• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implementasi Kebijakan Proteksi Terhadap manajemen

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Implementasi Kebijakan Proteksi Terhadap manajemen "

Copied!
101
0
0

Teks penuh

(1)

Implementasi Kebijakan Proteksi Terhadap Film Asing di

Republik Rakyat Tiongkok Pada Pemerintahan Presiden Xi

Jinping Tahun 2013 - 2016

SKRIPSI

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Hubungan Internasional pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Dengan

Peminatan Global Transformation

Disusun Oleh :

Alifian Rizaldi

125120407111003

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG

▸ Baca selengkapnya: kesimpulan proteksi data saat berinternet

(2)

Abstrak

Penelitian ini memiliki fokus utama untuk mendeskripsikan dan mengidentifikasi implementasi kebijakan proteksi terhadap film asing di Tiongkok. Kita ketahui sendiri bagaimana industri film Tiongkok berkembang setiap tahunnya. Dan perusahaan film asing tentu akan menjadikan Tiongkok sebagai pasar strategis mereka. Tetapi dengan regulasi yang ketat, perusahaan asing tidak mudah memasarkan filmnya di Tiongkok terutama di masa pemerintahan Xi Jinping tahun 2013 - 2016

Setidaknya ada tiga variabel yang dapat dilihat dari kebijakan proteksi yaitu kouta dan tarif, subsidi produk lokal, dan diskriminasi. Penelitian ini akan menjelaskan pelaksanaan dari kebijakan proteksi terhadap film asing di Tiongkok. Dengan menggunakan metode penelitian deskriptif yang ditunjang dengan data kuantitatif dan kualitatif, penulis dapat meneliti lebih dalam dari kebijakan proteksi terhadap film asing di Tiongkok.

(3)

Abstract

This research has main goals to describe and identify the implementation of protection policy to foreign film in Tiongkok. We know that how the industry of film in Tiongkok growing so fast every year. And the foreign companies will make Tiongkok to become strategic film market in the world. But with the strong regulation, foreign companies aren’t easily to take their films especially in the reign of President’s Xi Jinping 2013 – 2016.

At least, there are three variable to describe protection policy quota tariff, local subsidies, and discrimination. This research describe about how the policy will implemented. This research use descriptive research methods with quantitative and qualitative data to examine more deeply from protection policy of foreign film in Tiongkok.

(4)

Daftar Isi

4.1 Sejarah Kebijakan Proteksi Film Asing di Republik Rakyat Tiongkok...30

4.2 Perkembangan Industri Film Tiongkok Tahun 2013 – 2015...40

4.3 Pemutaran Film Asing di Tiongkok...45

4.3.1 Kategori Film Asing...46

4.3.2 Distribusi Film Asing...48

(5)

PEMBAHASAN...54

5.1 Kebijakan Proteksi Pemerintah Tiongkok Terhadap Film Asing...54

5.1.1 Kuota dan Tarif...55

5.1.2 Subsidi Produksi...68

5.1.3 Tindakan Diskriminatif Pemerintah...73

PENUTUP...82

6.1 Kesimpulan...82

6.2 Saran...83

6.2.1 Bagi Pemerintah Tiongkok...83

6.2.2 Bagi Perusahaan Film Asing...84

DAFTAR PUSTAKA...85

(6)

Grafik 4.3 Jumlah Layar Bioskop di Tiongkok Tahun 2013 – 2015 ………..42

Grafik 4.4 Pertumbuhan Jumlah Penonton Film di Bioskop Tiongkok …….43

Grafik 4.5 Perbandingan Pendapatan Film Tiongkok dan Amerika Serikat Tahun 2013 – 2015 ………44

Grafik 5.1 Kuota Impor Film Asing Revenue-sharing ………...57

Grafik 5.2 Jumlah Film Asing Tahun 2013 – 2016 ………....59

Grafik 5.3 Persentase Film Terlaris Tahun 2013 – 2016 ………62

Grafik 5.4 PPN Penjualan Tiket Bioskop Tahun 2012 – 2016 ………...65

Grafik 5.5 Persentase PPN Penjualan Tiket di Berbagai Negara ………...67

Grafik 5.6 Jumlah Produksi Film Lokal Tahun 2013 – 2015 ………71

(7)

Tabel 2.1 Operasionalisasi Konsep New Proteksionisme menurut David Greenaway ……….22

Tabel 5.13 Pendapatan Film Pada Pekan Tahun Baru Imlek Tahun 2013 – 2015 ………80

Daftar Bagan

(8)

Bagan 4.7 Distribusi film flat-fee ……….………..49

Daftar Gambar

Gambar 4.1 Salah satu adegan dalam film Welcome Danger ………….……..34

(9)

Gambar 5.8 Poster Film The Taking of Tiger Mountain yang tayang pada

Desember 2014 ………...…...74

Gambar 5.9 Poster Film Monster Hunt yang menjadi Film terlaris di Tiongkok tahun 2015 ……….75

Gambar 5.10 Salah satu adegan dalam film Ghostbusters ………..….77

Gambar 5.11 Salah satu adegan dalam film Fifty Shades of Grey ………78

Gambar 5.12 Salah satu adegan dalam film Noah ……….….78

Daftar Lampiran

Lampiran 1 Pendapatan 100 Film Terlaris di Tiongkok Tahun 2013

(10)

Lampiran 3 Pendapatan 100 Film Terlaris di Tiongkok Tahun 2015

Lampiran 4 Pendapatan 100 Film Terlaris di Tiongkok Tahun 2016

(11)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Republik Rakyat Tiongkok merupakan negara dengan jumlah penduduk

terbesar di dunia. Perkembangan ekonomi negara ini jika dibandingkan dengan

sepuluh tahun sebelumnya memiliki perbedaan yang cukup signifikan .

Berkembangnya ekonomi negara Tiongkok merupakan keberhasilan sebuah

negara yang awalnya menggunakan sistem ekonomi tertutup menjadi terbuka

terhadap investasi maupun sistem pasar. Namun kondisi ini tidak begitu saja

memudahkan masuknya investasi maupun produk impor di negara tersebut. Hal

ini dikarenakan pengaruh Partai Komunis Tiongkok yang merumuskan berbagai

kebijakan proteksi terhadap produk impor.

Proteksi yang dilakukan oleh pemerintah Tiongkok membuat pihak asing

harus mematuhi regulasi tersebut. Salah satu produk impor yang harus melalui

kebijakan proteksi yaitu film asing. Ada beberapa regulasi yang kemudian harus

diikuti oleh perusahaan film asing. Seperti kebijakan kuota bagi film asing, proses

penyensoran, dan sebagainya. Meskipun Tiongkok memiliki regulasi yang ketat

terhadap produk impor, perusahaan film asing seperti Hollywood masih melihat

Tiongkok sebagai pasar film yang strategis.1

Sebagai anggota tetap World Trade Organization (WTO), setiap negara

anggota dilarang untuk menghambat pemasaran produk impor di negaranya.2

Karena setiap anggota WTO memiliki hak yang sama dalam memasarkan

1 Julia Charlton, 2015, China’s Film Industry, dikutip dalam

http://www.charltonslaw.com/legal/china/China-film-industry.pdf pada tanggal 11 April 2016 hal. 4

2 “ The Global trade Regime “, dikutip dalam

(12)

produknya.3 Tetapi berbagai kebijakan proteksi yang dilakukan oleh pemerintah

Tiongkok sangat bertentangan dengan hukum di WTO. Sehingga wajar jika

negara lain melakukan tindakan protes dan melayangkan gugatan ke WTO. Pada

tahun 2007, Amerika Serikat melayangkan gugatan ke WTO mengenai

pelanggaran yang dilakukan pemerintah Tiongkok terhadap hak perdagangan dan

layanan distribusi film, musik, dan produk visual dalam negerinya yang lain.4

Gugatan tersebut merupakan langkah yang penting bagi Amerika Serikat

untuk dapat menggugat pemerintah Tiongkok yang melakukan monopoli terhadap

produknya. Proses penyelesaian gugatan tersebut belum berakhir sampai saat ini.

Kedua negara memiliki power yang kuat dalam mempertahankan argumennya

masing-masing. Jika nantinya dalam proses pengadilan gugatan tersebut

dimenangkan oleh pemerintah Amerika Serikat, maka Tiongkok dapat dikenakan

sanksi.

Untuk menghindari sanksi dan menjaga hubungan dagang dengan Amerika

Serikat, pemerintah Tiongkok memutuskan membuat kebijakan baru supaya

Amerika Serikat menghentikan sementara gugatan tersebut di WTO.5 Pada tahun

2012, Wakil Presiden Xi Jinping melakukan kunjungan luar negeri pertama ke

Amerika Serikat.6 Dalam kunjungannya, Xi Jinping bertemu Joe Biden yang

merupakan wakil presiden AS. Dalam pertemuan tersebut, kedua negara sepakat

membuat memorandum mengenai penambahan jumlah kuota film asing di

3 Ibid,

4 Sabrina Mccutchan, 2013, Government Allocation of Import Quota Slots to US Film in China’s Cinematic Movie Market , Duke University Durham, North Carolina, hal.7

5 Sean O’Connor and Nicholas Armstrong, Directed by Hollywood, Edited by China: How China’s Censorship and Influence Affect Films Worldwide, U.S-China Economic and Security Review Commission, Oktober 2015, hal. 4

(13)

Tiongkok sekaligus menambah persentase pendapatan bagi perusahaan film

asing.7

Sebelumnya, film asing dalam kategori revenue-sharing yang

diperbolehkan tayang di bioskop Tiongkok hanya berjumlah 20 dan setelah

memorandum tersebut bertambah menjadi 34.8 Jadi kuota untuk untuk film asing

sebanyak 20 film tetap digunakan namun ada peraturan baru yaitu penambahan

14 film asing yang diperbolehkan tayang dengan kualitas film IMAX atau 3D.9

Kemudian memorandum tersebut juga mengubah aturan mengenai pendapatan

pihak asing yang semula 13% bertambah menjadi 25% .10 Dan jika isi dalam

memorandum tersebut tidak dilaksanakan oleh pemerintah Tiongkok, maka pada

tahun 2018 Amerika Serikat berhak untuk melanjutkan gugatan ke WTO.11

Lahirnya memorandum tersebut tentu akan mempermudah perusahaan

film asing untuk memasarkan filmnya di Tiongkok. Jumlah kuota untuk film asing

dan pembagian hasil yang mengalami peningkatan akan menjadi keuntungan

tersendiri bagi perusahaan film asing. Namun, jika berbicara mengenai Tiongkok

tentu kita mengetahui bagaimana kebijakan proteksi lainnya masih menjadi

permasalahan bagi perusahaan film asing. Belum lagi pihak asing masih

dihadapkan dalam persaingan untuk memperebutkan kuota yang sudah ditetapkan.

Pemerintah Tiongkok memiliki badan yang bertugas untuk mengatur

masalah penayangan baik berupa film, siaran televisi, radio, dan sebagainya yang

bernama State Administration of Press, Publication, Radio, Film, and Television

7 Ibid,

8 Ibid,

9 Ibid,

10 Ibid,

(14)

(SAPPRFT).12 Lembaga ini menyaring setiap siaran televisi, radio, dan film.

SAPPRFT sangat ketat dalam meloloskan konten tv, radio, maupun film. Tidak

hanya mengatur siaran lokal saja, namun siaran dari luar negeri juga harus

melewati proses penyeleksian yang dilakukan SAPPRFT. Jadi SAPPRFT inilah

yang kemudian bertugas untuk mengatur masalah kuota sampai penyensoran film

asing di Tiongkok.

Proses seleksi film asing dilakukan oleh SAPPRFT. Lembaga ini yang

menentukan film asing mana saja yang masuk dalam kuota film yang disediakan.

Kemudian SAPPRFT juga melakukan kebijakan penyensoran terhadap film-film

asing. Setidaknya ada beberapa aturan yang ditetapkan oleh pemerintah Tiongkok

mengenai adegan yang dilarang ditampilkan dalam film. Adegan dalam film

dilarang mengandung unsur sensualitas, perjudian, minuman keras, merusak

persatuan nasional, dan bertentangan dengan Konstitusi Tiongkok.13

Film asing yang diproduksi oleh perusahaan film Hollywood mengalami

kesulitan dalam tahap penyensoran tersebut. Karena banyaknya adegan yang

ditampilkan dalam film melanggar aturan yang dibuat oleh pemerintah. Contoh

nya dalam film Cloud Atlas yang tayang pada April 2013.14Film ini masuk dalam

kuota revenue-sharing. Tetapi durasi dalam film yang semula 169 menit dipotong

menjadi 130 menit.15 Tugas SAPPRFT tidak hanya memotong adegan dalam film

saja, namun jika seluruh adegan dalam film tidak sesuai dengan aturan maka film

tersebut dapat dilarang tayang di bioskop.

12 Movie Management Regulations, http://www.sarft.gov.cn/art/2007/2/16/art_1588_26335.html diakses pada tanggal 01 Mei 2016

13 Ibid,

14 Clarence Tsui, 2013, China’s Censors 40 minutes off ‘ Cloud Atlas

‘,http://www.hollywoodreporter.com/news/chinese-censors-cut-cloud-atlas-414219 diakses pada tanggal 10 April 2016

(15)

Pada tahun 2013 dimana tahun pertama kepemimpinan Xi Jinping sebagai

presiden, pemerintah mengeluarkan kebijakan baru untuk menambah persentase

pajak PPN dalam penjualan tiket dari semula 4% menjadi 6%.16 Kebijakan

tersebut diambil oleh pemerintah untuk memperoleh keuntungan yang lebih dari

industri film Tiongkok terutama dari film asing.17 Dan dampaknya adalah terjadi

penurunan sebanyak 8% (6% PPN tiket + 2% pajak bioskop) dari penghasilan

yang didapat oleh produsen asing.18 Karena pajak tersebut dikenakan kepada

persentase pendapatan pihak asing yang jumlahnya 25%. Hal ini yang kemudian

menyebabkan beberapa produser film seperti Life of PI memprotes kebijakan

tersebut.19

Selain itu, perusahaan film asing juga harus mematuhi kebijakan lainnya.

Salah satu contohnya pengurangan jumlah film asing yang tayang dalam setahun.

Di tahun 2012, setidaknya ada 88 film asing yang tayang di bioskop dan berhasil

mengalahkan dominasi film lokal dengan menguasai 51.5% pasar film

Tiongkok.20 Jumlah film tersebut berasal dari 34 film asing kategori

revenue-sharing dan sisanya berasal dari flat-fee serta film dari Taiwan dan Hongkong.

Semakin mendominasinya film asing tentu akan mengurangi eksistensi film lokal

di industri film Tiongkok.

16

Patrick Frater, 2013, China’s Overdue Payments to Hollywood Could Happen This Week (EXCLUSIVE), dikutip dalam http://variety.com/2013/film/asia/hollywood-studios-expect-to-be-paid-every-penny-in-china-tax-dispute-1200577325/ pada tanggal 30 Agustus 2016

17 Ibid,

18 Wendy Su, 2016, China’s Encounter with Global Hollywood, The University Press of Kentucky : Kentucky, hal. 58

19 Ibid,

20 China Film Industry Report 2012 -2013, dikutip dalam

(16)

Di tahun 2013, jumlah film asing yang tayang di bioskop berkurang

menjadi 61 film.21 Setidaknya jumlah tersebut berkurang sebanyak 27 film dari

tahun sebelumnya. Dampak dari berkurangnya jumlah film asing terlihat dari

persentase film lokal yang kembali menguasai pasar film Tiongkok. Jumlah

persentase film lokal di tahun 2013 mencapai 58,6% lebih unggul dari persentase

film asing yang sebesar 41,4%.22

Kemudian di tahun 2014, pemerintah mengeluarkan kebijakan baru yang

bernama Economic Policies to Support the Development of the Industry dan

Circular on Several Issues Concerning Tax Policies for Continuously Supporting

the Development of Cultural Enterprises.23 Dalam kebijakan tersebut, pemerintah

Tiongkok membebaskan pajak PPN dalam setiap aktivitas produksi film dengan

tujuan untuk membantu industri film lokal supaya dapat bersaing dengan

film-film asing.24

Berdasarkan informasi diatas, dapat dilihat bagaimana bentuk proteksi

yang dilakukan oleh pemerintah Tiongkok sangat efektif dalam meningkatkan

pendapatan film lokal. Hal tersebut membuat penulis ingin meneliti lebih dalam

mengenai proteksi terhadap film asing di Tiongkok. Penulis ingin melihat

bagaimana kebijakan proteksi lain yang muncul pasca diberlakukannya

memorandum antara AS dan Tiongkok tahun 2012 .25 Memorandum ini disepakati

bersama pemerintah AS dan Tiongkok yang diwakili oleh wakil presiden Xi

Jinping. Pada tahun berikutnya, Xi Jinping terpilih menjadi presiden.

21 Ibid,

22 Ibid, hal. 8

23 Dezan Shira, 2015, navigating restrictions in china film industry, dikutip dalam http://www.china-briefing.com/news/2015/12/17/navigating-restrictions-in-chinas-film-industry.html pada tanggal 30 Agustus 2016

24 Ibid,

(17)

Di tahun 2013, sudah penulis jelaskan sebelumnya bagaimana pemerintah

Tiongkok mengeluarkan regulasi baru tentang industri film Tiongkok yang

dirasakan oleh perusahaan film asing. Sehingga menarik untuk diteliti bagaimana

dinamika kebijakan proteksi tersebut. Dengan pertumbuhan industri film

Tiongkok yang berkembang sangat pesat, pemerintah Tiongkok masih melakukan

proteksi yang kuat kepada film asing. Disinilah anomali yang penulis temukan

dalam kebijakan proteksi tersebut. Pemerintah Tiongkok memberi kesempatan

bagi pihak asing untuk memasarkan film asing di negaranya, namun tetap

menerakan kebijakan-kebijakan lain yang menghambat pemasaran produk impor.

Dan fokus penelitian penulis untuk menganalisis bagaimana implementasi

kebijakan proteksi terhadap film asing di masa pemerintahan Presiden Xi Jinping

tahun 2013-2016. Karena munculnya berbagai kebijakan proteksi lain pada masa

pemerintahannya. Selain itu, penelitian ini sangat penting untuk dilakukan

mengingat dampak dari kebijakan proteksi terhadap film tersebut berdampak

secara global.

Ketatnya regulasi yang dilakukan pemerintah Tiongkok kemudian

membuat perusahaan film asing membuat strategi bisnis. Tujuan dari tindakan

tersebut supaya pemerintah Tiongkok memudahkan pemasaran filmnya. Dan cara

yang digunakan oleh perusahaan film asing yaitu memasukkan unsur Tiongkok ke

dalam film produksinya. 26 Jadi dampak dari kebijakan proteksi tersebut membuat

perusahaan film asing sering menggunakan aktor keturunan Chinese dan

mengambil lokasi syuting di Tiongkok di dalam film produksinya.27

26 Ibid, hal. 10

(18)

Contohnya dalam film The Looper yang mengambil lokasi syuting di

Shanghai.28 Sebelumnya, proses syuting film tersebut akan dilakukan di Paris.29

Namun untuk menarik minat pemerintah Tiongkok, film tersebut mengambil

lokasi syuting di Tiongkok. Dan film ini tidak hanya ditayangkan di Tiongkok saja

tetapi diimpor ke berbagai negara. Secara tidak langsung, perusahaan film asing

mempromosikan Tiongkok ke masyarakat global seperti dalam film The Looper.30

Inilah alasan mengapa penulis tertarik meneliti lebih dalam mengenai kebijakan

proteksi film asing di Tiongkok terutama pada masa pemerintahan Presiden Xi

Jinping tahun 2013-2016. Karena dampaknya tidak hanya dirasakan di Tiongkok

saja.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang

digunakan adalah “ Bagaimana implementasi kebijakan proteksi terhadap film

asing pada masa pemerintahan Presiden Xi Jinping tahun 2013 - 2016 ? “

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang diharapkan dalam penelitian ini adalah :

1. Mengetahui kebijakan proteksi terhadap film asing pasca

pemberlakuan kebijakan peningkatan kuota film asing

2. Menganalisis implementasi kebijakan proteksi terhadap film asing

yang dilakukan pada pemerintahan Presiden Xi Jinping tahun 2013 –

2016 terhadap dominasi film asing

3. Mengetahui kebijakan proteksi terhadap film asing baru yang muncul

di tahun 2013 - 2016

28 Ibid,

29 Ibid,

(19)

1.4 Manfaat Penelitian

1. Dapat mengetahui implementasi kebijakan proteksi terhadap film asing

pada masa pemerintahan Presiden Xi Jinping tahun 2013 - 2016

2. Dapat menyelesaikan tugas akhir skripsi untuk pemenuhan kelulusan

(20)

BAB II

KERANGKA KONSEPTUAL

2.1 Studi Terdahulu

Dalam melakukan sebuah penelitian, penulis perlu menggunakan beberapa

referensi yang dapat menunjang proses penelitian. Studi terdahulu sangat penting

untuk dimasukkan sebagai acuan dalam penelitian. Dalam studi terdahulu tersebut

nantinya penulis dapat mengetahui kesamaan penelitian yang dilakukan peneliti

sebelumnya. Maka dari itu, untuk menunjang sekaligus mendapatkan ilmu

pengetahuan baru penulis harus melakukan penelitian yang berbeda dari penelitian

sebelumnya. Diperlukan sebuah analisis baru untuk menemukan pandangan baru

dari sebuah penelitian. Untuk itu penulis akan mencari studi terdahulu yang

berhubungan dengan penelitian yang dilakukan namun memiliki beberapa

perbedaan.

Studi terdahulu pertama yang penulis gunakan adalah kumpulan jurnal

dari The World Bank Research Observer yang salah satu jurnalnya ditulis oleh

David Greenaway dan Chris Milner.31 Dalam jurnal ini, Greenaway dan Milner

menjelaskan bagaimana pentingnya kerjasama antara negara di kawasan selatan

supaya dapat menjadi negara maju seperti negara di kawasan utara. Meskipun

(21)

jurnal ini melihat pentingnya kerjasama antara negara di kawasan selatan,

dijelaskan juga beberapa alasan mengapa negara selatan kalah bersaing dengan

negara utara. Hal ini dikarenakan kebijakan proteksi yang dilakukan oleh negara

utara yang menyulitkan negara selatan untuk memasarkan produknya.

Konsep yang digunakan adalah the new protectionism milik David

Greenaway. Dalam konsep ini, dijelaskan bagaimana munculnya beberapa

hambatan yang mempersulit pemasaran atau ekspor negara selatan. Salah satu

hambatan yang dibahas yaitu tarif. Tarif masuk yang tinggi untuk produk ekspor

membuat kerugian yang besar bagi negara di kawasan selatan.32 Dengan ongkos

produksi yang besar ditambah lagi tarif masuk yang tinggi membuat negara di

kawasan selatan mendapatkan keuntungan yang sedikit dari perdagangan ke

negara utara.

Selain itu, ada beberapa kebijakan diskriminasi lainnya yang memudahkan

negara di kawasan utara dari pada di selatan yang merupakan negara berkembang.

Salah satunya adalah kepemilikan teknologi.33 Dengan memiliki teknologi yang

canggih, negara-negara di kawasan utara lebih dapat memproduksi produknya

dengan cepat. Selain itu, teknologi tersebut hanya digunakan oleh negara utara

dan negara di kawasan selatan dapat membeli dengan harga yang tidak murah.

Dengan penguasaan teknologi, maka negara di kawasan utara lebih cepat

beradaptasi dengan kebutuhan konsumen dan mengontrol pasar secara global. 34

Dari juranl diatas, kesamaan dalam penelitian yang penulis lakukan adalah

konsep yang digunakan yaitu new protectionism dari David Greenaway. Jurnal

tersebut sekaligus memberikan kontribusi dalam menggunakan konsep untuk

32 Ibid, hal. 48

33 Ibid, hal. 52

(22)

melihat implementasi kebijakan proteksi. Tetapi yang berbeda terletak dari studi

kasus yang digunakan. Dalam jurnal ini, Greenaway dan Milner menjelaskan

bagaimana kebijakan proteksi yang dilakukan oleh negara utara ke negara selatan.

Sedangkan penulis akan meneliti mengenai kebijakan proteksi yang dilakukan

pemerintah Tiongkok terhadap film asing.

Kemudian studi terdahulu kedua yang penulis gunakan adalah jurnal milik

O’Connor dan Armstrong. Dalam penelitian ini, O’Connor dan Arsmtrong

menjelaskan bagaimana kebijakan proteksi yang dilakukan pemerintah Tiongkok

dari mulai kuota film sampai kebijakan penyensoran berdampak kepada film

Hollywood. Pemerintah Tiongkok menerapkan sistem kuota dalam menerima

produk film asing.35 Selain kuota, hambatan lain dalam film asing yaitu

penyensoran yang dilakukan SAPPRFT. Semua film asing harus melalui

penyensoran untuk mematuhi prinsip-prinsip Konstitusi Tiongkok dan

mempertahankan nilai-nilai moralitas sosial yang ada Tiongkok.36 Film asing yang

menampilkan citra buruk tentang negara Tiongkok dan masyarakatnya tidak akan

lulus sensor.

Contohnya dalam film Skyfall dimana adegan James Bond yang

membunuh polisi Tiongkok dihilangkan oleh SAPPRFT.37 Alasan penyensoran

adegan tersebut yaitu film asing tidak diperbolehkan menampilkan orang asing

yang membunuh orang Tiongkok38. Dan yang lebih merugikannya lagi

pemotongan adegan dalam film asing yang dilakukan oleh SAPPRFT dilakukan

secara sepihak dan tidak dirundingkan terlebih dahulu dengan perusahaan film

35 O’Connor, op.cit. hal. 4

36 Ibid, hal. 9

37 Ibid, hal. 11

(23)

tersebut. Kebijakan tersebut sangat merugikan bagi mereka karena isi dalam film

menjadi samar karena banyak adegan film yang dihilangkan.39

Memasukkan unsur Tiongkok ke dalam film produksinya merupakan

strategi dari perusahaan asing supaya pemerintah Tiongkok memudahkan

pemasaran filmnya.40 Salah satunya yang sering dilakukan perusahaan film

Hollywood yang mengambil lokasi syuting dan menggunakan aktor Tiongkok

dalam filmnya. Dengan memasukkan unsur Tiongkok, perusahaan film

Hollywood berusaha untuk menarik minat masyarakat Tiongkok untuk menonton

film tersebut. Contohnya dalam film X-men : Days of Future Past yang

menampilkan banyak adegan di Hongkong dan menggunakan boyband asal

Tiongkok sebagai cameo.41 Kemudian film James Bond : Skyfall yang mengambil

lokasi syuting di Shanghai.42

Tidak hanya menampilkan adegan dengan unsur Tiongkok saja, mereka

juga menampilkan citra yang baik bagi negara Tiongkok. Salah satunya dalam

film Gravity yang diperankan oleh Sandra Bullock dimana program luar angkasa

Tiongkok dicitrakan dengan image positif dengan membantu Bullock untuk

kembali ke bumi.43 Hal inilah yang membuat O’Connor dan Armstrong membuat

kesimpulan jika ketatnya regulasi film asing di Tiongkok berpengaruh kepada film

Hollywood secara global.

Dari studi terdahulu diatas, kesamaan penelitian yang penulis lakukan

adalah objek yang diteliti. O’connor dan Armstrong melihat bagaimana pengaruh

dari kebijakan proteksi dalam industri film Tiongkok berdampak secara global.

39 Ibid,

40 Ibid. hal. 10

41 Ibid,

42 Ibid,

(24)

Kontribusi yang diberikan dari studi terdahulu ini selain dari objek yang diteliti,

namun membantu penulis dalam memberikan urgensi dalam penelitian ini. Yang

berbeda adalah studi terdahulu ini tidak menggunakan konsep the new

protectionism milik David Greenaway.

2.2 The New Protectionism

Sebelum penulis menjelaskan mengenai konsep the new protectionism,

terlebih dahulu kita akan mengetahui teori besar dari konsep terebut. Ada tiga

teori besar yang digunakan dalam Ekonomi Politik Internasional yaitu liberalisme,

merkantilisme, dan marxisme.44 Merkantilisme adalah pandangan yang melihat

elit politik sebagai aktor utama dalam pembangunan negara.45 Elit politik yang

dimaksud oleh pemikir merkantilisme adalah peran negara sebagai aktor utama.46

Elit politik yang berada di pemerintahan kemudian akan melakukan segala cara

untuk meningkatkan perekonomian negara dengan merumuskan berbagai

kebijakan.47

Istilah merkantilisme muncul sejak tahun 1620-an di Inggris dengan

sebutan satra merkantilisme.48 Merkantilisme sendiri lebih menjelaskan mengenai

bisnis dan perdagangan. Beberapa penulis merkantilisme seperti Thomas Mun dan

Edward Misselden kemudian semakin mempopulerkan istilah tersebut. Ahli

ekonomi menggambarkan Merkantilisme sebagai cara untuk melihat bagaimana

44 Robert Jackson & Georg Sorensen, 2009, Pengantar Studi Hubungan Internasional, Pustaka Pelajar : Yogyakarta, hal. 231

45 Ibid,

46 Ibid,

47 Ibid,

(25)

dampak ekonomi dari tarif dan proteksi di beberapa industri yang dilakukan oleh

negara.49

Barulah kemudian pada tahun 1763, Marquis de Mirabeau lebih

memperjelas istilah merkantilisme ke dalam sebuah konsep perdagangan.50 Teori

merkantilisme melihat bagaimana negara sebagai aktor utama melakukan

intervensi langsung dalam perumusan dan pengawasan kebijakan ekonominya

untuk melindungi produsen dan pedagang lokal.51 Kemudian diperbaharui oleh

Adam Smith dengan melihat tujuan dari kebijakan ekonomi dengan berusaha

untuk meningkatkan ekspor daripada impor.52 Tujuannya supaya neraca

perdagangan negara surplus.

Inilah mengapa ekonomi menjadi alat politik yang dikendalikan langsung

oleh negara. Pemikir merkantilisme menganggap jika segala aktivitas ekonomi

harus kembali kepada tujuan utama yaitu untuk memperkuat negara.53 Dengan

melakukan berbagai kebijakan proteksi, tentu akan memberikan keuntungan bagi

produsen dalam negerinya. Tidak hanya di dalam negerinya saja namun kebijakan

proteksi juga dilakukan dengan negara-negara lain seperti menambah produk

ekspor.

Merkantilisme menganggap jika dunia internasional adalah pertarungan

antara kepentingan nasional suatu negara yang berusaha untuk memperoleh

keuntungan.54 Jika suatu negara memperoleh keuntungan, maka negara lain akan

mendapatkan kerugian. Inilah yang disebut dengan praktek zero sum game.55

49 Ibid

50 Ibid

51 Ibid,

52 Ibid

53 Robert Jackson, hal. 231

54 Ibid,

(26)

Setiap negara harus khawatir dengan keuntungan ekonomi yang didapat negara

lain karena dapat digunakan sebagai kekuatan politik-militer untuk melawan

negaranya.56 Inilah persamaan antara pemikiran merkantilisme dan neorealis yang

melihat persaingan antar negara yang tidak sehat dalam dunia yang anarkis.57

Ada dua bentuk persaingan antar negara. Yang pertama adalah benign

mercantilism dimana melihat negara akan berusaha untuk mendapatkan

kepentingan nasionalnya dalam hal perdagangan namun tidak memberikan

dampak negatif terhadap negara lain.58 Sedangkan bentuk yang kedua yaitu

malevolent mercantilism. Dimana negara akan berusaha untuk mendapatkan

kepentingan nasionalnya dengan mengeksploitasi negara lain seperti imperialisme

bangsa Eropa di Asia dan Afrika.59

Pemikiran merkantilisme sendiri digunakan oleh para ekonom dan politisi

dunia. Alexander Hamilton yang merupakan salah satu pendiri negara Amerika

Serikat sangat setuju dengan pemikiran merkantilisme.60 Inilah mengapa negara

seperti Amerika Serikat juga memberlakukan kebijakan-kebijakan proteksionis

yang tujuannya untuk memajukan industri dalam negerinya.

Dari teori besar merkantilisme ini dapat dilihat munculnya reaksi dari

negara terhadap pengaruh produk impor. Masuknya produk impor tentu akan

mengurangi eksistensi dari produk lokal. Organisasi perdagangan internasional

seperti WTO yang mengharuskan negara anggotanya harus menghilangkan

berbagai macam hambatan bagi produk impor tentu memunculkan dampak negatif

bagi produk lokal. Setiap negara terpaksa mengikuti aturan tersebut mengingat

56 Ibid

57 Ibid,

58 Ibid, hal. 232

59 Ibid

(27)

dengan bergabung sebagai anggota WTO tentu sangat menguntungkan bagi

mereka terutama dalam memasarkan produk negaranya. Untuk itu, negara-negara

mengeluarkan kebijakan proteksi untuk mengimbangi pengaruh produk impor

terhadap produk lokal.

Definisi dari proteksionisme merupakan kebijakan yang dibuat oleh

pemerintah (disengaja atau tidak) untuk membatasi perdagangannya dengan

tujuan untuk mendukung industri dalam negerinya.61 Konsep mengenai proteksi

muncul ketika berkembangnya ilmu yang mempelajari kebijakan perdagangan

yang dipengaruhi baik oleh hal ekonomi maupun politik pada tahun 1980-an.62

Pada saat itu, para ahli ekonomi dan politik hanya menganalisis bagaimana bentuk

perdagangan global yang mampu memberikan keuntungan yang sama. Namun

mereka kurang meneliti bagaimana sikap negara terhadap berbagai kebijakan

perdagangan internasional yang dijalankan pada saat itu.

Kemudian salah satu ekonom Corden (1986) mengamati berbagai

kebijakan proteksi yang dilakukan negara terhadap perdagangan internasional.63

Mengapa negara melakukan perlindungan yang kuat terhadap produk lokalnya.

Corden menilai jika selama ini negara-negara yang bergabung dalam rezim

perdagangan internasional ( pada saat itu GATT ) justru berusaha untuk

melindungi produk lokalnya. Semua negara khawatir jika produk impor yang

tidak diberikan tarif tambahan akan mengalahkan produk lokalnya. Belum lagi

pengaruh dari negara maju yang memiliki power lebih besar dan mempengaruhi

setiap pengambilan keputusan di organisasi perdagangan internasional.

61 Anonim, 2011, Protectionism, Trade and Investment Analytical Papers, dikutip dalam https://www.gov.uk/government/uploads/system/uploads/attachment_data/file/43315/11-718-protectionism.pdf pada tanggal 08 Agustus 2016 hal.3

62 Daniel Lederman, 2005, The Political Economy of Protection : Theory and The Chilean Experience, Stanford University Press : California, hal. 5

(28)

Kebijakan proteksi berkembang sangat pesat dalam beberapa dekade

terakhir. Hal tersebut didasari oleh beberapa alasan. Yang pertama karena semakin

bertambahnya jumlah orang kaya di dunia, maka mereka akan membutuh produk

yang lebih bagus kualitasnya.64 Seperti produk Dolphin Friendly Tuna dimana

proses produksinya dibuat dengan sesuai standar global dengan rasa yang

disesuaikan oleh selera masyarakat.65 Kemudian produk-produk ramah lingkungan

yang sesuai standar global tentu akan lebih diminati oleh masyarakat. Dan tidak

jarang jika orang-orang kaya ikut menyumbang dana kepada perusahaan tersebut

untuk mengglobalkan produk tersebut.

Kemudian yang kedua adalah standarisasi konsumen yang menghambat

perdagangan produk impor dan mulai memilih barang mana yang baik dan

buruk.66 Jadi konsumen di beberapa negara maupun regional telah memiliki

standarisasi tersendiri untuk produk yang akan digunakan maupun dikonsumsi.

Untuk, itu beberapa produk yang dianggap tidak sesuai standar dari negara

tersebut akan ditolak. Contohnya dalam produk makanan dimana masyarakat

Amerika Serikat lebih menerima makanan yang diproduksi melalui bioteknologi.

Sedangkan di Eropa, masyarakatnya tidak senang dengan produk makanan

bioteknologi. Dengan alasan tersebut ,Uni Eropa mengeluarkan aturan yang ketat

terhadap makanan bioteknologi daripada Amerika Serikat.67

Kemudian yang terakhir disebabkan oleh munculnya hambatan non-tarif

yang mulai dominan.68 Sebelumnya, kebijakan proteksi yang dilakukan negara

64 K. William Watson and Sallie James, 2013, Regulatory Protectionism : A Hidden Threat From Trade, dikutip dalam http://object.cato.org/sites/cato.org/files/pubs/pdf/pa723.pdf pada tanggal 11 Agustus 2016 hal. 5

65 Ibid,

66 Ibid,

67 Ibid,

(29)

hanya melalui tarif saja. Jadi tarif tersebut dapat berupa biaya masuk sampai

pajak. Namun setelah dibentuknya GATT dan WTO, hambatan tarif mulai

dihilangkan dan digantikan oleh hambatan non-tarif.69 Tujuan pemberlakuan

kebijakan tersebut tentu berdampak kepada produk impor. Dengan alasan untuk

melindungi produk dalam negeri, kebijakan non-tarif dianggap sebagai cara untuk

melindungi produk tersebut.70 Contoh kebijakan tersebut berupa pemberlakuan

kuota sampai masalah SDM.

Kebijakan proteksionisme sangat erat hubungannya dengan faktor

ekonomi. Hal ini didasari oleh pemikiran merkantilisme yang menganggap jika

negara harus mampu mengontrol perekonomiannya untuk mendapatkan power

yang lebih besar.71 Negara harus mampu mengontrol ekonominya diatas

kepentingan pihak swasta maupun asing. Inilah mengapa negara-negara di dunia

banyak menggunakan kebijakan proteksi untuk menjaga sekaligus

mempertahankan industri dalam negerinya.

Ada banyak sekali contoh kebijakan proteksionisme yang dilakukan

negara-negara di dunia. Salah satunya seperti proteksi terhadap ikan lele

pangasius di Amerika Serikat.72 Perkembangan pasar ikan lele di Amerika Serikat

tumbuh sangat pesat. Kebutuhan pasokan ikan lele di Amerika Serikat terdiri dari

ikan lele lokal dan impor. Ada sebuah produk ikan lele yang berasal dari Vietnam

dan Tiongkok bernama lele pangasius.73 Ikan lele pangasius bersaing kuat dengan

produk ikan lele dari AS. Dan semakin lama ikan lele pangasius mengurangi

pendapatan petani ikan lokal.

69 Ibid,

70 Ibid,

71 Robert Jackson, op.cit,hal. 234

72 K. William Watson ,op.cit, hal. 6

(30)

Maka dari itu, petani ikan lele lokal menentang produk ikan lele impor

dari Vietnam dan Tiongkok tersebut. Mereka melobi elit pemerintah untuk

menjaga produksi ikan lele lokal supaya mampu bertahan dalam pasar. Dan

hasilnya adalah pemerintah mengeluarkan kebijakan baru berupa perubahan

dalam RUU pertanian tahun 2008 mengenai pemeriksaan terhadap produk impor

ikan lele.74 Hal ini dikarenakan laporan dari petani lokal AS yang menganggap

jika ikan lele yang diimpor dari negara lain menggunakan antibiotik yang

mengandung bahan kimia. Disinilah bentuk proteksi negara terhadap produk

impor ikan lele.

David Greenaway merumuskan konsep proteksionisme yang diberi nama

the new protectionism.75 Konsep ini melihat bagaimana setelah tahun 1970an

muncul kebijakan proteksi baru berupa hambatan non tarif yang mempengaruhi

produk impor.76 Sebelumnya, kebijakan proteksi yang banyak dilakukan oleh

negara-negara yaitu melalui pajak atau biaya masuk. Dalam konsep ini,

Greenaway menjelaskan kebijakan proteksi lain yang dapat dijadikan variabel

dalam menganalisis kebijakan proteksi yang dilakukan setiap negara.

Yang pertama adalah tarif kuota. Disini Greenaway menggabungkan kuota

dan tarif menjadi satu karena kedua elemen ini berhubungan satu sama lain.77 Jadi

produk impor yang masuk harus mematuhi sistem kuota yang sudah ditetapkan

oleh negara. Sistem kuota ini bekerja dengan cara membuat pembatasan mutlak

untuk produk luar negeri sekaligus menghambat pengaruh pasar global.78

Penggunaan sistem kuota dianggap efektif untuk melindungi pasar domestik. 74 Ibid, hal. 6

75 David Greenaway, 1983, International Trade Policy : From Tariffs to The New Protectionism. The Macmillan Press LTD : Hampshire, hal. 131

76 Ibid, hal. 60

77 Ibid, hal. 140

(31)

Jika produk tersebut masuk di dalam kuota, selanjutnya pihak pengimpor

harus membayar tarif yang sudah ditetapkan oleh negara.79 Definisi dari

kebijakan tarif sendiri merupakan pajak tidak langsung dari barang yang akan

diperdagangkan.80 Jadi pajak tersebut merupakan biaya yang dibayarkan di luar

nilai jual produksinya.81 Penerapan tarif tersebut juga diberlakukan kepada produk

impor. Pajak bagi produk impor menjadi hal yang biasa di dalam perdagangan

internasional.

Menurut Franklin R. Root, penerapan pajak dapat digunakan untuk

mengumpulkan pendapatan negara atau melindungi industri dalam negeri

terhadap produk impor.82 Pemerintah kemudian hanya perlu menetapkan berapa

rata-rata tarif produksi dari produk impornya. Seperti yang sudah penulis jelaskan

sebelumnya jika masalah pajak impor menjadi hal yang lumrah di dalam

perdagangan internasional. Namun yang menjadi masalah ketika pajak impor

tersebut sangat tinggi dan munculnya beberapa tarif tambahan yang kemudian

menghambat produk impor.

Kemudian kebijakan proteksi yang kedua yaitu melalui subsidi. Pemberian

subsidi dilakukan dengan tujuan mengubah harga yang diberikan oleh produsen

dalam negeri, sehingga konsumen dapat beralih sementara kepada produk lokal.83

Jadi produsen dalam negeri diberikan keistimewaan dalam ongkos produksi baik

dalam bentuk keringanan pajak sampai pemberian bahan baku sekalipun.84

Dengan ini produsen dapat membuat produk lokal secara cepat den efisien.

Tentunya hal tersebut akan berpengaruh terhadap harga dari produk lokal yang 79 David Greenaway, op.cit, hal. 140

80Ibid, hal. 45

81 Ibid, hal. 83

82 Jing Ma dan Yuduo Lu, 2011, Free Trade or Protection: A Literature Review on Trade Barriers, Research in World Economy, 2 (1), hal. 74

(32)

lebih murah. Disinilah bentuk proteksi negara terhadap produk impor dalam pasar

domestik.

Kemudian yang ketiga adalah tindakan diskriminatif pemerintah. Negara

sebagai aktor utama tentu memiliki kewenangan yang besar dalam mengatur

pemerintahannya. Tidak terkecuali dalam mengatur kebijakan perdagangannya.

Perlunya negara untuk ikut campur dalam perdagangan baik dalam tahap

domestik sampai internasional tentu dibutuhkan terutama bagi produsen dalam

negeri. Mereka membutuhkan peran negara untuk melakukan diskriminasi dalam

melindungi produk lokalnya dari produk impor.85 Dimana kebijakan diskriminasi

tersebut bertujuan mengurangi pendapatan yang akan diperoleh oleh pihak asing.

2.4 Operasionalisasi Konsep

Tabel 2.1 Operasionalisasi The New Protectionism menurut David Greenaway

Konsep Variabel Indikator

- Adanya tarif berupa pajak atau biaya masuk untuk film asing - Subsidi Produksi - Adanya kebijakan yang dibuat

oleh pemerintah untuk mengubah harga jual atau membantu dalam produksi film lokal

- Tindakan

Diskriminatif

Pemerintah

- Adanya kebijakan lain yang sifatnya diskriminatif dan merugikan perusahaan film asing

84 Ibid,

(33)

2.5 Alur Pemikiran

Memorandum antara Pemerintah AS dan Tiongkok mengenai aturan dalam industri film Tiongkok pada tahun

2012

Tahun 2013, muncul kebijakan peningkatan persentase PPN dalam penjualan tiket sebesar

6%. Dan jumlah film asing turun dari tahun

(34)

2.6 Argumen Utama

Setelah melakukan operasionalisasi konsep, penulis akan memberikan

kesimpulan sementara terhadap penelitian yang akan dilakukan. Implementasi

kebijakan proteksi terhadap film asing pada masa pemerintahan Presiden Xi

Jinping tahun 2013 – 2016 dilakukan melalui berbagai kebijakan seperti sistem

kuota dan tarif untuk produk impor, subsidi kepada perusahaan film lokal, dan

tindakan diskriminatif yang dilakukan pemerintah hanya kepada film asing. Tindakan Diskriminatif

Pemerintah Subsidi

(35)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Dalam melakukan penelitian, penulis menggunakan jenis penelitian

deskriptif. Penelitian deskriptif adalah jenis penelitian yang menggambarkan atau

melukiskan studi kasus yang akan diteliti berdasarkan fakta dan realita yang ada.

Dengan menggunakan metode penelitian deskriptif, maka penulis akan

mengumpulkan data-data yang bersifat kuantitatif dan kualitatif. Data kuantitatif

(36)

angka maupun statistik melainkan berupa tulisan, hasil observasi, jurnal, berita

media, dan sebagainya.

Sehingga dengan mengumpulkan data-data tersebut nantinya penulis dapat

menemukan gambaran mengenai implementasi kebijakan proteksi terhadap film

asing oleh Republik Rakyat Tiongkok pada masa pemerintahan Presiden Xi

Jinping tahun 2013 - 2016. Kemudian penulis akan menganalisis studi kasus

tersebut untuk mendapatkan kesimpulan yang diinginkan.

3.2 Ruang Lingkup Penelitian

Penentuan ruang lingkup penelitian sangat penting untuk membatasi

informasi yang ditemukan agar menemukan hasil yang jelas dan tidak

memunculkan topik baru. Dalam studi kasus kali ini, penulis akan berfokus

kepada dinamika implementasi kebijakan proteksi terhadap film asing oleh

Republik Rakyat Tiongkok pada masa pemerintahan Presiden Xi Jinping tahun

2013 – 2016.

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Dalam melakukan penelitian, penulis akan menggunakan data yang berasal

dari studi literatur berupa buku, jurnal, berita media cetak maupun online, karya

tulis, dan sebagainya. Studi literatur yang dipilih sesuai dengan judul penelitian

penulis yaitu mengenai proteksi terhadap film asing oleh Republik Rakyat

Tiongkok pada masa pemerintahan Presiden Xi Jinping tahun 2013 – 2016.

3.4 Teknik Analisa Data

Data-data yang didapatkan penulis akan dianalisis berdasarkan fakta

(37)

dua jenis data yaitu kualitatif dan kuantitatif maka data tersebut berupa studi

pustaka, jurnal, berita media cetak maupun online, buku, dan statistik.

3.5 Sistematika Penulisan

Bab I Pendahuluan

Pada bab I, penulis akan menjelaskan mengenai latar belakang dari studi

kasus tersebut. Jadi penulis akan menjelaskan permasalahan dari studi kasus

tersebut sampai mengapa studi kasus tersebut perlu untuk diteliti lebih dalam.

Kemudian penulis akan menjelaskan mengenai rumusan masalah, tujuan

penelitian, dan manfaat penelitian.

Bab II Kerangka Konseptual

Dalam bab ini, penulis akan menjelaskan studi terdahulu yang digunakan

penulis sebagai acuan dalam penelitian. Kemudian penulis akan menjelaskan

mengenai konsep proteksionisme. Setelah itu, penulis akan

mengoperasionalisasikan konsep yang akan digunakan studi kasus yang diteliti.

Kemudian penulis akan mendapatkan argumen utama sebagai kesimpulan

sementara.

Bab III Metode Penelitian

Dalam bab ini, penulis akan menjelaskan mengenai metode penelitian

yang penulis gunakan. Dimulai dari bentuk penelitian, teknik analisa dalam

mengolah data, ruang lingkup sampai penggunaan data yang dibutuhkan.

(38)

Dalam bab ini, penulis akan menjelaskan mengenai sejarah kebijakan

proteksi terhadap film asing di Republik Rakyat Tiongkok. Kemudian penulis

juga akan menjelaskan proses yang harus dilalui film asing untuk dapat

ditayangkan di bioskop Tiongkok.

Bab V Hasil dan Pembahasan

Pada bab ini, penulis akan menjelaskan mengenai implementasi kebijakan

proteksi terhadap film asing oleh Republik Rakyat Tiongkok pada masa

pemerintahan Presiden Xi Jinping tahun 2013 - 2016. Kemudian penulis akan

menganalisis studi kasus tersebut untuk menemukan hasil pembahasan.

Bab VI Kesimpulan

Setelah menjelaskan isu tersebut, penulis dapat menyimpulkan studi kasus

tersebut.Kesimpulan ini sekaligus menjawab rumusan masalah yang sudah ditulis

sejak awal. Dan apakah kesimpulan tersebut sama dengan argumen utama yang

(39)

BAB IV

GAMBARAN UMUM

Dalam bab ini, penulis akan menjelaskan mengenai sejarah munculnya

kebijakan proteksi terhadap film asing di Tiongkok. Mengapa kebijakan proteksi

tersebut dikeluarkan dan bagaimana bentuk kebijakan proteksi tersebut. Selain itu,

penulis juga akan menjelaskan mengenai industri film Tiongkok yang

berkembang sangat pesat di tahun 2013 - 2016. Penulis akan menjelaskan faktor

apa yang mendorong perkembangan industri film Tiongkok sekaligus

(40)

penulis juga akan menjelaskan mengenai proses pemasaran film asing berdasarkan

kuota dan mendeskripsikan SAPPRFT.

4.1 Sejarah Kebijakan Proteksi Film Asing di Republik Rakyat Tiongkok

Republik Rakyat Tiongkok adalah salah satu negara yang menerapkan

kebijakan proteksi terhadap produk impor. Semua produk impor wajib mematuhi

semua aturan telah ditetapkan. Dengan melakukan proteksi, pemerintah dapat

melindungi produk dalam negerinya. Kebijakan proteksi tersebut tidak hanya

melihat dari sisi ekonomi saja, namun dalam hal menjaga budaya dan nilai-nilai

tradisional merupakan salah satu fokus pemerintah yang dilakukan melalui

propaganda. 86

Di negara Tiongkok sendiri, kebijakan proteksi juga dilakukan terhadap

film asing. Jadi semua film asing yang akan ditayangkan di negara tersebut harus

melalui tahapan-tahapan seperti kuota sampai penyensoran. Kita dapat melihat

bagaimana Tiongkok bisa dikatakan sangat ketat sekali dalam meloloskan film

asing. Dari mulai kebijakan kuota yang hanya 34 dengan 14 film berkualitas

IMAX/3D sampai tahapan penyensoran yang dinilai berlebihan bagi perusahaan

film asing.87 Adegan tersebut langsung dipotong dan tidak diperbolehkan diubah

kembali oleh perusahaan film asing.

Maka dari itu, dalam melihat kebijakan proteksi film di Tiongkok kita

perlu melihat sejarah munculnya kebijakan tersebut. Bagaimana bentuk proteksi

tersebut ketika pertama kalinya dilakukan. Berdasarkan sumber yang penulis

dapatkan, kebijakan ini awalnya dikeluarkan karena desakan masyarakat

86 Michelle Yang, 2010, Effective Censorship : Maintaining Control In China, University of Pennsylvania : Philadelphia, hal.10

(41)

Tiongkok terutama dari kelompok nasionalis terhadap maraknya pemutaran film

asing di Tiongkok tahun 1905 sampai pertengahan tahun 1920an.88 Film asing

diperbolehkan untuk ditayangkan di Tiongkok sejak akhir tahun 1890-an atau

pada masa Dinasti Qing.89 Dan pada saat itu, tidak ada kebijakan proteksi terhadap

film asing di Tiongkok.

Industri film di Tiongkok terus berkembang pesat. Setidaknya

bioskop-bioskop di Tiongkok menjadi tempat hiburan bagi masyarakatnya. Namun

berkembangnya industri film di Tiongkok justru membuat dominasi film asing di

negara tersebut semakin besar. Dalam sebulan, sebagian besar film yang

ditayangkan di Tiongkok berasal dari perusahaan film asing terutama rumah

produksi Hollywood dari Amerika Serikat.90 Masyarakat Tiongkok lebih akrab

dengan bintang Hollywood seperti Charlie Chaplin, Douglas Fairbanks, dan lilian

Gish daripada aktor lokal.91 Shanghai yang menjadi pusat industri film Tiongkok

hampir keseluruhannya dikuasai oleh pihak asing. Jadi wajar jika film asing

sangat dominan di Tiongkok.

Namun yang menimbulkan permasalahan terutama bagi masyarakat

Tiongkok adalah penggambaran negatif tentang Tiongkok dan masyarakatnya.92

Film asing yang tidak dikontrol langsung oleh pemerintah membuat perusahaan

asing terutama Hollywood membuat film sesuai dengan keinginan mereka.

Setidaknya dalam beberapa film Hollywood yang ditayangkan di Tiongkok selalu

menampilkan masyarakat Tiongkok yang pecandu rokok berat.93 Di tiongkok, ada

88 Sheldon Hsia Peng Lu, 1997, Transnational Chinese Cinema :Identity, Nationhood, Gender, University Hawai’i Press : Honolulu, hal. 36

89 Ibid,

90 Ibid, hal. 4

91 Ibid,

92 Ibid, hal.36

(42)

tanaman yang bernama opium dimana opium digunakan dalam rokok dan dapat

membuat orang mabuk. Selain itu, dalam film tersebut masyarakat Tiongkok yang

menjadi aktornya selalu digambarkan sebagai penjudi, pencuri sampai pekerja

rendahan.94

Masyarakat Tiongkok terutama kelompok nasionalis menentang

penggambaran buruk tentang negaranya. Perusahaan film Amerika Serikat secara

tidak langsung memberikan stereotyping buruk kepada masyarakat Tiongkok ke

seluruh dunia.95 Karena film dari rumah produksi Hollywood tersebut juga

ditayangkan di bioskop-bioskop negara lain. Inilah yang kemudian menimbulkan

tekanan kepada pemerintah Tiongkok untuk membuat kebijakan mengenai

penayangan film asing yang merugikan Tiongkok dan masyarakatnya.

Dan aksi protes tersebut tidak hanya dilakukan masyarakatnya saja namun

didukung oleh media. Setidaknya pada tahun 1920-an, berita utama koran dan

majalah di Tiongkok selalu menampilkan penggambaran film asing yang

merugikan negaranya.96 Semua media menggerakkan opini jika Amerika Serikat

berusaha untuk mempermalukan Tiongkok di dunia internasional. Mereka

menganggap hal tersebut sebagai bukti jika film asing lebih mengunggulkan orang

kulit putih dan berusaha untuk menguasai dunia. Semua film asing hampir tidak

memberikan pandangan positif terhadap negaranya.97

Setelah protes dari media bermunculan, seluruh masyarakat Tiongkok ikut

mengkritik pemerintah yang tidak peduli terhadap penayangan film asing di

negaranya. Dari berbagai protes inilah pemerintah Tiongkok memberikan respon

94 Ibid,

95 Ibid,

96 Ibid, hal 37

(43)

dengan membuat kebijakan baru. Pada tahun 1928, Departemen Dalam Negeri

Tiongkok mengeluarkan 13 belas peraturan baru mengenai industri film di

Tiongkok.98 Peraturan tersebut berisi tentang larangan adegan yang menampilkan

citra buruk Tiongkok dan masyarakatnya.

Peraturan tersebut belum sepenuhnya mengatur film asing. Barulah pada

tahun 1930, Departemen Dalam Negeri bersama Departemen Pendidikan

Tiongkok mengeluarkan aturan resmi mengenai film asing yang melanggar

budaya dan nilai-nilai masyarakat Tiongkok yang sudah berkembang sejak lama.99

Meskipun kebijakan tersebut telah dilakukan, tetapi beberapa film asing masih

menampilkan adegan yang menjelekkan negara Tiongkok terutama

masyarakatnya.

Film tersebut berjudul Welcome Danger buatan sutradara AS yaitu Harold

Llyod yang diputar di 2 bioskop Shanghai. Dalam film tersebut, semua pemain

yang berasal dari Tiongkok digambarkan sebagai orang yang bodoh, polos, dan

kasar. Penayangan perdana film Welcome Danger di Shanghai yang ditayangkan

pada februari 1930 mengundang aksi protes yang dilakukan masyarakat

Tiongkok.100 Mereka menolak penggambaran buruk masyarakat Tiongkok dalam

film tersebut. Seluruh media nasional juga ikut memberitakan penayangan

perdana film yang merugikan martabat negaranya.

98 Ibid,

99 Ibid,

(44)

Gambar 4.1 Salah satu adegan dalam film Welcome Danger101

Salah satu aksi protes dilakukan oleh sekelompok mahasiswa yang

dipimpin oleh Hong Shen.102 Hong merupakan mahasiswa lulusan Universitas

Harvard Amerika Serikat sekaligus seorang seniman yang mempelopori gerakan

New Culture Movement pada tahun 1920-an.103 Penayangan film buatan Llyod

sangat dikecam oleh Hong dan kelompoknya. Untuk itu, Hong melakukan aksi

protes dengan mendatangi langsung penayangan perdana film tersebut di

Shanghai. Ketika beberapa menit film tersebut diputar, Hong melakukan orasi di

dalam bioskop mengenai film tersebut.

Hong menjelaskan jika film Welcome Danger memiliki tujuan untuk

menjelekkan masyarakat Tiongkok. Disitulah kemudian sekitar 350 penonton

yang menonton film tersebut bersimpati dengan aksi Hong dan langsung keluar

dari bioskop tersebut. Setelah itu, Hong ditangkap oleh kepolisian Shanghai

kemudian dibebaskan. Kemudian Hong melayangkan gugatan ke kantor cabang

Partai Nasional di Shanghai terhadap dua bioskop di Shanghai. Dalam gugatan

tersebut Hong menuntut pihak bioskop yang tidak mengikuti peraturan negara

sekaligus mendukung perusahaan film asing.104

Gugutan tersebut berhasil dimenangkan oleh Hong dan pengadilan

memutuskan 7 hukuman yang harus dilakukan oleh rumah produksi film Welcome

101 Ibid,

102 Ibid, hal. 39

103 Ibid,

(45)

Danger.105 Salah satunya adalah pelarangan pemutaran film Welcome Danger di

seluruh bioskop Tiongkok dan permintaan maaf Duta Besar AS kepada

Departemen Dalam Negeri Tiongkok.106 Harold Llyod beserta pegawainya harus

meminta maaf kepada seluruh masyarakat Tiongkok. Dan yang terpenting film

asing harus mematuhi aturan film di Tiongkok.

Tindakan yang dilakukan Hong menjadi pemberitaan media. Aksi protes

semakin kuat di media nasional dengan menggambarkan pemerintah Tiongkok

yang tidak dapat melawan pengaruh film asing. Media juga mengkritik jumlah

penayangan film lokal yang sedikit. Demonstrasi tersebut direspon pemerintah

dengan membuat kebijakan sensor film terhadap semua film di Tiongkok

termasuk film asing pada November 1930.107 Secara resmi, pemerintah Tiongkok

mendirikan lembaga sensor film yang bernama Film Censorship Committee

( Dianying Jiancha Weiyuanhui ) pada Januari 1931.108

Kebijakan sensor film ini merupakan bentuk kebijakan kontrol pertama

oleh pemerintah Tiongkok pada saat itu.109 Dengan adanya lembaga sensor film

tersebut, maka otomatis semua film termasuk film asing harus melalui FCC

sebelum akan ditayangkan di bioskop. Jika ada adegan yang dianggap melanggar

aturan, maka pihak FCC akan memotong adegan tersebut.

Dengan diberlakukannya proteksi tersebut, maka rumah produksi film

asing tidak bisa membuat film sesuai dengan keinginan mereka termasuk

memberikan penggambaran negatif terhadap negara Tiongkok. Apa yang terjadi

pada film Welcome Danger merupakan konsekuensi dari aturan yang sudah 105 Ibid, hal. 40

106 Ibid,

107 Stephen Theo, 2009, Chinese Martial Arts Cinema : The Wuxia Tradition, Edinburgh University Press : Edinburg, hal. 42

108 Ibid,

(46)

dikeluarkan sebelumnya. Dan akibat film tersebut, semua film produksi Harold

Llyod dilarang tayang oleh pemerintah Tiongkok. Meskipun dalam film tersebut

tidak ada penggambaran negatif mengenai masyarakat Tiongkok, namun

pemerintah Tiongkok melarang semua film Llyod dengan alasan keamanan.

Dari penjelasan sejarah dapat diambil sebuah kesimpulan jika awal mula

lahirnya kebijakan proteksi terhadap film asing di Tiongkok berawal dari

kebencian kelompok nasionalis tentang pemberian citra negatif terhadap Tiongkok

dan masyarakatnya.110 Setelah Tiongkok dikuasai oleh kelompok nasionalis,

masyarakat Tiongkok memiliki rasa nasionalisme yang tinggi terhadap negara.

Ketika Dinasti Qing masih memimpin wilayah Tiongkok, tidak ada

regulasi mengenai produk impor. Produk asing dapat dengan mudah masuk ke

Tiongkok. Dan yang dirugikan dalam hal ini tentu produsen lokal. Produk-produk

mereka akan kalah saing dengan produk asing. Salah satunya dalam hal film.

Film-film lokal sangat sedikit ditayangkan di bioskop . Setidaknya dari tahun

1920 sampai 1949, Sembilan puluh persen film yang diputar di bioskop Tiongkok

merupakan film asing buatan rumah produksi film Hollywood.111 Berkembangnya

film asing di Tiongkok selain menyajikan cerita film yang menarik, juga

dikarenakan seluruh bioskop Tiongkok dikuasai oleh pihak asing.

Perusahaan film lokal memprotes mudahnya film asing untuk dapat

ditayangkan di Tiongkok. Proteksi yang dilakukan oleh pemerintah hanyalah

melihat dari isi film saja. Sedangkan perusahaan film lokal perlu dibantu untuk

membuat film yang berkualitas. Mereka membandingkan dengan regulasi industri

film di Jepang dimana jumlah film asing yang diperbolehkan tayang di negara

110 Sheldon Hsia Peng Lu, Op. Cit, hal. 41

(47)

tersebut dibatasi di bawah 30%.112 Berbeda dengan Tiongkok yang tidak

menerapkan sistem kuota seperti di Jepang.

Masalah yang sebenarnya dihadapi oleh perusahaan film lokal adalah

biaya produksi dan teknologi. Semua film lokal diproduksi dengan biaya yang

sangat murah. Teknologi kamera sampai visual masih menggunakan yang lama.

Berbeda dengan film Hollywood yang lebih menjual karena efek kamera dan

pengerjaannya rapi. Dan masyarakat Tiongkok tentu akan lebih memilih film

asing dibandingkan dengan film lokal. Berbeda jika dalam film asing tersebut

menampilkan adegan buruk tentang Tiongkok. Tentu masyarakat akan melarang

penayangan film tersebut. Namun untuk mengajak menonton film buatan

perusahaan film Tiongkok sangat tidak mudah.

Setelah kurang lebih 30 tahun dipimpin oleh kelompok nasionalis,

Tiongkok dipimpin oleh partai Komunis yang kemudian mendeklarasikan

negaranya sebagai Republik Rakyat Tiongkok. Pada masa kepemimpinan Mao

Zedong, proteksi yang dilakukan oleh pemerintah Tiongkok bisa dikatakan lebih

kuat. National Film Censorship Committee sebagai penanggung jawab masalah

perfilman kemudian diisi oleh orang-orang komunis.113 Semua perusahaan film

sampai kepemilikan bioskop yang dibeli oleh warga asing, sepenuhnya diambil

langsung oleh negara sejak tahun 1949.114

Semua aparatur negara dikontrol oleh negara salah satunya dalam industri

film Tiongkok. Bioskop dijadikan alat propaganda oleh Partai Komunis Tiongkok

untuk melakukan doktrinisasi ideologi kepada masyarakatnya. 115Masyarakat

112Sheldon Hsia Peng Lu, op. cit, hal. 43

113 Ibid, hal. 6

114 Ibid,

(48)

Tiongkok diwajibkan untuk mempelajari dan menerapkan nilai-nilai komunis.

Dan semua film lokal Tiongkok berubah menjadi film yang lebih menonjolkan

ideologi komunis.

Dan untuk film asing sendiri, pemerintah Tiongkok melarang seluruh

penayangan film asing semenjak tahun 1949 sampai 1994.116 Pelarangan film

asing tersebut sejalan dengan ideologi komunis yang tidak menerima masuknya

produk impor karena dikhawatirkan akan mengganggu eksistensi film lokal di

Tiongkok. Dan Partai Komunis Tiongkok tidak hanya melihat dari segi proteksi

terhadap film lokal saja namun pengaruh budaya luar yang dibawa oleh film asing

yang dapat merusak rasa nasionalisme masyarakatnya.

Setelah kurang lebih 35 tahun kebijakan pelarangan impor film tersebut

dilakukan, pada tahun 1994 pemerintah Tiongkok membuat kebijakan kuota

impor untuk pertama kalinya dengan membatasi jumlah film impor sebanyak 10

film.117 Kuota tersebut dibagi menjadi dua yaitu kuota film bagi hasil dan kuota

flat-fee. Dalam bagi hasil, perusahaan film asing akan mendapatkan 15% dari total

pendapatan filmnya di Tiongkok.118 Tentunya persentase tersebut sangat kecil jika

dibandingkan dengan Eropa yang memasang persentase sebesar 50%.119

Sedangkan untuk kuota film flat-fee, pemerintah akan membeli film

tersebut dari perusahaan film asing namun total pendapatan dari film tersebut

sepenuhnya diambil oleh distributor. Setidaknya penggunaan kuota tersebut dapat

digunakan pihak asing untuk memasarkan filmnya di Tiongkok. Setelah

memutuskan untuk bergabung dengan Tiongkok , Tiongkok kembali menaikkan

116 Sabrina McCutchan, 2013, Government Allocation of import Quota Slots to US Film in China’s Cinematic Movie Market, Duke University : Nort Carolina, hal. 9

117 Ibid, hal. 12

118 Ibid,

(49)

kuota film asing dari semula 10 menjadi 20 film.120 Dan kemudian pada tahun

2012, Tiongkok dan AS mengeluarkan memorandum baru mengenai film asing

yang termasuk dalam revenue-sharing dimana kuota untuk film impor ditambah

menjadi 34 dan 14 film tambahan diwajibkan memiliki kualitas IMAX/3D.121

Ketika Xi Jinping terpilih menjadi Presiden Tiongkok, proteksi terhadap

film asing bertambah lebih ketat dari sebelumnya. Hal ini dapat dilihat dari

pengurangan jumlah film asing yang masuk ke Tiongkok sendiri setiap tahunnya.

Belum lagi diskriminasi yang dilakukan pemerintah Tiongkok untuk

mendahulukan penayangan film asing dibanding film lokal adalah salah satu

hambatan. Dan masih banyak lagi kebijakan proteksi yang terus dilakukan pada

masa pemerintahannya.

4.2 Perkembangan Industri Film Tiongkok Tahun 2013 – 2015

Tiongkok sebagai negara yang memiliki jumlah penduduk terpadat

membuat negara tersebut menjadi pasar yang strategis bagi produk impor

termasuk film asing. Pesatnya perkembangan teknologi dalam dunia perfilman

membuat film menjadi media hiburan bagi masyarakat. Dengan kualitas gambar

dan visual yang bagus serta alur cerita yang menarik membuat film digemari oleh

setiap orang tidak terkecuali di Tiongkok.

Pesatnya perkembangan industri film di Tiongkok dapat dilihat dari

besarnya penghasilan yang didapatkan. Pendapatan dari industri film di Tiongkok

setelah memasuki tahun 2010 ke atas terus bertambah.122 Pada tahun 2012,

120 Ibid,

121 O’Connor, Op. Cit, hal.4

122 China Film Industry 2012 – 2013, dikutip dalam

(50)

jumlah pendapatan dari industri film sebesar $ 3,3 miliar US.123 Jumlah tersebut

bertambah dari tahun 2011sebanyak 18%.124 Besarnya persentase pendapatan

tersebut dihasilkan dari jumlah penonton yang terus bertambah.

2013 2014 2015

0 1 2 3 4 5 6 7

Pendapatan Industri Film Tiongkok

Axis Title

123 Ibid,

(51)

Grafik 4.2 Pendapatan Industri Film Tiongkok Tahun 2013 - 2015125

Lalu pada tahun 2013, persentase pendapatan industri film Tiongkok

meningkat dari tahun sebelumnya menjadi $ 4,47 miliar US.126 Di tahun 2014

kembali mengalami peningkatan yang cukup besar yaitu sebanyak 36% dari tahun

sebelumnya dengan memperoleh pendapatan sebesar $ 5,1 miliar US.127 Hal ini

membuat industri film Tiongkok untuk pertama kalinya memperoleh pendapatan

diatas $ 5 miliar US.

Di tahun 2015, pendapatan di industri film juga meningkat sebanyak

48,7% dari tahun sebelumnya mencapai $ 6,78 miliar US.128 Dengan perbandingan

persentase yang dijelaskan diatas, dapat dilihat bagaimana perkembangan industri

film di Tiongkok meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2011 saja atau sekitar

lima tahun sebelumnya, jumlah pendapatan dalam industri film di Tiongkok hanya

$ 1,51 miliar US.129 Tidak heran jika Tiongkok menjadi pasar yang strategis dalam

industri film global.

125 China Film Industry 2014 – 2015, dikutip dalam

http://english.entgroup.cn/uploads/reports/China%20Film%20Industry%20Report%202014-2015%EF%BC%88in%20brief%EF%BC%89.pdf pada tanggal 16 Agustus 2016

126 China Film Industry 2013 – 2014, dikutip dalam

http://english.entgroup.cn/uploads/reports/ChinaFilmIndustryReport2013-2014(sharedversion)490.pdf pada tanggal 16 Agustus 2016 hal.7

127 China Film Industry 2014 – 2015, op.cit,

128 Patrick Berzski, 2015, China Box Office Grows Astonishing 48.7 Percent in 2015, Hits $6.78 Billion dikutip dalam http://www.hollywoodreporter.com/news/china-box-office-grows-astonishing-851629 pada tanggal 26 Agustus 2016

Gambar

Grafik 4.2 Pendapatan Industri Film Tiongkok ……………………………..41
Tabel 2.1 Operasionalisasi The New Protectionism menurut David Greenaway
Grafik 4.3 Jumlah Layar Bioskop di Tiongkok Tahun 2013 - 2015130
Grafik 4.4 Pertumbuhan Jumlah Penonton Film di Bioskop Tiongkok134
+7

Referensi

Dokumen terkait

dengan soal yang diberikan berbentuk esai. Teknik Analisis Data Penelitian Untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh antara penggunaan model pembelajaran picture and

Dalam logika Syari‟ati, keterpecahan kesatuan yang manifest, terutama dalam keyakinan keagamaan, tidak berarti identik dengan pengakuan terhadap dualisme ketuhanan

Juga tidak lupa kepada Ibu Yuyun selaku guru Bahasa Indonesia yang telah memberikan tugas ini, karena dengan Ibu Yuyun selaku guru Bahasa Indonesia yang telah memberikan tugas

4) Missal, system produksi kuda – kuda kayu dalam jumlah yang besar, misalnya lebih dari 500 buah, menggunakan alat sambung paku, dengan bentuk dan ukuran. seragam;.. 5)

StatAng TTL TelAng JenKel AlAng NmAng KdAng ANGGOTA KdAng TglHrsKem TglPin NoPin PEMINJAMAN TglKem NoCopy IdBuku NoPin PINJAM AlPenerbit NmPenerbit IdPenerbit PENERBIT IdBuku

Penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, khususnya berkaitan dengan context yang digunakan, menjadi dasar bagi pengembangan penelitian yang dilakukan,

• Bila subclass yang diturunkan dari abstract class tidak mengimplementasikan isi semua method abstrak parent class, maka subclass tersebut harus tetap dideklarasikan abstract. •

SKPD Dinas Pendidikan Kabupaten Banjar mempunyai tugas melaksanakan urusan pemerintah daerah berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan di bidang pembinaan