• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS YURIDIS EMPIRIS TERHADAP KEDUDU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ANALISIS YURIDIS EMPIRIS TERHADAP KEDUDU"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara hukum,

dengan landasan pandangan hidup berdasarkan Pancasila sebagai falsafah

negara. Pancasila merupakan ideologi bangsa Indonesia, setelah Indonesia

merdeka pada tanggal 17 Agustus Tahun 1945. Negara Indonesia

merupakan sebuah negara yang berbentuk Republik yang berdasarkan

Undang-Undang Dasar 1945 sebagai dasar hukum Negara Kesatuan

Republik Indonesia.

Karakteristik bangsa Indonesia yang terdiri dari bermacam ragam

bahasa, budaya, dan adat istiadat dalam masyarakat maka

bermacam-ragam pula kaidah-kaidah, norma-norma yang hidup dan tumbuh serta

berkembang dalam setiap masyarakatnya. Di setiap masyarakat yang

terdapat dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, memiliki

hukum adatnya masing-masing, yang berbeda antara satu dengan yang

lainnya sebagai norma pengatur dalam kehidupan bermasyarakat.

Negara Indonesia adalah negara hukum. Penegasan negara

Indonesia sebagai hukum ini sangat jelas dicantumkan dalam

Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyebutkan bahwa :

“Negara Indonesia adalah negara hukum”, dengan landasan pandangan

(2)

UUD 1945 dengan tegas mengakui keberadan masyarakat hukum

adat beserta hak-hak tradisionalnya sebagaimana disebutkan pada Pasal

18B(2)UUD 1945 yang berbunyi :“Negara mengakui dan menghormati

kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adatbeserta hak-hak tradisionalnya

sepanjang masih hidup dan sesuai denganperkembangan masyarakat dan

prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia,yang diatur dalam

undang-undang”.

Hukum adat adalah hukum tidak tertulis, dia hidup, tumbuh dan

berkembang dalam setiap kelompok masyarakat sebagai aturan hidup

masyarakat yang dipelihara dan ditaati oleh setiap kelompok masyarakat.

Hukum adat itu berbeda beda antara kelompok masyarakat yang satu

dengan kelompok masyarakat yang lainnya dan selalu dipertahankan

kemurniannya yang merupakan warisan turun-menurun. Contohnya dalam

masyarakat hukum adat Aceh, dimana kedudukan adat selalu

dikedepankan bahkan sampai saat ini, hukum adat Aceh selalu hidup dan

berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat yang bersangkutan.

Bushar Muhammad dengan mengacu pada pendapat Soekanto,

mengemukakan kompleks adat inilah yang kebanyakan tidak dikitabkan,

tidak dikodifisi (ongecodificeeerd) dan bersifat paksaan (dwang)

mempunyai sanksi, jadi mempunyai akibat hukum (rechtsgevolg),

komplek ini disebut hukum adat (adatrecht). Jadi maksud Soekanto ialah

(3)

dalam masyarakat berupa kesusilaan, kebiasaan dan kelaziman yang

mempunyai akibat hukum.1

Lawrence M. Friedman, menyatakan bahwa sistem hukum

didalamnya terkandung gagasan-gagasan, prinsip-prinsip, aturan-aturan

ataupun prosedur yang timbul dari berbagai sumber (resources) seperti

politik, ideologi, ekonomi maupun budaya hukum. Bekerjanya suatu

sistem sesungguhnya adalah suatu proses interaksi dimana terjadi saling

pengaruh dan mempengaruhi antara struktur, substansi dan kultur hukum2.

Sistem hukum adalah bagian dari sistem kontrol sosial. Dalam arti

yang paling luas, sistem kontrol ini merupakan fungsi dari sistem hukum;

semua sistem yang lainnya kurang lebih menjadi sekunder atau berada di

bawahnya. Dengan kata lain sistem hukum berkaiatan dengan perilaku

yang mengontrol. Sistem hukum semacam polisi lalu lintas resmi. Sistem

hukum memerintahkan orang apa yang harus atau jangan dilakukan dan

sistem hukum itu menjunjung perintah-perintahnya dengan paksa3.

Friedrich Carl von Savigny, dalam teorinya “hukum jiwa rakyat”,

mengkontruksikan teorinya tentang hukum. Menurut Savigny, terdapat

hubungan organik antara hukum dengan watak atau karakter suatu bangsa.

Hukum hanyalah cerminan dari volkgeist. Oleh karena itu, “hukum adat”

yang tumbuh dan berkembang dalam rahim volkgeist, harus dipandang

sebagai hukum kehidupan yang sejati. Hukum sejati itu tidak dibuatia

1 Bushar Muhammad, Asas-Asas Hukum Adat, Suatu Pengantar, Jakarta, Pradnya Paramita, 1994, Cet. 9, hal. 11.

2 FX. Joko Priyono, Fungsi Pendekatan Sistem Sebagai Landasan Metodologis Bagi Ilmu Hukum, http//epriets.undip.ac.id/20204/1/2473-ki-fh.2002.pdf, diakses 30 Januari 2012.

(4)

harus ditemukan. Legislasi hanya penting selama ia memiliki sifat

deklaratif terhadap hukum sejati itu4.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dipahami bahwa

keberadaan hukum dalam sistem hukum Indonesia memiliki kedudukan

yang khusus dan istimewa. Sebab pengakuan UUD 1945 terhadap

masyarakat hukum adat merupakan inti dari Pancasila. Dikatakan

demikian karena Pancasila merupakan perwujudan nilai-nilai dan

norma-norma yang hidup dalam masyarakat hukum adat Indonesia keseluruhan.

Berkenaan di Aceh, kedudukan hukum adat dalam masyarakat adat

Aceh sangat jelas terlihat sampai saat ini, dimana hukum selalu

dipertahankan eksistensinya. Dengan dikeluarkannya Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, semakin memperkuat

kedudukan hukum adat Aceh dalam sistem hukum nasional. Berlakunya

UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, merupakan amanat

dari UUD 1945, sehingga mempertegaskan kembali keberadaan

qanun-qanun Aceh yakni Qanun Aceh Nomor 4 Tahun 2003 tentang

Pemerintahan Mukim, Qanun Aceh Nomor 5 Tahun 2003 tentang

Pemerintahan Gampong, Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2004 tentang

Pembentukan Susunan Organisasi DanTata Kerja Majlis Adat Aceh,

Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat

dan Istiadat, dan Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga

Adat. Dengan kata lain keberadaan hukum adat dalam sistem peraturan

(5)

perundang-undangan Indonesia semakin kuat kedudukannya, dan tidak

bisa dihapuskan dari dulu, sekarang bahkan sampai hari esok. Dengan

adanya pengakuan terhadap hukum adat dalam konstitusi Indonesia

diharapkan dapat membawa nilai positif bagi pembentukan hukum

nasional.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian latar belakang yang telah disebutkan di atas,

sesuai dengan judul yang telah ditetapkan dalam penelitian ini adalah

Analisis Yuridis Normatif Empiris Terhadap Kedudukan Hukum Adat Dalam Sistem Hukum Indonesia Khususnya Di Aceh, maka penelitian diharapkan dapat menggambarkan bagaimanakah kedudukan hukum adat

dalam sistem hukum Indonesia khususnya di Aceh. Selanjutnya penelitian

juga diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi pembaharuan hukum

nasional. Oleh karena itu sesuai dengan judul yang telah peneliti pilih, maka

yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah kedudukan hukum adat dalam sistem peraturan

perundang-undangan Indonesia?

2. Bagaimanakah peranan hukum adat dalam masyarakat adat Aceh?

3. Apakah yang menjadi hambatan dalam penegakan hukum adat?

(6)

Berdasarkan rumusan masalah yang telah disebutkan di atas, maka

yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui bagaimanakah kedudukan hukum adat dalam

sistem peraturan perundang-undangan Indonesia

2. Untuk mengetahui bagaimanakah kedudukan hukum adat Aceh dalam

masyarakat adat Aceh?

3. Untuk mengetahui apakah yang menjadi hambatan dalam penegakan

hukum adat?

D. Manfaat Penelitian

1. Segi Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dibidang

ilmu hukum adat dan dapat mengetahui bagaimanakah kedudukan

hukum adat dalam sistem peraturan perundang-undangan Indonesia

sehingga dapat memberikan sumbangan atau bahan dalam rangka

pembentukan sistem hukum nasional.

2. Segi Praktis

Penelitian ini diharapakan dapat memberikan manfaat dalam bidang

ilmu pengetahuan khususnya dibidang hukum, dan dapat mengetahui

(7)

BAB II

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP HUKUM ADAT

A. Pengertian dan Istilah Hukum Adat

Hukum adat adalah seperangkat norma dan aturan adat/kebiasaan

yang berlaku disuatu wilayah5. Hukum adat adalah sistem hukum yang

dikenal dalam lingkungan kehidupan sosial di Indonesia dan

negara-negara Asia lainnya seperti jepang, india dan tiongkok. Sumbernya adalah

peraturan-peratuan hukum tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang

serta dipertahanakan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Karena

peraturan-peraturan ini tidak tertulis dan tumbuh serta kembanng, maka

hukum adat memiliki kemampuan menyesuaikan diri dan elastis6.

Istilah hukum adat pertama kali diperkanalkan secara ilmiah oleh

C. Snouck Hurgronje, dalam bukunua “De Atjehers”. Menyebutkan istilah

hukum adat sebagai “adat recht” (bahasa belanda) yaitu untuk memberi

nama pada suatu sistem pengendalian sosial (social control) yang hidup

dalam masyarakat Indonesia. Pada dasarnya penegak hukum adat adalah

pemuka adat sebagai pemimpin yang sangat disegani dan besar

pengaruhnya dalam lingkungan masyarakat adat untuk menjaga keutuhan

hidup sejahtera.

Adat adalah merupakan pencerminan daripada kepribadian sesuatu

bangsa, merupakan salah satu penjelmaan daripada jiwa bangsa yang

5 Andarini Saptika, Ensiklopedia, Kewarganegaraan, jilid 4, Multazam Mulia Utama, 2010, hal 8.

(8)

bersangkutan. Dan adat bangsa Indonesia yang “Bhineka Tunggal Ika” ini

tidak mati melainkan selalu berkembang, senantiasa bergerak serta

berdasarkan keharusan selalu dalam keadaan evolusi mengikut proses

perkembangan peradaban bangsanya. Adat istiadat yang hidup dan

berkembang serta yang berhubungan denga tradisi inilah yang merupakan

sumber yang mengagumkan bagi hukum adat kita7.

Hukum adat adalah terjemahan dari istilah bahasa belanda

“Adatrech”, yang pertama kali dipakai oleh Snouck Hourgronje8. Untuk

menyatakan hukum adat, istilah yang dipakai adalah bermacam-macam.

Misalnya, istilah dalam peraturan perundang-undangan adalah :

a. Dalam A.B. (Algemene Bepalingen van Wetgeving = “Ketentuan-ketentuan Umum Perundang-undangan”) Pasal 11 dipakai istilah : “Godsdienstige Wetten, Volksinstellingen en Grebuken”. (peraturan-peraturan Keagamaan, Lembaga-lembaga Rakyat dan Kebiasaan-kebiasaan).

b. Dalam R.R. 1854 Pasal 75 ayat 3 : :Godsdientige Wetten, in stellengen en Gebruiken”. (Peraturan-peraturan Keagamaan, Lembaga-lembaga dan Kebiasaan-kebiasaan).

c. Dalam I.S. (Indische Staatsregeling = peraturaan hukum Negara Belanda semacam Undang-Undang Dasar bagi Hindia Belanda) Pasal 128 ayat 4 : “Instelingen des Volks” (Lembaga-lembaga dari Rakyat).

d. Dalam I.S. Pasal 131 ayat 2, sub. B : “Met Hunne Godsdiensten en Gewoonten Samenhangende Rechts Regelen”. (Aturan-aturan Hukum yang Berhubungan dengan Agama-agama dan Kebiasaan-kebiasaan Mereka).

e. Dalam R.R. 1854 Pasal 78 ayat 2 : “Godssdienstige Wetten en Oude Herskomsten” (Peraturan-peraturan Keagamaan dan Naluri-naluri)9.

7 Surojo Wignjodipuro, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, Alumni, Bandung, 1973, hal, 1.

8 Sunarjati Hartono, Kapita Selekta Perbandingan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991, hal, 118.

(9)

Pada dasarnya, sumber hukum terdiri dari hukum tertulis dan

sumber hukum tidak tertulis. Zevenbergen menyebutkan sumber hukum

merupakan sumber terjadinya hukum yang secara konvensional dapat

dibagi menjadi sumber hukum materil dan sumber hukum formil.

Utrecht,menyebutkan sumber hukum materil yaitu perasaan hukum

(keyakinan hukum) indinvidu dan pendapat umum (public opinion) yang

menjadi diterminan materil membentuk hukum, menentukan isi hukum

sedangkan hukum formal yaitu menjedi determinan formil membentuk

hukum dan menentukan berlakunya hukum yang terdiri dari,

undang-undang, kebiasaan dan adat yang dipertahankan dalam keputusan yang

berkuasa dalam masyarakat, traktat, yurisprudensi dan pendapat ahli

hukum yang terkenal (doktrina)10.

B. Dasar Yuridis Berlakunya Hukum Adat

Pada bab sebelumnya telah diuraikan bahwa Negara Indonesia

adalah negara hukum. Sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 ayat (3)

UUD 1945, artinya negara Indonesia salah satu negara yang berlandaskan

pada Pancasila sebagai falsafah bangsa dan negara11. Nilai-nilai yang

terkandung dalam Pancasila merupakan perwujudan dari nilai-nilai

budaya, dana dat istiadat bangsa Indonesia. Setiap nilai dari sila-sila

Pancasila adalah mengandung nilai inti dari penyelenggraan sistem

pemerintahan di Indoensia untuk mewujudkan sistem pemerintahan yang

10 Lilik Mulyadi, Makalah, “Eksistensi Hukum Pidana Adat Di Indonesia Pengkajian Asas, Teori, Norma Praktik Dan Prosedurnya”, Laporan Penelitian ,Puslitbang Kumdil Mahkamah Agung RI, 2010, Jakarta hal, 366.

(10)

berdasarkan atas hukum agar terciptanya suatu keadilan dan kesejahteraan

bagi seluruh rakyat Indonesia, karena terwujudnya keadilan adalah satu

tujuan atau cita hukum dari Pancasila.

Mengenai keberadaan hukum adat dalam sistem hukum Indonesia,

juga sangat tegas dicantumkan dalam UUD 1945, yaitu pada Pasal 18B

ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi : “Negara mengakui dan menghormati

kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adatbeserta hak-hak tradisionalnya

sepanjang masih hidup dan sesuai denganperkembangan masyarakat dan

prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia,yang diatur dalam

undang-undang”12.

C. Kedudukan Hukum Adat dalam Sistem Hukum Nasional

Pengakuan terhadap otonomi masyarakat hukum adat telah pula

mendapatkan penegasannya di dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, yaitu

negara mengakui dan menghormati kesatuan kesatuan masyarakat hukum

adat beserta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai

dengan perkembangan masyarakat. dan prinsip Negara Kesatuan Republik

Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Di dalam UUPA No. 5

Tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria, Pasal 3 juga

disebutkan bahwa “Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1

dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat

hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya. Masih ada, harus

sedemikian rupa sehingga sesuai dengan nasional dan Negara, yang

(11)

berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan

peraturan perundang-undangan dan peraturan-peraturan lain yang lebih

tinggi”.

Keberadaan hukum dalam setiap produk hukum nasional,

meskipun tidak dijelaskan secara jelas, namun pengakuan terhadap hukum

adat dalam pasal-pasal peraturan perundang-undangan hampir semua

tersirat mengenai pengakuan terhadap hukum adat. Namun setelah

amandemen kedudukan hukum adat dalam sistem hukum nasional telah

mempunyai tempat yang sangat tinggi dalam konstitusi Negara Kesatuan

Republik Indoensia. Dibawah ini merupakan dasar hukum berlakunya

hukum adat dan bukti pengakuan perundang-undangan mengenai

kedudukan hukum adat dalam sistem hukum nasional yaitu :

1. Undang-Undang Dasar 1945; 2. UUDS 1950;

3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agrari;

4. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Poko Kekuasaan Kehakiman;

5. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; 6. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan;

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999;

7. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh;

8. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua;

9. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi; 10. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air; 11. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan;

12. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan; yang diubah dengan UNdang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan; 13. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

(12)

Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 32 Tahun 32 tentang Pemerintahan Daerah;

14. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh;dan 15. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Menurut Hamid Sarong, dalam materi kuliahnya di Pascasarjana

Universitas Syiah Kuala, hukum adat itu berkembang sesuai dengan

perkembangan masyarakat, dan tidak memiliki kebuntuan. Hukum adat itu

terus-menerus dan berjalan terus dan selalu hidup dalam masyarakat sesuai

dengan kehendak dan kebiasaan masyarakat sesuai dengan adat

masyarakat itu sendiri13.

Untuk dapat memenuhi kebutuhan hukum bagi masyarakat

Indonesia di masa kini dan di masa akan dating di dalam rangka

membangun masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan UUD 1945,

maka untuk penyusunan hukum nasional di perlukan adanya konsepsi

konsepsi dan asas asas hukum yang berasal dari hukum adat. Hukum adat

merupakan salah saatu faktor terpenting untuk memperoleh bahan bahan

baagi pembangunan hukum nasional menuju kearah univiksi hukum yang

terutama akan dilaksanakan melalui pembuatan peraturan

perundang-undangan14.

Namun, pengakuan terhadap keberadaan masyarakat hukum adat

juga mendapat pengakuan yang tegas sebagai hak asasi manusia,

13 Hamid Sarong, Dosen Fakultas Hukum Pascasarjana Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, dalam materi kuliahnya Kapita Selekta Hukum Adat di Pascasarjana Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, 5 Juli 2011.

(13)

sebagaimana termuat dalam Pasal 6 ayat (1) dan (2) Undang-Undag

Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyebtkan :

(1) Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan pemerintah;

(2) Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat, selaras dengan perkembangan zaman66.

Berdasarkan uraian singkat di atas tentang keberadaan dan peranan

hukum adat di Indonesia sejak zaman penjajah sampai Indonesia merdeka,

hingga sekarang membuktikan bahwa hukum adat di Indonesia meskipun

sempat terpinggirkan, namun faktanya di dalam masyarakat adat Indonesia

nilai-nilai, adat istiadatnya tidak bisa dihilangkan begitu saja. Andaikata

peraturan perundang-undangan menghapusannya percuma saja, malahan

hukum perundang-undangan akan kehilangan sumber kekayaannya, karena

hukum adat itu akan dalam keadaan terus-menerus hidup dalam

masyarakatnya.

Keberadaan hukum adat yang tak dapat dipisahkan dari jiwa

bangsa Indonesia ini, merupakan salah satu faktor terpenting dalam

pembangunan hukum nasional di Indonesia. Karena disadari bahwa

bangsa Indonesia merupakan bangsa yang memiliki pandangan hidupnya

yang sesuai dengan adat budaya yang ada pada masyarakat tertentu, dan

(14)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Tipe Penelitian

Suatu penelitian yang baik akan membawa hasil yang baik apa bila

dapat memberikan gambaran dan jawaban terhadap permasalahan yang

diangkat, mengenai hal ini Soerjono Soekanto berpendapat bahwa : “Suatu

penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang

didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang

bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu

dengan menganalisisnya15.

Metode Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

penelitian yuridis normatif dan empiris. Penelitian ini juga disebut dengan

istilah pendekatan/penelitian doktrinal atau dikenal pula penelitian hukum

normatif. Tahap penelitian yuridis normatif melalui studi kepustakaan

(penelaalahan terhadap literatur).

Digunakan pendekatan penelitian yuridis normatif dan empiris

untuk menjawab semua permasalahan yang telah diangkat maka penelitian

ini juga dilakukan pendekatan/penelitian empiris, dengan menelliti

keberlakuan hukum itu dari aspek kenyataan. Pendekatan ini dikenal

dengan penelitian hukum yang empirik atau penelitian hukum sosiologis.

Hal ini diperlukan dengan pertimbangan bahwa efektif tidaknya berlaku

(15)

suatu aturan hukum sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti

perubahan pemikiran masyarakat16. B. Jenis dan Pendekatan Penelitian

Metode Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

penelitian yuridis normatif dan empiris. Penelitian ini juga disebut dengan

istilah pendekatan/penelitian doktrinal atau dikenal pula penelitian hukum

normatif. Tahap penelitian yuridis normatif melalui studi kepustakaan

(penelaalahan terhadap literatur).

Digunakan pendekatan penelitian yuridis normatif dan empiris

untuk menjawab semua permasalahan yang telah diangkat maka penelitian

ini juga dilakukan pendekatan/penelitian empiris, dengan menelliti

keberlakuan hukum itu dari aspek kenyataan. Pendekatan ini dikenal

dengan penelitian hukum yang empirik atau penelitian hukum sosiologis.

Hal ini diperlukan dengan pertimbangan bahwa efektif tidaknya berlaku

suatu aturan hukum sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti

perubahan pemikiran masyarakat17. C. Lokasi dan Populasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam Wilayah Masyarakat Hukum Adat

Aceh, Kabupaten Nagan Raya, Provinsi Aceh. Sebagai sampel penelitian

dari wilayah tersebut, maka penelitian ini dilakukan di Kecamatan

16 Pedoman Penulisan Tesis, Program Studi Magister Ilmu Hukum, Program Pascasarjana Universitas Syiah Kuala, 2010, hal, 15-16.

(16)

Beutong Kabupaten Nagan Raya. Dan sampel penelitian tersebut dapat

dilihat pada tabel di bawah ini :

a. Sampel Penelitian

Sampel penelitian ditentukan secara pusrposif sampling, dimana dari

keseluruhan pupolusi dipilih beberapa responden dan informan yang

mengatahui tentang masalah yang diteliti dan dapat mewakili keseluruhan

populasi yang ada di wilayah tersebut. Adapun sampel penelitian

dimaksud terdiri dari responden dan informan yaitu :

1. Informan :

a. Ketua Majlis Adat Kabupaten Nagan Raya;

b. Imuem Mukim terdiri 1 orang;

c. Keuchik Gampong terdiri dari 1 orang;

2. Responden :

a. Tuha Pheuet Gampoeng terdiri dari 1 orang;

b. Imuem Meunasah terdiri dari 1 orang;

D. Sumber dan Teknik Pengumpulan Data

Sumber data yang diperoleh adalah dengan cara melakukan

penelitian kepustakaan (library resecrh) untuk mendapatkan konsepsi teori

atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dari bahan-bahan berupa

peraturan perundang undangan dan karya ilmiah yang berhubungan

dengan masalah yang diteliti. Dilakukan penelitian lapangan (field resecrh)

guna untuk mendapatkan penjelasan yang berkenaan dengan sanksi adat

(17)

penelitian lapangan akan dipadukan untuk menjawab semua permasalahan

yang telah peneliti tetapkan dalam penulisan ini. Guna penelitian lapangan

untuk mendukung atau pelengkap dalam penelitian kepustakaan dalam

menjawab semua permasalahan penelitian.

Sumber data dalam penelitian ini diperoleh dengan terlebih dahulu

melakukan studi kepustakaan dan data penelitian lapangan yang meliputi :

a. Bahan Hukum Primer :

1. Undang-Undang Dasar 1945;

2. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan

Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh;

3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan

Aceh;

4. Qanun Nomor Aceh 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim;

5. Qanun Nomor Aceh 5 Tahun 2003 tentang Pemerintahan

Gampoeng;

6. Qanun Nomor Aceh 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan

Adat dan Istiadat;

7. Qanun Nomor Aceh 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat;

8. Keputusan Bersama Gubenur Aceh, Kepala Kepolisian Daerah

Aceh dan Ketua Majlis Adat Aceh, No. 1054/MAA/XII/2011,

tentang Penyelenggaraan Peradilan Adat Gampong dan Mukim

(18)

b. Bahan hukum skunder adalah bahan yang memberikan penjelasan

mengenai hukum primer seperti hasil penelitian, hasil karya dari

kalangan pakar hukum serta bahan dokumen-dokumen lainnya yang

berkaitan dengan kajian yang ditelilti.

c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum penunjang yang

memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer

dan hukum skunder yaitu kamus umum, kamus hukum,

majalah/jurnal atau surat kabar sepanjang mengenai informasi yang

relevan dengan materi penelitian.18

d. Teknik pengumpulan data lapangan, yaitu penelitian lapangan yang

dimaksud untuk memperoleh data primer, dengan teknik melakukan

wawancara yang mendalam dengan informan dan responden yang

telah peneliti tetapkan. Wawancara dengan informan dan responden

tersebut dimaksudkan untuk mengetahui dan mendapatkan

penjelasan yang kongkrit terhadap permasalahan penellitian.

E. Analisis Data

Setelah data penelitian kepustakaan dan data penelitian lapangan

yang diperoleh melalui wawancara terkumpulkan, dan kemudian data

dikelompokkan atas data yang sejenis dan data akan dianalisis yang

sifatnya kualitatif ditafsirkan secara yuridis, sosiologis, sistematis dengan

menggunakan metode induktif dan deduktif.

(19)

Penelitian ini dengan menggunakan metode induktif dan deduktif

ini, maka akan diperoleh persesuaian tentang bagaimana Penerapan Sanksi

Adat Dalam Penyelesaian Perkara Pidana, yang dikaji secara normatif.

Dari hasil pembahasan dan analisis ini diharapkan akan diperoleh

kesimpulan yang memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti.

Dengan demikian dapat diketahui bekerjanya hukum dari aspek kenyataan,

dan diharapkan penelitian dapat memberikan sumbangan bagi

(20)

BAB IV

KEDUDUKAN HUKUM ADAT DALAM MASYARAKAT ADAT ACEH

A. Eksistensi Hukum Adat Dalam Masyarakat Adat Aceh

Hukum adat merupakan nilai-nilai yang hidup dan berkembang di

dalam masyarakat suatu daerah. Walaupun sebagian besar Hukum Adat

tidak tertulis, namun ia mempunyai daya ikat yang kuat dalam masyarakat.

Hukum Adat yang hidup dalam masyarakat ini khususnya bagi masyarakat

adat Aceh yang masih kental budaya aslinya akan sangat terasa. Penerapan

hukum adat dalam kehidupan sehari-hari juga sering diterapkan oleh

masyarakat adat Aceh.

Konstitusi kita sebelum amandemen tidak secara tegas

menunjukkan kepada kita pengakuan dan pemakaian istilah hukum adat.

Namun bila ditelaah, maka dapat disimpulkan ada sesungguhnya

rumusan-rumusan yang ada di dalamnya mengandung nilai luhur dan jiwa hukum

adat. Pembukaan UUD 1945, yang memuat pandangan hidup Pancasila,

hal ini mencerminkan kepribadian bangsa, yang hidup dalam nilai-nilai,

pola pikir dan hukum adat. Pasal 29 ayat (1) Negara berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa, Pasal 33 ayat (1) Perekonomian disusun

sebagai usaha bersama berdasarkan azas kekeluargaan.

Namun setelah amandemen konstitusi, hukum adat diakui

sebagaimana dinyatakan dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasal 18B

(21)

kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak

tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan

masyarakat dan prinsip negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur

dalam undang-undang”.

Penegakakan hukum adat sebenarnya, sudah sejak zaman dahulu

berlaku di Indonesia, dan di Aceh dasar berlakunya hukum adat terdapat

dalam berbagai peraturan perundang-undangan dan qanun-qanun yang

menyatakan keberlakuan hukum adat di Aceh. Eksistensi hukum adat di

Indonesia sampai sekarang masih tetap dipertahankandan ditaati oleh

masyarakat. Hal ini karena masyarakat Indonesia pada umumnya hidup di

dalam masyarakat yang majemuk, dan memiliki kearifan lokalnya

masing-masing. Hukum adat di Indonesia khususnya di Aceh merupakan hukum

dasar bagi masyarakat Aceh, dan keberadaan hukum adat ditengah-tengah

masyarakat betul-betul dapat dirasakan rasa keadilan bagi masyarakat, ini

disebabkan karena hukum adat pada prinsipnya damai, tentram, rukun dan

kekeluargaan19.

Berkaitan dalam konteks Aceh, dimaksudkan dengan daerah

otonom yang memiliki otonomi daerah adalah Pemerintah Daerah Aceh,

Pemerintah Daerah Kabupaten/kota, Pemerintah Mukim, dan Pemerintah

Gampong sebagai suatu pemerintahan otonom khas dan masyarakat

hukum adat di Aceh senyatanya sejak dari zaman dahulu telah menguasai

(22)

sumberdaya alam didalam jangkauannya. Penegasan UUD 1945 terhadap

hukum adat jelas termuat pada Pasal 18B ayat (1), dan ayat (2) UUD 1945.

Berkenaan dengan Aceh, pengakuan terhadap hukum adat telah

mendapatkan pengakuan yang berdasarkan Undang-Undang Nomor 44

Tahun 1999, tentang Penyelengaraan Keistimewaan Propinsi Daerah

Istimewa Aceh, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang

Pemerintahan Aceh, Qanun Aceh Nomor 4 Tahun 2003 tentang

Pemerintahaan Mukim dalam Provinsi Naggroe Aceh Darussalam,Qanun

Aceh Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Gampoeng, Qanun Aceh

Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat dan Qanun Aceh Nomor 3

Tahun 2009 tentang Tata Cara Pemilihan Imeum Mukim, dan Qanun Aceh

Nomor Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan

Istiadat. Maka keberadaan mukim kembali diakui dalam sistem hukum

pemerintahan Indonesia, Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2004 tentang

Pembentukan, Susunan Organisasi, Dan Tata Kerja Majlis Adat Aceh, dan

Keputusan Bersama Gubenur Aceh, Kepala Kepolisian Daerah Aceh dan

Ketua Majlis Adat Aceh, No. 1054/MAA/XII/2011, tentang

Penyelenggaraan Peradilan Adat Gampong dan Mukim atau Nama Lain di

Aceh.

Keberlakuan hukum adat dan pengakuan undang-undang terhadap

hukum adat merupakan salah satu faktor dimana hukum adat itu tidak

dapat dihilangkan dalam diri masyarakat Aceh, yang sudah menyatu

(23)

dalam keadaan tumbuh dan berkembang seperti hidup itu

sendiri.20Selanjutnya, hadih maja penting dalam kehidupan masyarakat

Aceh yang telah menjadi pegangan umum, dan tak bisa dipisahkan dalam

diri masyarakat Aceh yaitu “Adat Bak Po Teumeureuhom; HukomBak

Syiah Kuala; Qanun Bak Putro Phang; Reusam Bak Laksamana”, (Adat

dari Sultan, Hukum dari Ulama, Qanun dari Putri Pahang, Reusam dari

Laksamana)21.

Pada prinsipnya hakikat dari kesadaran hukum sebenarnya

merupakan inti dari pada sistem budaya suatu masyarakat, sehingga ada

yang berpendapat sistem budaya merupakan suatu sistem normatif.

Kesadaran hukum itulah yang menimbulkan pelbagai sistem norma, oleh

karena inti dari kesadaran hukum adalah hasrat yang kuat untuk senantiasa

hidup secara teratur22.

Pada hakikatnya eksistensi hukum adat di indonesia khususnya di

Aceh, adalah dari dulu sampai sekarang tidak pernah hilang dalam

masyarakat adat indonesia khususnya di Aceh. Hal ini membuktikan

bahwa kedudukan hukum adat di indonesia merupakan hukum bangsa asli

indonesia yang selalu dipertahankan oleh masyarakat yang bersangkutan.

Andaikata hukum nasional menghapus hukum adat, maka hukum nasional

akan kehilangan sumber dayanya dan hukum adat tidak akan pernah mati,

20 Ibid, hlm 109-110.

21 Hadih maja, di atas merupakan pepatah leluhur yang menjadi pegangan bagi masyarakata adat Aceh dari generasi ke generasi yang sampai saat ini masih dijaga dan dipertahankan oleh masyarakat adat Aceh.

(24)

karena hukum adat adalah pangkal dari segala sumber hukum indonesia,

yang menjelma dalam Pancasila.

Hukum adat adalah aturan hukum tidak tertulis ia hidup, tumbuh

dan berkembang dalam masyarakat adat dan akan tetap hidup selama

masyarakatnya masih memenuhi hukum adat yang telah diwariskan

kepada mereka dari para nenek moyang sebelum mereka. Oleh karena itu,

keberadaan hukum adat dan kedudukannya dalam tata hukum nasional

tidak dapat dipungkiri walaupun hukum adat tidak tertulis dan tidak

berdasarkan asas legalitas adalah hukum yang tidak sah. Hukum adat akan

selalu ada dan hidup di dalam masyarakat indonesia khususnya di Aceh

sebagai warisan leluhur dari generasi ke generasi.

B. Kedudukan Hukum Adat Dalam Masyarakat Adat Aceh

Hukum adat pada dasarnya sama dengan hukum lainnya ia hidup,

tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat tertentu. Hukum adat

merupakan panutan dan pedoman sepak terjang anggota masyarakat dalam

praktek sehari-hari. Sifat dan bentuknya bernuansa tradisional atau turun

temurun dan tidak tertulis serta bersumber dari adat istiadat atau kebiasaan

mareka sendiri.

Hukum adat yang berlaku di seluruh Indonesia khususnya aceh.

Merupakan sikap dan tata tertib kehidupan orang aceh, yang tentunya

berbeda adat istiadatnya dengan hukum adat yang berada di wilayah

(25)

konstitusi, artinya hukum adat yang berlaku di Aceh telah mendapatkan

pengakuan dari UUD 1945.

Hukum adat merupakan metoda atau alternatif yang sangat efektif

bagi masyarakat Aceh. Hal ini ada tiga penyebab utama dipergunakannya

cara non-ligitasi dalam penyelesaian sengketa yakni dengan cara

perdamaian. Pertama,di Indonesia khususnya di Aceh tata cara

penyelesaian sengketa damai telah lama dipraktekkan oleh masyarakat

adat Aceh secara turun-temurun, dengan menempatkan pemangku adat

sebagai hakim atau penengah dalam memberi putusan adat bagi sengketa

di antara warga. Kedua, adanya ketidakpuasaan atas penyelesaian perkara

melalui pengadilan formal, yang disebabkan selain ongkos perkara dan

prosesnya penyelesaiannya yang berlarut-larut. Ketiga, pada masyarakat

Indonesia khususnya Aceh terdapat kecenderungan menyelesaikan

sengketa dengan cara adatsebagai sarana penyelesaian sengketa hukum

yang sangat tepat karena silaturahmi terbina kembali baik dalam aspek

perdata maupun aspek pidana23.

Khusus di Aceh, bahwa telah membuktikan hukum adat sampai

sekarang masih sangat dipertahankandengan lahirnya Keputusan Bersama

antara Gubernur Aceh, Kepala Kepolisian Daerah Aceh dan Ketua Majlis

Adat Aceh, No. 1054/MAA/XII/2011tentang Penyelenggaraan Peradilan

Adat Gampong dan Mukim atau nama lain di Aceh. Sebagaimana

(26)

disebutkan pada bagian ke-satu, ke-dua, dan ke-enam yang mengatakan

bahwa :

a. Bagian Kesatu : Sengketa/perselisihan yang terjadi ditingkat Gampong dan Mukim yang bersifat ringan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Pasal 14, dan Pasal 15 Qanun Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat wajib diselesaikan terlebih dahulu melalui Peradilan Adat Gampong dan Mukim atau Nama Lain di Aceh;

b. Bagian Kedua : Aparat Kepolisian memberikan kesempatan agar setiap sengketa/perselisihan sebagaimana dimaksud dalam diktum kesatu untuk diselesaikan terlebih dahulu melalui peradilan AdatGampongdan Mukim atau nama lain di Aceh;

c. Bagian Keenan : Putusan peradilan Adat Gampong dan Mukimatau nama lain di Aceh bersifat final dan mengikat serta tidak dapat diajukan lagi pada peradilan umum atau peradilan lainnya24.

Penggunaan jasa hukum adat dalam masyarakat adat Aceh

merupakan praktek hukum yang sesuai dengan prinsip keadilan bagi para

pihak, dan tidak menimbulkan rasa dendam, sehingga kedudukan hukum

adat di Aceh dari dulu sampai sekarang masih sangat eksis

ditengah-tengah masyarakat Aceh, karena penggunaan hukum dalam pembinaan

silaturhami dalam masyarakat inti dari jiwa bangsa Aceh, sebagaimana

disebutkan dalam hadih maja : “Yang Ceukoe Tapeujeureuneh, Yang Tabeu

Tapeumameh”. Hadih maja ini bermakna bahwa perspektif masyarakata

adat Aceh, selalu mengupayakan perdamaian dan dalam menyelesaikan

konflik masyarakat tersebut yng hendak diwujudkan adalah permasahan

yang sudah ada harus terselesaikan secara rukun dan damai serta

permasalahan yang sudah ada tersebut diupayakan agar terwujud rasa

(27)

aman dan tentram kembali dalam masyarakat sehingga tidak menyebar

terus-menerus.

Realitas kehidupan masyarakat Aceh di gampong-gampong tetap

berada dalam lingkungan adat dan adat istiadat, meskipun ada

gesekan-gesekan pengaruh global. Mereka tetap memelihara tatanan kehidupan

bermasyarakatnya dalam ikatan kebersamaan, yang berprinsip pada

ketenangan, kerukunan dan kedamaian sebagai pola kehidupan sejahtera,

lebih-lebih disaat terjadinya sengketa yang bersifat delik-delik hukum.

Mereka tidak ingin terusik dengan oleh yang satu terhadap yang lain,

sehingga setiap persoalan yang mengganggu kehidupannya dapat

diselesaikan melalui musyawarah/mufakat dan perdamaian. Mereka ingin

hidup dalam keseimbangan (equilibrium) antara sesamanya. Prinsip

sengketa mereka adalah terwujudnya “perdamaian”. Dengan demikian

dapat diperoleh kembali “kerukunan dan keseimbangan”25.

Berdasarkan uraian di atas, mengenai kedudukan hukum adat

dalam masyarakat adat Aceh, dari dulu sampai sekarang masih sangat

eksis dan tetap dipertahankan oleh masyarakat Aceh. Kedudukan hukum

adat dalam sistem hukum nasional semakin kuat kedudukannya dengan

ada pengakuan dalam UUD 1945. Sehubungan di Aceh, keberadaan

hukum adat semakin kuat sebagaimana telah dikeluarkannya UU No. 44

Tahun 1999 tentang Penyelengaraan Keistimewaan Propinsi Daerah

Istimewa Aceh, dan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

(28)

C. Faktor Pendukung dan Penghambat Penegakan Hukum Adat

sesuai dengan jiwa rakyat dan hukum nasional bukan merupakan hukum

yang hidup dalam masyarakat dan tidak dipandang sebagai hukum yang

memiliki rasa keadilan, hukum adat lebih baik dari pada hukum pidana

yang merupakan peninggalan kolonial belanda.

Keputusan hukum adat adalah prinsip damai, rukun dan tenteram.

Dalam kaitannya dengan penerapan hukum adat dan kenapa hukum adat

tetap dipertahankan. Badruzzaman Ismail, menjelaskan beberapa faktor

pendukung kenapa tetap dipertahankannya hukum adat dalam masyarakat

adat Aceh antara lain sebagai berikut27 :

1. Kondisi praktek dilapangan, hukum tidak puas dengan hukum nasional;

2. Bagi masyarakat, hukum adat adalah masuknya kembali kedalam ruhnya masyarakat yaitu damai;

3. Prosedur tidak panjang dan nilai nilai kebersamaan bisa dibangun kembali.

4. Hukum adat memudahkan dan menjalin hubungan persaudaraan kembali dan kalau hukum positif menyulitkan masalah dan menyimpan rasa dendam;

26 Hadih Maja, yang merupakan pepatah leluhur yang sampai saat ini masih dipertahankan oleh masyarakat adat Aceh dari generasi ke generasi. Hadih maja ini adalah pondasi kuat bagi masyarakat Aceh dalam mempertahankan nilai-nilai religius dan nilai-nilai sosial, sehingga keberadaan hukum adat sejalan dengan jiwa bangsa Aceh karena hukum adat dipandang sesuai dengan prinsip Syariat Islam.

(29)

5. Hukum adat bersih dan damai;

6. Dipertahankan hukum adat karena pemberi putusan hukum adat berasal dari lingkungan masyarakat;

7. Ekonomi, waktu dan silaturrahmi terbina kembali; 8. Tersentuh dan tidak mengenal kalah dan menang;

9. Hukum adat tidak melenceng dari agama Islam, dan mengiringi hukum oleh hukum agama;

10. Kekeluargaan dan tidak ada rasa dendam;

11. Aparat kepolisian mendukung usaha keputusan hukum adat dari aparat gampong;

12. Dengan hukum adat selesai semua permasalahan; dan

13. Dengan hukum adat tidak mendapat hukuman kurungan/penjara yang merugikan pihak yang dihukum28.

Dalam pandangan masyarakat adat Aceh, hukum adat adalah

hukum yang sesuai dengan pandangan hidup rakyat Aceh. Antara hukum

adat dengan hukum Islam tidak ada pertentangan dan sangat erat

hubungannya, apa yang diputuskan dalam hukum adat merupakan

semata-mata demi kerukunan dan keadilan, sehingga masyarakat tidak merasa

kaidah-kaidah yang mengandung nilai keadilan sehingga keberadaan

hukum adat bagi masyarakat Aceh merupakan sumber untuk terciptanya

kerukunan dalam masyarakat, sebab hukum adat di gali dari nilai religius

dan nilai-nilai kearifan lokal yang diyakini kebenarannya.

28 Ibid, hlm, 210.

(30)

c. Faktor Penghambat Penegakan Hukum Adat

Sejauh ini Mustafa Hamzah, mengatakan hukum adat itu sangat

cocok karena dalam mewujudkan niai keadilan karena sesuai dengan

prinsip keadilan dan nilai-nilai yang terkandung dalam masyarakat.

Namun kelemahan dalam membangun hukum adat itu justru terletak pada

diri kita sendiri yang tidak mau tahu tentang hukum adat itu sendiri,

sedangkan pengukuhannya sudah ada dan diakui keberadaan hukum adat

itu sendiri, khususnya di Aceh sekarang baik dalam peraturan

perundang-undangan maupun dalam qanun-qanun Aceh30.

Berdasarkan hasil penelitian yang sudah dilakukan maka, dapat

kita pahami bahwa hukum adat merupakan hukum yang didambakan oleh

masyarakat. Masyarakat memilih hukum adat sebagai salah satu hukum

dalam mengatur bagaimana cara untuk hidup damai, rukun dan tenteram.

Namun dalam penegakan hukum adat sekarang, masyarakat masih ada

yang kurang paham dan kurang peduli terhadap keberadaan hukum adat

ditengah-tengah masyarakat.

Kendala-kendala dalam penegakan hukum adat di Aceh

sebagaimana pengakuan dari para pemangku adat yang ada di

gampong-gampong. dengan mengukutip dalam tesis Airi Safrijal, para pemangku

adat selama ini dalam hal penegakan hukum adat sudah sangat baik dan

sangat cocok dalam masyarakat, tetapi masih terdapat kendala-kendala

dalam penegakan hukum adat tersebut, dan masalah yang dihadapi dalam

(31)

pembangunan hukum adat disebabkan oleh beberapa faktor yang

diantaranya sebagai berikut :

a. Ketidak pahaman orang/masyarakat terhadap hukum adat;

b. Pemahaman dibirokrat yang sudah punah dari nilai nilai jiwa bangsa;

c. Para intelektual keluar dari nilainya, ini artinya banyak intelektual kita sudah melupakan budayanya sendiri dan mengambil nilai budaya orang lain dengan melupakan nilai budaya kita sendiri; d. Para pemangku adat/tuha peuet kurang memahami tugas

pokok/fungsinya sehingga susah dalam penegakan hukum adat; e. Tidak adanya dana pelatihan pilot projek kesemua gampong; f. Para pemangku adat bukan orang-orang yang mengerti tentang

hukum adat;

g. Adanya kelompok tertentu yang tidak mau menerima putusan hukum adat;

h. Pihak yang terkena hukuman tidak mau menerima putusan adat karena menganggap dirinya benar31.

Menurut Ali Akbar32, pelaksanaan hukum adat yang sekarang

berlaku di Aceh sebenarnya sudah baik tetapi masih terdapat kendala,

dalam hal penegakan hukum adat Aceh, ini disebatkan karena kurang

perhatian dari pemerintah, dan pihak pemangku adat dalam menjalankan

tugasnya masih ada yang kurang memahi terhadap hukum adat itu sendiri,

ini disebabkan para pemangku di gampong-gampong merupakan

orang-orang yang masih muda dan kurang memahami apa hukum adat itu, ini

jelas bahwa dalam penegakan dan pembangunan hukum adat di Aceh

untuk kedepan tidak akan berjalan secara maksimal.

Jailani Ibrahim, mengatakan bahwa harapannya agar pemerintah

mau mengusulkan dana ke DPRD/K untuk menplotkan dana

pelatihan-31 Airi Safrijal, Op. Cit. Hasil wawancara yang mendalam dengan para tokoh adat di gampong-gampong, dalam Kecamatan Beutong Kabupaten Nagan Raya, pada tanggal 10-25 Februari 2012. Hlm, 186-187.

(32)

pelatihan terhadap pemangku-pemangku adat yang ada di

gampong-gampong. Selama ini pihak Majlis Adat Aceh Kabupaten Nagan Raya dan

aparat Kepolisian atau Trainer Kapolres Kabupaten Nagan Raya, sudah

membrikan pelatihan-pelatihan dengan terjun langsung kelapangan untuk

memantapkan para pemangku adat di gampong-gampong dengan cara

memberi pemahaman terhadap hukum adat, tetapi pelatihan tersebut

sangat terbatas, karena tidak ada tersedianya dana untuk melakukan

pelatihan-pelatihan selanjutnya. Menurutnya untuk memantapkan para

pemangku adat di gampong-gampong atau ditingkat mukim, maka perlu

perhatian yang serius dari pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat,

sehingga hukum adat itu dapat terwujud sebagaimana mestinya33.

Menurut hemat penulis, penggunaan hukum adat dalam masyarakat

adat di Indonesia khususnya di Aceh baik dari zaman dahulu sampai

sekarang merupakan bukan hal yang baru lagi. Keberadaan hukum adat

ditengah-tengah masyarakat merupakan hukum yang bersumber pada

tingkahaku masyarakat indonesia asli, yang mengatur bagaimana tata cara

berkehidupan dengan baik di dalam masyarakat.

Penegakan hukum adat di indonesia khususnya di Aceh sekarang

sudah mendapatkan kedudukan yang sangat tinggi karena telah

mendapatkan pengakuan dalam UUD 1945. Khususnya di aceh penegakan

hukum adat saat ini sudah sesuai dengan harapan dan cita-cita hukum yang

berlandaskan pada Pancasila. Berdasarkan peraturan perundang-undangan

yang telah berlaku tidak ada alasan bagi pemerintah dan para pembuat

(33)

undang-undang untuk mengenyamping hukum adat, karena hukum adat

merupakan sumber pembaharuan hukum nasional dengan memperhatikan

unsur-unsur dan prinsip-prinsip yang terkandung di dalam hukum adat

demi tegaknya keadilan, dan efektifitas hukum. Kearifan lokal merupakan

cerminan terwujudnya suatu hukum yang baik di Indonesia khususnya

hukum nasional.

(34)

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan yang telah diuraian di atas

sebagaimana telah dirumuskan dalam permasalahan dalam bab-bab penulisan

karya ilmiah ini, maka penulis dapat menarik beberapa kesimpulan dan saran

diantaranya sebagai berikut :

A. Kesimpulan

1. Pada hakikatnya dari dulu sampai sekarang dalam masyarakat adat

Indonesia khususnya di Aceh masih tetap dipertahankan, karena

hukum adat di Aceh sesuai dengan prinsip Syariat Islam, dan berasal

dari tingkahlaku bangsa Indonesia asli yang sesuai dengan harapan dan

cita-cita hukum Pancasila.

2. Kendala yang dihadapi dalam penegakan hukum adat di Aceh adalah

kurangnya perhatian yang serius dari pemerintah dalam menegakkan

hukum adat, dan tingkat pemehaman para tokoh-tokoh adat terhadap

hukum adat masih kurang peduli, padahal kedudukan hukum adat

sudah jelas kedudukannya baik di dalam undang-undang maupun di

dalam Qanun-qanun Aceh.

3. Hukum adat, dalam masyarakat Aceh, lagee zat deungoen sifeuet,

(seperti zat dengan sifatnya) tidak bisa dipisahkan, dan hukum adat

dalam masyarakat Aceh merupakan hukum yang tidak bertentangan

dengan agama Islam, dan hukum Islam mengirinya hukum adat. Bagi

masyarakat Aceh hukum adat ibarat suloeh/lampu/penerang, sebagai

(35)

B. Saran

1. Demi terciptanya keadilan dan tegaknya hukum adat serta demi

terwujudnya pembangunan hukum nasional maka perlu perhatian yang

khusus dari pihak pemerintah, dan seluruh lapisan masyarakat.

Diharapkan kepada pemerintah agar dapat mengusulkan dana kepada

DPRD/K, guna untuk dana pelatihan bagi pemangku adat baik

ditingkat gampong-gampong maupun tingkat mukim, supaya aparat

penegak hukum adat memahami tentang hukum adat secara mantap.

2. Disarankan bahwa, demi tegaknya rasa keadilan bagi masyarakat

diharapkan penegakan hukum adat di Indonesia khususnya di Aceh

betul-betul dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan

karena hukum adat di Indonesia dan di Aceh telah mendapatkan

pengakuan dari UUD 1945..

3. Untuk pembangunan hukum adat di Indonesia khususnya di Aceh,

maka pemerintah dalam merumuskan undang-undang khususnya RUU

nasional, harus memperhatikan nila-nilai yang hidup dalam

masyarakat, karena nilai-nilai, norma-norma, dan kaidah-kaidah yang

hidup dalam masyarakat merupakan sumber hukum dalam

(36)

DAFTAR PUSTAKA

Bushar Muhammad, Asas-Asas Hukum Adat, Suatu Pengantar, Jakarta, Pradnya Paramita, 1994.

Hilma Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2003.

Iman Sudiyat, Asas-Asas Hukum Adat,Liberty Yogyakarta, 1981.

Lilik Mulyadi, Makalah, “Eksistensi Hukum Pidana Adat Di Indonesia Pengkajian Asas, Teori, Norma Praktik Dan Prosedurnya”, Laporan Penelitian ,Puslitbang Kumdil Mahkamah Agung RI, 2010.

Lawrence M. Friendman, American Law an Introduction Second Edition, Hukum Amerika Sebuah Pengantar, Penerjemah Wishnu Basuki, Tatanusa, Jakarta, 2001.

Satjipto Rahardjo, Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010.

Surojo Wignjodipuro, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, Alumni, Bandung, 1973.

Sunarjati Hartono, Kapita Selekta Perbandingan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991.

Soerjono Soekanto, Pengantar Penellitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1981.

(37)

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995.

B. Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar 1945.

Undang-UndangNomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi DaerahIstimewa Aceh.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Qanun Aceh Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim

Qanun Aceh Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Gampong.

Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Istiadat.

Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat;

Keputusan Bersama Gubenur Aceh, Kepala Kepolisian Daerah Aceh dan Ketua Majlis Adat Aceh, No. 1054/MAA/XII/2011, tentang Penyelenggaraan Peradilan Adat Gampong dan Mukim atau Nama Lain di-Aceh.

C. Internet

Referensi

Dokumen terkait

Sehingga tujuan dari penelitian ini adalah (1) untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan pembiayaan-pembiayaan bermasalah di KSPPS Bina Insan Mandiri, (2) untuk

Jika ingin dicantumkan dalam daftar permintaan surat suara tahunan, Anda akan menerima formulir untuk memperbarui permintaan surat suara setiap tahun.. Setelah formulir Anda

(2) Dalam hal Industri Pengguna tidak melakukan pencatatan dan pemisahan bahan baku sisa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenakan sanksi administratif sesuai dengan Peraturan

Pada gambar 4.5 yang merupakan gambaran permukaan bentonit termodifikasi EDTA yang dianalisa pada perbesaran 1.000, 5.000, 10.000 dan 20.000, pada gambar 4.5 (a) dapat dilihat

merupakan tindak pidana diselesaikan melalui dewan pers, namun pelanggaran kode etik yang merupakan tindak pidana diselesaikan melalui jalur hukum..

Revitalisasi Pasar Inpres di Kawasan Transit Oriented Development (TOD), Jakarta Selatan 57  Dengan perkembangan teknologi transportasi dan komunikasi yang pesat, maka

Setiap mantan anggota Dewan Direksi dan pejabat eksekutif Bank atau pihak yang memiliki hubungan dengan Bank yang dapat mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak

tidak hedonis, dan semakin negatif konsep diri maka gaya hidup remaja semakin