• Tidak ada hasil yang ditemukan

STRATEGI BERTAHAN PELAKU SEKTOR INFORMAL : Peranan Modal Sosial Migran Pedagang Kaki Lima di Sekitar Kebun Raya Bogo

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "STRATEGI BERTAHAN PELAKU SEKTOR INFORMAL : Peranan Modal Sosial Migran Pedagang Kaki Lima di Sekitar Kebun Raya Bogo"

Copied!
126
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

MONA LUSIA BR MANIHURUK. STRATEGI BERTAHAN PELAKU SEKTOR INFORMAL: Peranan Modal Sosial Migran Pedagang Kaki Lima di Sekitar Kebun Raya Bogor. Dibimbing oleh EKAWATI SRI WAHYUNI.

Sektor informal mampu menyerap tenaga kerja migran yang tidak terampil dengan jumlah yang relatif besar. Jumlah migran yang masuk ke daerah Bogor terus meningkat dari waktu ke waktu dan menyebabkan perkembangan sektor informal, khususnya PKL (Pedagang Kaki Lima). Para migran pedagang kaki lima biasanya memulai usaha dengan memanfaatkan modal sosial yang mereka miliki, misalnya, kerabat atau teman mereka dari daerah asal yang sama. Kemudian, mereka akan memperluas jaringan ke kelompok lain yang berkaitan dengan usaha mereka, seperti pemasok bahan baku. Para migran pedagang kaki lima bergantung pada modal sosial yang mereka miliki untuk mempertahankan usaha mereka. Penelitian ini menggunakan metode survei dan wawancara mendalam terhadap 40 pedagang kaki lima di sekitar Kebun Raya Bogor. Kata kunci: sektor informal, pedagang kaki lima (PKL), migrasi desa-kota, modal sosial, strategi bertahan.

ABSTRACT

MONA LUSIA BR MANIHURUK. SURVIVAL STRATEGY OF INFORMAL SECTOR PROPRIETORS: The Roles of Social Capital of Migrant Street Vendors Around Bogor Botanical Gardens. Supervised by EKAWATI SRI WAHYUNI.

The informal sector is able to absorb a relatively large number of unskilled migrant-labor. The number of in-migrant into Bogor area is continued to increase from time to time and to cause the development of informal sector, particularly the street vendor or PKL (Pedagang Kaki Lima). The migrant street vendors usually start a business by utilizing the social capital they had, for example,their relatives or friends of the same origin villages. Later on, their networking will expand to other groups that related to their business, such as raw material suppliers. The migrant street vendors rely on the social capital they owned to survive their business. This study was based on a survey and in-depth interview to 40 street vendors around Bogor Botanical Gardens

(2)

PENDAHULUAN

Sektor informal adalah salah satu sektor yang dapat menyerap tenaga kerja dengan jumlah relatif besar. Ketika sektor formal sudah tidak mampu lagi menyerap tenaga kerja yang tersedia maka sektor informal menjadi pilihan para pencari kerja. Sektor informal cenderung dilakukan oleh para migran, khususnya migran desa. Hal ini disebabkan karena mobilisasi yang diilakukan migran dari desa ke kota pada dasarnya dengan tujuan untuk menyambung kehidupan, mencari nafkah untuk kelanjutan kehidupan keluarga tanpa diikuti dengan keterampilan dan pendidikan yang cukup. Salah satu sektor informal yang cukup berkembang adalah pedagang kaki lima (PKL), khususnya penjual makanan dan minuman. PKL sangat rentan dengan pasang surut usaha karena berbagai faktor, misalnya modal usaha dan perijinan sering sekali menyebabkan para PKL kesulitan. Untuk itu penelitian ini bertujuan untuk menganalisis strategi bertahan para PKL khususnya di sekitar Kebun Raya Bogor (KRB) dan hubungannya dengan modal sosial. Berikut dipaparkan secara lengkap mengenai latar belakang, rumusan masalah, tujuan, dan manfaat dari penelitian ini.

 

Latar Belakang

Sektor informal merupakan salah satu sektor lapangan kerja yang mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah relatif besar dan tidak terlalu menuntut karakteristik tertentu dari pelakunya. Istilah sektor informal pertama kali dilontarkan oleh Hart (1971) dalam Wirosardjono (1985) dengan menggambarkan sektor informal sebagai bagian angkatan kerja kota yang berada di luar pasar tenaga terorganisasi. Sektor informal menjadi pilihan masyarakat ketika sektor formal sudah tidak mampu menyerap tenaga kerja yang tersedia lagi. Berdasarkan Laporan Pembahasan Pola Pembinaan Sektor Informal Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Badan Penelitian dan Pengembangan (1928/1983), sektor informal dibagi ke dalam lima golongan yaitu : kegiatan pada sektor perdagangan, angkutan, industri, konstruksi dan jasa (Suwartika 2003). Salah satu sektor informal yang banyak dimasuki oleh masyarakat adalah menjadi pedagang kaki lima (PKL). PKL adalah orang dengan modal yang relatif sedikit berusaha di bidang produksi dan penjualan barang-barang (jasa-jasa) untuk memenuhi kebutuhan kelompok tertentu di dalam masyarakat, usaha tersebut dilaksanakan pada tempat-tempat yang dianggap strategis dalam suasana lingkungan yang informal (Winardi dalam Haryono 1989). Peraturan Daerah Propinsi DKI Jakarta tahun 2002 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan pedagang kaki lima adalah perorangan atau pedagang yang di dalam kegiatan usahanya melakukan penjualan barang-barang tertentu yang tidak memiliki tempat dan bangunan sendiri yang umumnya memakai tempat-tempat/fasilitas untuk kepentingan umum serta tempat lain yang bukan miliknya.

(3)

dipermasalahkan karena menggangu para pengendara kendaraan bermotor. Selain itu ada PKL yang menggunakan sungai dan saluran air terdekat untuk membuang sampah dan air cuci. Sampah dan air sabun dapat lebih merusak sungai yang ada dengan mematikan ikan dan menyebabkan eutrofikasi1. Akan tetapi PKL kerap menyediakan makanan atau barang lain dengan harga yang lebih, bahkan sangat murah daripada membeli di toko. Hal ini merupakan salah satu kelebihan dari PKL dan membuat keberadaan PKL tetap berlangsung dalam masyarakat. Modal dan biaya yang dibutuhkan untuk memulai usaha relatif kecil sehingga kerap mengundang pedagang yang hendak memulai bisnis dengan modal yang kecil atau orang kalangan ekonomi menengah ke bawah yang biasanya mendirikan bisnisnya di sekitar rumah mereka.

PKL menjadi sosok yang unik. Mereka menjadi unik karena di tengah tekanan yang mereka dapatkan dari masyarakat maupun pemerintah namun tidak membuat PKL mengalami pengurangan jumlah pelaku. Berdasarkan data Asosiasi Pedagang Pasar se-Indonesia (ASPPSI) jumlah pedagang mikro ini mencapai 11 juta orang (Kementrian Koperasi dan UKM 2005). PKL tidak pernah menerima permodalan dari pemerintah ataupun perbankan namun bisa survive dalam menjalankan usahanya dan memenuhi kebutuhan keluarganya. Kelompok PKL justru mampu menciptakan lapangan kerja yang tidak memberatkan pelakunya dan penyumbang bagi retribusi pemerintah Kota/Kabupaten. Menjadi PKL sering dianggap pekerjaan yang mudah untuk dimasuki dan mudah untuk dilaksanakan. Akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa banyak orang yang memasuki dunia sektor informal dengan menjadi pedagang kaki lima namun tidak dapat bertahan dan melanjutkan usahanya, bahkan sering sekali tidak mampu mengembalikan modal awal.

PKL dapat kita temui mulai dari desa sampai kota besar. Semarak PKL sangat terasa di kota-kota besar. Salah satu kota yang mempunyai jumlah PKL yang cukup besar adalah Kota Bogor, Jawa Barat. “Kepala Satpol PP Kota Bogor Bambang Budianto menyebutkan, jumlah PKL di Kota Bogor saat ini sudah menembus angka 10 ribu” (Prima 2012). PKL dapat kita temui di hampir setiap sudut kota Bogor. Larangan secara kasar maupun halus yang telah dilakukan tidak membuat para PKL mundur dan berkurang secara pasti. Wilayah yang sangat sarat akan PKL di kota Bogor adalah daerah di sekitar trotoar Kebun Raya Bogor (KRB). PKL yang ada disekitar KRB sangat sering dikeluhkan keberadaanya oleh pengunjung dan masyarakat yang disebabkan oleh beberapa faktor, misalnya macet dan bau pesing Akan tetapi juga tetap tidak membuat para PKL tersebut menghentikan usahanya (Dika 2011).

Strategi menjadi hal yang sangat penting bagi PKL untuk dapat mempertahankan usahanya dan memenuhi kebutuhan hidupnya. Pekerja sektor informal juga membutuhkan modal sebagai salah satu strategi untuk mempertahankan hidupnya. Farrington (1999) dalam Suwartika (2003) menyebutkan beberapa modal/aset masyarakat untuk melakukan transformasi struktur dan proses sosial ke arah kehidupan yang lebih baik, yaitu modal finansial merupakan modal yang dimiliki masyarakat dalam bentuk uang, modal ekologikal adalah modal masyarakat dalam bentuk sumberdaya alam yang ada di lingkungan masyarakat tersebut, modal sumberdaya manusia dapat didefenisikan

1

(4)

sebagai modal masyarakat berupa sumberdaya manusia, modal fisik merupakan modal masyarakat yang berupa sarana dan prasarana fisik. Selama ini, hanya keempat modal tersebut yang lebih menjadi perhatian dalam upaya-upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat, sedangkan modal sosial belum banyak dilirik sebagai modal yang dimiliki masyarakat dalam upaya-upaya pengembangan masyarakat guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Modal sosial merupakan modal yang lebih menekankan pada modal yang dimiliki masyarakat sebagai hasil dari hubungan-hubungan sosial yang terjalin diantara semua anggota. PKL merupakan salah satu kegiatan kewirausahaan yang sangat potensial untuk dikembangkan. Penelitian yang dilakukan Tawardi (1999) adalah mengenai nilai-nilai kewirausahaan dan beberapa faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi perkembangan usaha seseorang. Berdasarkan faktor-faktor tersebut, modal sosial tidak dimasukkan sebagai salah satu variabel penting yang juga berperan, padahal pengembangan nilai kewirausahaan sangat erat kaitannya dengan modal sosial. Pasalnya modal sosial memberikan landasan konstruksi tentang makna kepercayaan, kebersamaan, toleransi dan partisipasi yang erat hubungannya dengan nilai atau jiwa kewirausahaan. Berdasarkan hal tersebut maka dibutuhkan penelitian lebih lanjut mengenai strategi bertahan pelaku sektor informal dan kaitannya dengan modal sosial.

Perumusan Masalah

Seiring dengan pertumbuhan angkatan kerja di Indonesia dan ketersediaan lapangan pekerjaan yang kurang mendukung, angkatan kerja tersebut harus menjadi tenaga kerja yang mandiri dan mampu menciptakan lapangan pekerjaan satu sama lain. Hal ini dapat kita lihat dari perkembangan pekerjaan dalam sektor informal. Salah satu kegiatan sektor informal yang cukup berkembang dan mudah dimasuki oleh siapa saja adalah pedagang kaki lima (PKL). PKL merupakan suatu aktivitas ekonomi yang menjanjikan apabila dapat mengembangkan dengan strategi yang baik dan tepat. Tidak jarang seorang yang memulai usaha sebagai PKL kecil-kecilan hingga menjadi suatu usaha besar. Selain itu, juga dapat ditemui seseorang menjadi PKL hanya sebagai pengisi waktu luang saja. Akan tetapi tidak jarang juga ditemui bahwa aktivitas PKL adalah sumber ekonomi utama bagi suatu keluarga. PKL dapat ditemui mulai dari modal sangat kecil hingga PKL yang sudah membutuhkan modal yang cukup besar. Penghasilan yang didapatkan dari aktivitas PKL sangat bersifat fluktuatif, mulai dari sangat kecil hingga cukup besar. Untuk itu dibutuhkan suatu kajian mengenai bagaimana suatu usaha kaki lima dikatakan kegiatan sektor informal yang sah.

(5)

usaha maupun tempat berjualan. Berdasarkan hal tersebut maka dibutuhkan kajian lebih lanjut mengenai peranan modal sosial sebagai strategi bertahan pelaku sektor informal.

PKL sebagai salah satu kegiatan sektor informal dan merupakan aktivitas ekonomi dalam pemenuhan individu maupun rumah tangga membutuhkan suatu kinerja yang berkelanjutan agar dapat memenuhi kebutuhan individu maupun rumah tangga. PKL dalam prosesnya mengalami pasang surut yang sangat tidak stabil, baik PKL yang sudah maju maupun PKL yang masih merintis. Berdasarkan hal tersebut maka dilakukan kajian mengenai bagaimana keberlanjutan pedagang kaki lima (PKL) dan kaitannya dengan strategi bertahan pelaku sektor informal.

 

Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Menjelaskan usaha kaki lima sebagai salah satu kegiatan sektor informal yang sah

2. Menganalisis peranan modal sosial sebagai strategi bertahan pelaku sektor informal

3. Menganalisis keberlanjutan pedagang kaki lima (PKL) dan kaitannya dengan strategi bertahan pelaku sektor informal.

Manfaat Penelitian

. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengantar atau sebagai pengenalan lebih lanjut mengenai strategi bertahan pelaku sektor informal: peranan modal sosial migran pedagang kaki lima (PKL). Melalui penelitian ini, terdapat juga beberapa hal yang ingin penulis sumbangkan pada berbagai pihak, yaitu:

1. Akademisi, penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi peneliti yang ingin mengkaji lebih lanjut mengenai strategi bertahan pelaku sektor informal.

2. Masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat memberi dampak positif bagi masyarakat, khususnya untuk memahami fenomena sektor informal di lingkungan masyarakat.

(6)

STRATEGI BERTAHAN PELAKU SEKTOR INFORMAL:

Peranan Modal Sosial Migran Pedagang Kaki Lima di Sekitar

Kebun Raya Bogor

MONA LUSIA BR MANIHURUK

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(7)
(8)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul STRATEGI BERTAHAN PELAKU SEKTOR INFORMAL: Peranan Modal Sosial Migran Pedagang Kaki Lima di Sekitar Kebun Raya Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2013

(9)
(10)

ABSTRAK

MONA LUSIA BR MANIHURUK. STRATEGI BERTAHAN PELAKU SEKTOR INFORMAL: Peranan Modal Sosial Migran Pedagang Kaki Lima di Sekitar Kebun Raya Bogor. Dibimbing oleh EKAWATI SRI WAHYUNI.

Sektor informal mampu menyerap tenaga kerja migran yang tidak terampil dengan jumlah yang relatif besar. Jumlah migran yang masuk ke daerah Bogor terus meningkat dari waktu ke waktu dan menyebabkan perkembangan sektor informal, khususnya PKL (Pedagang Kaki Lima). Para migran pedagang kaki lima biasanya memulai usaha dengan memanfaatkan modal sosial yang mereka miliki, misalnya, kerabat atau teman mereka dari daerah asal yang sama. Kemudian, mereka akan memperluas jaringan ke kelompok lain yang berkaitan dengan usaha mereka, seperti pemasok bahan baku. Para migran pedagang kaki lima bergantung pada modal sosial yang mereka miliki untuk mempertahankan usaha mereka. Penelitian ini menggunakan metode survei dan wawancara mendalam terhadap 40 pedagang kaki lima di sekitar Kebun Raya Bogor. Kata kunci: sektor informal, pedagang kaki lima (PKL), migrasi desa-kota, modal sosial, strategi bertahan.

ABSTRACT

MONA LUSIA BR MANIHURUK. SURVIVAL STRATEGY OF INFORMAL SECTOR PROPRIETORS: The Roles of Social Capital of Migrant Street Vendors Around Bogor Botanical Gardens. Supervised by EKAWATI SRI WAHYUNI.

The informal sector is able to absorb a relatively large number of unskilled migrant-labor. The number of in-migrant into Bogor area is continued to increase from time to time and to cause the development of informal sector, particularly the street vendor or PKL (Pedagang Kaki Lima). The migrant street vendors usually start a business by utilizing the social capital they had, for example,their relatives or friends of the same origin villages. Later on, their networking will expand to other groups that related to their business, such as raw material suppliers. The migrant street vendors rely on the social capital they owned to survive their business. This study was based on a survey and in-depth interview to 40 street vendors around Bogor Botanical Gardens

(11)
(12)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

STRATEGI BERTAHAN PELAKU SEKTOR INFORMAL:

Peranan Modal Sosial Migran Pedagang Kaki Lima di Sekitar

Kebun Raya Bogor

MONA LUSIA BR MANIHURUK

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(13)
(14)

Judul Skripsi : STRATEGI BERTAHAN PELAKU SEKTOR INFORMAL : Peranan Modal Sosial Migran Pedagang Kaki Lima di Sekitar Kebun Raya Bogor

Nama : Mona Lusia br Manihuruk NIM : I34090021

Disetujui oleh

Dr. Ir. Ekawati Sri Wahyuni, MS Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Soeryo Adiwibowo, MS Ketua Departemen

(15)
(16)

PRAKATA

Puji dan Syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kasih dan karunia yang telah Dia limpahkan kepada penulis sehingga skripsi yang berjudul ”Strategi Bertahan Pelaku Sektor Informal: Peranan Modal Sosial Migran Pedagang Kaki Lima di Sekitar Kebun Raya Bogor” dapat diselesaikan dengan baik. Skripsi ini disusun sebagai syarat memperoleh gelar sarjana sains komunikasi dan pengembangan masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Selain itu, skripsi ini juga disusun untuk mengembangkan wawasan penulis mengenai strategi bertahan sektor informal dan modal sosial.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Ibu Dr. Ir. Ekawati Sri Wahyuni MS sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan saran, masukan, dan bimbingan selama proses penyusunan skripsi mulai dari awal sampai penyelesaian skripsi ini. Penulis juga menyampaikan hormat dan terimakasih kepada ayah tercinta, Biner Manihuruk, serta kakak adik tersayang Eva Manihuruk, Devy Manihuruk, Riris Manihuruk, Adi Manihuruk dan Santa Manihuruk yang selalu mendoakan, selalu mengingatkan, memberi semangat, dukungan dan kasih sayang yang tak terhingga. Juga untuk mama tercinta Alm. Ermatio Sinabariba yang selalu mendoakan putra-putrinya. Penulis juga tidak lupa berterimakasih kepada semua teman-teman yang tidak tersebutkan namanya satu persatu, teman-teman terkasih Vinsensia, Wiwik, Tamada, Ari, Dito, Regina, Patris, Nita, Basa teman-teman kemaki, puella domini, teman satu bimbingan Jajang Somantri, teman-teman KPM Bonita, Yanti, Vici, Sondang, Melisa, Lourenza, teman-teman akselerasi 46 dan semua KPM’ers 46 yang selalu memberi semangat dan dukungan. Terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian Skripsi ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2013

(17)
(18)

DAFTAR

ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR xi

DAFTAR LAMPIRAN xi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 4

Kegunaan Penelitian 4

TINJAUAN PUSTAKA 5

Konsep Sektor Informal 5

Definisi Sektor Informal 5

Pelaku Sektor Informal 6

Kegiatan Sektor Informal yang Sah sebagai Sumber Penghasilan 7

Konsep Pedagang Kaki Lima (PKL) 8

Definisi Pedagang Kaki Lima (PKL) 8 Penggunaan Tata Ruang Pedagang Kaki Lima (PKL) 8 Strategi Bertahan Pelaku Sektor Informal 10 Modal Sosial Sebagai Strategi Bertahan Pelaku Sektor Informal 11

Kerangka Pemikiran 12

Hipotesis Penelitian 13

Definisi Konseptual 13

PENDEKATAN LAPANG 15

Lokasi dan Waktu Penelitian 15

Jenis Data dan Pengumpulan Data 15

Teknik Pengambilan Sampel 16

Pengolahan dan Analisis Data 16

GAMBARAN LOKASI PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK RESPONDEN

17

Profil Kota Bogor 17

Karakteristik Responden 19

USAHA KAKI LIMA SEBAGAI KEGIATAN SEKTOR INFORMAL YANG SAH

21 Gambaran Usaha Kaki Lima di Sekitar Kebun Raya Bogor (KRB) 21

Tingkat Pendapatan Pedagang Kaki Lima (PKL) di Sekitar Kebun Raya Bogor (KRB)

22 Sumber Modal Usaha Pedagang Kaki Lama (PKL) 24 PERANAN MODAL SOSIAL DALAM STRATEGI BERTAHAN

PELAKU SEKTOR INFORMAL

27

Jaringan 27

Keragaman Tipe 28

Lama Usaha 29

Kepercayaan 29

(19)

dimiliki Oleh Para Migran Pedagang Kaki Lima (PKL)

Norma 31

Aturan Sesama Pedagang Kaki Lima (PKL) 32 Hubungan Antara Sesama PKL dengan Jenis Usaha PKL 32 HUBUNGAN ANTARA STRATEGI BERTAHAN PELAKU

SEKTOR INFORMAL DENGAN KEBERLANJUTAN USAHA PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

33

Strategi Bertahan Pelaku Sektor Informal (PKL) 34 Hubungan antara Modal Sosial Pedagang Kaki Lima (PKL) di

Sekitar KRB dengan Strategi Bertahan Pedagang Kaki Lima (PKL)

35 Hubungan antara Modal Sosial dengan Keberlanjutan Usaha

Pedagang Kaki Lima (PKL)

35

SIMPULAN DAN SARAN 40

Simpulan 40

Saran 40

DAFTAR PUSTAKA 41

LAMPIRAN 43

(20)

DAFTAR TABEL

1 Karakteristik dua sektor ekonomi 6

2 Jumlah penduduk migran dan non migran di kota Bogor 2010. 19 3 Karakteristik responden Pedagang Kaki Lima (PKL) di sekitar

Kebun Raya Bogor (KRB)

20 4 Jumlah dan persentase responden penjual makanan dan minuman di

sekitar Kebun Raya Bogor (KRB)

21

5 Lama usaha PKL di sekitar KRB 22

6 Jenis pekerjaan PKL responden sebelum melakukan migrasi 22 7 Jumlah dan persentase tingkat pendapatan migran PKL sebelum dan

sesudah melakukan migrasi

23 8 Jumlah dan persentase PKL yang masih memiliki pendapatan dari

desa

9 Jumlah dan persentase tingkat jaringan responden migran PKL 10 Jumlah dan persentase tingkat kepercayaan responden migran PKL 11 Jumlah dan persentase tingkat norma responden migran PKL 12 Tingkat modal sosial responden migran PKL

13 Tingkat strategi bertahan responden migran PKL

24 31 33 35 37 38 14 Hubungan antara modal sosial dengan strategi bertahan pelaku

sektor informal

38

15 Jadwal pelaksanaan penelitian 44

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pemikiran 12

2 Grafik pendapatan migran PKL sebelum dan sesudah melakukan migrasi

23

DAFTAR LAMPIRAN

1 Peta Lokasi Penelitian 43

2 Data Responden 44

3 Kuesioner 46

(21)
(22)

PENDAHULUAN

Sektor informal adalah salah satu sektor yang dapat menyerap tenaga kerja dengan jumlah relatif besar. Ketika sektor formal sudah tidak mampu lagi menyerap tenaga kerja yang tersedia maka sektor informal menjadi pilihan para pencari kerja. Sektor informal cenderung dilakukan oleh para migran, khususnya migran desa. Hal ini disebabkan karena mobilisasi yang diilakukan migran dari desa ke kota pada dasarnya dengan tujuan untuk menyambung kehidupan, mencari nafkah untuk kelanjutan kehidupan keluarga tanpa diikuti dengan keterampilan dan pendidikan yang cukup. Salah satu sektor informal yang cukup berkembang adalah pedagang kaki lima (PKL), khususnya penjual makanan dan minuman. PKL sangat rentan dengan pasang surut usaha karena berbagai faktor, misalnya modal usaha dan perijinan sering sekali menyebabkan para PKL kesulitan. Untuk itu penelitian ini bertujuan untuk menganalisis strategi bertahan para PKL khususnya di sekitar Kebun Raya Bogor (KRB) dan hubungannya dengan modal sosial. Berikut dipaparkan secara lengkap mengenai latar belakang, rumusan masalah, tujuan, dan manfaat dari penelitian ini.

 

Latar Belakang

Sektor informal merupakan salah satu sektor lapangan kerja yang mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah relatif besar dan tidak terlalu menuntut karakteristik tertentu dari pelakunya. Istilah sektor informal pertama kali dilontarkan oleh Hart (1971) dalam Wirosardjono (1985) dengan menggambarkan sektor informal sebagai bagian angkatan kerja kota yang berada di luar pasar tenaga terorganisasi. Sektor informal menjadi pilihan masyarakat ketika sektor formal sudah tidak mampu menyerap tenaga kerja yang tersedia lagi. Berdasarkan Laporan Pembahasan Pola Pembinaan Sektor Informal Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Badan Penelitian dan Pengembangan (1928/1983), sektor informal dibagi ke dalam lima golongan yaitu : kegiatan pada sektor perdagangan, angkutan, industri, konstruksi dan jasa (Suwartika 2003). Salah satu sektor informal yang banyak dimasuki oleh masyarakat adalah menjadi pedagang kaki lima (PKL). PKL adalah orang dengan modal yang relatif sedikit berusaha di bidang produksi dan penjualan barang-barang (jasa-jasa) untuk memenuhi kebutuhan kelompok tertentu di dalam masyarakat, usaha tersebut dilaksanakan pada tempat-tempat yang dianggap strategis dalam suasana lingkungan yang informal (Winardi dalam Haryono 1989). Peraturan Daerah Propinsi DKI Jakarta tahun 2002 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan pedagang kaki lima adalah perorangan atau pedagang yang di dalam kegiatan usahanya melakukan penjualan barang-barang tertentu yang tidak memiliki tempat dan bangunan sendiri yang umumnya memakai tempat-tempat/fasilitas untuk kepentingan umum serta tempat lain yang bukan miliknya.

(23)

dipermasalahkan karena menggangu para pengendara kendaraan bermotor. Selain itu ada PKL yang menggunakan sungai dan saluran air terdekat untuk membuang sampah dan air cuci. Sampah dan air sabun dapat lebih merusak sungai yang ada dengan mematikan ikan dan menyebabkan eutrofikasi1. Akan tetapi PKL kerap menyediakan makanan atau barang lain dengan harga yang lebih, bahkan sangat murah daripada membeli di toko. Hal ini merupakan salah satu kelebihan dari PKL dan membuat keberadaan PKL tetap berlangsung dalam masyarakat. Modal dan biaya yang dibutuhkan untuk memulai usaha relatif kecil sehingga kerap mengundang pedagang yang hendak memulai bisnis dengan modal yang kecil atau orang kalangan ekonomi menengah ke bawah yang biasanya mendirikan bisnisnya di sekitar rumah mereka.

PKL menjadi sosok yang unik. Mereka menjadi unik karena di tengah tekanan yang mereka dapatkan dari masyarakat maupun pemerintah namun tidak membuat PKL mengalami pengurangan jumlah pelaku. Berdasarkan data Asosiasi Pedagang Pasar se-Indonesia (ASPPSI) jumlah pedagang mikro ini mencapai 11 juta orang (Kementrian Koperasi dan UKM 2005). PKL tidak pernah menerima permodalan dari pemerintah ataupun perbankan namun bisa survive dalam menjalankan usahanya dan memenuhi kebutuhan keluarganya. Kelompok PKL justru mampu menciptakan lapangan kerja yang tidak memberatkan pelakunya dan penyumbang bagi retribusi pemerintah Kota/Kabupaten. Menjadi PKL sering dianggap pekerjaan yang mudah untuk dimasuki dan mudah untuk dilaksanakan. Akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa banyak orang yang memasuki dunia sektor informal dengan menjadi pedagang kaki lima namun tidak dapat bertahan dan melanjutkan usahanya, bahkan sering sekali tidak mampu mengembalikan modal awal.

PKL dapat kita temui mulai dari desa sampai kota besar. Semarak PKL sangat terasa di kota-kota besar. Salah satu kota yang mempunyai jumlah PKL yang cukup besar adalah Kota Bogor, Jawa Barat. “Kepala Satpol PP Kota Bogor Bambang Budianto menyebutkan, jumlah PKL di Kota Bogor saat ini sudah menembus angka 10 ribu” (Prima 2012). PKL dapat kita temui di hampir setiap sudut kota Bogor. Larangan secara kasar maupun halus yang telah dilakukan tidak membuat para PKL mundur dan berkurang secara pasti. Wilayah yang sangat sarat akan PKL di kota Bogor adalah daerah di sekitar trotoar Kebun Raya Bogor (KRB). PKL yang ada disekitar KRB sangat sering dikeluhkan keberadaanya oleh pengunjung dan masyarakat yang disebabkan oleh beberapa faktor, misalnya macet dan bau pesing Akan tetapi juga tetap tidak membuat para PKL tersebut menghentikan usahanya (Dika 2011).

Strategi menjadi hal yang sangat penting bagi PKL untuk dapat mempertahankan usahanya dan memenuhi kebutuhan hidupnya. Pekerja sektor informal juga membutuhkan modal sebagai salah satu strategi untuk mempertahankan hidupnya. Farrington (1999) dalam Suwartika (2003) menyebutkan beberapa modal/aset masyarakat untuk melakukan transformasi struktur dan proses sosial ke arah kehidupan yang lebih baik, yaitu modal finansial merupakan modal yang dimiliki masyarakat dalam bentuk uang, modal ekologikal adalah modal masyarakat dalam bentuk sumberdaya alam yang ada di lingkungan masyarakat tersebut, modal sumberdaya manusia dapat didefenisikan

1

(24)

sebagai modal masyarakat berupa sumberdaya manusia, modal fisik merupakan modal masyarakat yang berupa sarana dan prasarana fisik. Selama ini, hanya keempat modal tersebut yang lebih menjadi perhatian dalam upaya-upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat, sedangkan modal sosial belum banyak dilirik sebagai modal yang dimiliki masyarakat dalam upaya-upaya pengembangan masyarakat guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Modal sosial merupakan modal yang lebih menekankan pada modal yang dimiliki masyarakat sebagai hasil dari hubungan-hubungan sosial yang terjalin diantara semua anggota. PKL merupakan salah satu kegiatan kewirausahaan yang sangat potensial untuk dikembangkan. Penelitian yang dilakukan Tawardi (1999) adalah mengenai nilai-nilai kewirausahaan dan beberapa faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi perkembangan usaha seseorang. Berdasarkan faktor-faktor tersebut, modal sosial tidak dimasukkan sebagai salah satu variabel penting yang juga berperan, padahal pengembangan nilai kewirausahaan sangat erat kaitannya dengan modal sosial. Pasalnya modal sosial memberikan landasan konstruksi tentang makna kepercayaan, kebersamaan, toleransi dan partisipasi yang erat hubungannya dengan nilai atau jiwa kewirausahaan. Berdasarkan hal tersebut maka dibutuhkan penelitian lebih lanjut mengenai strategi bertahan pelaku sektor informal dan kaitannya dengan modal sosial.

Perumusan Masalah

Seiring dengan pertumbuhan angkatan kerja di Indonesia dan ketersediaan lapangan pekerjaan yang kurang mendukung, angkatan kerja tersebut harus menjadi tenaga kerja yang mandiri dan mampu menciptakan lapangan pekerjaan satu sama lain. Hal ini dapat kita lihat dari perkembangan pekerjaan dalam sektor informal. Salah satu kegiatan sektor informal yang cukup berkembang dan mudah dimasuki oleh siapa saja adalah pedagang kaki lima (PKL). PKL merupakan suatu aktivitas ekonomi yang menjanjikan apabila dapat mengembangkan dengan strategi yang baik dan tepat. Tidak jarang seorang yang memulai usaha sebagai PKL kecil-kecilan hingga menjadi suatu usaha besar. Selain itu, juga dapat ditemui seseorang menjadi PKL hanya sebagai pengisi waktu luang saja. Akan tetapi tidak jarang juga ditemui bahwa aktivitas PKL adalah sumber ekonomi utama bagi suatu keluarga. PKL dapat ditemui mulai dari modal sangat kecil hingga PKL yang sudah membutuhkan modal yang cukup besar. Penghasilan yang didapatkan dari aktivitas PKL sangat bersifat fluktuatif, mulai dari sangat kecil hingga cukup besar. Untuk itu dibutuhkan suatu kajian mengenai bagaimana suatu usaha kaki lima dikatakan kegiatan sektor informal yang sah.

(25)

usaha maupun tempat berjualan. Berdasarkan hal tersebut maka dibutuhkan kajian lebih lanjut mengenai peranan modal sosial sebagai strategi bertahan pelaku sektor informal.

PKL sebagai salah satu kegiatan sektor informal dan merupakan aktivitas ekonomi dalam pemenuhan individu maupun rumah tangga membutuhkan suatu kinerja yang berkelanjutan agar dapat memenuhi kebutuhan individu maupun rumah tangga. PKL dalam prosesnya mengalami pasang surut yang sangat tidak stabil, baik PKL yang sudah maju maupun PKL yang masih merintis. Berdasarkan hal tersebut maka dilakukan kajian mengenai bagaimana keberlanjutan pedagang kaki lima (PKL) dan kaitannya dengan strategi bertahan pelaku sektor informal.

 

Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Menjelaskan usaha kaki lima sebagai salah satu kegiatan sektor informal yang sah

2. Menganalisis peranan modal sosial sebagai strategi bertahan pelaku sektor informal

3. Menganalisis keberlanjutan pedagang kaki lima (PKL) dan kaitannya dengan strategi bertahan pelaku sektor informal.

Manfaat Penelitian

. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengantar atau sebagai pengenalan lebih lanjut mengenai strategi bertahan pelaku sektor informal: peranan modal sosial migran pedagang kaki lima (PKL). Melalui penelitian ini, terdapat juga beberapa hal yang ingin penulis sumbangkan pada berbagai pihak, yaitu:

1. Akademisi, penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi peneliti yang ingin mengkaji lebih lanjut mengenai strategi bertahan pelaku sektor informal.

2. Masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat memberi dampak positif bagi masyarakat, khususnya untuk memahami fenomena sektor informal di lingkungan masyarakat.

(26)

TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan pustaka yang digunakan dalam karya ilmiah ini adalah karya ilmiah yang sudah ada sebelumnya yang berkaitan dengan topik penelitian. Tinjauan pustaka berupa hasil referensi dari hasil penelitian dalam bentuk buku, skripsi, tesis, disertasi, jurnal dan karya ilmiah lainnya. Referensi di kutip dengan merujuk pada penulis. Tinjauan pustaka ini membahas mengenai konsep-konsep dalam topik penelitian ini. Secara ringkas misalnya konsep sektor informal, konsep pedagang kaki lima (PKL), konsep strategi bertahan pelaku sektor informal dan konsep migrasi.

Konsep Sektor Informal

Definisi Sektor Informal

Sektor informal merupakan sektor yang mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang relatif besar, terutama masyarakat kelas bawah dan berpendidikan rendah. Istilah sektor informal pertama kali dilontarkan oleh Hart (1971) dalam Wirosardjono ( 1985) dengan menggambarkan sektor informal sebagai bagian angkatan kerja kota yang berada di luar pasar tenaga terorganisasi. Selain itu bisa dikatakan dengan istilah lain bahwa sektor informal merupakan jenis kesempatan kerja yang kurang terorganisir, sulit dicacah, dan sering dilupakan dalam sensus resmi, serta merupakan kesempatan kerja yang persyaratan kerjanya jarang dijangkau oleh aturan-aturan hukum (Digdoyo dan Priyono 2011). Sektor informal dikategorikan sebagai sektor yang harus dikembangkan sebagai lapangan pekerjaan yang yang sesuai untuk masyarakat Indonesia. Sektor informal diperkotaan tidak terlepas dari migrasi sirkuler dan pemukiman kumuh diperkotaan. Sektor informal merupakan sektor yang sangat potensial untuk dikembangkan dalam meningkatkan perekonomian dan pertumbuhan ekonomi daerah.

(27)

Tabel 1 Karakteristik dari dua sektor ekonomi

Karakteristik Sektor Formal Sektor Informal

1. Teknologi

2. Organisasi

3. Modal

4. Jam kerja

5. Upah

6. Kesediaan

7. Harga

8. Kredit

9. Keuntungan

10. Hubungan dengan Klien

11. Biaya tetap

12. Pemberitaan/Advertising

13. Pemanfaatan

barang-barang bekas

14. Modal tambahan

15. Perangkat pemerintahan

16. Ketergantungan terhadap

dunia luar Capital Intensive Birokratis Berlebih Teratur Normal:teratur Berkualitas Harga pas

Dari Bank atau Institusi yang

sama dengan Bank

Tinggi Secara formal Besar Penting Tidak berguna Indispensible Besar Besar: Khususnya

untuk orientasi ekspor

Labour Intensive Hubungan kekeluargaan Sedikit Tidak teratur Tidak teratur Tidak berkualitas

Cenderung bisa dinegoisasikan

Pribadi, dan bukan bank

Rendah

Secara pribadi

Kecil (dapat diabaikan)

Kurang penting

Berguna

Dispensible

Hampir tidak ada

Hampir tidak ada atau kecil

Sumber: Santos (1979) dalam Gerry (1987)

(28)

Pelaku Sektor Informal

Sektor informal sebagai salah satu alternatif lapangan kerja yang mampu menyerap tenaga kerja relatif besar menyebabkan sektor informal menjadi daya tarik bagi manusia usia produktif. Luasnya kesempatan kerja di sektor informal di kota merupakan faktor utama daya tarik migran ke kota. Segmen ekonomi yang dapat memberikan peluang untuk tetap eksis diperkotaan yang cukup tinggi, merupakan faktor dominan yang mempengaruhi sikap migran untuk tetap bertahan di kota. Digdoyo dan Priyono (2011) mengatakan bahwa pesatnya pertumbuhan penduduk di Jakarta umumnya disebabkan oleh migrasi, dan hal itu akan melahirkan suatu masyarakat kota yang sangat kompleks menurut ukuran suku, budaya, pekerjaan serta kelompok-kelompok sosial. Oleh karena itu arus migrasi penduduk ke kota menyebabkan terjadinya dinamika perkembangan masyarakat. Salah satu fenomena dari perkembangan kota besar seperti Jakarta adalah tingkat perkembangan penduduk yang cukup ketat, terjadinya ketimpangan ekonomi, munculnya kelompok organisasi massa dengan berbagai kepentingan. Prilaku masyarakat yang terbuka menerima orang baru/pendatang kemungkinan besar menjadi salah satu penyebabnya. Migran dengan mudah mendapatkan tempat tinggal di suatu wilayah karena tersedia rumah-rumah penduduk asli yang disewakan. Dengan kata lain, migran yang telah lebih dulu datang memiliki peranan penting dalam mendatangkan migran-migran baru.

Sejak zaman Ravenstein telah muncul teori-teori dan tipologi gerak penduduk sebagai hasil usaha para ahli yang memberi perhatian terhadap bidang ini. Teori yang paling populer diantaranya adalah teori dorong-tarik (push-pull theory), sekalipun teori ini tidak bebas juga dari kritikan. Menurut teori dorong-tarik alasan meninggalkan daerah asal dapat dipandang sebagai faktor-faktor pendorong, sementara alasan-alasan memilih daerah tujuan dipandang sebagai faktor penarik. Suatu kerangka teori yang lebih luas mengenai migrasi dapat dilihat dalam karya Lee yang mengembangkan sejumlah hipotesa berkenaan dengan volume migrasi, stream dan counterstream, serta karakteristik para migran. Lee berpendapat bahwa dalam tiap tindakan migrasi baik yang jarak dekat maupun jarak yang jauh senantiasa terlibat faktor-faktor yang berhubungan dengan daerah asal, daerah tujuan, pribadi dan rintangan-rintangan antara. Di tiap daerah ada tiga set faktor-faktor yaitu:

1. Faktor-faktor yang bertindak untuk mengikat orang dalam suatu daerah atau memikat orang terhadap daerah itu, yang disebut sebagai faktor minus (-) 2. Faktor-faktor yang cenderung untuk menolak mereka, merupakan faktor plus

(+)

3. Faktor-faktor yang pada dasarnya indefferen, tak punya pengaruh menolak atau mengikat (Rusli 1995).

Kegiatan Sektor Informal yang Sah sebagai Sumber Penghasilan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hart (1971) di Ghana, kegiatan sektor informal yang sah sebagai sumber penghasilan dapat dikategorikan sebagai berikut:

(29)

b. Usaha tersier dengan modal yang relatif besar-perumahan, transportasi, usaha-usaha untuk kepentingan umum, spekulasi barang-barang dagangan, kegiatan sewa-menyewa.

c. Distribusi kecil-kecilan-pedagang pasar, pedagang kelontong, pedagang kaki lima, pengusaha makanan jadi, pelayan bar, pengangkut barang, agen atas komisi, dan penyalur.

d. Jasa yang lain-pemusik (ngamen), pengusaha binatu, penyemir sepatu, tukang cukur, pembuang sampah, juru potret, pekerja reparasi kendaraan maupun reparasi lainnya, makelar dan perantara (sistem maigida di pasar, pengadilan dan sebagainya)2

e. Transaksi pribadi-arus uang dan barang pemberian maupun semacamnya: pinjam-meminjam: pengemis (Wirosardjono 1985).

Kegiatan sektor informal tersebut adalah kegiatan sektor informal yang umumnya terjadi di Ghana. Tidak jauh berbeda dengan kegiatan sektor informal yang ada di Indonesia, misalnya pedagang kelontong, pedagang kaki lima, pemulung, pengrajin, supir angkot dan lain-lain. Salah satu kegiatan sektor informal yang relatif besar dan berkembang adalah pedagang kaki lima (PKL).

Konsep Pedagang Kaki Lima (PKL) Definisi Pedagang Kaki Lima (PKL)

Pedagang Kaki Lima (PKL) adalah salah satu kegiatan dari sektor informal yang banyak dilakukan oleh masyarakat Indonesia sebagai cara untuk pemenuhan kebutuhan individu maupun keluarga. Pedagang Kaki Lima (PKL) merupakan salah satu bentuk usaha yang mempunyai jiwa kewirausahaan yang tinggi dan mampu bersaing di tengah persaingan perekonomian kota. PKL bukanlah sektor yang membebani pemerintah sehingga PKL seharusnya tidak dimarjinalkan oleh peraturan-peraturan yang berlaku (Rahayu 2010). PKL adalah salah satu bentuk kewirausahaan yang mandiri sehingga diperlukan ruang untuk para PKL agar bisa melangsungkan kehidupannya. Salah satu masalah yang paling sering muncul adalah kegiatan informal di bidang perdagangan, yaitu kegiatan pedagang kaki lima (PKL) adalah PKL sering sekali dikonotasikan sebagai penyebab dari masalah ketidaktertiban di perkotaan.

Peraturan Daerah Propinsi DKI Jakarta tahun 2002 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan pedagang kaki lima adalah perorangan atau pedagang yang di dalam kegiatan usahanya melakukan penjualan barang-barang tertentu yang tidak memiliki tempat dan bangunan sendiri yang umumnya memakai tempat-tempat/fasilitas untuk kepentingan umum serta tempat lain yang bukan miliknya. Menurut BPS (2003), usaha kaki lima adalah bagian dari usaha sektor informal (mencakup seluruh sektor ekonomi yang ada seperti sektor perdagangan, jasa dan industri) yang umumnya mempunyai sifat menghadang konsumen dengan prasarana yang terbatas dan pengoperasian usahanya menggunakan bagian jalan, trotoar, taman, jalur hijau yang merupakan fasilitas umum dan

2

(30)

peruntukkannya bukan sebagai tempat usaha atau tempat lain yang bukan miliknya, kecuali pada lokasi resmi (BPS 2003 dan Perda 5/1978 Bab I pasal 1).3

Pedagang kaki lima juga diungkapkan sebagai pedagang eceran yang menjual langsung ke konsumen akhir sehingga jaringan usahanya terpusat pada upaya memperoleh barang dagangannya. Sebagai pedagang yang menjual langsung dagangannya ke konsumen akhir, jaringan usaha pedagang kaki lima terpusat pada upaya memperoleh barang dagangannya. Barang-barang yang didapatkan oleh pedagang kaki lima ada yang langsung dari produsen, dari pemasok, dari toko pengecer, dan dari pedagang kaki lima lainnya. Ikatan yang dimiliki pedagang kaki lima dengan pemberi barang ada yang bersifat bebas dan ada pula yang terikat berupa hubungan kerja (Chandrakirana dan Sadoko 1994 dalam Anggraini 2007). PKL di Indonesia dapat dikatakan sudah sangat banyak dan hampir tersebar di seluruh sudut kota. Hampir di setiap jalur hijau dapat ditemukan pedagang kaki lima. Pedagang Kaki Lima bukannya ingin membuat jalanan kota atau menentang pemerintah akan tetapi kota merupakan pusat keramaian dimana mereka bisa menghasilkan penjualan yang tinggi sehingga menghasilkan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan keluarga maupun individu.

Penggunaan Tata Ruang Pedagang Kaki Lima (PKL)

Sektor informal pada masyarakat pemukiman kumuh sering dianggap mengganggu ketertiban umum, akan tetapi sektor ini memiliki peranan penting dalam menunjang kehidupan ekonomi masyarakat kota. Penyerapan tenaga kerja sektor informal pada masyarakat pemukiman kumuh lebih tinggi dibandingkan sektor informal secara umum, yakni 94 persen berbanding 72.5 persen (Apsari 2005). Penggunaan tata ruang yang tidak tertib oleh PKL menyebabkan mereka selalu menjadi sasaran aparat dalam ketertiban jalan raya atau fasilitas umum lainnya. Penggusuran menjadi hal biasa yang dialami oleh para PKL. Penggusuran yang sering dialami oleh para PKL tidak membuat mereka jera dan bahkan selalu bertambah. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa bertahannya para PKL di suatu kawasan karena mereka mempunyai alasan-alasan tersendiri yaitu 1) tempatnya ramai sehingga banyak pembeli; 2) kondisinya lebih menguntungkan; 3) banyak teman yang berjualan ditempat ini; 4) pernah berjualan ditempat lain tapi sering ditangkap juga; 5) ada tempat untuk mengumpet; 6) belum ada tempat yang lebih strategis atau seramai dibanding tempat yang sekarang ini; dan 7) dekat dengan tempat tinggal (Rahayu 2010). Lokasi merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan dalam memasuki sektor informal, misalnya berdagang. Banyak penelitian mengenai sektor informal menyebutkan bahwa sektor ini biasanya berlokasi di tempat-tempat strategis (Nilakusmawati 2009). Lokasi berdagang PKL sering terkait dengan sektor formal yang ada di sekitarnya. Beberapa jenis usaha yang termasuk sektor informal kota Jakarta di isi oleh pedagang kaki lima. Hampir setiap ruas jalan di Jakarta dihiasi oleh para pedagang kaki lima. Kebanyakan dari para pedagang berasal dari luar Jakarta dan mayoritas tidak memiliki tempat tinggal tetap di Jakarta (kontrak). Para pelaku sektor informal tersebut banyak yang sudah tergabung di sepanjang ruas jalan

3

Badan Pusat Statistik. 2003. http://www.bps.co.id

Peraturan Daerah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 2 Tahun 2002 tentang Perpasaran swasta di Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

(31)

selama bertahun-tahun. Setiap pedagang seperti telah memiliki lahan yang paten. Di sisi lain, para pelaku sektor informal seperti PKL terkadang diperlakukan semena-mena oleh aparat yang berwenang karena mereka dipihak yang lemah dan tidak mempunyai ijin resmi. Seringkali mereka dikenakan pungutan-pungutan liar dari oknum aparat yang bertugas (Seftiani 2007). Untuk itu, perlu adanya ketegasan di mana tempat pedagang kaki lima boleh berdagang. Selama ini, PKL berada dimana-mana terutama memenuhi jalur pedestrian yang seolah-olah dibebaskan padahal hal tersebut melanggar hak para pejalan kaki. Hal tersebut sebagai akibat kurangnya kontrol dari pemerintah daerah terhadap penggunaan dan batas yang jelas mengenai lokasi yang dapat dimanfaatkan oleh para PKL.

Penggunaan ruang oleh PKL sering sekali dirasakan merugikan masyarakat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 50 persen PKL menggunakan badan jalan dan trotoar sebagai area untuk melaksanakan aktivitas berjualan. Hal ini memudahkan pengunjung untuk mendapatkan barang dagangan kebutuhan sehari-hari tanpa meninggalkan kendaraan jauh. Sekitar 30 persen PKL menggunakan area hijau sebagai area untuk melaksanakan aktivitas berjualan. Area hijau dan ruang terbuka terletak di depan rumah masyarakat dan kawasan tersebut pada umumnya juga disewakan oleh masyarakat kepada PKL. Area hijau sebenarnya harus dimanfaatkan sebagai taman hijau yang merupakan elemen kota yang harus tetap dipertahankan keberadaannya. Kenyataan yang terjadi adalah lokasi tersebut tertutup oleh barang dagangan dan tenda-tenda lapak PKL yang tentunya sangat mengganggu estetika kota. Sekitar 20 persen PKL menggunakan rumah dan lahan kosong milik warga masyarakat sebagai area untuk melaksanakan aktivitas berjualan. Halaman rumah warga masyarakat sepanjang jalan semestinya bebas dari kios bangunan semi permanen dan tenda-tenda lapak PKL. Namun kenyataanya yang kita lihat bahwa halaman rumah bisa jadi disewakan ke PKL untuk membangun kios yang sifatnya semi permanen seperti PKL yang menjual barang pecah belah, peralatan masak dan perlengkapan dapur lainnya (Kadir 2010).

Lokasi yang digunakan pada umumnya adalah trotoar, badan jalan, pelataran parkir, jalur hijau dan halte. Bila ditinjau dari jenis dagangannya, umumnya yang menggunakan lokasi trotoar pedagang kaki lima yang menjual makanan yang diproses (12 persen), makanan jadi dan minuman (8 persen), sedangkan badan jalan adalah pedagang buah-buahan dan sayur-sayuran (Mochtar 2003:13-14). 4 Untuk itu pemerintah harus bertindak tegas dan memberikan jaminan kepada para PKL agar mereka tertib dan kelangsungan mereka terjamin.

4

Lokasi usaha kaki lima menurut BPS (2003) adalah seluruh lokasi resmi dan tidak resmi yang merupakan tempat berkumpulnya usaha kaki lima seperti pasar, terminal, stasiun, pusat-pusat perbelanjaan, Monas, Senayan, Istiqlal dan sebagainya. Yang dimaksud dengan lokasi resmi adalah lokasi usaha kaki lima yang mempunyai dasar hukum pendukung (SK Gubernur), sedang lokasi tidak resmi adalah yang tidak mempunyai penunjukan dari SK Gubernur

(32)

Strategi Bertahan Pelaku Sektor Informal

Strategi Bertahan Pelaku Sektor Informal

Strategi merupakan hal yang sangat penting dimiliki oleh siapa saja dalam mempertahankan kehidupan, termasuk dalam menjaga kelangsungan suatu usaha. Dalam sektor informal juga dibutuhkan suatu strategi. Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan, strategi yang harus dimiliki oleh pelaku sektor informal adalah:

1. Strategi pemenuhan kebutuhan dasar, bentuk strategi yang digunakan dalam memperoleh pekerjaan di kota.

2. Strategi peningkatan kesejahteraan: tahap pengembangan usaha untuk meningkatkan perolehan penghasilan (Yusuf 2006).

Untuk menghadapi berbagai tekanan yang dilakukan pemerintah yang dirasakan sangat membatasi ruang geraknya para PKL mempunyai beberapa teknik atau strategi yang sengaja mereka kembangkan untuk menghadapi dominasi tersebut. Hal itu mereka wujudkan dalam bentuk resistensi. Dalam melakukan resistensi sektor informal terlihat pada posisi yang menang, terbukti meskipun setiap hari sektor informal selalu ditertibkan, jumlah mereka bukan berkurang, bahkan malah bertambah. Sektor informal mempunyai strategi resistensi sebagaimana strategi yang telah digunakan Amerika Serikat terhadap serangan musuh. Ada lima sarana yang semuanya saling mendukung satu sama lain, yaitu (1) Financial ware, yaitu kemampuan keuangan untuk menyogok petugas, lurah dan camat agar tidak bersikap represif dan mau membocorkan setiap akan terjadi obrakan. (2) Consciousness ware, yaitu kesadaran sektor informal untuk melakukan resistensi. Kesadaran ini menciptakan rasa percaya diri sektor informal yang tinggi sehingga mereka berani melakukan resistensi. (3) Organization ware, yaitu menggunakan sarana organisasi sektor informal yang kuat. Terbukti banyak sekali paguyuban sektor informal yang telah berdiri dan mereka tidak hanya menggunakan organisasi formal sebagai payung, tetapi juga organisasi bawah tanah. (4) Social ware, yaitu menggalang kekompakan sosial antara sektor informal yang satu dengan yang lain yang senasib sepenanggungan. (5) Hardware, disini sektor informal menggunakan perangkat keras berupa senjata yang digunakan bukan yang sesungguhnya tetapi menggunakan senjata main kucing-kucingan (Alisjahbana 2005: 142-143 dalam Rahayu 2010).

Keberhasilan suatu strategi sangat tergantung pada kesiapan dan situasi pelaku sektor informal tersebut. Strategi akan berjalan efektif bila didukung oleh faktor-faktor yang saling bersinergis satu sama lain. Strategi dalam sektor informal menjadi hal yang sangat penting mengingat karakteristik sektor informal yang sangat tidak stabil, dapat berubah kapan saja baik akibat faktor eksternal maupun faktor internal.

Modal Sosial sebagai Strategi Bertahan Pelaku Sektor Informal

(33)

makhluk sosial yang hidup saling membutuhkan dan tolong menolong. Oleh karena itu struktur modal terbentuk dapat melalui ikatan kekeluargaan, ikatan kedaerahan dan ikatan pertetanggaan (Suwartika 2003).

Salah satu modal yang sangat penting dalam menjaga kelangsungan usaha dalam sektor informal adalah modal sosial. Konsep modal sosial pada mulanya diperkenalkan oleh sosiolog Perancis Pierre Bourdieu pada awal 1980an. Bourdie dalam Suwartika (2003) mengartikan modal sosial sebagai keseluruhan sumberdaya baik yang aktual maupun potensial yang bisa dimiliki seseorang berkat adanya jaringan hubungan secara kelembagaan yang terpelihara dengan baik. Makna yang terkandung adalah bahwa seseorang bisa memperoleh berbagai manfaat atau sumberdaya baik berupa material maupun non material dari orang lain sejauh ia dapat membina hubungan baik secara kelembagaan dengan orang tersebut. Putnam (1993) mendefinisikan modal sosial dengan mengacu pada “ciri-ciri organisasi sosial, seperti jaringan sosial (social network), norma-norma (norms), dan kepercayaan (trust) yang memfasilitasi koordinasi untuk sesuatu yang manfaatnya bisa dirasakan bersama-sama (mutual benefit.). Jaringan adalah hubungan sosial yang teratur, konsisten dan berlangsung lama, hubungan tersebut bukan hanya melibatkan dua individu, melainkan banyak individu. Kepercayaan adalah sesuatu yang terbangun dari hubungan-hubungan sosial dimana terdapat peraturan yang dapat dirundingkan dalam arti terdapat ruang terbuka dari peraturan tersebut untuk mencapai harapan yang ingin dicapainya. Norma adalah aturan yang melekat dalam suatu hubungan sosial yang berfungsi sebagai kontrol dari suatu aktivitas.

Modal sosial hanya dapat dibangun ketika tiap individu belajar dan mau mempercayai individu lain sehingga mereka mau membuat komitmen yang dapat dipertanggungjawabkan untuk mengembangkan bentuk-bentuk hubungan yang saling menguntungkan. Menurut pendapat Lesser dalam Santoso (2006) modal sosial sangat penting bagi komunitas karena: a) mempermudah akses informasi bagi anggota komunitas; b) menjadi media power sharing atau pembagian kekuasaan dalam komunitas; c) mengembangkan solidaritas; d) memungkinkan mobilisasi sumberdaya komunitas; e) memungkinkan pencapaian bersama ; dan f) membentuk prilaku kebersamaan dan berorganisasi komunitas.

(34)

Kerangka Pemikiran

Migrasi merupakan dimensi gerak penduduk permanen. Banyak masyarakat yang melakukan migrasi dari desa menuju ke kota untuk mencari penghidupan yang lebih baik, salah satunya adalah menjadi Pedagang Kaki Lima (PKL). Ketika tiba di kota, para migran tidak langsung melakukan usaha kaki lima. Akan tetapi para migran akan memulai dengan mencari informasi kepada jaringan yang dia miliki, misalnya teman se-daerah asal ataupun keluarga. Setelah memiliki jaringan berupa orang-orang yang dikenal oleh migran tersebut, maka migran baru akan membangun kepercayaan terhadap orang-orang baru yang dikenalnya. Setelah menjalin hubungan yang baik dan membangun kepercayaan yang baik pula maka ada norma diantaranya yang akan menjadi kontrol dalam melakukan interaksi sosial secara terus menerus antara migran dengan jaringan yang dimiliki. Hal ini disebut dengan modal sosial.

Modal sosial dapat digunakan sebagai salah satu strategi bertahan PKL. Modal sosial yang terdiri dari tiga pilar, yaitu norma, kepercayaan dan jaringan sosial. Pilar norma akan dilihat bagaimana aturan antar sesama PKL, dan bagaimana aturan aturan dalam jenis usaha tertentu untuk membuat para PKL bisa bertahan. Pilar kepercayaan akan dilihat apakah lama usaha yang ditekuni oleh PKL mempengaruhi tingkat kepercayaan orang lain terhadap PKL, bagaimana tingkat kepercayaan sesama migran yang tidak sedaerah asal dan sesama migran yang sedaerah asal agar mereka dapat bertahan melakukan usaha kaki lima. Pilar jaringan untuk melihat apakah para migran yang menjadi PKL membina hubungan berdasarkan landasan tertentu, selain itu lama usaha apakah berpengaruh terhadap jaringan yang mereka miliki dan seberapa banyak simpul yang dimiliki seorang PKL sehingga ketiga pilar tersebut memiliki hubungan dengan strategi bertahan sektor informal. Setelah itu akan dilihat modal sosial yang dimiliki oleh PKL yang dijadikan strategi bertahan berpengaruh terhadap keberlanjutan usaha PKL (Lihat gambar 1).

Hipotesis Penelitian

Hipotesis penelitian ini adalah:

1. Ada hubungan antara modal sosial dengan strategi bertahan pelaku sektor informal (PKL)

(35)
[image:35.595.42.505.52.787.2]

Gambar 1 Kerangka pemikiran

Keterangan:

: Menjadi

: Memiliki hubungan : *Diukur secara Kualitatif

Definisi Konseptual

1. Sektor informal adalah salah satu aktivitas ekonomi yang membutuhkan modal relatif kecil, tenaga kerja berasal dari keluarga, mudah dimasuki, dan merupakan pasar yang tidak terorganisasi dan tidak terjangkau oleh aturan formal.

2. Pedagang kaki lima (PKL) adalah perorangan atau pedagang yang didalam kegiatan usahanya melakukan penjualan barang-barang tertentu yang tidak memiliki tempat dan bangunan sendiri yang umumnya memakai tempat-tempat/fasilitas untuk kepentingan umum serta tempat lain yang bukan miliknya.

Migran Desa di Perkotaan (PKL)

Modal Sosial Jaringan:

• Keragaman tipe

• Lama usaha

Kepercayaan:

• Terhadap sesama

migran

• Terhadap sesama

migran sedaerah asal

Norma:

• Aturan antar

sesama PKL

Strategi Bertahan Pelaku Sektor Informal (PKL)

(36)

3. Modal sosial adalah keseluruhan sumberdaya baik yang aktual maupun potensial yang bisa dimiliki seseorang berkat adanya jaringan hubungan secara kelembagaan yang terpelihara dengan baik

Diukur dengan menjumlahkan hasil dari perhitungan jaringan, kepercayaan dan norma yang dimiliki oleh pedagang kaki lima. Dengan kode 1= tinggi dan kode 2= rendah.

Skor 3-4 dikatakan PKL menggunakan modal sosial tinggi dan Skor 5-6 dikatakan PKL menggunakan modal sosial rendah

4. Jaringan adalah hubungan sosial yang teratur, konsisten dan berlangsung lama, hubungan tersebut bukan hanya melibatkan dua individu, melainkan banyak individu.

Diukur dengan menjumlahkan skor total dari pertanyaan yang telah disediakan. Skor untuk memiliki hubungan “Ya”=2, dan tidak memiliki hubungan “tidak”=1.

Sehingga jaringan dikatakan Rendah bila skor 10-15 Tinggi bila skor 16-20

5. Kepercayaan adalah sesuatu yang terbangun dari hubungan-hubungan sosial dimana terdapat peraturan yang dapat dirundingkan dalam arti terdapat ruang terbuka dari peraturan tersebut untuk mencapai harapan yang ingin dicapainya.

Diukur berdasarkan skor total yang didapat, skor untuk jawaban “Ya” = 2 sedangkan untuk jawaban “Tidak” = 1. Sehingga tingkat kepercayaan dikatakan:

Rendah bila skor 10-15 Tinggi bila skor 16-20

6. Norma adalah aturan yang melekat dalam suatu hubungan sosial yang berfungsi sebagai kontrol dari suatu aktivitas.

Diukur berdasarkan skor total yang didapat, skor untuk jawaban “Ya” = 2 sedangkan untuk jawaban “Tidak” = 1. Sehinga pemberlakuan norma dikatakan :

Rendah bila skor 10-15 Tinggi bila skor 16-20

7. Modal Usaha adalah modal uang yang dimiliki oleh individu atau kelompok untuk memulai usaha

8. Strategi Bertahan Sektor Informal adalah cara yang digunakan PKL untuk dapat terus menjalankan usahanya yang sangat tidak stabil.

Diukur berdasarkan skor total yang didapat, skor untuk jawaban “Ya” = 2 sedangkan untuk jawaban “Tidak” = 1. Sehinga pemberlakuan strategi bertahan sektor informal dikatakan :

(37)
(38)

PENDEKATAN LAPANG

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan secara kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif dilakukan dengan metode survei kepada responden. Penelitian yang menggunakan metode survei merupakan penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang lengkap (Singarimbun 1989). Pendekatan kualitatif dilakukan melalui pendekatan lapang secara langsung kepada responden. Pendekatan kualitatif dilakukan melalui wawancara mendalam kepada informan dan observasi

Lokasi dan Waktu Penelitian

 

Penelitian ini dilakukan terhadap pedagang kaki lima (PKL) di sekitar pintu 1-2 Kebun Raya Bogor (KRB) Jawa Barat. Pemilihan lokasi dilakukan secara purposive (sengaja) dengan mempertimbangkan jumlah PKL yang sangat beragam di sekitar lokasi tersebut dan merupakan salah satu objek wisata yang ramai oleh wisatawan dan dekat dengan pusat perbelanjaan yaitu Bogor Trade Mall (BTM), plaza Bogor dan pasar Bogor. Keberadaan Kebun Raya Bogor sebagai obyek wisata dengan jumlah Pedagang Kaki Lima yang cukup besar menjadi ciri khas dari lokasi yang dipilih. Kegiatan penelitian meliputi penyusunan proposal skripsi, kolokium, pengambilan data di lapangan, pengolahan data dan analisis data, penulisan draft skripsi, sidang skripsi dan perbaikan laporan penelitian. Lama pelaksanaan penelitian sekitar enam bulan dan dapat dilihat pada lampiran.

Jenis Data dan Pengumpulan Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data primer didapatkan melalui penelitian langsung dengan menggunakan instrumen kuesioner dan wawancara kepada responden, sementara data sekunder didapatkan dari penelitian-penelitian sebelumnya mengenai keberadaan Pedagang Kaki Lima (PKL). Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah menggunakan kuesioner, wawancara, dan dokumentasi. Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif dengan di dukung oleh beberapa data kualitatif untuk memperkaya data dan memahami fenomena sosial.

Teknik Pengambilan Sampel

(39)

responden di pilih untuk menjadi sasaran penelitian. Unit analisis dalam penelitian ini adalah individu. Pemilihan sampel dilakukan melalui teknik purposive sampling , dimana pemilihan responden dilakukan dengan sengaja setelah terlebih dahulu mengidentifikasi karakteristik responden, yaitu migran desa yang menjual makanan dan minuman. Pendekatan kualitatif diperoleh melalui observasi langsung dan wawancara mendalam kepada beberapa informan. Informan adalah orang atau pengusaha kaki lima yang sudah sukses dan masyarakat sebagai konsumen dari para PKL. Jumlah sampel yang dijadikan responden berjumlah 40 orang. Jumlah ini dirasa cukup untuk memenuhi reliabilitas dan validitas data.

Pengolahan dan Analisis Data

(40)

GAMBARAN UMUM LOKASI DAN KARAKTERISTIK

RESPONDEN

Profil Kota Bogor

Kota Bogor adalah salah satu pusat pendidikan dan penelitian berbasis pertanian sejak zaman penjajahan. Hal ini didukung dengan kehadiran Institut Pertanian Bogor (IPB) sejak abad ke-20. “Sebagai salah satu bagian dari propinsi Jawa Barat, Kota Bogor merupakan penyangga Ibu Kota Negara yang memiliki Asset Wisata Ilmiah yang bersifat Internasional (Kebun Raya). Pusat Kota Bogor terletak 100 Km disebelah Selatan dari Pelabuhan Sunda Kelapa yang pada jaman dahulu kala merupakan pelabuhan terpenting bagi Negara Pakuan Pajajaran yang pusatnya sekitar Batu Tulis di Selatan Kota Bogor” (Pemerintah Kota Bogor 2012).

Luas wilayah Kota Bogor tercatat 11.850 Ha atau 0.27 persen dari luas propinsi Jawa Barat. Kota Bogor ini terdiri dari 6 Kecamatan, yaitu Kecamatan Bogor Selatan, Bogor Utara, Bogor Timur, Bogor Barat, Bogor Tengah dan Tanah Sareal, yang meliputi 68 Kelurahan. Kota Bogor terletak diantara 106 480 BT dan 6 360 LS serta mempunyai ketinggian rata rata minimal 190 meter, maksimal 350 meter, kemiringan lereng antara 0-3 persen, 4-15 persen, 16-30 persen dan diatas 40 persen dengan jarak dari Ibu Kota kurang lebih 60 Km, dikelilingi Gunung Salak, Gunung Pangrango dan Gunung Gede. Kota Bogor berpenduduk 820707 jiwa dengan komposisi 419252 Laki- laki dan perempuan 401455 jiwa, dikenal dengan sebutan Kota Hujan karena memiliki curah hujan yang tinggi yaitu berkisar 3500 – 4000 milimeter pertahunnya (Pemerintah Kota Bogor 2012).

Kota Bogor sebagai salah satu pusat perekonomian dan juga daerah tujuan migran untuk mengadu nasib di perkotaan memiliki banyak potensi ekonomi. Pembangunan yang semakin terpusat ke perkotaan sangat memicu pertumbuhan ekonomi di bidang usaha bisnis. Bogor memiliki beberapa fasilitas swasta maupun milik pemerintah yang dijadikan sumber-sumber ekonomi. Keberadaan Kebun Raya Bogor, Museum-museum pertanian, Botani Square, Pusat Grosir Bogor, Bogor Trade Mall dan pusat-pusat perbelanjaan lainnya. Selain itu kota Bogor mempunyai pusat perbelanjaan tradisional, seperti Pasar Gunung Batu, Pasar Anyar, Pasar Ciampea, dan Pasar Bogor. Salah satu kawasan yang sangat kental dengan keramaian sebagai pusat perbelanjaan baik tradisional maupun modern adalah kawasan Pasar Bogor.

(41)

perbelanjaan pakaian Ananda. Lokasi pasar Bogor yang sangat dekat dengan pusat-pusat penelitian pertanian ternyata tidak mengurangi jumlah pelaku sektor informal terutama Pedagang Kaki Lima (PKL) dan bahkan cenderung dimanfaatkan sebagai daerah untuk mencari nafkah melalui sektor perdagangan. Daerah pasar Bogor yang berada di jalan Surya Kencana bahkan terkenal sebagai kawasan wisata kuliner.

Daerah mulai dari kawasan pintu 1-2 KRB sampai pasar Bogor digunakan sebagai areal perdagangan. Kawasan ini merupakan salah satu pusat pedagang kaki lima di kota Bogor. Rata-rata PKL yang berjualan di daerah sekitar pasar Bogor adalah penjual makanan, minuman, souvenir khas Bogor, bunga dan buah. Akan tetapi berbeda hal ketika hari libur nasional ataupun akhir pekan. Jumlah PKL akan bertambah sangat banyak dan jenis dagangan yang di tawarkan juga sangat beraneka ragam, seperti baju bertuliskan Bogor, Hewan peliharaan, tukang lukis jalanan, peralatan elektronik dan bahkan menjual aksesoris untuk wanita maupun pria. Pedagang Kaki Lima (PKL) yang menjual makanan dan minuman di kawasan pasar Bogor adalah fokus kajian dari penelitian ini.

Aktivitas di Lokasi Penelitian

Kawasan pasar Bogor merupakan salah satu pasar yang sangat ramai dikunjungi oleh masyarakat dalam belanja memenuhi kebutuhan sehari-hari. Selain itu lokasinya yang juga dekat dengan pusat perbelanjaan modern menyebabkan pasar Bogor dikunjungi oleh konsumen atau masyarakat yang ingin berbelanja ke pasar tradisional dan kemudian singgah ke Plaza Bogor dan sebaliknya. Lokasi yang memang sangat strategis memicu banyak aktivitas yang terjadi di sekitar lokasi pasar Bogor, mulai dari kegiatan jual-beli, kunjungan wisata hingga menjadi wilayah “tongkrongan” anak muda. Aktivitas yang sangat padat dan ramai di tempat ini menyebabkan kawasan pasar Bogor dan sekitarnya menjadi kawasan rawan kemacetan.

Pusat keramaian sering sekali menjadi pusat perekonomian. Hal tersebut terjadi di kawasan pasar Bogor dan sekitarnya. Jumlah PKL semakin hari semakin banyak meskipun penggusuran sudah terjadi berulang kali dan rutin. Kebebasan berjualan di hari libur nasional dan akhir pekan bagi PKL merupakan celah yang dimanfaatkan para PKL untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Para PKL biasanya akan tetap berjualan meskipun sudah ada penggusuran karena tuntutan ekonomi. Biasanya para PKL akan mengungsi terlebih dahulu ke suatu tempat saat penggusuran dan akan kembali ke tempat seperti biasa bila keadaan sudah lebih tenang.

(42)

Pola Migrasi Penduduk di Indonesia: Migrasi Desa-Kota

 

Riwayat migrasi sudah setua riwayat manusia. Orang mungkin bermigrasi karena terpaksa, diatur atau tidak diatur, berkelompok atau secara perorangan. Sebagai pendorong mungkin keadaan alam (termasuk bencana alam), keadaan politik, keadaan ekonomi atau kelangkaan berbagai fasilitas. Walaupun dalam keputusan bermigrasi berbagai faktor mempengaruhi, secara umum kiranya faktor ekonomi dapat dianggap dominan. Faktor psikologi sosial jelas mengambil bagian pula karena tindakan ini menyangkut suatu pengambilan keputusan yang penting bagi seseorang atau keluarga yang bersangkutan. Bermigrasi sering merupakan keputusan yang begitu penting karena dapat merubah jalan hidup seseorang atau juga kelompok dan keturunan mereka secara fundamental (Singarimbun 1979 dalam Sinaga 2012).

Migran yang berjualan di sekitar KRB umumnya masih berasal dari wilayah Jawa Barat, misalnya Sukabumi, Ciapus, Cianjur dan Cirebon. Namun tidak sedikit yang berasal dari wilayah Jawa Barat, seperti Padang, Palembang, Madura, Brebes dan daerah Jawa Tengah. Umumnya mereka melakukan migrasi desa-kota karena merasa sektor pertanian di desa sudah tidak menarik lagi dan tidak cukup memenuhi kebutuhan mereka secara individu maupun keluarga. Migran melihat bahwa pembangunan yang dipusatkan di daerah perkotaan dapat membantu mereka untuk menyambung kehidupan sehingga mereka memutuskan untuk melakukan migrasi desa-kota. Kota Bogor dianggap oleh migran menjadi daerah tujuan migrasi karena para migran pada umumnya menganggap bahwa Bogor masih belum sekeras kota Jakarta, Bogor masih mempunyai penduduk yang ramah dan masih banyak lahan yang masih digunakan untuk membuka usaha.

Tabel 2 Jumlah penduduk migran dan non migran di Bogor 2010

No. Nama

Kabupaten/Kota

Laki-laki+Perempuan

Total Status Migrasi

Non Migran Kabupaten/Kota

Migran Kabupaten/Kota

1. Bogor 3708981 1062951 4771932

2. Kota Bogor 683707 266627 950334

Sumber: Sensus penduduk 2010. Dapat diunduh di :

http://sp2010.bps.go.id/index.php/site/tabel?tid=324&wid=3200000000

(43)

sebagai penjual martabak. Jenis dagangan biasanya juga akan berpengaruh terhadap domisili migran PKL karena kebutuhan terhadap bahan baku dan dagangan yang akan dijual sama, misalnya PKL yang menjual mie ayam biasanya tinggal di Pondokan yang sama. Penjual martabak biasanya berdomisili di daerah sekitar Bondongan. Lokasi jualan para migran PKL yang berdekatan biasanya juga memiliki tempat tinggal yang berdekatan.

Karakteristik Responden

Karakteristik responden yang menjadi fokus penelitian ini adalah para migran baik laki-laki maupun perempuan yang melakukan usaha kaki lima berupa makanan dan minuman di wilayah sekitar KRB. Pendidikan para migran umumnya tidak lulus dari Sekolah Dasar (SD) hanya dengan bermodalkan tekad, kejujuran dan keberanian.

Jenis Kelamin

PKL yang menjual makanan dan minuman di lokasi penelitian mayoritas adalah laki-laki. Umumnya perempuan yang biasanya adalah istri dari pemilik usaha kaki lima tersebut hanya sebagai tenaga tambahan saja. Perempuan akan menjaga barang dagangan ketika suami pergi untuk belanja ataupun kegiatan lainnya. Namun perempuan akan sangat berperan pada proses penyiapan barang dagangan waktu akan buka di pagi hari dan waktu akan menutup di malam hari. Laki-laki mempunyai peran utama dalam melangsungkan proses penjualan barang dagangan. Dari sekian banyak pedagang yang berjualan di sekitar lokasi penelitian, tidak lebih dari 10 persen perempuan yang berjualan. Selain itu umumnya para migran yang melakukan usaha kaki lima di sekitar KRB tersebut tidak membawa serta keluarganya. anak dan istri para migran umumnya ditinggalkan di desa karena alasan pendidikan, biaya hidup, kenyamanan dan juga sumber penghasilan lain sehingga migran tersebut bekerja sendiri dalam menjalankan usahanya. Dari 40 responden yang menjadi objek penelitian hanya dua orang perempuan yang bekerja sebagai PKL.

Usia

Usia para pelaku sektor informal, PKL di lokasi penelitian pada umumnya sudah berusia cukup tua. Beberapa dari mereka sudah mulai berjualan makanan ataupun minuman sejak zaman pemerintahan bapak Soeharto. Akan tetapi ada juga PKL yang masih cukup muda dan masih berada pada usia produktif, yakni sekitar 30-45 tahun yang memulai usaha biasanya berdasarkan informasi dari saudara, teman maupun kerabat yang sudah lebih dahulu melakukan migrasi ke kota Bogor. Para migran tersebut rata-rata sudah melakukan migrasi sejak usia 15 tahun keatas.

Tingkat Pendidikan

(44)
[image:44.595.92.509.57.809.2]

Tabel 3 Karakteristik responden pedagang kaki lima (PKL) di sekitar Kebun Raya Bogor (KRB) tahun 2012

Karakteristik Responden Frekuensi Persentase (%)

Jenis Kelamin

Perempuan 2 5

Laki-Laki 38 95

Tingkat Pendidikan

SD 24 60

SMP 12 30

SMA 4 10

Total 40 100

(45)
(46)

USAHA KAKI LIMA SEBAGAI KEGIATAN SEKTOR

INFORMAL YANG SAH

Gambaran Usaha Kaki Lima di Sekitar Kebun Raya Bogor (KRB)

Menjadi wirausahawan merupakan salah satu sumber pendapatan yang menjanjikan dan banyak digeluti oleh masyarakat pada umumnya, terutama menjadi wirausahawan yang sukses dengan modal dan keuntungan yang besar. Status sosial seseorang dapat meningkat apabila dia dapat meningkatkan usahanya dan akhirnya menjadi wirausahawan muda. Wirausaha sangat beranekaragam dan fluktuatif. Salah satu kegiatan wirausaha adalah usaha kaki lima.

[image:46.595.155.465.422.492.2]

Pedagang Kaki Lima (PKL) adalah wirausahawan yang melakukan aktivitas usaha di sektor informal. Walaupun merupakan usaha yang dilakukan dijalanan, dipedestrian usaha kaki lima adalah kegiatan sektor informal yang sah. Usaha yang dijalankan para PKL membutuhkan modal yang relatif tidak besar. Para PKL mengaku bahwa membuka usaha kaki lima tidak membutuhkan modal yang besar, hanya dibutuhkan modal kejujuran, keberanian dan ketekunan dalam menjalankan usaha tersebut. Para PKL yang menjadi unit analisis penelitian ini terdiri dari penjual makanan dan minuman. Dari 40 responden yang dipilih terdapat 25 persen penjual minuman dan 75 persen penjual makanan.

Tabel 4 Jumlah dan persentase penjual makanan dan minuman di sekitar KRB Jenis usaha kaki

lima Frekuensi Persentase (%)

Penjual makanan 30 75

Penjual minuman 10 25

Total 40 100

Usaha kaki lima yang dilakukan oleh para PKL relatif sudah cukup lama meskipun ada PKL yang masih sangat baru dalam merintis usaha mereka. Para PKL mengaku menjadi pengusaha kaki lima sudah menja

Gambar

Tabel 1  Karakteristik dari dua sektor ekonomi
Gambar 1 Kerangka pemikiran
Tabel 3  Karakteristik responden pedagang kaki lima (PKL) di sekitar Kebun Raya Bogor (KRB) tahun 2012
Tabel 4   Jumlah dan persentase penjual makanan dan minuman di sekitar KRB
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dalam implementasinya pada dunia Arab, pandangan Qardhawi relevan dengan banyak contoh peran kaum wanita musli- mah sangat berpengaruh dalam kesuksesan di dunia politik saat

Kesimpulannya hipertensi adalah hanya salah satu gejala dari sebuah sindroma yang akan lebih sesuai bila disebut dengan sindroma hipertensi aterosklerotik (bukan merupakan

Tahapan kegiatan yang telah dilakukan dalam asuhan kebidanan berkelanjutan adalah mengambil kasus kehamilan normal pada usia kehamilan trimester III, memberikan

Dari hasil penelitian di atas terkesan bahwa efek gonadotropik dari LH maupun efek antigonadotropik dari PGF2 ǂ yang diberikan pada kelompok kontrol (tanpa pemberian kurkumin

Berdasarkan kebutuhan tersebut, Jean Watson memahami bahwa manusia adalah makhluk yang sempurna yang memiliki berbagai macam ragam perbedaan, sehingga dalam upaya

5 pasar di Semarang (Johar, Peterongan, Karangayu, Bulu,

Sedangkan untuk struktur baja, struktur kolom baja (WF 450x200) tidak mampu menahan beban yang bekerja, dengan hasil analisis tidak memenuhi syarat interaksi kuat aksial

Hujan sangat lebat tersebut terjadi pada periode kuatnya monsun Asia yang didukung juga dengan terjadinya aliran seruak dingin dari daratan Asia, dimana aliran tersebut