• Tidak ada hasil yang ditemukan

Partisipasi masyarakat miskin terhadap penanggulangan kemiskinan dalam program nasional pemberdayaan masyarakat mandiri (PNPM-M) perkotaan di Desa Cadasngampar, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Partisipasi masyarakat miskin terhadap penanggulangan kemiskinan dalam program nasional pemberdayaan masyarakat mandiri (PNPM-M) perkotaan di Desa Cadasngampar, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat"

Copied!
120
0
0

Teks penuh

(1)

PARTISIPASI MASYARAKAT MISKIN TERHADAP PENANGGULANGAN KEMISKINAN

DALAM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI (PNPM-M) PERKOTAAN

DI DESA CADASNGAMPAR, KECAMATAN SUKARAJA, KABUPATEN BOGOR, PROVINSI JAWA BARAT

Oleh:

CITRA MULIANI I34070053

Dosen Pembimbing:

IVANOVICH AGUSTA, SP, M.Si

DEPARTEMEN SAINS

KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

(2)

ABSTRACT

The research was conducted to see the participation of the poor to overcome poverty in Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM-M) Perkotaan in Village of Cadasngampar, Sub-district of Sukaraja, Distric of Bogor, West Java Province. Specific objectives are (1) Assessing influence of poverty level of community participation in PNPM-M Perkotaan in Village of Cadasngampar, (2) Assessing influence of the level of participation to level of community empowerment in benefitting PNPM-M Perkotaan in Village of Cadasngampar.

Poverty is divided into two categories: absolute poverty and relative poverty. There were 1,1 percent of total respondents who experienced absolute poverty and there are no respondents who experienced relative poverty. The highest level of participation achieved at level of consultation, while level of empowerment had be seen from change of consumption expenditure and non-consumption before and after implementation of PNPM-M Perkotaan. Statistical analysis showed that there was no relationship between level of poverty to level of participation, and there is no relationship between level of participation to level of community empowerment.

(3)

RINGKASAN

CITRA MULIANI. Partisipasi Masyarakat Miskin terhadap Penanggulangan Kemiskinan dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM-M) Perkotaan di Desa Cadasngampar, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Di bawah bimbingan IVANOVICH AGUSTA.

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kemiskinan sejak tahun 1970 sampai dengan tahun 2010. Angka jumlah masyarakat miskin mengalami pengurangan yang kurang berarti, karena jumlah orang miskin saat ini masih mencapai 37,02 juta jiwa atau 16 per sen dari penduduk Indonesia. Berbagai program bantuan pemberdayaan masyarakat telah dilakukan sejak 1993 oleh pemerintah maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), tetapi program tersebut dikhawatirkan kurang efektif karena belum menyentuh masyarakat miskinnya secara langsung. Salah satu program pemberdayaan saat ini dinilai berhasil adalah Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM-M), sehingga dapat dilakukan pengujian hubungan efektivitas orang miskin, partisipasi dan pemberdayaan.

Pertanyaan penelitian ini ialah: (1) Bagaimana pengaruh tingkat kemiskinan terhadap tingkat partisipasi masyarakat? dan (2) Bagaimana pengaruh tingkat partisipasi terhadap tingkat keberdayaan masyarakat?

Tujuan penelitian ini ialah: (1) Mengkaji hubungan tingkat kemiskinan terhadap tingkat partisipasi masyarakat dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perkotaan di desa Cadasngampar, dan (2) Mengkaji hubungan tingkat partisipasi terhadap tingkat keberdayaan masyarakat dalam pemanfaatan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perkotaan di desa Cadasngampar.

(4)

memakai uji Rank Spearman dan analisis kualitatif sebagai penunjang hasil dari hasil kuantitaif.

Penelitian ini ingin melihat hubungan antara tingkat kemiskinan dan tingkat partisipasi serta tingkat partisipasi dan tingkat keberdayaan. Berdasarkan penelitian dilapangan, hanya 1,1 per sen dari keseluruhan responden yang dikategorikan miskin menurut kemiskinan absolut berdasarkan indikator nasional, tidak terdapat satu pun responden yang dikategorikan miskin menurut kemiskinan absolut berdasarkan indikator lokal, dan terdapat 65,6 per sen dari keseluruhan responden yang dikategorikan miskin menurut kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut berdasarkan indikator nasional memakai 14 karakteristik rumah tangga miskin BPS sebagai acuannya, kemiskinan absolut berdasarkan indikator lokal memakai 8 karakteristik rumah tangga miskin menurut kesepakatan masyarakat Desa Cadasngampar, sedangkan kemiskinan relatif ditentukan oleh keadaan lingkungan dimana seseorang atau keluarga itu tinggal yang dibandingkan dengan kondisi umum. Partisipasi masyarakat dianalisis berdasarkan 8 tingkat partisipasi menurut Arstein. Dari lapangan diperoleh hasil bahwa tingkat partisipasi tertinggi berada pada tingkat konsultasi. Tingkat keberdayaan masyarakat dilihat dari perubahan pengeluaran konsumsi dan non konsumsi antara sebelum dan sesudah pelaksanaan PNPM-M Perkotaan.

(5)

PARTISIPASI MASYARAKAT MISKIN TERHADAP PENANGGULANGAN KEMISKINAN

DALAM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI (PNPM-M) PERKOTAAN

DI DESA CADASNGAMPAR, KECAMATAN SUKARAJA, KABUPATEN BOGOR, PROVINSI JAWA BARAT

Oleh:

CITRA MULIANI I34070053

SKRIPSI

Sebagai Bagian Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

pada

Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN SAINS

KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

(6)

DEPARTEMEN SAINS

KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang disusun oleh: Nama : Citra Muliani

NRP : I34070053

Judul : Partisipasi Masyarakat Miskin terhadap Penanggulangan Kemiskinan dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM-M) Perkotaan di Desa Cadasngampar, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat

dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Ivanovich Agusta, SP, M.Si NIP. 19700816 199702 1 001

Mengetahui, Ketua Departemen Sains

Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

Dr. Soeryo Adiwibowo, MS NIP. 19550630 198103 1 003

(7)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “PARTISIPASI MASYARAKAT MISKIN TERHADAP PENANGGULANGAN KEMISKINAN DALAM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI (PNPM-M) PERKOTAAN DI DESA CADASNGAMPAR, KECAMATAN SUKARAJA, KABUPATEN BOGOR, PROVINSI JAWA BARAT” BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN BAIK OLEH PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN. KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH. DEMIKIAN PERNYATAAN INI SAYA BUAT DENGAN SESUNGGUHNYA DAN SAYA BERSEDIA BERTANGGUNGJAWAB ATAS PERNYATAAN INI.

Bogor, Juni 2011

Citra Muliani

(8)

RIWAYAT HIDUP

(9)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena dengan rahmat, berkat dan kehendakNya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Partisipasi Masyarakat Miskin terhadap Penanggulangan Kemiskinan dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM-M) Perkotaan di Desa Cadasngampar, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat”. Penulis sangat bersyukur karena penyusunan Skripsi ini dapat selesai tepat pada waktunya dan sesuai dengan yang direncanakan.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik karena dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Maka dari itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ivanovich Agusta, SP, M.Si, sebagai dosen pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, saran, motivasi, dan segala bantuan selama penulisan skripsi hingga skripsi ini dapat terselesaikan.

2. Ir. Hadiyanto, MS sebagai dosen pembimbing akademik yang membantu penulis pada saat mendapat masalah di bidang akademik.

3. Ayahanda tercinta H. Drs. Zulkarnain, MSc, MKes dan Ibunda tersayang Hj. Mardiah, SKM yang telah melahirkan seorang anak serta melimpahkan kasih sayang, cinta, spirit juang yang tidak tergantikan oleh siapapun untuk menjadikan anaknya sebagai generasi yang insya Allah berguna bagi nusa, bangsa, dan agama. 4. Kakakku Dini Ramadhani, abangku yang telah tiada tetapi selalu hadir dihatiku,

Arief Maulana, serta adikku Desy Asrina, abang iparku Bang Eja, sepupuku Intan Maulani, serta keponakan tercintaku Khansa Kayyisa, yang secara tidak langsung memberi semangat dan do’a dari jauh demi kelancaran studi penulis di IPB serta memberi motivasi dan hiburan kepada penulis untuk berjuang di perantauan.

5. Desa Cadasngampar dan seluruh masyarakat yang telah membantu penulis dalam pegumpulan data yang diperlukan.

(10)

7. Heru Fegian Arafat yang selama ini senantiasa mendampingi penulis dalam suka dan duka serta memberikan perhatian, dukungan maupun motivasi, agar dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

8. Rajib Gandi sebagai teman satu bimbingan skripsi penulis yang selalu bekerjasama dengan baik dan memberikan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

9. Mbah Yun, Ali, Juhe, Ica Nyimas, Puput, Dhanis, Aris, Vivi, teman-teman Departemen SKPM dan departemen lainnya yang tidak memungkinkan disebutkan semuanya yang selalu memberikan motivasi agar selesainya skripsi ini dengan baik. 10.Kak Inez, Fani, Kak Nita, Lisa, serta teman-teman satu kosan “Pondok Harmoni”

yang mendukung penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

11.Teman-teman Ikatan Mahasiswa Tanah Rencong (IMTR) dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu menyelesaikan skripsi ini

Penulis berharap skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan.

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang... 1

1.2. Masalah Penelitian... 3

1.3. Tujuan Penelitian... 3

1.4. Kegunaan Penelitian ... 4

BAB II PENDEKATAN TEORITIS ……… 5

2.1. Tinjauan Pustaka ………...… 5

2.1.1. Kemiskinan ……… 5

2.1.2. Partisipasi Masyarakat ……… 9

2.1.3. Pemberdayaan Masyarakat dan “Community-Driven Development”….. 13

2.1.3.1. Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM-M) sebagai Alternatif Penanggulanagan Kemiskinan …... 16

2.1.3.2. Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM-M) Mandiri Perkotaan ………. 17

2.2. Kerangka Pemikiran ………... 20

2.3. Hipotesis ………. 23

2.4. Definisi Operasional ………... 23

BAB III PENDEKATAN LAPANGAN ……… 29

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ……….. 29

3.2. Teknik Pengumpulan Data ………. 29

3.3. Teknik Pengolahan dan Analisis Data ………... 31

3.4. Bias Penelitian ……… 32

3.4.1. Bias Karena Penarikan Sampel ……….. 32

3.4.2. Bias Bukan oleh Pemakaian Sampel ……….. 32

3.5. Jenis Kelamin Responden ……….. 33

3.6. Usia Angkatan Kerja ……….. 33

3.7. Tingkat Pendidikan Responden ……….. 34

(12)

4.1. Gambaran Desa Cadasngampar……….. 35

4.1.1. Kondisi Geografis ………... 35

4.1.2. Kondisi Demografi ………. 37

4.1.3. Kondisi Ekonomi ……… 37

4.1.4. Kondisi Sosial ………. 36

4.1.5. Kondisi Sarana dan Prasarana ………. 38

4.2. PNPM-M Perkotaan di Desa Cadasngampar ………. 39

4.2.1. Lingkup Dimensi Kegiatan ………. 40

4.2.1.1. Aspek Lingkungan ……….. 40

4.2.1.2. Aspek Ekonomi ………... 41

4.2.1.3. Aspek Sosial ………... 42

BAB V ANALISIS DESAIN DAN IMPELEMNTASI PNPM-M PERKOTAAN ………... 44

5.1. Iklim Kelembagaan dan Kebijakan ………... 44

5.2. Investasi sesuai Kebutuhan ………...… 45

5.3. Mekanisme Partisipasi ………...… 46

5.4. Keikutsertaan sesuai Gender dan Status Sosial ………. 48

5.5. Investasi Pengembangan Kapasitas Organisasi Berbasis Masyarakat …….. 50

5.6. Fasilitas Informasi untuk Komunitas ……… 51

5.7. Aturan Sederhana dan Insentif yang Kuat ………. 53

5.8. Desain Kerja Fleksibel ………...………... 53

5.9. Scaling Up ………...……….. 54

5.10. Exit Strategy ………. 55

BAB VI HUBUNGAN TINGKAT KEMISKINAN TERHADAP TINGKAT PARTISIPASI DALAM PNPM-M PERKOTAAN ……… 56

6.1. Kemiskinan Absolut ………... 56

6.1.1. Kemiskinan Absolut Menurut Indikator Nasional ………. 56

6.1.2. Kemiskinan Absolut Menurut Indikator Lokal ……….. 61

6.2. Kemiskinan Relatif ………. 62

6.3. Ketepatan Sasaran dalam PNPM-M Perkotaan ………. 63

6.4. Tingkat Partisipasi Masyarakat ……….. 64

BAB VII HUBUNGAN TINGKAT PARTISIPASI TERHADAP TINGKAT KEBERDAYAAN MASYARAKAT ……… 73

BAB VIII PENUTUP ………... 79

(13)
(14)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin, 1970-2010 ……… 7

Tabel 2. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Jenis Kelamin dan Aspek Kegiatan PNPM-M Perkotaan di Desa Cadasngampar, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat Tahun 2011 ………. 33

Tabel 3. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Usia Angkatan Kerja dan Aspek Kegiatan PNPM-M Perkotaan di Desa Cadasngampar, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat Tahun 2011 ………. 33

Tabel 4. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan dan Aspek Kegiatan PNPM-M Perkotaan di Desa Cadasngampar, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat Tahun 2011………... 34

Tabel 5. Distribusi dan Jumlah Penduduk di Desa Cadasngampar ……….. 37

Tabel 6. Proporsi Rembug Warga berdasarkan Gender……… 49

Tabel 7. Proporsi Rembug Warga berdasarkan Status Sosial………... 49

Tabel 8. Proporsi Keikutsertaan Kegiatan PNPM-M Perkotaan berdasarkan Hasil Penelitian Menurut Gender……… 49

Tabel 9. Proporsi Keikutsertaan Kegiatan PNPM-M Perkotaan berdasarkan Hasil Penelitian Menurut Status Sosial………... 49

Tabel 10. Jumlah dan Persentase Responden Menurut Variabel Kemiskinan Rumah tangga Sebelum dan Sesudah PNPM-M Perkotaan Berdasarkan Indikator Nasional... 58

Tabel 11. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Status Kepemilikan Tempat Tinggal dan Aspek Kegiatan PNPM-M Perkotaan di Desa Cadasngampar, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat, 2011………... 60

Tabel 12. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Jumlah Anggota Keluarga dan Aspek Kegiatan PNPM-M Perkotaan di Desa Cadasngampar, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat, 2011………... 61

(15)

Tabel 13. Jumlah dan Persentase Responden Menurut Variabel Kemiskinan Rumah tangga Berdasarkan Indikator Lokal... 62 Tabel 14. Jumlah dan Persentase Responden Menurut Kemiskinan Relatif …….. 63 Tabel 15. Jumlah dan Persentase Responden Menurut Tingkatan Partisipasi

Arstein ... 64 Tabel 16. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Lama Keterlibatan

Pada Aspek Kegiatan Lingkungan PNPM-M Perkotaan Desa Cadasngampar, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat, Tahun 2011… 71 Tabel 17. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Lama Keterlibatan

Pada Aspek Kegiatan Ekonomi PNPM-M Perkotaan Desa Cadasngampar, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat, Tahun 2011… 71 Tabel 18. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Lama Keterlibatan

Pada Aspek Kegiatan Sosial PNPM-M Perkotaan Desa Cadasngampar, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat, Tahun 2011… 71 Tabel 19. Jumlah dan Persentase Responden di Desa Cadasngampar Kecamatan

Sukaraja Kabuapten Bogor Berdasarkan Jenis Pekerjaan Sebelum

PNPM-M Perkotaan ………... 75

Tabel 20. Jumlah dan Persentase Responden di Desa Cadasngampar Kecamatan Sukaraja Kabuapten Bogor Menurut Jenis Pekerjaan Sesudah

(16)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Tingkatan Partisipasi Arstein ... 10

Gambar 2. Hubungan Seimbang Antara Pemerintah dan Masyarakat……… 14

Gambar 3. Kerangka Analisis Partisipasi Masyarakat Miskin dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perkotaan di desa Cadasngampar……… 22

Gambar 4. Sketsa Desa Cadasngampar, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat……….. 36

Gambat 5. Proses pembuatan betonisasi jalan ……… 41

Gambar 6. Ketua KSM menerima dana yang diberikan oleh UPK………. 42

Gambar 7. Salah seorang peserta kegiatan menjahit………... 43

Gambar 8. Tingkat Kemiskinan Menurut BPS Berdasarkan 9 Indikator Kriteria Warga Miskin... 59

Gambar 9. Tingkat Partisipasi Masyarakat Desa Cadasngampar……… 66

Gambar 10. Tangga Partisipasi Masyarakat ………. 68

Gambar 11. Perubahan Pendapatan Sebelum dan Sesudah PNPM-M Perkotaan………... 73

Gambar 12. Perubahan pada Pola Konsumsi Sebelum dan Sesudah PNPM-M Perkotaan………... 77

Gambar 13. Perubahan pada Mata Pencaharian dan Modal Usaha Sebelum dan Sesudah PNPM-M Perkotaan………... 77

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Hasil Uji Korelasi Rank Spearman ………. 85 Lampiran 2. Catatan Harian di Lapangan ……… 87 Lampiran 3. Dokumentasi Kegiatan ……… 98

Lampiran 1. Kerangka Sampling Penelitian Lampiran 2. Hasil Uji Korelasi Rank Spearman

Lampiran 3. Catatan Harian di Lapangan Lampiran 4. Dokumentasi Kegiatan  

(18)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kemiskinan merupakan isu lama yang sudah tidak asing lagi untuk dunia dan khususnya Indonesia yang merupakan permasalahan bangsa yang mendesak dan memerlukan langkah-langkah penanganan dan pendekatan yang sistematik, terpadu, dan menyeluruh. Data BPS pada tahun 2010 menunjukkan bahwa masih tercatat 37,02 juta jiwa atau 16 per sen penduduk Indonesia tercatat sebagai penduduk miskin. Hal ini membuat pemerintah terus menerus menggencarkan program penanggulangan kemiskinan di Indonesia yang sudah dilakukan sejak era pemerintahan Soeharto sampai sekarang. Pemerintah terus menerus memberikan program pemberdayaan sejak tahun 1998 melalui Program Pengembangan Kecamatan (PPK).

Sudah saatnya masyarakat miskin tidak dijadikan sebagai obyek pembangunan lagi, tetapi sebagai subyek pembangunan agar masyarakat dapat lebih berperan aktif dalam menyampaikan aspirasi, menentukan pilihan dan menyelesaikan masalahnya sendiri serta sepenuhnya ikut berkecimpung dalam proyek pembangunan yang dilakukan dari perencanaan hingga evaluasi, hal ini akan membuat masyarakat merasa memiliki dan menjaga pembangunan. Dalam upaya percepatan penanggulangan kemiskinan, perlu dilakukan langkah-langkah koordinasi secara terpadu lintas pelaku dalam penyiapan perumusan dan penyelenggaraan kebijakan penanggulangan kemiskinan. Untuk mendukung agenda tersebut, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2010, tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan yang merupakan penyempurnaan dari Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2009 tentang Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan. Mengacu pada Pasal 1 butir 3 Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2010 tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan, di tingkat nasional dibentuk Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) yang keanggotaannya terdiri dari unsur pemerintah, masyarakat, dunia usaha, dan pemangku kepentingan lainnya di tingkat nasional. Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) Provinsi dan Kabupaten/Kota dibentuk di daerah.

(19)

Masyarakat Mandiri (PNPM-M) merupakan bagian dari program pro rakyat untuk meningkatkan kesejahteraan dan mempercepat pengentasan kemiskinan. Hal ini sesuai dengan amanah ideologi dan konstitusi salah satu butir Pancasila, yakni kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kemiskinan tidak hanya terjadi di wilayah terpencil dimana telah tercakup dalam program Inpres Desa Tertinggal, tetapi juga di tempat-tempat lain yang kurang terpencil bahkan perkotaan, seperti di Desa Cadasngampar Kecamatan Sukaraja Kabupaten Bogor, yang merupakan daerah pinggiran jalan utama perkotaan. Untuk itu Pemerintah juga menyediakan PNPM-M di Perkotaan. PNPM-M dimaksudkan untuk menanggulangi kemiskinan melalui peningkatan partisipasi masyarakat di dalam proses pembangunan, peningkatan kapasitas pemerintah daerah dalam penyediaan layanan umum, dan peningkatan kapasitas lembaga lokal yang berbasis masyarakat. Berbagai pihak baik dari masyarakat seperti Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) dan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) turut menjadi pihak yang berkepentingan untuk membantu mencapai kesejahteraan masyarakat.

Partisipasi aktif dari masyarakat diperlukan untuk program pemberdayaan tersebut. Partisipasi masyarakat dalam pembangunan berarti masyarakat sebagai pemeran utama mulai dari perencanaan, pengelolaan sampai pada pengawasan dan evaluasi, sehingga pada akhirnya masyarakat merasa memiliki terhadap berbagai program pembangunan yang dilakukan melalui pemberdayaan masyarakat. Dalam kaitannya dengan hal ini, para praktisi pembangunan berposisi sebagai pihak yang memfasilitasi upaya peningkatan aksesibilitas terhadap sumber-sumber lokal (Hikmat 2001). Sementara itu pemberdayaan adalah sebuah proses dengan mana orang menjadi cukup kuat berpartisipasi dalam, berbagi pengontrolan atas, dan mempengaruhi kehidupannya. Pemberdayaan menekankan bahwa orang memperoleh keterampilan, pengetahuan, dan kekuasaan yang cukup untuk mempengaruhi kehidupannya dan kehidupan orang lain yang menjadi perhatiannya (Parson et al. 1994 sebagaimana dikutip Suharto 2005).

(20)

tepat bagi masyarakat. Hal ini berlawanan dari pandangan bahwa yang lebih mengetahui permasalahan masyarakat adalah masyarakat itu sendiri. Pemberdayaan masyarakat seharusnya membahas pentingnya partisipasi masyarakat secara sukarela dan penuh kesadaran untuk berubah lebih baik menuju keberdayaan.

Wilayah studi dalam penelitian ini adalah Desa Cadasngampar Kecamatan Sukaraja Kabupaten Bogor. Desa ini merupakan salah satu penerima program pemberdayaan masyarakat yaitu PNPM-M Perkotaan yang pelaksanaannya telah dimulai sejak tahun 2008 dan masih berjalan sampai penelitian ini dilaksanakan. Desa Cadasngampar merupakan salah satu lokasi yang dianggap berhasil dalam pelaksanaan PNPM-M Perkotaan karena memiliki kemajuan dilihat dari pelaksanaan kegiatan yang sesuai agenda-agenda yang telah direncanakan baik dalam kegiatan pemberdayaan masyarakatnya maupun dalam kegiatan pembangunan fisik dan lingkungan.

1.2. Masalah Penelitian

Masalah penelitian dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana hubungan tingkat kemiskinan terhadap tingkat partisipasi masyarakat?

2. Bagaimana hubungan tingkat partisipasi terhadap tingkat keberdayaan masyarakat?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian dirumuskan sebagai berikut:

1. Mengkaji hubungan tingkat kemiskinan terhadap tingkat partisipasi masyarakat dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perkotaan di desa Cadasngampar.

(21)

1.4. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini memiliki kegunaan sebagai berikut:

1. Bagi akademisi, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi akademisi lain yang tertarik untuk mengkaji partisipasi masyarakat miskin dalam program pemberdayaan masyarakat

2. Bagi pemerintah, semoga hasil penelitian ini dapat menjadi masukan dalam merumuskan pedoman dan kebijakan untuk implementasi partisipasi masyarakat miskin terhadap program-program pemberdayaan masyarakat dalam upaya penanggulangan kemiskinan.

(22)

BAB II PENDEKATAN TEORITIS

2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Kemiskinan

Menurut Maskun (1997) kemiskinan dapat diggambarkan sebagai kondisi yang serba kekurangan dalam pemenuhan kebutuhan dasar manusia, yaitu meliputi kebutuhan sandang, pangan, papan, kebutuhan akan hidup sehat, dan kebutuhan akan kesehatan. Penduduk miskin yang tidak berdaya dalam memenuhi kebutuhannya, dikarenakan mereka tidak memiliki aset sebagai sumber pendapatan, juga karena struktur sosial-ekonomi yang ada tidak membuka peluang orang miskin keluar dari lingkungan kemiskinan yang tidak berujung pangkal.

Kemiskinan merupakan sebuah kondisi yang berada dibawah garis nilai standar kebutuhan minimum, baik untuk makanan dan non-makanan yang disebut garis kemiskinan (poverty line) atau batas kemiskinan (poverty threshold). Garis kemiskinan adalah sejumlah rupiah yang diperlukan oleh setiap individu untuk dapat membayar kebutuhan makannya setara 2100 kilo kalori/orang/hari dan kebutuhan non-makanan yang terdiri dari perumahan, pakaian, kesehatan, pendidikan, transportasi, serta aneka barang dan jasa lainnya. (BPS dan Depsos 2002 sebagaimana dikutip Suharto 2005).

(23)

di luar lingkungannya, maka seseorang atau keluarga tersebut berada dalam keadaan miskin.

Chambers (1988) sebagaimana dikutip Dewanta (1995), menyebutkan inti dari masalah kemiskinan terletak pada apa yang disebut jebakan kekurangan atau

deprivation trap yang melilit keluarga miskin. Kelima ketidakberuntungan itu adalah: kemiskinan itu sendiri, kelemahan fisik, keterasingan, kerentanan, dan ketidakberdayaan. Kelimanya sangat berhubungan satu sama lain. Dimana kerentanan menurut Chambers dilihat dari ketidakmampuan keluarga miskin untuk menyediakan sarana untuk menghadapi situasi darurat seperti datangnya bencana, penyakit dan sebagainya yang tiba-tiba menimpa keluarga itu. Sedangkan ketidakberdayaan keluarga miskin tercermin dalam kasus-kasus dimana mereka tidak dapat melakukan perlawanan pada saat mereka dipojokkan pada posisi tidak menguntungkan oleh pihak-pihak lain.

Terkait dengan beragamnya pengertian kemiskinan yang tergantung latar belakang orang yang mengemukakannya dan konteks wilayah atau negara dimana definisi kemiskinan tersebut dikeluarkan, dapat disepakati bersama bahwa kemiskinan merupakan kondisi yang tidak memuaskan ataupun kondisi yang tidak diinginkan serta selalu berhubungan dengan ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar. Menurut pandangan dari Loekman Soetrisno sebagaimana dikutip Dewanta (1995) mengenai penyebab kemiskinan sebagai berikut: (a) Kelompok Agrarian Populism berpendapat bahwa kemiskinan disebabkan oleh campur tangan yang terlalu luas dari pemerintah dalam kehidupan masyarakat pada umumnya, khususnya masyarakat pedesaan,orang miskin dianggap akan dapat membantu dirinya sendiri. Kelompok ini mengusulkan cara untuk memberantas kemiskinan dengan jalan memberikan empowerment kepada masyarakat miskin. (b) Kelompok yang berpendapat bahwa inti atau penyebab kemiskinan adalah budaya orang miskin karena tidak memiliki etos kerja yang tinggi, tidak memiliki jiwa wiraswasta, pendidikan relatif rendah dan kualitas sumberdayanya rendah dan sebagainya.

(24)

kerja (creating opportunity), (2) memberdayakan masyarakat (community empowerment), (3) mengembangkan kemampuan (capacity building), (4) menciptakan perlindungan sosial (social protection), (5) membina kemitraan global (forging global partnership). Kendati telah dilakukan berbagai program penanggulangan kemiskinan, jumlah penduduk miskin masih sangat besar sampai saat ini. Jumlah penduduk miskin tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia, Tahun 1970-2010

Tahun

Jumlah Penduduk Miskin (x 1 juta) Persentase Penduduk Miskin perko-taan perde-saan Perkotaan dan perdesaan Perko-taan Per-desaan Perkotaan dan perdesaan 1970 - - 70,0 - - 60,00

1976 10,0 44,2 54,2 38,79 40,37 40,08

1978 8,3 38,9 47,2 30,84 33,38 33,31

1980 9,5 32,8 42,3 29,04 28,42 28,56

1981 9,3 31,3 40,6 28,06 26,49 26,85

1984 9,3 25,7 35,0 23,14 21,18 21,64

1987 9,7 20,3 30,0 20,14 16,44 17,42

1990 9,4 17,8 27,2 16,75 14,33 15,08

1993 8,7 17,2 25,9 13,45 13,79 13,67

1996 7,2 15,3 22,5 9,71 12,30 11,34

1997 9,4 24,6 34,0 13,39 19,78 17,47

1998 17,6 31,9 49,5 21,92 25,72 24,23

1999 15,6 32,3 47,9 19,41 26,03 23,43

2000 12,3 26,4 38,7 14,60 22,38 19,14

2001 8,6 29,3 37,9 9,76 24,84 18,41

2002 13,3 25,1 38,4 14,46 21,10 18,20

2003 12,2 25,1 37,3 13,57 20,23 17,42

2004 11,4 24,8 36,2 12,13 20,11 16,66

Feb 2005 12,4 22,7 35,1 11,37 19,51 15,97

Juli 2005 13,30 23,50 36,80 12,48 20,63 16,69

Mrt 2006 14,49 24,81 39,30 13,47 21,81 17,75

Mrt 2007 13,56 23,61 37,17 12,52 20,37 16,58

Mrt 2008 12,77 23,61 34,96 11,65 18,93 15,42

Mrt 2009 11,91 20,62 32,53 10,72 17,35 14,15

Mrt 2010 11,10 19,93 31,02 9,87 16,56 13,33

Sumber: Badan Pusat Statistik (diolah)

(25)

masuk terhadap peningkatan pendapatan, seperti memiliki sumber-sumber keuangan, memiliki pendidikan yang memadai atau tidak buta huruf., (3) Kelompok rentan. Kelompok ini dapat dikategorikan bebas dari miskin, karena memiliki tingkat kehidupan yang relatif lebih baik dibanding kelompok paling miskin dan miskin. Namun sebenanya kelompok ini sering disebut near poor (mendekati miskin), karena kelompok ini masih sangat rapuh terhadap berbagai perubahan sosial di sekitarnya. Bila tejadi kondisi seperti krisis ekonomi, maka kelompok ini sangat rentan menjadi miskin bahkan bisa menjadi kelompok paling miskin.

Rumah tangga miskin sebagai unit terkecil dari masyarakat, dapat diberikan karakteristik sebagai berikut menurut BPS (2005):

1. Luas bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang.

2. Jenis lantai tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan.

3. Jenis dinding tempat tinggal dari bambu/rumbia/kayu berkualitas rendah/tembok tanpa diplester.

4. Tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersama-sama dengan rumah tangga lain. 5. Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik.

6. Sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindung/sungai/air hujan. 7. Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak tanah. 8. Hanya mengkonsumsi daging/susu/ayam satu kali dalam seminggu

9. Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun 10. Hanya sanggup makan hanya satu/dua kali dalam sehari.

11. Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/poliklinik.

12. Sumber penghasilan kepala keluarga adalah petani dengan luas lahan 500 m2, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, dan atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan di bawah Rp600.000,- per bulan.

13. Pendidikan tertinggi kepala keluarga: tidak bersekolah/tidak tamat SD/hanya SD. 14. Tidak memiliki tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai minimal

Rp500.000,- seperti sepeda motor kredit/non-kredit, emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya.

(26)

Penanggulangan kemiskinan di Indonesia dinyatakan Yudhoyono dan Harniati (2004), secara garis besar dilakukan melalui pendekatan community development dan

social safety net with community based approach. Pemerintah mengimplementasikan berbagai program berikut village infrastructure program, urban poverty program, integrate movement for poverty eradication, and community recovery program,

sedangkan dalam social safety net terdapat program-program yaitu food security, social protection, education, social protection, health, and income generation including community empowerment fund.

2.1.2. Partisipasi Masyarakat

Menurut Horton (1987) menyatakan pemberdayaan dan partisipasi merupakan strategi yang sangat potensial dalam rangka meningkatkan ekonomi, sosial, dan transformasi budaya. Proses ini pada akhirnya dapat menciptakan pembangunan yang lebih berpusat pada rakyat. Partisipasi masyarakat merupakan sarana yang efektif untuk menjangkau masyarakat miskin melalui upaya pembangkitan semangat hidup untuk dapat menolong diri sendiri.

Partisipasi masyarakat merupakan bentuk keberdayaan masyarakat yang diwujudkan dalam keterlibatan mental dan emosional orang dalam situasi kelompok yang mendorong mereka memberikan kontribusi pada pencapaian tujuan kelompok. Mubyarto (1994) mengartikan partisipasi sebagai ketersediaan membentuk berhasilnya setiap program sesuai kemampuan setiap orang tanpa mengorbankan kepentingan diri sendiri.

Partisipasi masyarakat dalam pembangunan berarti masyarakat sebagai pemeran utama mulai dari perencanaan, pengelolaan sampai pada pengawasan dan evaluasi, sehingga pada akhirnya masyarakat merasa memiliki terhadap berbagai program pembangunan yang dilakukan melalui pemberdayaan masyarakat. Dalam kaitannya dengan hal ini, para praktisi pembangunan berposisi sebagai pihak yang memfasilitasi upaya peningkatan aksesibilitas terhadap sumber-sumber lokal (Hikmat 2001).

(27)

partisipatism). Sedangkan tingkatan paling tinggi adalah bila masyarakat yang memegang kendali kekuasaan membuat keputusan-keputusan (Arstein 1969). Ketika masyarakat merasakan bahwa partisipasi mereka bermakna, maka mereka akan berpartisipasi sepenuhnya, yang akan dapat meningkatkan relevansi dan efektifitas upaya pembangunan, hal ini lah yang melatarbelakangi pemikiran Tyas dkk (2008). Delapan tingkat anak tangga partisipasi yang diutarakan oleh Arstein terbagi dalam tiga kategori non participation, tokenism (penghargaan), dan terakhir kekuasaan masyarakat (citizen power). Dalam tingkat tertinggi yaitu citizen control masyarakat mengontrol dalam artian sesungguhnya yaitu menjamin aspirasi mereka itu dituangkan tertulis dan dilaksanakan dengan baik (Gambar 1).

Tingkatan partisipasi menurut Arstein dapat diterangkan sebagai berikut:

1. Pasif/manipulatif, yakni partisipasi yang tidak perlu menuntut respon partisipan untuk terlibat banyak. Pengelola program akan meminta anggota komunitas untuk mengikuti program yang sudah diselenggarakan tanpa melihat maksud dan tujuan si anggota dalam keikutsertaan program. Pada tingkat partisipasi ini bisa diartikan relatif tidak ada komunikasi apalagi dialog.

Citizen Control Delegated Partnership

Placation Consultation

Informing Theraphy Manipulation

Sumber:Arstein (1969)

Gambar 1. Tingkatan Partisipasi Arstein

Nonparticipation Citizen Power

Tokenism

(28)

2. Terapi (therapy), yakni partisipasi yang melibatkan anggota komunitas lokal dan anggota komunitas lokal memberikan jawaban atas pertanyaan yang diberikan tetapi jawaban anggota komunitas tidak memberikan pengaruh terhadap kebijakan dan tidak ada pengaruh dalam mempengaruhi keadaan. Merupakan kegiatan dengar pendapat dengan mengumpulkan beberapa penduduk desa untuk saling tanya jawab dengan penyelenggara program sedangkan pendapat dari penduduk lokal sama sekali tidak dapat mempengaruhi program yang sedang berjalan. Pada level ini telah ada komunikasi namun bersifat terbatas. Inisiatif datang dari pemerintah dan hanya satu arah.

Tingkatan ketiga, keempat dan kelima dikategorikan sebagai derajat tokenisme dimana peran serta masyarakat diberikan kesempatan untuk berpendapat dan didengar pendapatnya, tapi mereka tidak memiliki kemampuan untuk mendapatkan jaminan bahwa pandangan mereka akan dipertimbangkan oleh pemegang keputusan. Peran serta pada jenjang ini memiliki kemungkinan yang sangat kecil untuk menghasilkan perubahan dalam masyarakat.

3. Pemberitahuan (informing) adalah kegiatan yang dilakukan oleh instansi penyelenggara program sekedar melakukan pemberitahuan searah atau sosialisasi ke komunitas sasaran program. Pada jenjang ini komunikasi sudah mulai banyak terjadi tapi masih bersifat satu arah dan tidak ada sarana timbal balik. Informasi telah diberikan kepada masyarakat tetapi masyarakat tidak diberikan kesempatan melakukan tanggapan balik (feed back).

4. Konsultasi (consultation), anggota komunitas diberikan pendampingan dan konsultasi dari semua pihak (pemerintah, perusahaan dan instansi lain terkait) sehingga pandangan-pandangan diberitahukan dan tetap dilibatkan dalam penentuan keputusan. Model ini memberikan kesempatan dan hak kepada wakil dari penduduk lokal (misalnya pemuka adat, agama, aparat desa) untuk menyampaikan pandangannya terhadap wilayahnya (sistem perwakilan). Komunikasi telah bersifat dua arah, tapi masih bersifat partisipasi yang ritual. Sudah ada penjaringan aspirasi, telah ada aturan pengajuan usulan, telah ada harapan bahwa aspirasi masyarakat akan didengarkan, tapi belum ada jaminan apakah aspirasi tersebut akan dilaksanakan ataupun perubahan akan terjadi.

(29)

tetap menahan kewenangan untuk menilai kelayakan dan keberadaan usulan tersebut. Pada tahap ini pula diperkenalkan adanya suatu bentuk partisipasi dengan materi, artinya anggota komunitas atau diberikan insentif tertentu untuk kepentingan perusahaan atau pemerintah, ataupun instansi terkait. Atau hanya beberapa tokoh di komunitas yang mendapat insentif, sehingga tidak mewakilkan komunitas secara keseluruhan. Hal ini dilakukan agar warga yang telah mendapat insetif segan untuk menentang program.

Tiga tingkatan teratas dikategorikan sebagai bentuk yang sesungguhnya dari partisipasi dimana masyarakat memiliki pengaruh dalam proses pengambilan keputusan. 6. Kemitraan (partnership) atau partisipasi fungsional di mana semua pihak mewujudkan

keputusan bersama (pemerintah perusahaan/instansi, dan komunitas). Suatu bentuk partisipasi yang melibatkan tokoh komunitas dan atau ditambah lagi oleh warga komunitas, “duduk berdampingan” dengan aparat pemerintahan serta perusahaan/instansi terkait serta perusahaan secara bersama-sama merancang sebuah program yang akan diterapkan pada komunitas.

7. Pendelegasian wewenang (delegated power), suatu bentuk partisipasi yang aktif di mana anggota komunitas melakukan perencanaan, implementasi, dan monitoring. Anggota komunitas diberikan kekuasaan untuk melaksanakan sebuah program dengan cara ikut memberikan proposal bagi pelaksanaan program bahkan pengutamaan pembuatan proposal oleh komunitas yang bersangkutan dengan program itu sendiri.

8. Pengawasan oleh komunitas (citizen control), dalam bentuk ini sudah diadakan kegiatan untuk melihat apakah pelaksanaan pemberdayaan sesuai dengan yang direncanakan, sejak input sampai proses pelaksanaan, oleh komunitas lokal terhadap pemerintah dan perusahaan/instansi penyelenggara program. Dalam tingkatan partisipasi ini, masyarakat sepenuhnya mengelola berbagai kegiatan untuk kepentingannya sendiri, yang disepakati bersama, dan tanpa campur tangan pemerintah/pihak penyelenggara program.

(30)

Struktur dan proses tidak boleh mengucilkan, sebagai contoh pembuatan keputusan yang sering mengucilkan mereka yang tidak bisa “berpikir cepat”, tidak ingin menginterupsi, kurang percaya diri dan tidak memiliki kemahiran berbicara.

2.1.3. Pemberdayaan Masyarakat dan ”Community-Driven Development”

Secara ekonomi, politik dan budaya, masyarakat desa tidak berdaya. Mereka tidak memiliki akses terhadap pembuatan keputusan di desa, akses terhadap pelayanan sosial, akses terhadap anggaran dan lain sebagainya. Akibatnya mereka terbiasa diam saja (culture of silent) atas segala yang terjadi berkaitan dengan pengelolaan desa. Mereka pun tidak memiliki kepedulian untuk mengontrol berbagai hal yang sebenarnya berkaitan dengan kehidupan mereka. Kelompok marginal ini tidak memiliki acces-voice-kontrol, sehingga sangat perlu dilakukan suatu formula yang membantu kehidupan mereka (Krisdyatmiko 2006).

Pemberdayaan adalah sebuah proses dengan mana orang menjadi cukup kuat berpartisipasi dalam, berbagi pengontrolan atas, dan mempengaruhi kehidupannya. Pemberdayaan menekankan bahwa orang memperoleh keterampilan, pengetahuan, dan kekuasaan yang cukup untuk mempengaruhi kehidupannya dan kehidupan orang lain yang menjadi perhatiannya (Parson et al. 1994 sebagaimana dikutip Suharto 2005). Sementara Ife (2002) memberikan batasan bahwa pemberdayaan adalah sebagai upaya penyediaan kepada orang-orang atas sumber, kesempatan, pengetahuan dan keterampilan untuk meningkatkan kemampuan mereka menentukan masa depannya dan untuk berpartisipasi di dalam dan mempengaruhi kehidupan komunitas mereka.

(31)

KKKKDDDDDDDDDDDDDDD “dialektis”

[image:31.595.78.526.70.270.2]

VVVKKKKKKKKKKK “keseimbangan Dd dDDDDDDDDDdddddDddd dinamis”

Gambar 2. Hubungan Seimbang Antara Pemerintah dan Masyarakat

CBD selalu melibatkan partisipasi masyarakat baik dalam perencanaan maupun pelaksanaan program. Dalam CBD harus dapat memaksimalkan sumberdaya (resources), khususnya dalam hal dana, baik yang berasal dari pemerintah, swasta, maupun sumber-sumber lainnya, seperti donasi dari sponsor pembangunan sosial. Konsep CBD juga harus melibatkan pemerintah lokal dalam bentuk Local Government Policies maupun swasta.

Tidak ada perbedaan yang jelas antara pendekatan CBD dan community-driven development (CDD). Pada 1990-an istilah yang digunakan secara bergantian. Terjadi peningkatan lebih tinggi dari partisipasi yang memberikan mereka kontrol atas sumberdaya dan keputusan kepada masyarakat (yaitu, mereka yang bekerja sama dan memberdayakan atau secara substansial "didorong" oleh masyarakat) sekarang dipahami CDD dan dibedakan dari pandangan CBD, di mana kontrol yang kurang terhadap keputusan dan sumberdaya diberikan tetapi yang tetap partisipatif.

Begitu banyak cara pemberdayaan yang dilakukan oleh berbagai pihak untuk memandirikan masyarakat, dan terdapat beberapa konsep pemberdayaan berbasis masyarakat yang benar-benar dapat menjadikan masyarakat sebagai penggerak juga pelaksana pemberdayaan yang dilakukan. Salah satunya adalah konsep community-driven development (CDD). Masyarakat miskin sering kali dipandang sebagai sasaran upaya penanggulangan kemiskinan. Secara kontras community-driven development

(CDD) memperlakukan orang-orang miskin dan institusi mereka sebagai aset dan mitra dalam proses pembangunan. community-driven development (CDD) memberikan kontrol keputusan dan sumberdaya untuk kelompok masyarakat, mereka membangun

Local Government Policies Community Based Development

Tingkat Kelompok

Tingkat Kecamatan Tingkat Kecamatan

Tingkat Kelompok

Tingkat Kabupaten (Otonomi) Tingkat Komunitas

(32)

lembaga-lembaga dan sumberdaya. Dukungan untuk CDD biasanya meliputi (i) penguatan dan pembiayaan inklusif kelompok masyarakat, (ii) memfasilitasi akses masyarakat terhadap informasi, dan (iii) mempromosikan memungkinkan lingkungan melalui kebijakan dan reformasi kelembagaan.

Community-driven development (CDD) merupakan pendekatan pembangunan dengan model pemberdayaan masyarakat sebagai pendekatan pembangunan produk World Bank. CDD diakui banyak digunakan dalam pendekatan pembangunan di Indonesia. Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perkotaan merupakan salah satu dari kegiatan pemberdayaan masyarakat yang didonori oleh World Bank yang menggunakan konsep CDD.

Pendekatan pembangunan dengan berbasis pada pemberdayaan masyarakat pun telah diakui dapat membawa pada pembangunan berkelanjutan. Pada kenyataannya, konsep CDD hanya menekankan pemberdayaan pada fase perencanaan dan konstruksi program kegiatan. Masyarakat difasilitasi dan ditingkatkan kapasitasnya dalam rangka menyukseskan program kegiatan pada kedua fase ini. Pada desain program, rancangan mengenai pengembangan kapasitas untuk kedua fase ini dijelaskan dengan rinci, sementara rancangan untuk fase pemeliharaan hanya sebatas aturan normatif meskipun dalam konsep CDD telah dijelaskan juga melalui prinsip scaling up dan exit strategy. Namun, untuk menjadi model pemberdayaan menjadi berkelanjutan dibutuhkan adanya tahap pemeliharan dalam pengimplementasiannya.

Pendampingan komunitas adalah proses saling berhubungan dalam bentuk ikatan pertemanan antara fasilitator dengan komunitas, melalui dialog kritis dan pendidikan berkelanjutan, dalam rangka menggali dan mengelola sumberdaya, memecahkan persoalan kehidupan secara bersama-sama serta mendorong tumbuhnya keberanian komunitas untuk mengungkapkan realitas yang meminggirkan dan melakukan aksi untuk merombaknya

(33)

Menurut Ife (1995) terdapat empat kategori seorang fasilitator dalam pengembangan masyarakat seperti yang dikutip oleh Muchlis (2009), yaitu sebagai berikut:

a. Peran dan keterampilan fasilitatif, dari peran ini terdapat tujuh peran khusus yaitu: animasi sosial, mediasi dan negosiasi, pemberi dukungan, membentuk konsensus, fasilitasi kelompok, pemanfaatan sumberdaya dan keterampilan, dan mengorganisasi.

b. Peran dan keterampilan edukasional, yang meliputi empat peran yaitu membangkitkan kesadaran masyarakat, menyampaikan informasi, mengonfrontasikan, dan pelatihan.

c. Peran dan keterampilan perwakilan yang meliputi enam peran yaitu mencari sumberdaya, advokasi, memanfaatkan media, hubungan masyarakat, mengembangkan jaringan, serta membagi pengetahuan dan pengalaman.

d. Peran dan keterampilan teknis yang mencakup keterampilan pemberdaya masyarakat untuk melakukan riset, menggunakan komputer, melakukan presentasi tertulis maupun verbal, serta kemampuan untuk mengontrol dan mengelola keuangan.

2.1.3.1.Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM-M) sebagai Alternatif Penanggulangan Kemiskinan

PNPM Mandiri pada hakekatnya adalah gerakan dan program nasional yang dituangkan dalam kerangka kebijakan yang menjadi acuan pelaksanaan berbagai program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat bertujuan menciptakan atau meningkatkan kapasitas masyarakat, baik secara individu maupun berkelompok, untuk menyelesaikan berbagai persoalan pembangunan yang dihadapinya dengan baik dan benar. PNPM Mandiri membutuhkan harmonisasi kebijakan yang berbasis. Program ini melibatkan masyarakat dalam pembangunan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga pemantauan dan evaluasi. Pada program ini, masyarakat diharapkan menjadi mandiri dan berperan sebagai subyek dalam upaya penanggulangan kemiskinan.

(34)

1) Tujuan Umum

Adalah meningkatkan kesejahteraan dan kesempatan kerja masyarakat miskin secara mandiri.

2) Tujuan Khusus

a. Meningkatnya partisipasi seluruh masyarakat, termasuk masyarakat miskin, kelompok perempuan, komunitas adat terpencil, dan kelompok masyarakat lainnya yang rentan dan sering terpinggirkan ke dalam proses pengambilan keputusan dan pengelolaan pembangunan.

b. Meningkatnya kapasitas kelembagaan masyarakat yang mengakar, representatif dan akuntabel.

c. Meningkatnya kapasitas pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat terutama masyarakat miskin melalui kebijakan, program dan penganggaran yang berpihak pada masyarakat miskin (pro-poor).

d. Meningkatnya sinergi masyarakat, pemerintah daerah, swasta, asosiasi, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, organisasi masyarakat, dan kelompok peduli lainnya, untuk mengefektifkan upaya-upaya penanggulangan kemiskinan.

e. Meningkatkan keberdayaan dan kemandirian masyarakat, serta kapasitas pemerintah daerah dan kelompok peduli setempat dalam menanggulangi kemiskinan di wilayahnya.

f. Meningkatnya modal sosial masyarakat yang berkembang sesuai dengan potensi sosial dan budaya serta untuk melestarikan kearifan lokal.

g. Meningkatnya inovasi dan pemanfaatan teknologi tepat guna, informasi dan komunikasi dalam pemberdayaan masyarakat.

2.1.3.2.Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM-M) Perkotaan

(35)

Sedangkan misi kegiatan PNPM-M Perkotaan adalah memberdayakan masyarakat perkotaan, terutama masyarakat miskin, untuk menjalin kerjasama sinergis dengan pemerintah daerah dan kelompok peduli lokal dalam upaya penanggulangan kemiskinan, melalui pengembangan kapasitas, penyediaan sumber daya, dan melembagakan budaya kemitraan antar pelaku pembangunan.

Tujuan pelaksanaan PNPM-M Perkotaan adalah:

a. Mewujudkan masyarakat “Berdaya” dan “Mandiri”, yang mampu mengatasi berbagai persoalan kemiskinan di wilayahnya, sejalan dengan kebijakan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM-M).

b. Meningkatkan kapasitas Pemerintah Daerah dalam menerapkan model pembangunan partisipatif yang berbasis kemitraan dengan masyarakat dan kelompok peduli setempat.

c. Mewujudkan harmonisasi dan sinergi berbagai program pemberdayaan masyarakat untuk optimalisasi penanggulangan kemiskinan.

d. Meningkatkan capaian manfaat bagi masyarakat miskin untuk mendorong peningkatan IPM dan pencapaian sasaran MDGs.

Sasaran pelaksanaan PNPM-M Perkotaan adalah:

a. Terbangunnya lembaga kepemimpinan masyarakat (BKM) yang aspiratif, representatif, dan akuntabel untuk mendorong tumbuh dan berkembangnya partisipasi serta kemandirian masyarakat.

b. Tersedianya PJM Pronangkis sebagai wadah untuk mewujudkan sinergi berbagai program penanggulangan kemiskinan yang komprehensif dan sesuai dengan aspirasi serta kebutuhan masyarakat dalam rangka pengembangan lingkungan permukiman yang sehat, serasi, berjati diri dan berkelanjutan.

c. Meningkatnya akses terhadap pelayanan kebutuhan dasar bagi warga miskin dalam rangka meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan pencapaian sasaran MDGs.

(36)

untuk menggali kembali nilai-nilai luhur kemanusiaan dan nilai-nilai kemasyarakatan sebagai pondasi modal sosial (social capital) kehidupan masyarakat.

BKM ini diharapkan mampu menjadi wadah perjuangan kaum miskin dalam menyuarakan aspirasi dan kebutuhan mereka, sekaligus menjadi motor bagi upaya penanggulangan kemiskinan yang dijalankan oleh masyarakat secara mandiri dan berkelanjutan, mulai dari proses penentuan kebutuhan, pengambilan keputusan, proses penyusunan program, pelaksanaan program hingga pemanfaatan dan pemeliharaan. BKM bersama masyarakat bertugas menyusun Perencanaan Jangka Menengah Program Penanggulangan Kemiskinan (yang kemudian lebih dikenal sebagai PJM Pronangkis) secara partisipatif, sebagai prakarsa masyarakat untuk menanggulangi kemiskinan di wilayahnya secara mandiri. Atas fasilitasi pemerintah dan prakarsa masyarakat, BKM ini mulai menjalin kemitraan dengan berbagai instansi pemerintah dan kelompok peduli setempat. BKM memiliki unit pelaksana di bawahnya, yaitu Unit Pelaksana Sosial, Unit Pelaksana Lingkungan dan Unit Pelaksana Keuangan. Unit-unit pelaksana ini berada di bawah BKM dan bertanggung jawab kepada BKM. BKM juga bertanggungjawab untuk menjamin keterlibatan semua lapisan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan yang kondusif untuk pengembangan keswadayaan masyarakat dalam penanggulangan kemiskinan khususnya dan pembangunan masyarakat kelurahan pada umumnya.

Lembaga-lembaga partisipatif lainnya yaitu Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM), yang dibentuk di tingkat komunitas atau masyarakat untuk melakukan agenda kegiatan secara langsung. KSM ini dapat dibentuk oleh siapa saja atau kelompok masyarakat apabila diperlukan untuk melaksanakan suatu kegiatan tertentu yang dianggap perlu bagi pembangunan dalam komunitas tersebut. KSM ini diorganisasikan oleh tim relawan dan dibantu oleh tim fasilitator terdiri dari warga kelurahan yang memiliki ikatan kebersamaan (common bond) dan berjuang untuk mencapai tujuan bersama. KSM ini bukan hanya sekedar pemanfaat pasif melainkan sekaligus sebagai pelaksana kegiatan terkait dengan penangulangan kemiskinan yang diusulkan untuk didanai oleh LKM melalui berbagai dana yang mampu digalang.

Ruang lingkup kegiatan PNPM-M pada dasarnya terbuka bagi semua kegiatan penanggulangan kemiskinan yang diusulkan dan disepakati masyarakat, meliputi:

(37)

b. Penyediaan sumberdaya keuangan melalui dana bergulir dan kredit mikro untuk mengembangkan kegiatan ekonomi masyarakat miskin. Perhatian yang lebih besar diberikan bagi kaum perempuan untuk memanfaatkan dana bergulir ini.

c. Kegiatan terkait peningkatan kualitas sumberdaya manusia, terutama yang bertujuan mempercepat pencapaian target MDGs.

d. Peningkatan kapasitas masyarakat dan pemerintahan lokal melalui penyadaran kritis, pelatihan ketrampilan usaha, manajemen organisasi dan keuangan, serta penerapan tata kepemerintahan yang baik.

Jenis bantuan untuk masyarakat dalam kegiatan PNPM-M Perkotaan diwujudkan dalam bentuk bantuan pendampingan dan bantuan dana.

a. Bantuan Pendampingan

Bantuan pendampingan ini diwujudkan dalam bentuk penugasan konsultan dan fasilitator beserta dukungan dana operasional untuk mendampingi dan memberdayakan masyarakat agar mampu merencanakan dan melaksanakan program masyarakat untuk menanggulangi kemiskinan di kelurahan masingmasing.

b. Bantuan Dana

Bantuan dana diberikan dalam bentuk dana BLM (dana bantuan langsung masyarakat). BLM ini bersifat stimulan dan sengaja disediakan untuk memberi kesempatan kepada masyarakat untuk berlatih dengan mencoba melaksanakan sebagian rencana kegiatan penanggulangan kemiskinan. Dana bantuan langsung masyarakat dapat digunakan untuk kegiatankegiatan yang termasuk dalam komponen-komponen kegiatan lingkungan, komponen kegiatan sosial, dan komponen kegiatan keuangan.

2.2. Kerangka Pemikiran

(38)

Keswadayaan Masyarakat (BKM) dan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) yang terdapat dilokasi penerapan PNPM-M Perkotaan berpengaruh untuk menanggulangi kemiskinan.

Kemiskinan yang terjadi membentuk partisipasi dari masyarakat untuk bersama-sama keluar dari kondisi ini. Berdasarkan konsep partisipasi yang dijelaskan oleh Arstein (1969) yang bertingkat mulai dari partisipasi yang terendah sampai yang tertinggi, seperti manipulasi, terapi, pemberitahuan, konsultatif, penenangan, kemitraan, pendelegasian, dan kontrol masyarakat.

(39)

Keterangan:

[image:39.595.75.554.74.742.2]

: mempengaruhi (kuantitatif) --- : mempengaruhi (kualitatif)

Gambar 3. Kerangka Analisis Partisipasi Masyarakat Miskin dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perkotaan di Desa Cadasngampar

KEMISKINAN Dinalisis dengan karakteristik rumah tangga miskin BPS 2005 Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM-M) Perkotaan di

desa Cadasngampar PARTISIPASI

Diukur dari tingkat partisipasi: 1.Manipulasi 2.Terapi 3.Pemberitahuan 4.Konsultatif 5.Penenangan 6.Kemitraan 7.Pendelegasian 8.Kontrol Masyarakat PEMBERDAYAAN Tingkat keberdayaan dianalisis dengan indikator;

1.Perbedaan pada tingkat pendapatan

2.Perubahan pada tingkat kepemilikan aset

3.Perubahan pada pola konsumsi

4.Perubahan pada mata pencaharian dan modal usaha Lembaga masyarakat: -Badan Keswadayaan Mayarakat (BKM) -Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) Penyebab kemiskinan:

(40)

2.3. Hipotesis

Hipotesis penelitian ini disajikan sebagai berikut:

1. Jika tingkat kemiskinan meningkat, maka tingkat partisipasi terhadap kegiatan masyarakat meningkat.

2. Jika tingkat partisipasi meningkat, maka tingkat keberdayaan masyarakat pemanfaat Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM-M) Perkotaan juga meningkat.

2.4. Definisi Operasional

1. Kemiskinan rumah tangga miskin menurut BPS (2005) adalah rumah tangga yang tergolong didalam 14 variabel kemiskinan, minimal 9 dari 14 variabel terpenuhi maka dikatakan sebagai rumah tangga miskin.

2. Luas lantai adalah besaran lantai pada rumah masyarakat, diukur dengan meter per segi (m²).

a. Kecil (≤ 8m² per orang) = skor 0 b. Besar (> 8m² per orang) = skor 1

3. Jenis lantai adalah tipe lantai yang digunakan untuk rumah, diukur dari yang berbahan keramik, bambu, kayu murahan, dan tanah.

a. Rendah (semen/ubin) = skor 0 b. Tinggi (keramik) = skor 1

4. Jenis dinding adalah tipe dinding yang digunakan untuk rumah, diukur dari yang berbahan tembok, bambu, kayu, dan rumbia.

a. Rendah (bahan kayu) = skor 0 b. Tinggi (bahan tembok) = skor 1

5. Fasilitas MCK adalah ketersediaan MCK di rumah/lingkungan sekitar, diukur dari yang memakai secara sendiri, bersama, umum, dan tidak ada MCK.

a. Rendah (tidak ada MCK, MCK bersama) = skor 0 b. Tinggi (memakai MCK sendiri) = skor 1

(41)

a. Rendah (obor/senter) = skor 0 b. Tinggi (listrik PLN) = skor 1

7. Sumber air minum adalah cara/alat yang dipakai untuk mendapatkan air minum, diukur dari yang menggunakan air dalam kemasan, ledeng, pompa/sumur, mata air/air hujan/air sungai, dan sungai.

a. Rendah (air sumur) = skor 0 b. Tinggi (air dalam kemasan) = skor 1

8. Bahan bakar untuk memasak adalah alat/cara yang digunakan dalam memasak, diukur dari yang memakai listrik, gas, minyak tanah, dan kayu bakar.

a. Rendah (kayu bakar) = skor 0 b. Tinggi (gas) = skor 1

9. Barang yang dimiliki adalah barang yang dapat dijadikan modal usaha atau dijadikan tabungan, yang diukur dari kepemilikan mobil, sepeda motor, komputer, emas, lemari es, televisi, HP, dan tape radio.

a. Tidak ada (≤ Rp500.000,-) = skor 0 b. Ada (> Rp500.000,-) = skor 1

10. Frekuensi konsumsi makanan yang bergizi ialah intesitas atau seberapa banyak seseorang mengkonsumsi makanan bergizi, yang diukur dari frekuensi mengkonsumsi daging, telur dan susu, ayam, ikan, sayur-sayuran, dan buah-buahan dalam satu minggu.

a. Rendah (satu kali makan dalam seminggu) = skor 0 b. Tinggi (lebih dari satu kali makan dalam seminggu) = skor 1

11. Frekuensi makan dalam satu hari yaitu tingkat dalam mengkonsumsi makanan pokok dalam satu hari, yang diukur dari 1 kali makan dalam satu hari, 2 kali makan dalam satu hari, 3 kali makan dalam 1 hari, dan 4 kali makan satu hari. a. Rendah (satu/dua kali makan dalam sehari) = skor 0

b. Tinggi (lebih dari dua kali makan dalam sehari) = skor 1

(42)

a. Rendah (membeli satu stel dalam setahun) = skor 0 b. Tinggi (membeli lebih dari satu stel dalam setahun) = skor 1

13. Sumber mata pencaharian adalah pekerjaan yang dilakukan oleh kepala keluarga, yang diukur dari pengeluaran satu bulan.

a. Rendah (kurang dari Rp600.000,- per bulan) = skor 0 b. Tinggi (lebih dari Rp600.000,- per bulan) = skor 1

14. Pendidikan adalan jenjang pendidikan terakhir yang pernah ditempuh oleh kepala keluarga, yang diukur dengan tingkat tidak bersekolah, Sekolah Dasar (SD), Madrasah Ibtidaiyah, SMP Umum/Kejuruan, Madrasah Tsanawiyah, SMA, Madrasah Aliyah, SMK, Program D.I/D.II, Program D.III, dan Program D.IV/S1.

a. Rendah (tidak bersekolah) = skor 0

b. Tinggi (S1) = skor 1

15. Biaya pengobatan adalah uang yang dikeluarkan untuk membayar pengobatannya, diukur dari tingkat kesulitan dalam membayar pengobatan dalam 6 bulan terakhir.

a. Tidak mampu = skor 0 b. Mampu = skor 1

16. Kemiskinan menurut BPS adalah kondisi yang berada dibawah garis nilai standar kebutuhan minimum, baik untuk makanan dan non-makanan, diukur dari pengeluaran rumah tangga satu bulan terakhir (konsumsi) dan 1 tahun terakhir (non-konsumsi).

Garis kemiskinan Tahun 2010 di Provinsi Jawa Barat adalah sebesar Rp.201.138,- per kapita per bulan. Besarnya nilai Garis Kemiskinan Makanan (GKM) pada Maret 2010 adalah sebesar Rp144.942,- dan untuk Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM) sebesar Rp56.196,-.

Orang miskin: ≤ Rp201.138,- per kapita per bulan. Orang tidak miskin: >Rp201.138,- per kapita per bulan.

(43)

1. Non miskin skor 1<X≤8 2. Miskin skor 8<X≤14

17. Kemiskinan absolut adalah garis kemiskinan yang ditetapkan berdasarkan standar nasinonal yakni berdasarkan 14 kiteria rumah tangga miskin, dan standar lokal yakni berdasarkan 8 kriteria rumah tangga miskin menurut masyarakat Desa Cadasngampar.

18. Kemiskinan relatif adalah perubahan posisi sosial yang tetap berada dibawah garis kemiskinan nasional, diukur dari tangga kemiskinan dari 1-10.

Rumah tangga miskin: di bawah persepsi garis kemiskinan responden. Rumah tangga tidak miskin: di atas persepsi garis kemiskinan responden.

19. Partisipasi masyarakat adalah bentuk keberdayaan masyarakat yang diwujudkan dalam keterlibatan mental dan emosional, dalam situasi kelompok yang mendorong mereka memberikan kontribusi pada pencapaian tujuan kelompok, dilihat dari 8 tingkat partisipasi yang diukur dari skor penilaian berdasar tanggapan responden terhadap kontribusinya dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM-M) Perkotaan.

20. Manipulasi merupakan partisipasi yang tidak perlu menuntut respon partisipan untuk terlibat banyak (pasif).

21. Terapi ialah dengar pendapat, tetapi pendapat dari partisipan sama sekali tidak dapat mempengaruhi kedudukan program yang sedang dilaksanakan.

22. Pemberitahuan sekedar pemberitahuan searah atau sosialisasi dari fasilitator Program Nasional Pemberdayaan Mayarakat Mandiri (PNPM-M) Perkotaan kepada masyarakat miskin desa Cadasngampar.

23. Kosultatif ialah dimana kelompok masyarakat miskin diberikan pendampingan dan konsultasi oleh pihak-pihak terkait (pemerintah dan PNPM-M Perkotaan), sehingga pandangan-pandangan diberitahukan dan tetap dilibatkan dalam penentuan keputusan (dialog dua arah).

(44)

25. Kemitraan ialah dimana kondisi partisipan dan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM-M) Perkotaan sebagai mitra sejajar sehingga dapat mewujudkan keputusan bersama melalui negosiasi (partisipasi fungsional).

26. Pendelegasian kekuasaan merupakan bentuk partisipasi masyarakat. Pihak Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM-M) Perkotaan sudah memberikan kewenangan kepada masyarakat miskin untuk mengurus sendiri keperluannya terkait dengan program dan masyarakat miskin telah melakukan perencanaan, implementasi dan monitoring terhadap program. 27. Kontrol masyarakat sudah terbentuk independensi dari monitoring dari

masyarakat terhadap pemerintah dan pihak Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM-M) Perkotaan.

Penilaian tingkat partisipasi adalah akumulasi skor pada pertanyaan partisipasi yang ditentukan sebagai berikut.

1. Manipulasi (manipulative) skor 1 < X ≤ 8 2. Terapi (therapy) skor 8 < X ≤ 16

3. Pemberitahuan (informing) skor 16 < X ≤ 24 4. Konsultasi (consultation) skor 24 < X ≤ 32 5. Penenangan (placation) skor 32 < X ≤ 40 6. Kerjasama (partnership) skor 40 < X ≤ 48 7. Pendelegasian wewenang (delegated power) skor 48 < X ≤ 56 8. Pengawasan oleh komunitas (citizen power) skor 56 < X ≤ 64

28. Pemberdayaan merupakan sebuah proses dengan mana orang menjadi cukup kuat berpartisipasi dalam, berbagi pengontrolan atas, dan mempengaruhi kehidupannya.

29. Perbedaan pada tingkat pendapatan merupakan perubahan pendapatan sebelum dan sesudah berpartisipasi dalam PNPM-M Perkotaan, dilihat dari pengeluaran konsumsi/bulan, dan pengeluaran konsumsi/tahun.

(45)

3. Lebih tinggi = skor 3

30. Perubahan pada tingkat kepemilikan aset adalah perubahan barang yang dapat dijadikan modal atau tabungan, yang diukur dari kepemilikan mobil, sepeda motor, komputer, emas, lemari es, televisi, HP, dan tape radio.

1. Lebih rendah = skor 1 2. Tetap = skor 2 3. Lebih tinggi = skor 3

31. Perubahan pada pola konsumsi merupakan perubahan mengkonsumsi barang/makanan ke arah yang lebih baik, diukur dari tingkat pengeluaran yang lebih tinggi terhadap konsumsi makanan dan non-makanan.

1. Lebih rendah = skor 1 2. Tetap = skor 2 3. Lebih tinggi = skor 3

32. Perubahan mata pencaharian dan modal usaha merupakan perubahan pekerjaan dan modal usaha ke arah yang lebih baik, diukur dari pekerjaan sebelum dan setelah adanya Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM-M) Perkotaan.

1. Lebih rendah = skor 1 2. Tetap = skor 2 3. Lebih tinggi = skor 3

Penilaian tingkat keberdayaan adalah akumulasi skor pada pertanyaan pemberdayaan yang ditentukan sebagai berikut.

1. Tidak berdaya skor 1 < X ≤ 6 2. Berdaya skor 6 < X ≤ 12

(46)

BAB III

PENDEKATAN LAPANGAN

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret hingga April 2011. Penelitian ini dilakukan di Desa Cadasngampar, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan Desa Cadasngampar pernah menjadi penerima bantuan dalam program Inpres Desa Tertinggal (IDT), dan sekarang Desa Cadasngampar merupakan salah satu desa lokasi pelaksana PNPM-M Perkotaan yang dipandang berhasil oleh para

stakeholder PNPM-M Perkotaan. Pertimbangan keberhasilan tersebut memungkinkan peneliti untuk melihat aspek yang menentukan partisipasi masyarakat dalam program pemberdayaan masyarakat yang dikembangkan oleh PNPM-M Perkotaan tersebut serta dapat melihat keberdayaan masyarakat yang diperoleh dari keberhasilan program tersebut.

3.2. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif yang didukung oleh data-data kualitatif. Kombinasi ini dilakukan untuk memperkaya data dan lebih memahami fenomena sosial yang diteliti. Pendekatan kuantitatif dilakukan dengan metode survai, yaitu penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang pokok. Penelitian survai menjelaskan hubungan kausal dan pengujian hipotesa yang dikategorikan sebagai penelitian penjelasan (explanatory research) (Singarimbun dan Effendi 1989). Hubungan kausal yang dijelaskan dalam penelitian ini adalah hubungan tingkat kemiskinan terhadap tingkat partisipasi, serta tingkat partisipasi terhadap tingkat keberdayaan masyarakat miskin dalam pelaksanaan PNPM-M Perkotaan.

(47)

melakukan wawancara mendalam sekaligus terkait hal-hal yang diperlukan yang berada diluar kuesioner.

Pendekatan kualitatif berfungsi dalam mencari informasi mengenai tingkat pertisipasi masyarakat melalui proses pelaksanaan PNPM-M Perkotaan. Data primer diperoleh melalui wawancara mendalam dengan panduan pertanyaan untuk menggali ide secara mendalam dari informan. Informan yang dipilih adalah Fasilitator Kelurahan (Faskel), anggota Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) , dan kelompok masyarakat yang pernah dan atau terlibat dalam penanganan obyek penelitian. Data sekunder berasal dari dokumen-dokumen instansi terkait, hasil penelitian sejenis maupun publikasi buku-buku yang menunjang pembahasan penelitian.

Jenis data yang disajikan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer didapatkan dengan metode wawancara mendalam, pengamatan atau observasi, dan survai melalui kuesioner. Data sekunder didapatkan melalui penelusuran literatur dan dokumen resmi terkait pelaksanaan PNPM-M Perkotaan, hasil penelitian sejenis, beberapa situs terkait maupun publikasi buku-buku yang menunjang pembahasan penelitian.

Data kualitatif didapatkan melalui analisis dokumen terkait dengan PNPM-M Perkotaan serta melalui metode wawancara mendalam terhadap tim Fasilitator Kelurahan (Faskel), anggota Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) , dan kelompok masyarakat yang pernah dan atau terlibat dalam penanganan obyek penelitian. Informan dipilih secara purposif. Peneliti juga menggunakan metode recall, dimana peneliti meminta kepada responden untuk mengingat kembali secara spesifik dan menghitung secara bersama-sama pengeluaran konsumsi dan non konsumsi sebelum dan sesudah pelaksanaan PNPM-M Perkotaan. Data kuantitatif didapat melalui penelusuran data sekunder dan survai terhadap rumah tangga yang menerima manfaat dari PNPM-M Perkotaan selama 2009-2011 di Desa Cadasngampar.

(48)

masyarakat mana yang lebih dominan antara masyarakat miskin dan masyarakat nonmiskin, karena sasaran utama dari PNPM-M Perkotaan adalah masyarakat miskin.

Penentuan jumlah sampel sebanyak 90 responden berdasarkan tipe kegiatan PNPM-M Perkotaan, yang diambil dari 30 responden aspek lingkungan, 30 responden aspek ekonomi, dan 30 responden aspek sosial. Populasi sebanyak 1.155 jiwa. Pertanyaan kuesioner diarahkan untuk mengetahui kondisi fisik, fasilitas, perlengakapan dan lingkungan tempat tinggal, serta pengeluaran rumah tangga secara rinci untuk mengetahui pendapatan dan tingkat kemiskinan secara riil.

3.3. Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Metode analisis yang digunakan penelitian ini, menggunakan metode analisis deskriptif kuantitatif dan metode analisis deskriptif kualitatif. Analisis kuantitatif didapatkan dari pengolahan data hasil kuesioner. Dalam analisis deskriptif kuantitatif ini, data yang telah terkumpul kemudian ditabulasikan untuk disajikan dalam bentuk tabel frekuensi dan grafik. Selanjutnya data kuantitatif dilakukan pengujian statistik untuk melihat korelasi antara tingkat kemiskinan terhadap tingkat partisipasi, serta korelasi antara tingkat partisipasi dan tingkat keberdayaan,, yang diuji dengan Rank Spearman karena pengukurannya menggunakan skala ordinal. Analisis terhadap data kuantitatif dilakukan melalui perangkat lunak Microsoft Excel 2007 dan SPSS 15.0 for Windows. Hasil perhitungan kuantitatif selanjutnya dianalisis dengan menggunakan pendekatan deskriptif yang kemudian menjadi bahan masukan bagi analisis selanjutnya yaitu analisis secara kualitatif. Metode analisis kedua yang dipakai adalah metode analisis deskriptif kualitatif, dimana analisis ini digunakan untuk menggambarkan karakteristik responden secara khusus, peranan dan kredibilitas fasilitator serta pengaruh BKM terhadap pelaksanaan PNPM-M Perkotaan. Kemudian, kutipan pernyataan responden maupun informan yang dijadikan sebagai penguatan data kuantitatif

(49)

3.4. Bias Penelitian

Bias pada suatu penelitian dimungkinkan dapat terjadi, besarnya bias yang dapat ditoleransi pada suatu penelitian tergantung pada sifat penelitian itu sendiri (Singarimbun dan Effendi 1989). Umumnya bias penelitian terjadi karena pertama, bias karena pemakaian sampel dan kedua, bias bukan oleh pemakaian sampel.

3.4.1. Bias Karena Penarikan Sampel

Menurut Singarimbun dan Effendi (1989), semakin besar sampel semakin kecil pula terjadinya bias atau penyimpangan, dan sampel yang tergolong besar yang distribusinya normal adalah sampel yang jumlahnya lebih dari 30 kasus yang diambil secara random. Penelitian ini menggunakan sampel yang tergolong ke dalam sampel berukuran besar karena jumlahnya lebih dari 30 kasus, juga menggunakan acak sederhana dan acak terstratifikasi sehingga pada penelitian ini kemungkinan terjadinya penyimpangan karena pemakaian sampel sangat kecil.

3.4.2. Bias Bukan oleh Pemakaian Sampel

(50)

menyatakan berapa pendapatan mereka. Peneliti menyiasati dengan cara menghitung bersama-sama antara peneliti dan responden terhadap pengeluaran konsumsi dan non konsumsi responden sebelum dan sesudah adanya PNPM-M Perkotaan.

3.5. Jenis Kelamin Responden

Jenis kelamin merupakan identitas biologis responden yang dikategorikan menjadi laki-laki dan perempuan. Responden dalam penelitian ini terdiri dari 48 reponden laki-laki dan 42 reponden perempuan yang tersebar di dalam tiga aspek kegiatan, yang dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Jenis Kelamin dan Aspek Kegiatan PNPM-M Perkotaan di Desa Cadasngampar, Kabupaten Bogor,

Provinsi Jawa Barat Tahun 2011

Jenis Kelamin

Aspek Kegiatan Total Persentase (%) Lingkungan Ekonomi Sosial

Laki-laki 29 15 4 48 53.3

Perempuan 1 15 26 42 46.7

Total 30 30 30 90 100.0

Tampak dari hasil penelitian, aspek lingkungan lebih didominasi oleh jenis kelamin laki-laki sebanyak 29 responden, aspek ekonomi memiliki kesempatan yang sama antara laki-laki dan perempuan, sedangkan aspek sosial lebih didominasi

Gambar

Tabel 13. Jumlah dan Persentase Responden Menurut Variabel Kemiskinan
Tabel 1. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia, Tahun 1970-2010
Gambar 1. Tingkatan Partisipasi Arstein
Gambar 2. Hubungan Seimbang Antara Pemerintah dan Masyarakat
+7

Referensi

Dokumen terkait

Toisaalta vain harvoissa puheis- sa ja diskursseissa puhuttiin vahvasti esimerkiksi sellaisista lähestymistavan perusperi- aatteista kuin kaikkien maailman ihmisten

Kecenderungan skala usaha dalam jumlah yang terbatas pada kedua model usaha seperti ini hanya untuk mendapatkan keuntungan seadanya, disesuaikan dengan modal (uang) yang

Ide pembentukan KPH pada wilayah tersebut sangat menarik dari sisi penguasaan lahan hutan karena kawasan hutan seluas sekitar 54.000 ha tersebut, yang terdiri atas Hutan

Pentingnya loyalitas pelanggan bagi perusahaan sudah tidak diragukan lagi, banyak perusahaan sangat berharap dapat mempertahankan pelanggannya dalam jangka panjang, bahkan

Aplikasi Web E-commerce pada Inkubator Bisnis Politeknik Negeri Sriwijaya adalah sebuah perangkat lunak e-commerce yang terdiri dari kumpulan perintah-perintah yang

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi cendawan dari tanah perakaran bambu yang dapat sebagai endofit dan menekan penyakit akar gada pada tanaman brokoli.. Ada dua

Transgender adalah istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan orang yang melakukan, merasa, berpikir atau terlihat berbeda dari jenis. kelamin yang ditetapkan saat

Pada tahap awal Define peneliti menganalisis kebutuhan siswa untuk mengidentifikasi masalah Selanjutnya pada tahapan Design, yaitu menyiapkan dan merancang bahan ajar