Program Magister Ilmu Religi dan
Budaya, Universitas Sanata
Dharma, Yogyakarta
Seri Khatulistiwa 2011 - 2022 Pada 2010, Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY) merancang dan meluncurkan proyek BJ sebagai rangkaian pameran dengan agenda jangka panjang yang akan berlangsung sampai dengan 2022 mendatang. YBY bertekad menjadikan Yogyakarta dan Indonesia secara lebih luas sebagai lokasi yang harus diperhitungkan dalam konstelasi seni rupa internasional. Di tengah dinamika medan seni rupa global yang sangat dinamis—seolah-olah inklusif dan egaliter—hierarki antara pusat dan pinggiran sebetulnya masih sangat nyata. Oleh karena itu pula, kebutuhan-kebutuhan untuk melakukan intervensi menjadi sangat mendesak.
YBY mengangankan suatu sarana
(platform) bersama yang mampu
menyanggah, menyela atau sekurang-kurangnya memprovokasi dominasi sang pusat, dan memunculkan alternatif melalui keragaman praktik seni rupa kontemporer dari perspektif Indonesia.
Dalam waktu 10 tahun ke depan, yang dimulai pada 2011, YBY akan menyelenggarakan BJ sebagai rangkaian pameran yang berangkat dari satu tema besar, yaitu KHATULISTIWA (EQUATOR). Rangkaian biennale ini akan mematok batasan geografis tertentu di planet bumi sebagai wilayah kerjanya, yakni kawasan yang terentang di antara 23.27 LU dan 23.27 LS. Dalam setiap penyelenggaraannya BJ akan
bekerja dengan satu atau lebih negara atau kawasan, sebagai 'rekanan', dengan mengundang seniman-seniman dari negara-negara yang berada di wilayah ini untuk bekerja sama, berkarya, berpameran, bertemu, dan berdialog dengan seniman-seniman, kelompok-kelompok, organisasi-organisasi seni, dan budaya Indonesia di Yogyakarta.
Perjalanan mengelilingi planet bumi di sekitar khatulistiwa ini dimulai dengan berjalan ke arah barat. Biennale Jogja tidak mengawali perjalanan ini ke arah timur karena menyadari keterbatasan pengetahuan tentang Pasifik dan bahkan Nusantara itu sendiri.
Wilayah-wilayah atau negara-negara di sekitar khatulistiwa yang direncanakan akan bekerja sama dengan BJ sampai dengan 2021 adalah: India (BJ XI 2011), negara-negara Arab (BJ XII 2013), negara-negara di benua Afrika (BJ XIII 2015), negara-negara di Amerika Latin (BJ XIV 2017), negara-negara di Kepulauan Pasifik dan Australia, termasuk Indonesia sebagai Nusantara (BJ XV 2019)—karena kekhasan cakupan ini, BJ XV bisa disebut sebagai 'Biennale Laut' (Ocean Biennale), dan yang terakhir adalah negara-negara di Asia Tenggara (BJ XVI 2021).
Beriringan dengan BJ, pada tahun yang berselang, YBY juga menyelenggarakan Simposium Khatulistiwa (SK). Berbasis pada pertukaran pengetahuan,
SK bertugas untuk memperluas
ruang gerak, kerja, serta jejaring baru yang dibangun BJ yang setiap penyelenggaraannya terbatas pada kerja sama dengan satu wilayah atau bahkan satu negara secara khusus. SK dirancang untuk menjaga hubungan-hubungan yang sudah terbangun dan pada waktu yang bersamaan membangun hubungan baru di sepanjang khatulistiwa. SK pertama dilaksanakan pada 2014, dan selanjutnya akan diadakan setiap dua tahun sekali (2016, 2018, 2020). Kerja BJ dan SK pada akhirnya akan ditutup dengan KONFERENSI KHATULISTIWA pada 2022.
Mengapa 'Khatulistiwa'? Konsep 'khatulistiwa' tidak saja diangankan untuk menjadi semacam bingkai yang mewadahi kesamaan, tapi juga sebagai titik berangkat untuk mengejawantahkan berbagai keragaman budaya masyarakat global dewasa ini. 'Khatulistiwa' adalah sarana bersama untuk 'membaca kembali' dunia.
Perjumpaan melalui kegiatan seni rupa dalam BJ Khatulistiwa akan diselenggarakan dengan semangat membangun jejaring yang berkelanjutan, sehingga dialog, kerja sama, dan
kemitraan dapat melahirkan kerja sama-kerja sama baru yang lebih luas dan berkesinambungan, di antara para praktisi di kawasan khatulistiwa. Dengan demikian BJ dapat memberikan kontribusi pada terbentuknya
PENGANTAR
Simposium Khatulistiwa 2016 MEMBANGUN DUNIA KEMBALI: Visi Alternatif dari Khatulistiwa
Prodi Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma 29-30 Oktober 2016
Gema
Inspirasi
Khatulistiwa
Bagi sejumlah orang, istilah khatulistiwa yang spesifik bisa menjadi romantik. Bagi peserta simposium ini, garis imajiner khatulistiwa menjadi sangat aktual sekaligus prospektif. Mengundang keterlibatan konkret dan berkelanjutan. Ya, aktual karena kita semua bermukim di situ dengan dinamika dan aneka ragam problematika yang terus-menerus digeluti. Dari perkara yang sifatnya aksidental atau bahkan laten. Biennale Jogja telah menjadikan khatulistiwa sebagai serial pembahasan dan ekspresi yang dirayakan.
Simposium Khatulistiwa kali ini digelar bekerja sama dengan Program Magister Ilmu Religi dan Budaya. Terima kasih untuk kepercayaan dan kerja samanya.
Simposium ini menghadirkan orang-orang lintas generasi, lintas bidang, dan lintas keahlian. Memberi wadah serta kesempatan berbagi pengalaman dan pandangan yang berharga. Bisa dibayangkan kekayaan gagasan dan pandangan yang saling dikemukakan dalam forum ini. Semoga diskusi dan pembicaraan panjang yang akan berlangsung mampu mencerahkan.
Barangkali tidak terbayangkan, bagi seorang petani di desa, sebuah situasi cuaca yang bisa diprediksi untuk jangka waktu tertentu pada keluasan area tertentu dengan pergerakan angin dan suhu udaranya tertangkap oleh satelit yang mengambil data setiap kali mengitari bumi. Tapi toh, sang petani tidak khawatir atau dihantui ketakutan akan cuaca. Dia terus bekerja
mengolah tanah dan bercocok tanam. Dia akan terus melakukan kebiasaannya mengamati perilaku binatang serangga kecil yang baginya sangat membantu untuk membaca iklim atau menentukan saat menanam. Bahkan untuk
menentukan saat memotong bambu sehingga dapat awet tidak dimakan rayap.
Tidak dimungkiri, pemasangan alat-alat teknologi modern seperti tower penguat gelombang komunikasi juga berpengaruh pada keseimbangan ekosistem di sekitar tempat itu. Seorang teman berkisah, beberapa desa yang didampinginya diserbu hama tikus. Ular yang menjadi predator tikus telah menghilang dari wilayah tersebut. Alternatifnya, dibiakkan predator baru burung hantu yang akan memangsa tikus. Siapa tahu, ular menghilang karena frekuensi di lokasi tersebut terdistorsi oleh tower
-tower yang dipancang di sana.
Seorang teman lain berkisah tentang strateginya menghitung jarak antartanaman padi. Sehingga dimungkinkan saat padi telah mulai berbulir, gesekan antardaun mengeluarkan efek bunyi seperti desis ular, sehingga mampu mengusir tikus. Masih ditambah dengan pemasangan orang-orangan di sawah dan pembuatan gubuk dengan efek mengusir tikus-tikus. Praktik-praktik strategis semacam ini memang tidak banyak ditemukan dalam literatur pertanian. Kiranya akan mendapat tempat dan menjadi pengetahuan yang saling dibagikan di dalam Simposium. Dan saya bayangkan
masih banyak kisah serupa yang akan bermunculan dalam Simposium Khatulistiwa ini.
Ibu Edi Sedyawati dengan kompetensi, keterlibatan, serta beragam
pengalamannya, kiranya akan
mencerahkan dan meneguhkan teman-teman muda. Pak Eliza Kissya yang dengan setia dan bertekun menjaga kawasannya di Haruku, Maluku
Tengah, kiranya memberi inspirasi yang menggerakkan.
Praktik dan pengalaman hidup yang beragam dari para peserta yang saling dibagikan sungguh akan menjadi timbunan pengetahuan. Dan masih akan terus bertambah. Menjadi rangkaian-rangkaian yang tidak saling terpisahkan. Menjadi kekayaan bersama karena kita dipersatukan keyakinan serta pengharapan yang telah dihidupi dan terus diwujudkan. Kendati pun selama ini belum saling dijalin dan terkomunikasikan.
Akhir kata, semoga Simposium Khatulistiwa ini tidak berhenti sampai di sini. Gemanya, energinya, pengetahuannya, komitmennya, komunikasinya, terus akan berlanjut untuk waktu-waktu yang akan datang.
Yogyakarta, Oktober 2016 Dr. G. Budi Subanar SJ
PENGANTAR
Simposium Khatulistiwa 2016 MEMBANGUN DUNIA KEMBALI: Visi Alternatif dari Khatulistiwa
Prodi Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma 29-30 Oktober 2016
Tata Dunia
Baru
Ironi yang pekat memang menandai cara kita memulai alaf baru ini. Sambil bersukacita dengan kenyataan bahwa peradaban manusia memasuki angka tahun 2000, kita juga sempat khawatir bahwa komputer dan jaringan Internet terancam kekacauan karena adanya “masalah Y2K”. Meskipun tidak terbukti sungguh-sungguh mengubah dunia, setidaknya kehebohan millenium bug itu menandai meningkatnya peran Internet dalam keseharian kita hingga jadi sungguh nyata sekarang. Yang juga jelas berdampak langsung pada peta hubungan umat manusia antarbangsa justeru terjadi ketika baru setahun lebih kita memasuki alaf baru ini: tragedi yang terjadi saat menara kembar WTC, New York luluh-lantak. Lantas Amerika Serikat dan sekutunya meluncurkan perang terhadap terorisme dengan membabibuta, merangsek ke Irak, Afganistan, juga Pakistan dengan gelombang akibat yang meluas ke seluruh kawasan sekitarnya, lantas berbias arah kemana-mana. Dan hari ini kita jadi terbiasa dengan berita serangan teror, dari Bali sampai Bangkok, dari Jakarta sampai Paris, dan berbagai kota dan tempat lain di dunia.
Persis di ujung dasawarsa alaf baru, 2010, harapan dan kekhawatiran juga menyertai kehebohan ‘musim semi’ yang bermunculan di beberapa negara di jazirah Arab. Namun, seperti kita saksikan hingga hari ini, musim semi itu justeru berubah jadi musim prahara, yang mengoyak tatanan sosial-politik di kawasan itu. Akibatnya, musim semi—mungkin lebih cocok kita sebut
‘musim rontok’—itu menggugurkan dan membuyarkan kedamaian hidup lebih dari sejuta orang yang kemudian meninggalkan rumah dan kampung halamannya untuk meraih mimpi hidup yang lebih baik, menempuh bahaya dan bencana, mengungsi. Lantas Eropa menerima imbasnya. Lalu, Inggris— sambil masih memegang impian masa lalunya sebagai emporium adijaya— hengkang dari perserikatan Eropa, meninggalkan begitu saja semangat perdamaian dan kerja sama yang pernah dipercayai Eropa sebagai obat penawar luka dan trauma selewat Perang Dunia.
Senarai persoalan serba giris yang mengisi alaf baru ini bisa panjang. Tambahannya, parlemen dan pemilu, unsur demokrasi yang dipuja sebagai bentuk perwujudan kehendak rakyat, kini terbukti bisa terpiuh dan terseleweng arahnya, membokongi demokrasi itu sendiri. Lihat kehebohan gara-gara Donald Trump maju sebagai calon Presiden di A.S. Juga, Erdogan di Turki—seperti Suharto di Indonesia— memanfaatkan kudeta dadakan sebagai alasan untuk memberantas lawan politiknya, baik yang benar-benar musuh ataupun yang dianggap pesaing. Belum lagi jika kita menelusuri ketimpangan ekonomi dunia yang masih dikendalikan mesin ekonomi kapitalisme neo-liberal berjangkauan global dan segala manipulasinya. Masih ada soal kerusakan alam dan lingkungan yang makin hari makin meyakinkan kita bahwa kiamat adalah titik kulminasi ulah sembrono manusia di bumi yang mengira bahwa keberadaanya tidak bersangkut paut dengan spesies dan organisme lain. Imbuhkan juga soal pandemi—dari MERS sampai Zika— yang dengan gesit menyebar ke segala penjuru dunia gara-gara lalu-lintas orang dan segala wabah yang mungkin terbawa olehnya juga makin serba cepat.
Bercampur aduk jadi satu, semua persoalan itu bisa mencegat niat baik, melumpuhkan asa, menumpulkan akal
sehat, memandulkan prakarsa. Dan karena itulah, upaya untuk bertemu, berhimpun, bertukar pendapat, berbagi pengalaman dan pengetahuan antarorang, antarkelompok, antarbangsa menjadi makin penting di masa
sekarang.
Simposium Khatulistiwa bertumpu pada niat dan semangat untuk bertemu dan berhimpun tadi. Meneruskan dan meluaskan hubungan sabuk khatulistiwa yang terjadi dalam Biennale Jogja (Biennale Khatulistiwa), simposium ini adalah upaya yang berlandas pada kepercayaan bahwa niat baik masih terus ada, prakarsa dan kerja demi membina kehidupan antarsesama yang setara dan damai adalah nyata dan tetap berlangsung di sekitar kita. Tanpa mengandaikan diri sebagai antitesa dari Utara atau Barat, simposium ini berpijak pada hubungan-hubungan sosial-historis yang ada di antara berbagai negara-bangsa penghuni wilayah sabuk Khatulistiwa untuk mengusahakan pencarian berbagai potensi pertemuan dan persekutuan di masa sekarang dan masa mendatang. Hasil dari pertemuan itu kami bayangkan dapat menjadi sumbangan penting, tidak hanya bagi para warga negara-bangsa pesertanya saja, tapi juga meluas. Dengan menggemakan ulang seruan Soekarno di hadapan Majelis Umum PBB, 30 September 1960, Simposium ini ingin mengarahkan sasaran pada berbagai kemungkinan yang bisa kita upayakan bersama bagi hadirnya suatu “tata dunia baru”.
Yogyakarta, Oktober 2016
JADWAL
Simposium Khatulistiwa 2016 MEMBANGUN DUNIA KEMBALI: Visi Alternatif dari Khatulistiwa
Prodi Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma 29-30 Oktober 2016
Kuliah umum
di bawah
Beringin
Soekarno
Sabtu, 29 Oktober 2016
09.00-09.30 WIB Pengantar
Simposium Khatulistiwa & Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma
09.30-10.30 WIB
Kuliah umum oleh Eliza Kissya “Menjaga kelestarian hutan dan sumber daya laut bersama kaum muda di Haruku”
Minggu, 30 Oktober 2016
09.00-10.00 WIB
Kuliah umum oleh Edi Sedyawati “Indonesia membaca kesenian dunia”
Pembagian
ruang dan
forum
Forum A: Gagasan dan Pemikiran mengundang sejumlah ahli untuk menyampaikan pemikiran terkini mereka atas perkembangan kehidupan kewarga-negaraan dan sudut pandang politik kebudayaan.
Dalam Forum A, presentasi narasumber punya waktu 40 menit. Setiap sesi dilengkapi dengan dua orang penanggap dengan perhatian tema yang sejalan. Waktu untuk tanggapan serta tanya jawab adalah 20 menit.
Forum B: Gagasan dan Pengalaman menawarkan beragam perbincangan mengenai praktik kebudayaan terkini. Kami mengundang sejumlah seniman, kurator, aktivis untuk berbagi
pengalamannya bekerja dengan orang banyak sekaligus mempertemukan mereka untuk bertukar informasi dan gagasan.
Forum B adalah presentasi panel. Setiap narasumber punya waktu (maksimal) 25 menit. Setiap panel dilengkapi dengan seorang moderator. Waktu untuk tanggapan serta tanya jawab adalah 30 menit.
Toilet
Mushola
Kelas
Kelas
Pintu masuk
Kelas
Makan siang
10.30-11.30
11.30-12.30
12.45-13.45
14.00-15.30
15.30-16.00
10.15-12.15
12.15-13.15
13.30-14.30
14.45-16.05
16.05-16.30
Kelas pagi Forum A
Makan siang
Kelas siang Forum A
Kelas sore Forum B
Camilan sore
Kelas pagi Forum B
Makan siang
Kelas siang Forum A
Kelas sore Forum B
Camilan sore
Brigitta Isabella
Geografi yang samar: Upaya awal menyusun sketsa kartografi afektif Penanggap Adrian Jonathan Pasaribu & Wayne Lim
Malcolm Smith
Obat Kuat: Modernitas seksual di Yogyakarta, 1899-2015
Penanggap Abdurrosyid Ahmad & Octalyna Puspa Wardany
Adhisuryo, Octalyna Puspa Wardany Pada suatu ketika: Satu orang, satu lingkungan, dan apa yang dicatatkannya
Moderator Kusen Alipah Hadi
Pius Sigit Kuncoro, Wok the Rock, Charles Esche
Perihal kawasan dalam perspektif seni rupa
Moderator Enin Supriyanto
Jajang Supriyadi
Memeriksa kembali praktik seni rupa kontemporer dalam bingkai pertukaran dan interaksi transkultural
Penanggap Agung Hujatnikajennong & Farah Wardani
Arham Rahman, Leonhard Bartolomeus Setelah Internet: Manusia sebagai makhluk sosial
Moderator Puthut EA
Katrin Bandel
Dilema kajian gender dalam konteks pascakolonial
Penanggap Ita Fatia Nadia & Nurhady Sirimorok
China de Vera
Pembacaan atas sepilihan judul cerita anak yang membicarakan perihal lingkungan
Penanggap Edwina Brennan & Maria Puspitasari
Serrum, Nia Agustina
Cara Mengajar Siswa Aktif Moderator Edwina Brennan
Saefudin Amsa, Budiman Sudjatmiko, Nurhady Sirimorok
Mempertahankan nilai dan tata cara hidup masyarakat desa
Moderator Saleh Abdullah
Gesyada Anissa Namora Siregar Nashar dan Tiga-Non
(Non-prakonsepsi, non teknik akademis, & non-estetik akademis)
Penanggap St. Sunardi & Pitra Hutomo
Adrian Jonathan Pasaribu, Irfan Palippui
Pergerakan, perpindahan, dan pertemuan masyarakat kota Moderator Maria Puspitasari Tyson Tirta
Imperialisme Inggris di Asia Tenggara pada awal abad ke-19: Hubungan sosial, percakapan, dan ragam aspek keberlangsungan di antara negara-negara dunia ketiga Penanggap China de Vera & Rosyid Adiatma
Wayne Lim
Ruang politis yang abu-abu: Dekolonisasi dan dewesternisasi Penanggap Rosyid Adiatma & Sidd Perez
Agustina Ismurjilah, Mardison SM Simanjorang
Menyikapi perubahan lingkungan hidup dan bermasyarakat
Moderator Syafiatudina
Heru Kuswantoro, Hayu Dyah Patria, Ali Rahayu
Bertindak untuk masa depan lingkungan dan kesehatan Moderator Syafiatudina
Sidd Perez
Momok di antara kita: Memainkan peran dunia ketiga
Penanggap Wayne Lim & Grace Samboh
Ita Fatia Nadia, Abdurrosyid Ahmad Mempertimbangkan masa lalu dan masa depan dalam membangun kerangka pendidikan
NARASUMBER
Simposium Khatulistiwa 2016 MEMBANGUN DUNIA KEMBALI: Visi Alternatif dari Khatulistiwa
Prodi Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma 29-30 Oktober 2016
Narasumber
Abdurrosyid Ahmad sekarang mengasuh Pondok Pesantren Selamat Kota Magelang. Ia pernah menjabat sebagai Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Magelang. Karya tulisnya Metodologi dan Ideologi Måwardiy dalam ‘Ahkåm Al-Shulthåniyyah mengupas sejarah pemikiran etika politik Islam dan kaitannya dengan ideologi. Karya ini sekaligus merupakan kritik sejarah dan kritik ideologi—yang kerap dihindari orang karena khawatir dapat menggugat kemapanan iman.Adhisuryo (l. Pamekasan, 1982)
menjadikan Bandung sebagai ruang hidupnya setelah sempat berkuliah di FMIPA, ITB. Bersama beberapa seniman, ia mengelola kelas entarmalem yang merupakan ruang diskusi
nomaden. Dua tahun terakhir ini, Adhisuryo menjadi kurator untuk festival yang digagas oleh Illubiung Forum di kampung kreatif Dago Pojok dan kajian tindakan Yayasan Kanker Anak, Bandung.
Adrian Jonathan Pasaribu (l.
Pasuruan, 1988) menempuh pendidikan Ilmu Komunikasi di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Adrian adalah penyunting dan salah satu pendiri sebuah pelantar daring untuk kajian dan kritik film, Cinema Poetica. Ia adalah bagian dari Berlinale Talent Campus 2013 sebagai kritikus. Sementara pada Festival Film Solo 2014, ia menjadi kurator. Untuk Jakarta Biennale 2015, ia menjadi penulis dan penyunting katalog. Belakangan ini, ia juga terlibat
dalam penyelenggaraan Festival Film Dokumenter, di Yogyakarta.
Agustina Ismurjilah (l. 1950) adalah
abdi dalem Keraton Yogyakarta. Selain menjadi salah seorang penembang kelompok macapatan, ia juga pemandu wisata Keraton khusus untuk turis asing. Dalam buku Elizabeth D. Inandiak, Forty Nights and of One Rain yang membaca kembali Serat Centhini, Agustina terlibat sebagai penerjemah bahasa Jawa Kuna. Buku tersebut mendapatkan penghargaan 2003 Literary Prize for Asia. Bagi sebagian warga Yogyakarta, Agustina juga dikenal sebagai Eyang Panji, seseorang yang kerap dihubungi untuk menghentikan atau mengalihkan hujan. Menurutnya, ia hanya berkomunikasi dengan Tuhan menggunakan tata cara Jawa yang ia kenal.
Ali Rahayu adalah peneliti pada Pusat
Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) yang bergelut dengan nyamuk semenjak 2004. Pada 2012, ia membuktikan, teknologi serangga mandul mampu mengurangi populasi nyamuk Aedes aegypti. Selain untuk menekan angka penderita Demam Berdarah Dengue secara drastis, penemuan ini adalah cara lain pemanfaatan teknologi nuklir, selain untuk pembangkit listrik.
Arham Rahman (l. Pinrang, 1987)
adalah seorang peneliti seni rupa yang tinggal dan bekerja di Yogyakarta. Ia aktif dalam beberapa kantong kebudayaan, antara lain Erupsi (sebuah
kelompok belajar yang fokus pada kajian psikoanalisa, seni, dan politik), Yayasan Colliq Pujie yang adalah salah satu inisiator Makassar Biennale pertama (2015), dan Study on Art Practices (SOAP). Arham juga pernah mengelola newsletter Yayasan Biennale Yogyakarta, The Equator (April 2014 – Februari 2016).
Brigitta Isabella (l. Jakarta, 1989)
adalah salah satu anggota KUNCI Cultural Studies Center. Selepas menempuh pendidikan Filsafat di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, ia melanjutkan dengan mengambil Critical Methodologies di King’s College, London. Pada 2014 ia mengikuti program residensi 89plus x Google Cultural Institute di Paris dan menginisiasi proyek seni #frombandungtoberlin. Ia juga merupakan salah satu akademisi muda dalam pelantar Ambitious Alignment: New Histories of Southeast Asian Art, sebuah penelitian yang didukung oleh Getty Foundation.
Budiman Sudjatmiko (l. Cilacap, 1970)
Charles Esche (l. 1962, Inggris) adalah seorang penulis, kurator, dan pendidik seni (rupa) yang sekarang menjabat sebagai direktur Van Abbemuseum, Belanda, semenjak 2004. Van Abbemuseum dibangunnya menjadi lembaga yang proaktif mengenali dan menyesuaikan diri dengan percepatan perubahan zaman, bukan sebagai museum yang mapan dan stagnan. Senarai biennale yang pernah dikerjakannya antara lain adalah Tate Triennial 2000, Gwangju Biennale 2002, Istanbul Biennale 2005, RIWAQ Biennial 2007 & 2009, São Paulo Biennale 2014, dan Jakarta Biennale 2015.
China de Vera (l. 1988, Manila) adalah
penyair, pencerita, dan advokat untuk hak asasi manusia. Ia pernah menjadi guru sekolah dasar. Ia adalah writing fellow untuk Palihang Rogelio Sicat dan pemateri untuk penulisan kreatif di Cordillera. Karya-karyanya diterbitkan dalam High Chari, Bukambibig Poetry Folio of Spoken Words Philippines, jurnal daring Eastlit, dan jurnal pusat kebudayaan Filipina ANI. Ia pernah menerbitkan zine bertajuk Project 150 dan sekarang sedang menyelesaikan studi masternya di jurusan Araling Pilipino, University of the Philipinnes.
Edi Sedyawati (l. 1938, Malang) adalah
seorang penari, ilmuwan, dan birokrat seni. Sejak tahun 1969 menulis sejumlah artikel dan ulasan tari di Sinar Harapan, Kompas, Budaya Jaya, dan Tempo. Banyak melakukan penelitian bidang ikonografi dan sejarah tari, antara lain: Gaya dalam Seni Area Klasik, Tari dalam Sejarah Kesenian Jawa dan Bali Kuno. Pada 1993, ia menjabat sebagai Dirjen Kebudayaan; dan memprakarsai diselenggarakannya Art-Summit I (1995) dan II (1998) dan pameran seni rupa Gerakan Non-Blok (1995) yang berskala internasional. Ia punya pemikiran bahwa Indonesia mesti mengambil sikap proaktif untuk memilih, mengundang, mendatangkan kebudayaan dunia, ketimbang hanya menunggu diundang.
Eliza Kissya (l. 1949, Haruku)
sehari-harinya bekerja sebagai tani nelayan. Secara adat, menyandang jabatan kewang (penjaga kelestarian hutan dan sumber daya laut) sekaligus keamanan dan ketertiban masyarakat adat. Tantangan terbesarnya adalah tidak diakuinya hukum adat oleh pemerintahan, terutama Orde Baru. Tak jarang, kebijakan pemerintah yang modelnya terpusat justru mengikis tata cara adat yang sudah bertahan jauh lebih lama daripada gagasan Indonesia sebagai negara. Eliza memilih untuk mendekati anak muda dan membangun kecintaan mereka terhadap lingkungan ketimbang berseteru dengan pemerintah.
Gesyada Anissa Namora Siregar (l.
1994, Medan) baru saja menyelesaikan studinya di jurusan Seni Murni, FSR IKJ. Ia mengikuti Lokakarya Kurator Muda Indonesia yang digelar oleh ruangrupa dan Dewan Kesenian Jakarta pada 2013. Gesyada menginisiasi Buka Warung—kolektif 18 seniman muda perempuan—di Jakarta, serta menjadi bagian dari Jakarta 32°C—festival dua tahunan bagi karya-karya visual mahasiswa se-Jabodetabek.
Hayu Dyah Patria (l. 1981,
Jombang) adalah seorang aktivis lingkungan dengan perhatian khusus pada pemberdayaan tanaman liar sebagai makanan yang memenuhi kebutuhan gizi masyarakat. Bermula dari wawancara pada para lansia di Desa Galengdowo, Jombang, Jawa Timur, mengenai jenis-jenis tanaman yang mereka makan ketika muda, sekarang, Hayu bersama Mantasa telah mengidentifikasi lebih dari 300 spesies dan melibatkan kalangan akademisi dan peneliti untuk mengartikulasikan nutrisi tanaman-tanaman liar tsb. Pada 2011, ia mendapat SATU INDONESIA AWARD untuk upaya ini.
Heru Kuswantoro (l. 1969) adalah
peneliti madya pada bidang pemuliaan dan genetika tanaman (kacang
kedelai) di Badang Litbang Pertanian (Kementrian Pertanian RI). Ia sedang menangani pembentukan varietas kedelai toleran lahan kering masam berbiji besar sekaligus mengawali pembentukan varietas kedelai toleran lahan masam pasang surut dengan metode pemuliaan konvensional dan molekuler. Sebelumnya, ia bekerja pada bidang pengelolaan plasma nutfah.
Irfan Palippui adalah penulis dan
pengajar di Fakultas Ekonomi dan Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Fajar, Makassar. Ia pernah menjabat sebagai Presiden BEM Universitas Negeri Makassar dan mendorong mahasiswa untuk mengambil posisi kritik terhadap beragam
keputusan pemerintah yang tidak masuk akal. Saat ini ia sedang mengambil doktorat di Jurusan Penciptaan dan Pengkajian Seni, Program Pascasarjana ISI Yogyakarta.
Ita Fatia Nadia (l. 1958, Yogyakarta)
adalah seorang aktivis perempuan dan ahli isu gender. Ia pernah menjadi direktur Kalyanamitra (1993-2000) dan presiden Forum Pendukung Timor Timur (1997-1999); ikut mendirikan Komnas Perempuan dan memonitor kekerasan berbasis gender (1998-2006); dan menjadi penasihat untuk rekonsiliasi dan rekonstruksi tubuh pasca-Tsunami dan pasca-konflik di Aceh (2007-2009). Belakangan ini, bersama suaminya Hersri Setiawan, ia mendirikan Sekolah mBrosot yang ingin membangun ingatan kolektif yang sudah sekian lama dibisukan.
Jajang Supriyadi (l. 1976, Majalengka)
adalah seorang seniman dan pengajar di FDKV Universitas Widyatama, Bandung. Ia aktif berkarya dan menulis perihal seni rupa semenjak 1995. Jajang ikut menginisiasi komunitas Bandung Cempor (1998) dan Terrarupa (2006). Sejumlah karya tulisnya antara lain adalah Marintan Sirait; Strategi Perupaan dan Notasi Tubuh (1999), Grafiti Bandung: Diri Dalam Lanskap
Kota (2003), mengaji pemikiran Sanento Yuliman (2009), kajian karya-karya G. Sidharta (2012), dan refleksi pendidikan seni Indonesia melalui karya-karya Haryadi Suadi & Radi Arwinda (2013).
Katrin Bandel (l. 1972, Wuppertal,
Jerman) adalah seorang kritikus sastra Indonesia. Ia belajar mengenai sastra Indonesia di Universitas Hamburg dan mendapatkan gelar doktornya dengan tajuk Pengobatan dan Ilmu Gaib dalam Prosa Modern Indonesia. Tulisan-tulisannya telah diterbitkan di berbagai media. Pada 2006, ia menerbitkan Sastra, Perempuan, dan Seks, sebuah buku kritik sastra Indonesia terutama yang ditulis oleh perempuan. Sekarang, ia mengajar di Fakultas Ilmu Religi dan Budaya di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, Indonesia.
Leonhard Bartolomeus (l. 1987,
Depok) adalah seorang kurator seni rupa. Lulusan Seni Keramik di Institut Kesenian Jakarta (2012) ini juga bekerja sebagai koordinator artistik di PAMFLET GENERASI, sebuah organisasi pemberdayaan anak muda. Leonhard memiliki hasrat mengeksplorasi isu-isu mengenai budaya urban dan hubungannya dengan praktik seni. Pada 2013, ia meluncurkan buku pertamanya tentang baliho di ruang publik Jakarta bersama para penulis Karbon Journal di mana ia juga sempat bekerja sebagai salah satu editor. Pada 2014, ia berpartisipasi dalam program residensi di Hiroshima Museum of Contemporary Art. Sejak 2015, ia ditunjuk sebagai kurator tetap untuk RURU Gallery.
Malcolm Smith adalah seorang
Australian Centre for Photography, Object: Australian Centre for Craft and Design, dan 24HR Art, the Northern Territory Centre for Contemporary Art. Sekarang ini, ia sedang menyelesaikan pendidikan pascasarjana di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma.
Mardison SM Simanjorang (l. 1969,
Berastagi)adalah seorang aktivis lingkungan yang ikut membangun Komunitas Credit Union Modifikasi “Talenta” di Simalungun. Bermula dari posisi sebagai pendeta, ia kemudian mengambil jarak untuk membaca kinerja Talenta dan menjadikan pengalamannya sebagai observasi. Ia menyelesaikan masternya dengan tesis bertajuk Identitas Politik “Gereja Suku” di
Ruang Publik (2015) dan sekarang
mulai bekerja di wilayah baru, di Jambi.
Nia Agustina adalah seorang guru
dan penari. Ia membangun proyek Matematarika sebagai laboratorium observasi, untuk mengembangkan matematika sebagai objek tema tari maupun tari sebagai alat bantu mengajar matematika, agar matematika lebih mudah diterima siswa. Ia juga adalah salah satu inisiator Paradance (sejak 2013), sebuah festival mini seni gerak dan tari yang diadakan dua bulan sekali untuk ruang apresiasi bagi karya-karya tari dan seni gerak lainnya.
Nurhady Sirimorok (l. 1975)
adalah seorang peneliti, penulis, dan penerjemah. Ia menulis naskah-naskah non-fiksi. Sejumlah terbitannya adalah “Laskar Pemimpi: Andrea Hirata, Pembacanya dan Modernisasi Indonesia” (2008); “Membangun Kesadaran Kritis” (2010); “Merdesa” (2010), dan beberapa naskah dalam antologi serta karya-karya terjemahan.
Octalyna Puspa Wardany (l. Palembang, 1978) aktif menyelenggarakan dan menulis
pengantar pameran seni rupa sejak 2008.
Ia adalah salah satu pendiri komunitas gerimisUngu (berdiri pada 2011). Pada 2011-2014, ia mengimplementasikan proyek seni kolaborasi “Tentang Hutan” yang melibatkan antropolog dan delapan seniman muda dari Indonesia dan Jepang dengan lokasi sumber Desa Ngadisono, Wonosobo, Jawa Tengah, Indonesia. Pada 2014, mulai melakukan penelitian seni dalam hal proses kreatif yang berkait juga dengan kajian karya. Ope juga aktif sebagai salah satu konsultan bidang manajemen dan sistem keuangan di INSIST.
Pius Sigit Kuncoro (l. 1974, Jember)
adalah seniman yang percaya bahwa seni adalah laku meditasi. Pada 1999, ia ikut menginisiasi Geber Modus Operandi, sebuah pelantar untuk interaksi seni lintas disiplin. Pada 2012, Pius ikut menginisiasi kelompok diskusi antarseniman Forum Ceblang-Ceblung. Aktivitas pameran dan residensinya antara lain adalah ARCUS, Moriya, Ibaraki, Jepang (2001-2002); Biennale Jogja: Countrybution (2003); KHOJ Bangalore, India (2004); Fukuoka Asian Art Museum (2005); Biennale Jogja: Not A Dead End (2013); Kenpoku ART (2016); dan sekarang sedang bekerja sebagai kurator terpilih Biennale Jogja 2017 – Equator #4.
Saefudin Amsa (l. 1981) adalah
seorang aktivis yang bekerja dengan para penyintas dan pencari suaka. Ia pernah bekerja dengan Jesuit Refugee Service sebagai pejabat pendidikan dan, kemudian, sebagai pejabat dan advokat informasi (2005-2013); dan sekarang bekerja untuk United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR). Dalam studi pascasarjananya, ia meneliti perihal “Rekonstruksi identitas diri dan masyarakat. Sebuah kajian tentang Majelis Tafsir Alquran (MTA) di Blora, Jawa Tengah”.
Serrum (l. 2006, Jakarta) adalah sebuah
perkumpulan mandiri yang melakukan kajian seni rupa dan pendidikan
berbasis di Jakarta. Serrum didirikan oleh beberapa mahasiswa pendidikan seni rupa di Universitas Negeri Jakarta dan berfokus pada isu pendidikan, sosial-politik, dan perkotaan. Kemandirian Serrum didukung oleh kerjanya selaku tenaga ahli instalasi beragam jenis pameran. Kegiatan Serrum meliputi proyek seni, pameran, lokakarya, diskusi dan kampanye kreatif. Tahun ini, Serrum menginjak usia ke-10 dan memperingatinya dengan menyelenggarakan festival Ekstrakurikulab.
Sidd Perez (l. 1989, Manila) adalah
asisten kurator di Museum NUS yang berfokus pada pengembangan pameran dan program seputar South & Southeast Asian Collection. Lahir dan besar di Manila, ia adalah salah satu pendiri Planting Rice, sebuah pelantar mandiri untuk kerja-kerja kuratorial dan pengarsipan. Sidd juga pernah bekerja sebagai kurator untuk kedua galeri The Drawing Room di Singapura dan Malaysia (2012-2015). Sejumlah proyek sebelumnya adalah pertukaran seniman Australia dan Filipina LOSTprojects (2009-2012); ia pernah juga menjadi koordinator proyek retrospektif Roberto Chabet (2011) dan menjadi kurator/ manajer pameran untuk sejumlah galeri Valentine Willie Fine Art (2008-2011).
Tyson Tirta (l. Jakarta, 1988) adalah
sejarahwan dan peneliti sosial. Beberapa tahun belakangan ini, ia meneliti perihal pendekatan global dalam penulisan sejarah. Tesis masternya di Jurusan Sejarah Kingston University, London, bertajuk Favourable Interregnum: Raffles and the British Administration in Java 1811-1816 (2014). Ia ikut menyunting Terluput dan Terlupa: Musik Klasik di Masyarakat Indonesia (2016) terbitan Yayasan Klasikanan; dan sekarang sedang menyelesaikan buku sejarah KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan).
Wayne Lim (l. 1989, China) adalah
seniman asal Singapura yang sedang menyelesaikan pendidikan masternya di Dutch Art Institute dengan beasiswa Non-EU Scholarship yang diberikan oleh ArtEZ University of the Arts. Ia pernah berpameran dan berkegiatan antara lain di Singapore Art Museum (SAM, 2009), The Substation (2011), Centre for Contemporary Art Singapore (CCA, 2011), Ne’na Contemporary Art Space di Chiangmai Thailand (2012), maumau Art Space di Istanbul, Turki (2015). Praktik artistiknya belakangan ini dipengaruhi oleh filsafat post-humanist, geopolitik, sejarah, dan perpindahan pengetahuan antara beragam bentuk ruang politis dan non-politis.
Wok the Rock (l. 1975, Madiun)
Para moderator dan penanggap
Agung Hujatnikajennong adalah
seorang kurator dan pengajar di
Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung.
Edwina Brennan adalah seorang
fasilitator untuk beragam kegiatan yang mendukung kesejahteraan hidup kaum disabilitas dan keluarganya.
Enin Supriyanto adalah seorang
kurator dan pejabat pelaksana Simposium Khatulistiwa (2012-2022).
Farah Wardani adalah seorang kurator
dan Asisten Direktur (Resource Center) National Gallery Singapore.
Grace Samboh adalah seorang kurator
dan pengelola program Simposium Khatulistiwa (2012-2022).
Hendra Himawan adalah seorang
kurator dan pengajar di Fakultas Seni Rupa dan Desain, ISI Surakarta.
Kusen Alipah Hadi adalah seorang
peneliti kebudayaan dan direktur Yayasan Umar Kayam, Yogyakarta.
Lisistrata Lusandiana adalah kepala
program Indonesian Visual Art Archive, Yogyakarta.
Maria Puspitasari adalah editor
newsletter The Equator (terbitan Yayasan Biennale Yogyakarta) yang sedang menempuh pendidikan pascasarjana di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Pitra Hutomo adalah penulis seni rupa
dan peneliti di Indonesian Visual Art Archive, Yogyakarta.
Puthut EA adalah seorang penulis,
pengamat budaya pop, dan salah satu pendiri mojok.co.
Riksa Afiaty adalah seorang kurator. Baru-baru ini, ia terlibat dalam
penyelenggaraan Jakarta Biennale 2015.
Rosyid Adiatma sedang menempuh
pendidikan pascasarjana di Fakultas Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Saleh Abdullah adalah wakil
ketua Indonesian Society for Social Transformation (INSIST) sebuah konfederasi dari beberapa komunitas organisasi yang berpusat pada kerja langsung dengan masyarakat.
St. Sunardi telah menulis beberapa
buku mengenai kebudayaan adalah seorang pengajar di Fakultas Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Syafiatudina adalah seorang kurator dan anggota KUNCI Cultural Studies Center, Yogyakarta.
Y
adalah kerja sama antara
dengan dukungan
UCAPAN TERIMA KASIH Penyantun beasiswa Teten Masduki, Hilmar Farid, Handiwirman Saputra, Ricky Pesik, Amir Sidharta, Oei Hong Djien, Nasirun, ROH projects, Natasha Sidharta, Adeline Ooi, Agung Kurniawan Civitas akademika Universita Sanata Dharma Dr. St. Sunardi Dr. G. Budi Subanar, SJ Christina Desy Teman-teman berpikir dan bekerja Melani Budianta, Indah Widiastuti, Dwi Sujanti Heni, Saleh Abdullah, Helly Minarti, Hariyadi, Hendra Himawan, Wira Adiyaksa ‘Lekir’, Joned Suryatmoko, Pius Sigit Kuncoro, Wok the Rock, Farah Wardani, Agung Hujatnikajennong, Pitra Hutomo, Lisistrata Lusandiana, Dwi Rachmanto
Tim kerja SK 2016 Pejabat pelaksana Enin Supriyanto Pengelola program Grace Samboh Pengelola operasional Ratna Mufida Bendahara Sriyati Tri Wulansari Sekretariat YBY Monica Kristihani Sekretariat Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Univ. Sanata Dharma, Yogyakarta Christina Desy Redaktur
newsletter
&