• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Askariasis dengan Kadar Eosinofil di SDN 060923 Medan Amplas Tahun 2015

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Askariasis dengan Kadar Eosinofil di SDN 060923 Medan Amplas Tahun 2015"

Copied!
61
0
0

Teks penuh

(1)

LAMPIRAN 1

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama Lengkap : Yenny Hotma Purba Tempat dan Tanggal Lahir : Medan, 06 Juli 1994 Agama : Kristen Protestan

Alamat : Jalan Cengkeh Raya No. 79 P.Simalingkar Medan Nama Orang Tua : drg. Laurensius Purba

Ramaida Siburian, Am.Keb, S.ST Riwayat Pendidikan : 1. TK Parulian-5 Medan (1999-2000)

2. SD Budi Murni-2 Medan (2000-2006) 3. SMP Negeri 10 Medan (2006-2008)

4. SMP RK Bintang Timur P. Siantar (2008-2009) 5. SMA RK Budi Mulia P. Siantar (2009-2012)

6. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (2012-sekarang)

(2)

LAMPIRAN 2

LEMBAR PENJELASAN

Bapak / Ibu Yth.,

Nama saya Yenny Purba, saat ini saya sedang menjalani program pendidikan S1 di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Saya sedang melakukan penelitian mengenai Hubungan Askariasis dengan Kadar Eosinofil. Adapun tujuan penelitian ini adalah mencari hubungan infeksi cacing askariasis dengan peningkatan kadar eosinofil dalam darah. Adapun Askariasis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh cacing A.lumbricoides dan eosinofil adalah jenis sel darah putih dalam darah yang biasanya mengalami peningkatan karena adanya alergi dan infeksi cacing.

Manfaat penelitian ini adalah memberikan informasi mengenai kadar eosinofil pada infeksi kecacingan khususnya askariasis dan perbedaan jumlah eosinofil pada anak dengan infeksi askariasis dengan anak yang tidak terinfeksi askariasis. Manfaat penelitian ini terhadap anak bapak / ibu adalah diketahuinya apakah anak Bapak / Ibu mengalami infeksi cacing A.lumbricoides.

Pada penelitian ini, saya akan meminta bantuan bapak / ibu untuk menampung kotoran anak bapak / ibu pada pagi hari di wadah yang kami sediakan. Kemudian saya kumpulkan untuk dilakukan pemeriksaan kotoran untuk mencari telur cacing dan saya akan mengambil darah anak bapak / ibu dengan menusuk ujung jari anak bapak / ibu untuk dilakukan pemeriksaan eosinofil. Apabila kotoran anak bapak / ibu mengandung telur cacing A.lumbricoides berarti anak bapak / ibu menderita Askariasis. Anak bapak / ibu selanjutnya akan kami berikan pengobatan.

(3)

yang terpilih sebagai sukarelawan dalam penelitian ini dapat mengisi lembar persetujuan turut serta dalam penelitian ini dan mengisi formulir data subjek penelitian secara jujur dan benar yang diberikan oleh peneliti.

Demikian yang dapat saya sampaikan. Terima kasih saya ucapkan atas partisipasi anak bapak / ibu dalam penelitian ini. Keikutsertaan anak bapak / ibu dalam penelitian ini akan menyumbangkan sesuatu yang berguna bagi ilmu pengetahuan. Jika selama penelitian terdapat hal-hal yang kurang jelas, maka bapak / ibu dapat menghubungi saya :

Nama : Yenny Purba

Alamat : Jalan Cengkeh Raya No. 79 Perumnas Simalingkar Medan No HP : 085261512652

Atas perhatian bapak / ibu, saya ucapkan terima kasih.

Medan, September 2015 Hormat Saya

(4)

LAMPIRAN 3

LEMBAR PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN PENELITIAN (INFORMED CONSENT)

Hubungan Askariasis dengan kadar eosinofil di SDN 060923 Dengan hormat,

Saya adalah mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Penelitian ini dilaksanakan sebagai salah satu kegiatan dalam menyelesaikan tugas akhir. Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan askariasis dengan kadar eosinofil di SDN 060923 Medan Amplas.

Untuk keperluan tersebut saya mengharapkan kesediaan Bapak/Ibu dari Siswa/Siswi SDN 060923 Medan Amplas untuk menjadi responden dalam penelitian ini. Partisipasi anak bapak/ibu dalam penelitian ini bersifat bebas untuk menjadi responden atau menolak tanpa ada sanksi apapun. Jika bapak/ibu bersedia menjadi responden, silahkan bapak/ibu mengisi formulir ini dan saya mohon kesediaan bapak/ibu untuk mengisi lembar kuesioner saya dengan jujur apa adanya. Orang tua/Wali Murid

Nama : Jenis Kelamin : Umur :

Saya menyatakan bersedia anak saya menjadi responden dalam penelitian yang dilaksanakan oleh saudari :

Nama : Yenny Purba NIM : 120100232

Kerahasiaan informasi dan identitas saudara dijamin oleh peneliti dan tidak akan disebarluaskan baik melalui media massa ataupun elektronik.

(5)

LAMPIRAN 4

FORMULIR DATA SUBJEK PENELITIAN (Diisi oleh orang tua / wali)

Nama anak : Jenis kelamin : Tanggal lahir : Kelas :

YA TIDAK Apakah anak bapak/ibu pernah mengalami

bentol-bentol, kemerahan saat mengkonsumsi makanan atau minuman tertentu?

Apakah anak bapak/ibu pernah mengalami bentol-bentol, kemerahan pada kulit ketika mengkonsumsi

obat-obatan tertentu?

Apakah anak bapak/ibu memiliki riwayat asma? Apakah anak bapak/ibu pernah mengkonsumsi obat

cacing dalam 6 bulan terakhir?

Apakah anak bapak/ibu mengkonsumsi obat-obat anti alergi dalam 6 minggu terakhir?

Apakah anak bapak/ibu pernah mengalami penyakit yang diderita sejak lama?

Apakah anak bapak/ibu pernah mengalami infeksi cacing?

Apakah anak bapak/ibu mempunyai riwayat penyakit kronis/ penyakit yang berlangsung sejak lama? Apakah anak bapak/ibu pernah mengalami bentol-bentol, kemerahan pada kulit saat suatu keadaan/benda

(6)

LAMPIRAN 5

RINCIAN TAKSIRAN BIAYA PENELITIAN

A. Biaya Bahan dan Alat

No Uraian Rincian Total

1. Sarung Tangan 30 buah x Rp 2.000,00 Rp 60.000,00 2. Masker 20 buah x Rp 1.000,00 Rp 20.000,00 3. Pot Feses 120 buah x Rp 5.000,00 Rp 600.000,00 4. Object Glass 200 buah x Rp 4.000,00 Rp 800.000,00 5. Deck Glass 100 buah x Rp 3.000,00 Rp 300.000,00 6. Blood Lancet 100 buah x Rp 500,00 Rp 50.000,00 7. Pemeriksaan Kato 100 paket x Rp 5.000,00 Rp 500.000,00

Total Rp. 2.330.000,00

B. Biaya Percetakan

No. Uraian Rincian Total

1. Biaya Percetakan a. Proposal b. Hasil

2 x 50 lembar x Rp 1.000,00 2 x 65 lembar x Rp 1.000,00

Rp 100.000,00 Rp 130.000,00 2. Biaya Fotokopi

a. Proposal b. Hasil

6 x 50 lembar x Rp 200,00 6 x 65 lembar x Rp 200,00

Rp 60.000,00 Rp 78.000,00 3. Biaya Jilid

a. Proposal b. Hasil

8 buah x Rp 3.000,00 8 buah x Rp 3.000,00

Rp 24.000,00 Rp 24.000,00

(7)

C. Biaya Operasional

No. Uraian Rincian Total

1. Souvenir 100 x Rp. 5000,00 Rp 500.000,00 Cindera Mata untuk

Sekolah

1 x Rp 200.000,00 Rp 200.000,00

Total Rp 700.000,00

D. Total Taksasi

No. Uraian Total

(8)

DAFTAR PUSTAKA

Adnani MI, 2014. Pembasmian Cacing didalam tubuh dan resistensi obat Anhelmintik. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan.

Ariffin, AHBZ., 2012. Hubungan Askariasis dengan Status Gizi. Universitas Sumatera Utara, Medan.

Baratawijaya, Karnen Garna, 2012. Sistem Imun dalam Imunologi Dasar. Fakultas Kedokteran Indonesia, Jakarta.

Baringin, Harapan Reggi, 2014. Eosinofil pada Anak dengan STH. Universitas Diponegoro, Semarang.

Departemen Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2008. Endrawati, Heni, 2012. Pemeriksaan Tinja Metode Kato Katz. http://analisisduniakesehatan.blogspot.com/2011/06/pemeriksaan-tinja-metode-kato-katz.html. Diakses 21 Mei 2015.

Gandosoebrata, R., 2010. Penuntun Laboratorium Klinik edisi 16.Jakarta.

Harapan, Regi, 2014. Jumlah Eosinofil pada Anak dengan Soil Transmitted Helminthiasis yang Berusia 6-10 tahun. 16 (2): 80.

Hoffbrand,A.V., 2012. Kapita Selekta Hematologi edisi 4. Jakarta: EGC.

Irianto, Kus, 2009. Ascaris lumbricoides dalam Parasitologi Berbagai Penyakit yang Mempengaruhi Kesehatan Manusia untuk Paramedis dan Nonmedis.

Yrama Widya, Bandung.

Matei, Yeti Teresia, Rampengan Novie, Warouw Sarah M., 2013. Hubungan Infestasi Cacing yang Ditularkan melalui Tanah dan Eosinofilia pada Siswa

SD GMIM Buha Manado. 1 (1): 651-655.

(9)

Octavia, Nanda, 2010. Hubungan Infeksi Cacing Usus STH dengan kebiasaan mencuci tangan pada siswa SDN 09 Pagi Paseban tahun 2010. Universitas

Indonesia, Jakarta.

Rasmaliah, 2010. Askariasis sebagai Penyakit Cacing yang Perlu Diingat Kembali. Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara, Medan.

Safar, Rosdiana,2009. Nematoda Intestinal dalam Parasitologi Kedokteran Protozoologi Helmintologi Entomologi. Yrama Widya, Bandung.

Sandy, Semuel, 2014. Analysis of risk factors for infection models roundworm (Ascaris lumbricoides) on elementary school students in Arso District of

The Keerom Regency, Papua.

Sugiyono, 2012. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Bandung: Alfabeta. Syamsu Yohandromeda, 2010. Ascariasis, Respon IgE dan Penanggulangannya.

Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya.

Umra, M., 2014. Hubungan Higiene dan Sanitasi Lingkungan dengan Askariasis pada Anak di Sd Negeri 068426 Medan Belawan. Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara, Medan: 1-2.

Wijaya, H.,2012. Hubungan Infeksi STH dan IgE serum total dan Gejala dan atau Tanda Penyakit Atopi. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara,

(10)

BAB 3

KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian di atas maka kerangka konsep dalam penelitian ini adalah :

Variabel Independen Variabel Dependen

3.2. Hipotesis

Hipotesis pada penelitian ini ada hubungan Kejadian Askariasis dengan Kadar Eosinofil.

Kejadian Askariasis Siswa SD Negeri 060923 Medan Amplas

(11)

3.3. Definisi Operasional

VARIABEL DEFINISI OPERASIONAL

CARA UKUR

ALAT UKUR

HASIL SKALA

Askariasis Penyakit infeksi yang disebabkan oleh A.lumbricoides Peme riksaan tinja secara lang sung Labora torium

Adanya telur dalam tinja memastikan diagnosis askariasis

Nominal

Eosinofil Jenis leukosit yang diproduksi dalam sumsum tulang dan membentuk 1 sampai 3% dari jumlah leukosit. Sediaan apus darah tepi Labora torium

. Normal : 1-3%

Eosinofilia rendah : 4-5%

Eosinofilia sedang : 6-9%

Eosinofilia tinggi : >9%

(12)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian yang bersifat analitik, yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk mengetahui peranan eosinofil terhadap askariasis.

Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan cross sectional yaitu pengamatan antara faktor-faktor resiko dengan efek (observasi) atau pengumpulan data sekaligus pada saat penelitian itu dilaksanakan.

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di SDN 060923 Medan Amplas bulan Agustus-Oktober 2015. Lokasi penelitian dipilih karena lingkungan sekitar rumah kotor, tingkat pendidikan dan pendapatan yang masih rendah, sanitasi lingkungan sekolah yang buruk dan juga kesadaran berperilaku hidup sehat kurang. Kesemua faktor inilah yang mendukung penyebaran cacing A.lumbricoides.

4.3. Populasi dan Sampel

4.3.1. Populasi

Populasi penelitian adalah siswa/siswi SDN 060923 Medan Amplas kelas III-kelas IV. Penentuan populasi ini berdasarkan pertimbangan usia 5-10 tahun umumnya menderita askariasis.

4.3.2. Sampel

(13)

Kriteria inklusi :

1. Anak kelas III – kelas IV yang bersedia dilakukan penelitian dengan orangtua/wali menandatangani inform consent.

2. Anak yang menderita askariasis Kriteria eksklusi :

1. Anak yang mempunyai riwayat alergi dan penyakit kulit yang diketahui dari lembar pengisian kuesioner oleh orang tua

2. Anak yang mengkonsumsi obat cacing minimal 6 bulan sebelum penelitian 3. Anak yang memiliki riwayat penyakit kronis, immunocompromised,

keganasan hematologi

4. Anak yang memiliki riwayat pemakaian terapi antihistamin, kortikosteroid jangka panjang dalam 6 minggu terakhir

Besar Sample

Teknik pengambilan sampel yang akan digunakan pada penelitian ini adalah Total Sampling. Jumlah keseluruhan populasi adalah 37 siswa laki-laki dan 53 siswa perempuan.

4.4.Teknik Pengumpulan Data

Pada penelitian ini data primer adalah data kecacingan Ascaris lumbricoides yang diperoleh dari pemeriksaan feses dengan menggunakan metode Kato-Katz, pemeriksaan darah vena untuk mengetahui kadar eosinofil dan hasil

wawancara dengan responden menggunakan kuesioner.

4.4.1. Cara Kerja

1. Sebelum pot tinja dibagi perlu dilakukan penyuluhan kepada siswa/siswi kelas III – kelas IV mengenai infeksi cacing.

(14)

3. Spesimen harus segera diperiksa pada hari yang sama, sebab jika tidak telur cacing akan rusak atau menetas menjadi larva. Jika tidak memungkinkan tinja harus diberi formalin 5-10% sampai terendam.

4. Melakukan pengambilan sampel darah untuk mengetahui jumlah eosinofil dengan cara sediaan apus darah tepi.

4.4.2. Metode Pemeriksaan Tinja a. Identifikasi Ascaris

Pemeriksaan tinja dilakukan untuk menegakkan diagnosis pasti, ada dan tidaknya infeksi cacing serta membedakan jenis cacing yang menginfeksi dengan metode Kato-Katz.

Alat dan Bahan : 1. Gelas Objek 2. Batang Lidi

3. Cellophane tape, ukuran lebar 2,5 cm 4. Tutup botol dari karet

5. Larutan Kato

Cara membuat larutan Kato

Yang dimaksud dengan Larutan Kato adalah cairan yang dipakai untuk merendam/memulas selofan (cellophane tape) dalam pemeriksaan tinja terhadap telur cacing menurut metode Kato-Katz.

1. Untuk membuat larutan Kato diperlukan campuran dengan perbandingan Aquadest 100 bagian. Glycerin 100 bagian dan Larutan malachite green 3% sebanyak 1 bagian

(15)

aduk/kocok sehingga homogen, maka akan diperoleh larutan malachite green 3%

3. Masukkan 100 cc aquadest ke dalam Waskom plastik kecil, lalu tambahkan 100 cc glycerin sedikit demi sedikit dan tambahkan 1 cc larutan malachite green 3%, lalu aduk sampai homoge. Maka akan didapatkan Larutan Kato 201 cc

Cara merendam / memulas selofan (cellophane tape)

1. Buatlah bingkai kayu segi empat sesuai dengan ukuran wadah 2. Lilitkan selofan pada bingkai tersebut

3. Rendamlah selama kira-kira 18 jan dalam Larutan Kato

4. Pada waktu akan dipakai, guntinglah selofan yang sudah direndam sepanjang 3 cm

Cara membuat preparat

1. Pakailah sarung tangan untuk mengurangi kemungkinan infeksi berbagai penyakit

2. Tulislah nomor kode pada gelas objek dengan spidol sesuai dengan yang tertulis di pot tinja

3. Ambillah tinja dengan lidi sebesar kacang hijau, dan letakkan di atas gelas objek

4. Tutup dengan selofan yang sudah direndam dalam larutan Kato, dan ratakan tinja di bawah selofan dengan tutup botol karet atau gelas objek

5. Biarkan sediaan selama 20-30 menit

6. Periksa dengan pembesaran lemah 100 x (obyektif 10 x dan okuler 10x), bila diperlukan dapat dibesarkan 400 x (obyektif 40 x dan okuler 10 x)

(16)

b. Identifikasi Eosinofil

Alat dan bahan yang digunakan dalam pemeriksaan eosinofil sebagai berikut : 1. Objek glass

2. Spreader

3. Rak pengecatan 4. Mikroskop

5. Darah vena + antikoagulan EDTA atau darah segar (kapiler/vena, segera dibuat apusan dan dicat)

6. Cat Giemsa 7. Emersi oil

8. Alkohol mikroskop

Cara kerja hitung eosinofil sebagai berikut :

A. Cara membuat sediaan apus darah tepi (SADT)

1. Pilihlah kaca objek yang bertepi betul-betul rata untuk digunakan sebagai “kaca penghapus” atau boleh digunakan “spreader”

2. Letakkan satu tetes kecil darah pada ± 2-3 mm dari ujung kaca objek di depan tetes darah

3. Tarik spreader ke belakang sehingga menyentuh tetes darah, tunggu sampai darah menyebar pada sudut tersebut

4. Dengan gerak yang mantap doronglah spreader sehingga terbentuk apusan darah sepanjang 3-4 cm pada kaca objek. Darah harus habis sebelum spreader mencapai ujung lain dari kaca objek

5. Hapusan darah tidak boleh terlalu tipis atau terlalu tebal (ketebalan ini dapat diatur dengan menggunakan sudut antara kedua kaca objek dan kecepatan menggeser. Makin besar sudut atau makin cepat menggeser, makin tipis apusan darah yang dihasilkan)

6. Biarkan apusan darah mengering di udara

(17)

Pewarnaan Giemsa

1. Letakkan sediaan apusan darah yang telah kering pada rak pengecatan 2. Genangi dengan methanol selama 2 menit

3. Buang sisa cat dan cuci dengan air mengalir

4. Genangi dengan larutan giemsa 1:1 selama 2 menit 5. Buang sisa cat dan cuci dengan air mengalir

6. Kering anginkan

7. Periksa di bawah mikroskop obyektif 40 x atau 100 x + emersi oil dalam 100 sel leukosit

Ciri sediaan yang baik sebagai berikut :

1. Sediaan tidak melebar sampai tepi kaca objek. Panjang 1/2 – 2/3 panjang objek glass

2. Mempunyai bagian yang cukup tipis untuk diperiksa. Pada bagian ini eritrosit terletak berdekatan tidak bertumpukan atau menggumpal atau membentuk Roleaux.

3. Pinggir sediaan rata dan tidak berlubang-lubang/bergaris-garis

4. Penyebaran leukosit baik tidak berkumpul pada pinggir atau tepi sediaan 5. Jika lebih dari 24 jam penundaan maka sel akan mengalami lisis, vakuolisasi,

degranulasi, hipersegmentasi inti dan karioreksis. Efek antikoagulan EDTA : - Bila jumlah yang dipakai kurang maka darah membeku

(18)

4.5.Analisis Data

Metode analisa data yang dilakukan sebagai berikut (Arikunto, 2010) : a. Analisa Univariat

Dilakukan terhadap tiap-tiap variabel penelitian untuk melihat tampilan distribusi frekuensi dan persentase dari tiap variabel independen .

b. Analisa Bivariat

(19)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1 Deskripsi Hasil Penelitian

5.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian

Sekolah Dasar Negeri 060923 merupakan Sekolah Dasar Negeri di Provinsi Sumatera Utara Kecamatan Medan Amplas. Lokasi SD Negeri 060923 satu bangunan dengan SD Negeri 060924 dan SD Negeri 060925. Karena banyaknya SD negeri yang berada dalam satu lokasi menyebabkan sebagian murid masuk siang. Berdasarkan pengamatan peneliti terdapat faktor yang mempengaruhi kejadian askariasis yaitu tingkat pendidikan dan pendapatan yang rendah, sanitasi lingkungan yang buruk baik lingkungan rumah dan lingkungan sekolah, kesadaran akan perilaku sehat yang masih rendah seperti mencuci tangan sebelum makan, memakai alas kaki ketika bermain di lingkungan sekolah dan lingkungan rumah.

Gambar 5.1 Kondisi Lingkungan sekitar SDN 060923 Medan Amplas

(20)

area lingkungan sekolah yang jaraknya dengan tempat pembuangan sampah sangat dekat. Hal ini sangat memungkinkan makanan yang dijajakan di sekitar lingkungan sekolah terkontaminasi dengan berbagai kuman penyebab infeksi. 5.1.2 Karakteristik Sampel

Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan frekuensi jenis kelamin dari 55 subjek penelitian 27 diantaranya (49,1%) berjenis kelamin laki-laki dan 28 orang berjenis kelamin perempuan.

Tabel 5.1 Distribusi frekuensi siswa-siswi SDN 060923 Kecamatan Medan Amplas berdasarkan jenis kelamin dan usia

Frekuensi Persentase

Jenis Kelamin

Perempuan 28 50,9 %

Laki-laki 27 49,1 %

Total 55 100 %

Usia

8 tahun 17 30,9 %

9 tahun 21 38,2 %

10 tahun 16 29,1 %

11 tahun 1 1,8 %

Total 55 100 %

(21)

5.1.3 Prevalensi Infeksi Cacing A. lumbricoides

Tabel 5.2 Prevalensi infeksi cacing A. lumbricoides siswa-siswi SDN 060923 Kecamatan Medan Amplas

Infeksi A. lumbricoides Frekuensi Persentasi (%)

Positif 28 50,9

Negatif 27 49,1

Total 55 100

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa prevalensi cacing A. lumbricoides masih cukup tinggi di SDN 060923 Medan Amplas yaitu sebanyak 28 dari 55 subjek atau sekitar 50,9% subjek terdapat cacing A. lumbricoides di dalam tinjanya.

5.1.4 Distribusi Frekuensi

a. Distribusi Frekuensi Infeksi Cacing A. lumbricoides ( Askariasis)

Dari hasil penelitian dapat digambarkan distribusi frekuensi dari kejadian infeksi cacing A. lumbricoides, distribusi tersebut dapat kita gambarkan berdasarkan usia subjek dan jenis kelamin subjek.

Tabel 5.3 Distribusi frekuensi siswa-siswi SDN 060923 Kecamatan Medan Amplas berdasarkan jenis kelamin

Jenis Kelamin

Temuan Parasit Jumlah %

Positif (+) % Negatif (-) %

Laki-laki 15 55,0 12 45,0 27 100,0

Perempuan 13 46,4 15 53,6 28 100,0

(22)

Berdasarkan data di atas didapatkan bahwa 28 dari 55 subjek penelitian ditemukan infeksi cacing A. lumbricoides dalam tinjanya, dimana dari 27 subjek berjenis kelamin laki-laki 15 diantaranya ditemukan cacing A. lumbricoides dalam tinjanya atau sekitar 55 %. Sedangkan yang berjenis kelamin perempuan dari 28 subjek terdapat 13 diantaranya terinfeksi cacing A. lumbricoides dalam tinjanya atau sekitar 46,4 %.

Untuk distribusi frekuensi temuan infeksi cacing A. lumbricoides berdasarkan usia responden dapat kita lihat dalam tabel berikut ini :

Tabel 5.4 Distribusi frekuensi siswa-siswi SDN 060923 Kecamatan Medan Amplas berdasarkan usia

Usia Temuan Parasit Jumlah %

Positif (+) % Negatif (-) %

8 tahun 9 32,1 8 29,6 17 30,9

9 tahun 11 39,3 10 37 21 38,2

10 tahun 7 25 9 33,4 16 29,1

11 tahun 1 3,6 0 0 1 1,8

Total 28 100 27 100 68 100

(23)

b. Distribusi Frekuensi Kadar Eosinofil

Tabel 5.5 Distribusi frekuensi kadar eosinofil siswa-siswi SDN 060923 Kecamatan Medan Amplas

Kadar Eosinofil Frekuensi Persentasi (%)

Normal 27 49,1

Eosinofilia rendah 4 7,3

Eosinofilia sedang 17 30,9

Eosinofilia tinggi 7 12,7

Total 55 100

5.2 Hasil Analisa Statistik

Analisa statistik digunakan untuk mengetahui hubungan variabel bebas askariasis dengan variabel terikat kadar eosinofil menggunakan uji Chi – Square pada taraf α = 0,05. Hasil penelitian yang diperoleh yaitu :

Tabel 5.6 Hubungan Kejadian Askariasis dengan Kadar Eosinofil di SDN 060923 Kecamatan Medan Amplas tahun 2015

Askariasis Kadar Eosinofil P

CI (95%)

Normal Eosinofilia Rendah

Eosinofilia Sedang

Eosinofilia

Tinggi P = 0,01

Positif 0 4 17 7

Negatif 27 0 0 0

(24)

Berdasarkan analisa tabel di atas, didapatkan dari 28 subjek penelitian yang terinfeksi cacing A. lumbricoides 4 subjek mengalami kenaikan eosinofilia dengan rentang 4-5%, 17 subjek mengalami kenaikan eosinofilia dengan rentang 6-9 % dan 7 subjek mengalami kenaikan eosinofilia lebih dari 9% dari total seluruh hitung jenis sel leukosit darahnya.

Berdasarkan hasil analisa statistik dengan menggunakan uji Chi – Square diperoleh p = 0,01 yang artinya p < 0,05 dapat dikatakan bahwa ada hubungan bermakna antara Infeksi cacing A. lumbricoides (Askariasis) dengan kadar eosinofil.

5.3 Pembahasan Hasil Penelitian

5.3.1 Infeksi Cacing A. lumbricoides siswa-siswi SDN 060923 Kecamatan Medan Amplas

Hasil penelitian pada siswa SDN 060923 Medan Amplas menunjukkan bahwa dari 55 sampel yang dilakukan pemeriksaan feses di Laboratorium FK USU didapatkan sebanyak 28 sampel yang positif terinfeksi cacing Ascaris lumbricoides. Dari 28 sampel yang positif terdapat 15 siswa laki-laki dan 13 siswa

perempuan. Dapat disimpulkan bahwa siswa yang positif terinfeksi cacing Ascaris lumbricoides kebanyakan siswa laki-laki. Hal ini dapat disebabkan karena siswa

laki-laki kurang menjaga higienitas pribadi,

Menurut penelitian Nanda, 2011 didapatkan subjek yang mengalami infeksi cacing sebanyak 14 orang (11,4 %). Siswa yang terinfeksi cacing Ascaris lumbricoides sebanyak 10 orang (8,8%), Trichuris trichiura 3 orang (2,6%), dan

Cacing Tambang 1 orang (2,6 %). Hasil penelitian pada murid sekolah dasar wajib belajar di wilayah Jakarta Utara sebanyak 102 sampel yang positif telur cacing sebanyak 50 (49,02 %), Jakarta Selatan sebanyak 123 sampel yang positif telur cacing sebanyak 19 (15,45 %).

(25)

sekolah dasar (SD) merupakan golongan paling rentan terhadap cacingan, karena perilaku anak-anak yang tidak sehat antara lain sebelum makan dan sesudah buang air besar tidak cuci tangan menggunakan sabun dan air mengalir, kuku dibiarkan kotor dan bermain tanah di sekitar rumah.

Perbedaan angka infeksi kecacingan pada masing-masing penelitian ini kemungkinan disebabkan oleh berbagai faktor seperti kondisi sanitasi lingkungan, kebersihan diri perseorangan dan kondisi sekitar lingkungan tempat tinggal. Pada Ascaris lumbricoides dalam lingkungan yang sesuai 20-2 ℃ telur yang dibuahi tumbuh menjadi bentuk infektif dalam waktu kurang dari 3 minggu. Bentuk infektif ini bila tertelan manusia, akan menetas menjadi larva di usus halus kemudian masuk ke usus besar menjadi dewasa dan menetap.

Usia anak sekolah paling rentan terjadi infeksi kecacingan karena aktivitas bermain dilakukan kontak dengan tanah diluar lingkungan sekolah yang tidak diimbangi dengan kebiasaan mencuci tangan. Hal ini mengakibatkan telur Ascaris menempel di tangan akan tertelan ketika tangan yang sudah terinfeksi masuk ke mulut. Selain kebiasaan bermain dengan tanah, kebiasaan mencuci tangan sebelum makan juga dapat mempengaruhi terjadinya infeksi cacing. Usia anak sekolah biasanya sering memasukkan tangan mereka ke dalam mulut atau makan tanpa mencuci tangan terlebih dahulu setelah kontak dengan tanah. Akibatnya telur-telur yang tertelan akan berkembang di usus.

5.3.2 Kadar Eosinofil siswa-siwi SDN 060923 Kecamatan Medan Amplas

(26)

Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Teresia, (2013) dari 14 siswa yang terinfestasi STH menunjukkan 13 siswa (92,9%) terdapat eosinofilia dan hanya 1 siswa yang memiliki jumlah eosinofil normal. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Satti Abdulrahim dan Annas Hamdoun (2011) yang mendapatkan hasil adanya eosinofilia pada anak yang terinfeksi cacing Ascaris lumbricoides.

(27)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

1. Jumlah sampel yang terinfeksi A. lumbricoides adalah 28 dari 55 sampel sekitar 50,9%.

2. Jenis kelamin laki-laki paling banyak terinfeksi A. lumbricoides yaitu 15 dari 28 sampel yang positif.

3. Usia 8-9 tahun merupakan usia terbanyak infeksi A. lumbricoides yaitu 20 dari 55 sampel sekitar 69,1%.

4. Terdapat hubungan askariasis dengan kadar eosinofil pada siswa SDN 060923 Medan Amplas

6.2 Saran

1. Untuk pihak SDN 060923 Medan Amplas agar memberi pengetahuan dan penyuluhan kepada setiap siswa-siswi pentingnya cuci tangan sebelum makan dan setelah melakukan berbagai aktivitas. Pihak Sekolah bersama-sama para siswa menjaga kebersihan lingkungan sekolah agar dapat mencegah terjadinya penyakit infeksi.

2. Perlu adanya kerja sama antara masyarakat dengan dinas kesehatan setempat dalam memberikan pengetahuan dan himbauan agar sama-sama menjaga kebersihan lingkungan sekitar tempat tinggal, meningkatkan kesadaran akan pentingnya hidup bersih dan sehat

3. Bagi Dinas Kesehatan dan Puskesmas setempat dengan angka kejadian askariasis 50,9 % yang cukup tinggi. Agar dilakukan program pemeriksaan, pencegahan dan penanggulangan infeksi kecacingan khususnya A. lumbricoides dan dilakukan secara berkala.

(28)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Askariasis

Askariasis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh A.lumbricoides (cacing gelang) yang hidup di usus halus manusia dan penularannya melalui tanah. Cacing ini merupakan parasit yang kosmopolit yaitu tersebar di seluruh dunia, frekuensi terbesar berada di negara tropis yang lembab, dengan angka prevalensi di atas 50%. Di Indonesia frekuensinya tinggi berkisar antara 20-90%. Pada umumnya lebih banyak ditemukan pada anak-anak berusia 5-10 tahun sebagai host (penjamu).

2.1.1. Ascaris lumbricoides

Ascaris lumbricoides merupakan cacing usus yang terbesar, mampu

membesar hingga 35cm panjang dan 0,5cm garis tengah. Ascaris hidup di dalam usus dan telurnya terdapat dalam feses orang yang terinfeksi. Jika orang yang terinfeksi defekasi di luar atau feses orang yang terinfeksi digunakan sebagai pupuk, maka telur akan berada di tanah, lalu menjadi matang dan berada dalam bentuk infeksius. Askariasis disebabkan oleh telur yang tertelan. Hal ini bisa terjadi apabila jari atau tangan yang terkontaminasi dengan tanah yang mengandung telur cacing dimasukkan ke dalam mulut atau terjadi akibat kontaminasi sayuran atau buah yang tidak dicuci, tidak dibuang kulit atau tidak dimasak dengan cara yang benar (CDC,2010)

(29)

2.1.1.1. Morfologi

Ascaris lumbricoides merupakan salah satu jenis dari soil transmitted

helminthes, yaitu cacing yang memerlukan perkembangan di dalam tanah untuk

menjadi infektif. Ascaris lumbricoides merupakan nematoda parasit yang paling banyak menyerang manusia dan cacing ini disebut juga cacing bulat atau cacing gelang. Cacing dewasa berwarna agak kemerahan atau putih kekuningan, bentuknya silindris memanjang, ujung anterior tumpul memipih dan ujung posteriornya agak meruncing. Terdapat garis-garis lateral yang biasanya mudah dilihat, ada sepasang, warnanya memutih sepanjang tubuhnya.

Bagian kepala dilengkapi dengan tiga buah bibir yaitu satu dibagian mediodorsal dan dua lagi berpasangan dibagian latero ventral. Terdapat sepasang papilla, di bagian pusat di antara ketiga bibir terdapat lubang mulut (bukal kaviti) yang terbentuk segitiga dan kecil. Pada bagian posterior terdapat anusnya yang melintang.

Cacing dewasa yang jantan berukuran panjang 15 cm – 31 cm dengan diameter 2 mm – 4 mm. Adapun cacing betina panjangnya berukuran 20 cm – 35 cm, kadang-kadang sampai mencapai 49 cm, dengan diameter 3 mm – 6 mm. Untuk membedakan cacing betina dengan cacing jantan dapat dilihat pada bagian ekornya (ujung posterior), dimana cacing jantan ujung ekornya leelengkung ke arah ventral. Cacing jantan mempunyai sepasang spikula yang bentuknya sederhana dan silindris, sebagai alat kopulasi, dengan ukuran panjang 2 mm – 3,5 mm dan ujungnya meruncing.

(30)

Telur ini tidak menetas di dalam tubuh manusia, tapi dikeluarkan bersama tinja hospes.

Telur cacing ini ada yang dibuahi, disebut Fertilized. Bentuk ini ada dua macam, yaitu yang mempunyai cortex, disebut Fertilized-corticated dan yang lain tidak mempunyai cortex, disebut Fertilized-decorticated. Ukuran telur ini 60 x 45 mikron. Telur yang tidak dibuahi disebut unfertilized, ukurannya lebih lonjong : 90 x 40 mikron dan tidak mengandung embrio di dalamnya. Telur yang dibuahi

ketika keluar bersama tinja manusia tidak infektif. Di tanah pada suhu 20˚C-30˚C, dalam waktu 2-3 minggu menjadi matang yang disebut telur infektif dan di dalam telur ini sudah terdapat larva. Telur infektif ini dapat hidup lama dan tahan terhadap pengaruh buruk.

2.1.1.2. Siklus hidup

Manusia merupakan satu-satunya hospes definitif Ascaris lumbricoides, jika tertelan telur yang infektif, maka didalam usus halus bagian atas telur akan pecah dan melepaskan larva infektif dan menembus dinding usus halus masuk ke dalam vena porta hati yang kemudian bersama dengan aliran darah menuju jantung kanan dan selanjutnya melalui arteri pulmonalis ke paru-paru dengan masa migrasi berlangsung selama sekitar 15 hari.

Dalam paru-paru larva tumbuh dan berganti kulit selama 2 kali, kemudian keluar dari kapiler, masuk ke alveolus dan seterusnya larva masuk sampai ke bronkus, trakea, laring dan kemudian ke faring, berpindah ke esofagus dan tertelan melalui saliva atau merayap melalui epiglotis masuk ke dalam traktus digestivus. Terakhir larva sampai ke dalam usus halus bagian atas, larva berganti kulit lagi menjadi cacing dewasa. Umur cacing dewasa kira-kira 1 tahun, dan kemudian keluar secara spontan.

(31)

stadium ini merupakan stadium larva, dimana telur tersebut keluar bersama tinja manusia dan di luar akan mengalami perubahan dari stadium larva I – stadium III yang bersifat infektif.

(32)
[image:32.595.160.478.108.422.2]

Gambar 2.1

Siklus hidup Ascaris lumbricoides.

1)Cacing dewasa

2) telur infertil dan telur fertil

5) larva yang telah menetas

7) larva matur

(33)

2.1.1.3. Cara penularan

[image:33.595.117.464.279.702.2]

Penularan Askariasis dapat terjadi melalui beberapa jalan yaitu masuknya telur yang infektif ke dalam mulut bersama makanan atau minuman yang tercemar, tertelan telur melalui tangan yang kotor dan terhirupnya telur infektif bersama debu udara dimana telur infektif tersebut akan menetas pada saluran pernapasan bagian atas, untuk kemudian menembus pembuluh darah dan memasuki aliran darah.

Gambar 2.2

(34)

2.1.1.4. Patologi dan Patogenitas

Infeksi yang disebabkan oleh Ascaris merupakan infeksi yang sangat umum. Kebanyakan penderitanya adalah anak-anak. Infeksi ini dapat menimbulkan kematian, baik dikarenakan larva maupun cacing dewasanya. Larva cacing Ascaris lumbricoides dapat menimbulkan hepatitis, askariasis pneumonia, juga kutaneus edema yaitu edema pada kulit, terhadap anak-anak dapat mengakibatkan nausea (rasa mual), kolik (mulas), diare, urtikaria (gatal-gatal), kejang-kejang, meningitis (radang selaput otak) juga kadang-kadang menimbulkan demam, apatis, rasa mengantuk, strabismus (mata juling), dan paralisis (kelumpuhan) dari anggota badan. Terjadi hepatitis dikarenakan larva cacing menembus dinding usus dan terbawa aliran darah vena ke dalam hati sehingga dapat menimbulkan kerusakan pada hati.

Stadium dewasa, biasanya terjadi gejala usus ringan. Pada infeksi berat, terutama pada anak-anak dapat terjadi malabsorbsi yang memperberat malnutrisi karena perampasan makanan oleh cacing dewasa. Bila cacing dewasa menumpuk dapat menimbulkan ileus obstruksi. Bila cacing nyasar ke tempat lain dapat terjadi infeksi ektopik pada apendiks dan ductus choledochus. Ascaris lumbricoides dapat menghasilkan telur setiap harinya 20.000 butir atau kira-kira 2-3 buah telur tiap detik. Hal ini dapat menimbulkan anemia, dan dalam jumlah yang sangat banyak dapat juga menyebabkan toksaemia (karena toksin dari ascaris) dan apendisitis yaitu disebabkan cacing dewasa masuk ke dalam lumen apendiks. 2.1.1.5. Diagnosis

(35)

2.1.1.6. Pencegahan

Penularan Ascaris dapat terjadi secara oral, maka untuk pencegahannya hindari tangan dalam keadaan kotor karena dapat menimbulkan adanya kontaminasi dari telur-telur Ascaris. Oleh karena itu, biasakan mencuci tangan sebelum makan.

Selain hal di atas, hindari juga sayuran mentah yang tidak dimasak terlebih dahulu dan jangan membiarkan makanan terbuka begitu saja, sehingga debu-debu yang berterbangan dapat mengontaminasi makanan tersebut ataupun dihinggapi serangga yang membawa telur-telur tersebut.

Untuk menekan volume dan lokasi dari aliran telur-telur melalui jalan ke penduduk, maka pencegahannya dengan mengadakan penyaluran pembuangan feses yang teratur dan sesuai dengan syarat pembuangan kotoran yang memenuhi aturan kesehatan dan tidak boleh mengotori air permukaan untuk mencegah agar tanah tidak terkontaminasi telur ascaris.

Mengingat prevalensi yang tinggi pada golongan anak-anak, maka perlu diadakan pendidikan di sekolah-sekolah mengenai cacing ascaris ini. Dianjurkan pula untuk membiasakan mencuci tangan sebelum makan, mencuci makanan dan memasaknya dengan baik, memakai alas kaki terutama di luar rumah. Ada baiknya di desa-desa diberi pendidikan dengan cara peragaan secara audio visual, sehingga dengan cara ini mudah dapat dimengerti oleh mereka.

(36)

Cara-cara perbaikan tersebut adalah sebagai berikut :

1. Buang air selalu di jamban dan menggunakan air untuk membersihkannya 2. Memakan makanan yang sudah dicuci dan dipanaskan serta menggunakan sendok garpu dalam waktu makan dapat mencegah infeksi oleh telur cacing

3. Anak-anak dianjurkan tidak bermain di tanah yang lembab dan kotor, serta selalu memotong kuku secara teratur

4. Halaman rumah selalu dibersihkan 2.2. Sistem imun

Imunitas adalah resistensi terhadap penyakit terutama infeksi. Gabungan sel, molekul dan jaringan yang berperan dalam resistensi terhadap infeksi disebut sistem imun. Reaksi yang dikoordinasi sel-sel, moleku-molekul dan bahan lainnya terhadap mikroba disebut respons imun. Sistem imun diperlukan tubuh untuk mempertahankan kebutuhannya terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan berbagai bahan dalam lingkungan hidup. Sistem imun dapat dibagi menjadi sistem imun alamiah atau nonspesifik (natural/innate/native) dan didapat atau spesifik (adaptive/acquired).

(37)

2.2.1. Sistem imun nonspesifik

Imunitas nonspesifik fisiologik berupa komponen normal tubuh, selalu ditemukan pada individu sehat dan siap mencegah mikroba masuk tubuh dan dengan cepat menyingkirkannya. Jumlahnya dapat ditingkatkan oleh infeksi, misalnya jumlah sel darah putih meningkat selama fase akut pada banyak penyakit. Disebut nonspesifik karena tidak ditujukan terhadap mikroba tertentu, telah ada dan siap berfungsi sejak lahir. Mekanismenya tidak menunjukkan spesifisitas terhadap benda asing dan mampu melindungi tubuh terhadap banyak patogen potensial. Sistem tersebut merupakan pertahanan terdepan dalam menghadapi serangan berbagai mikroba dan dapat memberikan respons langsung.

a. Pertahanan fisik/mekanik

Kulit, selaput lendir, silia saluran napas, batuk dan bersin, merupakan garis pertahanan terdepan terhadap infeksi.

b. Pertahanan biokimia

pH asam keringat, sekresi sebaseus, berbagai asam lemak yang dilepas kulit, lizosim dalam keringat, saliva, air mata, dan air susu ibu, enzim saliva, asam lambung, enzim proteolitik, antibodi, dan empedu dalam usus halus, mukosa saluran nafas, gerakan silia.

c. Pertahanan humoral

Pertahanan humoral terdiri dari komplemen, protein fase akut, mediator asal fosfolipid, sitokin IL-1, IL-6, TNF-α. Komplemen terdiri atas sejumlah besar perotein yang bila diaktifkan akan memberikan proteksi terhadap infeksi dan berperan dalam respons inflamasi. Komplemen berperan sebagai opsonin yang meningkatkan fagositosis, sebagai faktor kemotaktik dan juga menimbulkan destruksi/lisis bakteri dan parasit.

(38)

asal fosfolipid diperlukan untuk produksi prostaglandin dan leukotrien. Keduanya meningkatkan respons inflamasi melalui peningkatan permeabilitas vaskular dan vasodilatasi.

d. Pertahanan seluler

Fagosit, sel NK, sel mast, dan eosinofil berperan dalam sistem imun nonspesifik seluler. Sel-sel imun tersebut dapat ditemukan dalam sirkulasi atau jaringan. Contoh sel yang dapat ditemukan dalam sirkulasi adalah neutrofil, eosinofil, basofil, monosit, sel T, sel B, sel NK, sel darah merah, dan trombosit. Contoh sel-sel dalam jaringan adalah eosinofil, sel mast, makrofag, sel T, sel plasma, dan sel NK.

2.2.2. Sistem Imun Spesifik

Berbeda dengan sistem imun nonspesifik, sistem imun spesifik mempunyai kemampuan untuk mengenal benda yang dianggap asing bagi dirinya. Benda asing yang pertama kali terpajan dengan tubuh segera dikenal oleh sistem imun spesifik. Pajanan tersebut menimbulkan sensitisasi, sehingga antigen yang sama dan masuk tubuh untuk kedua kali akan dikenal lebih cepat dan kemudian dihancurkan. Oleh karena itu, sistem tersebut disebut spesifik untuk menghancurkan benda asing yang berbahaya bagi tubuh, sistem imun spesifik dapat bekerja tanpa bantuan sistem imun nonspesifik. Namun pada umumnya terjalin kerjasama yang baik antara sistem imun nonspesifik dan spesifik seperti antara komplemen-fagosit-dan antara makrofag-sel T.

(39)

a. Sistem imun spesifik humoral

Pemeran utama dalam sistem imun spesifik humoral adalah limfosit B atau sel B. Humor berarti cairan tubuh. Sel B berasal dari sel asal multipoten di sumsum tulang. Sel B yang dirangsang oleh benda asing akan berproliferasi, berdiferensiasi menjadi sel plasma yang memproduksi antibodi. Antibodi yang dilepas dapat ditemukan dalam serum. Fungsi utama antibodi ialah pertahanan terhadap infeksi ekstraselular, virus dan bakteri serta menetralkan toksinnya.

b. Sistem imun spesifik selular

Limfosit T atau sel T berperan pada sistem imun spesifik selular. Sel tersebut juga berasal dari sel asal yang sama seperti sel B. Pada orang dewasa, sel T dibentuk di dalam sumsum tulang, tetapi proliferasi dan diferensiasinya terjadi di dalam kelenjar timus atas pengaruh berbagai faktor asal timus. 90-95% dari semua sel T dalam timus tersebut mati dan hanya 5-10% menjadi matang dan selanjutnya meninggalkan timus untuk masuk ke dalam sirkulasi.

Faktor timus yang disebut timosin dapat ditemukan dalam peredaran darah sebagai hormon asli dan dapat mempengaruhi diferensiasi sel T di perifer. Berbeda dengan sel B, sel T terdiri atas beberapa subset sel dengan fungsi yang berlainan yaitu sel + (Th1, Th2), 8+ atau CTL atau Tc dan Ts atau sel Tr atau Th3. Fungsi utama sistem imun spesifik selular ialah pertahanan terhadap bakteri yang hidup intraselular, virus, jamur, parasit dan keganasan. Sel + mengaktifkan sel Th1 yang selanjutnya mengaktifkan makrofag untuk menghancurkan mikroba. Sel 8+ memusnahkan sel terinfeksi.

2.3. Imunitas terhadap infeksi parasit

(40)

kenyataannya, setiap parasit mempunyai mekanisme yang sangat kompleks sampai terjadinya kematian.

2.3.1. Imunitas nonspesifik

Meskipun berbagai protozoa dan cacing mengaktifkan imunitas nonspesifik melalui mekanisme yang berbeda, mikroba tersebut biasanya dapat tetap hidup dan berkembang biak dalam pejamu oleh karena dapat beradaptasi dan menjadi resisten terhadap sistem imun pejamu. Respon imun nonspesifik utama terhadap protozoa adalah fagositosis, tetapi banyak parasit tersebut yang resisten terhadap efek bakterisidal makrofag, bahkan beberapa diantaranya dapat hidup dalam makrofag.

Fagosit juga menyerang cacing dan melepas bahan mikrobisidal untuk membunuh mikroba yang terlalu besar untuk dimakan. Beberapa cacing mengaktifkan komplemen melalui jalur alternatif, tetapi ternyata banyak parasit memiliki lapisan permukaan tebal sehingga resisten terhadap mekanisme sitosidal neutrofil dan makrofag. Banyak parasit ternyata mengembangkan resistensi terhadap efek lisis komplemen.

2.3.2. Imunitas spesifik

2.3.2.1. Respon imun yang berbeda

(41)

2.3.2.2. Infeksi cacing

Respons pejamu terhadap infeksi cacing pada umumnya lebih kompleks oleh karena patogen lebih besar dan tidak bisa ditelan oleh fagosit. Pertahanan terhadap banyak infeksi cacing diperankan oleh aktivasi sel Th2. Cacing merangsang subset Th2 sel CD + yang melepas IL-4 dan IL-5. IL-4 merangsang produksi IgE dan IL-5 merangsang perkembangan dan aktivasi eosinofil. IgE yang berikatan dengan permukaan cacing diikat eosinofil. Selanjutnya eosinofil diaktifkan dan mensekresi granul enzim yang menghancurkan parasit.

Eosinofil lebih efektif dibanding leukosit lain oleh karena eosinofil mengandung granul yang lebih toksik dibanding enzim proteolitik dan ROI yang diproduksi neutrofil dan makrofag. Cacing dan ekstrak cacing dapat merangsang produksi IgE yang nonspesifik. Reaksi inflamasi yang ditimbulkannya diduga dapat mencegah menempelnya cacing pada mukosa saluran cerna.

(42)
[image:42.595.151.467.111.466.2]

Gambar 2.3 Respon imun cacing

Sumber : Imunologi Dasar Fakultas Kedokteran UI, 2012

Parasit yang masuk ke dalam lumen saluran cerna, pertama dirusak oleh IgG, IgE dan juga mungkin dibantu oleh ADCC. Sitokin yang dilepas sel T yang dipacu antigen spesifik merangsang proliferasi sel goblet dan sekresi bahan mukus yang menyelubungi cacing yang rusak. Hal itu memungkinkan cacing dapat dikeluarkan dari tubuh melalui peningkatan gerakan usus yang diinduksi mediator sel mast seperti LTD4 dan diare akibat pencegahan absorbsi natrium yang tergantung glukosa oleh histamin dan prostaglandin asal sel mast.

(43)

IgG/IgA dan melepas protein kationik, MBP dan neurotoksin. PMN dan makrofag menempel melalui IgA/IgG dan melepas superoksida, oksida nitrit dan enzim yang membunuh cacing.

IgE parasit diduga banyak ahli hanya merupakan bagian dari peningkatan masif IgE yan g diinduksi IL-4 oleh sel Th2 dan eksesnya diduga untuk memenuhi IgER pada permukaan sel mast untuk dijadikan refrakter terhadap rangsangan antigen parasit.

Gambar 2.4. Respon Imun terhadap cacing

(44)

2.4. Eosinofilia

Eosinofilia adalah tingginya rasio eosinofil di dalam plasma darah. Eosinofilia bukan merupakan suatu penyakit, tetapi merupakan respon terhadap suatu penyakit. Peningkatan jumlah eosinofil dalam darah di picu sekresi interleukin-5 oleh sel T, mastosit dan makrofag, menunjukkan respon yang tepat terhadap sel-sel abnormal, parasit atau bahan-bahan penyebab reaksi alergi (alergen).

Setelah diproduksi dalam sumsum tulang, eosinofil akan memasuki aliran darah dan tinggal dalam darah hanya beberapa jam, kemudian masuk ke dalam jaringan di seluruh tubuh. Jika suatu bahan asing masuk ke dalam tubuh, akan terdeteksi oleh limfosit dan neutrofil, yang akan melepaskan bahan untuk menarik eosinofil ke daerah ini. Eosinofil kemudian melepaskan bahan racun yang dapat membunuh parasit dan menghancurkan sel-sel yang abnormal.

Eosinofil mengandung sejumlah zat kimiawi antara lain histamin, eosinofil peroksidase, ribonuklease, deoksiribonuklease, lipase, plasminogen dan beberapa asam amino yang dirilis melalui proses granulasi setelah eosinofil teraktivasi. Eosinofil merupakan sel substrat peradangan dalam reaksi alergi.

Eosinofil dapat bertahan dalam sirkulasi darah selama 8-12 jam, dan bertahan lebih lama sekitar 8-12 hari di dalam jaringan apabila tidak terdapat stimulasi. Sel ini mirip dengan neutrofil kecuali granula sitoplasmanya lebih kasar dan berwarna lebih merah gelap (karena mengandung protein basa) dan jarang terdapat lebih dari 3 lobus inti. Mieloit eosinofil dapat dikenali tetapi stadium sebelumnya tidak dapat dibedakan dari prekursor neutrofil. Waktu perjalanan dalam darah untuk eosinofil lebih lama darpada untuk neutrofil.

(45)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Infeksi cacing usus masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara berkembang termasuk Indonesia. Di antara cacing usus yang menjadi masalah kesehatan adalah kelompok Soil Transmitted Helminth seperti Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura dan Ancylostoma sp. . Soil

Transmitted Helminth adalah nematoda yang dalam siklus hidupnya

memerlukan tanah untuk mencapai stadium infektifnya.

Menurut Margono (2000) dalam Oktavianto (2009), di Indonesia prevalensi askariasis tinggi, terutama pada anak. Frekuensinya sekitar 60-90%. Kurangnya pemakaian jamban keluarga menimbulkan pencemaran tanah dengan tinja di sekitar halaman rumah, bawah pohon, tempat mencuci dan tempat pembuangan sampah. Di negara-negara tertentu terdapat kebiasaan memakai tinja sebagai pupuk. Tanah liat, kelembapan tinggi dan suhu yang berkisar antara 25˚-30˚C merupakan hal-hal yang sangat baik untuk berkembangnya telur Ascaris lumbricoides menjadi bentuk infektif

Menurut Elmi et al (2004) dalam Oktavianti (2009), pada penelitian epidemiologi yang telah dilakukan hampir diseluruh Indonesia, terutama pada anak-anak sekolah dan umumnya didapatkan angka prevalensi tinggi yang bervariasi. Prevalensi askariasis di provinsi DKI Jakarta adalah 4-91%, Jabar 20-90%, Yogyakarta 12-85%, Jatim 16-74%, Bali 40-95%, NTT 10-75%, Sumut 46-75%, Sumbar 2-71%, Sumsel 51-78%, Sulut 30-72%, di bagian ilmu kesehatan anak RS Tembakau Deli dan Rumah Sakit Pirngadi Medan prevalensi Ascariasis 55,8%.

(46)

terjadi setiap tahun akibat infeksi Soil Transmitted Helminth. Anak usia Sekolah Dasar (SD) merupakan golongan paling rentan terhadap cacingan, karena perilaku anak-anak yang tidak sehat antara lain sebelum makan dan sesudah buang air besar tidak cuci tangan dengan menggunakan sabun dan air mengalir, kuku dibiarkan kotor, tidak biasa memakai alas kaki dan bermain-main tanah di sekitar rumah.

Beberapa studi telah menunjukkan hubungan eosinofilia dengan infeksi cacing. Peningkatan eosinofil sering dikaitkan dengan penyakit yang disebabkan oleh cacing dan alergi. Eosinofilia merupakan penanda umum adanya infeksi cacing dan telah lama diduga bahwa sel tersebut sitotoksik dan diperlukan pada destruksi patogen multisel yang berukuran besar. Terdapat 1-3% eosinofil dalam sel darah putih orang sehat yang tidak alergi. Di Amerika, pemeriksaan eosinofil dilakukan untuk mengidentifikasi infeksi cacing pada pengungsi anak-anak. Studi di Filipina menunjukkan bahawa 58% siswa dengan eosinofilia, 65% telah didiagnosis adanya infeksi Soil Transmitted Helminth, siswa yang terinfeksi lebih dari satu jenis cacing memiliki eosinofil

yang lebih tinggi dibanding siswa yang terinfeksi satu jenis cacing.

Respon imun manusia terhadap kecacingan berkaitan dengan peningkatan IgE, eosinofil jaringan dan mastocytosis, yang menstimulasi produksi Th2, yaitu interleukin 4 (IL-4) dan interleukin 5 (IL-5). Eosinofilia terjadi akibat efek sintesis IL-5 dari sel Th2. IL-5 merupakan sitokin paling penting pada transformasi dan pembentukan eosinofil dan bertindak sebagai aktivator eosinofil. Eosinofil bekerja sebagai efektor dalam melawan infeksi parasit dan dapat juga memakan kompleks antigen antibodi.

(47)

Eosinofil yang diaktifkan melepas MBP dan MCP yang dapat merusak cacing. Sel mast diikat Ig E pada permukaan cacing dan menimbulkan degranulasi. Isi granul sel mast mengandung amin vasoaktif, sitokin seperti TNF dan mediator lipid yang menginduksi inflamasi lokal. Respon tersebut adalah untuk menyingkirkan infeksi cacing dan dapat juga berperan terhadap beberapa ektoparasit. Cacing terlalu besar untuk dimakan dan lebih resisten terhadap aktivitas mikrobisidal makrofag dibanding kebanyakan kuman dan virus.

Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian hubungan askariasis dengan kadar eosinofil pada siswa SD. Sekolah Dasar Negeri 060923 merupakan lokasi yang dipilih untuk dilakukan penelitian ini. Pertimbangan pemilihan lokasi ini karena kebersihan lingkungan sekolah dan sekitar rumah buruk. Faktor-faktor inilah dapat mendukung siklus hidup Ascaris lumbricoides.

1.2.Rumusan Masalah

(48)

1.3.Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Mengetahui hubungan Askariasis dengan kadar eosinofil pada siswa SDN 060923 Medan Amplas

1.3.2. Tujuan Khusus

Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah

1. Untuk mengetahui karakteristik siswa berdasarkan umur dan jenis kelamin

2. Untuk mengetahui jumlah siswa SDN 060923 yang menderita Askariasis

3. Mengetahui perbedaan kadar eosinofil darah pada anak yang mengalami askariasis dengan anak yang tidak mengalami askariasis pada siswa SDN 060923 Medan Amplas

1.4.Manfaat Penelitian 1.4.1. Manfaat Akademis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi hubungan askariasis dengan kadar eosinofil

1.4.2. Manfaat Praktis

1. Memberikan informasi mengenai kadar eosinofil pada infeksi kecacingan khususnya askariasis

(49)

HUBUNGAN ASKARIASIS DENGAN KADAR EOSINOFIL DI SDN 060923 KECAMATAN MEDAN AMPLAS TAHUN 2015

ABSTRAK

Latar Belakang. Anak usia sekolah dasar merupakan golongan paling rentan terhadap cacingan, karena perilaku anak-anak yang kurang menjaga higienitas pribadi. Peningkatan eosinofil sering dikaitkan dengan penyakit yang disebabkan oleh cacing dan alergi. Eosinofilia merupakan penanda umum adanya infeksi cacing.

Tujuan. Mengetahui hubungan askariasis dengan kadar eosinofil pada siswa SDN 060923 Medan Amplas

Metode. Penelitian dengan design studi analitik menggunakan metode cross sectional pada anak usia 8-11 tahun yang memenuhi kriteria inklusi dan sudah menandatangani inform consent. Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini adalah total sampling. Dilakukan pemeriksaan mikroskopis feses dan jumlah eosinofil darah. Analisis statistik menggunakan uji Pearson chi square.

Hasil. Dari 28 subjek penelitian yang terinfeksi askariasis mengalami kenaikan kadar eosinofil darah. Kadar eosinofil 27 subjek yang tidak terinfeksi cacing A. lumbricoides memiliki kadar eosinofil normal. Hal ini menunjukkan adanya hubungan yang erat antara kejadian askariasis dengan kadar eosinofil.

Kesimpulan. Kadar eosinofil darah siswa yang terinfeksi Askariasis berbeda secara bermakna dengan siswa yang tidak terinfeksi Askariasis.

(50)

RELATIONS ASCARIASIS WITH THE LEVELS OF EOSINOPHILS IN THE SDN 060923 MEDAN AMPLAS by 2015

ABSTRACT

Background. Elementary school age children is the most susceptible to intestinal worms, because the behavior of children who lack personal hygiene keep. An increase in eosinophils is often associated with diseases caused by worms and allergies. Eosinofilia is a general marker of the presence of the worm infection. Objective. Relationship ascariasis with levels of eosinophils in students SDN 060923 Medan Amplas

Method. Research with design study using the method of cross sectional analytic on children aged 8-11 years who meet the criteria for inclusion and has already signed the inform consent. The technique of sampling in this research are the total sampling. Microscopic examination of the stool is done and the amount of eosinophils in blood. Statistical analysis using Pearson chi square test.

Results. Of the 28 infected research subjects askariasis increase blood levels of eosinophils. Levels of eosinophils 27 subject not infected with worms a. lumbricoides have normal levels of eosinophils. This shows that there is a close relationship between the incidence of askariasis with levels of eosinophils.

Conclusion. Levels of eosinophils blood infected with Ascariasis students significantly different with students who are not infected with Ascariasis.

(51)

Oleh :

YENNY PURBA

120100232

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(52)

Karya Tulis Ilmiah Ini Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Kelulusan Sarjana Kedokteran

Oleh :

YENNY PURBA

120100232

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(53)
(54)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul : Hubungan Askariasis dengan Kadar Eosinofil Di SDN 060923 Medan Amplas Tahun 2015

Nama : Yenny Purba

NIM : 120100232

Pembimbing Penguji I

dr. Nurfida K. A., M.Kes dr. Nurchaliza H. Siregar, Sp. M

NIP : 197008191999032001 NIP : 197009082000032001

Penguji II

dr. Hilma P. L., M.Ked(OG), Sp.OG

NIP : 198610242014042002

Medan, 2015

Dekan,

Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara

Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH

(55)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Karena berkat rahmatNya penulis dapat menyusun dan menyelesaikan Proposal Penelitian yang diajukan guna melengkapi dan memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan kedokteran di Fakultas Kedokteran Universitas

Sumatera Utara dengan judul “HUBUNGAN ASKARIASIS DENGAN KADAR

EOSINOFIL DI SDN 060923 MEDAN AMPLAS”.

Dalam penulisan Proposal Karya Tulis Ilmiah, penulis dengan hati yang tulus mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Prof. dr. Gontar A. Siregar, Sp.PD, KGEH sebagai Dekan Fakultas Kedokteran USU.

2. Prof. dr. Guslihan Dasa Tjipta, Sp.A (K) sebagai Pembantu Dekan I Fakultas Kedokteran USU.

3. dr. Zaimah Z. Tala, MS, Sp.GK sebagai Pembantu Dekan II Fakultas Kedokteran USU.

4. dr. Muhammad Rusda, M.Ked(OG) Sp.OG (K) sebagai Pembantu Dekan III Fakultas Kedokteran USU.

5. dr. Nurfida Khairina Arrasyid, M.Kes , Ketua departemen bagian Parasitologi di FK USU , sebagai dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga serta pemikirannya kepada penulis dalam menyelesaikan proposal karya tulis ilmiah ini.

6. Seluruh staff pengajar di lingkungan Fakultas Kedokteran USU yang telah banyak memberikan ilmu dan mendidik penulis selama mengikuti perkuliahan di Fakultas Kedokteran USU.

7. Kedua orangtua tercinta yang telah memberi semangat dan doa restu serta dukungan material selama penulis mengikuti perkuliahan di Fakultas Kedokteran USU.

(56)

Penulis menyadari bahwa proposal karya tulis ilmiah ini tidak luput dari kekurangan untuk itu penulis menerima dengan tangan terbuka semua kritik dan saran.

Akhir kata dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan semoga proposal karya tulis ilmiah ini dapat ikut memberikan sumbangan pikiran yang berguna bagi fakultas, bangsa dan negara.

Penulis,

(57)

DAFTAR ISI

` Halaman

Cover ...i

Halaman Persetujuan ...ii

Kata Pengantar ...iii

Daftar Isi ...v

Daftar Tabel ...viii

Daftar Gambar ...ix

Abstrak ...x

Abstract ...xi

BAB 1 PENDAHULUAN ...1

1.1.Latar Belakang ...1

1.2.Rumusan ...3

1.3.Tujuan Penelitian ...4

1.4.Manfaat Penelitian ...4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ...5

2.1 Askariasis ...5

2.1.1 Ascaris lumbricoides ...5

2.1.1.1 Morfologi ...6

2.1.1.2 Siklus hidup ...7

2.1.1.3 Cara penularan ...10

(58)

2.1.1.5 Diagnosis ...11

2.1.1.6. Pencegahan ...12

2.2Sistem Imun ...13

2.2.1 Sistem Imun non Spesifik...14

2.2.2 Sistem Imun Spesifik...15

2.3 Imunitas terhadap infeksi parasit...16

2.3.1 Imunitas nonspesifik ...17

2.3.2 Imunitas spesifik ...17

2.3.2.1. Respon imun yang berbeda ...17

2.3.2.2. Infeksi Cacing ...18

2.4 Eosinofilia ...21

BAB 3 Kerangka Konsep dan Definisi Operasional...22

3.1 Kerangka Konsep Penelitian...22

3.2.Hipotesis...22

3.3.Definisi Operasional...23

BAB 4 METODE PENELITIAN...24

4.1. Jenis Penelitian...24

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian ...24

4.3. Populasi dan Sampel...24

4.3.1.Populasi...24

4.3.2.Sampel ...24

(59)

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...31

5.1. Deskripsi Hasil Penelitian ...31

5.2. Hasil Analisa Statistik ...35

5.3. Pembahasan Hasil Penelitian ...36

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ...39

6.1. Kesimpulan ...39

6.2. Saran ...39

DAFTAR PUSTAKA...40

(60)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Definisi Operasional ... 22 Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Siswa-Siswi SDN 060923 Kecamatan Medan

Amplas Berdasarkan Jenis Kelamin dan Usia ... 31 Tabel 5.2 Prevalensi Infeksi Cacing A. lumbricoides siswa-siswi SDN

060923 Kecamatan Medan Amplas ... 32 Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Siswa-Siswi SDN 060923 Medan Amplas

berdasarkan jenis kelamin ... 32 Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Siswa-Siswi SDN 060923 Medan Amplas berdasarkan usia ... 33 Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi Kadar Eosinofil Siswa-Siswi SDN 060923 Medan Amplas ... 34 Tabel 5.6 Hubungan Kejadian Askariasis dengan Kadar Eosinofil di SDN

(61)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Siklus hidup Ascaris lumbricoides ... 9

Gambar 2.2 Cara Penularan Ascaris lumbricoides ... 10

Gambar 2.3 Respon Imun Cacing ... 19

Gambar 2.4 Respon Imun Terhadap Cacing ... 20

Gambar

Gambar 5.1 Kondisi Lingkungan sekitar SDN 060923 Medan Amplas
Tabel 5.1 Distribusi frekuensi siswa-siswi SDN 060923 Kecamatan
Tabel 5.2 Prevalensi infeksi cacing A. lumbricoides siswa-siswi SDN
Tabel 5.4 Distribusi frekuensi siswa-siswi SDN 060923 Kecamatan
+5

Referensi

Dokumen terkait

DTM generated by stereo plotting with photogrammetry concept, where Indonesia Topography Map at medium scale using Synthetic Aperture Radar (SAR), and currently, one of

KEGIATAN : (1071) Pengadaan Sarana dan Prasarana di Lingkungan Mahkamah Agung. PEKERJAAN :

This paper introduces a method to use such a voxel structure to cluster a large point cloud into ground and non-ground points.. The proposed method for ground detection first

If it has the required bandwidth available, a reverse route entry is created with the specified session ID and used to forward the RREP to the source node, then it rebroadcasts

Bagian Administrasi Pembangunan Sekretariat Kota Bandar Lampung akan melaksanakan Pengadaan Barang/Jasa berdasarkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun Anggaran

Masyarakat adat memiliki hak atas tanah, wilayah dan sumber daya alam yang mereka miliki atau duduki secara turun temurun dan juga tanah, wilayah dan sumber

Taking the evidence as a whole—that Zheng He’s gunners would have used all the machines described in Fontana’s book and would have carried many of them aboard, that Fontana’s book

Pertama, disiplin diartikan sebagai kepatuhan terhadap peratuaran (hukum) atau tunduk pada pengawasan dan pengendalian. Kedua disiplin sebagai latihan