• Tidak ada hasil yang ditemukan

REPRESENTASI NILAI KEPAHLAWANAN DALAM FILM (Studi analisis semiotik nilai nilai kepahlawanan yang di representasikan dalam film Harap Tenang Ada Ujian)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "REPRESENTASI NILAI KEPAHLAWANAN DALAM FILM (Studi analisis semiotik nilai nilai kepahlawanan yang di representasikan dalam film Harap Tenang Ada Ujian)"

Copied!
112
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

REPRESENTASI NILAI KEPAHLAWANAN DALAM FILM

(Studi analisis semiotik nilai-nilai kepahlawanan yang di representasikan dalam film Harap Tenang Ada Ujian)

SUSI DEVIYANA

D1207555

SKRIPSI

Digunakan untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Sosial

Pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Komunikasi

PROGRAM ILMU KOMUNIKASI NON REGULER

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

(2)

commit to user

HALAMAN PERSETUJUAN

Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Panitia Penguji Skripsi

Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sebelas Maret

Surakarta

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

(3)

commit to user

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi ini Telah Diuji dan Disahkan Oleh Panitia Ujian Skripsi

Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sebelas Maret

Surakarta

Pada hari :

Tanggal :

Panitia Penguji :

1. Drs. A. Eko Setyanto. MS ( )

NIP. 195806171987021001

2. Tanti Hermawati, S.Sos, M.Si ( )

NIP.196902071995122001

3. Dra. Prahastiwi Utari, M.Si, Ph.D ( )

NIP. 196008131987022001

4. Nora Nailul Amal. S.Sos, MLMEd, Hons ( )

NIP. 198014292005012002

Mengetahui,

Dekan

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sebelas Maret Surakarta

Pr of. Dr s. Paw it o, Ph.D

(4)

commit to user DAFTAR ISI

Halaman Judul

Halaman Persetujuan i

Halaman Pengesahan ii

Halaman Motto iii

Halaman Persembahan iv

Kata Pengantar v

Daftar Isi vii

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang 1

2. Rumusan Masalah 9

3. Tujuan Penelitian 10

4. Manfaat Penelitian 10

5. Telaah Pustaka 11

5.1Definisi Komunikasi 12

5.2Pesan Komunikasi 17

5.3Film Sebagai Media Komunikasi Massa 20

5.4Film Sebagai Representasi 25

5.5Film Pendek 27

(5)

commit to user

5.7Nilai-Nilai Kepahlawanan 44

5.8Aspek Sinematografi 53

6. Definisi Konseptual 57

6.1Film Pendek 57

6.2Kepahlawanan 58

7. Kerangka Pikir 60

8. Metode Penelitian 62

8.1Teknik Pengumpulan Data 65

8.2Analisis Data 66

BAB II SEKILAS TENTANG FILM “HARAP TENANG, ADA UJIAN!”

DAN FOURCOLOURS FILMS

1. Film “Harap Tenang, Ada Ujian!” 68

2. Festival dan Awards 69

3. Profil Sutradara 70

4. Profil Fourcolours Films 71

BAB III ANALISIS DATA

1. Aplikasi Sistem Pertandaan Dalam semiologi Roland Barthes 73

(6)

commit to user

Film “Harap Tenang, Ada Ujian!” 76

2.1Keberanian 76

2.2Pantang Menyerah 90

2.3Rela Berkorban 95

2.4Kesetiakawanan Sosial 101

BAB IV PENUTUP

1. KESIMPULAN 108

2. SARAN 109

DAFTAR PUSTAKA 111

(7)

commit to user ABSTRAK

Susi Deviyana, D1207555, Representasi Nilai Kepahlawanan Dalam Film “Harap Tenang, Ada Ujian!” (Studi Deskriptif Kualitatif menggunakan Analisis Semiologi Terhadap Film “Harap Tenang, Ada Ujian!”)

Nilai-nilai kepahlawanan merupakan salah satu hal yang harus di teladani, karena seiring perkembangan jaman tidak jarang orang semakin menjadi individualistis. Untuk menyampaikan pesan mengenai nilai kepahlawanan dapat disampaikan melalui film karena film merupakan salah satu bentuk dari media massa, dan cerita dalam film biasanya berangkat dari sebuah fenomena yang terjadi disekitar kita. Seperti film “Harap Tenang, Ada Ujian!” yang mengambil tema tentang kepahlawanan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui lebih dalam apakah tanda-tanda yang digunakan untuk merepresentasikan nilai-nilai kepahlawanan yang ada dalam film “Harap Tenang, Ada Ujian!” tersebut. Dengan mengetahui dan memahami tanda-tanda yang menunjukkan nilai-nilai kepahlawanan diharapkan kita dapat meneladani nilai-nilai tersebut.

(8)

commit to user

Tenang, Ada Ujian!” dengan teori semiotika Roland Barthes. Analisis dilakukan melalui dua tahap, yaitu signifikasi tingkat pertama, yaitu makna denotasi yang terkandung dalam scene-scene tersebut dan dilanjutkan dengan signifikasi tingkat kedua yang menguraikan makna konotasinya. Dalam tahap inilah terkandung mitos.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah nilai-nilai kepahlwanan ditunjukkan melalui symbol-simbol sosial ditampilkan melalui sikap dan aksi dari para tokoh. Nilai-nilai tersebut antara lain Keberanian, Percaya Pada Kekuatan Sendiri, Pantang Menyerah, Rela Berkorban, Persatuan dan Kesatuan, Toleransi, dan Kesetiakawanan Sosial. Film ini mampu menyampaikan berbagai pesan atau tanda-tanda yang menunjukkan nilai-nilai kepahlawanan.

ABSTRACT

Susi Deviyana, D1207555, The Representation heroism values in the movie “Be Quiet, Exam is in Progress!” (Qualitative Descriptive Research Semiology analysis on the movie “Be Quiet, Exam is in Progress!”

The value of heroism is one thing we hold as a role model, in this era of globalization, when individualism became a common thing. Movie as a media, can be used for sending message about current issues to the public. It is usually inspired by the actual phenomena and “Be Quiet, Exam is in Progress!” is one of them.

This research studied the symbols of heroism in “Be Quiet, Exam is in Progress!”. By knowing and understanding the symbols of heroism value in the movie, it would be easier to make it as a role model.

The research is a qualitative semiotics analysis research. The data used in this research was taken from the scenes of “Be Quiet, Exam is in Progress!” which have correlations with heroism topic. They are Bravery, Believe in our own strength, Unyielding, Sacrifice, Unity, Tolerance, Social Solidarity.

(9)

commit to user

significance of denotation meaning in those scenes. Secondly, the analysis discovered the connotation. Myth appeared on this step.

The researcher concluded that the value of heroism in this movie was shown by attitude and action of the characters. The values are Bravery, Believe in our own strength, Unyielding, Sacrifice, Unity, Tolerance, Social Solidarity. This film could send various messages or symbols that show heroism value.

Keywords: symbols, values, semiotics,

BAB 1

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Film adalah gambar hidup, juga sering disebut movie. Film, secara

kolektif, sering disebut sinema. Sinema itu sendiri bersumber dari kata kinematik

atau gerak. Film juga sebenarnya merupakan lapisan-lapisan cairan selulosa, biasa

di kenal di duina para sineas sebagai seluloid. Pengertian secara harafiah film

(sinema) adalah Cinemathographie yang bearasal dari Cinema + tho = phythos

(cahaya) + graphie = graph (tulisan = gambar = citra), jadi pengertiannya adalah

melukis gerak dengan cahaya. Agar kita dapat melukis gerak dengan cahaya, kita

(10)

commit to user

Garin Nugroho menyebutkan “film sebagai penemuan komunal dari

penemuan-penemuan sebelumnya (fotografi, perekaman gambar, perekaman

suara, dll), dan ia tumbuh seiring pencapaian penemuan-penemuan selanjutnya.

Film juga merupakan hasil peleburan sekaligus persitegangan hakikat seni dan

media komunikasi massa”.1

Sebuah film sebagai produk kesenian maupun sebagai medium, adalah

suatu cara untuk berkomunikasi. Dalam sebuah film ada pesan yang ingin

dikomunikasikan kepada penonton. Dalam konteksnya sebagai media komunikasi

massa. Dalam film, cara komunikasinya adalah cara bertutur. Film mengandung

unsur tema, cerita dan tokoh yang dikemas dalam format audio visual yang pada

akhirnya mengkomunikasikan sebuah pesan baik secara eksplisit maupun implisit.

Menurut David Bardwell, cara bertutur ini adalah penghadiran kembali kenyataan,

dengan makna yang lebih luas. 2

Sebagi gambar yang bergerak, film adalah reproduksi dari kenyataan

seperti apa adanya. Ketika film ditemukan, orang datang berbondong – bondong

ke gedung bioskop hanya untuk melihat bagaimana kenyataan ditampilkan

kembali sama persis dengan realitas yang terjadi di depan matanya sendiri. Maka

ketika film diputar di bioskop, sebenarnya tidak akan pernah ada perhatian

bersama yang tuntas tentang kenyataan apa adanya yang diungkapkan kembali

dalam sebuah film. Dengan begini, kita sampai pada kenyataan lain. Sebuah film

mungkin saja merupakan reproduksi kenyataan seperti apa adanya secara

sinematografis dalam batas – batas tertentu, namun film tidak pernah sahih

1

Garin Nugroho, Kekuasaan dan Hiburan, Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta, 1995 hal 77 2

(11)

commit to user

sebagai representasi kenyataan apa adanya itu sendiri karena yang berlangsung

hanyalah subjek yang beradu dengan subjek. 3

Film merupakan media komunal dan cangkokan dari berbagai teknologi

dan unsur-unsur kesenian. Ia cangkokan dari perkembangan teknologi fotografi

dan rekaman suara. Juga komunal berbagai kesenian baik seni rupa, teater, sastra,

arsitektur hingga musik. Maka kemampuan bertumbuh film sangatlah bergantung

pada tradisi bagaimana unsur-unsur cangkokan teknologi dan unsur seni dari film

-yang dalam masyarakat masing-masing berkembang pesat- dicangkok dan

dihimpun. Dengan demikian tidak tertinggal dan mampu bersaing dengan

teknilogi media, dan seni lainnya.

Sejarah film Indonesia menunjukkan unsur-unsur cangkokan dan komunal

dari film tak mengalami pertumbuhan berarti. Akibatnya ketika masyarakat

dimanjakan unsur visual dan audio, dari perkembangan teknologi media dan seni

lainnya seperti televisi, seni rupa, dan lain-lain, masyarakat Indonesia tak

mendapatkannya dalam film.

Perfilman Indonesia pernah mengalami krisis hebat ketika Usmar Ismail

menutup studionya tahun 1957. Pada tahun 1992 terjadi lagi krisis besar. Tahun

1991 jumlah produksi hanya 25 judul film (padahal rata-rata produksi film

nasional sekitar 70 - 100 film per tahun). Yang menarik, krisis kedua ini tumbuh

seperti yang terjadi di Eropa tahun 1980, yakni tumbuh dalam tautan munculnya

industri cetak raksasa, televisi, video, dan radio. Dan itu didukung oleh

3

(12)

commit to user

kelembagaan distribusi pengawasannya yang melahirkan mata rantai penciptaan

dan pasar yang beragam sekaligus saling berhubungan, namun juga

masing-masing tumbuh lebih khusus. Celakanya di Indonesia dasar struktur dari keadaan

tersebut belum siap. Seperti belum efektifnya jaminan hukum dan pengawasan

terhadap pasar video, untuk menjadikannya pasar kedua perfilman nasional

setelah bioskop. Faktor yang mempengaruhi rendahnya mutu film nasional salah

satunya adalah rendahnya kwalitas teknis karyawan film. Ini disebabkan kondisi

perfilman Indonesia tidak memberikan peluang bagi mereka yang berpotensi

untuk berkembang.

Setelah lebih dari sepuluh tahun perfilman Indonesia mengalami mati suri

sejak mengalami krisis hebat tahun 1991 akibat semakin populernya televisi yang

menawarkan tayangan sinetron, film Indonesia mulai bangkit setelah munculnya

film “Petualangan Sherina” dan “Ada Apa Dengan Cinta (AADC)” pada tahun

2002 yang mendapat apresiasi besar dari masyarakat. Kondisi tersebut

menunjukkan kehausan masyarakat akan tontonan yang berkualitas dan

menghibur, dan film adalah jawabannya. Keunggulan lain dari film adalah karena

penayangannya yang sekali habis (cerita sampai selesai) dan bukan cerita

bersambung. Itulah alas an masyarakat memilih film.

Film merupakan salah satu media yang berperan penting dalam

menanamkan pesan-pesan yang baik bagi generasi penerus bangsa agar tidak

menjadi bangsa yang hilang ingatan terhadap sejarah bangsa. Film lebih dari

(13)

commit to user

Sasono, dalam tulisannya “Benarkah Film Indonesia Langka Akan Kritik

Sosial?” yang dimuat pada KOMPAS Edisi Minggu (17 Juli 2005). Eric

menyatakan bahwa film adalah media yang ampuh untuk melancarkan kritik

sosial. Film adalah media yang paling efektif untuk menyampaikan pesan, karena

film adalah media komunikasi. Dalam Mukaddimah Anggaran Dasar Karyawan

Film dan Televisi 1995 dijelaskan bahwa film:

“…bukan semata-mata barang dagangan, tetapi merupakan alat pendidikan dan penerangan yang mempunyai daya pengaruh yang besar sekali atas masyarakat, sebagai alat revolusi dapat menyumbangkan dharma bhaktinya dalam menggalang kesatuan dan persatuan nasional, membina nation dan character building mencapai masyarakat sosialis Indonesia berdasarkan Pancasila".4

Salah satu fungsi film memang sebagai kritik sosial, seperti film Gie

dimana Mira Lesmana dan Riri Riza ingin menyalurkan kegelisahannya melalui

film ini. Selain itu bahkan film dapat dijadikan alat legitimasi5, seperti ketika

zaman orde barunya Soeharto dengan film Jnaur Kuning, Serangan Fajar dan

Enam Jam di Jogya sampai Pengkhianatan G-30 S/PKI. Dengan segala potensi

yang dimilikinya, maka sangat disayangkan apabila film yang sangat ampuh

dalam mempengaruhi seseorang itu hanya dijadikan alat untuk legitimasi

kekuasaan atau kepentingan komersil belaka.

James Monaco dalam How to Read a Film menyatakan bahwa film bisa

dilihat dalam tiga kategori. Sebagai Cinema (dilihat dari segi estetika dan

sinematografi), Film (hubungannya dengan hal di luar film, seperti sosial dan

politik), dan Movies (sebagai barang dagangan). Film sebagai “Film” adalah

4

Eric Sasono, Benarkah Film Indonesia Langka Akan Kritik Sosial, Kompas, 17 Juli 2005 5

(14)

commit to user

fungsi kritik sosial, sementara kita masih sering menduelkan antara Cinema (art

film) dengan Movies (film komersil).6

Jelas bahwa film adalah media yang tepat untuk mengedukasi masyarakat,

terutama akan pentingnya nasionalisme, karena jiwa nasionalisme di kalangan

generasi muda sekarang telah memudar. Bahkan film yang paling menghibur

sekalipun, seperti film-film laris dari Hollywood, punya pesan-pesan kuat yang

pengaruhnya lebih kuat dari film-film propaganda Rusia. Seperti yang pernah

ditulis oleh Usmar Ismail, tokoh perfilman Indonesia bahwa menonton film

Hollywood, kita terbius dengan layar peraknya, dan tak terasa pikiran kita

dimasuki propaganda mereka, misalnya kekerasan dan seks bebas saat kita

mnikmatinya. Sementara itu, menonton film yang dianggap bagus dan sarat

dengan nilai-nilai, biasanya bikin ngantuk. 7

Dalam suatu kesempatan, Usmar berdialog dengan Presiden Soekarno dan

meminta pendapat tentang gaya (propaganda) film yang sesuai dengan revolusi

Indonesia, apakah gaya Rusia (yang kurang menghibur namun padat dengan misi)

ataukah Hollywood (yang punya pesan yang longgar tapi sangat diminati, dan

propagandanya masuk secara halus). Bung Karno saat itu mengatakan yakni,

ambil jalan tengah, yaitu menghibur tapi kaya akan pesan, seperti neo-realisme

Italia.8

Neorealisme yang diperkenalkan pertamakali pada 1942-1943 oleh

kritikus Antinion Pietrangeli dan Umberto Barbaro berfokus pada manusia dan

memihak pada kemanusiaan. Ciri pokoknya terlihat pada penggambaran yang

6

Ibid, Eric Sasono, Benarkah Film Indonesia Langka Akan Kritik Sosial, Kompas, 17 Juli 2005 7

Ibid.

8

(15)

commit to user

langsung, sederhana, dan alamiah mengenai kehidupan sehari-hari masyarakat

kelas bawah dengan infrastruktur utamanya bukanlah kapital, teknologi, atau hal

lain yang berada di awang-awang, melainkan lebih bertumpu pada wilayah dalam

penciptanya, seperti kepekaaan sosial, empati, nalar, intelektualitas, dan

sebagainya.9 Genre neorealisme ini kini diadopsi oleh para sineas Iran. Hasilnya

adalah sebuah film sarat makna, tapi juga “sehat” dalam hal akidah dan nilai-nilai

keislaman, serta bermutu dalam segi sinematografi dan isi cerita yang universal

dan karenanya bias diterima oleh pihak internasional.

Film yang baik adalah film yang diniatkan untuk penyampaian

pesan-pesan lewat cerita-cerita yang diambil dari cerita kehidupan nyata. Selain itu, film

juga mampu membuat kita memahami pandangan dunia dari perdaban lain, atau

kehidupan dan problematika kemanusiaan. Film bisa membuat kita mengetahui

budaya negara lain. Film juga bisa menjadi refleksi atas kenyataan. Banyak teori

menyatakan bahwa film menjadi cerminan seluruh atau sebagian masyarakatnya.

Seorang pakar teori film, Sigfried Kracauer menyatakan,

film suatu bangsa, mencerminkan mentalitas bangsa itu lebih dari yang tercermin lewat media artistic lainnya”10

Keresahan para pelaku film atas komersialisasi karya film dan film

sebagai kendaraan propaganda politik pemerintah juga menjadi salah satu isu

utama yang menginspirasi mereka untuk melahirkan gerakan ini. Film pendek

sendiri telah dikenal sebagaian masyarakat Indonesia jauh sebelumnya melalui

film-film “Gelora Pembangunan” pada era Soekarno. Film-film tersebut

9

Totot Indrarto, Neorealisme Siapa Takut, Kompas, 4 November, 2001 10

(16)

commit to user

diputarkan di kampong-kampung atau bioskop sebelum film utama diputar. Pun

ini berlanjut pada era pemerintahan Soeharto yang memiliki program

pemutaranfilm melalui Departemen Penerangan dengan misi memutarkan

film-film (yang kebanyakan film-film pendek) propaganda pemerintah dengan ideology

pembangunannya.

Salah satu film yang mengangkat wacana nilai-nilai kepahlwanan adalah

Harap Tenang, Ada Ujian. Film ini diproduksi tahun 2006 oleh Fourcolours Film

dari Jogja yang bekerja sama dengan Freemovie dan disutradarai oleh Ifa

Isfansyah. Film berdurasi 15 menit ini sebenarnya mengangkat tema cerita yang

cukup berat, namun sang sutradara menceritakannya dengan sangat ringan.

Dengan berlatar belakang kota Jogjakarta yang pada tanggal 27 mei 2006 pada

jam 05.55 pagi dikejutkan oleh gempa dengan kekuatan 5,9 SR yang

menewaskan lebih dari 6.000 orang. Hari itu adalah sepuluh hari sebelum ujian

akhir nasional untuk murid sekolah dasar dan empat belas hari sebelum piala

dunia 2006. Cerita difokuskan pada anak kecil korban gempa bumi Yogyakarta,

yang akan menjalani ujian sejarah. Pada saat bersamaan, dating sukarelawan

Jepang ke daerahnya untuk member bantuan. Anak itu mengira kalau sukarelawan

Jepang itu hendak kembali menjajah Indonesia, seperti yang dibacanya dalam

buku sejarah. Maka dengan segala cara anak ingusan itu mencoba untuk

menghalau para sukarelawan Jepang.

Film ini merupakan film independent atau film pendek yang notabene

diproduksi dengan budget terbatas. Film pendek merupakan film yang durasinya

(17)

commit to user

lebih selektif mengungkapkan materi yang ditampilkan. Dengan demikian, setiap

‘shot’ akan memiliki makna yang cukup besar untuk ditafsirkan oleh

penontonnnya. Dengan berlatar kejadian gempa di Jogjakarta, dan alur cerita yang

sangat ringan, film ini nampaknya sarat dengan pesab yang mengandung

nilai-nilai kepahlawanan. “Harap Tenang Ada Ujian”, produksi Fourolours juga

berhasil menembus festival bertaraf internasioanl dan meraih penghargaan sebagai

film pendek terbaik. Hal inilah yang menjadi alasan penulis memilihnya untuk

diteliti.

Dalam studi pesan terdapat beberapa macam metode penelitian salah

satunya adalah metode semiotik. Sebagai bentuk pesan film ini terdiri dari

berbagai tanda dan simbol yang membentuk sebuah sistem makna. Proses

pemaknaan simbol-simbol dan tanda-tanda tersebut tentu saja sangat tergantung

dari referensi dan kemampuan pikir masing-masing individu. Oleh karena itu

dalam hal ini analisis semiotik sangat berperan. Dengan semiotik tanda-tanda dan

simbol-simbol dianalisa dengan kaidah-kaidah berdasarkan pengkodean yang

berlaku, dengan demikian proses intrepertasi akan menemukan sebuah “kebenaran

makna” dalam masyarakat, semiotik akan menemukan makna yang hakiki, makna

yang terselubung dalam sebuah pesan (film). Oleh karena itu penulis ingin

melakukan kajian semiotik mengenai bagaimanakah perfilman Indonesia

menggambarkan nilai-nilai kepahlawanan dalam film yang mereka buat.

(18)

commit to user

Setelah melihat pemaparan di atas,maka peneliti akan menganalisis

bagaimana simbol-simbol kepahlawanan yang terkandung dalam film Harap

Tenang Ada Ujian disampaikan ditinjau dari pendekatan semiotik.

Rumusan masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

Secara umum:

· Bagaimana simbol-simbol sosial dan pemaknaan nilai-nilai kepahlawanan direpresentasikan dalam Film ”Harap Tenang, Ada Ujian” ?

Secara Khusus :

· Bagaimana simbol-simbol sosial dan pemaknaan nilai-nilai kepahlawanan dari sisi Keberanian, Pantang Menyerah, Rela Berkorban, Kesetiakawanan

Sosial dalam Film ”Harap Tenang, Ada Ujian” ?

3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

· Mengetahui simbol-simbol sosial dan pemaknaan yang merepresentasikan nilai-nilai kepahlawanan dalam film ”Harap Tenang, Ada Ujian”

· Mengetahui pemaknaan simbol-simbol sosial dan pemaknaan nilai-nilai

kepahlawanan dari sisi Keberanian, Pantang Menyerah, Rela Berkorban,

Kesetiakawanan Sosial.

4. Manfaat Penelitian

Beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini antara lain:

(19)

commit to user

Memberikan sumbangan terhadap kajian tentang simbol-simbol sosial

nilai-nilai kepahlawanan. Sekaligus mendorong munculnya kajian penelitian

serupa dan dapat memperkaya permasalahan ini.

2. Manfaat Praktis :

Penelitian ini diharapkan akan memberikan wacana kepada khalayak

akademisi dan masyarakat pada umumnya tentang nilai-nilai kepahlawanan

melalui simbol yang dikonstruksikan dalam film.

3. Manfaat Sosial :

Penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi kepada masyarakat

berupa analisis bagaimana nilai-nilai kepahlawanan harus tetap dipelihara dan

diteladani. Hasil analisis dalam penelitian ini diharapkan mampu memberikan

wacana baru bahwa nilai-nilai kepahlawanan harus diteladani dan dipelihara oleh

setiap orang terutama generasi muda sebagai penerus bangsa. Sehingga

perjuangan para pahlawan dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia tidak

akan sia-sia, dan persatuan dan kesatuan bangsa tetap terjaga.

5. Telaah Pustaka

Manusia merupakan mahluk Tuhan yang mempunyai kemampuan adaptasi

terbaik diantara mahluk lainnya. Kemampuan beradaptasi yang dimiliknya, baik

terhadap alam maupun sesama telah menjadikan manusia sebagai mahluk yang

selalu mampu bertahan dalam menghadapi seleksi alam. Kemampuan ini

ditunjang oleh berbagai macam faktor, dimana salah satunya adalah

kemampuannya berkomunikasi. Sebagai mahluk sosial, komunikasi menjadi

(20)

commit to user

antara satu dan lainnya, yang lebih penting adalah untuk mengantisipasi

perpecahan dengan jalan saling mengerti dan memahami. Komunikasi merupakan

sarana utama manusia dalam segala hal, sehingga tanpa adanya komunikasi yang

baik, dapat dipastikan akan terjadi gesekan-gesekan dalam berbagai macam sendi

kehidupan sosial.

Logika berpikir yang digunakan dalam penelitian ini adalah merancang

struktur layaknya sebuah piramida. Menjabarkan hal yang bersifat umum terlebih

dahulu dan kemudian menariknya menjadi lebih khusus. Dimulai dari pengertian

komunikasi, bagian-bagian, dan sarana yang bisa digunakan untuk berkomunikasi.

Film sendiri adalah salah satu media komunikasi massa yang dirasa cukup efektif

untuk menyampaikan pesan kepada masyarakat. Setelah menetapkan film sebagai

salah satu sarana komunikasi massa, maka tahap selanjutnya adalah representasi

terhadap film itu sendiri yang kemudian disusul oleh pengelompokan film

menurut tema, durasi, dan sebagainya. Seperti kebanyakan sarana komunikasi

massa lainnya, film pendek juga membutuhkan kemampuan semiologi untuk

menangkap pesan yang terkandung didalamnya sehingga tujuan utama untuk

menjadikan film sebagai sarana komunikasi dapat tercapai.

5.1 Definisi Komunikasi

Komunikasi adalah salah satu aktivitas yang diakui oleh setiap orang,

namun hanya sedikit yang bisa mendefinisikannya secara memuaskan.

Komunikasi adalah berbicara satu sama lain; ia bisa televisi; ia bisa juga

penyebaran informasi; ia pun bisa gaya rambut kita; ataupun kritik sastra, daftar

(21)

commit to user

bisakah kita menerapkan secara tepat istilah “subjek studi” terhadap sesuatu yang

sungguh berbeda dan banyak segi seperti komunikasi insani (human

communication)? 11

Untuk menjawab masalah-masalah diatas, John Fiske, dalam bukunya

yang berjudul Cultural Communication: Sebuah Pengantar Paling Komprehensif,

membagi studi Komunikasi dalam dua Mazhab Utama. Mazhab pertama melihat

komunikasi sebagai suatu transmisi pesan. Ia tertarik dengan bagaimana pengirim

dan penerima mengkonstruksi pesan (encode) dan menejemahkannya (decode),

dan dengan bagaimana transmiter menggunakan saluran dan media komunikasi. Ia

tertarik dengan hal-hal seperti efisiensi dan akurasi. Ia melihat komunikasi sebagai

suatu proses yang dengannya seorang pribadi mempengaruhi perilaku atau state of

mind pribadi yang lain. Jika efek tersebut berbeda dari atau lebih kecil dari yang

diharapkan, mazhab ini cenderung berbicara tentang kegagalan komunikasi,

dengan melihat tahap-tahap dalam proses tersebut guna mengetahui dimana

kegagalan tersebut terjadi. Demi memudahkan, kita akan menyebutnya mazhab ini

sebagai Mazhab Proses”.12

Mazhab kedua melihat komunikasi sebagai produksi dan pertukaran

makna. Ia berkenaan dengan bagaimana pesan atau teks berinteraksi dengan

orang-orang dalam kebudayaan kita. Ia berkenaan dengan bagaimana

menghasilkan makna; yakni, ia bekenaan dengan peran teks dalam kebudayaan

kita. Ia menggunakan istilah-istilah seperti pertandaan (signification), dan tidak

memandang kesalahpahaman sebagai bukti yag penting dari kegagalan

11

John Fiske, Cultural And Communication Studies, Sebuah Pengantar Paling Komperehensif

(Yogyakarta: Jalasutra, 2004) hal. 7 12

(22)

commit to user

komunikasi, hal itu mungkin akibat dari perbedaan budaya antara pengirim dan

penerima. Bagi mazhab ini, studi komunikasi adalah studi tentang teks dan

kebudayaan. Metode studinya yang utama adalah semiotika (ilmu tentang tanda

dan makna), dan itu adalah label yang akan di gunakan untuk mengidentifikasikan

pendekatanini. Demi memudahkan, kita akan menyebutnya “Mazhab

Semiotika”.13

“Mazhab Proses” cenderung mempergunakan imu-ilmu sosial, terutama

psikologi dan sosiologi, dan cenderung memusatkan dirinya pada tindakan

komunikasi. Sedangkan “Mazhab Semiotika” cenderung mempergunakan

linguistik dan subjek seni, cenderung memusatkan dirinya pada karya

komunikasi.14

Masing-masing mazhab menafsirkan definisi kita tentang komunikasi

sebagai interaksi sosial melalui pesan dengan caranya sendiri. Mazhab pertama

mendefinisikan interaksi sosial sebagai proses yang dengannya seorang pribadi

berhubungan dengan pribadi yang lain, atau memperngaruhi perilaku, state of

mind atau respon emosional yang lain, dan demikian pula sebaliknya. Hal ini lebih

dekat denga akal sehat (common sense), penggunaan sehari-hari dari frase

tersebut. Sementara “Mazhab Semiotika” mendefinisikan interaksi sosial sebagai

yang membentuk individu sebagai anggota dari suatu budaya atau masyarakat

tertentu. 15

Pada penelitian ini peneliti menggunakan Mazhab yang kedua yakni

mazhab yang melihat komunikasi sebagai produksi dan pertukaran makna dimana

13

Ibid. hal 9 14

ibid

15

(23)

commit to user

peneliti menggunakan film, yang sarat akan pertukaran makna, menjadi pusat

objek penelitian. Penelitian ini erat kaitannya dengan teks dan kebudayaan.

Kedua mazhab tersebut juga berbeda dalam pemahaman mereka atas apa

yang membentuk sebuah pesan. Pada satu sisi, “Mazhab Proses” melihat pesan

sebagai sesuatu yang ditransmisikan melalui proses komunikasi. Kebanyakan

pengikutnya percaya bahwa tujuan (intention) merupakan suatu faktor yang

krusial dalam memutuskan apa yang membentuk sebuah pesan. Tujuan pengirim

mungkin tidak dinyatakan atau dinyatakan, disadari atau tidak disadari, namun

harus dapat diperoleh kembali dengan analisis. Pesan adalah apa yang pengirim

sampaikan dengan sarana apa pun.16

Bagi “Mazhab Semiotika”, pada sisi yang lain, pesan merupakan suatu

konstruksi tanda yang, melalui interaksinya dengna penerima, menghasilkan

makna. Pengirim, yang didefinisikan sebagai transmiter pesan, menurut arti

pentingnya. Penekanan begeser pada teks dan bagaimana teks itu “dibaca”. Dan,

membaca adalah proses menemukan makna yang terjadi ketika pembaca

berinteraksi atau bernegoisasi dengan teks. Negosiasi ini terjadi karena pembaca

membawa aspek-aspek pengalaman budayanya untuk berhubungan dengan kode

dan tanda yang menyusun teks. Ia juga melibatkan pemahaman yang agak sama

tentang apa sebenarnya teks tersebut. Kita hanya harus melihat bagaimana

koran-koran yang berbeda melaporkan peristiwa yang sama secara berbeda untuk

merealisasikan betapa pentingnya pemahaman ini, pandangan dunia ini, yang

tiap-tiap koran bagikan kepada para pembacanya. Maka pembaca dengan pengalaman

16

(24)

commit to user

sosial yang berbeda atau dari budaya yang berbeda mungkin menemukan makna

yang berbeda pada teks yang sama. Ini bukanlah, seperti yang telah kami katakan,

bukti yang penting dari kegagalan komunikasi.17

Lantas, pesan bukanlah sesuatu yang dikirim dari A ke B, melainkan suatu

elemen dalam sebuah hubungan terstruktur yang elemen-elemen lainnya termasuk

realitas eksternal dan produser/pembaca. Memproduksi dan membaca teks

dipandang sebagai proses yang peralel, jika tidak identik, karena mereka

menduduki tempat yang sama dalam hubungan tersetruktur ini. Kita bisa

menggambarkan model struktur ini sebagai sebuah segitiga dengan anak panah

yang menunjukan interaksi yang konstan; struktur tersebut tidaklah statis,

melainkan suatu praktik yang dinamis (lihat skema 1)18

Skema 1. Pesan dan Makna

Dalam komunikasi terdapat beberapa level komunikasi yaitu komunikasi

interpersonal, komunikasi intrapersonal, komunikasi kelompok, komunikasi

organisasi, dan komunikasi massa. Film adalah salah satu bentuk media

komunikasi massa. Pada penelitian ini, peneliti memandang pesan sebagai sebuah

teks yang dibaca. Peneliti mencoba menemukan makna pada sebuah film yang

17

ibid

18

(25)

commit to user

berhubungan dengan pengalaman budaya serta kode dan tanda yang menyusun

film tersebut.

5.2 Pesan Komunikasi

Menurut Stephen W.Littlejohn, pesan atau message merupakan inti dari

studi ilmu komunikasi. Dalam disiplin ilmu komunikasi memiliki cabang yang

bertingkat dimana yang memiliki titik sentral adalah pesan atau message.19

Secara rinci Riyono Praktikto mengatakan bahwa pesan merupakan semua

bentuk komunikasi baik verbal maupun non-verbal. Yang dimaksud dengan

komunikasi verbal adalah komunikasi lisan, sedangkan komunikasi non-verbal

adalah komunikasi dengan simbol, isyarat, sentuhan perasaan dan penciuman.20

Dari hal tersebut dapat kita simpulkan bahwa pesan merupakan bentuk

gagasan verbal maupun non-verbal yang disampaikan kepada orang lain, yang

bertujuan menyatakan maksud tertentu sesuai dengan keperluan orang lain

berkenaan dengan manfat dan kebutuhannya.

Dalam menyampaikan pesan kita seringkali menggunakan

lambang-lambang. Salah satu lambang yang paling banyak digunakan adalah bahasa.

Karena dalam komunikasi bahasa sebagai lambang mampu mentrasnmisikan

pikiran, ide, pendapat dan sebagainya baik mengenai hal yang abstrak maupun

yang kongkret; tidak saja tentang hal ataupun peristiwa yang terjadi saat sekarang

tetapi juga pada waktu yang lalu atau masa mendatang.

19

Little John, S.W, Theories of Human Communication, Wadsworth Publishing Company, Belmont california, 2002 hal. 61.

20

(26)

commit to user

Selain bahasa, isyarat adalah basis dari seluruh komunikasi. Suatu isyarat

menandakan sesuatu selain dirinya sendiri, dan makna adalah hubungan suatu

obyek atau ide dan suatu isyarat. Konsep dasar ini mengikat bersama seperengkat

teori yang sungguh luas berurusan dengan simbol, bahasa, wacana dan

bentuk-bentuk nonverbal, teori-teori yang menjelaskan bagaimana isyarat berhubungan

dengan artinya dan bagaimana isyarat disusun.21

Komunikasi akan terjadi atau berlangsung selama ada kesamaan makna

mengenai apa yang dipercakapkan. Kesamaan bahasa yang dipergunakan dalam

percakapan itu belum tentu menimbulkan kesamaan makna. Tetapi komunikasi

berpusat pada pesan bersandar pada informasi dan beberapa teori telah

memaparkan tentang pemrosesan pesan. Teori ini melihat pembuatan dan

penerimaan pesan sebagai persoalan psikologis, memfokuskan pada sifat-sifat,

keadaan-keadaan dan proses-proses individual.

Teori pembuatan dan penerimaan pesan menggunakan tiga tipe penjelasan

psikologis: penjelasan sifat, penjelasan keadaan, dan penjelasan proses. Penjelasan

sifat berfokus pada karakteristik individual yang relatif statis dan cara

karakteristik ini berasosiasi dengan sifat-sifat dan variable lain, hubungan antara

tipe personalitas tertentu dan jenis-jenis pesan tertentu.22

Selain teori diatas dalam konteks pesan, terdapat teori-teori penerimaan

dan pemrosesan pesan teori ini mencakup bagaimana pesan itu diterima,

dipahami, dan manusia dapat mengorganisasikan serta menggunakan informasi

yang terkandung didalam pesan. Teori penerimaan dan pemrosesan pesan

21

Little John, S.W, Op. Cit, hal 64. 22

(27)

commit to user

sebagian besar masih terdapat dalam level kognisi, yaitu studi tentang pemikiran

dan pemrosesan informasi.

Menurut Dean Hewes kognisi menuntut dua elemen sentral, yaitu

struktur-struktur pengetahuan dan proses-proses kognitif. Struktur pengetahuan terdiri dari

organisasi informasi di dalam sistem kognitif seseorang. Bahkan pesan yang

paling sederhanapun membutuhkan banyak sekali informasi untuk bisa dipahami.

Di dalam kognitif potongan-potongan informasi saling dihubungkan satu sama

lain kedalam sebuah pola yang teratur. Tujuh proses kognitif yang paling utama

menurut Hewes yang saling berinterelasi adalah, pertama pemfokusan, yaitu

sebuah proses menghadapi detil-detil tertentu dari informasi. Proses kedua adalah

integrasi atau pembuatan hubungan antara potongan-potongan informasi. Ini

merupakan proses penggabungan apa yang dilihat dan didengar kedalam

informasi pengetahuan yang menyeluruh. Ketiga adalah pengambilan kesimpulan,

sebuah proses pengisian, ketika seseorang membuat asumsi-asumsi tentang

hal-hal yang tidak teramati berdasarkan hal-hal-hal-hal yang teramati.23

Proses yang keempat dan kelima melibatkan ingatan, penyimpanan dan

pengungkapan. Struktur pengetahuan harus disimpan dan digunakan di lain waktu

dan ia harus diingat secara tepat. Proses keenam dan ketujuh adalah seleksi dan

implementasi juga berjalan bersamaan. Seleksi adalah pemilihan perilaku dan

simpanan seseorang dan implementasi bertindak sesuai dengan perilaku yang

sudah dipilih dengan melakukannya.24

5.3 Film sebagai Media Komunikasi Massa

23

Ibid. hal. 129 24

(28)

commit to user

Kehidupan manusia tidak pernah terlepas dari apa yang disebut dengan

komunikasi. Dengan melakukan komunikasi, manusia bisa saling tukar informasi,

gagasan, ide dan pengalaman. Adanya komunikasi akan membentuk suatu

jaringan interaksi yang kompleks bagi manusia. Di abad ini komunikasi telah

mencapai suatu titik dimana orang mampu berbicara dengan jutaan manusia

secara serentak dan serempak. Hal ini berarti tidak ada lagi batasan – batasan yang

menghambat berlangsungnya komunikasi antar personal.

Definisi komunikasi massa yang paling sederhana dirumuskan Bitner

sebagai berikut :

Mass communication is massage communicated through a mass medium to a large member of people “ ( komunikasi massa adalah pesan yang dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah besar orang ) 25

Film adalah salah satu media massa yang berfungsi untuk menyampaikan

pesan dari komunikator (produser) kepada komunikan (penonton). Dalam

menyampaikan pesan, film tidak bisa berdiri sendiri sebagi media yang

benar-benar netral. Film mempunyai kekuatan untuk mengkonstruksi pesan lewat bahasa

audio visual. Realitas atau fakta yang berada dalam film seolah-olah muncul

sebagai representasi peristiwa yang objektif, jujur, adil, transparan. Penonton

hanya menjadi mayoritas yang diam ketika menonton film. Kekuatan film sebagai

media massa dibandingkan dengan jenis media massa lain adalah layar lebar,

pengambilan gambar, konsentrasi penuh dan identifikasi psikologis. 26

Setiap kegiatan yang di komunikasi – massakan dapat dipecah dalam dua

elemen : komunikator yang mengirimkan pesan tertentu melalui sebuah saluran

25

Jalaluddin Rahmat, Psikologi Komunikasi, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 1991, hal.188

26

(29)

commit to user

kepada audiens dengan sejenis efek. Dalam komunikasi massa, media yang

digunakan adalah media massa. Perbedaan media massa dengan media yang

terbatas bukanlah pada alat itu sendiri, tetapi justru pada cara penggunaan alat itu.

Untuk dapat digolongkan sebagai media massa, sebuah alat tidak hanya

memberikan kemungkinan komunikasi melalui suatu alat mekanik, menciptakan

suatu hubungan yang dekat antara komunikator dengan audience-nya tetapi juga

harus benar-benar digunakan untuk berkomunikasi dari sebuah sumber tunggal

kepada sejumlah besar orang ( massa ). Jadi, film yang diputar di rumah tangga

bukanlah suatu media massa, tetapi kalau sebuah film diputar di bioskop dan

ditonton oleh banyak orang secara serempak, maka film bisa disebut sebagai

media komunikasi massa.

Film sebagai salah satu bentuk media massa mempunyai peran penting di

dalam sosial kultural, artistik, politik, dan dunia ilmiah. Pemanfaatan film dalam

usaha pembelajaran masyarakat ini sebagian didasari oleh pertimbangan bahwa

film mempunyai kemampuan untuk menarik perhatian orang dan sebagian lagi

didasari oleh alasan bahwa film mempunyai kemampuan mengantar pesan secara

unik.27 Film tidak lagi dimaknai sekedar karya seni (film as art), tetapi lebih

sebagai praktik sosial (Turner, 1991) serta komunikasi massa (Jowett dan Linton,

1981). Terjadinya pergeseran perspektif ini,paling tidak telah mengurangi bias

normatif dari teoritisi film yang cenderung membuat idealisasi dan karena itu

mulai meletakkan film secara objektif.28

27

McQuail, Denis, 1994, Mass Communication Theories, Fourth editions, Sage Publications, London.

28

(30)

commit to user

Selain itu film juga merupakan sebuah media hiburan yang sederhana dan

murah. Tidak ada media lain yang memiliki kemampuan yang sama untuk

memikat kepentingan penonton, untuk melibatkan penonton, dan membuat

pengalaman emosional. Tidak ada media lain yang efektif dalam menciptakan

pengalaman yang benar-benar berkesan.29

Sejak diketemukannya sampai dengan saat ini, film telah menjadi bagian

dari kehidupan manusia sebagai cara dominan untuk mengungkapkan ekspresi.

Hal ini terjadi karena film adalah media komunikasi yang didalamnya memuat

pesan dari kreator. Film sebagai media komunikasi dapat dinyatakan sebagai

proses sosial, media yang mentransmisikan signal, dan signal-signal itu

diperlakukan sebagai pesan.30

Sebagi gambar yang bergerak, film adalah reproduksi dari kenyataan

seperti apa adanya. Ketika film ditemukan, orang datang berbondong-bondong ke

gedung bioskop hanya untuk melihat bagaimana kenyataan ditampilkan kembali

sama persis dengan realitas yang terjadi di depan matanya sendiri. Maka ketika

film diputar di bioskop, sebenarnya tidak akan pernah ada perhatian bersama yang

tuntas tentang kenyataan apa adanya yang diungkapkan kembali dalam sebuah

film. Dengan begini, kita sampai pada kenyataan lain. Sebuah film mungkin saja

merupakan reproduksi kenyataan seperti apa adanya secara sinematografis dalam

batas-batas tertentu, namun film tidak pernah sahih sebagai representasi kenyataan

29

Kirsch, Christina, Film and Collective Storytelling in Corporate Identity : a Case Study, www.emeraldinsight.com

30

(31)

commit to user

apa adanya itu sendiri karena yang berlangsung hanyalah subjek yang beradu

dengan subjek. 31

Sebuah film sebagai produk kesenian maupun sebagai medium, adalah

suatu cara untuk berkomunikasi. Dalam sebuah film ada pesan yang ingin

dikomunikasikan kepada penonton. Dalam konteksnya sebagai media komunikasi

massa. Dalam film, cara komunikasinya adalah cara bertutur. Film mengandung

unsur tema, cerita dan tokoh yang dikemas dalam format audio visual yang pada

akhirnya mengkomunikasikan sebuah pesan baik secara eksplisit maupun implisit.

Menurut David Bardwell, cara bertutur ini adalah penghadiran kembali kenyataan,

dengan makna yang lebih luas. 32

Kepekaan artistik dalam memaknai pesan dalam film dibutuhkan karena

film memiliki bahasa tersendiri yang terdapat pada teknik-teknik penyajian

gambar (cut), pemotretan jarak dekat (close up ), pemotretan dua sisi ( two shot),

pemotretan jarak jauh (long shot), pembesaran atau pengecilan gambar (zoom

out/zoom in), pelarutan dua gambar secara halus (disolve), sampai kepada yang

melibatkan efek khusus (special effect) sperti gerakan lambat (slow motion),

gerakan dipercepat (speeded up), dan special effect digital yang lebih canggih

lainnya, yang melibatkan animasi atau permainan program komputer.33 Karena

memiliki kekayaan dalam bentuk-bentuk tanda untuk mengkodekan pesan, maka

film juga menjadi lebih menarik bagi masyarakat dibandingkan dengan media

komunikasi massa lainnya. 31

Seno Gumira Ajidarma. Layar kata. Bentang. Yogyakarta : 2004 hal 34 32

David Bardwell, Narration in The Fiction Film, Wisconsin : The University of Wisconsin Press, 1985. hal xi

33

(32)

commit to user

Dalam teori komunikasi, film bisa dikatakan sebagai sebuah pesan yang

disampaikan kepada komunikan. Sedangkan makna tidak terdapat pada pesan

melainkan pada penerima pesan. Bagaimana kreator mengurangi bisa makna yang

terjadi sehingga pesan itu bisa dipersepsi secara seragam itulah yang penting

kecuali jika film diangap barang seni yang cenderung susah dipahami dan lebih

banyak menjadi familiar bagi kreatornya daripada audiencenya. Efektifitas

komunikasi bisa diukur secara berbeda-beda tergantung seperti apa tujuan dari

proses komunikasi itu sendiri. Bagaimana tanda itu dipersepsi oleh penerima atau

interpreter sehingga terjadi komunikasi yang efektif.

Cara bertutur adalah bagian dari teknik komunikasi, yakni bagaimana

sebuah film menancapkan pesan ke benak penonton dengan cara yang

mengesankan. Pengertian mengesankan dalam hal ini adalah penonton dapat

memahami sebuah pesan bukan karena pemberitahuan mentah-mentah, melainkan

berdasarkan pengalaman yang didapatnya dari sebuah film.

Media film sebenarnya memiliki kekuatan lebih dibandingkan media lain

dalam melakukan representasi terhadap kenyataan. Jurnalisme mungkin

mendasarkan kerjanya pada realitas, tetapi jurnalisme dikendalikan oleh prinsip

kelayakan berita yang memotong realitas itu dalam satuan-satuan kelayakan berita

tersebut. Sedangkan film nyaris tak terbatasi oleh hukum-hukum ekstrinsik

semacam itu. Ketika pembuat film memilih sebuah tema, maka yang

(33)

commit to user

yang nyaris sama luasnya dengan kehidupan itu sendiri, film punya kemungkinan

yang tak terbatas.34

5.4Film Sebagai Representasi

Konsep awal dalam representasi dari sebuah film adalah ingin

menggambarkan kembali sesuatu hal yang ada pada cerita di sebuah film.

Representai menunjuk baik pada proses maupun dari produk pemaknaan suatu

tanda. Representasi sendiri adalah suatu proses perubahan konsep-konsep ideologi

yang abstrak dalam bentuk yang konkrit. Representasi juga mempunyai beberapa

pengertian diantaranya adalah konsep yang digunakan dalam proses sosial

pemaknaan melalui sistem penandaan yang tersedia : dialog, tulisan, video,

fotografi, film, dan sebagainya.35

Terkait dengan film yang akan diteliti, representasi merupakan

konvensi-konvensi yang dirancang untuk menarik perhatian sekaligus dapat dipahami

dengan mudah secara luas oleh audiencenya. Konvensi dalam bahasa representasi

film tercermin pada kode-kode sinematografis dan naratif yang digunakannya.

Penulis mengkategorikan film yang akan diteliti menjadi dua aspek. Kedua

aspek tersebut meliputi:

1. Aspek Sosial

Aspek sosial adalah aspek yang menyangkut kondisi sosial yang

terdapat dalam film. Bagaimana kondisi tokoh-tokoh dalam film,

34

Eric Sasono, Film sebagai Kritik Sosial, dalam http://ericsasono.blogspot.com/, diakses pada

tanggal 8 Juni 2010

35

(34)

commit to user

hubungan antar tokoh, dalam film dan situasi yang digambarkan dalam

film merupakan bagian dari aspek sosial.

2. Aspek Sinematografi

Aspek sinematografi adalah segala hal yang menyangkut tata cara

dan teknis pembuatan film. Bagaimana angle kamera dalam menangkap

obyek, besar kecilnya obyek yang tertangkap pada kamera (shot distance),

pencahayaan, setting dan efek-efek yang dihasilkan dari teknis-teknis

tersebut. Termasuk didalamnya adalah setting pengambilan gambar serta

seluruh yang ada pada dunia rekaan tersebut.

5.5 Film Pendek

Film pendek merupakan primadona bagi para pembuat film indepeden.

Selain dapat diraih dengan biaya yang relatif lebih murah dari film cerita panjang,

film pendek juga memberikan ruang gerak ekspresi yang lebih leluasa. Meski

tidak sedikit juga pembuat film yang hanya menganggapnya sebagai sebuah batu

loncatan menuju film cerita panjang.

Film pendek berhubungan dengan cerita yang pendek, tetapi bermakna

besar, sebagaimana terjadi dalam dunia visual art, telah mengalami berbagai

eksplorasi dari bentuk dan kreasi yang menghasilkan style yang sangat khas.

Karya Luis Bunuel, Maya Deren, dan karya-karya yang dibuat oleh Stan Brakhage

atau Andy Warhol telah lebih jauh memberi komentar dengan style MTV

dibandingkan dengan apa yang dilakukan sebelumnya dalam produksi film

(35)

commit to user

menumpuk-numpuk gambar bukan menciptakan efek, melainkan banyak

mewujudkan nilai simbolik sebagaimana terjadi pada refleksi diri dan

mewujudkan dengan peralatan untuk menjadi manipulasi kemudian disampaikan

dalam bahasa visual. Beberapa pembuat film pendek memosisikan diri sangat

stylistic seperti halnya minimalis Andy Warhol. Sebenarnya posisi style-nya

sangat jelas sebagai lawan yang memosisikan isinya, bahwa pengalaman dari

film-filmnya menjadi komentar dalam medium melebihi interpretasi atas

lingkungan atau dunia secara umum.36

Film pendek pada hakikatnya bukanlah sebuah reduksi dari film cerita

panjang, ataupun sekedar wahana pelatihan belaka. Film pendek memiliki

karakteristiknya sendiri yang berbeda dengan film cerita panjang, bukan lebih

sempit dalam pemaknaan, atau bukan lebih mudah. Sebagai analogi, dalam dunia

sastra, seorang penulis cerpen yang baik belum tentu dapat menulis cerpen dengan

baik; begitu juga sebaliknya, seorang penulis novel, belum tentu dapat memahami

cara penuturan simpleks dari sebuah cerpen. Alur cerita adalah cara yang bagus

untuk menciptakan pemahaman bersama tentang mengkomunikasikan

pengalaman.

Secara teknis, film pendek merupakan film-film yang memiliki durasi

dibawah 50 menit.37 Meskipun banyak batasan lain yang muncul dari berbagai

pihak lain di dunia, akan tetapi batasan teknis ini lebih banyak dipegang secara

konvensi. Mengenai cara bertuturnya, film pendek memberikan kebebasan bagi

36

Gotot Prakosa, Ketika Film Pendek Bersosialisasi, Yayasan Layar Putih, 2001hal 25-26 37

(36)

commit to user

para pembuat dan pemirsanya, sehingga bentuknya menjadi sangat bervariasi.

Film pendek dapat saja hanya berdurasi 60 detik, yang penting ide dan

pemanfaatan media komunikasinya dapat berlangsung efektif. Yang menjadi

menarik justru ketika variasi-variasi tersebut menciptakan cara pandang-cara

pandang baru tentang bentuk film secara umum, dan kemudian berhasil

memberikan banyak sekali kontribusi bagi perkembangan sinema.

Istilah ‘independent film’ dan ‘independent filmmaker’ memang muncul

pertama kali dan populer di Amerika sudah sejak jamannya Stanley Kubrick mulai

menyutradarai film. Definisi ‘independent film’ pun masih terus menjadi polemik

besar diantara mereka masing-masing. Ada yang memberikan definisi yang sangat

bersudut-pandang industri, yaitu Gregory Goodell yang mengatakan:

“ … any film that is developed without ties to a major studio, regardless of where the subsequent production and/or distribution financing comes from.”38

Definisi bersudut pandang industri seperti yang disebutkan Goodell (dan

tentu saja banyak praktisi perfilman Hollywood lainnya) terasa begitu ‘sempit’

untuk dapat menggambarkan apa yang disebut sebagai film independen secara

universal. Untuk konteks Amerika Serikat khususnya Hollywood mungkin

definisi ini sah-sah saja, mengingat begitu mapannya industri perfilman di sana.

Jadi, dalam konteks mereka, semua film yang diproduksi diluar studio-studio

milik Disney, MGM, Paramount, Sony, 20th Century-Fox, Universal dan Warner

Bros. adalah film independen. Definisi ini begitu dikotomis dan tentu saja praktis.

Akan tetapi dari sudut pandang metodologi ilmiah, jelas penarikan definisi ini

38

(37)

commit to user

tidak bijaksana. Ada juga yang memberikan batasan yang sangat teknis, seperti

Moran & Willis yang menyatakan bahwa:

“Independen sebagai gerakan oposisi yang keras untuk melawan praktek-praktek dominasi media dalam beberapa sektor… Dalam sektor teknologi, independen bergerak dalam dunia amatir (home video, 8mm, 16mm, 70mm) melawan profesional (35mm). Dalam sektor industri, independen bergerak dari pribadi atau kelompok-kelompok lepas melawan produksi, distribusi dan eksibisi yang terorganisir secara masal. Dalam sektor estetika, independen mengangkat segi orisinalitas, penampilan dan avant-garde melawan konvensional, generik dan residual. Dalam sektor ekonomi, independen bergerak dari segi kecintaan terhadap film melawan kecintaan terhadap uang. Dalam sektor politik, indepeden bergerak dari eksplorasi budaya-budaya marginal dan yang tertindas melawan pusat, dominasi dan kecenderungan umum.” (Moran & Willis,….)39

Definisi bersifat teknis ini ternyata juga bernuansa politis. Hal tersebut

mengingatkan kita akan timbulnya gerakan Avant-garde Cinema di Perancis dan

gerakan The New German Cinema di Jerman beberapa dekade sebelumnya.

Definisi bernuansa politis semacam ini juga dianut oleh Planet Indie Festival di

Kanada yang menyatakan dasar filosofis mereka:

“Film independen, yang terpenting dan yang paling harus diutamakan adalah film yang tidak melibatkan peran pemerintah didalamnya.” 40

Dalam sejarah film dunia, istilah ‘film pendek’ mulai populer sejak dekade

50-an. Alur perkembangan terbesar film pendek memang dimulai dari Jerman dan

Perancis; para penggagas Manifesto Oberhausen di Jerman dan kelompok Jean

Mitry di Perancis. Di kota Oberhausen sendiri, kemudian muncul Oberhausen

Kurzfilmtage yang saat ini merupakan festival film pendek tertua di dunia;

sementara saingannya adalah Festival du Court Metrage de Clermont-Ferrand

yang diadakan tiap tahun di Paris. Sejak gerakan-gerakan ini muncul, film pendek

telah mendapatkan tempatnya di pemirsa film Eropa. Festival-festival film pendek

39

http://www.konfiden.or.id/videotex/pages/vtex_makalah03.php, diakses pada tanggal 8Juni 2010

40

(38)

commit to user

menjadi ajang eksibisi utama yang selalu sarat pengunjung, apalagi kemudian

didukung dengan banyak munculnya cinema house bervolume kecil untuk dapat

menonton karya-karya film pendek di hampir setiap sudut kota di Eropa.41

Hubungan internasional mulai terbangun, diantaranya dengan para

filmmaker Eropa terutama dengan Festival Film Pendek Oberhausen, ketika untuk

pertama kalinya film pendek Indonesia berbicara di muka dunia di tahun 1984.

Keadaan ini memancing munculnya Forum Film Pendek di Jakarta, yang

berisikan para seniman, praktisi film, mahasiswa dan penikmat film dari berbagai

kampus untuk secara intensif membangun networking yang baik di kalangan

pemerhati film. Akan tetapi, Forum Film Pendek hanya bertahan dua tahun saja

Di Indonesia, film pendek sampai saat ini selalu menjadi pihak marjinal,

dari sudut pandang pemirsa karena tidak mendapatkan media distribusi dan

eksibisi yang pantas seperti yang didapatkan cerpen di dunia sastra. Film pendek

memiliki sejarahnya sendiri yang sering terlupakan. Film pendek Indonesia secara

praktis mulai muncul di kalangan pembuat film Indonesia sejak munculnya

pendidikan sinematografi di IKJ. Perhatian para film-enthusiasts pada era 70-an

dapat dikatakan cukup baik dalam membangun atmosfer positif bagi

perkembangan film pendek di Jakarta. Bahkan, Dewan Kesenian Jakarta

mengadakan Festival Film Mini setiap tahunnya mulai 1974, dimana format film

yang diterima oleh festival tersebut hanyalah seluloid 8mm. Akan tetapi sangat

disayangkan kemudian Festival Film Mini ini berhenti pada tahun 1981 karena

41

(39)

commit to user

kekurangan Dana. Pada 1975, muncul Kelompok Sinema delapan yang dimotori

Johan Teranggi dan Norman Benny. Kelompok ini secara simultan terus

mengkampanyekan pada masyarakat bahwa seluloid 8mm dapat digunakan

sebagai media ekspresi kesenian.42

Secara garis besar, keadaan film pendek di Indonesia memang dapat

dikatakan ironis. Film pendek Indonesia hampir tidak pernah tersampaikan ke

pemirsa lokal-nya secara luas karena miskinnya ajang-ajang eksibisi dalam negeri.

Akan tetapi di sisi lain, di dunia internasional, film pendek Indonesia cukup

mampu berbicara dan eksis. Dari sejak karya-karya Slamet Rahardjo, Gotot

Prakosa, Nan T. Achnas, Garin Nugroho, sampai ke generasi Riri Riza dan

Nanang Istiabudi.43

5.6 Semiologi dalam film

Semiotik atau semiologi merupakan terminologi yang merujuk pada ilmu

yang sama. Istilah semiologi lebih banyak digunakan di Eropa sedangkan

semiotik lazim dipakai oleh ilmuwan Amerika. Semiotika berasal dari kata

Yunani semeion, yang berarti tanda. Semiotika adalah cabang ilmu pengetahuan

yang mempelajari tentang tanda. Tanda-tanda tersebut menyampaikan suatu

informasi atau pesan baik secara verbal maupun non-verbal sehingga bersifat

komunikatif, hal tersebut memunculkan suatu proses pemaknaan oleh penerima

tanda akan makna informasi atau pesan dari pengirim pesan. Disamping itu,

42

Ibid

43

(40)

commit to user

semiotika ( semiotics ) adalah salah satu dari ilmu yang beberapa ahli atau pemikir

dikaitkan dengan kedustaan, kebohongan, dan kepalsuan, sebuah teori dusta. Jadi,

ada asumsi terhadap teori dusta ini serta beberapa teori lainnya yang sejenis, yang

dijadikan sebagai titik berangkat dari sebuah kecenderungan semiotika yang

kemudian disebut juga sebagai hipersemiotika (hyper-semiotics). Umberto Eco

yang menulis tentang teori semiotika ini mengatakan bahwa semiotika "...pada

prinsipnya adalah sebuah disiplin yang mempelajari segala sesuatu yang dapat

digunakan untuk berdusta (lie)."44

Semiologi adalah istilah untuk ilmu tentang tanda-tanda yang

dikemukakan ahli linguistik dari Swiss, Ferdinand de Saussure. Perbedaan ilmu

tentang tanda, semiotik, pertama kali dikembangkan oleh filosof Amerika yang

bernama Charles sanders Pierce. Sifat alami tanda yaitu menunjuk suatu karakter

yang mengandung makna tersembunyi yang akan diterjemahkan sebagi tanda.

Sebuah tanda akan disebut demikian dalam kenyataannya, berdasarkan

penerimaan sebuah penafsiran dimana berdasarkan pula ketentuan tanda lain

dalam suatu obyek yang sama. Struktur tanda tidak hanya terbatas pada

representasi yang digunakan untuk menjabarkan hubungan antara tanda dan

obyek, tapi juga membangkitkan suatu keyakinan.45

Semiotika adalah istilah yang saat ini secara umum digunakan untuk

menunjukkan kedua sistem tersebut di atas. Keduanya menaruh perhatian

mengenai bagaimana makna dibangkitkan didalam sebuah teks (film, program

44

Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotika Tafsir cultural Studies Atas Matinya Makna, Yogyakarta : Jalasutra, 2003, hal. 43-44

45

(41)

commit to user

acara televisi, lagu, dan bentuk kebudayaan lainnya) yang melibatkan komunikasi

dan transfer informasi.

Semiotika, atau dalam istilah barthes, semiologi, pada dasarnya hendak

mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal –hal (things).

Memaknai (to sinify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukan dengan

mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek

tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak

berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda.46 Tanda

sebenarnya representasi dari gejala yang memiliki sejumlah kriteria seperti : nama

(sebutan), peran, fungsi, tujuan, dan keinginan.

Obyek semiotika adalah teks. Teks dipahami bukan sebagai sesuatu yang

dibaca saja tetapi juga semua hal yang memiliki kode-kode yang bisa dimaknai.

Proses memaknai (signifikasi) teks, tidak hanya terbatas dalam bahasa saja, tetapi

juga hal-hal lain. Barthes sendiri didalam bukunya yang berjudul mytologies,

memperlakukan obyek-obyek studinya (seperti margarin, sabun mandi sampul

majalah, film charlie chaplin, dan novel) seperti memperlakukan bahasa.47

Pada dasarnya film harus dilihat sebagai salah satu bentuk komunikasi

sehingga pemahaman makna dalam film dapat dilihat dalam konteks yang jauh

lebih luas. Makna yang diperoleh dari film akan lebih lengkap jika dikaji dengan

melibatkan keseluruhan unsur-unsur komunikator dan komunikan, komunikasi

juga melibatkan kebudayaan yang ada disekitarnya.

46

Sobur, Alex, Drs, MSi, Semiotika Komunikasi, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, cetakan ketiga 2006, Hal.15

47

(42)

commit to user

Terlebih dari perkembangannya film telah mampu menjadi alat untuk

refleksi dari masyarakat, dan tampaknya menjadi perspektif yang secara umum

sebagaimana dikemukakan Garth Jowett:48

“(Its is more generally agree that mass media are capable of reflecting society because they are forced by their commercial nature to provide a level of content which will guarantee the widst possible audiens.“

Yaitu lebih mudah disepakati bahwa media massa yang diwakili oleh film,

telah mampu merefleksikan masyarakat karena ia didesak oleh hakikat

komersialnya untuk menyajikan isi yang tingkatnya akan menjamin kemungkinan

audiens yang luas. Tetapi tidak hanya itu saja film ternyata juga memiliki banyak

pesan didalamnya. Untuk mengetahui pesan-pesan yang ada dalam film tersebut,

maka dapat dilihat melalui kacamata semiotika. Dalam semiotika ada beberapa

tahapan, tahap pertama adalah denotasi, makna denotasi merupakan makna

harfiah dari suatu objek atau citra, yaitu apa yang tergambarkan pada objek atau

citra tersebut. Bagi masyarakat yang memiliki kebudayaan yang sama, makna

denotasi tidak akan berbeda secara signifikan. Sedangkan konotasi kadangkala

dinamakan sebagi signifikasi tahap kedua yang menggambarkan interaksi yang

terjadi ketika tanda pertama dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta

nilai-nilai dari kebudayaannya, konotasi adalah suatu tanda yang berhubungan dengan

satu atau lebih fungsi tanda, makna konotasi dapat bervariasi diantara satu orang

dengan orang lain, hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan diantara mereka,

entah perbedaan usia, gender, kelas rasial dan sebagainya49.

48

Irawanto, Budi, Film,Ideologi, dan Militer, Hegemoni militer dalam sinema Ind, Media Pressindo, 1999, hal.13

49

(43)

commit to user

Pada signifikasi tahap kedua yang berhubungan dengan isi tanda bekerja

melalui mitos. Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan / memahami

beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam. Mitos merupakan produk kelas

sosial yang sudah mempunyai suatu dominasi. Di dalam mitos terdapat pola tiga

dimensi penanda, petanda dan tanda. Namun mitos dibangun oleh suatu rantai

pemaknaan yang telah ada sebelumnya.

Semiologi akan menghasilkan makna-makna yang berasal dari kajian

elemen-elemen film yang luas dan beragam, sehingga dapat diperoleh makna yang

meliputi berbagai dimensi. Semiologi memberikan pemahaman bahwa sebuah

makna tidak dipahami secara pasif, tetapi secara aktif dalam proses interpretasi.

Dan semiologi akan mengkaji simbol-simbol yang ada dalam film untuk

direpresentasikandalam kehidupan nyata, sehingga dapat diperoleh makna tertentu

Berikut adalah teori semiotika yang dikembangkan oleh mereka, yakni,

Charles Alexander Peirce, Ferdinand de Saussure dan Roland Bhartes.

a. Charles Alexander Peirce

Semiotika komunikasi yang mempunyai jejaknya pada pemikiran

Charles Sander Peirce menekankan “produksi tanda” secara secara sosial

dan proses interpretasi yang tanpa akhir (semiosis), akan tetapi tidak berarti

mengabaikan sistem tanda. Peirce, yang merupakan ahli filsafat dan logika,

mengungkapkan bahwa tanda-tanda memungkinkan kita berpikir,

berhubungan dengan orang lain, dan memberi makna pada apa yang

(44)

commit to user

Peirce memusatkan perhatian pada tanda pada umumnya. Sedangkan

semiotik signifikasi berakar pada pemikiran bahasa Ferdinand de Saussure.

Saussure mengembangkan dasar-dasar teori linguistik umum. Kekhasan

teorinya terletak pada kenyataan bahwa ia menganggap bahasa sebagai

sistem tanda.50

Semiotika bagi Peirce adalah suatu tindakan (action), pengaruh

(influence), atau kerja sama tiga subjek, yaitu tanda (sign), objek (object)

dan interpretan (interpretant). Yang dimaksud dengan subjek pada

semiotika Peirce bukan subjek manusia, tetapi tiga entitas semiotika yang

sifatnya abstrak sebagaimana disebutkan di atas yang tidak dipengaruhi oleh

kebiasaan berkomunikasi secara kongkret. Menurut Peirce, tanda adalah

segala sesuatu yang ada pada seseorang untuk menyatakan sesuatu yang lain

dalam beberapa hal atau kapasitas. Tanda dapat berarti sesuatu bagi

seseorang jika hubungan yang “berarti” ini diperantarai oleh interpretan.51

Peirce mengatakan bahwa tanda itu sendiri merupakan contoh dari

Kepertamaan, objeknya adalah Kekeduaan, dan penafsirnya unsur perantara

adalah contoh dari Keketigaan. Peirce berusaha untuk menemukan struktur

terner dimanapun mereka bisa terjadi. Keketigaan yang ada dalam konteks

pembentukan tanda juga membangkitkan semiotika yang tak terbatas,

selama suatu penafsir (gagasan yang membaca tanda sebagai bagi yang lain

(yaitu sebagai wakil dari suatu makna atau penanda) bisa dikatakan oleh

50

Aart Van Zoest, Interpretasi dan Semiotika dalam Panuti Sudjiman dan Aart Van Zoest, Serba-Serbi Komunikasi (Jakarta: Gramedia, 1992) hal. 2

51

Gambar

gambar (cut), pemotretan jarak dekat (close up ), pemotretan dua sisi ( two shot),
gambaran tersebut adlah seorang pahlawan yang didefinisikan sebagai orang-
Tabel 1 Makna Teknik Pengambilan Gambar, Pergerakan Kamera,dan
gambar dan suara : kata yang diucapkan (ditambah dengan suara-suara lain yang
+7

Referensi

Dokumen terkait

Salah satu media yang memiliki kekuatan dalam menanamkan pesan adalah film sedangkan salah satu film layar lebar Indonesia yang banyak menampilkan unsur pornografi di

Film sendiri termasuk dalam salah satu media komunikasi massa karena film bisa dan mampu menyampaikan pesan atau tujuan tertentu kepada khalayak secara serentak ketika para khalayak

Salah satu bentuk media komunikasi massa adalah film, film adalah gambar dan suara, yang terdiri dari integrasi jalinan cerita, jalinan cerita terbentuk dari

Kritik sosial dapat disampaikan melalui media komunikasi massa, seperti pada media film, karena dalam sebuah film, paling tidak memiliki sebuah pesan tertentu dalam pembuatanya,

Setiap film tentu memiliki pesan tersendiri yang ingin disampaikan melalui simbol-simbol serta tanda-tanda, begitu juga film dengan tema bersahabatan yang juga

Setiap film tentu memiliki pesan tersendiri yang ingin disampaikan melalui simbol-simbol serta tanda-tanda, begitu juga film dengan tema bersahabatan yang juga

Film merupakan bentuk daripada komunikasi massa yang digunakan untuk menyampaikan pesan yang tersimpan di dalamnya dalam sebuah karya audio visual, film yang berjudul

Tercatat F.W Murnau dari Jerman dengan film Nosferatu pada tahun 1922 yang mengangkat tema vampire pertama kali di dunia, baru setelah itu diikuti dengan