OLEH
M CATHERINE IRYANI
H14060072
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
Variabel Makroekonomi Indonesia. (dibimbing oleh IMAN SUGEMA).
Kondisi makroekonomi riil Indonesia mempengaruhi aktivitas perdagangan di bursa saham. Aktivitas perdagangan di bursa saham tersebut juga memiliki pengaruh terhadap kondisi makroekonomi riil Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan volatilitas di pasar saham, yaitu harga saham dan volume perdagangan, dan variabel makroekonomi Indonesia khususnya Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB), Indeks Produksi Sektor Industri (IPI), dan Jumlah Uang Beredar (JUB). Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui sifat inersia, pengaruh musiman stokhastik pada kelima variabel, kestabilan dan ketergantungan antar variabel.
Metode yang digunakan berbeda untuk masing-masing tujuan. Metode analisis ARIMA dan ARCH/GARCH digunakan untuk mengidentifikasi apakah ada volatilitas. Model persamaan VAR untuk mengidentifikasi sifat inersia, stabilitas, pengaruh musiman stokhastik dan saling ketergantungan antar variabel. Model persamaan VECM untuk mengidentifikasi hubungan jangka panjang kelima variabel tersebut.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya IHSG yang memiliki volatilitas. Kelima variabel ini terbukti memiliki hubungan dalam jangka panjang. Pengaruh volatilitas IHSG dan IPI terbukti akan hilang seiring berjalannya waktu . Efek musiman bulanan stokhastik terbukti mempengaruhi JUB dan IPI. Hasil penelitian ini juga menunjukkan harga saham dan jumlah uang beredar memiliki sifat inersia yang kuat. Indeks Harga Saham Gabungan dipengaruhi oleh variabel lainnya namun hanya dalam proporsi yang kecil. IHSG dominan dipengaruhi oleh IHSG pada peroide sebelumnya dan persepsi pemain dalam melihat volatilitas saham.
OLEH
M CATHERINE IRYANI
H14060072
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
Disetujui:
Pembimbing,
Dr. Ir. Iman Sugema NIP : 1964 0502 198903 1 003
Diketahui:
Ketua Departemen Ilmu Ekonomi
Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec NIP : 1964 1022 198903 1 003
Volatilitas Saham dengan Variabel Makroekonomi Indonesia adalah karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing dan belum pernah diajukan kepada perguruan tinggi manapun dalam bentuk apapun. Semua sumber informasi yang ada atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi.
Bogor, Maret 2011
Pandapotan Silitonga dan Linda Simanjuntak. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Pendidikan formal pertama penulis dimulai dari TK AL Burung Pipit Bekasi.
Tahun 1994 penulis melanjutkan pendidikannya di SD Negeri X Pagi Cipinang Melayu, kemudian pada tahun 1995 di SD Negeri II Bekasi, dan terakhir pada tahun 1996 di SD Swasta Katolik Budi Murni 6 Medan. Penulis melanjutkan ke SLTP Swasta Katolik Budi Murni 3 Medan pada tahun 2000. Tahun 2003 penulis melanjutkan pendidikannya di SMA Negeri 1 Medan.
Sejak di bangku SD hingga SMA, penulis meraih peringkat sepuluh besar di kelas. Selain berprestasi di bidang akademik, penulis juga aktif dalam keorganisasian siswa dan kegiatan ekstrakurikuler baik di dalam sekolah maupun di luar sekolah.
Tahun 2006, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiwa Baru (SPMB), kemudian terseleksi masuk sebagai mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Manajemen pada Program Studi Ilmu Ekonomi dan mengambil minor Statistika Sosial Ekonomi.
Periode 2008-2010, penulis memperoleh beasiswa BBM dan PPA. Selama menjadi mahasiswa di IPB, penulis aktif dalam berbagai kegiatan organisasi dan kepanitiaan. Penulis merupakan anggota Himpunan Profesi dan Peminat Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan. Penulis pernah menjadi anggota Komisi
Pembinaan Pemuridan Persekutuan Mahasiswa Kristen periode 2007-2008, kemudian dilanjutkan pada periode 2008-2009 penulis menjabat sebagai Sekretaris. Penulis juga pernah menjabat sebagai Sekretaris Persekutuan Mahasiswa Oikumene Kristen Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB periode 2008-2009.
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis mendapat kekuatan dan kesabaran dalam setiap langkap penyusunan skripsi ini.
Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB. Adapun judul skripsi ini adalah : “Analisis Hubungan Volatilitas Saham dengan Variabel Makroekonomi Indonesia”.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah memberi bantuan, bimbingan, dan dukungan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik, antara lain kepada :
1. Kedua orang tua penulis beserta Samuel, adik penulis, atas kasih sayang, doa, dan dukungan yang sungguh berarti bagi penulis.
2. Bapak Iman Sugema selaku dosen pembimbing skripsi yang telah membimbing saya selama penyusunan skripsi ini.
3. Bapak Dedi Budiman Hakim, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi dan juga selaku dosen penguji utama. Semua saran dan kritik merupakan hal yang berharga dalam perbaikan skripsi.
4. Bapak Deniey A.P, selaku Komisi Pendidikan atas saran dan kritik dalam perbaikan skripsi ini.
5. Bapak Toni Irawan atas bantuan dan bimbingan selama proses penyelesaian skripsi ini.
6. Seluruh dosen pengajar di Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB.
7. Pihak Bank Indonesia, Bursa Efek Indonesia, dan Badan Pusat Statistik atas bantuan sumber data yang diperlukan penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
11.Teman satu perjuangan, Dini Nur Oktavianti dan Nanang atas motivasi, diskusi, dan semangat yang luar biasa.
12.Rekan-rekan Ilmu Ekonomi 43, khususnya Mutiara Probokawuryan, Johanna, Sri, Christina, dan Fitria Faradila, atas dukungan dan bantuannya. 13.Kak Ade dan Kak Marhamah atas kesediaannya membantu & memberi
masukan kepada penulis selama penyelesaian skripsi.
14.Seluruh civitas Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB.
15.Steviaers : Theresia, Sonya, Nina, Yori, Poppy, Debora, Kak Cheche, Kak Eboy, Kak Ocoy, Kak Anyez, dan Kak Ani, yang memberi semangat di saat penulis merasa lemah.
16.Teman-teman pengurus KPP dan PF-FEM IPB periode 2008-2009 atas doa dan semangatnya terhadap penulis.
17.Megasari, Nina Ivanna, Novi, dan Kak Golda atas doa dan kata-kata positif pada saat penulis merasa putus asa.
Penulis menyadari bahwa dalam menyusun skripsi ini masih terdapat kekurangan. Segala kesalahan yang terjadi dalam penelitian ini, sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Oleh sebab itu, penulis memohon maaf atas segala kesalahan kata dan kekurangan dari skripsi ini. Penulis juga mengharapkan kritik dan masukan untuk perbaikan yang akan datang.
Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun berbagai pihak lain yang membutuhkan.
Bogor, Maret 2011
DAFTAR ISI
1.2 Perumusan Masalah ... 6
1.3 Tujuan Penelitian ... 8
1.4 Manfaat Penelitian ... 9
1.5 Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian ... 9
II. Tinjaun Pustaka dan Kerangka Pemikiran 2.1 Tinjauan Definisi ... 11
2.1.1 Volatilitas ... 11
2.1.2 Pasar saham... 12
2.1.3 Bursa efek ... 13
2.1.4 Saham ... 13
2.1.5 Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ... 14
2.1.6 Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB) ... 17
2.1.7 Indeks Produksi Industri (IPI) ... 17
2.1.8 Jumlah Uang Beredar (JUB) ... 18
2.2 Tinjauan Teori ... 18
2.2.1 Teori Pengharapan Rasional ... 18
2.2.2 Hipotesis Pasar Efisien ... 19
2.2.3 Teori Kuantitas Uang ... 20
2.2.4 Teori Umum Pasar ... 21
2.2.5 Teori Penetapan Harga Aset ... 21
2.2.6 Teori Arbitrase Harga ... 22
2.3 Penelitian Terdahulu ... 24
2.3 Kerangka Pemikiran ... 26
III.Metode Penelitian
3.1 Jenis dan Sumber Data ... 29
3.2 Metode Analisis ... 29
3.2.1 Model ARIMA ... 30
3.2.2 Model ARCH-GARCH ... 32
3.2.3 Model VAR... 36
3.2.4 Model VECM... 39
IV.Pembahasan 4.1 Identifikasi Volatilitas ... 41
4.2 Identifikasi Inersia, Stabilitas, Musiman, dan Saling Ketergantungan ... 45
4.3 Analisis Hubungan Jangka Panjang ... 49
V. Kesimpulan dan Saran 5.1 Kesimpulan ... 57
5.2 Saran ... 60
DAFTAR TABEL
4.1 Estimasi model ARIMA-ARCH ... 43
4.2 Uji Inersia, Stabilitas, dan Pengaruh Musiman Stokhastik ... 47
4.3 Uji Ketergantungan Antar Variabel ... 49
4.4 Uji Johanssen ... 50
4.5 Hasil Estimasi VECM ... 52
4.6 Variance Decomposition ... 53
DAFTAR GAMBAR
1.1 Pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bulanan periode 2000-2009 ... 21.2 Pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bulanan periode 2008-2009 ... 3
2.1 Diagram kerangka pemikiran ... 27
4.1 Grafik Indeks Produksi Industri (IPI), Jumlah Uang Beredar (JUB), volume perdagangan (VOL), dan Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB) bulanan periode 2000-2009 ... 42
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bursa Efek Indonesia mengalami saat-saat yang baik di era pertengahan
1990-an sejak adanya deregulasi yang dikeluarkan oleh pemerintahan Soeharto
pada tahun 1983. Hal ini ditandai dengan semakin meningkatnya rata-rata
perdagangan per harinya dan indeks harga saham gabungan (IHSG) sehingga
menjadikan Bursa Efek Indonesia merupakan salah satu bursa efek terbaik di Asia
Tenggara hingga tahun 1996 (Adiningsih dkk, 2008). Kondisi makroekonomi
Indonesia yang stabil saat itu juga dianggap sebagai pendukung perkembangan
bursa efek karena memberi rasa aman kepada investor untuk menanamkan
uangnya.
Bursa Efek Indonesia mengalami guncangan akibat depresiasi nilai rupiah
terhadap dollar Amerika Serikat (AS) pada awal tahun 1998 dan kenaikan tingkat
suku bunga SBI sehingga IHSG mengalami penurunan hingga di bawah 300 poin
pada September 1998. Selain itu, depresiasi nilai rupiah terhadap dollar AS
menyebabkan meningkatnya inflasi. Inflasi yang tinggi cenderung akan
meningkatkan tingkat suku bunga. Inflasi dan peningkatan tingkat suku bunga
mendorong IHSG semakin mengalami penurunan. Kondisi ini diperparah dengan
adanya kerusuhan 13-15 Mei 1998 dan situasi politik yang belum stabil. Kondisi
ini memberi perasaan tidak aman bagi investor untuk menanamkan modalnya
Bursa efek mulai membaik sejak tahun 1999. Hal ini ditandai dengan
meningkatnya nilai emisi saham pada tahun 1999 sebesar 172,2% yaitu dari Rp
75,9 triliun pada tahun 1998 menjadi Rp 206,7 triliun pada tahun 1999
(Adiningsih dkk, 2008).
Sumber : Bursa Efek Indonesia (2010)
Gambar 1.1 Pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bulanan
periode 2000-2009
Kondisi perekonomian yang berubah-ubah dapat membuat penilaian atas
suatu saham juga dapat berubah. Hal ini dapat dilihat dari perubahan harga saham
yang dapat naik atau turun sesuai dengan kondisi perekonomian (Hudojo, 2004).
Pada tahun 2000 hingga 2002, indeks harga saham gabungan (IHSG) di bawah
500 poin dan nilai kapitalisasi pasar mengalami penurunan akibat kondisi
ekonomi makro yang tidak stabil. Namun seiring membaiknya kondisi
makroekonomi pada tahun 2003 memberi pengaruh pada perdagangan bursa
sehingga nilai kapitalisasi pasar kembali tumbuh pada tahun 2006 mencapai 138,9
miliar dollar AS (Adiningsih dkk, 2008). Selain itu, indeks harga saham mulai
mengalami peningkatan terus menerus seiring dampak krisis ekonomi 1998 sudah
tidak terlalu mengganggu perekonomian (Putra, 2009).
Sumber : Bursa Efek Indonesia
Gambar 1.2 Pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bulanan
periode 2008-2009
Berdasarkan gambar 1.2 di atas, indeks harga saham gabungan (IHSG)
masih berada pada posisi di atas 2500 poin pada awal tahun 2008. Namun
kemudian terus menurun bahkan pernah mencapai posisi di bawah 1500 poin
akibat dampak krisis keuangan di Amerika Serikat. Penurunan bursa saham
Indonesia tercatat di posisi 6 sebesar 19,61 persen, sementara itu penurunan yang
0 500 1000 1500 2000 2500 3000
P
O
paling besar dialami oleh bursa saham China sebesar 50,58 persen (detikFinance,
2008). Bursa saham Indonesia juga pernah mengalami penutupan pada Oktober
2008. Penutupan bursa selama dua hari ini bertujuan untuk mencegah semakin
memburuknya kondisi perdagangan saham yang saat itu telah mencapai titik
terendah sejak 2006 dan memenangkan para pelaku pasar (detikFinance, 2008).
Fuad Rahmany berpendapat bahwa bursa saham Indonesia pada tahun
2009 dinilai paling tangguh di dunia karena di tengah krisis indeks saham di bursa
efek Indonesia mengalami peningkatan 80 persen dengan rata-rata nilai transaksi
Rp 4 triliun per hari (SumeksOnline, 2009). Berdasarkan gambar 1.2, sejak April
2009 IHSG mulai mengalami peningkatan dan bahkan sudah mencapai kembali
posisi 2000 poin.
Menurut Edison Hulu, kinerja bursa saham Indonesia dinilai masih kurang
tangguh karena pergerakan saham di Indonesia masih terpengaruh oleh persepsi
investor asing, yang merupakan pelaku dominan di bursa saham Indonesia
dibandingkan investor domestik (VibizDaily, 2009). Seringkali terjadi kondisi di
mana keadaan makroekonomi Indonesia baik, akan tetapi pergerakan harga saham
bukannya stabil atau naik melainkan mengalami penurunan. Hal ini dikarenakan
investor asing tidak percaya akan kondisi tersebut. Investor asing menarik
investasinya di bursa saham Indonesia dan kemudian diikuti oleh investor
domestik. Akhirnya harga saham di bursa saham Indonesia mengalami penurunan.
Penurunan harga saham ini akan membuat persepsi masyarakat bahwa
telah terjadi aliran modal keluar Indonesia secara besar-besaran. Hal ini akan
rupiah terhadap dollar AS akan meningkatkan ketidakpastian variabel
makroekonomi Indonesia lainnya.
Para pelaku di bursa saham membentuk ekspektasi melalui perkiraan
kemajuan perusahaan dengan mengharapkan deviden sebagai hasil investasi. Hal
ini terkait dengan pergerakan perekonomian di suatu negara sehingga pergerakan
sektor riil dalam perekonomian sangat mempengaruhi tindakan para pelaku
tersebut. Indeks harga perdagangan besar (IHPB), indeks produksi sektor industri
(IPI) dan jumlah uang yang beredar (JUB) dapat menggambarkan kinerja sektor
riil yang akan membentuk ekspektasi para pelaku untuk melakukan transaksi jual
beli saham (Putra, 2009).
Bagi masyarakat umum, volatilitas seringkali disamakan dengan resiko.
Semakin tinggi volatilitas, maka ketidakpastian dari return yang akan diperoleh
juga akan semakin tinggi. Akan tetapi bagi sebagian para pemain di bursa saham,
kondisi volatilitas yang tinggi ini disukai karena memberikan ruang untuk
melakukan perdagangan atau transaksi demi mendapatkan keuntungan dari
adanya perbedaan (margin) dari harga awal dengan harga akhir pada saat
dilakukan transaksi. Meski demikian, resiko yang dimilikinya juga sangat besar.
Pada saham seperti ini akan berlaku “high risk high return”.
Bursa saham Indonesia dihipotesa memiliki ketidakpastian yang lumayan
tinggi. Hal ini dilihat dari mudahnya terjadi penurunan harga saham dikarenakan
suatu isu atau kejadian di Indonesia baik di sektor ekonomi maupun di sektor
non-ekonomi seperti keamanan nasional, sosial, dan politik. Hal ini membuktikan
di bursa saham. Tinggi rendahnya volatilitas berbeda pada saat negara dalam
kondisi normal dan pada saat terjadinya krisis. Pada saat terjadinya krisis,
volatilitas cenderung lebih tinggi dibandingkan pada saat perekonomian normal
(Online Trading, 2010).
Krisis ekonomi yang terjadi tahun 2008 memang setidaknya
mempengaruhi kondisi bursa saham Indonesia, meskipun saat itu Indonesia dalam
kondisi yang prima, mulai dari perekonomian, sosial, hingga keamanan nasional.
Investor asing yang sedang dalam kekurangan dana menjual saham-sahamnya
secara besar-besaran. Hal ini merupakan faktor lainnya yang mempengaruhi
kondisi bursa saham di Indonesia. Bukan hanya di Indonesia, melainkan hal ini
juga terjadi di bursa saham beberapa negara berkembang lainnya.
1.2 Perumusan Masalah
Volatilitas sering kali disamakan dengan resiko karena di dalam volatilitas
tersebut terkandung ketidakpastian. Ketidakpastian ini akan memberikan ruang
kepada para pelaku untuk melakukan ekspektasi. Harga saham dan volume
perdagangan saham mengalami pergerakan naik turun dalam kurun waktu yang
singkat. Dalam kurun waktu yang singkat tersebut, pelaku di bursa saham
memperoleh keuntungan atau malah mengalami kerugian.
Harga saham dan volume perdagangan saham di Bursa Efek Indonesia
mengalami pergerakan naik turun dalam waktu singkat. Di sisi lain ada variabel
makroekonomi Indonesia, yaitu Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB), Indeks
peningkatan atau penurunan tiap bulannya berdasarkan laporan Bank Indonesia.
Apakah pergerakan naik turun di Bursa Efek Indonesia tersebut termasuk volatil
sehingga menarik minat para pelaku untuk bermain? Apakah pergerakan naik
turun ketiga variabel makroekonomi tersebut dapat dikatakan volatil sehingga
menyebabkan ketidakpastian terhadap kondisi makroekonomi Indonesia?
Pembentukan nilai IHSG, volume perdagangan saham, IHPB, IPI dan JUB
yang akan datang disusun dari informasi internal (nilai periode sebelumnya) dan
informasi eksternal (faktor-faktor lain di luar variabel itu sendiri). Oleh sebab itu,
perlu diketahui bagaimana sifat inersia dan saling ketergantungan antar kelima
variabel tersebut.
Dengan melakukan uji inersia, maka diketahui sifat inersia dari variabel
itu sendiri. Atau dengan kata lain, uji inersia untuk mengetahui seberapa besar
pengaruh informasi internal (nilai periode sebelumnya) terhadap pembentukan
nilai variabel yang akan datang. Sementara itu, uji kausalitas dilakukan untuk
mengetahui hubungan dan pengaruh variabel lainnya sebagai faktor pembentuk
harga akan datang dari variabel tersebut.
Setelah mengetahui bagaimana pengaruh volatilitas variabel terhadap
dirinya sendiri dan terhadap variabel lainnya, maka perlu dilihat apakah pengaruh
variabel tersebut akan hilang dalam waktu yang tak ditentukan? Ataukah
pengaruh tersebut akan hilang dengan sendirinya pada suatu periode t tertentu?
Dengan kata lain, apakah pengaruh tersebut konvergen?
Informasi eksternal berupa suatu event atau kondisi dalam satu bulan
atau kondisi tersebut tidak terjadi pada bulan yang sama setiap tahunnya sehingga
menunjukkan pola stokhastik. Dengan pola stokhastik tersebut, variabel manakah
yang terbukti dipengaruhi oleh pengaruh bulanan dalam pembentukan nilai akan
datang?
Setelah mengetahui apakah kelima variabel tersebut memiliki volatilitas.
Kemudian selanjutnya dilihat bagaimanakah volatilitas tersebut mempengaruhi
vaiabel itu sendiri dan variabel lainnya dalam jangka pendek. Terakhir akan
diteliti bagaimanakah hubungan volatilitas antar kelima variabel ini dalam jangka
panjang. Dengan menjawab hal ini satu per satu diharapkan didapatkan satu
kesimpulan mengenai hubungan kinerja pasar saham dengan kegiatan ekonomi
riil makro.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan pertama dari penelitian ini adalah untuk mempelajari apakah ada
sifat volatilitas dari harga saham, volume perdagangan dan ketiga variabel
makroekonomi yang dapat menggambarkan kondisi ekonomi aktual Indonesia.
Untuk tujuan ini akan digunakan data bulanan dengan metode ARIMA dan
ARCH-GARCH.
Tujuan kedua adalah untuk melihat kondisi inersia, dan pengaruh
musiman bulanan stokhastik pada masing-masing variabel, serta kestabilan dan
ketergantungan antar variabel. Peneliti menggunakan model VAR disertai dengan
dummy bulanan untuk melihat efek musiman bulanan tersebut. Data bulanan
dimana pada periode 2008 hingga 2009 terjadi krisis keuangan di Amerika
Serikat. Pada bagian ini ditambahkan dummy krisis finansial global untuk
mengkoreksi data. Oleh sebab itu, pada bagian ini menggunakan 13 peubah
boneka (dummy).
Tujuan ketiga adalah untuk menganalisis adanya hubungan jangka panjang
harga saham terhadap volume perdagangan, indeks harga perdagangan besar,
indeks produksi sektor industri dan jumlah uang beredar. Peneliti menggunakan
model VECM untuk tujuan ini. Model ini disusun hampir sama seperti model
pada tujuan keduan, namun tanpa mengikutsertakan dummy bulanan sehingga
pada model bagian ini hanya akan ada dua dummy.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diberikan dari penelitian ini antara lain :
1. Memberikan gambaran bagi para pelaku di pasar saham mengenai
pergerakan harga dan volume saham serta makroekonomi riil negara.
2. Sebagai bahan pertimbangan bagi pihak yang terkait dalam pengambilan
keputusan.
3. Sebagai bahan acuan bagi penelitian yang lebih lanjut.
1.5 Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian
Skripsi ini menyajikan analisis secara deskriptif dan kuantitatif
menggunakan ekonometrika mengenai hubungan antara volatilitas di bursa saham
saham hanya ditinjau dari indeks harga saham gabungan (IHSG) dan total volume
perdagangan saham tiap bulannya yang merupakan akumulasi dari volume
perdagangan saham harian. Variabel yang digunakan untuk melihat ketidakpastian
makroekonomi tersebut dalam skripsi ini hanya dibatasi tiga variabel, antara lain
Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB), Indeks Produksi Industri (IPI) dan
Jumlah Uang Beredar (JUB). Ketiga variabel ini dianggap sudah cukup untuk
menggambarkan kondisi makroekonomi riil dari negara, sesuai dengan acuan
penelitian ini “Macroeconomic Uncertainty of 1990s and Volatility at Karachi
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1 Tinjauan Definisi
2.1.1 Volatilitas
Studi mengenai volatilitas pertama kali dilakukan oleh Engle
(1982) dengan menggunakan Auto-Regressive Conditional
Heteroscedasticity (ARCH). Kemudian dikembangkan oleh Bollerlev
(1986) dengan General Auto-Regressive Conditional Heteroscedasticity
(GARCH). Pada prinsipnya kedua model ini sama-sama melihat volatilitas
harga.
Keterbatasan dari model ARCH adalah tidak dapat menganalisis
hubungan antar variabel, maka beberapa studi volatilitas yang melihat
hubungan antar variabel menggunakan model yang lain, seperti Ordinary
Least Square (OLS), General Method of Moment (GMM), atau Vector
Autoregression (VAR). Semua studi volatilitas tersebut tetap
menggunakan data varian atau standar deviasi dari datanya meskipun tidak
menggunakan model ARCH.
Konsep volatilitas dalam penelitian ini diukur berdasarkan unsur
standar deviasi atau varians. Atau dengan kata lain, definisi volatilitas
berhubungan dengan bagaimana nilai-nilai data tersebut tersebar. Sebuah
standar deviasi yang rendah menunjukkan bahwa nilai data-data cenderung
sangat dekat dengan nilai rata-rata, sedangkan standar deviasi yang tinggi
2.1.2 Pasar saham
Pasar saham merupakan merupakan mekanisme yang
memungkinkan penawar dan peminta dana melakukan transaksi penjualan
dan pembelian sekuritas. Pasar saham dibedakan menjadi dua yaitu pasar
uang (money market) untuk jangka pendek di perbankan dan pasar modal
(capital market) untuk jangka panjang. Pasar modal sendiri terbagi
menjadi dua yaitu pasar perdana (primary market) dan pasar sekunder
(secondary market).
Pasar primer merupakan pasar yang menawarkan emisi baru (new
issue) dari perusahaan pada publik. Perusahaan yang mengeluarkan efek
(emiten) menggunakan bank investasi (investment banker) sebagai
penjamin bahwa emiten akan menerima setidak-tidaknya jumlah minimum
tertentu untuk emisinya. Bank Investasi mengajak bank lain sebagai
partner untuk bersama menjadi penjamin atas emisi perusahaan tersebut,
dengan maksud untuk membagi risiko yang berhubungan dengan
penjualan efek baru. Masing-masing bank tersebut membentuk kelompok
pemasar (selling group) yang bertanggung jawab untuk mendistribusikan
bagian tertentu dari emisi baru kepada investor publik. Kelompok pemasar
yang berupa perusahaan pialang bertanggung jawab untuk memasarkan
bagian tertentu dari emisi. Balas jasa untuk lembaga penjamin dan penjual
biasanya berupa diskon atas harga jual efek.
Pasar sekunder merupakan pasar tempat menawarkan efek (saham)
jual-beli saham. Pasar sekunder ini terdiri atas bursa efek (organized
securities exchange) dan pasar melalui kaunter ( over the counter market ).
Pada bursa efek, kekuatan penawaran dan permintaan akan efek tertentu
dipertemukan. Semua transaksi yang dilakukan di lantai bursa atas dasar
proses lelang, dengan tujuan untuk memenuhi semua pesanan pembelian
pada harga terendah dan memenuhi semua pesanan penjualan pada harga
tertinggi, sehingga baik pembeli maupun penjual mendapat hasil sebaik
mungkin.
2.1.3 Bursa efek
Undang-Undang No. 8 Tahun 1998 menjelaskan bahwa bursa efek
adalah pihak yang menyelenggarakan dan menyediakan sistem dan atau
sarana untuk mempertemukan penawaran jual dan beli efek kepada
pihak-pihak lain dengan tujuan memperdagangkan efek diantaranya. Menurut
Putra (2009), bursa efek merupakan sistem yang terorganisasi dengan
mekanisme resmi untuk mempertemukan penjual dan pembeli secara
langsung atau melalui wakil-wakilnya.
2.1.4 Saham
Saham dapat didefinisikan sebagai surat berharga bukti penyertaan
atau pemilikan individu maupun institusi dalam suatu perusahaan. Manfaat
yang dapat diperoleh dengan memiliki saham di sebuah perusahaan adalah
(1) Deviden, adalah bagian dari keuntungan perusahaan yang dibagikan
kepada pemilik saham,
(2) Capital gain, adalah keuntungan yang diperoleh dari selisih jual dengan
harga belinya,
(3) Manfaat non-financial yaitu timbulnya kebanggaan dan kekuasaan
memperoleh hak suara dalam menentukan jalannya perusahaan.
Saham dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu saham biasa
(common stock) dan preferen (preferred stock). Saham biasa merupakan
saham yang tidak memperoleh hak istimewa. Pemegang saham biasa
mempunyai hak untuk memperoleh deviden sepanjang perusahaan
memperoleh keuntungan. Saham preferen merupakan saham yang
diberikan atas hak untuk mendapatkan deviden atau bagian kekayaan
perusahaan terlebih dahulu dibandingkan saham biasa jika perusahaan
tersebut likuidasi, disamping itu mempunyai preferensi untuk mengajukan
usulan pencalonan direksi atau komisaris (Setiawan, 2004).
2.1.5 Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG)
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) merupakan salah satu
indikator pergerakan harga saham di Bursa Efek Indonesia. Indeks ini
pertama kali diperkenalkan pada tanggal 1 April 1983 (Wikipedia, 2010).
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mencakup pergerakan harga
seluruh saham biasa dan saham preferen yang tercatat di Bursa Efek
Perhitungan Indeks Harga Saham Gabungan ini menggunakan
formula perhitungan sebagai berikut :
IHSG = × ×100
d
N Q P
(2.1)
dimana P adalah harga saham di pasar, Q adalah bobot saham atau jumlah
saham yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI), Nd adalah nilai dasar,
yaitu nilai yang dibentuk berdasarkan jumlah saham yang tercatat di Bursa
Efek Indonesia (BEI) (Wikipedia, 2010).
Nilai dasar akan disesuaikan secara cepat bila terjadi perubahan
modal emiten atau terdapat faktor lain yang tidak terkait dengan harga
saham. Penyesuaian akan dilakukan bila ada tambahan emiten baru,
HMETD (right issue), partial/company listing, waran dan obligasi
konversi serta delisting. Dalam hal terjadi stock split, dividen saham atau
saham bonus, nilai dasar tidak disesuaikan karena nilai pasar tidak
terpengaruh.
Formula perhitungan tersebut merupakan perhitungan sederhana.
Di dalam perhitungan tersebut diasumsikan semua saham memiliki peran
yang sama dalam mempengaruhi pasar. Formula perhitungan IHSG yang
lebih kompleks memasukkan unsur bobot (timbangan). Besar kecilnya
pengaruh saham terhadap situasi pasar menjadi dasar pemberian bobot.
Pengaruh ini ditentukan oleh besar kecilnya jumlah saham yang
Bila menggunakan jumlah saham yang beredar pada waktu dasar
sebagai pembobotan, berarti menggunakan rumus umum yang
dikemukakan oleh Etienne Laspeyres. Rumus umum Laspeyres adalah :
IHSG = ×100
dimana Ht adalah harga saham pada waktu yang berlaku, Ho adalah harga
saham pada waktu dasar, dan Ko adalah jumlah saham yang beredar pada
waktu dasar.
Namun jika menggunakan jumlah saham yang diterbitkan pada
waktu yang berlaku sebagai bobot, berarti menggunakan rumus umum
yang dikemukakan oleh Hermann Paasche. Rumus umum Paasche adalah :
IHSG = ×100
dimana Ht adalah harga saham pada waktu yang berlaku, Ho adalah harga
saham pada waktu dasar, dan Kt adalah jumlah saham yang beredar pada
waktu yang berlaku.
Irving Fisher dan Drobisch mencari jalan tengah dari kedua rumus
umum ini. Irving Fisher mencari jalan tengah dengan mengalikan IHSG
menurut Laspeyres dengan IHSG menurut Paasche, kemudian diambil
akarnya. Sementara itu, Drobisch menjumlahkan IHSG menurut Laspeyres
dengan IHSG menurut Paasche, kemudian dibagi dua (Widoatmodjo,
2.1.6 Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB)
Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB) adalah angka indeks
yang menggambarkan besarnya perubahan harga pada tingkat harga
perdagangan besar atau harga grosir dari komoditas-komoditas yang
diperdagangkan di suatu negara atau daerah. Komoditas tersebut
merupakan produksi dalam negeri yang dipasarkan di dalam negeri
ataupun diekspor dan komoditas yang diimpor (Badan Pusat Statistik,
2007).
Perkembangan perekomian yang dinamis mempunyai dampak
terhadap perubahan struktur perekonomian, yang pada akhirnya
berdampak pada perubahan diagram timbang dalam menghitung IHPB.
2.1.7 Indeks Produksi Industri (IPI)
Industrial Production Index (IPI) atau Indeks Produksi Industri
merupakan salah satu indikator untuk mengukur tingkat pertumbuhan
ekonomi suatu negara dengan pendekatan output riil (Kaminsky, 1998).
Indeks ini merepresentasikan pertumbuhan produksi. Adapun rumus untuk
menghitung IPI yaitu :
IPI = ×
i i i
W R W
(2.4)
dimana Wi adalah bobot pembagi dan Ri adalah produksi relatif.
Indeks Produksi Industri (IPI) merupakan data bulanan yang
perusahaan pelayanan publik (listrik, air, gas, transportasi, dan lain-lain).
Komponen terbesar dari indeks ini adalah industri manufaktur yang
diestimasi dari total jam kerja dari laporan ketenagakerjaan. Komponen
pelengkapnya adalah Capacity Utilization yang bertujuan untuk
menghitung tingkat penggunaan modal negara yang digunakan selama
proses produksi (Muthohharoh, 2010).
2.1.8 Jumlah Uang Beredar (JUB)
Definisi jumlah uang beredar dalam arti sempit (narrow money)
adalah jumlah seluruh uang kartal yang dipegang anggota masyarakat dan
demand deposit yang dimiliki oleh perseorangan pada bank-bank umum
(M1 = kartal + DD). Sedangkan uang dalam arti luas (broad money)
mengikut sertakan aset-aset lain yang dapat dengan mudah dikonversi
menjadi uang tunai, yaitu deposito berjangka (M2 = M1 + TD).
2.2 Tinjauan Teori
2.2.1 Teori Pengharapan Rasional
Pada dekade 1950-an dan 1960-an, para ekonom memandang
harapan hanya sebagai bentuk dari pengalaman masa lalu saja
(pengharapan adaptif). Pengharapan adaptif (adaptive expectations)
menyatakan bahwa perubahan harapan akan terjadi secara perlahan
sepanjang waktu seiring dengan perubahan data masa lalu (Miskhin,
Seiring berjalannya waktu, pengharapan adaptif dianggap tidak
sesuai lagi karena hanya menggunakan informasi dari data masa lalu pada
suatu variabel tertentu untuk membentuk harapan atas variabel tersebut.
Oleh karena itu, John Muth mengembangkan teori pengharapan rasional
(rational expectations). Teori pengharapan rasional menyatakan bahwa
pengharapan akan sama dengan proyeksi yang optimal (tebakan terbaik
mengenai masa depan) dengan menggunakan semua informasi yang
tersedia (Miskhin, 2008).
Terdapat dua alasan mengapa pengharapan dapat menjadi tidak
rasional. Pertama, untuk mendapatkan semua informasi yang diperlukan
membutuhkan banyak usaha atau biaya. Kedua, adanya kemungkinan
informasi yang didapatkan tidak relevan dan akurat.
2.2.2 Hipotesis Pasar Efisien
Hipotesis pasar efisien (efficient market hypothesis) didasarkan
pada asumsi bahwa harga-harga dari sekuritas di pasar keuangan
sepenuhnya mencerminkan semua informasi yang tersedia. Hipotesis pasar
efisien menganggap pengharapan atas harga depan sama dengan proyeksi
optimal dengan menggunakan semua informasi yang tersedia.
Berdasarkan hipotesis ini, harga saham mencerminkan semua
informasi yang tersedia secara publik dalam pasar yang efisien. Harga
yang diumumkan tersebut baru dan tidak diperkirakan sebelumnya
(Miskhin, 2008).
2.2.3 Teori Kuantitas Uang
Teori kuantitas uang dapat dijelaskan dalam persamaan kuantitas
sebagai berikut :
M x V = P x Y (2.5)
dimana M merupakan kuantitas uang, V merupakan perputaran uang
pendapatan (income velocity of money), P menyatakan harga satu unit
output, dan Y menyatakan jumlah output.
Berdasarkan persamaan 2.5, teori kuantitas menunjukkan bahwa
tingkat harga adalah proposional terhadap jumlah uang beredar. Karena
tingkat harga adalah persentase dalam tingkat harga, teori tingkat harga
juga merupakan teori tingkat inflasi. Persamaan 2.5 ditulis dalam bentuk
persentase sebagai berikut :
% dalam M + % dalam V = % dalam P + % dalam Y (2.6)
Pertama, perubahan persentase dalam jumlah uang M berada di
bawah pengawasan Bank Sentral. Kedua, perubahan persentase dalam
perputaran V mencerminkan pergeseran dalam permintaan uang ;
diasumsikan bahwa perputaran adalah konstan, sehingga perubahan
persentase dalam perputaran adalah nol. Ketiga, perubahan persentase
persentase dalam jumlah produksi Y bergantung pada pertumbuhan
faktor-faktor produksi dan kemajuan teknologi, yang diasumsikan sudah baku.
Jadi, teori kuantitas uang menyatakan bahwa Bank Sentral, yang
mengawasi jumlah uang beredar, memiliki kendali tertinggi atas tingkat
inflasi. Jika Bank Sentral mempertahankan jumlah uang beredar tetap
stabil, tingkat harga akan stabil. Jika Bank Sentral meningkatkan jumlah
uang beredar dengan cepat, tingkat harga akan meningkat dengan cepat
(Mankiw, 2003). Hal ini sesuai dengan pendapat Milton Friedman yang
menyatakan bahwa inflasi selalu dan senantiasa merupakan fenomena
moneter.
2.2.4 Teori Umum Pasar
Harga dalam suatu pasar merupakan titik pertemuan antara
permintaan dan penawaran dari produk yang ditawarkan oleh pasar.
Perubahan harga ataupun perubahan volume produk berubah-ubah sesuai
perubahan permintaan dan atau penawaran. Apabila volume produk
mengalami peningkatan yang menunjukkan bahwa terjadi perluasan pasar,
maka tingkat harga akan mengalami peningkatan.
2.2.5 Teori Penetapan Harga Aset
Teori penetapan harga asset (Capital Asset Pricing Models)
dicetuskan oleh Professor William Sharpe, John Lintner, Jack Teynor, dan
pengembalian (return) asset yang diharapkan pada suatu asset beresiko
merupakan fungsi dari tiga faktor, antara lain : tingkat keuntungan bebas
resiko, tingkat keuntungan yang diharapkan dengan resiko rata-rata, dan
volatilitas tingkat pengembalian (return) asset beresiko tersebut terhadap
tingkat keuntungan pasar.
Asumsinya investor akan menetapkan harga (expected return)
berdasarkan benchmark risk free rate ditambah premium yang besarnya
proporsional terhadap resiko yang melekat pada setiap asset. Dengan
demikian tingkat pengembalian dan pengembalian yang diharapkan sesuai
dengan prinsip ‘semakin tinggi resiko, maka semakin besar pendapatan
yang diperoleh’.
Asumsi lain dari teori ini adalah setiap pelaku atau investor
rasional yaitu memaksimalkan pendapatan yang akan didapat dengan
meminimalkan resiko. Pasar keuangan yang bercirikan struktur pasar
bebas juga sebagai salah satu asumsi teori ini sehingga harga dan kuantitas
merupakan hasil keseimbangan permintaan dan penawaran berdasarkan
mekanisme the invisible hand (Munzir, 2002).
2.2.6 Teori Arbitrase Harga (Arbitrage Pricing Theory)
Teori arbitrase harga merupakan model alternatif untuk penentuan
harag asset yang dikembangkan oleh Stephen Ross. Asumsi utama teori ini
adalah setiap pelaku atau investor memiliki peluang untuk meningkatkan
Berdasarkan teori, ekspektasi return saham sama dengan tingkat
bunga bebas risiko ditambah risiko premium k yang didasarkan pada
sensitivitas saham terhadap k faktor. Hal ini dijabarkan dalam persamaan
berikut ini :
ri= rf + ( l – rf) bi1 + ( 2 – rf) bi2 + ... + ( k – rf) bik (2.7)
dimana ri merupakan rate of return sekuritas i; bi disebut sensitivitas
sekuritas i terhadap faktor (leading factor); l sama dengan ekspektasi
return yang memiliki unit sensitivitas terhadap faktor.
Penelitian selanjutnya Chen, Roll, dan Ross mengidentifikasi
faktor-faktor tersebut antara lain tingkat pertumbuhan produksi industri;
tingkat inflasi; selisih antara tingkat bunga jangka panjang dan pendek;
dan selisih antara obligasi berperingkat tinggi dan rendah. Tiga faktor
terakhir juga menjadi faktor yang dikemukan oleh Berry, Burmeister, dan
Mc Elroy. Akan tetapi mereka juga menambahkan tingkat pertumbuhan
penjualan agregat dalam perekonomian dan rate of return S&P 500
sebagai faktor yang dihargai sebagai pembentuk harga.
Solomon Brothers menyatakan bahwa ada lima faktor yang disebut
model faktor fundamental. Kelima faktor ini antara lain tingkat inflasi;
tingkat pertumbuhan produk nasional bruto (GNP), tingkat bunga, tingkat
perubahan harga minyak, dan tingkat perubahan pengeluaran biaya
2.3 Penelitian terdahulu
Berdasarkan perspektif teori pasar yang efesien, harga aset akan
tergantung pada variabel makroekonomi suatu negara, dan pendapatan tak terduga
tergantung pada perubahan dari variabel tersebut (Mamoon, 2007). Ini berarti jika
perubahan variabel makroekonomi dari waktu ke waktu tidak terlalu signifikan,
maka harga saham tidak akan menunjukkan perilaku tidak menentu dan penyebab
utama volatilitas harga saham adalah guncangan tak terduga yang mempengaruhi
variabel makroekonomi suatu negara. Namun hal berbeda dinyatakan oleh
Dhankar (1991). Ia berpendapat bahwa harga saham tidak menyesuaikan diri
dengan perubahan variabel makroekonomi suatu negara seperti jumlah uang
beredar, nilai tukar terhadap dollar, tingkat inflasi, suku bunga, dan produksi
sektor manufaktur. Akan tetapi, Officer (1973) menemukan bahwa variabilitas
return saham sangat tinggi selama Great Depression dari tahun 1929 hingga
1939. Hal ini didukung oleh penemuan Schwert (1988) bahwa ketidakstabilan
pasar saham meningkat setelah terjadinya krisis keuangan yang besar.
Berdasarkan penelitian Suyatno dan Dedi (1998), kebijakan moneter
kecuali tingkat suku bunga hanya mempengaruhi harga saham dalam jangka
pendek. Jadi, yang hanya mempunyai hubungan jangka panjang dengan harga
saham hanyalah tingkat suku bunga, inflasi, dan kinerja ekspor. Secara
keseluruhan, kinerja makroekonomi dapat tercermin pada harga saham dalam
jangka panjang.
Pengujian tentang hubungan dinamik juga pernah dilakukan oleh Ripley
dengan menggunakan analisis klaster (cluster analysis), Dwyer dan Hafer (1988)
menggunakan uji akar unit (unit root tests), Eun dan Shim (1989) dengan vektor
otoregresif (vector autoregressive), dan Jeon dan Chiang (1991) dengan
menggunakan pendekatan univariate dan multivariate. Semua studi tersebut
menghasilkan kesimpulan yang sama, yaitu adanya trend stokastik jangka panjang
antara variabel makroekonomi dan variabel pasar modal.
Analisis hubungan jangka panjang antar pasar modal pernah dilakukan
oleh Kasa (1992) dengan mengambil empat pasar modal besar dunia, yaitu pasar
modal Amerika Serikat, Jepang, Inggris, Jerman, dan Kanada. Kasa
menyimpulkan bahwa terdapat pergerakan stokastik jangka panjang yang sama
antar kelima pasar saham tersebut. Sehingga dapat disimpulkan adanya hubungan
antara perilaku variabel-variabel pasar modal antar kelima negara tersebut.
Pendapat ini tidak disetujui oleh Arshanapalli dan Doukas (1993), yang
menyatakan bahwa selain Indeks Nikkei, pasar saham Perancis, Jerman, dan
Inggris tidak memiliki hubungan dengan pasar saham Amerika Serikat sebelum
stock market crash pada Oktober 1997. Setelah periode waktu tersebut,
Arshanapalli dan Doukas menyetujui pendapat Kasa.
Mamoon (2007) mengambil studi kasus di Pakistan dalam periode tahun
1990-an menemukan bahwa terdapat volatilitas pada harga saham dan volume
perdagangan saham di bursa saham Karachi serta ketidakpastian tiga variabel
ekonomi, antara lain indeks harga perdagangan besar, indeks produksi sektor
industri, dan jumlah uang beredar di Pakistan selama periode tersebut. Kelima
Akhirnya, Mamoon menyimpulkan bahwa tidak ada hubungan sistematik antara
volatilitas harga saham dengan volatilitas makroekonomi baik riil maupun
nominal.
2.4 Kerangka Pemikiran
Alur pemikiran dari penelitian “Analisis Volatilitas Bursa Efek Indonesia
dan Ketidakpastian Makroekonomi” dapat digambarkan pada gambar 2.1.
Pertama-tama mengetahui kevolatilitasan yang terjadi di bursa efek yang
dilihat dari volatilitas IHSG dan volume perdagangan saham. Pada saat yang
sama, data makroekonomi, yang terdiri atas Indeks Harga Perdagangan Besar
(IHPB), Indeks Produksi Industri (IPI), dan Jumlah Uang Beredar (JUB), dilihat
apa juga memiliki volatilitas, apakah data tersebut memiliki kepastian atau malah
sering kali mengalami ketidakpastian. Kevolatilitasan kelima variabel tersebut
kemudian dilihat sifat inersia (inertia) dan musiman (seasonality) masing-masing
variabel, serta stabilitas (stability) dan ketergantungan (interdependence) antar
kelima variabel tersebut.
Tahap terakhir yang dilihat adalah hubungan antar Indeks Harga Saham
Gabungan (IHSG) dengan variabel lainnya dalam jangka panjang. Dalam hal ini,
hubungan jangka panjang dilihat berdasarkan kointegrasi yang terjalin antar
2.5 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan tinjauan teori dan penelitian terdahulu yang digunakan dalam
penelitian ini, beberapa hipotesis yang dirumuskan oleh peneliti antara lain
sebagai berikut :
1. Indeks harga saham gabungan (IHSG), volume perdagangan saham,
jumlah uang yang beredar (JUB), indeks produksi industri (IPI), dan
indeks harga perdagangan besar (IHPB) memiliki volatilitas.
2. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), volume perdagangan saham,
indeks harga perdagangan besar (IHPB), indeks produksi industri (IPI),
dan jumlah uang beredar (JUB) memiliki sifat inersia yang kuat, tapi tidak
dipengaruhi oleh efek musiman bulanan stokhastik.
3. Volatilitas volume perdagangan saham, jumlah uang beredar (JUB),
indeks harga perdagangan besar (IHPB), dan indeks produksi industri (IPI)
memiliki pola konvergen. Sedangkan pola waktu volatilitas indeks harga
saham gabungan (IHSG) akan tak terhingga.
4. Harga saham memiliki hubungan jangka panjang dengan volume
perdagangan saham, jumlah uang yang beredar (JUB), indeks produksi
III. METODE PENELITIAN
3.1Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder
berupa data time series bulanan dari Januari 2000 sampai dengan Desember 2009.
Data-data yang digunakan pada penelitian ini antara lain data nilai indeks harga
saham gabungan (IHSG) dan volume perdagangan saham, jumlah uang beredar
(JUB), indeks harga perdagangan besar (IHPB), dan indeks produksi sektor
industri (IPI). Data tersebut diperoleh dari Bank Indonesia (BI), Bursa Efek
Indonesia (BEI), dan Badan Pusat Statistik (BPS).
Krisis ekonomi yang menimpa Amerika Serikat membawa dampak buruk
terhadap perekonomian dunia. Indonesia juga terkena dampaknya sehingga
kelima variabel yang digunakan peneliti mengalami penurunan drastis yang
signifikan sehingga membentuk tiga range periode penelitian, antara lain sebelum
krisis, selama krisis, dan setelah krisis. Oleh sebab itu, peneliti menggunakan dua
peubah boneka (dummy) yaitu dummy kondisi krisis dan dummy kondisi paska
krisis.
3.2Metode Analisis
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
analisis yang bersifat deskriptif dan kuantitatif dengan menggunakan model
Penggunaan model ARCH dalam penelitian ini adalah untuk melihat
volatilitas indeks harga saham (IHSG) dan volume perdagangan saham, serta
beberapa variabel makroekonomi yang terkait antara lain jumlah uang beredar
(JUB), indeks harga perdagangan besar (IHPB), dan indeks produksi sektor
industri (IPI). Sebelumnya kelima variabel ini diestimasi menggunakan model
ARIMA ataupun SARIMA, yang kemudian berdasarkan hasil akhir (ouput)
pengolahan akan diketahui apakah ada efek ARCH atau tidak.
Penggunaan model VAR pada analisis ini untuk mengidentifikasi inersia
dan musiman masing-masing variabel, serta mengetahui kestabilan dan
ketergantungan antar variabel. Terakhir dilakukan uji kointegrasi dalam penelitian
ini adalah untuk mengidentifikasi adanya hubungan jangka panjang antara harga
saham dengan volum perdagangan, jumlah uang beredar, indeks harga
perdagangan besar, dan indeks produksi sektor industri.
3.2.1 Model ARIMA
Secara harafiah, ARIMA (Autoregresive Integrated Moving Average)
dapat diartikan sebagai gabungan dari dua model, yaitu Model Otoregresi (AR)
dan Moving Average (MA). Model ini tidak mempunyai suatu variabel yang
berbeda sebagai variabel bebas, tetapi menggunakan informasi dalam series yang
sama dalam membentuk model, yang pada akhirnya sangat bermanfaat untuk
peramalan (Nachrowi, 2006).
Model otoregresi berbentuk hubungan antara variabel terikat dengan
(Nachrowi, 2006). Untuk model otoregresi dengan orde p, akan dinotasikan
sebagai AR(p) dengan model sebagai berikut :
yt = ø1yt-1 + ø2yt-2 + … + øpyt-p + + et (3.1)
Model Moving Average menunjukkan ketergantungan variabel terikat
terhadap nilai residual periode sekarang dan periode sebelumnya berurutan.
Model dengan orde q dinotasikan sebagai MA(q) dengan model sebagai berikut :
yt = + et – 1 et-1 + 2 et-2 + … + q et-q (3.2)
Model ARMA yang merupakan penggabungan kedua model tersebut
memiliki notasi ARMA (p,q) dengan model yang dinyatakan dalam bentuk
sebagai berikut :
yt = ø1yt-1 + ø2yt-2 + … + øpyt-p + + et – 1 et-1 + 2 et-2 + … + q et-q (3.3)
Model ARMA tersebut hanya dapat digunakan jika data yang digunakan
telah stasioner. Data time series pada umumnya tidak stasioner pada level, oleh
sebab itu perlu dilakukan diferensiasi atau pembedaan dengan notasi orde d.
Model ini dinamakan ARIMA.
Hal yang penting dalam menggunakan model ini adalah penentuan orde p,
d, dan q. Penentuan orde tersebut berdasarkan pengamatan atas fungsi otokorelasi
(ACF) dan fungsi otokorelasi parsial (PACF) dari data time series tersebut. Secara
umum, tidak mudah untuk mengetahui orde tersebut terutama bila ordenya tinggi.
Oleh sebab itu, di dalam menentukan orde tersebut juga dapat dilakukan dengan
fine-tuning. Setelah p dan q diduga, modelnya diestimasi kemudian diuji apakah
Faktor musiman (seasonal) merupakan faktor penting yang mempengaruhi
data pada jenis data time series. Oleh sebab itu, dalam pembuatan model dengan
menggunakan ARIMA, faktor ini juga harus diperhatikan. Misalnya saja jika data
time series bulanan yt menunjukkan adanya pola musiman tahunan, maka data ini
dicurigai memiliki korelasi pada lag tertentu. Otokorelasi ini dapat dilihat dari
korelogram ACF. Bila memang ada pola musiman pada data tersebut, ACF akan
menunjukkan adanya gejolak pada lag yang berbeda L lag, dimana L didefinisikan
sebagai jumlah periode musiman dalam satu tahun (Firdaus, 2006). Model ini
dinamakan SARIMA yang ditulis dalam bentuk
ARIMA (p,d,q) (P,D,Q)L (3.4)
dimana p, q, P, dan Q adalah orde parameter-parameter non musiman dan
musiman, sedangkan d dan D mewakili orde pembedaan non musiman dan
musiman (Firdaus, 2006).
3.2.2 Model ARCH-GARCH
Model ARCH memodelkan keheterogenan ragam (heteroskedasicity) yang
tergantung pada informasi sebelumnya (conditional) secara autoregresif.
Keheterogenan ragam (heteroskedasticity) berarti ragam sisaan untuk tiap
pengamatan beubah-ubah yang menyebabkan standar error bias ke bawah.
Apabila hal ini tak diatasi, maka pengujian koefisien dengan uji-t akan
Model ARCH diterapkan pada data deret waktu yang tidak memenuhi
asumsi kehomogenan ragam. Data yang berhubungan dengan dunia keuangan
seperti harga saham biasanya memiliki ragam heterogen.
Misalkan Y1, Y2,…, Yt merupakan deret waktu pengamatan, dimana Yt
merupakan sebuah proses yang mengikuti persamaan ARMA (p,q) seperti berikut:
Yt – ø1Yt-1 – ø2Yt-2- … - øpYt-p = t – 1 t-1 – 2 t-2 - … - q t-q (3.5)
Persamaan di atas dapat tertulis :
(øpB) Yt = ( qB) t (3.6)
dimana B merupakan operator backshift. Jika q = 0, maka persamaan tersebut
sama dengan proses AR (p), yang ditulis dalam bentuk sebagai berikut:
Yt = 0 + 1 Yt-1 + 2 Yt-2 + … + p Yt-p + t (3.7)
dimana t merupakan proses white noise :
E ( t) = 0 (3.8)
E( t, ) = 2 untuk t = dan 0 untuk t (3.9)
Walaupun persamaan (3.8) berimplikasi bahwa variasi bersyarat dari t
adalah konstan yaitu sebesar 2, namun pada kenyataannya varians bersyarat dari
t dapat berubah-ubah menurut waktu. Salah satu pendekatan dilakukan dengan
menjabarkan kuadrat dari t yang mengikuti proses AR (m).
t = + 1 2t-1 + 2 2t-2 +… + m 2t-m + t (3.10)
dimana t merupakan proses white noise yang baru, dengan :
E ( t) = 0 (3.11)
Proses white noise t yang memenuhi persamaan (3.9) didefenisikan
sebagai model Autoregressive Conditional Heteroschedastic dengan orde m atau
ARCH (m), yang dinotasikan t ~ ARCH (m) (Firdaus, 2006).
Jumlah m yang relatif besar akan mengakibatkan banyaknya parameter
yang harus diestimasi. Semakin banyak parameter yang harus diestimasi dapat
mengakibatkan presisi dari estimator tersebut berkurang (Nachrowi dan Usman,
2006). Untuk mengatasi permasalahan tersebut, agar parameter yang diestimasi
tidak terlalu banyak, t dapat dijadikan model berikut:
t = + 1 t-1 + 2 t-2 + … + r t-r + 1 2t-1+ 2 2t-2 + … + m 2t-m (3.13)
dimana = [ 1 - 1 – 2 - … - r ] .
Persamaan (3.12) dikenal sebagai model General Conditional
Heteroschedastic dengan orde r dan orde m, yang dinotasikan sebagai t ~
GARCH (r,m) (Firdaus, 2006).
Penentuan parameter ARCH/GARCH dilakukan dengan menggunakan
metode kemungkinan maksimum secara iteratif. Estimasi nilai-nilai parameter
dapat dilakukan dengan menggunakan software Eviews 6.0, kemudian dari
berbagai alternatif model akan diputuskan model yang terbaik.
Sutriyati (2004) dalam Putra (2009) menyatakan bahwa pada umumnya
model dipilih setelah melalui uji diagnosa pada sisaan. Apabila pada diagnosa
sisaan sudah tidak terdapat autokorelasi sisaan, maka model yang diperoleh sudah
Model yang terbaik adalah model yang memiliki ukuran kebaikan yang
besar dan koefisien yang nyata. Dua hal ini tercakup sekaligus dalam AIC (Akaike
Information Criterion) yang dihitung dari:
AIC = ln
K = jumlah parameter yang diestimasi
n = jumlah observasi
Menurut Enders (2004) dalam Firdaus (2006), model yang baik adalah
model yang memiliki nilai AIC terkecil.
Model terbaik yang dipilih masih harus dievaluasi kembali. Uji diagnostik
dilakukan dengan menganalisis sisaan yang telah distandarisasi yang meliputi
normalitas distribusi sisaan, keacakan sisaan yang dilihat dari fungsi autokorelasi
dan kuadrat sisaan, dan pengujian efek ARCH-GARCH dari sisaan.
Prosedur pengujian asumsi kenormalan sisaan terbakukan adalah uji
Jarque Bera. Hipotesis nol pada uji ini adalah error term mengikuti distribusi
normal. Jika nilai statistik Jarque Bera mempunyai probabilitas kurang dari taraf
nyata 5% dan atau 10%, maka diputuskan tolak hipotesis nol, atau dengan kata
lain galat terbakukan belum berdistribusi normal (Firdaus, 2006).
Pemeriksaan koefisien ACF galat terbakukan dilakukan dengan uji
statistik Ljung-Box. Formulasi dari pengujian ini adalah :
n = banyaknya sample
k = panjangnya lag
Nilai LB dibandingkan dengan Tabel Chi-Square dengan derajat bebas m.
Jika LB> 2m, (taraf nyata 5% dan atau 10%), maka tolak hipotesis nol yang
menyatakan bahwa semua k=0. Dengan kata lain, dengan tingkat kepercayaan
95% dan atau 90% dapat disimpulkan bahwa residual mengandung otokorelasi
(Nachrowi dan Usman, 2006).
Pengujian efek ARCH-GARCH dari galat menggunakan uji Engel
Langrange Multiplier (LM-test). Jika nilai probabilitas lebih besar dari taraf nyata
( =0.05 dan atau =0.10), maka terima hipotesis nol yaitu model sudah konstan
(homoscedastic). Hal ini juga berarti model tidak mengandung efek ARCH.
3.2.3 Model Vector Autoregression (VAR)
Christopher Sims (Gujarati, 2003) berpendapat, jika memang terdapat
hubungan yang simultan antar variabel yang diamati, variabel tersebut perlu
diperlakukan sama, sehingga tidak ada lagi variabel endogen dan eksogen.
Berdasarkan pemikiran inilah Sims memperkenalkan konsep yang disebut Vektor
Otoregresi (VAR).
Artikel pertama Sims mengenai VAR diterbitkan oleh Econometrica pada
Januari 1980, menggunakan enam variabel yakni penawaran uang (M),
pendapatan nasinal riil (Y), tingkat gaji (W), tingkat harga (P), dan tingkat harga
impor (PM). Studi ini membandingkan Amerika Serikat dengan Jerman dalam
diterbitkan oleh American Economic Review, Mei 1980, membandingkan siklus
bisnis (business cycle) pada masa perang dan paska perang di Amerika Serikat.
Studi ini menyimpulkan bahwa penawaran uang sangat berperan pada masa
perang, namun tidak pada paska perang (Hakim, 2003).
Model VAR mengganggap bahwa semua variabel adalah endogen, secara
formulatif dapat ditulis sebagai berikut :
Xt = + 3i=1Ai Xt-1 + t, E( t, s) = , jika t s (3.16)
dimana Ai matriks kuadrat ; t menunjukkan rata-rata vektor zero, tidak ada
korelasi variabel, dan kesejajaran matriks varian , diasumsikan positif dan
simetris ; adalah 3 x 1 vektor kolom dari parameter-parameter ; vektor Xt adalah
variabel-variabel endogen di atas.
Setiap metode analisis memiliki kelebihan dan kekurangan. Pertama,
kelebihan dari metode ini menurut Gujarati (2003) antara lain sebagai berikut :
1. Metode sederhana tanpa harus membedakan variabel endogen dan
eksogen.
2. Estimasi sederhana, dimana metode OLS dapat diaplikasikan pada
tiap-tiap persamaan secara terpisah.
3. Terbebas dari berbagai batasan teori ekonomi yang sering muncul
termasuk gejala perbedaan semu (spurious variable endogenity dan
exogenity) dalam model ekonometrika konvensoinal karena bekerja
berdasarkan data yang ada. Dengan begitu, metode ini dapat
4. Hasil perkiraan (forecast) yang diperoleh dengan metode ini dalam banyak
kasus lebih bagus dibandingkan dengan hasil yang didapat dengan
menggunakan model persamaan simultan yang kompleks sekalipun.
5. Analisis VAR merupakan alat analisis yang sangat berguna dalam
memahami adanya hubungan timbal balik (interrelationship) antara
variabel-variabel ekonomi dan dalam pembentukan model ekonomi
berstruktur.
Sementara itu, kelemahan dari metode Vector Autoregressive (VAR)
antara lain sebagai berikut :
1. Tidak dilandasi teori tentang hubungan antarvariabel (model non
struktural).
2. Tujuan utama model ini untuk peramalan, maka kurang sesuai untuk
analisis kebijakan.
3. Pemilihan banyaknya lag yang diinginkan dalam persamaan dapat
menimbulkan permasalahan.
4. Interpretasi koefisien yang didapat berdasarkan model VAR tidak mudah.
Pada bagian kedua pada penelitian ini, untuk menangkap adanya pola
stokhastik, maka ada k variabel stokhastik yang ditentukan secara simultan
berdasarkan informasi sebelumnya. Model ini juga memasukkan efek musiman
sehingga menggunakan dummy bulanan sebagai variabel eksogen.
dimana Xt adalah vektor k x 1 dengan k variabel dalam t waktu, A0 adalah vektor
intersep, Ai adalah matrik k x k dari parameter dengan lag i, dan Et adalah vektor
residual dalam t waktu.
3.2.4 Model Vector Error Correction Model (VECM)
Engle dan Granger (1987) menunjukkan bahwa kombinasi linear dari dua
atau lebih series yang tidak stasioner dapat menjadi stasioner. Jika hal ini terjadi
berarti kombinasi data time series tersebut terkointegrasi. Hal ini berarti antara
variabel tersebut memiliki hubungan ekuilibrium jangka panjang. Oleh sebab itu,
dalam penggunaan model VAR perlu dilakukan uji kointegrasi. Uji kointegrasi
yang digunakan pada penelitian ini adalah uji Johansen yang dikembangkan oleh
Soren Johansen.
Dua atau lebih series yang telah terbukti terkointegrasi memiliki hubungan
ekuilibrium jangka panjang, akan tetapi sangat mungkin bahwa series tersebut
tidak mencapai keseimbangan dalam jangka pendek. Oleh sebab itu, Engle dan
Granger kemudian memperkenalkan teknik untuk mengoreksi ketidakseimbangan
jangka pendek menuju keseimbangan jangka panjang yang disebut dengan Error
Correction Mechanism (ECM).
Vector Error Correction Model atau VECM merupakan bentuk VAR yang
terestriksi (Enders, 2004). Restriksi tambahan ini harus diberikan karena
keberadaan bentuk data yang tidak stasioner pada level, tetapi terkointegrasi.
VECM kemudian memanfaatkan informasi restriksi kointegrasi tersebut ke dalam
non stasioner yang memiliki hubungan kointegrasi. Secara umum model VECM
(k-1) adalah sebagai berikut :
(3.18)
dimana :
: yt – yt-1,
k-1 : ordo VECM dari VAR,
: matriks koefisien regresi (b1,...,bi),
: vektor intersep,
: vektor koefisien regresi,
t : time trend,
: matriks loading
: vektor kointegrasi
y : variabel yang digunakan dalam analisis
Jadi, pengaruh keempat variabel yaitu volume perdagangan saham, IHPB,
IPI dan JUB terhadap IHSG dapat dimodelkan sebagai berikut (Persamaan 3.19) :
IV. PEMBAHASAN
4.1 Identifikasi Volatilitas
Variabel yang digunakan dalam analisis ini antara lain adalah Indeks
Harga Saham Gabungan (IHSG), volume perdagangan saham, Indeks Harga
Perdagangan Besar (IHPB), Indeks Produksi Industri (IPI), dan jumlah uang yang
beredar diukur dengan M2. Seluruh data tersebut merupakan data bulanan dari
Januari 2000 hingga Desember 2009.
Berdasarkan hasil pengujian ADF test pada tingkat level, semua variabel
yang digunakan tidak stasioner. Hal ini dapat dilihat dari nilai statistic ADF dari
variabel tersebut yang lebih kecil daripada nilai kritis McKinnon (Lampiran 1).
Oleh karena itu, kelima variabel didiferensiasi. Berdasarkan hasil pengujian
kembali dengan ADF test pada diferensiasi pertama, kelima variabel yang
digunakan terbukti stasioner (Lampiran 1). Pada analisis ini data dilogaritmakan,
Jadi data stasioner yang digunakan untuk analisis adalah turunan pertama dari
logaritma masing-masing variabel. Turunan pertama logaritma ini nilainya
mendekati pertumbuhan dari masing-masing indikator.
Tabel 4.1 merupakan hasil estimasi model ARCH. Berdasarkan hasil ini,
variabel yang memiliki volatilitas hanya indeks harga saham gabungan (IHSG)
ditandai dengan adanya efek ARCH. Adanya ARCH(1) pada variabel IHSG
menunjukkan bahwa varian error tergantung pada volatilitas error satu periode
sebelumnya. Sementara itu untuk keempat variabel lainnya seperti volume
industri (IPI) dan jumah uang beredar (JUB) dapat dikatakan tidak volatil, hal ini
dibuktikan dengan tidak adanya efek ARCH/GARCH.
Gambar 4.1 Grafik Indeks Produksi Industri (IPI), Jumlah Uang Beredar
(JUB), volume perdagangan (VOL), dan Indeks Harga Perdagangan Besar
(IHPB) bulanan periode 2000-2009
Gambar 4.1 di atas menunjukkan grafik dari keempat variabel tersebut
terlihat volatil. Akan tetapi, setelah diestimasi menggunakan model persamaan
ARIMA, keempat variabel ini secara signifikan homoskedastis. Ketiadaan
heteroskedastis pada variabel menjadi bukti bahwa mereka belum memiliki cukup