• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Jenis dan Konsentrasi Asam Jeruk Terhadap Mutu Fisik, Kimia, dan Organoleptik Ikan Mas Naniura

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Jenis dan Konsentrasi Asam Jeruk Terhadap Mutu Fisik, Kimia, dan Organoleptik Ikan Mas Naniura"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Ikan Mas

Ikan mas atau ikan karper (Cyprinus carpio Linn) adalah jenis ikan air

tawar yang bernilai ekonomis tinggi dan sudah banyak dibudidayakan serta

dikembangkan untuk kegiatan bisnis pondok-pondok pemancingan di lokasi

wisata. Ikan mas dapat hidup baik di daerah dengan ketinggian 150-600 m di atas

permukaan laut dan pada suhu antara 25-30 oC. Ikan mas menyukai tempat hidup

(habitat) di perairan tawar yang airnya tidak terlalu dalam dengan aliran air yang

tidak terlalu deras, seperti di pinggiran-pinggiran sungai atau danau. Oleh sebab

itu ikan mas banyak diusahakan oleh para petani sebagai usaha sampingannya

(Khairuman, 2013).

Penggolongan ikan mas berdasarkan taksonomi hewan (Khairuman, 2013)

adalah sebagai berikut:

Filum : Chordata

Subfilum : Vertebrata

Superkelas : Pisces

Kelas : Actinopterygii

Subkelas : Actinopterygii

Ordo : Cypriniformes

Subordo : Cyprinoidea

Famili : Cyprinidae

Genus : Cyprinus

(2)

Ikan merupakan sumber protein yang sangat potensial, protein ikan sangat

diperlukan oleh manusia. Ikan mas secara umum dapat digolongkan menjadi 2

(dua) kelompok yaitu ikan mas hias dan ikan mas konsumsi. Ikan mas konsumsi

adalah ikan mas yang dikonsumsi atau dimakan oleh masyarakat untuk memenuhi

kebutuhan gizi manusia. Kandungan gizi ikan mas dalam 100 g bahan dapat

dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kandungan gizi ikan mas dalam 100 g bahan

Jenis Zat Gizi Jumlah

Energi (kkal) Sumber: Direktorat Gizi Departemen Kesehatan Republik Indonesia (1981).

Ikan sebagai hasil perikanan lainnya bersifat cepat busuk (perishable

food). Penurunan mutu pada hasil perikanan terjadi dengan mudah disebabkan

tingginya kadar air dan protein serta rendahnya jaringan pengikat (tendon) dalam

daging ikan, sehingga merupakan media yang baik bagi pertumbuhan

mikroorganisme pembusuk (Afrianto dan Liviawati,1989).

Pengaruh Pengolahan terhadap Mutu Ikan

Ikan merupakan bahan makanan yang mudah busuk, sehingga diperlukan

pengolahan agar tetap berada pada kondisi layak konsumsi bagi konsumen.

Berbagai prinsip dalam pengolah/pengawetkan ikan, diantaranya adalah

pendinginan (chilling) dengan es, es kering, air dingin, air laut dingin, atau alat

pendingin mekanis, pembekuan (freezing), pengalengan (canning), penggaraman

(3)

alami, pengasaman (pickling atau marinading), pengasapan (smoking), pembuatan

hasil olahan khusus, misalnya bakso ikan, abon ikan, sashimi dan lain-lain, serta

pembuatan hasil sampingan, yaitu tepung ikan, minyak ikan, kecap ikan, petis,

kerupuk dan lain-lain (Mareta dan Awami, 2011).

Ada dua jenis masakan ikan yaitu pemasakan kering dan pemasakan

basah. Pemasakan kering (dry heat) adalah hidangan yang dimasak tanpa air

misalnya, penggorengan, pemanggangan, dan pembakaran. Pemasakan basah

(moist heat) yaitu dengan perebusan atau pengukusan. Umumnya pemasakan

basah dimasak dengan penambahan macam-macam bumbu sehingga mengubah

rasa asli pada ikan (Tarwotjo 1989).

Teknologi pengolahan ikan baik dengan penggunaan suhu tinggi maupun

dengan penggunaan suhu rendah, pada umumnya memberikan pengaruh pada

setiap hasil pengolahan ikan. Hal ini disebabkan karena berubahnya sifat-sifat,

bau, flavour, wujud atau rupa, dan tekstur dari daging ikan itu sendiri

(Moeljanto, 1992).

Penggunaan suhu tinggi (180-300 oC) seperti pada penggorengan dan

pemanggangan ikan, akan menyebabkan terjadinya kerusakan terhadap protein

ikan atau rasemisasi. Protein yang mengalami rasemisasi akan kehilangan fungsi

biologisnya atau mutu cerna proteinnya menurun dan juga mempunyai flavour

yang berbeda (Mudjajanto, 1991).

Proses pengolahan bahan pangan akan mengakibatkan kerusakan lemak

yang terkandung di dalam bahan pangan. Tingkat kerusakan bahan pangan sangat

(4)

pengolahan. Semakin tinggi suhu yang digunakan, maka kerusakan lemak akan

semakin besar (Palupi, dkk., 2007).

Secara umum penampakan fisik dari ikan yang diolah dengan suhu tinggi

(penggorengan) memiliki bagian luar yang berwarna coklat keemasan karena

adanya penggorengan dengan minyak goreng. Penampakan fisik tersebut diduga

akibat adanya transmisi panas melalui minyak penggorengan yang mempengaruhi

penampakan dan tekstur dari bahan pangan (Layly, 2002).

Pengolahan ikan lainnya adalah penggaraman dan pengeringan.

Pengolahan ikan dengan cara penggaraman dilakukan pada dua tahapan yaitu

penggaraman dan pengeringan. Tujuan dilakukannya penggaraman adalah

memperpanjang daya tahan dan daya simpan dari ikan. Penambahan garam dapat

menghambat ataupun membunuh mikroba patogen penyebab pembusukan pada

ikan (Reo, 2013).

Pada pengeringan terjadi pengurangan kadar air bahan. Semakin tinggi

suhu pengeringan, maka kadar air bahan yang dihasilkan semakin rendah.

Semakin besar perbedaan suhu antara medium pemanas dengan bahan pangan,

maka semakin cepat pemindahan panas ke dalam bahan dan semakin cepat pula

penghilangan air dari bahan (Yanti dan Rochima, 2009). Penggunaan suhu

pengeringan yang tinggi juga akan menghambat pertumbuhan mikroba sehingga

akan menghambat berlangsungnya proses penurunan mutu yang akan berpengaruh

terhadap daya tahan suatu produk pangan yang dihasilkan

(Rumahrupute, dkk., 2000).

Pengolahan ikan dengan cara pengeringan dan penambahan garam akan

(5)

meningkat. Hal ini disebabkan garam yang terserap pada daging akan

mendenaturasi protein sehingga terjadi koagulasi yang membebaskan air dari ikan

tersebut (Reo, 2013). Berkurangnya kadar air pada bahan pangan dapat

menyebabkan bahan pangan mengandung senyawa-senyawa seperti protein,

karbohidrat, lemak, dan mineral dengan konsentrasi yang lebih tinggi

(Winarno, 1997).

Proses perebusan merupakan salah satu cara pemasakan dimana bahan

yang akan dimasak menerima panas melalui media air. Sedangkan pengukusan

merupakan proses pemasakan dimana panas yang diterima bahan dari uap air.

Perebusan dapat menyebabkan kehilangan zat gizi lebih besar pada bahan pangan

dibandingkan dengan cara pengukusan. Hal ini dapat terjadi karena selama proses

perebusan ikan terendam dalam air sehingga beberapa zat gizi larut air seperti

protein ikut terlarut dalam air perebusan. Faktor yang mempengaruhi kehilangan

zat gizi selama proses perebusan adalah luas permukaan bahan, konsentrasi zat

terlarut dalam air perebusan dan adanya pengadukan air. Proses pengukusan dapat

memperkecil kehilangan zat gizi (Harris dan Karmas, 1989).

Pengaruh Pengasaman terhadap Mutu Ikan

Teknologi pengasaman pada produk hasil perikanan merupakan

penggunan asam dan bumbu-bumbu lainnya pada pengolahan ikan. Asam yang

digunakan dapat berupa asam organik seperti asam asetat (asam cuka) atau asam

yang berasal dari buah-buahan dari genus citrus. Asam organik utama dari

buah-buahan genus citrus adalah asam sitrat dan asam malat dengan sedikit

mengandung asam tartarat, asam benzoat, asam askorbat, dan asam laktat

(6)

kontaminasi mikroba pada bahan dasar. Penggunaan asam lebih dari 15% dapat

menghentikan pertumbuhan mikroba, namun pada umumnya asam yang

digunakan untuk pengasaman produk hasil perikanan adalah 6%. Pada umumnya

hasil pengasaman ikan sebaiknya disimpan pada suhu rendah. Bahan-bahan

lainnya yang digunakan pada pengasaman ikan adalah air, garam, gula, cabai,

bahan bercitarasa pedas, dan tanaman herbal (Martin, dkk., 2000).

Proses pengolahan dengan penggunaan asam dapat menyebabkan

terjadinya denaturasi protein sehingga terjadi penurunan kandungan dan daya

cerna protein. Menurut Ophart (2003) dalam Nurjanah (2008), semakin lama

protein bereaksi dengan asam, kemungkinan besar ikatan peptida terhidrolisis

sehingga struktur primer protein rusak.

Denaturasi protein oleh asam dapat menyebabkan peningkatan kandungan

air pada ikan. Penelitian Sumiati (2008) menunjukkan kadar air pada ikan mujair

segar dengan penambahan bumbu (82,25%) lebih tinggi dibandingkan dengan

ikan mujair segar tanpa penambahan bumbu (80,12%). Denaturasi protein oleh

larutan asam cuka dan garam menyebabkan air yang terdapat pada jaringan ikan

akan terperangkap didalamnya (Afrianto dan Liviawaty, 1989).

Penelitian Sumiati (2008) juga menunjukkan kadar lemak ikan mujair

segar tanpa penambahan bumbu (11,27%) lebih tinggi dibandingkan dengan ikan

mujair segar dengan perlakuan penambahan bumbu (6,13%). Hal ini diduga

karena lemak terhidrolisis di dalam larutan asam cuka dan garam yang

mengakibatkan kadar lemak dalam ikan menurun. Winarno (1997) menyatakan

(7)

asam lemak. Reaksi ini dapat dipercepat dengan penambahan asam dan basa.

Reaksi hidrolisis lemak dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Reaksi hidrolisis lemak (Budimarwanti, 2008)

Naniura

Naniura atau dengke naniura merupakan salah satu jenis makanan

tradisional Batak Toba, Sumatera Utara. Naniura atau ikan yang diasamkan secara

tradisional ini dibuat dengan menggunakan ikan mas segar sebagai bahan baku

utamanya. Naniura diolah dengan perendaman ikan di dalam larutan sari jeruk

sunde atau unte jungga hingga ikan menjadi lunak dan siap dikonsumsi tanpa

pemasakan. Bumbu naniura terdiri dari andaliman, bawang merah, bawang putih,

kunyit, jahe, kencur, cabai rawit, kemiri, dan batang kecombrang, yang digunakan

untuk menambah rasa dan memperbaiki penampakan (Manik, dkk., 2015).

Bahan mentah yang umumnya digunakan untuk pengolahan naniura

adalah ikan mas (Cyprinus carpio). Silalahi (1994) menggunakan ikan gabus

(Chana striatus) sebagai bahan mentah dalam pengolahan naniura yang secara

organoleptik dapat diterima oleh konsumen.

Naniura (masak dengan asam) adalah ikan yang tidak dimasak, namun

dengan adanya perendaman asam secara kimiawi akan mengubah ikan mentah

(8)

ikan menjadi lembut. Pada roses pembuatan naniura tidak ada penambahan

bumbu-bumbu masakan modern yang mengandung bahan pengawet, melainkan

menggunakan bahan-bahan yang alami (Manalu, 2009). Hasil analisis proksimat

ikan mas segar dan dengke naniura (Manik, dkk., 2015) dapat dilihat seperti pada

Tabel 2.

Tabel 2. Hasil analisis proksimat ikan mas segar dan dengke naniura

Komposisi Ikan mas segar (%) Dengke naniura (%)

Kadar air 74,05±2,12 69,00±0,71

Kadar lemak 6,07±0,13 6,39±0,04

Kadar protein 16,16±0,07 13,38±0,10

Kadar abu 0,80±0,01 1,83±0,03

Keterangan : Hasil yang disajikan adalah rata-rata dan standar deviasinya. Sumber: Manik, dkk. (2015)

Proses pembuatan naniura adalah sebagai berikut: ikan mas dibersihkan

dari sisik dan bagian dalam ikan, kemudian ikan dibelah dua dari punggung

sampai ekor ikan. Kemudian ikan disayat-sayat untuk mempercepat penetrasi

asam, lalu ikan dicuci hingga bersih dan ditiriskan. Asam dibelah dua melintang,

diperas untuk mendapatkan sarinya dan selanjutnya ikan direndam dengan jeruk

jungga selama 3 jam. Bumbu yang terdiri dari kemiri, bawang merah dan bawang

putih yang telah dikupas, disangrai sampai baunya harum, masing-masing

dihaluskan, andaliman, kunyit dan cabai merah dihaluskan, kecombrang direbus

lalu dihaluskan. Semua bumbu dicampur sampai rata. Ikan yang telah direndam

akan ditambahkan bumbu-bumbu yang sudah disiapkan terlebih dahulu.

Kemudian bumbu-bumbu tersebut dicampurkan ke dalam ikan sampai merata dan

didiamkan selama 1 jam (Pasaribu, dkk., 2015).

Pembuatan ikan gabus naniura dilakukan dengan cara ikan terlebih dahulu

dibersihkan dan disiangi dari tulang, kemudian dicuci. Bumbu yang telah

(9)

didalam ekstrak jeruk nipis dan bumbu yang sudah dicampurkan selama 3 jam

kemudian dilakukan fermentasi (Irianto, 2013).

Sashimi merupakan salah satu produk olahan hasil perikanan yang proses

pembuatannya hampir sama dengan proses pembuatan naniura, yaitu berupa

makanan laut dengan kesegaran prima yang langsung dimakan dalam keadaan

mentah bersama penyedap. Menurut BPOM (2009), jenis dan cemaran mikroba

dalam ikan olahan fermentasi dengan atau tanpa penambahan garam yaitu dengan

APM Escherichia coli < 3/g, Salmonella sp negatif/ 25 g, Staphylococcus aureus

1x103 koloni/g, dan Vibrio cholerae negatif/ 25 g.

Jenis AsamJeruk

Jeruk jungga (Citrus jambhiri L)

Jeruk jungga atau ada yang menyebutnya untte jungga memiliki bentuk

mirip jeruk purut dan memiliki rasa yang lebih asam apabila dibandingkan dengan

jeruk lain, contohnya jeruk nipis. Aroma dari jeruk jungga lebih harum apabila

dibandingkan jeruk nipis. Jeruk jungga memiliki tingkat keasaman yang tinggi,

sehingga suku Batak seringkali menggunakan jeruk jungga dalam pembuatan

naniura (Femina, 2013). Dari hasil penelitian Mohammed, dkk. (2013) diketahui

bahwa asam jeruk jungga mempunyai kandungan vitamin C lebih tinggi apabila

dibandingkan dengan jeruk lainnya yaitu 70 mg/100 g bahan, dengan kadar air

23,75% dan kadar abu sebesar 2,04%.

Proses pematangan yang terjadi pada daging ikan dikarenakan asam yang

dihasilkan dari air perasan jeruk jungga. Selain untuk mematangkan ikan, asam

(10)

membuat duri yang terdapat pada daging ikan menjadi lembut sehingga mudah

dimakan (Manalu, 2009). Gambar jeruk jungga dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Jeruk jungga

Penggolongan jeruk jungga berdasarkan taksonomi tumbuh-tumbuhan

(Sanabam, dkk., 2012) adalah sebagai berikut:

Filum : Tracheophyta

Subfillum : Euphyllophytina

Kelas : Spermatopsida

Subkelas : Rosidae

Ordo : Sapindales

Family : Aurantioideae

Genus : Citrus

Spesies : Citrus jambhiri

Jeruk purut (Citrus hystrix)

Tanaman jeruk purut dapat tumbuh di lahan dengan ketinggian 1.400 m di

atas permukaan laut. Tinggi pohonnya mencapai 12 m, buahnya berukuran kecil,

bulat berwarna hijau dan kulitnya memiliki banyak tonjolan. Daging buahnya

(11)

Buah jeruk purut memiliki aroma wangi yang agak keras. Ukuran buahnya

lebih kecil dari kepalan tangan, bentuknya bulat tetapi banyak tonjolan dan

berbintil. Kulit buahnya tebal dan berwarna hijau tua polos atau berbintik-bintik.

Kulit buah jeruk purut tebal dan berwarna hijau, pada buah jeruk purut yang

matang memiliki warna sedikit kuning. Daging dari buah jeruk purut mempunyai

warna hijau kekuningan, rasanya sangat masam dan kadang pahit. Kulit buah

diparut dan dicampur air dapat digunakan sebagai bahan pencuci rambut, selain

itu juga digunakan dalam masakan dan pembuatan kue, serta dibuat manisan

(Yuliani dan Satuhu, 2012).

Penggolongan jeruk purut secara taksonomi tumbuh-tumbuhan (Sarwono,

1986) adalah sebagai berikut:

Suku : Jeruk-jerukan (Rutaceae)

Sub Famili : Amantioidae

Genus : Citrus

Sub genus : Papeda

Spesies : Citrus hystrix

Jeruk purut terkenal sebagai salah satu bahan sumber aroma dan rasa

untuk berbagai keperluan, misalnya sebagai bahan baku kosmetika dan sebagai

penambah citarasa (flavour) untuk mengharumkan sambal, sate, ataupun aneka

masakan lainnya. Selain itu buah jeruk purut umumnya digunakan untuk bumbu

ikan, obat tradisional, dan kulit jeruk purut dapat digunakan sebagai bahan baku

pencuci rambut (Rukmana, 2003). Gambar jeruk purut dapat dilihat pada

(12)

Gambar 3. Jeruk purut

Di dunia kuliner, jeruk purut sering digunakan, karena rasa sari buahnya

yang sangat asam bisa digunakan sebagai penetral bau amis daging ataupun ikan

agar konsumen yang memakannya tidak merasa mual. Penggunaan jeruk purut

pada produk hewani sangat mudah, yaitu dengan meneteskan sari buah jeruk pada

ikan atau daging yang akan digunakan. Selain dari buah, daunnya juga bisa

digunakan sebagai penambah aroma dalam masakan Indonesia (Manalu, 2009).

Jeruk nipis (Citrus aurantifolia Swingle)

Jeruk nipis merupakan buah-buahan yang banyak digemari oleh

masyarakat di Indonesia. Jeruk nipis (Citrus aurantifolia Swingle) adalah sejenis

tanaman perdu yang banyak tumbuh dan dikembangkan di Indonesia. Selain

daerah penyebaranya yang sangat luas, jeruk nipis berbuah terus-menerus

sepanjang tahun. Jeruk nipis sering diolah oleh masyarakat sebagai minuman

segar, seperti jus jeruk nipis, sirup jeruk nipis, limun powder jeruk nipis, air jeruk

nipis dingin dan air jeruk nipis hangat (Sarwono, 1994). Struktur dan komposisi

jeruk nipis hampir sama dengan lemon. Buah berbentuk bola, kulit buah berwarna

hijau kekuningan saat tua (matang) serta mempunyai ketebalan 0,2-0,5 cm,

sedangkan daging buahnya berwarna kekuningan. Jeruk nipis memiliki aroma

(13)

yang lain (Tessler dan Nelson, 1949). Gambar jeruk nipis dapat dilihat pada

Gambar 4.

Gambar 4. Jeruk nipis

Jeruk nipis sebagai salah satu jeruk yang banyak digunakan sebagai salah

satu bumbu masakan memiliki banyak kandungan gizi. Kandungan gizi jeruk

nipis dalam 100 g bahan dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Kandungan gizi jeruk nipis dalam 100 g bahan

Jenis Zat Gizi Jumlah

Energi (kkal) Keterangan: Bdd* = Bagian yang dapat dimakan

Sumber: Direktorat Gizi Departemen Kesehatan Republik Indonesia (1981)

Buah jeruk nipis mengandung bahan kimia diantaranya asam sitrat

sebanyak 7-7,6%, damar, lemak, mineral, vitamin B1, minyak atsiri atau essensial

(14)

beberapa bakteri yaitu Staphylococcus aureus, Bacillus cereus, Salmonella typhi

dan golongan Candida albicans (Chanthaphon, dkk., 2008)

Bau amis pada ikan oleh kandungan protein ikan yang tinggi.

Berkurangnya kesegaran ikan terutama berasal dari senyawa amonia,

trimetilamin, asam lemak yang mudah menguap dan hasil-hasil dari oksidasi asam

lemak. Air jeruk nipis cukup efektif mengurangi bau amis ikan dikarenakan

mengandung asam sitrat dan asam askorbat, kedua asam tersebut dapat bereaksi

dengan trimetilamin membentuk trimetil ammonium yang selanjutnya diubah

menjadi bimetal amonium, sehingga bau amis ikan berkurang

(Poernomo, dkk., 2004).

Jeruk kasturi (Citrus microcarpa)

Jeruk kasturi adalah tanaman dalam famili rutaceae, yang telah

dikembangkan dan populer di seluruh Asia Tenggara, terutama Filipina.

Kandungan gizi yang terdapat di dalam 100 g jeruk kasturi atau juga dikenal

sebagai limau kasturi adalah 173 kalori, 87% air, 0,86% protein, 2,41% lemak,

3,27% karbohidrat, 0,54% abu, 0,14% kalsium, 0,07% fosfor, 0,003% zat besi,

2,81% asam sitrat (Desa, 2008). Gambar jeruk kasturi dapat dilihat pada

Gambar 5.

(15)

Jeruk kasturi dapat digunakan sebagai pengawet, penambah citarasa, dan

penghilangkan bau anyir daging. Jeruk kasturi dapat digunakan sebagai bahan

pengawet karena mengandung asam organik. Jeruk kasturi atau yang lebih dikenal

di Sulawesi Utara dengan sebutan lemon cui dapat digunakan sebagai bahan

pengawet pada ayam broiler. Penambahan bahan pengawet diharapkan dapat

memperpanjang lama penyimpanan dan mencegah kerusakan pada bahan pangan

(Andriani, dkk., 2007).

Bahan-bahan Tambahan pada Pembuatan Naniura Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC)

Di Indonesia, andaliman umumnya ditemukan di daerah Sumatera Utara

dan belum dimanfaatkan sebagai tanaman obat-obatan seperti halnya di

negara-negara lain. Andaliman adalah salah satu tanaman yang khas ditemukan di daerah

Sumatera Utara, terutama di Parbuluan, Kabupaten Dairi, Siborong-borong, dan

Kabupaten Tapanuli Utara. Tanaman ini mempunyai biji yang sering

dimanfaatkan sebagai bumbu masak terutama untuk masakan tradisional suku

Batak (Sabri, 2007).

Tanaman andaliman termasuk dalam famili rutacea (keluarga

jeruk-jerukan), ditemukan tumbuh liar di daerah Tapanuli yang tumbuh di tanah kering

di dataran rendah dan dataran tinggi. Andaliman adalah bumbu masakan khas

Batak Angkola dan Batak Mandailing. Andaliman sebagai rempah-rempah

merupakan komoditi pelengkap masakan khas suku Batak. Berbagai jenis

masakan khas Batak seperti saksang, naniura, natinombur, atau arsik,

menggunakan andaliman sebagai ciri khas. Buah andaliman berbentuk kecil-kecil,

(16)

sedangkan jika buah mengering akan menjadi warna hitam. Rasa yang dihasilkan

dari buah andaliman adalah pedas, namun berbeda dengan pedas yang dihasilkan

cabai (Manalu, 2009).

Tanaman andaliman juga mengandung senyawa terpenoid yang memiliki

aktivitas antioksidan yang sangat baik bagi kesehatan dan berperan dalam

mempertahankan mutu produk pangan dari berbagai kerusakan seperti ketengikan,

perubahan nilai gizi serta perubahan warna dan aroma makanan. Senyawa

terpenoid juga dapat dimanfaatkan sebagai antimikroba, sehingga andaliman

dapat dijadikan bahan baku senyawa antioksidan dan antimikroba bagi industri

(Wijaya, 1999).

Cabai merah (Capsicum annuum)

Cabai merah adalah buah dan tumbuhan anggota genus capsicum yang

termasuk dalam suku terong-terongan (solanaceae). Sebagai bumbu, buah cabai

merah yang pedas sangat populer sebagai penguat rasa makanan, yang

menimbulkan rasa pedas dan memberikan kehangatan bila digunakan sebagai

rempah-rempah. Selain untuk menghasilkan rasa pedas, cabai merah juga

digunakan untuk menambah intensitas warna dalam suatu masakan

(Manalu, 2009).

Cabai merupakan salah satu bahan yang dapat digunakan dalam bentuk

segar maupun dalam bentuk kering. Kandungan kapsaisin pada cabai membuat

cabai terasa pedas. Kapsaisin merupakan senyawa yang berfungsi sebagai

antioksidan sehingga dapat menghambat perkembangan sel kanker dan sebagai

senyawa antimikroba yang dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme.

(17)

(9–17%), protein (12–15%), vitamin A dan C, serta sejumlah kecil senyawa

volatil (Sartika, 1999). Cabai merah mengandung air 90 %, energi 32 kal, protein

0,5 g, lemak 0,3 g, karbohidrat 7,8 g, serat 1,6 g, abu 0,5 g, kalsium 29,0 mg,

fosfor 45 mg, zat besi 0,5 mg, vitamin A 470 IU, vitamin C 18 mg/100 g, tiamin

0,05 mg, riboflavin 0,06 mg, dan niasin 0,9 mg (Ashari, 2006). Cabai juga

mengandung senyawa antioksidan antara lain vitamin C, vitamin E, vitamin K,

fitosterol, betakaroten dan betacryptoxanchin (Alex, 2011).

Bawang merah (Allium cepa)

Bawang merah adalah tamanan dari famili alliaceae. Bawang merah

merupakan salah satu tanaman sayuran yang menjadi bumbu pokok pada hampir

semua jenis masakan sebagai penyedap masakan, baik daunnya maupun umbinya

(Manalu, 2009).

Bau dan citarasa yang khas dari bawang merah disebabkan adanya

senyawa-senyawa volatil yang terkandung didalamnya. Bawang merah memiliki

aktivitas antimikroba. Bawang merah yang digunakan sebagai bumbu dalam

bentuk pasta dipilih yang segar, tidak busuk, dan tidak layu

(Hambali, dkk., 2005b).

Bawang merah dapat disajikan mentah atau dimasak dan digunakan

sebagai pemberi citarasa pada berbagai jenis makanan. Pemasakan dengan panas

yang terlalu tinggi dan terlalu lama dapat menghilangkan citarasa dari bawang,

maka dalam pemasakan bawang merah sebaiknya dilakukan pemanasan sedang.

Bawang merah dapat dimasak dengan pengukusan, perebusan, penggorengan,

ataupun penyangraian. Bawang merah memiliki kandungan air yang tinggi yaitu

(18)

Bawang merah mengandung senyawa aktif flavonoid bersifat antiinflamasi

atau antiradang. Bawang merah berfungsi sebagai antioksidan alami yang dapat

menekan efek karsinogenik dari senyawa radikal bebas. Kandungan senyawa

dalam bawang merah juga turut berperan dalam menetralkan zat-zat toksin

berbahaya dan membantu membuangnya dari dalam tubuh (Kurniawati, 2010).

Selain itu, bawang merah juga mempunyai efek antiseptik dari senyawa alliin

atau allisin. Senyawa allisin oleh enzim allisin liase diubah menjadi asam piruvat,

ammonia dan allisin antimikroba yang bersifat bakterisida (Rukmana, 1994a).

Adapun komposisi kimia bawang merah per 100 g terdapat air sekitar 80-85%,

protein 1,5 %, lemak 0,3 %, karbohidrat 9,2 %, vitamin B1 0,03 mg, vitamin C

2,0 mg, kalsium (Ca) 36 mg, besi (Fe) 0,8 mg, fosfor (P) 40,0 mg, dan energi

39,0 kalori (Rahayu dan Nur, 1999).

Bawang putih (Allium sativum)

Bawang putih yang berasal dari genus allium termasuk bumbu dapur yang

sangat populer di Asia, karena memberikan aroma harum yang khas pada

masakan, sekaligus dapat menurunkan kadar kolesterol yang terkandung dalam

bahan makanan yang mengandung lemak. Bawang putih sangat sering digunakan

pada jenis masakan Indonesia, Jepang, Cina, dan Korea (Manalu, 2009).

Bawang putih yang digunakan sebagai bumbu dalam pengolahan daging

atau ikan dapat mengurangi bau dari daging dan ikan. Pemakaian atau

pencampuran bawang putih sebagai bumbu dapat dilakukan dalam bentuk irisan

tipis ataupun dalam bentuk halus (Purwaningsih, 2007). Komposisi kimia bawang

putih per 100 g terdiri dari 6,5 g air, protein 16,8 g, lemak 0,4 g, abu 3,3 g dan

(19)

Kunyit (Curcuma domestica val)

Kunyit merupakan tanaman yang dibudidayakan sebagai tanaman

pelengkap bumbu dan sebagai obat-obatan tradisional. Kunyit merupakan bumbu

dapur yang mempunyai rasa agak pahit, agak pedas, baunya khas aromatik,

rimpang berwarna kuning kejingga-jinggaan (Pangkalan Ide, 2011). Kandungan

nutrisi rimpang kunyit per 100 g adalah air 11,4 g, kalori 1480 Kal, karbohidrat

64,9 g, protein 7,8 g, lemak 9,9 g, serat 6,7 g, abu 6,0 g, kalsium 0,182 g, fosfor

0,268 g, zat besi 4 g, vitamin B 0,005 g, vitamin C 0,026 g, minyak atsiri 3% dan

kurkumin 3% (Said, 2003).

Kunyit merupakan tanaman obat berupa semak dan bersifat tahunan

(perenial) yang tersebar di seluruh daerah tropis. Kulit luar rimpang berwarna

jingga kecokelatan dengan daging buah berwarna merah jingga kekuningan.

Manfaat utama tanaman kunyit yaitu sebagai obat tradisional, bahan baku industri

jamu, dan kosmetik, serta sebagai bumbu masak (Hambali, dkk., 2005b).

Kunyit banyak digunakan sebagai zat pewarna alami pada makanan,

antikoagulan, bakterisida, fungisida, stimulan, dan dapat menurunkan tekanan

darah, serta dapat dijadikan obat malaria, obat cacing, dan obat sakit perut.

Kurkumin pada kunyit memiliki spektrum yang luas terhadap aktivitas antibakteri

(Syukur dan Hernani, 2001). Kurkumin tergolong senyawa polifenol yang

mempunyai dua bentuk tautomer yaitu bentuk keto pada fase padat dan bentuk

enol pada fase cair (larutan).

Jahe (Zingiber officinale Rosc.)

Jahe merupakan salah satu tanaman herbal yang banyak ditemukan di Asia

(20)

ke dalam makanan dengan cara diparut, dicincang, ataupun diiris halus. Jahe segar

memiliki kandungan air yang tinggi yaitu 82% (Riza, dkk., 2002).

Jahe dapat digolongkan sesuai dengan warna dan ukuran rimpang.

Berdasarkan warna rimpang, jahe terdiri dari jahe putih, jahe kuning, dan jahe

merah. Jahe mengandung sekitar 40-60% pati, 9% protein, beberapa jenis mineral

dan vitamin, khususnya niasin dan vitamin A (Hambali, dkk., 2005a).

Lengkuas (Alpinia galanga L)Willd

Lengkuas merupakan salah satu bumbu dapur yang digunakan untuk

pengobatan tradisional serta mempunyai aktivitas antimikroba untuk menghambat

pertumbuhan bakteri. Rimpang lengkuas mengandung senyawa fenolik sebagai

antimikroba. Peranan lengkuas sebagai pengawet makanan tidak terlepas dari

kemampuan lengkuas yang memiliki aktivitas antimikroba, kandungan zat kimia

yang terdapat dalam lengkuas adalah fenol, flavonoida dan minyak atsiri

(Gunawan, dkk., 1989). Rimpang lengkuas segar mengandung air sebesar 75 %,

dalam bentuk kering mengandung 22,44 % karbohidrat, 3,07 % protein dan

sekitar 0,07 % senyawa kamferid (Darwis, dkk., 1991).

Lengkuas dapat digolongkan menjadi dua golongan, yaitu lengkuas putih

dan lengkuas merah. Lengkuas putih umumnya digunakan sebagai penyedap

masakan, sedangkan lengkuas merah umumnya digunakan sebagai obat-obatan

tradisional. Lengkuas yang digunakan sebagai bumbu dalam bentuk pasta adalah

lengkuas putih (Hambali, dkk., 2005a).

Kemiri (Aleurites moluccana L) Willd

Kemiri merupakan salah satu pohon serbaguna yang sudah dibudidayakan

(21)

bijinya dapat digunakan sebagai bahan media penerangan, masakan dan

obat-obatan, sedangkan batangnya dapat digunakan untuk kayu. Indonesia dan

Malaysia umumnya menggunakan biji kemiri kering sebagai bumbu untuk

makanan (Krisnawati, dkk., 2011). Kemiri mengandung senyawa saponin dan

alkaloid. Saponin merupakan salah satu metabolit sekunder yang mempunyai

aktivitas biologi, diantaranya bersifat sebagai antimikroba (Prihatman, 2001).

Di Indonesia, kemiri dipanggang kemudian dihaluskan dan dicampurkan

dengan cabai dan garam sebagai bumbu. Di dalam 100 g kemiri mengandung

62,6 kkal, 19 g protein, 63 g lemak, 8 g karbohidrat, 3 g abu, 80 mg kalium,

200 mg fosfor, 2 mg zat besi, dan 0,06 mg tiamin. Kemiri mengandung 16%

minyak, sebagian besar merupakan linoleat dan oleat (Janick dan Robert, 2008).

Kecombrang (Etlingera elatior)

Kecombrang adalah sejenis tumbuhan rempah dan merupakan tumbuhan

tahunan berbentuk terna yang bunga, buah, serta bijinya dimanfaatkan sebagai

bahan sayuran. Kecombrang umumnya digunakan sebagai bahan campuran atau

bumbu penyedap berbagai macam masakan di Nusantara. Di Tanah Karo, buah

kecombrang disebut asam cekala. Kuncup bunga dan polong menjadi bagian

pokok dari sayur asam Karo, juga dapat digunakan sebagai penghilang bau amis

sewaktu memasak ikan (Wikipedia, 2013).

Kecombrang mengandung senyawa alkaloid, saponin, tanin, fenolik,

flavonoid, triterpenoid, steroid, vitamin, mineral, dan glikosida yang berperan

sebagai antimikroba dan antioksidan (Nuraini, 2014). Kandungan gizi

(22)

karbohidrat 6,7 g, serat 2,6 g, kalsium 60 mg, fosfor 16 mg, zat besi 1 mg, vit A

73 µg, dan air 90 g (Persagi, 2009).

Garam dapur

Garam dapur (NaCl) umumnya ditambahkan ke dalam bahan makanan

untuk menghasilkan rasa asin dan sekaligus menjadi bahan pengawet. Garam

dapur dapat berperan untuk menaikkan tekanan osmotik, sehingga dapat terjadi

plasmolisis sel. Disamping itu, garam dapur juga dapat menyeimbangkan kadar

air, menimbulkan ion Cl- yang bersifat toksin terhadap mikroorganisme dan

mengurangi kelarutan oksigen di dalam air (Hastari dan Rusnawati, 2011).

Garam merupakan salah satu bumbu yang paling penting dalam

pembuatan berbagai jenis produk pangan baik fermentasi maupun non fermentasi.

Garam juga berperan penting dalam pelarutan protein dan daya ikat air.

Konsentrasi garam yang ditambahkan biasanya 2,4-3% dari jumlah total bahan.

(Hutkins, 2006).

Keamanan Produk Ikan Mentah

Pada ikan segar bakteri patogen indigenous biasanya terdapat dalam

jumlah yang rendah. Sehingga potensi bahaya keamanan pangan dari bakteri

patogen ini biasanya tidak signifikan untuk ikan dan hasil budidaya yang dimasak

terlebih dahulu sebelum dikonsumsi. Untuk ikan yang akan dikonsumsi mentah,

pembekuan pada -20 °C selama tujuh hari atau -35 °C selama 20 jam, akan

membunuh parasit dan pada umumnya bakteri tidak berkembang dengan baik,

pada pH di bawah 4,6. Proses seperti perendaman dalam air garam atau

(23)

garam dalam waktu yang cukup, namun perlakuan ini tidak dapat membasmi

seluruh parasit (APEC FSCF, 2013).

Asam berpengaruh terhadap penurunan pH, rasa, tekstur, serta

kontaminasi mikroba pada bahan dasar. Penggunaan asam lebih dari 15% dapat

menghentikan pertumbuhan mikroba, namun pada umumnya asam yang

digunakan untuk pengasaman produk hasil perikanan adalah 6%. Pada umumnya

hasil pengasaman ikan sebaiknya disimpan pada suhu rendah. Bahan-bahan

lainnya yang digunakan pada pengasaman ikan adalah air, garam, gula, cabai

(bahan bercitarasa pedas), dan tanaman herbal (Martin, dkk., 2000).

Penelitian Sebelumnya

Hasil penelitian Pasaribu, dkk. (2015) menunjukkan semakin banyak jeruk

jungga yang ditambahkan ke dalam ikan mas maka terjadi penurunan nilai

kesukaan panelis yang meliputi rasa, aroma, penampakan, dan tekstur. Purba

(2011) menunjukkan semakin tinggi konsentrasi larutan asam yang diberikan dan

semakin lama dilakukan waktu pendiaman maka jumlah koloni bakteri yang

tumbuh juga semakin berkurang.

Penelitian Sumiati (2008) menunjukkan ikan mujair yang direndam

dengan garam dan asam cuka mengalami peningkatan kadar air dan penurunan

kadar lemak, dan kadar protein. Kadar protein dan lemak mengalami penurunan

Gambar

Gambar 1. Reaksi hidrolisis lemak (Budimarwanti, 2008)
Gambar 2. Jeruk jungga
Gambar 3. Jeruk purut
Gambar 4. Jeruk nipis
+2

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian tentang penggunaan ekstrak bawang putih sebagai pengawet bagi ikan tongkol menunjukkan bahwa bawang putih dapat memberikan pengaruh yang

Perlakuan terbaik diperoleh pada kombinasi perlakuan perendaman dengan menggunakan jeruk nipis (A 1 ) dan lama perendaman 5 jam (S 2 ) berdasarkan penilaian nilai hedonik rasa

Beberapa jenis asam lain yang dapat dijadikan sebagai asam alternatif dalam pembuatan ikan naniura , seperti jeruk nipis, jeruk kasturi, dan jeruk purut.. Hal ini disebabkan

Studi penerimaan konsumen terhadap naniura ikan mas (Cyprinus carpio) dengan asam jungga (Citrus hytrix DC.) berbeda.. Jurnal Online Mahasiswa Universitas Riau

[r]

Jenis asam jeruk memberikan pengaruh yang berbeda sangat nyata (P&lt;0,01) terhadap karakteristik kimia (total volatil nitrogen, derajat keasaman, total asam) dan

Hasil ini menunjukkan bahwa penambahan daging ikan dengan konsentrasi yang berbeda mempengaruhi bau atau aroma kerupuk ubi jalar, semakin banyak konsentrasi daging

Hasil ini menunjukkan bahwa penambahan daging ikan dengan konsentrasi yang berbeda mempengaruhi bau atau aroma kerupuk ubi jalar, semakin banyak konsentrasi daging ikan