BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Respon
2.1.1 Pengertian Respon
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata respon memiliki definisi
sebagai tanggapan, reaksi ataupun jawaban. Respon menurut Darl Beum berarti
tingkah laku balasan atau sikap yang menjadi tingkah laku adu kuat (Wirawan,
2000 : 96). Respon juga merupakan kesan-kesan yang mendalam yang dialami
jika perangsang sudah tidak ada (Kartono, 2003 : 57).
Dalam ilmu psikologi, para psikolog menggunakan istilah respon untuk
menamakan reaksi terhadap rangsangan yang diterima oleh panca indera, dan
biasanya diwujudkan dalam bentuk perilaku yang dimunculkan setelah dilakukan
oleh perangsangan. Teori Behaviorisme menggunakan istilah respon yang
dipasangkan dengan rangsangan dalam menjelaskan proses terbentuknya perilaku.
Berdasarkan beberapa definisi tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa
respon merupakan tanggapan atas rangsangan yang diterima oleh panca indera.
Kemudian diikuti oleh reaksi yang diwujudkan dalam tindakan atau bentuk
perilaku terhadap rangsangan yang diterima tersebut.
2.1.2 Proses Terjadinya Respon
Terdapat beberapa gejala terjadinya respon berawal dari pengamatan
1. Pengamatan, yaitu kesan-kesan yang diterima sewaktu perangsang
mengenai indera dan perangsangnya masih ada. Pengamatan ini
merupakan bagian dari kesadaran dan pikiran yang merupakan abstraksi
yang dikeluarkan dari arus kesadaran.
2. Bayangan pengiring, yaitu bayangan yang timbul setelah kita melihat
sesuatu warna. Bayangan pengiring itu terbagi menjadi dua macam, yaitu
bayangan pengiring positif yakni bayangan pengiring yang sama dengan
objeknya, serta bayangan pengiring negatif adalah bayangan pengiring
yang tidak sama dengan warna objeknya.
3. Bayangan editik, yaitu bayangan yang sangat jelas dan hidup sehingga
menyerupai pengamatan. Respon, yaitu bayangan yang menjadi kesan
yang dihasilakn dari pengamatan. Respon diperoleh dari penginderaan dan
pengamatan.
Jadi respon terjadi melalui beberapa proses yaitu pertama-tama indera
mengamati objek tertentu, setelah itu muncul bayangan pengiring yang
berlangsung sangat singkat sesaat sesudah perangsang berlalu. Setelah bayangan
perangsang muncul kemudian bayangan editis, bayangan ini sifatnya lebih tahan
lama, lebih jelas dari bayangan perangsang. Lalu setelah itu muncul tanggapan
dan kemudian pengertian (http://repository.usu.ac.id/ diakses pada tanggal 20
April 2015 pukul 17:37 WIB).
2.1.3 Indikator Respon
Dalam penelitian ini, respon akan diukur melalui tiga aspek yaitu persepsi,
cara seseorang melihat sesuatu sedangkan dalam arti luas ialah pandangan atau
pengertian yaitu bagaimana seseorang memandang atau mengartikan sesuatu.
Menurut Morgan, King, dan Robingson persepsi menunjukan bagaimana kita
melihat, mendengar, merasakan, mencium dunia sekitar, yang dengan kata lain
persepsi dapat juga didefinisikan sebagai gejala suatu yang dialami oleh manusia.
Persepsi merupakan keseluruhan proses mulai dari stimulus (rangsangan)
yang diterima panca indera (disebut juga sensasi), kemudian stimulus diantar ke
otak dimana dikodekan serta diartikan dan selanjutnya mengakibatkan
pengalaman yang disadari. Jadi persepsi merupakan suatu proses (Maramis, 2006 :
15-16).
Sikap pada dasarnya adalah rasa suka/tidak suka kita terhadap sesuatu.
Sikap penting sekali karena memengaruhi tindakan. Perilaku seseorang juga
sering ditentukan oleh sikap mereka. Thursnoe mengatakan, sikap adalah derajat
efek positif dan negatif yang dikaitkan dengna objek psikologis. Objek psikologis
yang dimaksud adalah lambang-lambang, kalimat, semboyan, institusi, pekerjaan,
atau profesi, dan ide yang dapat dibedakn dalam perasan positif atau negatif
(Azwar, 2007 : 25).
Pengukuran sikap dapat diketahui melalui :
a. Pengaruh atau penolakan.
b. Penilaian.
c. Suka atau tidak suka.
d. Kepositifan atau kenegatifan suatu objek psikologi (Mueller, 1996 : 4).
Selain persepsi dan sikap, partisipasi juga menjadi hal yang sangat penting
dalam proses yang ada dalam masyarakat, pemilihan dan pengambilan tentang
alternatif solusi untuk menangani masalah, pelaksanaan upaya mengatasi masalah
dan keterlibatan masyarakat dalam mengevaluasi perubahan yang terjadi (Adi,
2000 : 27). Theodorson dan Sumarto juga mendefinisikan partisipasi sebagai
proses anggota masyarakat sebagai individu maupun kelompok sosial dan
organisasi, mengambil peran serta ikut memengaruhi proses perencanaan,
pelaksanaan dan pemantauan kebijakan-kebijakan yang langsung memengaruhi
kehidupan mereka (Sulaeman, 2012 : 76).
2.2 Narkoba
2.2.1 Pengertian Narkoba
Istilah narkoba sesuai dengan Surat Edaran Badan Narkotika Nasional
(BNN) No SE/03/IV/2002 merupakan akronim dari Narkoba, Psikoptropika, dan
Bahan Adiktif lainnya. Narkoba yaitu zat-zat alami maupun kimiawi yang jika
dimasukkan ke dalam tubuh dapat mengubah pikiran, suasana hati, perasaan, dan
perilaku seseorang.
I. Narkotika
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman, baik sintesis maupun semi sintesis, yang dapat menyebabkan
penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai
menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.
Jenis-jenis Narkotika Yang Sering Disalahgunakan :
A. Ganja
Berupa tanaman segar atau yang dikeringkan. Daun ganja bentuknya
memanjang, pinggirannya bergerigi, ujungnya lancip, urat daun
memanjang di tengah pangkal hingga ujung bila diraba bagian muka halus
dan bagian belakang agak kasar. Jumlah helai daun ganja selalu ganjil
yaitu 5, 7, atau 9 helai dan berwarna hijau tua segar dan berubah coklat
bila sudah lama dibiarkan karena kena udara dan panas. Penggunaannya,
dihisap dari gulungan menyerupai rokok atau dapat juga dihisap dengan
menggunakan pipa rokok.
Efek paling buruk dari pemakaian ganja secara kronis dapat
menyebabkan kanker paru-paru karena pengaruh kadar tar pada ganja jauh
lebih tinggi dari pada kadar tar pada tembakau. Dan penggunaan ganja
dalam jangka waktu panjang dapat mengakibatkan gangguan
kejiwaan.Hampir setiap orang yang menjadi pecandu narkoba yang lebih
berat seperti heroin pada awalnya mengkonsumsi ganja.
B. Cocain
Berasal dari tanaman coca yang banyak dijumpai di Columbia di
Amerika Latin. Berupa bubuk, daun coca, buah coca, cocain Kristal yang
bewarna putih.Penggunaannya, dengan cara menghirup melalui hidung
dengan menggunakan alat penyedot (sedotan) atau dapat juga dibakar
bersama-sama dengan tembakau (rokok), ditelan bersama minuman, atau
Selanjutnya apabila sudah pada tingkat over dosis atau takaran yang
berlebihan dapat menyebabkan kematian, karena serangan dan gangguan
pada pernafasan dan terhadap serangan jantung. Disamping itu juga dapat
menimbulkan keracunan pada susunan saraf sehingga korban dapat
mengalami kejang-kejang, tingkah laku kasar, fikiran yang kacau dan mata
gelap. Dampak negatif yang sangat berbahaya dari penyalahgunaan kokain
dapat menyebabkan pecahnya pembuluh darah di otak (stroke).
C. Morfin dan Heroin
Berupa serbuk yang bewarna putih, abu-abu, kecoklatan hingga coklat
tua. Penggunaannya, dengan cara menghirup asapnya setelah bubuk heroin
dibakar di atas kertas timah pembungkus rokok (sniffing) atau dengan
menyuntikkannya langsung ke pembuluh darah setelah heroin dilarutkan
dalam air.
Efek yang ditimbulkan, menimbulkan rasa mengantuk, lesu,
penampilan ―dungu‖ jalan mengambang, rasa sakit seluruh badan, badan
gemetar, jantung berdebar-debar, susah tidur dan nafsu makan berkurang,
matanya berair dan hidungnya selalu ingusan, problem pada kesehatan;
bengkak pada daerah menyuntik, tetanus, HIV/AIDS, Hepatitis B dan C,
problem jantung, dada dan paru-paru, serta sulit buang air besar. Pada
wanita mengganggu sirkulasi menstruasi.
Morfin dan Heroin berasal dari getah opium yang membeku sendiri
dari tanaman Papaver Somniferum. Dengan melalui proses pengolahan
dapat menghasilkan Morfin. Kemudian dengan proses tertentu dapat
Gejala putus zat (sakaw) adalah sangat menyiksa sehingga yang
bersangkutan akan berusaha untuk mengkonsumsi heroin. Oleh karena itu,
pecandu heroin akan berusaha dengan cara apapun dan resiko apapun guna
memperoleh heroin. Mereka tidak segan-segan melakukan tindakan-
tindakan kekerasan atau kejahatan, misalnya mencuri, menodong,
merampok, dan melakukan pembunuhan. Telah banyak remaja puteri yang
terlibat pelacuran (menjual diri) hanya sekedar untuk mendapatkan uang
guna membeli heroin.
Pecandu heroin sangat sulit untuk mengehentikan pemakaian heroin
dan cenderung untuk mengkonsumsi dalam jumlah/dosis semakin
bertambah dan sesering mungkin. Akibatnya over dosis.
D. Ekstasy
Berupa tablet dan kapsul dan bewarna bermacam-macam.
Penggunaannya, ditelan. Efek yang akan ditimbulkan, rasa gembira secara
berlebihan. Banyak orang mengkonsumsi ekstasy untuk tujuan bersenang-
senang. Ekstasy hanya digunakan oleh anak-anak muda agar dapat
berpesta/diskotik sepanjang malam. Karena saking gembiranya kadang-
kadang sampai lepas kendali sehingga tidak malu untuk melakukan pesta
seks.
Pemakaian ecstasy dapat mendorong tubuh untuk melakukan aktifitas
yang melampui batas kemampuannya. Akibatnya dapat menyebabkan
kekurangan cairan pada tubuh (dehidrasi) karena terlalu banyak
yang berlebihan (over dosis) mengakibatkan penglihatan kabur, mudah
tersinggung (pemarah), tekanan darah meningkat, nafsu makan berkurang
dan denyut jantung bertambah cepat. Kematian sering terjadi karena
pemakaian yang berlebihan yang mengakibatkan pecahnya pembuluh
darah diotak (stroke).
E. Shabu
Berupa kristal yang bewarna putih. Penggunaannya, dibakar dengan
menggunakan aluminium foil dan asapnya dihirup melalui hidung.
Dibakar dengan menggunakan botol kaca khusus (bong) dan disuntikkan.
Penggunaan shabu mendorong tubuh melakukan aktifitas yang
melampaui batas kemampuan fisik/berkeringat secara berlebihan, sehingga
dapat menyebabkan kekurangan cairan tubuh (dehidrasi). Bagi mereka
yang sudah ketagihan, apabila pemakaiannya dihentikan (putus zat) akan
timbul gejala-gejala seperti merasa lelah dan tidak berdaya dan tidak
berdaya (stamina menurun), kehilangan semangat hidup (ingin bunuh diri),
merasa cemas dan gelisah secara berlebihan, kehilangan rasa percaya diri,
susah tidur.
II. Psikotropika
Zat atau obat baik alamiah maupun sintesis bukan narkotika, yang
berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan syaraf pusat
yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.
Dalam bidang Farmakologi, Psikotropika dibedakan dalam 3 (tiga)
a. Golongan Psikostimulansi
Jenis zat yang menimbulkan rangsangan. Jenis obat yang tergolong
ini:
a) Amfetamine (lebih popular dikalangan masyarakat sebagai
shabu dan ecstasy).
b) Desamfetamine.
b. Golongan Psikodepresan
Golongan obat tidur, penenang dan obat anti cemas. Merupakan
jenis obat yang mempunyai khasiat pengobatan yang jelas. Jenis
obat yang termasuk golongan ini:
a) Amobarbital.
b) Phenol karkital.
c) Penti karkital.
Dalam Undang-undang No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika,
dimasukkan dalam golongan III yaitu jenis psikotropika yang
berkhasiat untuk pengobatan dan banyak disalahgunakan untuk
terapi atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi
kuat mengakibatkan sindrom ketergantungan.
c. Golongan Sedativa
Jenis-jenis obat-obat yang mempunyai khasiat pengobatan yang
jelas dan digunakan sangat luas dalam terapi. Jenis obat yang masuk
golongan ini adalah Diazepam, Klobazam, Bromazepam,
Fenibarbital, Barbital, Klonazepam, Klordiazepam,
III. Zat Adiktif
Bahan-bahan aktif atau obat yang dalam organisme hidup menimbulkan
kerja biologi yang apabila disalahgunakan dapat menimbulkan
ketergantungan (adiksi) yaitu keinginan untuk menggunakan kembali
secara terus menerus.
Yang tergolong zat adiktif yang menimbulkan ketergantungan, yaitu:
A. Alkohol (ethanol atau ethyl alcohol)
Hasil fermentasi/peragian karbohidrat; dari buir padi-padian, cassava,
sari buah anggur, nira. Kadar alkohol minuman yang diperoleh melalui
proses fermentasi tidak lebih dari 14%, karena ketika kadar alkohol
mencapai 14%, mikroba raginya mati. Alkohol yang disebut methyl
alkohol adalah jenis alkohol yang sangat berbahaya. Kadar alkohol dari
bir 3-5%, Wine 10-14%,Whisky, Rhum, Gin, Vodka, dan Brendy,
antara 40-50%. Manusia sudah sejak lebih dari lima millennia
mengkonsumsi minuman beralkohol.
Akibat ditimbulkan oleh alcohol bagi kesehatan adalah:
a. Menyebabkan depresi pada sistem syaraf pusat.
b. Jika penggunaan dicampur dengan obat lain sipemakai akan
pingsan atau kejang-kejang tidak sadar diri.
c. Menyebabkan oedema otak (pembengkakan dan terbendungnya
darah dari otak).
d. Menimbulkan habilutasi, toleransi dan ketagihan.
e. Mengakibatkan mundurnya kepribadian.
g. Melemahkan jantung dan hati menjadi keras (Nasution, 2013:1-
15).
B. Kafein, caffeine (1.3.7. Trimethylsantine)
Alkaloida yang terdapat dalam buah tanaman kopi. Biji kopi
mengandung 1-2,5% kafein. Kafein juga terdapat dalam minuman
ringan.
Efek yang ditimbulkan dari kafein, yaitu:
a. Keracunan kafein.
b. Kecemasan dan gangguan tidur.
c. Kecanduan.
d. Menimbulkan masalah saluran pencernaan.
e. Beresiko terkena serangan jantung (Amazine, 2015).
C. Nicotine (Nicotiana Tabacum L)
Nikotin terdapat dalam tumbuhan tembakau dengan kadar sekitar 1-
4%. Dalam setiap batang rokok terdapat sekitar 1,1mg nikotin. Nikotin
menimbulkan ketergantungan. Dalam daun tembakau, terdapat ratusan
jenis zat lainnya selain dari nikotin (BNN, 2004;23).
Efek yang ditimbulkan dari nicotine, yaitu:
a. Menyumbat saluran-saluran darah baik dari maupun menuju
jantung sehingga memperlambat aliran darah.
b. Menimbulkan penyakit kanker.
c. Serangan jantung.
d. Impotensi dan gangguan kehamilan dan janin (Nasution,
D. Zat sedative (penenang) dan hipnotika
Yang tergolong sedative/hipnotika diantaranya Benzodiazepin meliputi
antara lain:
a. Temazapam.
b. Diazeoam.
c. Nitrazepam.
d. Klonazepam.
E. Halusinogen
Penggunaan halusinogen dapat menimbulkan perasaan tidak nyata
yang dapat meningkat di halusinasi dengan persepsi yang salah. Oleh
karena itu, jenis ini sering dinamakan zat penghayal. Halusinogen
dapat menimbulkan ketergantungan fisik serta psikis dan efek
toleransi. Yang termasuk halusinogen antara lain: LSD (Lysergic Acid
Diethylamide), DOM, DMT, dll (Nasution, 2004:23).
F. Inhalen
Zat yang terdapat pada lem dan pengencer cat (thinner).
Penyalahgunaan inhalen dapat merusak pertumbuhan dan
perkembangan otot, syaraf dan organ tubuh lainnya. Menghirup sambil
menggunakan obat anti depresi seperti obat penenang obat tidur,
alcohol akan meningkatkan resiko over dosis dan dapat mematikan dan
jika pengguna melakukan aktifitas normal seperti berlari atau berteriak
dapat mengakibatkan kematian karena gagal jantung.
Efek yang ditimbulkan dari inhalen, yaitu:
b. Tidak dapat berfikir.
c. Mudah berdarah dan memar.
d. Kerusakan system syaraf utama.
e. Kerusakan hati dan ginjal.
f. Sakit maag.
g. Sakit pada waktu buang air kecil.
h. Kejang-kejang otot dan batuk-batuk (Nasution, 2013:15).
2.2.2 Penyalahgunaan Narkoba
Penyalahgunaan narkoba merupakan suatu proses yang makin meningkat
dari taraf coba-coba ke taraf penggunaan untuk hiburan, penggunaan situasional,
penggunaan teratur sampai kepada ketergantungan. Memasuki taraf coba-coba
bisa langsung terseret kepada taraf ketergantungan oleh karena sifat narkoba yang
mempunyai daya menimbulkan ketergantungan yang tinggi. Penyalahgunaan
narkoba dapat dilakukan dengan cara ditelan, dirokok, disedot dengan hidung,
disuntikkan ke dalam pembuluh darah balik (intravena), disuntikkan ke dalam otot
atau disuntikkan ke dalam lapisan lemak dibawah kulit.
Penggunaan narkoba secara suntik dan menggunakan jarum suntik secara
bergilir dapat menimbulkan ketularan penyakit HIV/AIDS. Hepatitis B, Hepatitis
C, dan penyakit infeksi lainnya yang ditularkan melalui darah atau cairan tubuh.
Penggunaan narkoba secara berulang kali akan menimbulkan ketergantungan yang
makin lama memerlukan jumlah narkoba yang makin tinggi dosisnya untuk
narkoba dihentikan atau dikurangi secara mendadak akan menimbulkan gejala
putus narkoba (withdrawal syndrome), yaitu perasaan nyeri seluruh badan.
Sekali mencoba narkoba berisiko timbul keinginan untuk mencoba dan
mencoba lagi sehingga akhirnya timbul ketagihan dan ketergantungan. Pada
umumnya, baru timbul keinginan untuk menghentikannya dalam keadaan sudah
terlambat, yaitu sudah berada dalam cengkeraman ketergantungan yang tidak bisa
ditinggalkan (BNN, 2004: 9-10).
2.2.3 Ciri-ciri Penyalahgunaan Narkoba
Mereka yang mengkonsumsi narkoba akan mengalami gangguan mental
dan perilaku, akibat terganggunya system neuron transmiter pada sel-sel susunan
saraf pusat diotaknya. Gangguan pada system ini mengakibatkan terganggunya
fungsi koqnitif atau alam pikiran, afektif atau alam perasaan/mood/emosi dan
psikomotor atau perilaku.
Orang berpendidikan sekalipun akan menemui kesulitan untuk bisa
mengetahui seseorang telah mengalami ketergantungan obat-obatan. Mengapa ?
Bisa jadi karena mereka tidak tahu atau kurang pengetahuannya tentang
ketergantungan obat. Bisa juga karena mereka menggangap remeh kadar
penggunaan narkoba. Karena memang diawal penggunaan, seorang penyalahguna
narkoba tidak begitu berbeda dari lainnya. Apalagi seorang anak yang pintar pasti
akan memakai segala kepintarannya untuk menipu orang lain terutama orang tua
2.3 Adiksi
2.3.1 Pengertian Adiksi
Adiksi merupakan suatu kondisi ketergantungan fisik dan mental terhadap
hal-hal tertentu yang menimbulkan perubahan perilaku bagi orang yang
mengalaminya. Dalam adiksi, terdapat tuntutan dalam diri penyalahguna narkoba
untuk menggunakan secara terus menerus dengan disertai peningkatan dosis
terutama setelah terjadinya ketergantungan secara fisik dan psikis serta terdapat
pula ketidakmampuan untuk mengurangi atau menghentikan konsumsi narkoba
meskipun sudah berusaha keras.
Adiksi atau ketergantungan terhadap narkoba merupakan suatu kondisi
dimana seseorang mengalami ketergantungan secara fisik dan psikologis terhadap
suatu zat adiktif dan menunjukkan tanda-tanda sebagai berikut :
I. Adanya Proses Toleransi
Individu membutuhkan zat yang dimaksud dalam jumlah yang semakin
lama semakin besar, untuk dapat mencapai keadaan fisik dan psikologis
seperti pada awal mereka merasakannya.
II. Adanya Gejala Putus Zat (Withrawl Syndrome)
Individu akan merasakan gejala-gejala fisik dan psikologis yang tidak
nyaman apabila penggunaannya dihentikan. Perasaan tidak nyaman fisik
seperti tulang sakit, mata berair, lemas, diare, muntah-muntah, dan lain-
lain. Pada akhirnya gejala-gejala fisik tersebut dapat menurunkan berat
badan dan menimbulkan ketergantungan pada narkoba, serta komplikasi
medis. Secara psikologis, gejala putus obat ditandai dengan munculnya
percaya diri, cemas, emosi tidak terkontrol, gangguan kepribadian, tidak
toleran, mengalami penolakan, curiga (terutama pada pengguna
methamphetamine), dan halusinasi.
Selain terhadap kondisi fisik dan psikologis, seorang pengguna (addict)
juga mengalami gangguan pada perilakunya. Dalam kehidupan sosial,
seseorang penyalahguna narkoba akan mengisolasi diri, lari dari
kenyataan, manipulative, mengalami kemunduran moral, motivasi rendah,
berperilaku anti-sosial, kemampuan sosial menurun, egois, pandangan
dunia yang tidak realistis, dan sebagainya.
2.3.2 Model-model Adiksi
Ada beberapa model ketergantungan yang digunakan untuk menjelaskan
ketergantungan narkoba dalam program rehabilitasi. Tidak ada model yang
dianggap lebih baik dan lebih bermanfaat dalam suatu penyembuhan (treatment).
Kebanyakan model-model itu digunakan secara eklektik/gabungan dari beberapa
model. Berikut ini adalah beberapa model diantaranya:
a. Model Belajar Berperilaku (Learning Model)
Model ini beranggapan bahwa seseorang menyalahgunakan narkoba karena
pengalaman pertamanya memperoleh ―imbalan‖ yang menyenangkan dan
―positif‖. Hal-hal yang menyenangkan dan positif tersebut menyebabkan
orang mengulang kembali perilaku penyalahgunaan tersebut.
b. Model Kognitif (Cognitive Model)
Model kognitif ini beranggapan bahwa pikiran dan keyakinan adalah
medis, keuangan, dan masalah sosial yang serius bukanlah penyebab
seseorang mulai menggunakan narkoba, tetapi merupakan sifat dasar yang
membawa seseorang pada tanggapan emosional dan mendorong pada suatu
keyakinan adikstif yang menghasilkan perilaku ketergantungan.
c. Model Penyakit (Disease Model)
Dalam model ini penyalahguna narkoba dianggap sebagai kebiasaan
menyimpang yang menyebabkan kondisi menyakitkan pada fisik yang
bersangkutan dan ketergantungan. Melalui penggunaan yang terus-menerus
seorang penyalahguna narkoba akan kehilangan kendali dan perilakunya.
d. Model Gaya Hidup (Lifestyle Model)
Dalam pandangan model ini imbalan kehidupan yang menyenangkan
mengubah kesadaran pada hal-hal yang destruktif, penyalahgunaan
narkoba. Orang-orang yang sudah mengalami ketergantungan akan sulit
mengulangkan kebiasaan penyalahgunaan narkoba karena dapat dianggap
menghilangkan eksistensi dirinya.
e. Model Pengaruh Orangtua (Parental Influence Model)
Penyalahgunaan narkoba yang dilakukan oleh orangtua dapat menjadi
contoh buruk bagi anak-anak. Orangtua dapat menjadi munafik dan
mengatakan kepada anak-anaknya ―kerjakan apa yang saya bilang, bukan
yang saya lakukan‖. Maka anak akan menanggapi dengan pernyataan sinis,
―kalau orangtua memakai, kenapa saya tidak‖.
f. Model Kelompok Sebaya (Peer Cluster Model)
Model ini beranggapan bahwa penyalahguna narkoba dimulai dan menjadi
dalam kelompok, orang meniru perilaku penyalahgunaan narkoba oleh
kelompok. Kemudian terjadi pembenaran-pembenaran yang akan
mengubah keyakinan, nilai, perilaku, dan alasan-alasan.
g. Model Pintu Gerbang (Gateway Model)
Penyalahgunaan narkoba tidak terjadi secara tiba-tiba. Seseorang
penyalahguna narkoba mulai menggunakan narkoba mulai dari yang
―ringan‖ seperti rokok, alcohol, ganja, sampai yang ―berat‖ seperti
morphine, putaw, shabu-shabu, kokain, dan sebagainya. Zat adiktif yang
―ringan‖ tersebut adalah pintu gerbang kearah penggunaan narkoba yang
lebih ―berat‖.
h. Model Sosial Budaya (socio Cultural Model)
Model ini membahas faktor-faktor eksternal yang berpengaruh terhadap
individu. Lingkungan menjadi faktor utama, termasuk aspek etnografi dan
demografi seperti jenis ras, umur, norma, tingkat sosial ekonomi, pekerjaan,
pendidikan, system kepercayaan, tingkat konsumsi, dan sebagainya. Semua
faktor tersebut menjadi penentu dalam penyalahgunaan narkoba.
2.3.3 Proses Terjadinya Adiksi
Untuk sampai pada kondisi ketergantungan, seseorang akan mengalami
Gambar 1. Kontinum Pengguna Narkoba
Sumber : Doweiko, 1999
Keterangan : Daerah hitam (yang diarsir) mencerminkan tingkat penggunaan
narkoba
Berdasarkan gambar di atas, dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Abstinence
Adalah periode dimana seseorang sama sekali tidak menggunakan narkoba
untuk tujuan rekresional.
b. Social Use
Periode dimana individu mulai coba-coba menggunakan narkoba untuk tujuan
rekreasional, namun sama seklai tidak mengalami problem yang terkait
dengan aspek sosial, financial, medis dan sebagainya. Umumnya individu
masih bisa mengontrol penggunaan zatnya.
c. Early Problem Use
Adalah periode dimana individu sudah menyalahgunakan narkoba dan
individu tersebut, seperti misalnya timbulnya malas belajar, malas sekolah,
keinginan bergaul, hanya dengan orang-orang tertentu, dan lain-lain.
d. Early Addiction
Adalah periode dimana individu sampai pada perilaku ketergantungan baik
fisik, maupun psikologis, dan perilaku ketergantungan ini sangat mengganggu
kehidupan sosial individu tersebut. Yang bersangkutan nyaris sulit mengikuti
pola hidup orang normal sebagaimana mestinya dan mulai terlibat pada
perbuatan yang melanggar norma dan nilai yang berlaku.
e. Severe Addiction
Adalah periode dimana individu hanya hidup untuk mempertahankan
ketergantungannya, sama sekali tidak memperhatikan lingkungan sosial dan
dirinya sendiri. Pada tahap ini, individu biasanya sudah terlibat pada tindakan
criminal yang dilakukan demi memperoleh narkoba yang diingankan.
Kapan seseorang sampai pada tahap kontinum terakhir (ketergantungan
berat/severe addiction), sangat tergantung pada beberapa hal:
a) Factor individu: biologis, psikologis, dan sosial
b) Jenis zat: opiat adalah zat paling cepat menimbulkan ketergantungan (high
addict)
2.3.4 Dampak Adiksi Terhadap Penyalahguna
Dalam kecanduan seseorang terdapat suatu lingkaran yang tidak berhenti
kecuali seseorang mulai melakukan intervensi (memutuskan pola adiksi tersebut).
Pada intinya, lingkaran ini menjelaskan ketidaknyamanan yang dialami seseorang
kondisinya, yang selanjutnya justru akan mendorong penyalahguna tersebut untuk
mengalami rasa tidak nyaman kembali. (Dytop inc., 2001).
Keadaan fisik dan psikis yang muncul ketika penyalahguna narkoba mulai
mengalami ketergantungan narkoba menyebabkan ketidaknyamanan yang
ditunjukkan oleh perubahan perilaku dan ekspresi secara verbal dan non-verbal.
Pola perilaku negative pada diri penyalahguna narkoba tersebut menambah parah
keadaan psikis yang sebaliknya akan juga memperburuk keadaan perilaku
penyalahguna narkoba tersebut. Berbagai macam pola negatif (fisik, psikis, dan
perilaku) mendorong penyalahguna narkoba untuk ―harus‖ mengkonsumsi
narkoba (kompulsif). Hal ini akan memperburuk kembali keadaan fisik dan
psikisnya dan akan membentuk perilaku yang semakin negatif. Skema
menunjukkan lingkaran adiksi yang semakin parah dan tidak pernah berakhir
kecuali adanya usaha secara sungguh-sungguh baik dari diri penyalahguna
narkobanya maupun orang-orang disekelilingnya untuk menghentikan perputaran
lingkaran tersebut (tidak intervensi).
2.3.5 Tahap-tahap Perubahan
Sebagai suatu penyakit kronis, adiksi tidak dapat disembuhkan. Pulih
merupakan kata yang lebih tepat dalam menggambarkan upaya seseorang
mengatasi penyakit ini. Pemulihan (recovery) seorang penyalahguna narkoba
berlangsung seumur hidup dimana dia dan lingkungannya harus berjalan
beriringan dalam mempertahankan pemulihan mereka. Tujuan pemulihan diawali
oleh stabilitas fisik penyalahguna. Selanjutnya diarahkan agar penyalahguna
disertai dengan penerimaan diri, sehingga penyalahguna menyadari dirinya
sebagai individu yang memiliki peran, hak serta kewajiban di dalam masyarakat.
Dalam proses tersebut penyalahguna tidak akan mempertahankan pemulihannya
jika tidak didukung oleh pola interaksi yang sehat dengan lingkungan.
Pada dasarnya program pemulihan ditargetkan kepada proses reintegrasi
penyalahguna ke masyarakat umum dimana dirinya memiliki peran serta kualitas
hidup yang memadai untuk hidup wajar sebagai bagian dari masyarakat.
Memotivasi individu yang mengalami ketergantungan pada narkoba untuk mau
menghentikan pola penggunaan zatnya bukanlah hal mudah. Ada tahap-tahap
perubahan yang dialami oleh seorang penyalahguna narkoba yang mempengaruhi
proses pemulihannya.
Tahap-tahap perubahan tersebut yaitu:
a. Precontemplation
Tahap dimana penyalahguna umumnya belum mau mengakui bahwa
perilaku penggunaan narkobanya merugikan dirinya sendiri, keluarga dan
lingkungannya. Pada tahap ini seorang penyalahguna akan menampilkan
mekanisme pertahanan diri agar mereka dapat tetap mempertahankan pola
ketergantungan narkobanya. Jenis mekanisme pertahanan diri yang paling
sering muncul adalah penyangkalan (denial), dimana penyalahguna selalu
―mengelak‖ atas kenyataan-kenyataan negatif yang ditimbulkan akibat
pengguna narkobanya. Jenis mekanisme pertahanan diri yang lain adalah
mencari pembenaran (rasionalisasi), dimana penyalahguna akan selalu
b. Contemplation
Tahap dimana penyalahguna narkoba mulai menyadari bahwa perilaku
penggunaan narkobanya merugikan diri sendiri, keluarga dan
lingkungannya, tetapi sering merasa ragu-ragu (ambivalen) untuk
menjalani proses pemulihan. Proses wawancara motivasional sangat
menentukan apakah penyalahguna narkoba kembali pada tahap
Precontemplation di atas atau justru semakin termotivasi untuk pulih.
c. Preparation
Tahap dimana individu mempersiapkan diri untuk berhenti dari pola
penggunaan narkobanya. Umumnya yang bersangkutan mulai mengubah
pola fikirnya yang dianggapnya dapat membantu usahanya untuk dapat
membebaskan diri dari narkoba.
d. Action
Tahap dimana seorang penyalahguna narkoba dengan kesadaran sendiri
mencari pertolongan untuk membantu pemulihannya.
e. Maintenance
Tahap dimana seorang penyalahguna narkoba berusaha untuk
mempertahankan keadaan bebas narkobanya (abstinensia).
f. Relapse
Tahap dimana seorang penyalahguna narkoba kembali pada pola perilaku
penggunaan narkobanya yang lama sesudah ia mengalami keadaan bebas
2.4 Therapeutic Community (TC)
2.4.1 Sejarah Therapeutic Community (TC)
Program terapi bagi pecandu narkoba merupakan hal yang relative baru
berkembang. Program terapi ini kurang lebih mulai timbul dalam bentuk yang
terorganisasi pada tahun 1960 sebagai respons terhadap masalah sosial dan
masalah kesehatan masyarakat di Amerika Serikat. Pertumbuhan fasilitas terapi
pada tahun 1960 dan 1970 mencerminkan berbagai pandangan tentang masalah
penyalahgunaan dan ketergantungan narkoba. Selain itu juga dipengaruhi oleh
tuntutan bagaimana masalah tersebut dapat ditangani secara efektif.
Diluar unit detoksifikasi, yang ditujukan sebagai langkah awal terapi,
terdapat tiga modalitas terapi yang dominan dalam penatalaksanaan
penyalahgunaan narkoba; program rawat jalan, program terapi rumatan metadon,
dan program residensial rawat inap jangka panjang yang disebut sebagai TC.
Program TC saat itu berorientasi pada kondisi bebas zat (abstinensia), dimana
residen diharapkan tidak lagi menggunakan zat selama dalam program dan setelah
selesai program. Pada tahun 90-an, muncul program residensial rawat inap jangka
pendek yang menggunakan pendekatan 12 langkah atau pendekatan lainnya
(Institute Of Medicine, 1990). Sementara pada akhir tahun 90-an beberapa
Negara, khususnya Belanda dan Australia mulai memodifikasi program TC
dengan memasukkan pendekatan pengurangan dampak buruk dalm program-
programnya, sebagai suatu upaya menekan laju penularan HIV di kalangan
2.4.2 Program TC Secara Global
Program TC yang saat ini lebih diasosiasikan sebagai salah satu modalitas
terapi penyalahgunaan narkoba, sesungguhnya berawal dari pendekatan perawatan
masalah kesehatan jiwa (psikiatris) pada tahun 40-an di Inggris. Sekalipun
pengaruh TC psikiatris ala Inggris ini terhadap TC adiksi narkoba belum begitu
jelas, namun pendekatan yang dilakukan pada TC Psiakiatris menyerupai
gambaran pendekatan-pendekatan yang umumnya dilakukan pada TC adiksi
narkoba secara umum (Deleon, 2000). Kehadiran TC psikiatris seringkali
dipandang sebagai bagian dari revolusi psikiatris yang ketiga, dimana terjadi
perubahan dari pendekatan individual kepada pendekatan sosial dengan
menekankan keterlibatan banyak pihak, penggunaan metode kelompok, terapi
norma nilai dan psikiatri administrative.
Melacak sejarah TC adiksi narkoba bukanlah perkara mudah karena
hingga 2000 tidak ada kajian komprehensif tentang sejarah TC adiksi. Penelitian
yang terbatas ini mengatakan bahwa konsep-konsep, keyakinan dan praktek TC
ditengarai dan dipengaruhi secara tidak langsung oleh agama, filsafat, psikiatri
dan ilmu-ilmu sosial dan perilaku. Beberapa tulisan merujuk pada kemungkinan
keberadaan TC sejak zaman kuno, terutama dalam upaya masyarakat melakukan
pengobatan dan dukungan.
Cikal bakal TC dalam adiksi narkoba berawal pada 1960 di Amerika
Serikat dan kemudian di Eropa. Pada periode 1964-1971 program TC
dikembangkan secara langsung atau tidak langsung karena pengaruh Synanon dan
Daytop Village (termasuk Gateway House, Gaudenzia, Marathon House,
Synanon secara tegas mengajarkan norma dan nilai tentang etos kerja, mutual
concern, sharing guidance, kejujuran, ketulusan, tidak egois, pembelajaran diri,
penerimaan atas karakter yang negatif, membuat kompensasi atas perbuatan yang
merugikan dan bekerja dengan orang lain. Nilai-nilai 12 langkah dan 12 tradisi
juga digunakan dan diadaptasi pada penyelenggaraan TC ini. Walaupun Synanon
mempertahankan tradisi Alcoholic Anonymous atas kemandirian fiscal, tetapi
orientasinya adalah kewirausahaan. Mereka mengembangkan bisnis yang
beorientasi pada keuntungan dan menggalang dana dari sector public maupun
swasta. Organisasi TC Synanon merupakan struktur yang hirarkis. Walaupun
setiap anggota dapat melangkah hingga struktur yang lebih tinggi, namun
pengambilan keputusan bersifat otokratik, tergantung pada tangan beberapa orang
saja.
Setelah era TC Synanon, pengembangan TC kemudian melibatkan bantuan
dan keterlibatan pemimpin masyarakat pemuka agama, tokoh politik, professional
kesehatan dan layanan masyarakat. Jadi, walaupun TC tradisional dikembangkan
oleh pecandu, perkembangannya kemudian dipengaruhi oleh berbagai disiplin
ilmu seperti pendidikan, kedokteran, psikiatri, hukum, agama dan ilmu-ilmu
sosial. Peran para professional ini terutama dalam hal teknis praktis dan politis,
diantaranya menjaga agar TC tetap berdiri dan dapat berkembang.
Saat ini, TC yang ada berkembang dan berbeda satu sama lainnya.
Perkembangan ini meliputi sumber daya yang bervariasi diantaranya psikiater,
psikologis, pendidik, pelatihan vokasional dan layanan public. Sekalipun nilai-
nilai dasar Synanon masih dipertahankan oleh sebagian besar saat ini, namun
penyelenggaraannya. Banyak TC kemudian mengembangkan sendiri filosofi yang
kembangkannya, melakukan adaptasi sesuai konteks budaya setempat.
12 langkah :
a. Kita mengakui bahwa kita tidak berdaya terhadap adiksi sehingga hidup
kita menjadi tidak terkendali.
b. Kita tiba pada keyakinan bahwa ada kekuatan yang lebih besar dari diri
kita sendiri yang mampu mengembalikan pada kita kewarasan.
c. Kita membuat keputusan untuk mengalihkan niat dan kehidupan kita pada
kasih Tuhan sebagaimana kita memahami Tuhan.
d. Kita membuat inventaris moral diri kita sendiri secara penuh, seluruh dan
tanpa rasa gentar.
e. Kita mengakui kepada Tuhan kepada diri kita sendiri, serta kepada
seseorang manusia lainnya, setepat mungkin dari kesalahan-kesalahan kita.
f. Kita menjadi siap secara penuh agar Tuhan menyingkirkan semua
kecacatan karakter kita.
g. Kita dengan rendah hati memintaNya untuk menyingkirkan kelemahan-
kelemahan kita.
h. Kita membuat daftar orang-orang yang telah kita sakiti dan menyiapkan
diri untuk menebusnya kepada mereka semua.
i. Kita menebus kesalahan kita secara langsung kepada orang-orang tersebut
bilamana memungkinkan kecuali bila melakukannya akan justru melukai
mereka atau orang lain.
j. Kita terus menerus melakukan inventaris pribadi kita dan bilamana kita
k. Kita melakukan pemberian doa dan meditasi untuk memperbaiki kontak
sadar kita dengan Tuhan sebagaimana kita memahami Tuhan, berdoa
hanya untuk mengetahui mata Tuhan atas diri kita dan kekuatan untuk
melaksanakannya.
l. Setelah memperoleh pencerahan pribadi sebagai akibat dari langkah-
langkah ini, kita mencoba untuk membawa pesan ini kepada para pecandu,
dan untuk menerapkan prinsip-prinsip ini dalam semua urusan keseharian
kita.
12 tradisi :
a) Kesejahteraan kita bersama harus dinomor-satukan diatas yang lainnya:
kemajuan pribadi tergantung pada kesatuan kita.
b) Demi kepentingan kelompok, hanya ada satu otoritas utama yakni Tuhan
yang Maha Pengasih sebagai mana Tuhan mengekspresikan dirinya
melalui hati nurani kelompok. Pemimpin kita adalah pelayan terpercaya
Tuhan. Mereka tidak memerintah.
c) Satu-satunya prasyarat keanggotaan adalah keinginan sungguh-sungguh
untuk berhenti menggunakan zat adiktif.
d) Setiap kelompok harus memiliki otonomi, kecuali dalam hal yang dapat
mempengaruhi kelompok lain.
e) Setiap kelompok hanya mempunyai satu tujuan utama – membawa pesan
penyembuhan bagi pecandu yang masih menderita.
f) Kelompok kami tidak selayaknya memberikan dukungan keuangan,
masalah dengan orang, kepemilikan, property dan prestise yang dapat
mengalihkan focus utama kita dan tujuan spiritual kita bersama.
g) Setiap kelompok harus mendukung dirinya sendiri secara financial,
menolak dana dari luar
h) Pekerjaan langkah ke-12 harus selalu dan selamanya bersifat non-
profesional, namun pusat pelayanan kita dapat mempekerjakan staff
khusus.
i) Kelompok kita tidak selayaknya diorganisir sedemikian rupa, namun kita
boleh membentuk dewan pelayanan atau panitia yang bertanggung jawab
pada kelompok yang mereka layani.
j) Kelompok tidak mempunyai pendapat berkaitan dengan masalah diluar,
sehingga nama kita sebagai kelompok tidak akan ditarik dalam kontroversi
public.
k) Hubungan masyarakat kita dilandaskan pada keterkaitan dan bukan
promosi. Kita perlu mempertahankan Anonimitas pribadi pada taraf massa
media radio, televise dan film. Kita perlu melindungi kebutuhan
Anonimitas semua anggota keluarga kita.
l) Anonimitas adalah landasan spiritual semua tradisi keluarga dan
persaudaraan kita, selalu mengingatkan kita untuk meletakan prinsip diatas
pribadi-pribadi (Hutauruk, 2011).
2.4.3 Program TC di Indonesia
Sebagaimana yang terjadi di Amerika Serikat, pertumbuhan rehabilitasi
heroin yang tidak memperoleh layanan terapi ketergantungan heroin bagi anak/
keluarganya di Indonesia. Beberapa keluarga membawa anggota keluarganya
yang mengalami kecanduan heroin pada berbagai tempat rehabilitasi dengan
pendekatan TC atau 12 langkah yang terdapat di luar negeri, khususnya Malaysia
dan Singapura. Para alumni rehabilitasi TC ini dengan dukungan penuh
keluarganya kemudian mendirikan program TC di Indonesia. Sekalipun pada
pertengahan tahun 90 telah dirintis program rehabilitasi TC oleh beberapa
professional medis, namun pionir program ini yang dikenal oleh masyarakat
secara luas adalah Yayasan Titihan Respati yang didirikan pada tahun 1997,
kemudian diikuti dengan berbagai yayasan lainnya seperti Yayasan Terakota ,
Yayasan Insan Pengasuh Indonesia, Yayasan Bandulu, dan lainnya. Beberapa
program TC yang juga dimotori oleh kalangan professional medis bekerja sama
dengan konselor adiksi diantaranya adalah Wisma Adiksi, Sport Campus Wijaya
Kusuma, Wisma Srikandi dan Arjuna RS Marzoeki Mahdi (kemudian
memisahkan diri dari RS dan berdiri sendiri menjadi Yayasan Permata Hati Kita)
dan Wisma Sirih RS Khusus Provinsi Kalimantan Barat. Pusat pembelajaran
program TC saat itu Daytop Village, di New York, Amerika Serikat- sebagai
pusat pelatihan sebagian besar konselor, baik yang berada di Malaysia, Singapura
maupun Indonesia.
Program ini menarik minat yang luar biasa, terutama dari kalangan
menengah keatas dan berkembang secara cepat. Pada tahun 2000 tercatat lebih 80
lembaga rehabilitasi yang dijalankan dengan metode TC. Lebih dari 85% lembaga
ini merupakan inisiatif masyarakat, selebihnya merupakan inisiatif professional
rehabilitasi sosial milik Kementerian Sosial seperti Galih Pakuan, Bogor juga
mengadopsi pendekatan ini pada program rehabilitasinya. Biaya operasional
penyelenggaraan program umumnya mengandalkan pola tarif layanan yang
dibebankan pada residen serta dari donatur, kecuali lembaga rehabilitasi yang
berada dalam system pemerintahan. Dukungan pemerintah dalam bentuk biaya
perawatan bagi para residen yang mengikuti program rehabilitasi swadaya
masyarakat belum tersedia. Oleh karena itu, tidaklah heran apabila pada umumnya
lembaga rehabilitasi swadaya masyarakat mengenakan pola tarif yang cukup
tinggi dibandingkan dengan pendapatan perkapita masyarakat Indonesia. Hingga
saat ini dukungan pemerintah dalam pembinaan lembaga rehabilitasi swadaya
masyarakat masih terbatas pada peningkatan kapasitas lembaga ataupun sumber
daya manusianya.
Euphoria terhadap program TC di Indonesia secara bertahap mulai
menurun pada tahun 2002. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa factor yaitu daya
jangkau masyarakat terhadap layanan rehabilitasi TC yang semakin melemah;
epidemic HIV di kalangan pengguna narkoba suntik (penasun) yang merubah
orientasi terapi rehabilitasi adiksi narkoba dari abstinensia kepada pengurangan
dampak buruk; serta adanya program terapi rumatan yang tidak mengharuskan
pecandu berada di dalam lembaga untuk waktu yang lama. Hal ini mempengaruhi
eksistensi program-program yang ada sehingga satu persatu tidak dapat lagi
menjalankan layanannya.
Saat ini secara nasional keberadaan lembaga rehabilitasi swadaya
masyarakat dengan pendekatan TC sangatlah terbatas. Kendala utama adalah
dari residen, maupun dalam bentuk bantuan- semakin lama semakin minim. Daya
jangkau masyarakat terbatas dan bantuan dana tidak diterima secara
berkesinambungan, sehingga banyak program TC ditutup. Hal ini tentunya
bukanlah suatu yang menggembirakan, karena bagaimanapun juga pecandu perlu
memiliki berbagai pilihan terapi sehingga dapat memiliki kebutuhan setiap
individu. Dalam hal ini perlu disadari bahwa tidak ada satu program pun yang
cocok buat semua orang- salah satu prinsip terapi yang efektif dari National
Institute on Drug Abuse (NIDA, 2009).
2.4.4 Filosofi Therapeutic Commnunity Dan Penerapan Metode Pekerjaan
Sosial
I. Filosofi
Program TC berlandaskan pada filosofi dan slogan-slogan tertentu, baik
tertulis maupun yang tidak tertulis (unwritten philosophy). Filosofi TC yang
tertulis merupakan sesuatu hal yang harus dihayati, dianggap sacral, tidak
boleh diubah dan harus dibaca setiap hari. Sementara filosofi tidak tertulis
(unwritten philosophy) adalah merupakan nilai-nilai yang harus diterapkan
dalam proses pemulihan yang maknanya mengandung nilai-nilai kehidupan
yang universal, artinya filosofi ini tidak mengacu kepada kultur, agama dan
golongan tertentu.
A. Filosofi TC yang tertulis
―Saya berada di sini karena tiada lagi tempat berlindung, baik dari diri
sendiri, hingga saya melihat diri saya di mata dan hati insane yang lain.
dan menceritakan segala rahasia diri saya ini, saya tidak dapat mengenal
diri saya sendiri yang lain, saya akan senantiasa sendiri. Dimana lagi
kalau bukan di sini, dapatkah saya melihat cermin diri ini?. Disinilah,
akhirnya, saya jelas melihat wujud diri sendiri. Bukan kebesaran semu
dalam mimpi atau si kerdil di dalam ketakutannya. Tetapi seperti seorang
insane, bagian dari masyarakat yang peduh kepedulian. Disini saya dapat
tumbuh dan berakar, bukan lagi seorang seperti dalam kematian tetapi
dalam kehidupan nyata dan berharga baik untuk diri sendiri maupun
orang lain.‖
B. Filosofi tidak tertulis (unwritten philosophy)
Filosofi-filosofi yang ada di bawah ini tidak mengenal hirarki, dalam arti
tidak ada yang lebih penting dari yang lainnya, melainkan merupakan
nilai-nilai kehidupan yang seluruhnya diterapkan dalam keseharian
The Unwritten Philosophies
Honesty
No free lunch Trust Your
Environment
Understand is rather Than To Be Understood
Blind Faith To be Aware is To be alive
Do You things right everything else will
Follow
Be careful what You ask for, You Might
just get it
You can’t keep it unless You give it
away
What goes around shall comes around
Compensation is valid
Act as it Personal growth
before vested status
Bagan 2.1 The Unwritten Philosophies
The Unwritten Philosophies :
a. Honesty (kejujuran): kejujuran adalah nilai hakiki yang harus dijalankan
para residen, setelah sekian lama mereka hidup dalam kebohongan.
b. No free lunch (tidak ada yang gratis di dunia ini): tidak ada sesuatu pun di
c. Trust your environment (percayalah lingkunganmu): percaya pada
lingkungan panti rehabilitasi (facility) dan yakin bahwa lingkungan ini
mampu membawa residen pada kehidupan yang positif.
d. Understand is rather than to understood (pahami lebih dahulu orang lain
sebelum kita minta dipahami): sebelum kita minta untuk dipahami orang
lain, adalah jauh lebih positif apabila kita pahami dahulu orang lain. Sikap
ini akan lebih menggiring kita untuk berfikir bijaksana dan sabar.
e. Blind faith (keyakinan total pada lingkungan): keyakinan total pada
lingkungan panti rehabilitasi akan makin membantu perbaikan diri residen.
f. To be aware is to be alive (waspada adalah inti kehidupan): sikap waspada
sangat diperlukan dalam kehidupan , sehingga kita tidak mudah terjerumus
pada hal-hal negatif.
g. Do you things right everything else will follow (pekerjaan yang dilakukan
dengan benar, akan memberikan hasil positif): lakukan tugas-tugas kita
sebagaimana mestinya, kita pasti akan memetik buahnya kemudian.
h. Be careful what you ask for, you might just get it (mulutmu harimaumu):
jagalah mulut kita, karena ucapan-ucapan negatif dapat menjadi kenyataan.
i. You can‘t keep it unless You give it away (sebarkanlah ilmumu pada
banyak orang): tidak ada gunanya segenap pengetahuan yang kita miliki
bila tidak kita sebarkan pada orang lain.
j. What goes around comes around (perbuatan baik akan berbuah baik):
setiap perilaku kita yang positif akan memberikan dampak positif.
k. Compensation is valid (selalu ada ganjaran pada perilaku kita): hati-hatilah
l. Act as it (bertindak sebagaimana mestinya): bertindaklah apa adanya,
namun apabila tidak sesuai dengan hati nurani, bertindaklah sebagaimana
mestinya.
m. Personal growth before vested status (kembangkan dirimu seoptimal
mungkin): pengembangan diri mutlak diperlukan sebelum kita
mendapatkan jabatan/kepercayaan diri orang lain.
C. Empat Struktur dan Lima Pilar
Dalam menjalankan metode TC, tidak cukup hanya menerapkan filosofi
tertulis dan filosofi tidak tertulis saja. Masih ada komponen lain yang
disebut sebagai empat struktur dan lima pilar (four structures and five
pillars).
a. Empat struktur, yang dimaksud adalah sasaran perubahan yang
diinginkan dari metode TC, yaitu:
a) Manajemen/pembentukan perilaku, yaitu perubahan perilaku
yang diarahkan pada peningkatan kemampuan untuk
mengelola kehidupannya sehingga terbentuk perilaku yang
sesuai dengan nilai-nilai, norma-norma kehidupan
masyarakat.
b) Emosional/psikologis, yaitu perubahan perilaku yang
diarahkan pada peningkatan kemampuan penyesuaian diri
secara emosional dan psikologis, seperti murung, tertutup,
cepat marah, perasaan bersalah, dan lain-lain kea rah perilaku
c) Intelektual/spiritual, yaitu perubahan perilaku yang diarahkan
pada peningkatan aspek pengetahuan sehingga mampu
menghadapi dan mengatasi tugas-tugas kehidupannya serta
didukung dengan nilai-nilai spiritual, etika, estetika, moral
dan sosial.
d) Keterampilan vokasional/mempertahankan diri, yaitu
perubahan perilaku yang diarahkan pada peningkatan
kemampuan dan keterampilan residen yang dapat diterapkan
untuk menyelesaikan tugas-tugas sehari-hari dan tugas-tugas
kehidupannya.
b. Lima pilar yang dimaksud adalah metode-metode yang
digunakan untuk mencapai perubahan yang diinginkan:
a) Family milieu concept, yaitu suatu metode yang
menggunakan konsep kekeluargaan dalam proses dan
pelaksanaannya.
b) Peer pressure, yaitu suatu metode yang menggunakan
kelompok sebagai metode perubahan perilaku.
c) Therapeutic session, yaitu suatu metode yang
menggunakan pertemuan sebagai media penyembuhan.
d) Religious session, yaitu suatu metode yang memanfaatkan
pertemuan-pertemuan keagamaan untuk meningkatkan
nilai-nilai kepercayaan atau spiritual residen.
e) Role model, yaitu suatu metode yang menggunakan tokoh
II. Prinsip pekerjaan sosial dalam TC
Prinsip yang mendasari dilaksanakannya konsep TC adalah bahwa setiap
orang pada prinsipnya dapat berubah, yaitu dari perilaku negatif ke arah
perilaku yang positif. Dalam proses perubahan seperti ini, seseorang sangat
memerlukan bantuan pihak lain termasuk kelompok. Oleh karena itu, dalam
proses pengubahan perubahan perilaku, TC dianggap sebagai keluarga besar.
Konsep TC pada umumnya menerapkan pendekatan self help, artinya
residen dibiasakan mengerjakan tugas-tugas yang berkaitan dengan
pengelolaan kebutuhan sehari-hari, misalnya memasak, mencuci,
membersihkan fasilitas TC, memperbaiki gedung dan sebagainya, disamping
kegiatan yang bersifat pemberian keterampilan. Dalam hal ini, setiap
kegiatan residen mempunyai tanggung jawab mengubah tingkah laku, baik
bagi diri sendiri, maupun orang lain, jadi bukan semata-mata tanggung
jawab petugas.
Teori yang mendasari metode TC adalah pendekatan behavioral dimana
berlaku system reward (penghargaan/penguatan) dan punishment (hukuman)
dalam mengubah suatu perilaku. Selain itu juga digunakan pendekatan
kelompok, dimana sebuah kelompok dijadikan suatu media untuk mengubah
suatu perilaku. Dalam pelaksanaannya, berbagai pendekatan tersebut
merupakan penerapan dari beberapa prinsip-prinsip pekerjaan sosial.
A. Prinsip-prinsip Umum
a) Adanya keyakinan akan kebaikan, integritas dan kebebasan
b) Adanya keyakinan bahwa setiap residen memiliki kebutuhan
baik kebutuhan fisik, sosial, psikologis, dan kebutuhan-
kebutuhan lain-lainnya. Dalam pemenuhannya residen
mempunyai hak untuk menentukan sendiri.
c) Adanya keyakinan bahwa setiap residen mempunyai
kesempatan yang sama tetapi kesempatan tersebut dibatasi oleh
kemampuan sendiri.
d) Adanya keyakinan bahwa setiap residen mempunyai
tanggungjawab sosial untuk terlibat di dalam proses pemecahan
masalah residen lainnya yang diwujudkan dalam tindakan
bersama.
B. Prinsip-prinsip Dasar
a) Penerimaan (Acceptance)
Pekerja sosial harus mengerti bagaimana memahami dan
menerima residen „apa adanya‟. Penerimaan ini berarti
menerima keseluruhan dimensi yang ada dalam diri residen
seperti kekuatan, kelemahan, keistimewaan baik yang positf
maupun yang negatif, karakteristik yang tersembunyi, serta
aspek tingkah laku negatif yang dapat merusak diri residen.
Penerapan prinsip ini diwujudkan dalam bentuk perhatian yang
sungguh-sungguh, penerimaan yang hangat, didengarkan
b) Perbedaan individu
Prinsip ini menekankan bahwa setiap individu/ residen yang
mendapat pelayanan mempunyai kepribadian, agama,
kemampuan, latar belakang yang berbeda. Oleh karena itu,
dalam setiap pelayanan/tindakan ditujukan kepada residen
hendaknya didasarkan pada perbedaan tersebut.
c) Pengungkapan perasaan
Prinsip ini melihat bahwa setiap residen mempunyai perasaan-
perasaan, keinginan, harapan yang akan diungkapkan. Oleh
karena itu, pekerja sosial harus memberikan kesempatan yang
luas untuk mengungkapkan atau mengekspresikan perasaan-
perasaannya. Hal ini memungkinkan residen untuk
mengembangkan segala potensi yang dimilikinya.
d) Tidak memberikan penilaian (non-judgmental)
Dalam prinsip ini diharapkan pekerja sosial yang bekerja dalam
program TC hendaknya tidak memberikan penilaian
baik/buruk, berguna atau tidak. Pekerja sosial hanya
memberikan penilaian secara objektif dan professional serta
tidak menghakimi residen sehingga dapat mendorong
keterlibatan dalam proses pelayanan serta meningkatkan
kepercayaan diri residen.
e) Objektivitas
Dalam prinsip objektivitas pekerja sosial harus bertindak jujur,
dalam melakukan atau memberikan pelayanan kepada residen,
juga tidak memberikan suatu prasangka yang mengarah kepada
penilaian yang dapat merugikan residen.
f) Keterlibatan emosional
Dalam prinsip ini, pekerja sosial dituntut untuk memiliki
perasaan empati, yang artinya perlu ikut merasakan apa yang
dirasakan residen. Namun tidak berarti bahwa empati harus
menerima kesalahan residen/terlibat lebih jauh di dalam
kehidupan residen yang dapar merugikan residen dan diri
pekerja sosial itu sendiri.\
g) Menentukan dirinya sendiri
Prinsip ini didasarkan pada suatu nilai bahwa residen
mempunyai hak dan kebebasan untuk menentukan dirinya
sendiri. Karena itu, dalam prinsip ini seorang pekerja sosial
yang harus bertanggungjawab dalam mengembangkan relasi
sosial yang dapat menggali dan mempermudah residen dalam
membentuk dirinya sendiri dan membantu dalam mencari
alternative-alternatif pemecahan masalah serta dalam
pengambilan keputusan.
h) Aksesibilitas terhadap sumber
Prinsip ini melihat bahwa setiap residen memiliki potensi dan
akses terhadap sumber yang dapat dikembangkan. Oleh karena
itu, dalam penerapan prinsip ini pekerja sosial harus
kesempatan yang bisa merealisasikan harapan dan potensi
residen. Pekerja sosial diharapkan mampu membantu residen
dalam memanfaatkan sumber-sumber yang diperlukan.
i) Kerahasiaan
Dalam proses pelayanan, pekerja sosial harus tetap menjaga
segala kerahasiaan residen, seperti hal-hal yang berhubungan
dengan masalahnya, latar belakang kehidupannya, dan lain-
lain. Kecuali untuk kepentingan atau penyelesaian masalah
residen, seperti pembahasan kasus (case conference). Dalam
proses ini semua harus dicatat untuk kepentingan proses
penanganan residen.
j) Kesinambungan
Prinsip ini menekankan perlunya kesinambungan pelayanan
kepada residen baik di dalam panti maupun di dalam
masyarakat. Karena itu, pekerja sosial harus merencakan suatu
pelayanan yang menekankan pada prinsip-prinsip
kesinambungan.
k) Ketersediaan pelayanan
Prinsip ini menekankan perlunya ketersediaan pelayanan yang
sesuai dengan kebutuhan dan permasalahan diri residen serta
2.5 Proses pelayanan Sibolangit Centre
2.5.1 Gambaran umum pelayanan
Metode TC merupakan salah satu modalitas terapi dalam bentuk
rehabilitasi residensial jangka panjang yang dapat mencapai jangka panjang waktu
satu tahun atau lebih. Prinsip dasar dari metode ini adalah addict to addict,
maksudnya para pengguna membentuk suatu komunitas untuk saling membantu
dalam proses pemulihan dari masalah ketergantungan NAPZA. Selain prinsip
addict to addict para residen juga diwajibkan untuk dapat bekerja sama dengan
semua unsur/petugas yang terlibat dalam panti tersebut.
Peran keluarga maupun masyarakat diperlukan dalam proses rehabilitasi.
Hal ini sangat penting mengingat pada akhirnya mereka harus kembali pada
keluarga dan masyarakat yang dekat dalam kehidupannya. Peran keluarga maupun
orang-orang terdekatnya dibagi menjadi 2 (dua) bentuk kegiatannya itu:
a. Family visit (kunjungan keluarga)
Dalam kegiatan ini residen yang sudah disetujui untuk bertemu dengan
orangtua, boleh dikunjungi sesuai waktu yang telah ditentukan pada
umumnya 2 (dua) minggu sekali.
b. Family support grup/FSG (kelompok dukungan keluarga)
Kegiatan ini merupakan pertemuan antara orangtua residen saja, dimana
mereka dapat berbagi perasaan, pengalaman, dan harapan mereka
umumnya dilakukan 2 (dua) minggu sekali
2.5.2 Tahapan Pelayanan
Ada beberapa tahap-tahap pelayanan yang dilakukan di Sibolangit Centre :
a. Proses Penerimaan (intake process)
Calon residen datang ke panti dengan membawa test urine negatif,
maka langsung diadakan wawancara yang di dalamnya berisi proses
assement. Kemudian setelah dilakukan wawancara dan berbagai
data/informasi tentang calon klien (calon residen) dan pihak keluarga
(orang tua), mengisi perjanjian yang telah disepakat oleh orang tua dan
calon residen dan dibuat oleh lembaga didokumentasikan kedalam file.
Kemudian calon residen memasuki primary stage namun sebelum
residen masuk secara fisik ke dalam fasilitas TC/lembaga kepada klien
dilakukan pemeriksaan (penggeladahan) secara teliti. Badan, pakaian,
dan segala apa yang dibawa residen diperiksa untuk memastikan
residen tidak membawa NAPZA, proses ini disebut ―spot check”.
Bagi calon residen yang datang tanpa membawa hasil tes urine atau
hasi, l test urine menunjukkan positif, maka dilakukan terlebih dahulu
proses detosifikasi dengan berbagai metode seperti Coldturkey,
Konvensional (Simptomatik), substitusi ataupun UROD (Ultra Rapid
Opioid Detoxification). Setelah selesai proses detoksifikasi calon
residen masuk kembali dalam panti untuk mengikuti tahap berikutnya.
Setelah proses intake calon residen memasuki tahap orientasi.
Tahap orientasi adalah tahap pengenalan dan proses adaptasi pada
program, lingkungan dan berbagai aturan yang ada dip anti dan
dalam satu buku (walking paper) pada masa ini masih diberikan
toleransi terhadap peraturan-peraturan panti, keluarga tidak
diperkenankan mengunjungi selama proses orientasi. Pada masa ini
residen didampingi oleh seorang residen senior (buddy) atau pekerja
sosial. Tahap ini berlangsung selama lebih kurang 28 hari.
b. Tahap Awal (Primary Stage)
Tahap ini dilaksanakan selama kurang lebih 6 s/d 9 bulan yang terdiri
dari tahap-tahap sebagai berikut:
a) Younger member
Pada tahap ini residen mulai mengikuti program dengan
proaktif, artinya ia telah aktif mengikuti program yang telah
ditetapkan oleh lembaga. Residen diwajibkan mengikuti aturan-
aturan yang ada dan bila melakukan kesalahan diberi sanksi
tetapi masih diberikan pula toleransi-toleransi dengan batasan-
batasan tertentu.
b) Middle peer
Pada tahap ini residen sudah harus bertanggung jawab pada
sebagian pelaksanaan operasional panti/lembaga, membimbing
younger member dan induction (residen yang masih dalam proses
orientasi), menerima telepon tanpa pendamping, meninggalkan
panti bersama (didampingi) orang tua dan senior (Day With
Pada tahap ini residen telah diberikan sanksi sepenuhnya
dan dapat berperan sebagai pendamping (buddy) bagi residen
yang baru masuk.
c) Older member
Pada tahap ini residen harus bertanggung jawab pada staf
dan lebih bertanggung jawab terhadap keseluruhan operasional
panti dan bertanggung jawab terhadap residen junior. Bila residen
melakukan kesalahan, sanksi yang diberikan dilaksanakan
sepenuhnya tanpa toleransi.
Setelah mengikuti tahap awal dan evaluasi, jika hasil
evaluasi menunjukkan keberhasilan maka residen dinyatakan
lulus (graduate), untuk kemudian memasuki tahap lanjutan.
Ketika residen dinyatakan lulus, biasanya diadakan acara ritual
seremonial sabagai suatu ungkapan bahagia dan ucapan selamat
terhadap residen tersebut. Kegiatan ini diikuti oleh seluruh
komunitas dan masing-masing orang tua mereka terutama orang
tua dari residen yang lulus.
Kegiatan-kegiatan yang ada dalam tahap ini adalah:
i. Morning meeting
Morning meeting adalah komponen utama dilaksanakan
setiap pagi hari yang mengawali kegiatan residen dan
diikuti oleh seluruh residen. Morning meeting merupakan
satu forum untuk membangun nilai-nilai system pada
Honesty, Trust Environment, Responsibility, Dan
Comitment.
ii. Encounter Group
Group ini dirancang khusus untuk mengekspresikan atau
menyatakan perasaan kesal, kecewa, marah, sedih dan
lain-lain. Group ini adalah bagian untuk memodifikasi
perilaku agar menjadikan lebih displin.
iii. Static Group
Static group adalah bentuk kelompok lain yang digunakan
dalam upaya pengubahan perilaku dalam TC. Kelompok
ini membicarakan berbagai macam permasalahan
kehidupan seharian dan kehidupan yang lalu.
iv. PAGE (Peer Accountability Group Evaluation)
Suatu kelompok yang mengajarkan residen untuk dapat
memberikan suatu penilaian positif dan negatif dalam
kehidupan sehari-hari terhadap sesama residen. Dalam
kelompok ini tiap residen dilatih meningkatkan kepekaan
terhadap perilaku komunitas.
v. Haircut
Salah satu bentuk sanksi yang diberikan kepada residen
yang melakukan pelanggaran secara berulang-ulang dan
telah diberikan sanksi talking to (teguran lisan secara
dan nasehat yang disampaikan pada forum Morning
Meeting).
vi. Weekend Wrap Up
Suatu kegiatan yang membahas perjalanan kehidupan
selama 1 minggu. Adapun kekhususan kelompok ini
terfokus pada residen-residen yang mendapatkan satu
kelonggaran untuk keluar bersama keluarga ataupun
bersama teman angkatannya.
vii. Learning Experience
Bentuk-bentuk sanksi yang diberikan setelah menjalani
Haircut, Family haircut dan general meeting. Tujuannya
agar residen belajar dari pengalamannya untuk mengubah
perilaku (behaviour shapping).
Bentuk sanksi dalam learning experience:
• Other yaitu bentuk hukuman/sanksi teringan
dengan diberikan tugas yang ringan misalnya
menulis tentang perilaku yang dilakukan,
confrontation table yaitu duduk dalam satu meja
dengan mendapat masukan dari residen lain.
• Potsink yaitu bentuk hukuman/sanksi dengan
memberikan tugas kepada residen untuk mencuci
peralatan dapur/peralatan makan.
• Grounds yaitu bentuk hukuman/sanksi dengan
memotong atau mencabut serta menyapu rumput
di taman.
• Sparepart yaitu bentuk hukuman/sanksi dengan
memberikan tugas kepada residen pada setiap
departemen tergantung koordinator.
• Extracuriculer/limbo yaitu bentuk
hukuman/sanksi dengan memberikan tugas
kepada residen misalnya untuk menyikat lantai.
Pelaksanaan sanksi tersebut akan dievaluasi oleh staff,
bagaimana kualitas dan waktu terhadap perubahan
perilaku dan emosional dari sanksi tersebut. Apabila
perubahan perilaku dan emosion