ANALISIS DISPARITAS DAN INTERAKSI STRUKTUR SPASIAL
DI TIMOR - LESTE
LUCAS SOARES
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Analisis Disparitas dan Interaksi Struktur Spasial di Timor-Leste” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2017
Lucas Soares H152148091
RINGKASAN
LUCAS SOARES. Analisis Disparitas dan Interaksi Struktur Spasial Di Timor - Leste. Dibimbing oleh ERNAN RUSTIADI dan SRI MULATSIH.
Perencanaan spasial regional merupakan alat untuk mencapai tujuan pembangunan secara umum. Pareto optimal perencanaan spasial merupakan pra-syarat untuk terbentuknya keterkaitan, konektivitas, dan keterpaduan jaringan yang dibentuk dari struktur perencanaan spasial dan efisiensi di pusat kegiatan serta jaringan pembangunan spasial di Timor-Leste.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan menganalisis ketimpangan (disparity) pembangunan antar regional, mengkaji dan menganalisis keterkaitan dan interaksi struktur spasial antar distrik serta merumuskan perwilayahan pengembangan regional pusat kegiatan nasional (PKN) dan PKR berbasis struktur spasial. Data yang digunakan terdiri dari infrastruktur, fasilitas publik dalam kegiatan nasional dan pusat aktivitas distrik dan pusat – pusat kegiatan. Data fasilitas publik diantaranya sekolah dasar, sekolah menengah, sekolah lanjut, rumah sakit umum, pusat kesehatan masyarakat, health posts, sisca (puskesmas keliling), klinik, bank, pelabuhan, total private households, telepon, radio, TV, motor, sepeda, motor, tractor, rice husker, rice mill, pasar, kantor pos, terminal, gereja, toko dan supermarket, bandara, dan kadin, jumlah penduduk seluruh distrik di Timor Leste, jarak antar wilayah dan biaya transportasi. Penelitian ini menggunakan model analisis skalogram, gravitasi, serta analisis jarak dan biaya.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: pertama, tingkat ketimpangan pembangunan antar distrik di Timor Leste sangat tinggi disebabkan kurangnya fasilitas publik dan kurangnya akses pelayanan umum yang ditunjukkan oleh 6 distrik dari 12 distrik yang memiliki hirarki 3, dan 4 distrik yang memiliki hirarki 2, serta 2 distrik yang memiliki hirarki 1. Ketimpangan yang terjadi di Timor Leste sangat beragam, namun ada satu distrik yang memiliki ketimpangan yang tinggi yaitu Liquica. Distrik dengan nilai interaksi wilayah terendah yaitu: Viqueque, Lautem, Covalima, dan Manufahi, kemudian NIIAD yang cukup signifikan adalah: Baucau, Ainaro dan Aileu. Tingkat interaksi yang lebih signifikan yaitu: Liquiçá, Ermera dan yang paling kuat interaksinya adalah Dili. Penelitian ini merekomendasikan pusat kegiatan nasional dan regional, di bagian Utara (Dili) dan tiga pusat kegiatan regional yaitu Ermera di bagian Barat, Baucau di bagian Timur, dan Manufahi di bagian Selatan Timor-Leste.
Disparitas spasial yang tinggi terjadi baik fasilitas publik (fasilitas pendidikan, kesehatan, perekonomian) dan aksesbilitas (jarak dari Dili) serta biaya transportasi yang cukup tinggi. Hasil tersebut dijadikan pertimbangan untuk menentukan distrik sebagai pusat pertumbuhan dan pusat kegiatan, untuk mengurangu disparitas antar distrik di Timor Leste, perhatian yang tinggi perlu diberikan pada distrik hinterland dengan menambah dan melengkapi fasilitas umum dan akses pelayanan jasa pada masyarakat.
SUMMARY
LUCAS SOARES. Disparities and Spatial Structure Interaction in Timor-Leste. Supervised by: ERNAN RUSTIADI and SRI MULATSIH.
Regional spatial planning not as a goals but as a tools to achieve general goals or objectives of development. Pareto Optimal of spatial planning as a tools for necessary of pre-conditions, interlinkages, connectivity and network which composed of optimal spatial structure planning and efficiency in central activities and regional development infrastructure network in Timor-Leste.
This research have three objectives: analysis development of disparities, analysis of spatial linkages and interaction between district and to formulate national and regional activities center with its hinterland in Timor-Leste. This research use the data of public facilities like elementary school, junior high school, senior high school, public hospitals, community health center, health posts, sisca, private clinic, bank, port, total private households, telephone, radio, TV, motor, tractor, rice husker, rice mill, market, post office, terminal, church, supermarket, airport, chamber of commerce and industry, district population, regional distance and transportation cost.
The result of research show that: First, the level of development disparities between districts in Timor-Leste are very high because of lack of public facilities and have a minimum access to public services as indicated by 6 districts from 12 categories are hierarchy 3, 4 districts are hierarchy 2 and 2 districts are hierarchy 1. Secondly, disparities in Timor Leste very diverse, but there is one district which has high disparities is Liquiçá. Based on regional interaction level, Viqueque, Lautem, Covalima and Manufahi districts were consider as the lowest than districts with sufficients interaction are Baucau, Ainaro, and Aileu. Liquiçá and Ermera were consider has high interaction and Dili has the highest interaction and consider as national activity center in the north. Three regional activity center (RAC) are Ermera in the west, Baucau in the east and Manufahi in the south of Timor-Leste.
Most of regions are still have high spasial disparities, in term of public fasilities (education, healthy, and economy), accessibility (far from Dili and high transportation cost). The best solutions for spatial disparities reduction between districts in Timor-Leste is giving full attention to increase the availability their public facilities and access in social services to communities.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
ANALISIS DISPARITAS DAN INTERAKSI STRUKTUR SPASIAL
DI TIMOR-LESTE
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2017
PRAKATA
Terimakasih penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas pertolongan-Nya sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Penelitian ini mengambil tema pembangunan regional dengan judul “Analisis Disparitas dan Interaksi Struktur Spasial di Timor-Leste”.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu terselesaikannya penelitian ini. Apresiasi dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan secara khusus kepada Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M. Agr dan Dr. Ir. Sri Mulatsih, MSc.Agr selaku komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan dan masukan selama proses penelitian ini. Terima kasih juga disampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, M.S selaku dosen penguji luar ujian tesis dan Dr. Ir. Wiwiek Rindayati, MSi selaku perwakilan program studi atas saran dan masukannya demi perbaikan tesis ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, MSc selaku Ketua Program Studi PWD beserta para pengelola Program Magister pada Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan yaitu Mbak Puput Malahayati Sari serta seluruh dosen yang telah berbagi ilmu kepada penulis. Ucapan terima kasih para teman-teman PPs-PWD yang telah memberi masukan dan saran pada Kolokium dan Seminar. Khususnya pada Yufita Listiana, Tomi dan Khaeri yang telah memberikan bantuan pemikiran, penulis sampaikan banyak terima kasih.
Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Pemerintah Republik Demokratik Timor-Leste yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk melanjutkan pendidikan Program Magister pada Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan di Sekolah Pascasarjana IPB. Tak lupa penulis juga mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua tercinta (Almarhum António dan Maria) beserta keluarga besar Bili Besi Bili Manu di Loidahar-Liquiçá yang telah memberikan dukungan, dan doa kepada penulis, terimakasih kepada Istri Anabela da C. Soares dan kedua anak Noibot Rafaela da C. Soares dan Sócrates D. Soares yang telah memberikan semangat hingga selesainya tesis ini.
Saran dan kritik membangun sangat penulis harapkan untuk penyempurnaan Karya Ilmiah ini. Penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi pembaca serta bagi pemerintah Timor Leste dalam merencanakan pembangunan yang lebih baik di masa depan.
Bogor, Februari 2017
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL xv
DAFTAR GAMBAR xv
DAFTAR LAMPIRAN xvi
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 5
2 TINJAUAN PUSTAKA 5
Teori Perencanaan Pembangunan 5
Kebijakan Pembangunan 6
Penataan dan Perencanaan Spasial 6
Politik Spasial pada Kebijakan Publik 7
Konsep Perencanaan Spasial 8
Konsep Ekonomi Geografi Baru (The New Economic Geography) 10
Pendekatan Alokasi Sumberdaya Secara Spasial 10
Indikator, Keberlanjutan dan Kinerja Pembangunan Regional 11
Kerangka Pemikiran (Conceptual Framework) 13
3 METODE PENELITIAN 15
Jenis dan Sumber Data 15
Analisis Data 15
Merumuskan Pengembangan Regional PKN dan PKR berbasis struktur
spasial 19
4 GAMBARAN UMUM TIMOR-LESTE 19
Struktur Administratif Regional Timor-Leste 19
Jumlah penduduk dan Fasilitas di Timor-Leste 20
Kebijakan Pembangunan dan Perencanaan di Timor-Leste 25
5 HASIL DAN PEMBAHASAN 28
Disparitas Spasial Regional di Timor-Leste 28
Dinamika Hirarki Distrik-distrik Hasil Skalogram Dengan Peubah
Berbeda 34
Interaksi dan Keterkaitan Spasial Regional di Timor-Leste 35
Analisis Jarak dan Biaya 37
Rumusan dan Sintesis Perwilayahan Pengembangan Regional PKN dan PKR Berbasis Disparitas dan Interaksi Spasial di Timor-Leste. 40
6 SIMPULAN DAN SARAN 43
SIMPULAN 43
DAFTAR PUSTAKA 44
LAMPIRAN 47
DAFTAR TABEL
1 Peubah fasilitas masing-masing skalogram 16
2 Struktur administrasi Timor Leste 20
3 Jenis transportasi dan kapasitas angkut 25
4 Hirarki Distrik berdasarkan hasil analisis skalogram 1 29 5 Hirarki Distrik berdasarkan hasil analisis skalogram 2 31 6 Distribusi hirarki distrik hasil analisis skalogram beda peubah 34 7 Analisis interaksi Dili dengan distrik lainnya 35 8 Nilai interaksi antar distrik berdasarkan peubah penduduk di Timor
Leste 36
9 Deskriptif data 37
10 Jarak antar distrik dalam Km 38
11 Biaya transport dari Dili ke masing-masing Distrik 38
12 Biaya tempuh antar Distrik US $ 40
13 Analisis perwilayahan pengembangan regional 41
DAFTAR GAMBAR
1 Integrasi PPSS, PSSS, dan PASS dengan Penataan Institusi
(Institutional Arrangements) 3
2 Indikator pembangunan berkelanjutan menurut Friend (2000) 12 3 Sistematika penyusunan konsep-konsep indikator kinerja
pembangunan regional 13
4 Kerangka Pemikiran Penelitian 14
5 Sebaran penduduk berdasarkan Distrik 21
6 Kepadatan penduduk dari 12 Distrik pada tahun 2012 21 7 Jumlah fasilitas pendidikan di masing-masing Distrik 22 8 Rincian jumlah fasilitas pendidikan masing-masing Distrik 22
9 Peta pelabuhan regional di Timor Leste 23
10 Jumlah dan jenis transportasi darat per Distrik 24 11 Tahapan pada RPS (Rencana Pembangunan Strategis) Timor Leste 27
12 Peta hirarki skalogram 1 30
13 Peta wilayah skalogram 2 32
14 Peta hirarki skalogram 3 32
15 Peta migrasi antar distrik di Timor Leste 33
16 Peta hirarki skalogram 4 33
17 Persentase hirarki dengan metode skalogram 34
18 Peta biaya transportasi dari Dili ke 12 Distrik di Timor Leste 39 19 Peta waktu tempuh ke Dili (Pusat Kegiatan Nasional = PKN) di
Timor Leste 39
20 Peta hirarki 42
DAFTAR LAMPIRAN
1
Jumlah fasilitas pendidikan
482 Jumlah fasilitas kesehatan 49
3 Pertumbuuhan ekonomi 50
4 Aspek demografi berdasarkan urban/rural 51
5 Persentase rumah tangga dengan akses air minum aman 51 6 Persentase rumah tangga berdasarkan pembuangan limbah manusia 51 7 Persentase rumah tangga yang memiliki fasilitas 52
8 Jenis transportasi dan kapasitas angkut 52
9 Nilai angka interaksi berdasarkan peubah penduduk dan jarak 53
10 Hasil skalogram 1 60
11 Peubah skalogram 2 61
12 Hasil skalogram 3 (tidak ada peubah bernilai nol) 63
13 Hasil skalogram 3 64
14 Hasil skalogram 4 (peubah yang memiliki nilai nol) 65
15 Hirarki skalogram 4 66
16 Hirarki-skalogram, indeks pembangunan regional (IPR), karakteristik
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pembangunan adalah suatu proses multidimensional yang melibatkan berbagai perubahan-perubahan mendasar dalam struktur sosial, tingkah laku sosial, dan institusi sosial, disamping akselerasi pertumbuhan ekonomi, pengurangan ketimpangan pendapatan, serta pemberantasan kemiskinan (Todaro dan Smith, 2012). Tujuan dari pembangunan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara merata. Oleh karena itu dalam pembangunan diperlukan pertumbuhan ekonomi yang disertai dengan distribusi pendapatan yang merata. Seperti yang disampaikan oleh Santosa (2015) bahwa pertumbuhan ekonomi dan pemerataan ekonomi merupakan dua tujuan pembangunan yang seharusnya dapat dicapai secara bersamaan dalam proses pembangunan ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi tanpa diikuti oleh pemerataan ekonomi akan memperlebar jurang pemisah antara satu kelompok masyarakat dan kelompok lainnya, sementara pemerataan ekonomi tanpa pertumbuhan ekonomi sama halnya dengan meningkatkan kemiskinan suatu daerah (Rubiarko dan Sabda, 2013). Demikian juga menurut pendapat Rustiadi et al. (2011) bahwa pembangunan yang hanya menekankan pada pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita akan menimbulkan persoalan pembangunan yang kompleks. Dalam skala nasional, pertumbuhan ekonomi yang cepat tanpa diimbangi dengan pemerataan, akan menimbulkan ketimpangan wilayah. Ketimpangan wilayah (regional disparity) tersebut juga diikuti oleh ketimpangan tingkat pertumbuhan penduduk serta terjadinya perbedaan struktur ekonomi (Nurhuda dan Prasetyo, 2011).
Permasalahan pembangunan merupakan masalah yang kompleks. Pertanyaan Acemoglu dan Robinson (2012) terkait isu pembangunan yang terjadi di Negara-negara di dunia yaitu: (1) Kenapa (Why) ada negara yang kaya dan lainnya tidak, (2) Kenapa negara gagal (why nations fail)? (3) Kenapa ada negara yang gagal untuk membangun dan ada negara yang berhasil membangun? (4) Kenapa ada negara yang miskin dalam sumberdaya alam potensial dan negara yang kaya dalam sumberdaya alam yang terbatas bahkan kecil? (5) Kenapa kemiskinan terjadi ketimpangan (disparities) secara spasial antar regional, lokal dan antar negara? (6) pertanyaan yang berkaitan dengan ke empat pertanyaan terdahulu adalah: Kenapa ada negara yang maju dan berhasil dalam pembangunan melalui penataan-kembali kelembagaan (re-arrangements institutional) sementara negara lain tidak.
Di tingkat regional ketimpangan wilayah dicirikan oleh perbedaan tingkat perkembangan aktivitas ekonomi dan sosial masyarakatnya. Aktivitas masyarakat tersebut, tergantung pada ketersediaan fasilitas pendukung ekonomi (seperti Bank dan pasar), fasilitas layanan sosial (sekolah, rumah sakit dan lainnya), fasilitas layanan administrasi pemerintah, serta infrastruktur (jalan, alat transportasi dan sebagainya). Oleh karena itu keterjangkauan masyarakat terhadap fasilitas-fasilitas tersebut, menentukan tingkat pelayanan yang bisa diakses, sehingga menentukan kesejahteraan sosial dan ekonomi masyarakat.
sesuai pilihan (convenient choices location) populasi dimana mereka disain untuk melayani (designed to serve) melalui jalan lintasan dan koridor (passage) fasilitas tambahan untuk memperbaiki akses konsumen dan jasa-jasa pelayanan.
Timor-Leste merupakan negara yang baru merdeka (tahun 2002). Pembangunan masih terkonsentrasi pada distrik tertentu, terutama Kota Dili. Disparitas antar distrik di Timor-Leste relatif tinggi. Sebagian besar penduduknya bekerja di sektor pertanian sebanyak 75% (Timor-Leste dalam angka, April 2015). Sistem pertanian dilakukan secara tradisional dan untuk tujuan subsisten, karena sulitnya akses untuk memasarkan output yang dihasilkan. Kendala pemasaran ini menyebabkan tingginya ketimpangan antara distrik yang maju dengan distrik yang tertinggal.
Ketimpangan antar distrik tersebut, perlu dikurangi melalui kebijakan pembangunan fasilitas di distrik-distrik yang akan dijadikan sebagai pusat pertumbuhan. Pemilihan distrik sebagai pusat pertumbuhan sangat penting agar pembangunan fasilitas publik dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk menciptakan multipler effect yang besar. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis ketimpangan pembangunan antar distrik di Timor-Leste serta interaksi struktur spasial antar distrik di Timor-Leste. Kedua indikator tersebut menunjukkan tingkat perkembangan suatu distrik dan kekuatan interaksi (ekonomi dan sosial) dengan distrik yang lainnya. Indikator ini selanjutnya digunakan untuk merumuskan perwilayahan pengembangan regional di Timor-Leste.
Seiring dengan berbagai persoalan realitas dan kompleksitas yang dihadapi maka pembangunan didekati dengan tiga keterkaitan: (i) mengoptimalkan keterkaitan model spasial antar potensi ekonomi intra dan antar regional untuk berbagai kemajuan, (ii) membangun model spasial keterkaitan antar potensi ekonomi intra dan antar regional dengan keterkaitan dan (iii) mempetakan konfigurasi spasial berbagai potensi ekonomi regional dengan kekhasan-kearifan lokal (Sitorus, 2014). Sitorus (2014) menegaskan bahwa semua realitas dan kompleksitas didekati dengan basis data yaitu: (1) berbasis teori ilmiah atau commonsenses yang kuat (make sense), (2) konsisten inter sektoral, inter regional serta antara pusat dan daerah, dan (3) sampling berbasis variasi spasial dan sumber keragaman utama.
Keputusan untuk mengintroduksi (memperkenalkan) praktek perencanaan secara eksplisit pada suatu wilayah harus berkaitan dengan benefit yang diterima (beneficial returns).
cost) dalam mobilisasi manusia dengan mobilisasi barang dan jasa antar regional, antar kota-desa dan antar pusat-pusat kegiatan.
Perencanaan spasial regional bukan merupakan tujuan (goals) tetapi merupakan alat (tools) untuk mencapai tujuan (goals) itu sendiri. Kebijakan pembangunan regional sebagai alat (tools) yang memiliki keterkaitan (interlinkages), konektivitas (connectivity), dan jaringan (network) meliputi perencanaan struktur spasial optimal dan efisiensi dalam pusat-pusat kegiatan dan jaringan prasarana pembangunan regional di Timor-Leste. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan umum (visi, misi dan tujuan) pembangunan yang telah dirumuskan dan ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Strategik (RPS) 2011-2030. Perencanaan spasial optimal merupakan alat (tools) yang dibutuhkan sebagai pra-syarat (necessary of pre-conditions).
Salah satu strategi kebijakan dalam perencanaan pembangunan regional yang berbasis konsep perencanaan spasial sangat berkaitan dengan organisasi spasial, dan perilaku ekonomi serta kelembagan (economic behavior and institutions) dalam mewujudkan pembangunan ekonomi regional dalam pembangunan jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang. Untuk mencapai tujuan pembangunan maka salah satunya dengan Rencana Anggaran Strategik. Tahapan-tahapan dalam komponen tersebut dapat dilihat pada skema gambar dalam Gambar 1.
Penataan Institusi
Gambar 1 Integrasi PPSS, PSSS, dan PASS dengan Penataan Institusi (Institutional Arrangements)
Perbedaan ketimpangan yang sangat besar dapat dilihat dari segi pendapatan dan standar hidup yang terpisah (separate) dari pusat-pusat kegiatan nasional dan regional. Pusat kegiatan nasional yang mempunyai akses sarana dan prasarana umum termasuk fasilitas umum salah satunya Bank. Oleh karena itu, selain kebijakan para perencana dan pengambil keputusan dalam pembangunan regional untuk mengintegrasikan PPSS (Perencanaan Pembangunan Strategis-Sinergis), PSSS (Perencanaan Spasial Strategis-Sinergis) perlu mempertimbangkan juga faktor penataan kelembagaan (institutional arrangements factors) yang mempunyai peran politik kebijakan perubahan dalam mengubah semua aspek kehidupan yaitu aspek sosial budaya, aspek ekonomi dan aspek ekologi dalam
Rencana Pembangunan Strategik (RPS)
mewujudkan tujuan umum pembangunan yaitu perubahan dan reformasi kesejahteran (welfare reform and changes).
Proses pembangunan yang melambat dan terhambat datang juga dari permasalahan spasial yang belum memiliki keputusan politik dan kebijakan publik. Kebijakan- kebijakan tentang pembagian wilayah teritorial secara administratif yang jelas sehingga, menimbulkan potensi konflik. Dari mulainya jaman penjajahan Portugal, Belanda, Jepang dan terakhir selama penggabungan dengan NKRI selama 24 tahun serta mencapai kulminasi kemerdekaan penuh pada tanggal 20 Mei tahun 2002. Selama perjalanan dan proses pembangunan belum ada yang namanya Rencana Spasial Strategis Nasional (RSSN) maupun Rencana Spasial Strategis Regional (RSSR) Provinsi dan Kabupaten. Perebutan dan klaim terhadap hak kepemilikan (property rights) antara masyarakat terhadap ruang, tanah dan lahan juga merupakan masalah yang tidak pernah ada solusi dan kebijakan yang tepat. Hal ini dikarenakan belum ada keputusan politik dan kebijakan serta aturan hukum bagi setiap warga negara untuk hak memiliki, hak memanfaatkan, hak komersial, hak pengalihan, hak pemeliharaan dan hak lain yang melekat secara hukum/legalitas.
Penyebab lainnya adalah belum adanya dokumen rencana spasial kota, belum adanya undang-undang rencana strategis spasial regional yang berfungsi untuk mengatur struktur dan pola spasial untuk pusat-pusat kegiatan dan jaringan pembangunan regional seperti sistem hirarki perkotaan, hirarki jaringan jalan, hirarki jaringan prasarana dan sebaran penduduk di pusat-pusat permukiman perkotaan dan perdesaan. Permasalahan lainnya tidak adanya peraturan tentang ijin mendirikan bangunan (IMB), ijin pemanfaatan dan penatagunaan spasial agar optimal dan efisien pengembangan regional.
Terkait perencanaan regional untuk pembangunan perdesaan terdapat tiga tujuan penting yang teridentifikasi sebagai dasar kebijakan dalam perencanaan spasial yang optimal yaitu (i) potensi pertumbuhan yang diutamakan (immediate growth potential = IGP), (ii) potensi pertumbuhan masa depan (future growth potential = FGP), dan (iii) potensi pertumbuhan rendah (low growth potential = LGP) sebagai dasar kebijakan pembangunan regional di Leste. Timor-Leste juga harus membangun tiga aspek lain yang merupakan jaringan kerja (networking) untuk mendorong pengembangan regional dan sub regional termasuk pengembangan perdesaan dan perkotaan melalui tiga kebijakan dan strategi antara lain: (1) infrastruktur, (2) institusi, dan (3) intervensi sebagai jawaban dalam tiga permasalahan utama dalam spasial yaitu: (1) kepadatan (density), (2) jarak (distance), dan (3) pembagian (division).
akan berdampak pada ketimpangan antar regional, ketimpangan antar perkotaan dengan perkotaan dan antar perdesaan dengan perdesaan. Ketimpangan regional yang terjadi salah satunya belum memiliki institusi perencanaan pembangunan di masing-masing daerah (BAPPEDA), karena institusi ini yang menyusun rencana tata ruang daerah. Oleh karena itu penelitian yang dimaksudkan untuk mengetahui disparitas dan interaksi struktur spasial pembangunan regional di Timor-Leste sangat diperlukan.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini, antara lain:
1. Mengkaji dan menganalisis ketimpangan (disparity) pembangunan antar regional di Timor-Leste.
2. Mengkaji dan menganalisis keterkaitan dan interaksi spasial antar distrik di Timor-Leste.
3. Merumuskan perwilayahan pengembangan regional PKN dan PKR berbasis struktur spasial.
2 TINJAUAN PUSTAKA
Teori Perencanaan Pembangunan
Menurut Albert Waterson dalam Adisasmita (2010), perencanaan adalah proses menentukan pilihan dari berbagai alternatif kegiatan untuk mencapai tujuan masa depan, dengan melakukan evaluasi terus menerus agar pelaksanaannya tidak menyimpang dari tujuan. Secara teoritis terdapat dua pertanyaan penting yang berkaitan dengan perencanaan, yaitu (1) mengapa pertumbuhan ekonomi dan perkembangan regional berbeda secara spatial, dan (2) bagaimana membuat konsep perencanaan spasial yang optimal dalam pengembangan regional.
Pertanyaan kedua menjelaskan alasan terjadinya perbedaan struktur spasial melalui dua pendekatan. Pendekatan pertama menekankan pada kepentingan historis dan fokus pada pengembangan distrik tertentu. Pengembangan distrik pada waktu yang lalu, digunakan untuk membuat proyeksi pembangunan masa depan (tujuannya pembangunan regional yang berkelanjutan). Distrik lainnya dianggap sebagai variable yang tidak dapat dikontrol (variabel eksogen). Pendekatan kedua fokus pembangunan pada suatu negara (seluruh distrik sebagai suatu kesatuan). Pola-pola ekonomi dan organisasi spasial yang terbentuk mengikuti evolusi ekonomi nasional dan regional. Kelemahan pendekatan ini adalah bahwa pemberlakukan kebijakan perencanaan spatial regional umumnya untuk jangka waktu terbatas, sehingga memungkinkan terjadinya pergeseran temporal antar regional yang berhubungan.
Kebijakan Pembangunan
Menurut Bank Dunia dalam Somik V. Lall dalam buku Reshaping Regional Policy (Richardson et al, 2011) menyatakan bahwa pada strategi pembangunan perlu mengidentifikasi program spesifik lokasi untuk mengurangi kesenjangan antar wilayah. Program-program yang menurut Bank Dunia dapat mengurangi kesenjangan adalah menyediakan jasa layanan masyarakat seperti kesehatan dan pendidikan, pengembangan sosial, transportasi, air bersih dan sanitasi, pengembangan perdesaan dan perkotaan, dan pengembangan sektor swasta. Pendekatan spasial dapat digunakan untuk menentukan komposisi (jenis dan jumlah) investasi publik yang dapat mempercepat integrasi ekonomi antara wilayah maju dengan wilayah tertinggal.
Bank Dunia menekankan pada tiga macam networking antara regional dan sub regional (atau antara perdesaan dengan perkotaan), yaitu: (1) infrastruktur, (2) institusi, dan (3) insentif, untuk mengatasi tiga masalah utama dalam spasial yaitu: (1) kepadatan (density), (2) jarak (distance), dan (3) spesialisasi (division). Urbanisasi dapat menimbulkan masalah kepadatan penduduk. Dorongan untuk melakukan urbanisasi adalah peluang memperoleh pendapatan yang tinggi di kota. Urbanisasi bisa dicegah, jika kebijakan pembangunan memperhatikan dimensi spasial dengan menciptakan pusat-pusat pertumbuhan (kota) baru.
Penataan dan Perencanaan Spasial
Penataan Spasial (Ruang) adalah suatu proses perencanaan tata ruang (spatial planning proces system) untuk pemanfaatan spasial dan pengendalian spasial untuk memperoleh manfaat ekonomi optimum (Pareto Optimum). Perencanaan spasial merupakan proses untuk menentukan struktur spasial dan pola spasial yang meliputi penyusunan dan penetapan Rencana Tata Ruang (spatial planning).
untuk mencapai tujuan pengembangan regional yaitu meningkatkan kualitas lingkungan hidup.
Pengaturan spasial secara umum adalah pengaturan penggunaan lahan atau dikenal dengan istilah land use planning. Perencanaan penggunaan lahan merupakan perencanaan fisik yang paling utama dalam proses penataan spasial (Rustiadi, 2006; Jayadinata, 1999).
Menurut Rustiadi et al. (2006), penataan spasial pada dasarnya merupakan perubahan yang disengaja. Proses pembangunan dipahami melalui upaya-upaya perubahan kearah kehidupan yang lebih baik, maka penataan spasial mempunyai tiga urgensi, yaitu: (1) optimalisasi pemanfaatan sumberdaya (prinsip produktivitas dan efisiensi atau Pareto Optimum), (2) alat dan wujud distribusi sumberdaya (prinsip pemerataan, keseimbangan dan keadilan atau equity and justice), dan (3) prinsip keberlanjutan (sustainability). Sasaran efisiensi (pareto optimum) merujuk pada manfaat ekonomi, dimana dalam konteks kepentingan publik pemanfaatan spasial diarahkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Spasial harus merupakan perwujudan keadilan dan melibatkan partisipasi masyarakat, oleh karenanya perencanaan yang disusun harus dapat diterima oleh masyarakat. Perencanaan spasial juga harus berorientasi pada keseimbangan fisik lingkungan dan sosial sehingga menjamin peningkatan kesejahteraan global secara berkelanjutan (sustainable global prosperity).
Perencanaan spasial regional mencakup struktur dan pola pemanfaatan spasial yang meliputi tata guna tanah lahan, air dan udara serta tata guna sumberdaya alam yang mengatur penggunaan lahan agar dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Tata guna lahan adalah pola pemanfaatan lahan, baik yang direncanakan maupun yang tidak direncanakan yang meliputi persediaan peruntukan dan penggunaan lahan.
Penataan spasial bertujuan untuk terselenggaranya penataan spasial yang berwawasan lingkungan, terselenggaranya penataan pengaturan pemanfaatan spasial pada kawasan lindung dan budidaya sehingga tercipta pengaturan pemanfaatan spasial yang berkualitas. Upaya penataan spasial ini juga dilakukan untuk menciptakan pembangunan berkelanjutan yang sangat penting dalam kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi. Konsep penataan spasial dapat mengarahkan kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat termasuk dunia usaha. Selanjutnya dikatakan bahwa penataan spasial bukanlah suatu tujuan melainkan alat untuk mencapai tujuan. Dengan demikian kegiataan penataan spasial harus dilakukan terus-menerus untuk mengarahkan masyarakat dalam suatu regional dalam mencapai tujuan-tujuan pokoknya.
Politik Spasial pada Kebijakan Publik
komponen ekosistem, dimana fungsi ekologis masing-masing komponen mempengaruhi keseimbangan dan kontinuitas dari suatu ekosistem.
Penyusunan spasial regional dilakukan oleh pihak pemerintah dan masyarakat termasuk stakeholder merupakan pihak yang memutuskan secara mayoritas dan menerima hasil dari produk RTR Regional (Jayadinata, 1999).
Budiharjo (1999) mengemukakan bahwa manusia memegang peranan penting dalam mengatur pemanfaatan spasial. Spasial harus dipandang sebagai upaya pemanfaatan sumberdaya ruang agar sesuai dengan tujuan dan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dalam UUD 2002 RDTL pasal 139 ayat 1, 2, dan ayat 3 dinyatakan: (ayat 1) “sumberdaya diatas bumi, di dalam bumi, di perairan (territorial water), continental platform dan zona ekonomi eksklusif, yang penting untuk ekonomi, adalah asset (property) negara harus digunakan sebagai wujud yang benar dan pemerataan (equity) untuk semua orang, berdasarkan kepentingan nasional, (ayat 2) “syarat (kondisi) untuk memanfaatkan sumber daya alam (SDA) tersebut yang dinyatakan dalam ayat 1 terdahulu harus sebagai cadangan keuangan wajib, berdasarkan perundang-undangan, dan ayat 3 dinyatakan juga bahwa pemanfaatan sumber daya alam tersebut harus dilihat saksama untuk keseimbagan ekologis (ecological balance) dan menghindari kerusakan ekosistem tersebut)”.
Perencanaan spasial terdiri dari semua tingkat, mulai dari penatagunaan tanah, termasuk perencanaan kota, perencanan desa, perencanaan regional, perencanaan lingkungan, rencana spasial nasional, sampai pada tingkat internasional seperti Uni Eropa. Salah satu definisi awal perencanaan spasial diambil dari European Regional/Spatial Planning Charter (yang disebut juga Torremolinos Charter), yang diadopsi pada tahun 1983 oleh konferensi Menteri-Menteri di Negara Eropa yang bertanggung jawab atas regional planning. Menurut hasil konferensi tersebut, “perencanaan tata ruang (spatial planning) memberikan ekspresi geografis terhadap kebijakan-kebijakan ekonomi sosial, budaya, dan ekologis. Perencanaan tata ruang merupakan kombinasi antara ilmu, teknik administrasi, dan kebijakan untuk pengembangan wilayah melalui strategi pengorganisasian fisik ruang” (Rustina, 2009).
Pada umumnya penyimpangan terhadap rencana spasial stratejik (RSS) regional justru berawal dari kebijaksanaan pemerintah. Hal ini berarti pemerintah di tingkat pusat dan tingkat daerah sebagai penanggungjawab RSS dirasa kurang konsekuen dalam membuat kebijakan pengembangan dan atau pembangunan regional. Penyebab utama kurang efektifnya RSS regional yang diindikasikan dengan berbagai penyimpangan, adalah kurang adanya koordinasi antar pemerintah, masyarakat umum dan stakeholder. Bahkan seringkali dalam perencanaan tidak melibatkan unsur masyarakat, sehingga aspirasi masyarakat tidak terakomodasi di dalam RSS regional.
Konsep Perencanaan Spasial
dilaksanakan secara efektif dan efisien. Penentuan dimana kegiatan-kegiatan pembangunan tersebut akan dilakukan, menyangkut masalah spasial.
Konsep spasial ekonomi regional sangat penting dalam studi pengembangan nasional, regional, sub regional dan perdesaan. Menurut perkembangan historis, tata ruang (spatial) ekonomi mengalami perubahan dan pertumbuhan. Beberapa kasus spasial dapat dikemukakan seperti terjadinya pemusatan kegiatan-kegiatan industri dan urbanisasi ke kota-kota besar, terbentuknya pasar-pasar dan pusat-pusat baru yang menimbulkan perubahan dalam wilayah-wilayah pelayanan dan mungkin pula perlu dilakukan penyempurnaan dalam pembagian kawasan pembangunan secara menyeluruh. Kasus-kasus di atas merupakan topik-topik yang bersifat kontroversial karena mempunyai pengaruh yang mendasar terhadap pengembangan spasial nasional, regional, sub regional dan spasial kawasan. Ahli ilmu bumi, ekonomi, sosiologi, matematika, perencana dan para pengusaha mempunyai pendapat atau gagasan yang berbeda-beda mengenai konsep spasial. Jadi spasial mempunyai bermacam-macam pengertian (Adisasmita, 2010).
Konsep spasial menurut Adisasmita (2010) mempunyai pengertian yang lebih bersifat operasional, misalnya dikaitkan dengan investasi modal, jaringan transportasi, industri, parawisata, dan teknologi pertanian menciptakan perkembangan baru, yang meliputi bahan-bahan material baru dan aturan-aturan baru. Konsep spasial ekonomi regional dapat dibedakan dengan spasial geografis, dimana para ahli geografis (ahli ilmu bumi) menempatkan manusia dalam lingkungan alam, sebaliknya ahli-ahli ekonomi menganggap lingkungan sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi kegiatan-kegiatan manusia. Spasial geografis merupakan tata ruang regional tiga dimensi, sedangkan spasial ekonomi lebih kompleks dan bersifat multidimensional. Spasial ekonomi berbeda pula dengan struktur spasial matematik, yaitu spasial matematik yang bersifat abstrak, variabel ekonomi dinyatakan dalam simbol-simbol matematik, yang disusun dalam formula statistik, dan tidak ada hubungannya dengan lokasi geografis. Jika suatu spasial terbentuk semata-mata oleh variabel ekonomi, maka spasial tersebut merupakan spasial matematik, artinya secara matematik dapat terjadi di mana-mana, akan tetapi sebaliknya spasial ekonomi merupakan aplikasi variabel ekonomi di atas untuk memenuhi kebutuhan manusia pada suatu spasial geografis, dan melalui suatu transformasi matematik dapat dijelaskan proses ekonomi.
Konsep Ekonomi Geografi Baru (The New Economic Geography)
Menurut istilah geografi, spasial regional sering diartikan sebagai suatu regional yang mempunyai batas geografis, yaitu batas menurut fisik, sosial atau pemerintahan yang terjadi dari sebagian permukaan bumi dan lapisan tanah dibawahnya serta lapisan udara di atasnya (Jayadinata, 1999).
Konsep the new economic geografi (NEG) atau geografi ekonomi baru (GEB) yang dikemukakan oleh Richardson et al (2011), membantu menjelaskan fenomena dominasi kota Seoul pada perekonomian di Korea Utara. Pertumbuhan ekonomi yang tidak terdistribusi secara spasial, menyebabkan padatnya bangunan yang tidak tertata dan kemacetan di kota Seoul. Strategi untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan membangun kantor pemerintah yang menyebar (dispersal), seperti yang dilakukan oleh Inggris.
Strategi pengembangan regional di Inggris telah mengalami pergeseran dari “menciptakaan perbedaan” (growth pole theory), ke arah pemerataan dengan menciptakan pusat-pusat pertumbuhan untuk memberdayakan ekonomi lokal. Namun, demikian keseimbangan dalam pengembangan regional sulit dicapai karena beberapa hal seperti perbedaan kepemilikan sumberdaya alam antar regional, strategi pembangunan berbasis sektoral, perbedaan konsep pembangunan (antara pembangunan fisik atau pembangunan sosial), perencanaan yang bersifat top-down, ukuran (size) geografis yang berbeda, perbedaan kebijakan pajak usaha dan kebijakan lainnya. Dalam dokumen resmi pada Deputy Prime Mister di Inggris Raya (2004), ditetapkan prinsip-prinsip utama dalam strategi spasial regional (RSS) dan PPS (Planning Policy Statement). Walikota sebagai penanggungjawab untuk mempersiapkan strategi pengembangan spasial. Pelaksanaannya didukung dengan kebijakan perencanaan, yang merupakan turunan dari kebijakan perencanaan nasional.
Krugman (1991) yang selama ini menggunakan acuan pembangunan ekonomi seperti konsep increasing returns to scale, efisiensi biaya transport, perdagangan interregional versus internasional, jika dikombinasikan dengan konsep GEB, menghasilkan model pembangunan regional yang ideal. Menurut Richardson et al (2011), memberikan alasan penyebab gagalnya konsep kebijakan pengembagan regional dan perencanaan spasial, antara lain: (a) inkonsistensi kebijakan, (b) politik dan kebijakan spasial, dan (c) skala spasial.
Pendekatan Alokasi Sumberdaya Secara Spasial
ekonomi. Artinya kegiatan pemanfaatan spasial harus dikaitkan dengan kegiatan sosial-ekonomi penduduk di daerah baik di kawasan perdesaan maupun di perkotaan. Prinsip kesinambungan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup (The Continuity of Natural Resources and Environment), artinya setiap kegiatan (sosial dan ekonomi) disesuaikan dengan fungsi dan karakteristik regional tersebut. Prinsip demokratisasi alokasi spasial berarti bahwa pemanfaatan sumberdaya regional direncanakan dengan melibatkan peran serta masyarakat lokal (setempat), agar tidak menimbulkan perlawanan bagi sebagian besar masyarakat. Prinsip sinergi regional (Regional Synergy) adalah bahwa kegiatan pembangunan suatu regional harus memperhatikan interaksi fungsional antara unit-unit regional dan sub regional/kawasan dengan regional sekitarnya.
Andrade (1978), menyarankan bahwa dalam Perencanaan Regional dan Pembangunan Nasional penetapan lokasi aktivitas pelayanan di suatu wilayah (region) mempertimbangkan akses dan kenyamanan (convenient) penduduk yang akan dilayani. Perencanaan lokasi pelayanan memerlukan mempertimbangkan efektivitas spasial secara rasional (rational locational planning) yaitu lokasi yang potensial, efisien dan optimal, merata ke seluruh regional, sub-regional dan perdesaan. Sebagai contoh efisien dan optimal adalah bahwa jarak sebuah bank yang sebelumnya berjarak 40.7 km dapat dikurangi menjadi 22.7 km.
Menurut Faludi (2006) dan Sack (1986) mendefinisikan territoriality as „a spatial strategy to affect, influence, or control resources and people, by
controlling area‟. Kebijakan regional adalah mempromosikan kohesi (cohesion) ekonomi dan kohesi sosial. Kohesi adalah sebuah konsep yang menggaris-bawahi harmonisasi pembangunan masyarakat dalam meenurunkan kesenjangan pembangunan antar wilayah.
Indikator, Keberlanjutan dan Kinerja Pembangunan Regional
Setiap perencanaan pembangunan regional memerlukan batasan praktikal yang dapat digunakan secara operasional untuk mengukur tingkat perkembangan regionalnya. Secara umum tampaknya pertumbuhan ekonomi atau pertumbuhan output produksi yang tinggi memang merupakan kinerja pembangunan yang paling popular. Namun demikian, pertumbuhan perekonomian yang pesat tersebut, jika disertai munculnya berbagai masalah berupa penurunan distribusi pendapatan, peningkatan jumlah pengangguran, peningkatan jumlah keluarga di bawah garis kemiskinan (disparitas kemiskinan antar regional), serta kerusakan sumberdaya alam akan berdampak paradox dan mengarah pada kemunduran pembangunan itu sendiri. Adanya permasalahan-permasalahan tersebut memaksa para pakar pembangunan dan pakar perencanaan mulai mengkaji ulang tolok ukur (indikator) tersebut bukan hanya output seperti GNP, tetapi harus disertai beberapa tolok ukur lainnya.
demi hari organisasi atau program yang bersangkutan menunjukkan kemajuan dalam rangka menuju tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan.
Secara umum, indikator kinerja memiliki fungsi untuk (1) memperjelas tentang apa, berapa dan kapan suatu pembangunan dilaksanakan, (2) menciptakan konsensus yang dibangun oleh berbagai pihak terkait untuk menghindari kesalahan interpretasi selama kebijakan/kegiatan dan dalam menilai kinerjanya dan (3) membangun dasar bagi pengukuran, analisis, dan evaluasi kinerja organisasi/unit kerja (Rustiadi et al, 2011).
WCED (1987) dalam (Rustiadi et al, 2011), mendefinisikan konsep pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan adalah pembangunan untuk memenuhi kebutuhan sekarang tanpa merusak kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya. Dengan demikian pembangunan berkelanjutan pada dasarnya merupakan suatu strategi pembangunan yang memberikan semacam ambang bagi laju pemanfaatan ekosistem alamiah serta sumberdaya alam yang ada di dalamnya. Sedangkan Smith (2011) dalam (Rustiadi et al, 2011), mendefinisikan pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan adalah pembangunan yang meminimalkan penggunaan sumberdaya dan meningkatkan entropi bumi dalam pembangunan regional yang berkelanjutan sepertidalam Gambar 2.
Ekologi
Budaya Ekonomi Gambar 2 Indikator pembangunan berkelanjutan
Gambar 3 Sistematika penyusunan konsep-konsep indikator kinerja pembangunan regional
Kerangka Pemikiran (Conceptual Framework)
Perencanaan Spatial Strategis Pembangunan Regional di Timor-Leste untuk
mencapai Tujuan Visi Misi Global 2011-2030
Kebijakan satu peta dan satu direksi (one map politicy and one map direction) dalam perencanaan pembangunan nasional dan perencanaan spasial regional (national development planning and regional spatial planning) di Timor-Leste merupakan harapan dan keinginan masyarakat dan negara sesuai visi-misi-tujuan 2030. Selain kebijakan para perencana dan pengambil keputusan dalam pembangunan regional untuk mengintegrasikan PPSS (Perencanaan Pembangunan Strategis-Sinergis), PSSS (Perencanaan Spasial Strategis-Strategis) dan PASS (Perencanaan Anggaran Strategis Sinergis) perlu mempertimbangkan juga faktor penataan kelembagaan (institutional arrangements factors) yang mempunyai peran politik kebijakan perubahan dalam mengubah semua aspek kehidupan yaitu aspek sosial budaya, aspek ekonomi dan aspek ekologi dalam mewujudkan tujuan umum pembangunan yaitu perubahan dan reformasi kesejahteran (welfare reform and changes).
Variasi-variasi disparitas dalam perencanaan spasial dan pembangunan, keterkaitan interkasi spasial dalam reformasi dan perubahan kesejahteraan didekati dengan analisis disparitas dan interaksi struktur spasial optimal serta perumusan perwilayahan (regions) pembangunan PKN dan PKR sebagai implikasi kebijakan.
3 METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang meliputi (1) jumlah luas distrik, (2) Jarak antar distrik, (3) Jumlah penduduk dan penyebaran penduduk antar regional, (4) Jumlah fasilitas umum antar regional, (7) Jumlah institusi bank antar regional.
Sumber data sekunder berasal dari Pemerintah Republik Demokratik Timor Leste yaitu dari: (1) Kementerian PU dan Dinas PU di regional dan distrik, (2012, 2014) (2) Kementerian Pertanahan (2014), (3) Peta Land & Property (2016), (4) Kementrian Keuangan dan Asset Negara (2000-2013), (5) Badan Statistik Nasional Timor-Leste (2004, 2008, 2009, 2010, 2011, 2012), dan (6) Publikasi lain berkaitan dengan penelitian ini sekaligus data yang relevan (misalkan Publikasi Atlas Timor-Leste 2002 oleh GERTiL. Kegiatan pengumpulan data dilakukan di Timor-Leste selama 4 bulan mulai Maret sampai dengan bulan Agustus 2016.
Analisis Data
Analisis Skalogram
Metode Skalogram digunakan untuk mengetahui ketimpangan antar wilayah. Metode ini mengurutkan dan merangking wilayah atau kawasan permukiman dan juga fasilitas. Penelitian ini akan menggunakan empat jenis skalogram yang memiliki rincian peubah pada Tabel 1.
Tabel 1 Peubah fasilitas masing-masing skalogram
Skalogram Jumlah peubah Peubah fasilitas Skalogram -1 4 Sekolah, rumah sakit, bank, pasar
Skalogram -2 20 Sekolah (termasuk sekolah dasar, sekolah menengah, sekolah lanjutan), rumah sakit (termasuk community health center, health post, sisca, privat clinic), bank, pelabuhan, telepon, radio, televisi, total asset rumahtangga, vehicle motor, motor, sepeda, tractor, rice husker, rice mill, kantor pos, terminal, gereja, pasar (termasuk toko/supermarket), bandara dan Kadin
Skalogram -3 17 sekolah (sekolah dasar, sekolah menengah, sekolah lanjutan), rumah sakit (community health center, health post, sisca, privat clinic), telepon, radio, televisi, total asset rumahtangga, vehicle motor, motor, sepeda, tractor, rice husker, rice mill, kantor pos, terminal, gereja, pasar (toko/supermarket), dan Kadin
Skalogram -4 5 sekolah lanjut, kesehatan (public hospitals, private clinic), pelabuhan, kantor pos, dan bandara
Keterangan: Sisca = pusat kesehatan keliling dengan mobil Sumber: Timor Leste Dalam Angka, 2012
Pada Tabel 1 menunjukkan bahwa skalogram 1 adalah skalogram dengan peubah yang terbatas, skalogram 2 dengan fasilitas umum yang lebih banyak sejumlah 20 peubah, skalogram 3 dengan peubah tidak bernilai nol dan skalogram 4 dengan peubah bernilai nol. Peubah-peubah yang akan digunakan pada skalogram 1 merupakan alat analisis yang memiliki fasilitas umum pada wilayah Timor Leste dengan menggunakan 4 peubah. Fasilitas tersebut merupakan fasilitas umum yang biasa digunakan oleh masyarakat dalam aktivitas sehari-hari. Skalogram 2 merupakan metode yang memiliki fasilitas umum pada regional Timor-Leste yang menggunakan 20 peubah.
1. Menghitung indeks fasilitas per 1000 penduduk
Aij = indeks fasilitas ke-j pada distrik ke-i Fij = jumlah fasilitas ke-j di distrik ke-i Pi = jumlah penduduk di distrik ke-i 2. Menghitung bobot indeks penciri
Dimana Xijn = jumlah distrik (12 distrik)
X.ja =Jumlah distrik yang memiliki peubah (fasilitas) ke-j Skalogram-1: jumlah a = 4 peubah (sekolah, rumah sakit, bank dan pasar) Skalogram-2: jumlah a = 20 peubah (lengkap)
Skalogram-3: jumlah a = 16 peubah (fasilitas yang ada di 12 distrik) Skalogram-4: jumlah a = 5 peubah (fasilitas yang hanya ada di beberapa
distrik)
3. Menghitung invers indeks (Xij) peubah-j Xij=Aij/Iij
Dimana Aij = indeks faslitas ke-j pada distrik ke-i
Iij = Bobot (jumlah distrik/jumlah distrik yang memiliki fasilitas).
4. Melakukan pembakuan indeks (Kij) untuk seluruh peubah ke-j sehingga hasil akhir sebagai berikut :
Kij =
Dimana min (Xij): nilai invers indeks peubah ke-j Sj : standar deviasi invers indeks ke-j
5. Mengkelaskan wilayah: Hirarki 1
Hirarki 2 (Kij) < Hirarki 3
Analisis Gravitasi
Analisis Gravitasi digunakan untuk menganalisis interaksi antar distrik. Dengan model ini dapat dilihat pengaruh dari distrik yang satu dengan yang lainnya. Namun, dalam model ini mengalami kendala pada ketersediaan data. Data yang digunakan seharusnya jumlah penumpang dari distrik asal i ke distrik tujuan j (Aij). Pada penelitian ini, data jumlah penumpang tidak tersedia sehingga diasumsikan bahwa jumlah penduduk digunakan sebagai proksi jumlah perpindahan manusia dan barang. Tahapan model gravitasi dirumuskan sebagai berikut:
1. Angka Interaksi
2. Nilai Interaksi (satuan daya tarik) =
3. Rata-rata nilai interaksi = Keterangan:
Aij = angka interaksi
K = diasumsikan dengan 1 j = distrik tujuan
Pi = penduduk distrik asal Pj = penduduk distrik tujuan
dij = jarak dari distrik asal ke tujuan dij2 = kuadrat dari jarak
4. Menghitung indeks
Indeks = nilai interaksi dari Dili ke distrik lain yang terbesar Nilai interaksi dari Dili ke distrik lain yang terkecil
Analisis Jarak dan Biaya Transport
Analisis jarak dan biaya transport dilakukan secara deskriptif. Jarak antar distrik menentukan biaya transport antar distrik tersebut untuk mobilisasi barang dan orang. Biaya transport (pricing strategy) menjadi salah satu pertimbangan penting dalam menentukan pusat pertumbuhan suatu wilayah pembangunan. Pusat pertumbuhan yang ideal dari sisi jarak adalah distrik yang mudah dijangkau dari wilayah hinterlandnya dengan biaya terendah.
Secara umum, kontribusi secara langsung terhadap biaya variabel seperti tenaga sopir, biaya bahan bakar dan minyak (fuel), dan biaya pemeliharaan kendaraan. Tujuan penelitian ini yaitu menentukan harga atau biaya tempuh rata dalam Km2 dengan menggunakan data jarak yang sudah tersedia. Untuk mengetahui biaya dari masing-masing jarak antar distrik yaitu :
Dimana: = rata-rata hitung jarak/Km2 xi = nilai jarak ke-i
Maka untuk mencari biaya dari masing-masing distrik dengan menggunakan data jarak yaitu:
Merumuskan Pengembangan Regional PKN dan PKR berbasis struktur spasial
Berdasarkan hasil dari dua metode sebelumnya baik menggunakan metode skalogram dan metode gravitasi bahwa Metode Skalogram digunakan untuk mengetahui ketimpangan antar wilayah. Metode ini mengurutkan suatu Distrik atau kawasan permukiman sesuai dengan fasilitas-fasilitas yang ada pada Distrik tersebut. Sedangkan Metode Gravitasi merupakan Metode digunakan untuk menganalisis interaksi antar distrik. Dengan Metode Gravitasi dapat dilihat pengaruh dari Distrik yang satu dengan yang lainnya serta interaksi antara Distrik yang satu dengan Distrik yang lainnya.
Berdasarkan dua Metode tersebut yaitu metode skalogram dan metode gravitasi maka dapat dirumuskan dan diklasifikasikan pengembangan regional di Timor-Leste. Distrik yang berfungsi sebagai pusat kegiatan nasional (PKN) dan pusat kegiatan regional (PKR) ditetapkan berdasarkan hirarki dari analisis skalogram (hirarki) dan nilai indeks interaksi antar distrik (NIIAD) dari hasil analisis gravitasi. Distrik yang tidak terpilih sebagai PKN atau PKR, menjadi hinterland dari PKN/PKR terdekat.
4 GAMBARAN UMUM TIMOR-LESTE
Struktur Administratif Regional Timor-Leste
Luas wilayah Negara Republik Demokratik Timor-Leste disingkat (RDTL) ada 15.007 Km2 dibagi dalam 13 Kabupaten (District), 65 Kecamatan (Sub District) 442 Desa (Suco) dan 2225 RT (Aldeia) (Tabel 2). Teritori nasional RDTL meliputi setengah dari Pulau Timor (bagian barat NTT, bagian timur RDTL) dan barat daya Pulau Sunda. Luas negara RDTL seluruhnya 14.955 km2 terdiri dari bagian timur Pulau Timor (mendekati 13.986 Km2), Pulau Atauro di utara Dili (141 Km2), Pulau Jaco bagian paling Timur (11 Km2) dan enclave Oecusse di barat (817 Km2). Oecusse merupakan satu dari 13 distrik RDTL yang berbatasan dengan Indonesia (di bagian barat, selatan dan timur) dan Laut Sevu (bagian utara) (Gertil, 2002). Karena posisinya terpencil, Distrik Oecusse tidak dimasukkan dalam penelitian ini, sehingga distrik yang dianalisis berjumlah 12.
sepanjang pantai selatan; wilayah timur (Distrik Baucau, Lautem dan Viqueque), dan sedikit daerah di sepanjang pantai utara. Zona ini didiami 560.000 orang, atau 2/3 dari total penduduk Negara. Terdapat zona rendah-terbentang (low-lying zone) yang berupa lahan yang dapat ditanami (arable land), dan terkoneksi dalam hal transportasi dan infrastruktur komunikasi.
Tabel 2 Struktur administrasi Timor Leste Distrik Jumlah Sub
Distrik
Jumlah
Penduduk Luas wilayah (Km2)
Kepadatan (jiwa/Km2)
PKN-Dili 6 266236 368 723
Liquica 3 67831 551 123
Baucau 6 116934 1508 77
Manatuto 6 45098 1786 25
Lautem 5 65475 1813 36
Viqueque 5 72797 1880 38
Ermera 5 124687 771 161
Aileu 4 47643 676 70
Bobonaro 6 96271 1381 69
Manufahi 4 51904 1327 39
Ainaro 4 63121 870 72
Covalima 7 62303 1207 51
Ocusse 5 68654 817 84
Total 65 1.148.958 14.955 162
Sumber: Timor-Leste dalam angka, 2012
Zona kedua, merupakan zona dengan elevasi sedang (elevasinya antara 500 sampai 1.500 meter di atas permukaan laut), menempati hampir 32% dari seluruh luas lahan di RDTL. Di daerah dataran tinggi barat merupakan zona tanaman-kopi (coffee growing zone). Sebanyak 360.000 orang yang hidup di daerah elevasi sedang (mid-elevations belong), umumnya keluarga petani kopi (coffee-farming families).
Jumlah penduduk dan Fasilitas di Timor-Leste
Gambar 5 Sebaran penduduk berdasarkan Distrik
Sumber: Timor- Leste dalam angka, 2012
Gambar 5 menunjukkan bahwa jumlah penduduk tertinggi terdapat di Dili yaitu sebesar 266.236 jiwa. Tingginya penduduk di Dili karena sebagai ibu kota Timor Leste, Dili memiliki fasilitas terlengkap sehingga menarik penduduk dari distrik lain untuk bermigrasi. Distrik dengan penduduk tertinggi selanjutnya adalah Distrik Ermera yaitu sebesar 124.687 jiwa. Pada tahun 2012 distrik dengan jumlah penduduk tertinggi ketiga adalah Baucau. Namun, pada tahun 2014 penduduk Ermera meningkat lebih tinggi dibandingkan dengan Baucau, sehingga Ermera menempati posisi kedua.
Gambar 6 Kepadatan penduduk dari 12 Distrik pada tahun 2012
Sumber: Timor- Leste dalam angka, 2012
Fasilitas Pendidikan
Fasilitas yang dibahas pada bab ini adalah fasilitas pendidikan, dan fasilitas transportasi (transportasi laut dan darat). Sebaran fasilitas pendidikan di Timor-Leste berdasarkan Distrik dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7 Jumlah fasilitas pendidikan di masing-masing Distrik
Sumber: Timor- Leste dalam angka, 2014
Jumlah fasilitas pendidikan terbesar berada di Distrik Baucau yaitu sebesar 184 unit. Terbesar kedua di Distrik Bobonaro yang memiliki jumlah fasilitas pendidikan sebesar 149 unit. Sedangkan Dili yang menjadi ibu kota Timor Leste memiliki fasilitas pendidikan sebesar 127 unit atau berada di urutan keempat. Jumlah fasilitas pendidikan di Timor Leste disesuaikan dengan kebutuhan penduduknya. Baucau yang merupakan distrik terluas, memerlukan fasilitas pendidikan SD yang relatif banyak, dan menyebar agar dapat dijangkau oleh murid-murid SD. Secara terperinci jumlah fasilitas pendidikan berdasarkan strata di masing-masing distrik ditunjukkan pada Gambar 8.
Gambar 8 Rincian jumlah fasilitas pendidikan masing-masing Distrik
Sumber: Timor- Leste dalam angka, 2012.
Gambar 8 menujukkan bahwa jumlah fasilitas pendidikan memiliki perbedaan yang cukup tinggi antara jumlah SD, SMP, SMA dan Perguruan Tinggi. Timor Leste banyak memiliki fasilitas pendidikan untuk tingkat Sekolah Dasar dan SMP. Fasilitas pendidikan yang lebih tinggi (SMA dan PT) masih terbatas. Distrik Aileu, Bobonaro dan Manatuto tidak memiliki fasilitas
pendidikan SMA sedangkan PT, hanya ada di Dili. Fasilitas pendidikan sangat penting untuk mengembangkan sumberdaya manusia di Timor Leste. Pembangunan di Timor Leste memerlukan dukungan SDM yang berkualitas. Sehingga perlu diperhatikan untuk mengurangi ketimpangan SDM di Timor Leste yang selanjutnya dapat mengurangi ketimpangan pembangunan.
Fasilitas Pelabuhan di Timor-Leste.
Timor-Leste memiliki 7 dan (1 pelabuhan Oecusse), pelabuhan laut yaitu di Dili (Pelabuhan Dili), di Liquica (Porto Tibar), pelabuhan Beloi (Atauro), Kairabela (Baucau), Mahatta/Iwao Kitahara, Com (Lautem), pelabuhan Beaco (Viqueque), dan Suai (Covalima) (Gambar 8). Ketujuh pelabuhan tersebut sangat membantu untuk meningkatkan mobilitas barang dan orang antar distrik. Beberapa distrik di Timor-Leste merupakan wilayah kepulauan yang memerlukan transportasi laut dan pelabuhan.
Pelabuhan tersebut dibawah pengawasan Direktorat Nasional Transport Maritim (DNTM) dikelola oleh APORTIL yaitu Asosiasi Pelabuhan Timor-Leste bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Transport Laut Kementrian Pekerjaan Umum. Ada 3 regulasi yang mengatur managemen kemaritiman di Timor-Leste yang telah dipersiapkan sejak UNTAET (United Nations Transitional Administration in East Timor) tahun 2002 yaitu sebagai berikut:
Peraturan No.3/2003: Pendirian Asosiasi Pelabuhan Timor Leste (APTL atau APORTIL)
Peraturan No.4/2003: tentang ratifikasi SOLAS convension (Timor-Leste baru meratifikasi 1 konvensi dari 53 konvensi IMO yang ada).
Peraturan No.19/2003: tentang regulasi tarif pelabuhan.
Klasifikasi Pelabuhan di Timor-Leste, dibagi atas dua kelas yaitu pelabuhan utama (principal port) dan pelabuhan regional (porto regionais/secondario). Pelabuhan utama melayani tranportasi internasional. Ada 2 pelabuhan utama yaitu Porto Dili dan Porto Tibar. Pelabuhan regional yang jumlahnya ada 6 (termasuk Oucusse) melayani transportasi antar regional.
Keterangan ----: konektivitas antar pelabuhan Gambar 9 Peta pelabuhan regional di Timor Leste
Sumber: Direktorat Jenderal Transportasi Nasional- KPU Timor-Leste, 2014
Dili
LospalosSuai (261 nm or 22 hrs)
Atauro (21 nm or 2 hrs)
COM (112 nm or 9 hrs)
Beaco (186 nm or 15 hrs)
5 km
Occuse
Aktivitas dan kegiatan DNTM adalah meningkatkan kualitas SDM dan perencanaan program strategis dalam menghadapi globalisasi. Pada Era Globalisasi persaingan mobilisasi barang dan manusia lintas regional dan internasional semakin tinggi. DNTM perlu mengantisipasi persaingan tersebut melalui pembangunan SDM kemaritiman.
Fasilitas Transportasi Darat di Timor-Leste.
Alat transportasi merupakan fasilitas publik yang sangat dibutuhkan untuk kegiatan manusia. Alat transportasi digunakan untuk memudahkan manusia dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Timor Leste memiliki empat jenis transportasi diantaranya microlet, bus, angguna, dan travel. Jumlah jenis transportasi meliputi microlet yang berjumlah 1.090 unit. Kemudian diikuti oleh angguna sebanyak 315 unit, bus sebanyak 207 dan travel sebanyak 20 unit. Berdasarkan grafik pada Gambar 10 penggunaan jasa transportasi di beberapa wilayah Timor Leste lebih banyak menggunakan microlet sebanyak 1090 unit dibandingkan dengan jenis transportasi lainnya. Hal ini dapat diasumsikan bahwa alat transportasi merupakan suatu kebutuhan publik yang masih bersifat terbatas sehingga menyebabkan ketidakmerataan fasilitas publik yang cukup tinggi. Sebaran jumlah dan jenis transportasi dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 10 Jumlah dan jenis transportasi darat per Distrik
Sumber: Timor-Leste dalam angka, 2012
Tabel 3 Jenis transportasi dan kapasitas angkut
Jalur Kota ke Kota Dili Jenis transportasi dan kapasitas penumpang Bus Angguna Mikrolet Taxi
Sumber data: Hasil wawancara langsung bulan Agustus tahun 2016 oleh peneliti.
Keterangan: * = angguna besar ** = angguna kecil
Kebijakan Pembangunan dan Perencanaan di Timor-Leste
Proses pembangunan pada dasarnya bertujuan untuk mewujudkan visi, misi, dan tujuan suatu negara. Pembangunan merupakan tanggungjawab para politisi dan para birokrat di tingkat pemerintahan baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Para pelaku pembangunan, termasuk perencana pembangunan, selalu mengacu pada tujuan yang telah dirumuskan dalam Konstitusi 2002 RDTL dan Rencana Pembangunan Strategis (RPS) 2011-2030. Ada empat dimensi yang menjadi tujuan pembangunan di RDTL yaitu: (i) dimensi spasial untuk pemerataan pembangunan sarana dan prasarana antar regional, antar sektoral, antar perkotaan dengan perdesaan, serta jaringan transportasi untuk meningkatkan interaksi antar regional; (ii) dimensi sumber daya manusia (SDM) yang terkait dengan pendidikan, kesehatan, dan kesehatan lingkungan serta kapital sosial (social capital); (iii) dimensi ekonomi sumber daya alam dan lingkungan (ESDAL); dan (iv) dimensi kelembagaan (institutional dimension) yang merupakan nahkoda dalam pembangunan regional menuju tercapainya tujuan umum yaitu: pertumbuhan, pemerataan dan perimbangan, keadilan sosial dan keberlanjutan.
disingkat (RDTL)”. Komisi Perencanaan ini dibentuk atas dasar bahwa perjuangan mendirikan bangsa di Timor-Leste tidak hanya berhenti pada 20 Mei 2002. Komisi Perencanaan juga menyusun strategi pembangunan nasional untuk mewujudkan administrasi publik yang efektif, stabilitas makroekonomi, kerangka fiskal yang kuat (effective fiduciary) dan formasi pasar serta sistem administrasi yang efektif dan transparan.
Rencana pembangunan nasional menjadi fondasi (underpinned) menjadi acuan untuk menyusun kerangka (rencana) belanja jangka menengah, untuk memastikan bahwa tujuan pembangunan dapat tercapai dengan kendala sumberdaya yang ada. Oleh karena itu Komisi Perencanaan memformulasikan Rencana Pembangunan Nasional Jangka Menengah (RPNJM), dan Kerangka Belanja Jangka Menengah (KBJM) atau Medium Term Expenditure Framework (MTEF), dimana keduanya merupakan fondasi Rencana Pembangunan Stratejik Jangka Panjang (RPSJP 2002-2020 dan PPSJP 2011-2030).
Rencana Pembangunan Strategis (RPS) 2011-2030 Timor-Leste menjadi pedoman pembangunan hingga tahun 2030. RPS merupakan rencana komprehensif yang disusun berdasarkan masukan dari masyarakat. Tujuan utama penyusunan RPS adalah untuk menciptakan kedamaian (peace building) dan membangun negara (state building) melalui pembangunan karakter bangsa (character building). RPS juga bertujuan membentuk Timor-Leste menjadi sebuah bangsa yang berpendidikan (well educated), masyarakat yang berkemampuan (skilled population), kualitas pelayanan kesehatan yang merata, infrastruktur yang baik, eksplorasi sektor swasta yang kuat untuk menciptakan diversifikasi ekonomi dan masyarakat yang makmur dari segi pendapatan, sandang dan pangan.
NDP*(2002-Gambar 11 Tahapan pada RPS (Rencana Pembangunan Strategis) Timor Leste
Sumber: RPS Timor-Leste, 2011.
Masyarakat Timor-Leste telah melewati masa-masa sulit dan berhasil melakukan sebuah perubahan (succeed) pada kondisi yang lebih maju, yaitu pembebasan rakyat menuju kedaulatan. Namun tantangan pembangunan untuk merealisasikan harapan masyarakat Timor-Leste, memerlukan perjuangan yang lebih keras (fought), menuntut komitmen, spirit solidaritas, kerja sama masyarakat.
global yang berdampak pada disparitas kemakmuran (well-being) penduduk, serta (12) serta isu dan masalah perizinan yang berhubungan dengan pembangunan fasilitas umum, sarana dan prasarana pada pusat-pusat kegiatan pembangunan regional di Timor-Leste (Da Silva dan Zulkaidi 2012).
Melalui Strategi Perencanaan Pembangunan Nasional Timor-Leste 2011-2030 telah dicapai perubahahan dari pertanian tradisional dan masyarakat perdesaan (from a traditional agricultural and rural society) hingga kondisi saat ini menuju masyarakat industri. Potensi sumber daya alam dan lingkungan (yang dapat diperbaharui maupun yang tidak dapat diperbaharui) dikelola berbasis perencanaan spasial (tata ruang) yang optimal. Potensi sumberdaya merupakan modal dasar untuk pengembangan ekonomi dan pembangunan regional di Timor-Leste dalam mencapai cita-cita bangsa dan negara yaitu kesejahteraan masyarakat melalui pertumbuhan, pemerataan, adil dan berkelanjutan.
5 HASIL DAN PEMBAHASAN
Disparitas Spasial Regional di Timor-Leste
Disparitas merupakan gambaran kondisi kesenjangan antara daerah yang satu dengan daerah yang lain. Kondisi yang tidak seimbang tersebut dapat disebabkan oleh berbagai alasan diantaranya pendapatan per kapita, infrastruktur yang ada di suatu daerah, penyebaran penduduk yang tidak merata, perbedaan spasial (spatialdiversity) serta ketimpangan sosial ekonomi.
Dari segi fasilitas, Dili merupakan distrik yang memiliki fasilitas publik serta aksesibilitas tinggi dibandingkan dengan distrik lain. Kondisi disparitas di wilayah Timor-Leste dapat dilihat dari hasil perhitungan skalogram. Analisis skalogram merupakan salah satu analisis untuk mengetahui pemusatan fasilitas dalam suatu wilayah. Dengan melakukan identifikasi fasilitas-fasilitas kunci yang terdapat ditiap distrik, dapat ditentukan hirarki distrik berdasarkan tingkat pemusatan fasilitas, yaitu hirarki 1 hingga hirarki 3. Status hirarki suatu distrik sekaligus mencirikan tingkat perkembangan distrik tersebut, untuk menentukan rangking distrik di Timor-Leste.
Distrik-distrik yang ada di Timor-Leste diasumsikan dalam tipologi sebagai wilayah nodal, dimana pusat atau hinterland suatu distrik dapat ditentukan berdasarkan jumlah serta jumlah jenis sarana dan prasarana yang ada. Distrik yang mempunyai jumlah dan jenis fasilitas yang secara relatif paling lengkap akan mempunyai hirarki yang lebih tinggi. Sebaliknya jika satu distrik mempunyai jumlah dan jenis fasilitas dengan kuantitas yang rendah merupakan distrik hinterland dari distrik lainnya.