gigi.
Rumah Sakit Gigi dan Mulut berdasarkan Peraturan Pemerintah Menteri
Kesehatan Nomor 1173 Tahun 2004, menurut fungsinya dapat dibagi menjadi dua, yaitu RSGM Pendidikan dan RSGM non Pendidikan. RSGM Pendidikan adalah
RSGM yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan gigi dan mulut, yang juga digunakan sebagai sarana proses pembelajaran, pendidikan dan penelitian bagi profesi tenaga kesehatan kedokteran gigi dan tenaga kesehatan lainnya dan terikat
melalui kerjasama dengan fakultas kedokteran gigi, sedangkan RSGM non Pendidikan harus memberikan pelayanan medik gigi minimal pelayanan medik gigi dasar.
Tujuan umum RSGM adalah meningkatkan mutu pendidikan, penelitian dan pelayanan kesehatan gigi dan mulut yang berkualitas, profesional, modern dan sesuai
dengan tuntutan masyarakat serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran gigi.
Tujuan khusus RSGM, yaitu :
a. Pelayanan medik gigi primer, yaitu tindakan medik gigi yang merupakan
wewenang dokter gigi umum.
b. Pelayanan medik gigi sekunder, yaitu tindakan medik gigi yang merupakan
wewenang dokter gigi spesialis.
c. Pelayanan medik gigi tersier, yaitu tindakan medik gigi yang merupakan wewenang dokter gigi subspesialis/dokter gigi spesialis konsultan.
2. Tersedianya sarana pendidikan kedokteran gigi dan tenaga kesehatan gigi lainnya. 3. Tersedianya pusat penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
khususnya pada kedokteran gigi.
4. Tersedianya unit pelayanan sebagai sarana rujukan bagi unit yang lebih rendah. 5. Tersedianya unit penunjang program kegiatan medik kedokteran umum (rujukan
secara pelayanan kesehatan lain setingkat/horizontal), kegiatan pelayanan kesehatan terintegrasi, pendidikan dan pelatihan tenaga kesehatan dan penelitian.
Kriteria yang harus dipenuhi oleh RSGM Pendidikan berdasarkan Peraturan
Pemerintah Menteri Kesehatan Nomor 1173 Tahun 2004 adalah : 1. Kebutuhan akan proses pendidikan.
2. Fasilitas dan peralatan fisik untuk pendidikan.
3. Aspek manajemen umum dan mutu pelayanan rumah sakit. 4. Aspek keuangan dan sumber dana.
2.2.3 Sasaran Rumah Sakit Gigi dan Mulut
Sasaran RSGM adalah tercapainya mutu pelayanan kesehatan gigi yang dapat memberi perlindungan kepada masyarakat melalui pelayanan kesehatan gigi,
pendidikan dan penelitian.
2.2.4 Sarana dan Peralatan Rumah Sakit Gigi dan Mulut
RSGM harus memenuhi persyaratan bangunan, sarana dan prasarana serta
peralatan sesuai dengan kebutuhan. Persyaratan yang dimaksud adalah :
1. Lokasi atau letak bangunan dan prasarana harus sesuai dengan rencana umum tata
ruang.
2. Bangunan dan prasarana harus memenuhi persyaratan keamanan, keselamatan kerja dan analisis dampak lingkungan RS dan sarana kesehatan lain.
3. Peralatan harus memenuhi persyaratan kalibrasi, standar kebutuhan pelayanan, keamanan, keselamatan dan kesehatan kerja.
Ketentuan persyaratan minimal peralatan RSGM berdasarkan Peraturan
Pemerintah Menteri Kesehatan Nomor 1173 MENKES/PER/X/2004, meliputi : jumlah dental unit 50, jumlah dental chair 50 unit, jumlah tempat tidur 3 buah, 1 unit
intra oral camera, 1 unit dental X-ray, 1 unit panoramic X-ray, 1 unit cephalometri X-ray, 1 unit autoclave/7 unit sterilizator, 1 camera dan 1 digital intra oral.
2.2.5 Tenaga Kesehatan
1. Tenaga medis kedokteran gigi, yang terdiri dari : dokter gigi, dokter gigi
spesialis, yang meliputi : bedah mulut, orthodonsia, konservasi, prostodonsia, pedodonsia, periodonsia, oral medicine.
2. Dokter/spesialis lainnya : dokter anestesi, dokter penyakit dalam dan dokter spesialis anak.
3. Tenaga keperawatan : perawat gigi dan perawat.
4. Tenaga kefarmasian : apoteker, analis farmasi dan asisten apoteker.
5. Tenaga keteknisan medis : radiografer, teknisi gigi, analis dan perekam medis.
6. Tenaga non kesehatan : administrasi dan kebersihan. 7. Mahasiswa co-asisten.
2.3 Standar Operasional Prosedur (SOP)
Menurut Depkes RI (1995), standar operasional prosedur (SOP) adalah suatu
prosedur tetap yang merupakan tata atau tahapan yang harus dilalui dalam suatu proses kerja tertentu yang dapat diterima oleh seseorang yang berwenang atau yang
bertanggung jawab untuk mempertahankan tingkat penampilan atau kondisi tertentu sehingga sesuatu kegiatan dapat diselesaikan secara efektif dan efisien. Adapun tujuan dari SOP antara lain :
1. Agar petugas menjaga konsistensi dan tingkat kinerja petugas atau tim dalam organisasi atau unit.
4. Melindungi organisasi dan staf dari malpraktek atau kesalahan administrasi
lainnya.
5. Untuk menghindari kegagalan/kesalahan, keraguan, duplikasi dan inefisiensi.
Di samping memiliki tujuan, adapun fungsi dari SOP adalah : 1. Memperlancar tugas para petugas atau tim.
2. Sebagai dasar hukum bila terjadi penyimpangan.
3. Mengetahui dengan jelas hambatan-hambatannya dan mudah dilacak. 4. Mengarahkan petugas untuk sama-sama disiplin dalam bekerja.
5. Sebagai pedoman dalam melaksanakan tugas rutin. Prinsip-prinsip dari SOP adalah :
1. Harus ada pada setiap kegiatan pelayanan.
2. Bisa berubah sesuai dengan perubahan standar profesi atau perkembangan iptek serta peraturan yang berlaku.
3. Memuat segala indikasi dan syarat-syarat yang harus dipenuhi pada setiap upaya.
4. Harus didokumentasikan.
2.4 Standar Pelayanan di Rumah Sakit Gigi dan Mulut
Rumah sakit sebagai sarana kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan
kepada masyarakat memiliki peran yang sangat strategis dalam mempercepat peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Rumah sakit dituntut untuk memberikan
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 228 Tahun 2002 menyatakan bahwa
standar adalah spesifikasi teknis atau sesuatu yang dibakukan sebagai patokan dalam melakukan kegiatan. Standar ini dapat ditentukan berdasarkan kesepakatan propinsi,
kabupaten/kota sesuai dengan evidence base. Standar pelayanan dokter/dokter gigi yang harus diatur adalah standar pelayanan yang diberikan secara langsung oleh dokter kepada pasien, terlepas dari strata unit pelayanan tempat dia bekerja. Masalah
keterbatasan sarana dan teknologi hanya menjadi pertimbangan ketika kelak terjadi penyimpangan (Mohamad, 2005). Standar pelayanan yang digunakan harus sesuai
dengan standar profesi yang berlaku dan kode etik kedokteran saat ini.
Setiap rumah sakit gigi dan mulut dalam memberikan pelayanan mempunyai kewajiban untuk melaksanakan pelayanan sesuai dengan standar profesi kedokteran
gigi yang ditetapkan. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Bab IV bagian kedua, butir kedua dikatakan bahwa setiap tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar pelayanan dan menghormati hak
pasien, maka standar pelayanan ini perlu diinformasikan ke seluruh jajaran profesi dokter gigi. Hak pasien adalah hak informasi, hak untuk memberikan persetujuan,
hak atas rahasia kedokteran dan hak atas pendapat kedua (second opinion) (Nasution, 2005).
Pelayanan gigi medik dasar yang dilakukan di poliklinik gigi dilaksanakan
medis/dokter gigi, pelayanan tenaga para medis/perawat gigi, penyediaan sarana
medik/non medik serta kondisi lingkungan pasien.
2.5 Penilaian Standar Pelayanan Rumah Sakit
Mutu pelayanan hanya dapat diketahui apabila telah dilakukan
penilaian-penilaian, baik terhadap tingkat kesempurnaan, sifat, wujud, ciri-ciri pelayanan kesehatan dan kepatuhan terhadap standar pelayanan. Crosby dalam Azwar (1997) menyatakan bahwa mutu adalah kepatuhan terhadap standar yang telah ditetapkan,
sedangkan Aditama (2002) menyatakan bahwa mutu adalah pelayanan yang mengacu pada kemampuan rumah sakit memberi pelayanan yang sesuai dengan standar profesi
kesehatan dan dapat diterima oleh pasiennya. Setiap orang mempunyai kriteria untuk kualitas dan mempunyai cara-cara penilaian yang berbeda. Penyedia layanan kesehatan tidak dapat mengetahui apakah para pasien yang memberikan pendapat
yang positif atau negatif bisa mewakili seluruh populasi yang dilayani (Kongstvedt, 2000). Perbedaan tersebut dapat diatasi dengan kesepakatan bahwa mutu suatu
pelayanan kesehatan dianggap baik apabila tata cara penyelenggaraannya sesuai dengan kode etik serta standar pelayanan profesi yang telah ditetapkan (Azwar, 1996).
Kegiatan penilaian secara umum harus meliputi tiga tahap. Tahap pertama adalah menetapkan standar, kemudian tahap kedua adalah menilai kinerja yang ada
(Aditama, 2002). Standar ini telah dikembangkan oleh badan usaha, atau badan usaha
dapat menggunakan standar yang dikembangkan oleh organisasi profesional dan dipublikasikan dalam literatur medis (Kongstvedt, 2000).
Tiga aspek penilaian mutu pelayanan menurut Jonas dan Rosenberg dalam Aditama (2002), yaitu :
1. Aspek Pendekatan
a. Pendekatan secara umum, yaitu dilakukan dengan menilai kemampuan rumah sakit dan atau petugas dan membandingkannya dengan standar yang ada. Para
petugas dapat dinilai tingkat pendidikannya, pengalaman kerjanya, serta pengalaman yang dimilikinya. Rumah sakitnya dapat dinilai dalam segi bangunan fisik, administrasi organisasi dan manajernya, kualifikasi SDM
yang tersedia dan kemampuan memberi pelayanan sesuai standar yang berlaku saat itu.
b. Pendekatan secara khusus, yaitu dilakukan dengan menilai hubungan antara
pasien dengan pemberi pelayanan di rumah sakit. 2. Aspek Teknik
a. Komponen struktur, yaitu menilai keadaan fasilitas yang ada, keadaan bangunan fisik, struktur organisasi, kualifikasi staf rumah sakit dan lain-lain. b. Komponen proses, yaitu menilai apa yang terjadi antara pemberi pelayanan
c. Komponen hasil, yaitu menilai hasil pengobatan (dengan berbagai
kekurangannya). Penilaian dapat dilakukan dengan menilai dampak pengobatan terhadap status pengobatan dan kepuasan pasiennya.
3. Aspek Kriteria
a. Kriteria eksplisit, yaitu kriteria yang nyata tertulis. b. Kriteria implisit, yaitu kriteria yang tidak tertulis.
2.6 Kepatuhan Prosedur Kerja
Menurut Adiwimarta, Maulana dan Suratman (1999) dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kepatuhan didefinisikan sebagai kesetiaan, ketaatan atau loyalitas.
Kepatuhan yang dimaksud disini adalah ketaatan dalam pelaksanaan prosedur tetap yang telah dibuat. Menurut Smet (1994), kepatuhan adalah tingkat seseorang melaksanakan suatu cara atau berperilaku sesuai dengan apa yang disarankan atau
dibebankan kepadanya. Dalam hal ini kepatuhan pelaksanaan prosedur tetap adalah untuk selalu memenuhi petunjuk atau peraturan-peraturan dan memahami etika
perawatan di tempat bekerja. Kepatuhan merupakan modal dasar seseorang berperilaku.
Gibson (2006) menyatakan bahwa terdapat 3 faktor yang mempengaruhi
kepatuhan dan perilaku tenaga kesehatan, yaitu :
1. Faktor individu, yaitu kemampuan dan keterampilan, latar belakang keluarga,
Kemampuan dan keterampilan merupakan faktor utama dalam individu yang
mempengaruhi kinerja seseorang.
2. Faktor psikologis, yaitu persepsi, sikap, kepribadian, belajar dan motivasi,
kepuasan kerja. Faktor psikologis banyak dipengaruhi oleh latar belakang keluarga, lingkungan dan pengalaman kerja sebelumnya.
3. Faktor organisasi, yaitu struktur organisasi, desain pekerjaan, kepemimpinan,
sistem penghargaan. Faktor organisasi berpengaruh tidak langsung pada hasil kerja dari seseorang.
Diagram skematis mengenai faktor yang mempengaruhi kepatuhan, perilaku dan kinerja dari tenaga kesehatan dapat dilihat pada bagan berikut :
Beberapa ahli sebagaimana dikemukakan oleh Smet (1994), mengatakan
bahwa kepatuhan dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang mempengaruhi kepatuhan dapat berupa karakteristik tenaga kesehatan
itu sendiri. Karakteristik tenaga kesehatan merupakan ciri-ciri pribadi yang dimiliki seseorang yang memiliki pekerjaan merawat klien sehat maupun sakit (Adiwimarta, et.al. 1999 dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia). Karakteristik tenaga kesehatan
meliputi variabel demografi (umur, jenis kelamin, ras, suku bangsa dan tingkat pendidikan), kemampuan, persepsi dan motivasi.
Menurut Smet (1994), variabel demografi berpengaruh terhadap kepatuhan. Sebagai contoh secara geografi penduduk Amerika lebih cenderung taat mengikuti anjuran atau peraturan di bidang kesehatan. Data demografi yang mempengaruhi
ketaatan misalnya jenis kelamin wanita, ras kulit putih, orang tua dan anak-anak terbukti memiliki tingkat kepatuhan yang tinggi. Latar belakang pendidikan juga akan mempengaruhi perilaku seseorang dalam melaksanakan etos kerja. Semakin tinggi
pendidikan seseorang, kepatuhan dalam pelaksanaan aturan kerja akan semakin baik. Kemampuan adalah kapasitas seorang individu untuk mengerjakan berbagai tugas
dalam pekerjaan yang pada hakekatnya terdiri dari kemampuan intelektual dan kemampuan fisik. Dimensi kecerdasan telah dijumpai sebagai peramal dari kinerja, kemampuan intelektual mempunyai peran yang besar dalam pekerjaan yang rumit,
Faktor eksternal yang mempengaruhi kepatuhan terdiri atas pola komunikasi,
keyakinan/nilai-nilai yang diterima tenaga kesehatan dan dukungan sosial. Pola komunikasi dengan profesi lain yang dilakukan oleh tenaga kesehatan akan
mempengaruhi tingkat kepatuhannya dalam melaksanakan tindakan. Beberapa aspek dalam komunikasi ini yang berpengaruh pada kepatuhan tenaga kesehatan adalah ketidakpuasan terhadap hubungan emosional, ketidakpuasan terhadap pendelegasian
maupun kolaborasi yang diberikan serta dukungan dalam pelaksanaan program pengobatan (Arwani, 2002). Smet (1994) mengatakan bahwa keyakinan-keyakinan
tentang kesehatan atau perawatan dalam sistem pelayanan kesehatan mempengaruhi kepatuhan tenaga kesehatan dalam melaksanakan peran dan fungsinya. Sedangkan dukungan sosial menurut Smet (1994) berpengaruh terhadap kepatuhan seseorang.
Variabel-variabel sosial mempengaruhi kepatuhan tenaga kesehatan. Dukungan sosial memainkan peran terutama yang berasal dari komunitas internal petugas kesehatan, pasien maupun dukungan dari pimpinan atau manajer pelayanan kesehatan.
Menurut Nurhayati (1997) dalam Gusti (2001) faktor yang mempengaruhi kepatuhan petugas kesehatan adalah adanya kebutuhan untuk mempunyai rasa perlu
taat. Hal ini biasanya dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan pengetahuan yang mendasarinya atau terjadi karena adanya ancaman terhadap dirinya, misalnya takut terinfeksi atau juga karena takut dosa. Petugas kesehatan akan taat jika ada yang
dijadikan figur dari pimpinan atau teman sekerjanya, juga karena adanya pedoman yang jelas dalam melaksanakan sesuatu, kelengkapan alat, sarana dan kemudahan
faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan petugas kesehatan meliputi masa kerja,
pelatihan, pengetahuan, sikap, motivasi, pengawasan serta sarana.
Menurut Kelman (1958) dalam Sarwono (1997) dijelaskan bahwa perubahan
sikap dan perilaku individu diawali dengan proses patuh, identifikasi dan tahap terakhir berupa internalisasi. Pada awalnya individu mematuhi anjuran/instruksi tanpa kerelaan untuk melakukan tindakan tersebut dan seringkali karena ingin menghindari
hukuman/sanksi jika dia tidak patuh atau untuk memperoleh imbalan yang dijanjikan jika dia mematuhi anjuran tersebut. Tahap ini disebut tahap kepatuhan (compliance).
Biasanya perubahan yang terjadi pada tahap ini sifatnya sementara, artinya bahwa tindakan itu dilakukan selama masih ada pengawasan. Tetapi begitu pengawasan itu mengendur/hilang, perilaku itupun ditinggalkan.
Kepatuhan individu yang berdasarkan rasa terpaksa atau ketidakpahaman tentang pentingnya perilaku yang baru, dapat disusul dengan kepatuhan yang berbeda jenisnya, yaitu kepatuhan demi menjaga hubungan baik dengan tokoh yang
menganjurkan perubahan tersebut (change agent). Perubahan perilaku individu baru dapat menjadi optimal jika perubahan tersebut terjadi melalui proses internalisasi
dimana perilaku yang baru itu dianggap bernilai positif bagi diri individu itu sendiri dan diintegrasikan dengan nilai-nilai lain dari hidupnya. Kepatuhan merupakan bagian dari perilaku individu yang bersangkutan untuk mentaati atau mematuhi
Pengukuran kepatuhan dapat dilakukan menggunakan kuesioner yaitu dengan
cara mengumpulkan data yang diperlukan untuk mengukur indikator-indikator yang telah dipilih. Indikator tersebut sangat diperlukan sebagai ukuran tidak langsung
mengenai standar dan penyimpangan yang diukur melalui sejumlah tolak ukur atau ambang batas yang digunakan oleh organisasi merupakan penunjuk derajat kepatuhan terhadap standar tersebut. Jadi, suatu indikator merupakan suatu variabel
(karakteristik) terukur yang dapat digunakan untuk menentukan derajat kepatuhan terhadap standar atau pencapaian tujuan mutu. Di samping itu indikator juga memiliki
karakteristik yang sama dengan standar, misalnya karakteristik itu harus reliabel, valid, jelas, mudah diterapkan, sesuai dengan kenyataan dan juga dapat diukur (Al-Assaf, 2003).
Kepatuhan para tenaga medis atau paramedis dalam memberikan pelayanan mengacu kepada standar dan prosedur sangat mempengaruhi mutu pelayanan kesehatan terhadap pasien. Pelayanan kesehatan yang baik dimulai dengan
meningkatnya kepatuhan terhadap standar pelayanan medis. Jika petugas kesehatan mematuhi dan mengikuti standar pelayanan kesehatan yang terbaik, diharapkan
pasien akan mempunyai kesempatan yang lebih banyak untuk sembuh, artinya kesakitan dan kematian akan menurun (Wijono, 1997). Donabedian dalam Wijono (1997) menyatakan bahwa hasil pekerjaan (outcome) secara tidak langsung dapat
digunakan sebagai pendekatan untuk menilai pelayanan medis. Diawali dengan tersedianya input atau struktur yang bermutu dalam pelayanan kesehatan dan adanya
pelayanan yang baik, diharapkan hasil pekerjaan (outcome) pelayanan medis yang
bermutu.
Depkes RI (2000) menyatakan bahwa tahapan prosedur pelayanan kesehatan
gigi dan mulut antara lain :
1. Persiapan petugas (dokter gigi atau perawat gigi menggunakan lab jas, masker, dan sarung tangan).
2. Anamnesa dilakukan dengan lengkap dan jelas tentang identitas pasien, keluhan utama dan riwayat kesehatan pasien (tentang penyakit jantung, hipertensi, alergi,
dan lain-lain).
3. Pemeriksaan ekstraoral dan intraoral. 4. Menentukan diagnosa.
5. Persiapan tindakan meliputi rencana perawatan atau pengobatan, informed consent dan sterilisasi alat.
6. Tindakan medik gigi, misalnya konservasi gigi (tambal sementara atau tambal
tetap), pencabutan gigi (gigi susu atau gigi tetap), pembersihan karang gigi (supragingiva atau subgingiva), pengobatan abses dan lain-lain.
2.7Prosedur Kerja di RSGMP FKG USU
2.7.1 Prosedur Kerja di Departemen Periodonsia
Prosedur kerja dalam melakukan perawatan pembersihan karang gigi (skeling)
di Departemen Periodonsia, yaitu : 1. Persiapan alat dan bahan, yaitu :
a. Sterilisasi meja & lampu dental unit dengan alkohol/dettol.
b. Sterilisasi peralatan yang akan dipakai. c. Meja dental unit dialasi dengan handuk putih.
d. Alat diagnostik dan penskeleran diletakkan pada instrument tray. e. Menyediakan tempat kapas bersih dan kapas kotor.
f. Menyediakan gelas kumur pasien (gelas kumur disposable).
g. Menyediakan alas dada pasien.
h. Alat yang digunakan yaitu kaca mulut, pinset, sonde, probe periodontal, skeler, kuret periodontal, articulating paper, cermin dan neirbeken/tray.
2. Meminta tanda tangan dokter jaga pada buku masuk pasien.
3. Mengisi rekam medis, meliputi : identitas pasien, apel gigi, anamnesis (keluhan
utama, riwayat perawatan gigi dan kebiasaan buruk), pemeriksaan periodonsium (pemeriksaan objektif dan indeks kalkulus), pemeriksaan gigi geligi, menegakkan diagnosis dan terapi.
4. Melapor untuk melakukan motivasi (menggunakan cermin).
5. Melapor untuk melakukan edukasi (menggunakan alat peraga pantom dan sikat
6. Melapor untuk melakukan instruksi (menggunakan sikat gigi dan dilakukan di
depan cermin washtafel).
7. Melapor untuk melakukan penskeleran.
8. Kelengkapan pra perawatan :
a. Operator menggunakan masker, sarung tangan dan jas lab. b. Pasien menggunakan alas dada.
9. Pasien berkumur dengan chlorheksidin. 10.Melakukan penskeleran.
11.Memeriksa hasil penskeleran secara visual dengan probe periodontal. 12.Melapor pada dokter jaga bahwa penskeleran telah selesai.
13.Pemeriksaan hasil penskeleran oleh dokter jaga.
14.Irigasi dengan povidone iodine.
15.Pemolesan dengan bahan poles, rubber cup dan brush polish yang dipasang pada mikromotor.
16.Instruksi pasca perawatan.
17.Meminta tanda tangan dokter jaga untuk memulangkan pasien.
18.Sterilisasi meja dan lampu dental unit dengan alkohol/dettol. 2.7.2 Prosedur Kerja di Departemen Ilmu Penyakit Mulut
Prosedur kerja dalam melakukan perawatan Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR)
di Departemen Ilmu Penyakit Mulut, yaitu : 1. Kelengkapan pra perawatan :
b. Pasien menggunakan alas dada.
2. Persiapan alat dan bahan yaitu kaca mulut, pinset, sonde, kassa steril, kapas, anastetik topikal (topikal/sistemik), steroid (topikal/sistemik), analgetik,
antiseptik dan multivitamin. 3. Sterilisasi alat.
4. Mengisi rekam medis, meliputi : identitas pasien, anamnesis (analisis gejala dan
analisis etiologi), riwayat penyakit sistemik, pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan intra oral, pemeriksaan laboratorium (penunjang), diagnosis banding,
menegakkan diagnosis dan terapi.
5. Melakukan perawatan dengan memberikan obat topikal. 6. Pemberian resep.
7. Memberikan instruksi. 8. Kontrol 1 minggu kemudian.
2.7.3 Prosedur Kerja di Departemen Bedah Mulut Maksilofasial
Prosedur kerja dalam melakukan perawatan pencabutan gigi posterior rahang bawah di Departemen Bedah Mulut Maksilofasial, yaitu :
1. Kelengkapan pra perawatan :
a. Operator menggunakan masker, sarung tangan dan jas lab. b. Pasien menggunakan alas dada.
glass), karpul untuk anastesi lokal, needle dan alat pencabut gigi (tang dan
elevator sesuaigigi yang diekstraksi).
3. Persiapan bahan yaitu tampon steril, antiseptik desinfektan, anastesi lokal dan
analgetik/antibiotik (bila perlu).
4. Mengisi rekam medis, meliputi : identitas pasien, apel gigi, pemeriksaan subjektif, pemeriksaan objektif, sonderen, perkusi, menegakkan diagnosis dan
terapi.
5. Persetujuan lisan dari pasien dan atau keluarganya.
6. Pemeriksaan tekanan darah.
7. Aplikasi betadine di daerah trigonum retromolar dan bukal gigi yang akan dicabut.
8. Injeksi blok teknik Fisher dan infiltrasi di bagian bukal gigi yang akan dicabut. 9. Pencabutan gigi.
10.Pemeriksaan kelengkapan gigi (mahkota dan jumlah akar), soket (dari jaringan
granuloma).
11.Penekanan pada luka bekas pencabutan.
12.Aplikasi tampon yang mengandung betadine pada luka bekas pencabutan. 13.Instruksi pasca pencabutan.
14.Pemberian resep analgetik dan antibiotik (bila perlu).
2.7.4 Prosedur Kerja di Departemen Prostodonsia
Prosedur kerja dalam melakukan pencetakan anatomis dalam pembuatan gigi
1. Kelengkapan pra perawatan :
a. Operator menggunakan masker, sarung tangan dan jas lab. b. Pasien menggunakan alas dada.
2. Persiapan alat dan bahan, yaitu : kaca mulut, sonde, pinset, sendok cetak anatomis rahang atas dan rahang bawah, rubbel bowl, spatula, alginate dan dental stone. 3. Mengisi rekam medis, meliputi : identitas pasien, anamnesis, pemeriksaan umum
(penyakit sistemik/penyakit infeksi, kebiasaan jelek, riwayat pemakaian gigi tiruan dan sikap mental pasien), pemeriksaan lokal (ekstra oral, intra oral,
pemeriksaan gigi penyangga dan pemeriksaan rontgen foto), menegakkan diagnosis dan membuat rencana perawatan.
4. Sendok cetak dicoba ke dalam mulut pasien.
5. Sendok cetak diisi dengan alginate.
6. Memasukkan sendok cetak ke dalam mulut pasien. 7. Setelah mengeras, cetakan dilepas dari mulut pasien.
8. Hasil cetakan yang baik meliputi seluruh gigi, prosessus alveolaris, perlekatan otot, cetakan rahang atas mencakup hamular notch dan tuberositas maxillaris dan
cetakan rahang bawah mencakup retromolar pad dan sulkus lingualis, cetakan halus, tidak poreus dan dasar sendok cetak tidak terlihat.
9. Melapor ke dokter jaga untuk menunjukkan hasil pencetakan anatomis.
2.7.5 Prosedur Kerja di Departemen Ortodonsia
Prosedur kerja dalam melakukan perawatan kontrol pasien pesawat lepasan di Departemen Ortodonsia, yaitu :
1. Kelengkapan pra perawatan :
a. Operator menggunakan masker, sarung tangan dan jas lab. b. Pasien menggunakan alas dada.
2. Persiapan alat, yaitu : kaca mulut, sonde, pinset, tang lurus, tang bulat, tang trifus, tang bertingkat, mikromotor, bur, model gigi dan status pasien.
3. Melapor ke dokter jaga untuk memasukkan pasien. 4. Memasukkan pasien ke ruang klinik.
5. Melapor ke bagian administrasi departemen.
6. Melakukan kontrol terhadap pesawat lepasan pasien. 7. Instruksi pasca perawatan.
8. Melapor ke dokter jaga untuk menunjukkan hasil perawatan.
9. Membersihkan dental unit. 10.Melakukan pembayaran
11.Meminta tanda tangan dokter jaga.
2.7.6 Prosedur Kerja di Departemen Konservasi Gigi
Prosedur kerja dalam melakukan perawatan restorasi Klas I Resin Komposit
di Departemen Konservasi Gigi, yaitu : 1. Kelengkapan pra perawatan :
b. Pasien menggunakan alas dada.
2. Persiapan alat dan bahan yaitu kaca mulut, sonde lurus, sonde setengah lingkaran, pinset, ekskavator, instrument plastis, burnisher, semen stopper, ball applicator/kuas, macam-macam mata bur diamond highspeed, bur polish, cotton
roll, saliva ejector, articulating paper, neirbeken/tray, tempat kotoran, contra angle high speed atau low speed, alat light cure, bahan etsa, bahan bonding dan
resin komposit.
3. Mengisi rekam medis, meliputi : identitas pasien, riwayat kesehatan umum,
riwayat kesehatan gigi umum, anamnesis, pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan intra oral, apel gigi, pemeriksaan klinis, pemeriksaan subjektif, pemeriksaan objektif, pemeriksaan penunjang, menegakkan diagnosis dan rencana perawatan.
4. Sterilisasi alat. 5. Informed consent. 6. Preparasi kavitas.
7. Cuci dengan water syringe dan keringkan dengan air syringe. 8. Isolasi daerah kerja dengan cotton roll dan saliva ejector.
9. Aplikasi bahan etsa dengan kuas selama 15 detik.
10.Cuci permukaan yang dietsa dengan water syringe dan keringkan dengan air syringe.
11.Isolasi daerah kerja dengan cotton roll dan saliva ejector.
12.Aplikasi resin bonding dengan kuas + light cure selama 20 detik.
14.Adaptasi bahan RK dengan dinding kavitas menggunakan burnisher/semen
stopper.
15.Light cure selama 20-30 detik.
16.Konturing dengan carbide bur atau diamond bur. 17.Pemeriksaan dengan articulating paper.
18.Polishing.
2.7.7 Prosedur Kerja di Departemen Ilmu Kedokteran Gigi Anak
Prosedur kerja dalam melakukan perawatan pencabutan gigi sulung di
Departemen Ilmu Kedokteran Gigi Anak, yaitu : 1. Kelengkapan pra perawatan :
a. Persiapan alat dan bahan (alat harus steril).
b. Alat diletakkan di dalam tray.
c. Meja unit dialas dengan handuk putih.
d. Menggunakan jas lab, masker dan kemudian sarung tangan.
e. Bekerja dengan four handed dentistry.
2. Mengisi rekam medis meliputi : identitas pasien, keadaan umum, riwayat pre dan
post natal, riwayat medis dan pengalaman tentang kesehatan gigi, keluhan utama dan riwayatnya (lokasi, waktu, intensitas, durasi, penyebab dan perawatan yang sudah dilakukan), pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan intra oral, menghitung
skor plak, pemeriksaan radiologis, menegakkan diagnosis dan rencana perawatan. 3. Mengatur posisi kepala pasien.
5. Mengaplikasikan bahan povidone iodine pada mukosa regio yang akan dicabut.
6. Anaestesi lokal pada mukosa regio yang akan dicabut. 7. Melakukan tes dengan sonde.
8. Melakukan ekstraksi. 9. Membersihkan soket gigi.
10.Memberikan tampon dengan povidone iodine.
11.Memberikan instruksi pasca pencabutan.
2.7.8 Prosedur Kerja di Departemen Ilmu Kedokteran Gigi Pencegahan/Kesehatan Gigi Masyarakat
Prosedur kerja dalam melakukan perawatan Topikal Aplikasi Fluor (TAF) di
Departemen Ilmu Kedokteran Gigi Pencegahan/Kesehatan Gigi Masyarakat, yaitu : 1. Kelengkapan pra perawatan :
a. Operator menggunakan masker, sarung tangan dan jas lab.
b. Pasien menggunakan alas dada. 2. Persiapan alat dan bahan.
3. Pasien duduk di kursi gigi.
4. Melapor ke dokter jaga untuk melakukan skeling. 5. Melakukan pembersihan karang gigi (skeling).
6. Melapor ke dokter jaga untuk menunjukkan hasil pembersihan karang gigi (skeling).
8. Melakukan profilaksis dengan bubuk pumice dan air menggunakan bur kecepatan
rendah.
9. Melapor ke dokter jaga untuk melakukan topikal aplikasi.
10.Isolasi gigi.
11.Melakukan aplikasi fluor. 12.Gigi dibiarkan selama 3 menit.
13.Instruksi pasca perawatan.
2.8Landasan Teori
Mutu pelayanan hanya dapat diketahui apabila telah dilakukan
penilaian-penilaian, baik terhadap tingkat kesempurnaan, sifat, wujud, ciri-ciri pelayanan kesehatan dan kepatuhan terhadap standar pelayanan. Kegiatan penilaian dilakukan dengan menilai kinerja yang ada dan membandingkan dengan standar yang sudah
disepakati (Aditama, 2002).
Menurut Gibson (2006) terdapat 3 faktor yang mempengaruhi kepatuhan dan
perilaku tenaga kesehatan, yaitu faktor individu (kemampuan dan keterampilan, latar belakang keluarga, pengalaman tingkat sosial dan demografi), faktor psikologis (persepsi, sikap, kepribadian, belajar dan motivasi serta kepuasan kerja) dan faktor
organisasi (struktur organisasi, desain pekerjaan, kepemimpinan dan sistem penghargaan).
Gambar 2.2 Faktor yang Memengaruhi Kepatuhan dan Perilaku Sumber : Gibson (2006)
Smet (1994) mengatakan bahwa kepatuhan dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang mempengaruhi kepatuhan dapat berupa
karakteristik tenaga kesehatan itu sendiri, meliputi variabel demografi (umur, jenis kelamin, ras, suku bangsa dan tingkat pendidikan), kemampuan, persepsi dan
motivasi. Sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhi kepatuhan terdiri atas pola komunikasi, keyakinan / nilai-nilai yang diterima tenaga kesehatan dan dukungan sosial.
Menurut Nurhayati (1997) dalam Gusti (2001) faktor yang mempengaruhi kepatuhan petugas kesehatan adalah adanya kebutuhan untuk mempunyai rasa perlu
yang jelas dalam melaksanakan sesuatu, kelengkapan alat, sarana dan kemudahan
dalam melakukan pekerjaannya. Menurut penelitian Dewi Marlina (2010), faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan petugas kesehatan meliputi masa kerja,
pelatihan, pengetahuan, sikap, motivasi, pengawasan serta sarana.
2.9Kerangka Konsep
Kerangka konsep penelitian dibuat dengan mereduksi beberapa teori yang telah di
uraikan dalam tinjauan pustaka, mengingat adanya keterbatasan waktu, tenaga dan
biaya. Oleh karena itu hanya beberapa variabel yang diteliti dalam penelitian ini yang dapat dilihat pada bagan di bawah ini :
Variabel Bebas Variabel Terikat
Gambar 2.3 Kerangka Konsep