• Tidak ada hasil yang ditemukan

Optimasi Metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) Untuk Penetapan Kadar Antioksidan Tersier Butil Hidrokuinon (TBHQ)Dalam MinyakGoreng Setelah Penggorengan Berulang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Optimasi Metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) Untuk Penetapan Kadar Antioksidan Tersier Butil Hidrokuinon (TBHQ)Dalam MinyakGoreng Setelah Penggorengan Berulang"

Copied!
108
0
0

Teks penuh

(1)

OPTIMASI METODE KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI

(KCKT) UNTUK PENETAPAN KADAR ANTIOKSIDAN

TERSIER BUTIL HIDROKUINON (TBHQ)

DALAMMINYAK GORENG SETELAH

PENGGORENGANBERULANG

TESIS

JABANGUN LUMBANBATU127006009/ KIM

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

OPTIMASI METODE KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI

(KCKT) UNTUK PENETAPAN KADAR ANTIOKSIDAN

TERSIER BUTIL HIDROKUINON (TBHQ)

DALAM MINYAK GORENG SETELAH

PENGGORENGAN BERULANG

TESIS

Diajuka n Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Master Sains Dalam Program Studi Ilmu K imia Pada Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam

Universitas Sumatera Utara

Oleh

JABANGUN LUMBANBATU127006009/ KIM

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Telah diuji pada

Tanggal : 22Juli 2014

PANITIA PENGUJI TESIS

KETUA : Prof.D r. Harlem Marpaung

(4)

PERSETUJUAN

Judul Tesis : OPTIMASI METODE KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI (KCKT) UNTUK PENETAPAN KADAR AN TIOKSIDAN TERSIER BUTIL HIDROKUIN ON (TBHQ)DALAM MINYAK

GORENG SETELAH PENGGOR ENGANBERULANG

Nama Mahasiswa : JABANGUN LUMBANBATU Nomor Pokok : 127006009

Prog ram Studi : MAGISTER (S2) ILMU KIMIA

Menye tujui Komisi Pembimbing

Prof.D r.Harlem Marpaung Dr.M . Pandapotan Nas ution, M PS,Apt

Ketua Anggota

Ketua Program Studi Dekan

Prof. Basuki Wirjosentono, MS, Ph.D Dr. Sutarman, M.Sc

(5)

PERN YATAAN ORISINALITAS

OPTIMASI METODE KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI (KCKT) UNTUK PEN ETAPAN KADAR ANTIOKSID ANTERSIER BUTIL

HIDROKUIN ON (TBHQ)DALAM MINYAK GORENG SETELAH PENGGORENGAN BERULANG

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis ini adalah hasil karya saya sendiri kecuali kutipan dan ringkasan yang tiap satunya telah dijelaskan sumbernya dengan jelas.

Medan, J uli 2014 Penulis

(6)

OPTIMASI METODE KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI (KCKT) UNTUK PENETAPAN KADAR ANTIOKSIDAN TERSIER BUTIL

HIDROKUINON (TBHQ) DALAM MINYAK GORENG SETELAH PENGGORENGAN BERULANG

ABSTRAK

Kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) dengan metode elusi gradien untuk penentuan kadar antioksidan sintetik tertier butil hidrokuinon (TBHQ) dalam minyak goreng setelah penggorengan berulang telah dipelajari. Sistem kromatografi menggunakan fasa gerak campuran metanol : asetonitril : asam asetat 1% (60:30:10), (60:25:15), (60:20:20) dengan laju alir 0,5 mL/menit, 1 mL/menit dan 1,5 mL/menit. Kondisi optimum diperoleh pada fasa gerak campuran metanol : asetonitril : asam asetat 1% (60:20:20) dengan laju alir 0,5 mL/menit. Metode ini memiliki presisi dan akurasi yang baik dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,998, persen perolehan kembali sebesar 98,8-101,1%, limit deteksi (LOD) sebesar 7.8 mg/L, keseksamaan

intra-day sebesar 0,66% dan inter-day sebesar 0,26-0,53%. Hasil analisis kadar antioksidan TBHQ di dalam dalam minyak goreng diperoleh sebesar 169,07 mg/kg. Sedangkan kadar antioksidan TBHQ setelah penggorengan pertama, kedua dan ketiga yaitu 116,23 mg/kg, 101,71 mg/kg dan 88,89 mg/kg. Nilai ini menunjukkan bahwa jumlah antioksidan TBHQ yang ditambahkan ke dalam minyak goreng masih berada di bawah batas maksimum menurut PERMENKES No.1168/MenKes/Per/X/1999.

(7)

OPTIMIZATION OF HIGH PERFORMANCE LIQUID CHROMATOGRAPHY (HPLC) METHOD FOR DETERMINATION OF TERTIARY BUTYL

HYDROQUINONE (TBHQ) ANTIOXIDANT LEVEL IN COOKING OIL AFTER REPEATED FRYING

ABSTRACT

High performance liquid chromatography (HPLC) with gradient elution method for the determination of tertiary butyl hydroquinone a synthetic antioxidant (TBHQ) in cooking oil after frying repeatedly been studied. Chromatography system using a mobile phase mixture of methanol : acetonitrile : 1% acetic acid were (60:30:10), (60:25:15), (60:20:20) with a flow rate 0,5 mL/min, 1 mL/min and 1,5 mL/min. The optimum conditions obtained at the mobile phase a mixture of methanol : acetonitrile : 1% acetic acid (60:20:20) with a flow rate 0,5 mL/min. This method has a good precision and accuracy with a correlation coefficient 0,998, percent recoveries of 98,8 to 101,1%, the limit of detection (LOD) 7,8 mg/L, the intra-day precision 0,66% and inter-intra-day 0,26 to 0,53%. The results of the analysis in the levels of antioxidants TBHQ in edible oils obtained at 169,07 mg/kg. While the levels of antioxidant TBHQ after frying the first, second and third are 116,23 mg/kg, 101,71 mg/kg and 88,89 mg/kg. This value indicates that the amount of the antioxidant TBHQ were added to the cooking oil is still below the maximum limit according PERMENKES No.1168/Menkes/Per/X/1999.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan

hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis

dengan judul “Optimasi Metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) Untuk

Penetapan Kadar Antioksidan Tersier Butil Hidrokuinon (TBHQ)Dalam

MinyakGoreng Setelah Penggorengan Berulang” yang merupakan salah satu syarat

untukmemperolehgelarMagister IlmuKimia pada Fakultas Matematika Dan Ilmu

Pengetahuan Alam Universitas SumateraUtara.

Selama menyelesaiakan penelitian dan penulisan tesis ini penulistelah banyak

mendapatkan bantuandan dorongan dari berbagai pihak, baik moril maupun

materil. Untuk itu penulis ingin menghaturkan penghargaan dan terima kasih yang tak

terhingga kepada Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DMT&H, M.Sc, (CTM),

Sp.A(K) dan Dr. Sutarman, M.Sc selaku Rektor Universitas Sumatera Utara dan

Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera

Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis dalam

menyelesaikan pendidikan di Pascasarjana Ilmu Kimia.Bapak Prof. Basuki

Wirjosentono, MS, Ph.D dan Dr. Hamonangan Nainggolan, M.Sc selaku Ketua

Program Studi dan Sekretaris Pascasarjana Ilmu Kimia atas kesempatan yang

diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa di Pascasarjana Ilmu Kimia.

Penulis menyampaikan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Harlem

Marpaung selaku dosen pembimbing I dan Bapak Dr. M. Pandapotan Nasution MPS,

Apt selaku dosen pembimbing II yang telah banyak memberikan bimbingan,arahan,

masukan, saran dan dorongan dengan penuh kesabaran yang tulus dan ikhlas bagi

penulis dalam melakukan penelitian dan penyelesaian tesis ini. Terima kasih penulis

sampaikan kepada Bapak Prof. Basuki Wirjosentono, MS, Ph.D, Bapak Prof. Dr.

(9)

dosen penguji yang telah banyak memberikan saran dan masukan bagi penulis dalam

penyelesaian tesis sehingga menjadi semakin baik.

Penulis menyampaikan terima kasih kepada Bapak Drs.W.Purba dan Bapak

Parlidungan Purba SH, MM selaku Ketua dan Pembina Yayasan Sari Mutiara,Ibu

Dr.Ivan Elisabeth Purba M.Kes selaku Rektor Universitas Sari Mutiara Indonesia,

Medan yang telah banyak memberikan kesempatan,fasilitas,dorongan, bimbingan

danarahan kepada penulis untuk dapat mengikuti perkuliahan di Program Studi

Magister Ilmu Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas

Sumatera Utara,Medan.Bapak Dr.Hamonangan Nainggolan M.Sc dan Bapak Ridwan,

M.Si selaku Kepala dan Operator Laboratorium TerpaduFakultas Matematika dan

Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan

bantuan, arahan dan saran guna kelancaran dalam penelitian.

Terimakasih untuk Istriku tersayang Rolensa Hutapea, S.Si danAnakku yang

kubanggakan Yosua Torang Nanda Lumbanbatu SE.Ak yang selalu mendoakan dan

berkorban baik moril maupun materil kepada penulis selama menjalani

pendidikan,penelitian dan penyelesaian tesis ini.

Kiranya Tuhan Yang Maha Esa memberikan balasan yang berlipat ganda atas

kebaikan dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis.

Akhirnya penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan

oleh karena itu, penulis mengharapankan kritik dan saran yang bersifat membangun

dari semua pihak,semoga tulisan ini dapat menjadi sumbangan yang berarti bagi Ilmu

Pengetahuan Khususnya bagi bidang Ilmu Kimia.

Medan, Juli 2014

Penulis,

(10)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

DATA PRIBADI

Nama Lengkap : Jabangun Lumbanbatu

Tempat dan Tanggal Lahir : Dolok Sanggul, 27 Desember 1955 Alamat : Jl. Gaperta Komp. Tosiro No. E-2 Medan

Email/ Hp

Nama Ayah : J. Lumbanbatu (Alm) Nama Ibu : B. Banjarnahor (Alm)

DATA PENDIDIKAN

- Lulus SD Negeri 1122, Bdr. Khalipah, Sergai pada tahun 1968 - Lulus SMP Katholik, T. Tinggi pada tahun 1971

- Lulus SPA (Sekolah Pengatur Analis) DepKes RI pada tahun 1975

- Lulus PAKA (Program Ahli Kimia) Universitas Sumatera Utara, Medan pada tahun 1984

- Lulus Sarjana Biologi (Lingkungan) Universitas Medan Area, Medan pada tahun 1999

DATA PEKERJAAN

- Staff Balai Laboratorium Kesehatan, UPT Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara (1977-1999)

- Kepala Seksi Toksikologi dan Kimia Lingkungan Balai Laboratorium Kesehatan, UPT Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara(1999-2012)

- Dosen Tetap Universitas Sari Mutiara Indonesia, Medan (2012-Sekarang)

KURSUS, PELATIHAN DAN SEMINAR

- Pelatihan dalam dan luar negeri selama menjadi Staff Balai Laboratorium Kesehatan, UPT Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK i

ABSTRACT ii

KATA PENGANTAR iii

RIWAYAT HIDUP v

DAFTAR ISI vi

DAFTAR TABEL ix

DAFTAR GAMBAR x

DAFTAR LAMPIRAN xi

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang 1

1.2. Perumusan Masalah 3

1.3. Tujuan Penelitian 3

1.4. Manfaat Penelitian 4

1.5. Pembatasan Penelitian 4

BAB 2.TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Minyak Goreng 6

2.1.1. Sifat fisik minyak 7

2.1.2. Sifat kimia minyak 8

2.1.3. Minyak goreng berulang kali 9

2.1.4. Bahaya minyak goreng berulang bagi kesehatan 10

2.2.Antioksidan 11

2.2.1. Manfaat antioksidan 12

2.2.2. Mekanisme kerja antioksidan 13

2.2.3. Tersier butyl hidrokuinon 14

2.3.Metode analisis antioksidan 14

2.4.Kromatografi Cair Kinerja Tinggi 15

2.4.1. Pemisahan dalam KCKT 16

2.4.2. Parameter penting pada KCKT 18

2.4.2.1. Waktu retensi (tR

2.4.2.2. Faktor Kapasitas (k’) 19

) 18

2.4.2.3.Selektivitas (α) 20

2.4.2.4. Efisiensi Kolom (N) 21

2.4.2.5. Resolusi (Rs) 22

2.4.2.6. Faktor ikutan (Tf) dan faktor asimetri (As

2.4.3. Instrumen KCKT 24

) 22

(12)

2.4.3.2. Pompa 25

2.4.3.3. Injector 25

2.4.3.4. Kolom 26

2.4.3.5. Detektor 26

2.4.3.6. Perekam atau rekorder 27

2.5. Validasi Metode 27

2.5.1. Linearitas 27

2.5.2. Akurasi (kecermatan) 28

2.5.3. Presisi (keseksamaan) 28

2.5.4. Batas deteksi dan batas kuantitasi (LOD dan LOQ) 28

2.5.5Selektifitas (spesifisitas) 29

2.5.6. Rentangan (kisaran) 29

2.5.7. Kekuatan (ketahanan) 30

2.5.8. Kekasaran (Ketangguhan) 30

BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Alat 31

3.2. Bahan 31

3.3. Prosedur Penelitian 31

3.3.1. Preparasi sampel 31

3.3.2. Penyiapan larutan standar TBHQ 32

3.3.3. Optimasi sistem KCKT 32

3.3.4. Validasi metode KCKT 32

3.3.4.1. Ujilinieritas 32

3.3.4.2. Uji akurasi 33

3.3.4.3. Ujipresisi 33

3.3.4.4. Penentuan limit deteksi 34

3.3.4.5. Penetapan kadar TBHQ 34

3.4. Bagan Penelitian 36

3.4.1. Preparasi sampelminyak goreng 36

3.4.2. Optimasi sistem KCKT 37

3.4.3. Penetapan kadar TBHQ dalam minyak goreng 38

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Optimasi sistem KCKT 39

4.2. Validasi metode KCKT 43

4.2.1. Ujilinieritas 43

4.2.2. Ujiakurasi 44

4.2.3. Uji presisi 45

4.2.4. Penentuan limit deteksi (LOD) 47

(13)

BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan 51

5.2. Saran 51

DAFTAR PUSTAKA 52

(14)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

Tabel 2.1 Standar mutu minyak goreng 7

Tabel 3.1 Perbandingan komposisi campuran fasa gerak 32

Tabe l 4.1 Data waktu retensi dan luas area tersier butil hidrokuinon (TBHQ)konsentrasi 50 ppm menggunakan komposisi fasa gerak (60:20:20); (60:25:15); (60:30:10) dengan laju alir 0,5; 1,0; 1,5

mL/menit 39

Tabel 4.2 Hasil analisis persen perolehan kembali

antioksidanTBHQ dalam minyak 44

Tabel 4.3 Hasil analisis kadar antioks idan TBHQ pada uji

intra-day 45

Tabel 4.4 Hasil analisis kadar antioks idan TBHQ pada uji

intra-day (hari ke-1) 46

Tabel 4.5 Hasil analisis kadar antioksidan TBHQ pada uji

intra-day (hari ke-2) 46

Tabel 4.6 Hasil analisis kadar antioksidan TBHQ pada uji

intra-day(hari ke-3) 47

Tabel 4.7 Hasil analisis limit deteksi (LOD) metode KCKT 48

(15)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

Gambar 2.1 Strukt ur TBHQ 14

Gambar 2.2 Ilustrasi proses pemisahan yang terjadi didalam kolom

kromatografi cair kinerja tinggi 17

Gambar 2.3 Kromatogram puncak tunggal yang diperoleh dari

analisis KCKT 18

Gambar 2.4 Kromatogram dua puncak yang diperoleh dari analisis

KCKT 19

Gambar 2.5 Kromatogram hasil analisis kromatografi cair kinerja

tinggi engan berbagai selektifitas dan efisiensi 21

Gambar 2.6 Bentuk p uncak k romatogram 23

Gambar 2.7 Pengukuran derajat asimetris puncak 24

Gambar 2.8 Instrumen dasar KCKT 25

Gambar 4.1 Kromatogram hasil penyuntikan larutan standar TBHQ 50 ppm dengan laju alir 0,5 mL/menit menggunakan komposisi fasa gerakmetanol : asetonitril : asam asetat 1% (a) 60:20:20; (b) 60:25:15

dan (c) 60:30:10 41

Gambar 4.2 Kromatogram hasil penyuntikan larutan standar TBHQ 50 ppm dengan laju alir 1,0 mL/menit menggunakan komposisi fasa gerakmetanol : asetonitril : asam asetat 1% (a) 60:20:20; (b) 60:25:15

dan (c) 60:30:10 41

Gambar 4.3 Kromatogram hasil penyuntikan larutan standar TBHQ 50 ppm dengan laju alir 1,5 mL/menit menggunakan komposisi fasa gerakmetanol : asetonitril : asam asetat 1% (a) 60:20:20; (b) 60:25:15

dan (c) 60:30:10 42

Gambar 4.4 Kurva kalibrasi antioksidan TBHQ 44

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

Lampiran A1 Kromatogram hasil penyuntikan larutan standar TBHQ 50 ppm yang dianalisa secara KCKT menggunakan kolom C18 (3,9x150 mm); detektor UV (280 nm); suhu kolom 30oC; fasa gerak campuran metanol : asetonitril : asam

asetat 1% (60:30:10) dan laju alir 0,5 mL/menit 58

Lampiran A2 Kromatogram hasil penyuntikan larutan standar TBHQ 50 ppm yang dianalisa secara KCKT menggunakan kolom C18 (3,9x150 mm); detektor UV (280 nm); suhu kolom 30oC; fasa gerak campuran metanol : asetonitril : asam

asetat 1% (60:30:10) dan laju alir 1 mL/menit 59

Lampiran A3 Kromatogram hasil penyuntikan larutan standar TBHQ50 ppm yang dianalisa secara KCKT menggunakan kolom C18 (3,9x150 mm); detektor UV (280 nm); suhu kolom 30oC; fasa gerak campuran metanol : asetonitril : asam

asetat 1% (60:30:10) dan laju alir 1,5 mL/menit 60

Lampiran A4 Kromatogram hasil penyuntikan larutan standar TBHQ 50 ppm yang dianalisa secara KCKT menggunakan kolom C18 (3,9x150 mm); detektor UV (280 nm); suhu kolom 30oC; fasa gerak campuran metanol : asetonitril : asam

asetat 1% (60:25:15) dan laju alir 0,5 mL/menit 61

Lampiran A5 Kromatogram hasil penyuntikan larutan standar TBHQ 50 ppm yang dianalisa secara KCKT menggunakan kolom C18 (3,9x150 mm); detektor UV (280 nm); suhu kolom 30oC; fasa gerak campuran metanol : asetonitril : asam

(17)

Lampiran A6 Kromatogram hasil penyuntikan larutan standar TBHQ 50 ppm yang dianalisa secara KCKT menggunakan kolom C18 (3,9x150 mm); detektor UV (280 nm); suhu kolom 30o

63 C; fasa gerak campuran metanol :

asetonitril : asam asetat 1% (60:25:15) dan laju alir 1,5 mL/menit

Lampiran A7 Kromatogram hasil penyuntikan larutan standar TBHQ 50 ppm yang dianalisa secara KCKT menggunakan kolom C18 (3,9x150 mm); detektor UV (280 nm); suhu kolom 30o

64 C; fasa gerak campuran metanol :

asetonitril : asam asetat 1% (60:20:20) dan laju alir 0,5 mL/menit

Lampiran A8 Kromatogram hasil penyuntikan larutan standar TBHQ 50 ppm yang dianalisa secara KCKT menggunakan kolom C18 (3,9x150 mm); detektor UV (280 nm); suhu kolom 30o

65 C; fasa gerak campuran metanol :

asetonitril : asam asetat 1% (60:20:20) dan laju alir 1 mL/menit

Lampiran A9 Kromatogram hasil penyuntikan larutan standar TBHQ 50 ppm yang dianalisa secara KCKT menggunakan kolom C18 (3,9x150 mm); detektor UV (280 nm); suhu kolom 30o

66 C; fasa gerak campuran metanol :

asetonitril : asam asetat 1% (60:20:20) dan laju alir 1,5 mL/menit

Lampiran B1 Kromatogram hasil penyuntikan larutan standar TBHQ 10 ppm yang dianalisa secara KCKT menggunakan kolom C18 (3,9x150 mm); detektor UV (280 nm); suhu kolom 30o

67 C; fasa gerak campuran metanol :

(18)

Lampiran B2 Kromatogram hasil penyuntikan larutan standar TBHQ 25 ppm yang dianalisa secara KCKT menggunakan kolom C18 (3,9x150 mm); detektor UV (280 nm); suhu kolom 30o

67 C; fasa gerak campuran metanol :

asetonitril : asam asetat 1% (60:20:20) dengan laju alir 0,5 mL/menit

Lampiran B3 Kromatogram hasil penyuntikan larutan standar TBHQ 50 ppm yang dianalisa secara KCKT menggunakan kolom C18 (3,9x150 mm); detektor UV (280 nm); suhu kolom 30oC; fasa gerak campuran metanol : asetonitril : asam asetat 1% (60:20:20) dengan laju alir 0,5 mL/menit

68 Lampiran B4 Kromatogram hasil penyuntikan larutan

standar TBHQ 100 ppm yang dianalisa secara KCKT menggunakan kolom C18 (3,9x150 mm); detektor UV (280 nm); suhu kolom 30oC; fasa gerak campuran metanol : asetonitril : asam asetat 1% (60:20:20) dengan laju alir0,5 mL/menit

68 Lampiran B5 Kromatogram hasil penyuntikan larutan

standar TBHQ 150 ppm yang dianalisa secara KCKT menggunakan kolom C18 (3,9x150 mm); detektor UV (280 nm); suhu kolom 30oC; fasa gerak campuran metanol : asetonitril : asam asetat 1% (60:20:20) dengan laju alir 0,5 mL/menit

69 Lampiran B6 Kromatogram hasil penyuntikan larutan

standar TBHQ 200 ppm yang dianalisa secara KCKT menggunakan kolom C18 (3,9x150 mm); detektor UV (280 nm); suhu kolom 30oC; fasa gerak campuran metanol : asetonitril : asam asetat 1% (60:20:20) dengan laju alir 0,5 mL/menit

69

(19)

Lampiran B7 Kromatogram hasil penyuntikan larutan standar TBHQ 250 ppm yang dianalisa secara KCKT menggunakan kolom C18 (3,9x150 mm); detektor UV (280 nm); suhu kolom 30oC; fasa gerak campuran metanol : asetonitril : asam asetat 1% (60:20:20) dengan laju alir 0,5 mL/menit

70

Lampiran C1 Kromatogram antioksidan TBHQ dalam minyak goreng (sampel A) dengan fasa gerak campuran metanol : asetonitril : asam asetat 1% (60:20:20)dan laju alir 0,5 mL/menit

71 Lampiran C2 Kromatogram antioksidan TBHQ di dalam

minyak goreng setelah penggorengan pertama (sampel B) dengan fasa gerak campuran metanol : asetonitril : asam asetat 1% (60:20:20) dan laju alir 0,5 mL/menit

72 Lampiran C3 Kromatogram antioksidan TBHQ di dalam

minyak goreng setelah penggorengan kedua (sampel C) dengan fasa gerak campuran metanol : asetonitril : asam asetat 1% (60:20:20) dan laju alir 0,5 mL/menit

73 Lampiran C4 Kromatogram antioksidan TBHQ di dalam

minyak goreng setelah penggorengan ketiga (sampel D) dengan fasa gerak campuran metanol : asetonitril : asam asetat 1% (60:20:20) dan laju alir 0,5 mL/menit

74 Lampiran D1 Kromatogram hasil persen perolehan kembali

pada penambahan antioksidan TBHQ 50 ppm yang dianalisa secara KCKT menggunakan kolom C18 (3,9x150 mm); detektor UV (280 nm); suhu kolom 30o

75 C; fasa gerak campuran

metanol : asetonitril : asam asetat 1% (60:20:20) dengan laju alir 0,5 mL/menit

(20)

Lampiran D2 Kromatogram hasil persen perolehan kembali pada penambahan antioksidan TBHQ 100 ppm yang dianalisa secara KCKT menggunakan kolom C18 (3,9x150 mm); detektor UV (280 nm); suhu kolom 30o

76 C; fasa

gerak campuran metanol : asetonitril : asam asetat 1% (60:20:20) dengan laju alir 0,5 mL/menit

Lampiran D3 Kromatogram hasil persen perolehan kembali pada penambahan antioksidan TBHQ 150 ppm yang dianalisa secara KCKT menggunakan kolom C18 (3,9x150 mm); detektor UV (280 nm); suhu kolom 30o

77 C; fasa

gerak campuran metanol : asetonitril : asam asetat 1% (60:20:20) dengan laju alir 0,5 mL/menit

Lampiran D4 Kromatogram hasil persen perolehan kembali pada penambahan antioksidan TBHQ 200 ppm yang dianalisa secara KCKT menggunakan kolom C18 (3,9x150 mm); detektor UV (280 nm); suhu kolom 30oC; fasa gerak campuran metanol : asetonitril : asam asetat 1% (60:20:20) dengan laju alir 0,5

mL/menit 78

Lampiran E1 Sertifikat antioksidan Tersier Butil

Hidrokuinon(TBHQ) 79

Lampiran F1 AntioksidanTersier Butil Hidrokuinon

(TBHQ) 80

Lampiran F2 Proses persiapan sampel minyak goreng

sebelum dan setelah penggorengan berulang 80

Lampiran F3 Sampel minyak goreng sebelum dan setelah

penggorengan berulang kali 80

Lampiran F4 Sentrifuge (Thermo biofuge primo R) 81

Lampiran F5 Rotary Evaporator Vacum

(BUCHIR210/R215) 81

Lampiran F6 Proses ekstaksi sampel menggunakan

pengocok vortex mixer (fisher scientific) 81

Lampiran F7 Analisis sampel menggunakanHPLC Waters

510 Pump 82

(21)

Lampiran G1 Kurva kalibrasi TBHQ 83

Lampiran G2 Contoh perhitungan kadar antioksidan TBHQ 83

Lampiran G3 Contoh perhitungan persen perolehan kembali 84

Lampiran G4 Contoh perhitungan presisi (keseksamaan)

intra-daydan inter-day 84

Lampiran G5 Contoh perhitungan limit deteksi (LOD) 85

(22)

OPTIMASI METODE KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI (KCKT) UNTUK PENETAPAN KADAR ANTIOKSIDAN TERSIER BUTIL

HIDROKUINON (TBHQ) DALAM MINYAK GORENG SETELAH PENGGORENGAN BERULANG

ABSTRAK

Kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) dengan metode elusi gradien untuk penentuan kadar antioksidan sintetik tertier butil hidrokuinon (TBHQ) dalam minyak goreng setelah penggorengan berulang telah dipelajari. Sistem kromatografi menggunakan fasa gerak campuran metanol : asetonitril : asam asetat 1% (60:30:10), (60:25:15), (60:20:20) dengan laju alir 0,5 mL/menit, 1 mL/menit dan 1,5 mL/menit. Kondisi optimum diperoleh pada fasa gerak campuran metanol : asetonitril : asam asetat 1% (60:20:20) dengan laju alir 0,5 mL/menit. Metode ini memiliki presisi dan akurasi yang baik dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,998, persen perolehan kembali sebesar 98,8-101,1%, limit deteksi (LOD) sebesar 7.8 mg/L, keseksamaan

intra-day sebesar 0,66% dan inter-day sebesar 0,26-0,53%. Hasil analisis kadar antioksidan TBHQ di dalam dalam minyak goreng diperoleh sebesar 169,07 mg/kg. Sedangkan kadar antioksidan TBHQ setelah penggorengan pertama, kedua dan ketiga yaitu 116,23 mg/kg, 101,71 mg/kg dan 88,89 mg/kg. Nilai ini menunjukkan bahwa jumlah antioksidan TBHQ yang ditambahkan ke dalam minyak goreng masih berada di bawah batas maksimum menurut PERMENKES No.1168/MenKes/Per/X/1999.

(23)

OPTIMIZATION OF HIGH PERFORMANCE LIQUID CHROMATOGRAPHY (HPLC) METHOD FOR DETERMINATION OF TERTIARY BUTYL

HYDROQUINONE (TBHQ) ANTIOXIDANT LEVEL IN COOKING OIL AFTER REPEATED FRYING

ABSTRACT

High performance liquid chromatography (HPLC) with gradient elution method for the determination of tertiary butyl hydroquinone a synthetic antioxidant (TBHQ) in cooking oil after frying repeatedly been studied. Chromatography system using a mobile phase mixture of methanol : acetonitrile : 1% acetic acid were (60:30:10), (60:25:15), (60:20:20) with a flow rate 0,5 mL/min, 1 mL/min and 1,5 mL/min. The optimum conditions obtained at the mobile phase a mixture of methanol : acetonitrile : 1% acetic acid (60:20:20) with a flow rate 0,5 mL/min. This method has a good precision and accuracy with a correlation coefficient 0,998, percent recoveries of 98,8 to 101,1%, the limit of detection (LOD) 7,8 mg/L, the intra-day precision 0,66% and inter-intra-day 0,26 to 0,53%. The results of the analysis in the levels of antioxidants TBHQ in edible oils obtained at 169,07 mg/kg. While the levels of antioxidant TBHQ after frying the first, second and third are 116,23 mg/kg, 101,71 mg/kg and 88,89 mg/kg. This value indicates that the amount of the antioxidant TBHQ were added to the cooking oil is still below the maximum limit according PERMENKES No.1168/Menkes/Per/X/1999.

(24)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Minyak goreng merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia yang berfungsi

sebagai media dalam pengolahan bahan pangan. Selain dapat memperbaiki struktur

fisik dari bahan pangan yang digoreng, minyak goreng dapat menambah nilai gizi dan

nilai kalori serta memberikan citarasa yang khas dari bahan pangan.Oleh karena itu,

penggorengan dengan minyak goreng lebih banyak dipilih sebagai cara dalam

pengolahan makanan.

Dalam penggunaannya, minyak goreng sering dipakai untuk menggoreng

secara berulang-ulang. Penggunaan minyak goreng secara berulang-ulang akan

menyebabkan kerusakan pada minyak goreng.Ketaren (1986) mengungkapkan bahwa

minyak yang dipanaskan berulang-ulang pada suhu tinggi dan dalam waktu yang

cukup lama maka, akan menghasilkan senyawa polimer yang berbentuk padat dalam

minyak.Selain itu, adanya pemanasan berulang-ulang menyebabkan oksidasi asam

lemak tak jenuh yang kemudian membentuk gugus peroksida dan monomer siklik.

Hal ini dapat menimbulkan dampak negatif bagi yang mengkonsumsinya, yaitu

menyebabkan berbagai gejala keracunan (Ketaren, 1986). Beberapa penelitijuga

melaporkan bahwa konsumsi minyak goreng pemakaian berulang dapat menimbulkan

kerusakan karbohidrat, protein, peroksidasi lemak, kerusakan membran sel hingga

kerusakan DNA (Reynertson, 2007; Dorffman dkk, 2009).

Perlindungan terhadap kerusakan termal dan oksidatif minyak dapat dilakukan

dengan menambahkan antioksidan sintetik,salah satunya yaitu tersier butil

hidrokuinon (TBHQ)(Sanhuezadkk,2000; Aluyor dan Ori-Jesu, 2008; Pimpa dkk,

2009; Ryu, 2009; Hossain dkk, 2013; Banu dan Prasad, 2013). Meskipun antioksidan

memiliki peran penting dalam menjagakualitas minyak,penggunaan antioksidan

(25)

E

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No.1168/MenKes/Per/X/1999 tentang

Bahan Tambahan Makanan, kadar antioksidan TBHQ yang diperbolehkan dalam

makanan yaitu 200 mg/kg. Sedangkan menurut WHO (1999) nilai Acceptable Daily

Intake (ADI) dari antioksidan TBHQ yaitu 0-0,2 mg/kg berat badan.

fektivitas antioksidan bervariasi tergantung pada makanan, kondisi

pengolahan dan penyimpanan. Antioksidan TBHQ menjadi kurang efektif dalam

memberikan perlindungan terhadap minyak akibat terdekomposisi dan hilang melalui

penguapan selama penggorengan (Hammama dan Nawar, 1991; Tyagi dan

Vasishtha,1996; Allam dan Mohamed, 2002; Marmesat dkk, 2010; Reda, 2011).Oleh

karena itu, pemantauan kadar antioksidan dalam minyak setelah penggorengan

Kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) merupakan metode yang sering

digunakan dalam analisis antioksidan sintetik karena sifatnya yang fleksibel dan

memiliki presisi dan sensitivitas yang baik (Karovicova dan Simko, 2000). Penetapan

kadar antioksidan TBHQ dalam minyak goreng menggunakan metode KCKT telah

banyak dilaporkan (Chaerianisa, 2012; Xiu-Qin dkk, 2009; Saad dkk, 2011; Xijin dan

Zhicai, 2011). Akhir-akhir ini, beberapa peneliti juga telah melakukan pengembangan

metode KCKT dengan cara optimasi untuk meningkatkan kinerja dari kromatografi.

Menurut Kromidas (2006) optimasi yang paling sederhana dan sering dilakukan yaitu

terhadap perbandingan fasa gerak dan laju alir. penting untuk dilakukan.

Tanuwijaya(2007)melaporkan bahwa kadar antioksidan TBHQ, BHA dan BHT

dalam mie instan yang ditetapkandengan metode KCKT pada optimasifasa gerak

metanol: asetonitril : asam asetat 1% (60 : 20 : 20),(60 : 25 : 15) dan (60 : 30 : 10)

denganlaju alir 1 mL/menit yaitusebesar 1,37-1,44 µg/gram mie instan. Selain itu, nilai

perolehan kembaliantioksidan TBHQ yaitu sebesar 93,8-98,3%, BHA sebesar

87,2-98,3% dan BHT sebesar 76,2-92,3% dengan batas deteksi masing-masing sebesar0,99

(26)

Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan optimasi

metode KCKT untuk penetapan kadar antioksidan TBHQ dalam minyak goreng

setelah penggorengan berulang. Mengingat, kajian tentang penetapan kadar

antioksidan TBHQ dalam minyak setelah penggorengan berulang belum dilakukan.

Syarat pemilihan utama setelah memilih metode HPLC yang sesuai adalah

menentukan sistem pelarut untuk analisa. Kriteria pemilihan melibatkan waktu

analisa, efisiensi keseluruhan dan resolusi. Selain itu, percepatan aliran fasa gerak

akan memainkan peranan dalam parameter ini. Oleh karena itu, pada penelitian ini

akan dilakukan optimasi fasa gerak metanol : asetonitril : asam asetat 1%dengan

variasi perbandingan (60:20:20), (60:25:15) dan (60:30 :10) dengan laju alir yang berbeda

yaitu 0,5 mL/menit, 1mL/menit dan 1,5 mL/menit. Kondisi optimum yang diperoleh

selanjutnya digunakan untuk penetapan kadar antioksidan TBHQ dalam minyak

setelah penggorengan berulang. Untuk uji validasi metode KCKT, dilakukan uji

linieritas, uji akurasi (kecermatan) dengan parameter persen perolehan kembali

(80-120%), uji presisi (keseksamaan) dengan parameter simpangan baku relatif (RSD ≤

2%) dan limit deteksi (LOD).

1.2 Perumusan Masalah

1. Bagaimana metode KCKT dapat digunakan untuk penetapan kadar

antioksidan dalam minyak goreng sebelum dan setelah penggorengan

berulang.

2. Apakah optimasi metode KCKT pada penetapan kadar antioksidan TBHQ

dalam minyak goreng sebelum dan setelah penggorengan berulang memenuhi

persyaratan uji validasi.

3. Apakah kadar antioksidan TBHQ dalam minyak goreng sebelum dan setelah

penggorengan berulang memenuhi persyaratan Peraturan Menteri Kesehatan

(27)

1.3 Tujuan Penelitian

1. Menentukan kondisi optimum untuk analisis kadar antioksidan TBHQ dalam

minyakgoreng sebelum dan setelah penggorengan berulang

2. Melakukan validasi metode analisis KCKT pada penetapan kadar antioksidan

TBHQ dalam minyak gorengsebelum dan setelah penggorengan berulang.

3. Mengevaluasi kadar antioksidan TBHQ dalam minyak goreng sebelum dan

setelah penggorengan berulang dengan Keputusan Menteri Kesehatan

No.1168 /MenKes/Per/X/1999 tentang Bahan Tambahan Makanan.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini bermanfaat dalam mengembangkan metode alternatif untuk

menciptakan kondisi kromatografi yang optimum pada penetapan kadar antioksidan

TBHQ dalam minyak goreng. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan

informasi kepada masyarakat sebagai konsumen mengenai kadar antioksidan dalam

produk minyak goreng komeril sebelum dan setelah penggorengan berulang.

Sehingga, masyarakat dapat lebih berhati-hati dalam memilih produk pangan yang

aman untuk dikonsumsi.

1.5 Pembatasan Penelitian :

Penelitian dilaksanakan mengunakan dua variable, yaitu:

1. Variabel bebas:

- Perbandingan komposisi fase gerak

Metanol : Acetonitril : Asam asetat 1%

60 : 20 : 20

60 : 25 : 15

60 : 30 : 10

- Laju alir fase gerak : 0,5 mL/menit, 1 mL/menit dan 1,5 mL/menit

2. Variabel tetap:

(28)

- Detektor UV (280 nm)

- Tekanan ≤ 200 bar

- Suhu oven kolom 30o

- Uji validasi metode KCKT yaitu:linieritas, akurasi (kecermatan), presisi

(29)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Minyak Goreng

Minyak goreng merupakan minyak yang telah mengalami proses pemurnian yang

meliputi degumming, netralisasi, pemucatan dan deodorisasi (Sugiati, 2007).

Sedangkan menurut SNI (2013) minyak goreng adalah bahan pangan dengan

komposisi utama trigliserida yang berasal dari bahan nabati dengan atau tanpa

perubahan kimiawi termasuk hidrogenasi, pendinginan dan telah melalui proses

rafinasi atau pemurnian yang digunakan untuk menggoreng. Minyak goreng

berfungsi sebagai penghantar panas, penambah rasa gurih dan penambah nilai kalori

bahan pangan (Ketaren, 1986).

Di Indonesia minyak pangan yang banyak digunakan adalah minyak nabati.

Secara umum, di pasaran ditawarkan dua macam minyak goreng yaitu minyak goreng

yang berasal dari tumbuhan (minyak nabati) dan minyak goreng yang berasal dari

hewan yang terkenal tallow(minyak atau lemak berasal dari sapi) dan lard(minyak

atau lemak berasal dari babi). Minyak goreng nabati contohnya minyak sawit, minyak

kelapa, minyak jagung, minyak kedelai, minyak zaitun dan lain-lain.

Mutu minyak goreng ditentukan oleh titik asapnya, yaitu suhu pemanasan

minyak sampai terbentuk akreolein yang tidak diinginkan dan dapat menimbulkan

rasa gatal pada tenggorokan hidrasi gliserol akan membentuk aldehida tidak jenuh

atau akrelein tersebut. Makin tinggi titik asap, makin baik mutu minyak goreng itu.

Titik asap suatu minyak goreng tergantung dari kadar gliserol bebas. Lemak yang

telah digunakan untuk menggoreng titik asapnya akan turun, karena telah terjadi

hidrolisis molekul lemak. Oleh karena itu untuk menekan terjadinya hidrolisis,

pemanasan lemak atau minyak sebaiknya dilakukan pada suhu yang tidak terlalu

tinggi dari seharusnya (Winarno, 2004).Standar mutu minyak goreng menurut

(30)

Tabel 2.1.Standar mutu minyak goreng

Kriteria uji Satuan Syarat

Keadaan bau, warna dan rasa - Normal

Air % b/b Maks 0.30

Asam lemak bebas

(dihitung sebagai asam laurat)

% b/b Maks 0,30

Bahan Makanan Tambahan Sesuai SNI.022-M dan Permenkes

No.722/Menkses/Per/IX/88

Catatan *dalam kemasan kaleng

Sumber: Standar Nasional Indonesia 01-3741-2002

2.1.1Sifat fisik minyak

Minyak memiliki beberapa sifat fisik yang dapat membedakan minyak dengan lemak

atau senyawa lainnya, diantaranya:

- Warna, terdiri dari 2 golongan, golongan pertama yaitu zat warna alamiah,

golongan ini secara alamiah terdapat dalam bahan yang mengandung minyak dan

ikut terekstrak bersama minyak pada proses ekstrasi. Zat warna tersebut antara lain

α dan β karoten (berwarna kuning), xantofil (berwarna kuning kecoklatan), klorofil (berwarna kehijauan) dan antosianin (berwarna kemerahan).Golongan kedua yaitu

zat warna dari hasil degradasi zat warna alamiah, yaitu warna gelap disebabkan

(31)

oleh bahan untuk membuat minyak yang telah busuk atau rusak, warna kuning

umumnya terjadi pada minyak tidak jenuh.

- Kelarutan, minyak tidak larut dalam air kecuali minyak jarak (castor oil), dan

minyak sedikit larut dalam alkohol, etil eter, karbon disulfida dan pelarut halogen.

- Titik didih (boiling point) akan semakin meningkat dengan bertambah panjangnya

rantai karbon asam lemak tersebut.

2.1.2 Sifat kimia minyak

Dalam minyak, terdapat beberapa proses kimia yang dapat terjadi akibat adanya

interaksi antara struktur kimia yang dimiliki oleh minyak dan lingkungannya yaitu:

- Hidrolisa, dalam reaksi hidrolisa minyak akan diubah menjadi asam lemak bebas

dan gliserol. Reaksi hidrolisa yang dapat menyebabkan kerusakan minyak atau

lemak terjadi karena terdapatnya sejumlah air dalam minyak tersebut.

- Oksidasi, proses oksidasi berlangsung bila terjadi kontak antara sejumlah oksigen

dengan minyak. Terjadinya reaksi oksidasi akan mengakibatkan bau tengik pada

minyak dan lemak.Menurut Smith (1991) mekanisme oksidasi pada umumnya

terdiri dari tiga tahap utama, yaitu inisiasi, propagasi dan terminasi. Pada tahap

inisiasi terjadi pembentukan radikal bebas lemak (R•), yaitu suatu senyawa yang

bersifat tidak stabil dan sangat reaktif akibat dari hilangnya satu atom hidrogen

(persamaan 1). Tahap ini berlangsung lambat dan terjadi karena adanya cahaya

atau logam. Pada tahap propagasi, radikal lemak akan bereaksi dengan oksigen

membentuk radikal peroksida (ROO•). Radikal peroksida selanjutnya akan

menyerang molekul lemak lain (RH) menghasilkan hidroperoksida (ROOH) dan

radikal lemak baru (persamaan 2 dan 3). Tahap ini merupakan reaksi rantai yang

berlangsung sangat cepat. Hidroperoksida yang terbentuk bersifat tidak stabil dan

akan terdegradasi menjadi senyawa-senyawa seperti aldehida, keton dan asam

yang menyebabkan bau serta rasa tengik. Reaksi oksidasi akan berakhir pada tahap

terminasi, yaitu melalui reaksi antar radikal bebas (persamaan 4).

(32)

Propagasi : R• + O2 → ROO• (2)

Faktor-faktor yang dapat memicu terjadinya oksidasi antara lain panas, cahaya,

logam, suasana basa, derajat ketidakjenuhan, pigmen dan oksigen

- Hidrogenasi, proses hidrogenasi bertujuan untuk menumbuhkan ikatan rangkap

dari rantai karbon asam lemak pada minyak.

- Esterifikasi, proses esterifikasi bertujuan untuk mengubah asam-asam lemak dari

trigliserida dalam bentuk ester. Dengan menggunakan prinsip reaksi ini

hidrokarbon rantai pendek dalam asam lemak yang menyebabkan bau tidak enak

dapat ditukar dengan rantai panjang yangbersifat tidak menguap.

2.1.3Minyak goreng berulang kali

Minyak goreng berulang kali adalah minyak limbah yang bisa berasal dari jenis-jenis

minyak goreng seperti halnya minyak jagung, minyak sayur, minyak samin dan

sebagainya.Minyak ini merupakan minyak bekas pemakaian kebutuhan rumah

tanggaumumnya,dapat di gunakan kembali untuk keperluaran kuliner. Akan tetapi

bila ditinjau dari komposisi kimianya,minyak goreng berulangkali mengandung

senyawa-senyawa yang bersifat karsinogenik yang terbentuk selama proses

penggorengan (Raharjo, 2009).

Penggunaan yang lama dan berkali-kalidapat menyebabkan ikatan rangkap

pada minyak teroksidasi sehingga membentuk gugusperoksida dan monomer

siklik.Awal dari kerusakan minyak goreng adalahterbentuknya akrolein pada minyak

goreng. Akrolein ini menyebabkanrasagatal pada tenggorokan pada saat

(33)

Minyak goreng berulang kali atau yang disebut minyak jelantah telah

mengalami penguraian molekul-molekul, sehingga titik asapnya turun drastis dan

biladisimpan dapat menyebabkan minyak menjadi berbautengik. Bau tengik dapat

terjadi karena penyimpanan yang salah dalam jangka waktu tertentu menyebabkan

pecahnya ikatan trigliserida menjadi gliserol dan FFA (free fatty acid) atau asam

lemak jenuh (Ketaren, 2005).Semakin sering digunakan tingkat kerusakan minyak

akan semakin tinggi. Penggunaan minyak berkali-kali akan meningkatkan perubahan

warna menjadi coklat sampai kehitam-hitaman pada minyak tersebut.

2.1.4 Bahaya minyak goreng berulangkali bagi kesehatan

Pemakaian minyak goreng berulang sampai dua kali masih dapat ditoleransi, namun

jika lebih dari dua kali, terlebih jika warnanya sudah berubah menjadi

kehitam-hitaman, maka minyak tersebut sudah tidak baik dan harus dihindarkan (Ketaren,

2005). Penggunaan minyak goreng secara berulang dapatmembahayakan kesehatan

tubuh. Hal tersebut dikarenakan pada saat pemanasan akan terjadi proses degradasi,

oksidasi dan dehidrasi dari minyak goreng. Proses tersebut dapat membentuk radikal

bebas dan senyawa toksik yang bersifat racun,sehingga membahayakan tubuh

(Pangkahila, 2011).

Minyak goreng berulang, khususnya yang dihasilkan dari proses deep

fryingmerupakan radikal bebas dari luar tubuh (eksogen) yang dapat memicu

terjadinya stres oksidatif di dalam tubuh dan menimbulkan kerusakan karbohidrat,

protein, peroksidasi lipid, kerusakan membran sel hingga kerusakan DNA

(Deoxyribo- Nucleic Acid) (Reynertson, 2007; Dorffman dkk, 2009; Arief, 2009).

Stres oksidatif yang berlangsung terus menerus dapat mempercepat penuaan dan

menyebabkan timbulnya penyakit degeneratif, inflamasi, aterosklerosis dan kanker).

Hasil kajian dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan (Badan POM)

menemukan bahwa penggunaan minyak goreng berulang berdampak pada kesehatan.

Pemanasan minyak goreng berkali - kali (lebih dari dua kali) pada suhu tinggi akan

(34)

Density Lipoproteins (LDL), trigliserida, dan insulin, serta menurunkan High Density

Lipoproteins(HDL) di dalam darah (Dhaka dkk, 2011; Wahab dkk, 2011).

Beberapa studi pada tikus juga menunjukkan bahwa pemberian diet

tinggilemak trans menyebabkan terjadinya resistensi insulin, peningkatan berat

badan, lemak abdominal, lemak subkutaneus, dan terutama akumulasi trigliserida

pada organ hati karena terjadi penurunan oksidasi lipid dan peningkatan sintesis asam

lemak bebas. Hal ini dapat memicu terjadinya obesitas, sindrom metabolik, steatosis

hepatik, dan lipotoksisitas (toksisitas sel akibat akumulasi abnormal lemak)

(Kavanagh dkk, 2007; Dorfman dkk, 2009).

Percobaan yang dilakukan Machado dkk (2010) dengan menggunakan tikus

percobaan yang diberi diet asam lemak trans, PUFA dan SFAditemukan bahwa asam

lemak trans mendorong perubahan yang mirip dengan sindrom metabolik pada

manusia. Asupan asam lemak trans menginduksi akumulasi lemak di hati yang

kemudian memicu terjadinya NASH. Selain itu, Siagian dkk (2002) menyimpulkan

bahwa pemberian per oral minyak kelapa bekas gorengan yang dipanaskan

berulangkali terhadap mencit galur Swiss dapat menimbulkan kongesti hati,

perlemakan dan nekrosis hati.

2.2 Antioksidan

Antioksidan adalah senyawa yang ditambahkan dalam jumlah kecil ke dalam

senyawa senyawa yang bersifat tidak jenuh, terutama lemak dan minyak untuk

memperlambat proses oksidasi. Suatu senyawa untuk dapat digunakan sebagai

antioksidan harus mempunyai sifat dapat membentuk radikal bebas dengan cepat

(menyumbangkan atom hidrogen lebih cepat daripada molekul lemak) dan dapat

terkonsentrasi pada permukaan atau lapisan lemak (bersifat lipofilik).Selain itu, untuk

antioksidan dalam makanan harus tahan pada kondisi pengolahan makanan (Cahyadi,

2006).

(35)

tentang perkembangan senyawa berkhasiat antioksidan telah banyak dikembangkan

baik senyawa alam maupun senyawa sintetis. Berdasarkan asalnya, antioksidan dapat

dibagi menjadi antioksidan alami dan sintetik (Ketaren, 1986). Antioksidan alami

antara lain: tokoferol, asam askorbat, flavonoid dan β-karoten.Sedangkan antioksidan sintetik yaitu BHA (Butil Hidroksi Anisol), BHT (Butil Hidroksi Toluen), PG (Propil

Galat) dan TBHQ (Tersier Butil Hidrokuinon).Penggunaan kombinasi beberapa jenis

antioksidan memberikan perlindungan yang lebih baik terhadap oksidasi jika

dibandingkan dengan penggunaan satu jenis antioksidan saja (Cahyadi, 2006).

2.2.1. Manfaat antioksidan

Berkaitan dengan fungsinya, senyawa antioksidan di klasifikasikan dalam lima tipe

antioksidan, yaitu:

1. Primary antioxidants, yaitu senyawa-senyawa fenol yang mampu memutus

rantai reaksi pembentukan radikal bebas asam lemak. Senyawa antioksidan

yang termasuk kelompok ini, misalnya BHA, BHT, PG, TBHQ dan tokoferol.

2. Oxygen scavengers,yaitu senyawa-senyawa yang berperan sebagai pengikat

oksigen sehingga tidak mendukung reaksi oksidasi. Dalam hal ini, senyawa

tersebut akan mengadakan reaksi dengan oksigen yang berada dalam sistem

sehingga jumlah oksigen akan berkurang. Contoh dari senyawa-senyawa

kelompok ini adalah vitamin C (asam askorbat), askorbilpalminat, asam

eritorbat dan sulfit.

3. Secondary antioxidants,yaitu senyawa-senyawa yang mempunyai kemampuan

untuk berdekomposisi hidroperoksida menjadi prodak akhir yang stabil. Tipe

antioksidan ini pada umumnya digunakan untuk menstabilkan poliolefin resin.

Contohnya asam tiodipropionat dan dilauriltiopropionat.

4. Antioxidative EnzimeI,yaitu enzim yang berperan mencegah terbentuknya

radikal bebas. Contohnya glukose oksidase, superoksidase dismutase(SOD),

(36)

5. Chelators sequestrants,yaitu senyawa-senyawa yang mampu mengikat logam

seperti besidan tembaga yang mampu mengkatalis reaksi oksidasi lemak.

Senyawa yang termasuk didalamnya adalah asam sitrat, asam amino,

ethylenediaminetetra acetid acid (EDTA) dan fosfolipid.

2.2.2 Mekanisme kerja antioksidan

Menurut Stuckey (1972) penghambatan oksidasi lipida oleh antioksidan melalui lebih

dari satu mekanisme tergantung pada kondisi reaksi dan sistem makanan. Salah satu

mekanisme kerja antioksidan adalah dengan menyediakan hidrogen untuk bereaksi

dengan radikal bebas dan memutuskan reaksi berantai oksidasi sebelum terbentuk

produk akhir penyebab ketengikan, contohnya antioksidan golongan fenolat (AH2

dan AH). Radikal bebas fenolat yang terbentuk stabil (berenergi rendah) karena

adanya hibridisasi resonansi (Smith,1991).

Antioksidan sebaiknya ditambahkan ke lipida seawal mungkin untuk

menghasilkan efek maksimum. Menurut Coppen (1983), antioksidan hanya akan

benar-benar efektif bila ditambahkan seawal mungkin selama periode induksi, yaitu

suasana periode awal oksidasi lipida terjadi dimana oksidasi masih berjalan secara

lambat dengan kecepatan seragam.

2.2.3Tersier butil hidrokuinon

(37)

minyak-minyakan yang berasal dari tanaman (minyak nabati). Bila TBHQ

direkomendasikan dengan BHA yang memiliki kemampuan antioksidan yang baik

pada pemanggangan akan memberikan kegunaan yang lebih luas (Sherwin, 1990).

OH

C(CH3)3

OH

Gambar 2.1Struktur TBHQ

TBHQ dikenal berbentuk bubuk putih sampai coklat terang, mempunyai

kelarutan cukup pada lemak dan minyak, tidak membentuk kompleks warna dengan

Fe dan Cu tetapi dapat berubah pink dengan adanya basa. TBHQ memiliki rumus

molekul (CH3)3CC6H3(OH)2 dan memiliki nama lain seperti

tert-butyl-1,4-benzenediol atau 2-tert-butylhydroquinone. Sedangkan sifat fisik yang dimilikinya

antara lain memiliki berat molekul = 166.22, titik didih (760 mmHg) = 300oC, titik

leleh = 126.5-128.6oC dan intensitas baunya sangat rendah (Buck,1991).

2.3 Metode Analisis Antioksidan

Berbagai metode analisis telah banyak dilaporkan untuk penentuan antioksidan dan

pengawet dalam makanan, kosmetik maupun obat-obatan. Saat ini,kromatografi cair

kinerja tinggi (KCKT)adalah metodeyang paling banyak digunakan untuk

analisisantioksidan sintetik karena sifatnya yang fleksibel, presisi, sensitivitasyang

memadai, mudah dilakukan dan lebih efisien(Karovicova danSimko, 2000; Razali

dkk, 1997; Wang dkk, 2013).Meskipunmetode analisislain sepertikromatografi lapis

(38)

elektroforesis kapiler(Boyce danSpickett,

Xijin dan Zhicai (2011), mengungkapkan

1999) dan kromatografi

gas-spektrofotometer masa(GC-MS) (Guo dkk, 2007) juga telah dilaporkan.

tingginya presisi dan sensitivitas

yang dimiliki oleh KCKT(persen perolehan kembali diatas 90%) menyebabkan

metode inimenjaditeknikutamauntuk analisisantioksidan sintetikpadadaging, sup,

saus, makanan hewan, minyak kelapa sawit,keripik kentangdan jagung, keju,sereal,

minumandanhati.Pernyataan ini juga didukung oleh

Menurut Snyder dan Kirkland (1979) KCKT memiliki banyak kelebihan jika

dibandingkan dengan metode lainnya, yaitu:

Cabuk dan Kokturk (2013) bahwa

KCKT merupakan metode yang sederhana dan efisien dalam penetapan kadar

antioksidan sintetik dalam minuman. Pada kondisi optimum, persen perolehan

kembali diperoleh sebesar 53-98%, linieritas yang baik dengan koefisien kolerasi

sebesar 0,9975-0,9997, standar deviasi sebesar 1,0-5,2% dan limit deteksi sebesar

0,85-2,73 μg/mL.

- mampu memisahkan molekul-molekul dari suatu campuran

- mudah melaksanakannya

- kecepatan analisis dan kepekaan yang tinggi

- dapat dihindari terjadinya dekomposisi/ kerusakan bahan yang dianalisis

- resolusi yang baik

- dapat digunakan bermacam-macam detektor

- kolom dapat digunakan kembali

- mudah melakukan perolehan kembali sampel (sample recovery)

2.4 Kromatografi Cair Kinerja Tinggi

Kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) dikembangkan pada akhir tahun 1960 dan

1970. KCKT merupakan sistem pemisahan dengan kecepatan dan efisiensi yang

tinggi karena didukung oleh kemajuan dalam teknologi kolom, sistem pompa tekanan

(39)

berbagai analit secara kualitatif maupun kuantitatif, baik dalam komponen tunggal

ataupun campuran.

Pada KCKT, fase diam berupa kolom modern dengan partikel yang sangat

kecil (ditempatkan dalam kolom tertutup), sedangkan fasa gerak berupa cairan yang

dialirkan ke kolom menggunakan bantuan pompa dan terdapat detektor yang sensitif

(McMaster, 2007).Berdasarkan mekanisme pemisahannya, kromatografi dapat

diklasifikasikan berdasarkan adsorpsi, partisi, pertukaran ion dan berdasarkan

eksklusi ukuran. Pada partisi dibedakan lagi menjadi kromatografi fasa normal dan

fasa terbalik (Moffat, 2005).

Saat ini, KCKT sudah sangat luas digunakan sebagai teknik pemisahan baik

untuk analisis sampel dan pemurnian dalam variasi sampel baik dalam bidang

farmasi, bioteknologi, lingkungan, polimer dan industri makanan (Settle, 1997).

Kegunaan umum KCKT adalah untuk pemisahan sejumlah senyawa organik,

anorganik maupun biologis, analisis ketidakmurnian (impurities) dan analisis

senyawa-senyawa yang tidak mudah menguap. KCKT sering digunakan untuk

menetapkan kadar senyawa-senyawa tertentu seperti asam-asam amino, asam-asam

nukleat dan protein dalam cairan fisiologis, menentukan kadar senyawa-senyawa

aktif obat dan lainnya (Gandjar dan Rohman, 2007).

2.4.1 Pemisahan dalam KCKT

Pemisahan analit dalam kolom kromatografi terjadi didasarkan pada aliran fase gerak

yang membawa campuran analit melalui fase diam dan perbedaan interaksi analit

dengan permukaan fase diam menyebabkan terjadinya perbedaan waktu perpindahan

setiap komponen senyawa dalam campuran (Kazakevich dan LoBrutto,2007).

Komponen senyawa yang terpisah dalam sistim KCKT akan dibawa oleh fase

gerak menuju detektor dan sinyal yang terekam oleh detektor disebut sebagai

puncak,sedangkan keseluruhan puncak yang direkam oleh detektor selama proses

(40)

detektor selama analisis mempunyai dua informasi yaitu informasi kualitatif dan

informasi kuantitatif (Meyer, 2004).

Sebagai contoh dapat digambarkan campuran dua senyawa yang berbeda

dimasukkan kedalam sistim kromatografi (partikel • dan ▲) (Gambar 2.2a) dan pada

saat fase gerak mengalir maka partikel ▲akan cenderung tinggal menetap difase

diam dan partikel • akan terbawa didalam fase gerak (Gambar 2.2b). Masuknya fase

gerak yang berkelanjutan dalam kolom akan menimbulkan kesetimbangan baru,

molekul sampel dalam fasa gerak diadsorpsi sebagian oleh permukaan fasa diam

berdasarkan koefisien distribusinya, sedangkan molekul yang sebelumnya diadsorpsi

akan muncul kembali di fasa gerak (Gambar 2.2c ). Setelah proses ini terjadi berulang

kali, kedua komponen akan terpisah. Komponen • yang lebih suka dengan fasa gerak

akan berpindah lebih cepat dari pada komponen ▲ yang cenderung menetap di fase

diam, sehingga komponen • akan muncul terlebih dahulu dalam kromatogram, yang

kemudian diikuti oleh komponen ▲(Gambar 2.2d) (Mayer, 2004).

(41)

2.4.2 Parameter penting pada KCKT

2.4.2.1 Waktu retensi (tR

Waktu retensi atau retention time (t

)

R

Sebuah puncak memiliki tinggi puncak (h) dan lebar puncak (W

) didefenisikan sebagai waktu yang diperlukan

untuk membawa keluar suatu komponen dari dalam kolom kromatografi. Waktu

retensi biasanya digunakan untuk menentukan kuat lemahnya interaksi analit di

dalam kolom kromatografi. Waktu retensi suatu zat selalu konstan pada kondisi

kromatografi yang sama. Suatu puncak kromatografi dapat diidentifikasi dengan

membandingkan waktu retensinya terhadap baku (Meyer, 2004).

b). Lebar

puncak yang diukur biasanya merupakan lebar pada 5% tinggi puncak (W0,05). Tinggi

dan luas puncak berkaitan secara proporsional atas kadar ataupun jumlah analit

tertentu yang terdapat dalam sampel (memiliki informasi kuantitatif). Namun

demikian, luas puncak lebih umum digunakan dalam proses analisis karena lebih

akurat dan lebih cermat daripada perhitungan menggunakan tinggi puncak (Ornaf dan

Dong, 2005). Kromatogram dari KCKT dapat dilihat pada Gambar 2.3.

(42)

Gambar 2.4Kromatogram dua puncak hasil analisis KCKT (Meyer, 2004)

Pada Gambar 2.4 dapat dilihat bahwa, w adalah lebar puncak dan to disebut

waktu hampa (void time/dead time), yaitu waktu tambat pelarut yang tidak tertahan

atau waktu yang dibutuhkan oleh fase gerak untuk melewati kolom (Meyer, 2004).

Waktu retensi dipengaruhi oleh laju alir (μ) dan panjang kolom (L). Jika laju alir

lambat atau kolom panjang, maka tR

µ= �

�� (9)

akan semakin besar dan sebaliknya. Waktu

retensi dipengaruhi oleh laju alir (μ) dapat dihitung dengan menggunakan rumus:

2.4.2.2 Faktor Kapasitas (k’)

Menurut Ornaf dan Dong tahun 2005, Faktor kapasitas (k’) merupakan suatu ukuran

derajat tambatan dari analit yang tidak dipengaruhi laju alir dan panjang kolom.

Faktor kapasitas dihitung dengan membagi waktu tambat bersih (tR) dengan waktu

hampa (t0) seperti yang dapat dilihat pada rumus berikut ini:

�′ =�′�

�0 =

�� − �0

�0 (10)

Faktor kapasitas juga disebut sebagai faktor tambat (k) dalam beberapa

(43)

dengan ukuran kolom yang berbeda namun memiliki fase diam dan fase gerak yang

sama, maka faktor kapasitas dari analit pada kedua sistem kromatografi cair kinerja

tinggi tersebut secara teoritis adalah sama (Kazakevich dan LoBrutto, 2007).

Faktor kapasitas yang disukai berada diantara nilai 1 hingga 10. Jika nilai

faktor kapasitas terlalu kecil menunjukkan bahwa analit terlalu cepat melewati kolom

sehingga tidak terjadi interaksi antara analit dengan fase diam dan oleh karena itu,

tidak akan muncul didalam kromatogram. Sebaliknya jika faktor kapasitas terlalu

besar maka akan mengindikasikan waktu analisis yang panjang (Meyer, 2004). Nilai

faktor kapasitas dari analit yang lebih kecil dari 1 dan juga lebih besar dari 20 akan

menjadi masalah dalam analisis menggunakan kromatografi cair kinerja tinggi (Ornaf

dan Dong, 2005).

2.4.2.3 Selektivitas (α)

Menurut Kazakevich dan LoBrutto tahun 2007, Selektifitas (α) adalah kemampuan sistem kromatografi untuk membedakan analit yang berbeda. Selektifitas ditentukan

sebagai rasio perbandingan faktor kapasitas (k’) dari analit yang berbeda:

� =�2

�1 =

��2− �0

��1− �0 (11)

Nilai selektifitas yang didapatkan dalam sistem kromatografi cair kinerja

tinggi harus lebih besar dari 1. Seletivitas juga dikenal sebagai faktor pemisahan atau

tambatan relatif (Ornaf dan Dong, 2005).

Proses pemisahan antara dua komponen dalam kromatografi cair kinerja

tinggi hanya dimungkinkan bila kedua komponen memiliki kecepatan yang berbeda

dalam melewati kolom (Ornaf dan Dong, 2005). Kemampuan sistem kromatografi

dalam memisahkan atau membedakan analit yang berbeda dikenal sebagai

selektivitas. Selektivitas umumnya bergantung kepada sifat analit tersebut dan

(44)

seperti metanol dan asetonitril juga diketahui dapat mempengaruhi sifat selektivitas

(Kazakevich dan LoBrutto, 2007).

Gambar 2.5Kromatogram hasil analisis kromatografi cair kinerja tinggi dengan berbagai selektifitas dan efisiensi (Kazakevich dan LoBrutto, 2007)

2.4.2.4 Efisiensi Kolom (N)

Ukuran kuantitatif dari efisiensi kolom disebut sebagai nilai lempeng (plate number)

atau N (Ornaf dan Dong, 2005). Menurut Kazakevich dan LoBrutto tahun 2007,

Efisiensi adalah ukuran tingkat penyebaran puncak dalam kolom. Efisiensi kolom

ditunjukkan dari jumlah lempeng teoritikal atau theoretical plates (N), yang dapat

dihitung dengan rumus:

�= 16 ���

��

2

(12)

Menurut Snyder dan Kirkland tahun 1979, kolom yang efisien adalah kolom

yang mampu menghasilkan pita sempit dan memisahkan dengan baik setiap analit

dalam campuran (sampel). Nilai lempeng akan semakin tinggi jika ukuran kolom

semakin panjang, hal ini berarti proses pemisahan yang terjadi semakin baik.

Hubungan yang proporsional antara nilai lempeng pengan panjang kolom disebut

sebagai tinggi setara dengan lempeng teoritikal (Height Equivalent of a Theoritical

(45)

�= �

� (13)

Tujuan utama dari analisis kromatografi cair kinerja tinggi secara praktik

adalah untuk mendapatkan nilai lempeng teoritis yang maksimum, tinggi setara setara

dengan lempeng teoritikal yang minimum dan efisiensi kolom yang tertinggi (Snyder

dan Kirkland, 1979).

2.4.2.5Resolusi (Rs)

Menurut Ornaf dan Dong tahun 2005, resolusi (Rs) merupakan derajat pemisahan

dari dua puncak analit yang berdekatan. Resolusi dapat didefinisikan sebagai

perbedaan waktu tambat antara dua puncak dibagi dengan rata-rata lebar kedua

puncak. Oleh karena itu resolusi dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai

berikut ini:

Pemisahan yang terpisah dengan sempurna telah dapat terlihat bila resolusi

setara dengan 1. Akan tetapi, pada analisis kuantitatif, resolusi yang ditunjukkanharus

lebih besar dari 1,5. Sementara itu, bila kedua puncak yang berdekatan memiliki

perbedaan ukuran yang signifikan, maka diperlukan nilai resolusi yang lebih besar

(Meyer, 2004).

2.4.2.6Faktor ikutan (Tf) dan faktor asimetri (As

Idealnya, puncak kromatogram akan memperlihatkan bentuk Gaussian dengan derajat

simetris yang sempurna (Ornaf dan Dong, 2005). Namun kenyataannya, puncak yang

simetris secara sempurna jarang dijumpai (bentuk Gaussian seperti yang ditunjukkan

pada Gambar 2.6). Jika diperhatikan secara cermat, maka hampir setiap puncak dalam

(46)

kromatografi memperlihatkan tailing (Dolan, 2003). Pada Gambar 2.7, ditunjukkan

tiga jenis bentuk puncak.

Gambar 2.6Bentuk puncak kromatogram (Meyer, 2004).

Pengukuran derajat asimetris puncak dapat dihitung dengan 2 cara, yakni:

faktor ikutan atau tailing factor (Tf) dan faktor asimetris. Faktor ikutan atau tailing

factor (Tf) seperti yang diterangkan dalam Farmakope Amerika Serikat edisi ketiga

puluh (United States Pharmacopoeia 30th Edition (USP XXX)) tahun 2007 dihitung

dengan menggunakan lebar puncak pada ketinggian 5% (W0,05) rumusnya dituliskan

sebagai berikut:

�� =�+�

2 � (15)

Dengan nilai a dan b merupakan setengah lebar puncak pada ketinggian 5% seperti

(47)

Gambar 2.7Pengukuran derajat asimetris puncak (Dolan, 2003).

Sedangkan faktor asimetri (As) dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

�� = � (16)

Akan tetapi, nilai a dan b dalam perhitungan faktor asimetri merupakan

setengah lebar puncak pada ketinggian 10% seperti yang ditunjukkan di Gambar 2.7.

Jika nilai a sama dengan b, maka faktor tailing dan asimetri bernilai 1. Kondisi ini

menunjukkan bentuk puncak yang simetris sempurna (Dolan, 2003). Bila puncak

berbentuk tailing, maka kedua faktor ini akan bernilai lebih besar dari 1 dan

sebaliknya bila puncak berbentuk fronting, maka faktor tailing dan asimetri akan

bernilai lebih kecil dari 1 (Hinshaw, 2004).

2.4.3 Instrumen KCKT

Pada dasarnya peralatan pokok yang harus ada di dalam suatu sistem KCKT adalah

sebagai berikut, wadah fasa gerak, pompa, injektor, kolom, detektor dan rekorder

(48)

Gambar 2.8Instrumen dasar KCKT (McMaster, 2007).

2.4.3.1 Wadah fase gerak

Sesuai dengan namanya, fungsi dari wadah fasa gerak adalah untuk menampung fase

gerak yang akan dialirkan ke dalam kolom dengan bantuan pompa. Wadah fasa gerak

biasanya terbuat dari gelas dengan volume yang bervariasi bergantung dari jumlah/

volume fasa gerak yang dibutuhkan.

2.4.3.2 Pompa

Pompa di dalam sistem KCKT berfungsi untuk mendorong fase gerak masuk

kedalam kolom. Tekanan pompa yang diperlukan harus cukup tinggi karena kolom

KCKT berisi partikel-partikel yang sangat kecil. Pompa yang cocok digunakan untuk

KCKT adalah pompa yang mempunyai syarat sebagaimana syarat wadah pelarut

yakni harus inert terhadap fase gerak. Bahan yang umum dipakai untuk pompa adalah

gelas, baja tahan karat, teflon, dan batu nilam. Pompa yang dgunakan sebaiknya

mampu memberikan tekanan sampai 5000 psi dan mampu mengalirkan fase gerak

dengan kecepatan alir 3 mL/menit (Rohman, 2009).

2.4.3.3Injektor

Ada 3 jenis injektor, yaitu syringe injector, loop valve dan automatic injector

(49)

(Dong, 2005).Katup putaran (loop valve) umumnya digunakan untuk menginjeksi

volume lebih besar daripada 10 μl dan sekarang digunakan dengan cara otomatis. Bila

katup difungsikan, maka cuplikan di dalam putaran akan bergerak ke dalam kolom

(Dong, 2005). Sedangkan automatic injector atau disebut juga autosampler memiliki

prinsip yang mirip, hanya saja sistem penyuntikannya bekerja secara otomatis

(Meyer, 2004).

2.4.3.4Kolom

Kolom merupakan jantung atau bagian yang terpenting dari suatu instrumen KCKT

karena didalam kolom terjadi pemisahaan komponen-komponen cuplikan. Oleh

karena itu, berhasil atau tidaknya suatu analisis atau pemisahaan

komponen-komponen sangat tergantung pada kolom yang digunakan. Pemisahan dapat terjadi

karena fase diam yang terdapat di dalam kolom dapat mengadakan interaksi dengan

berbagai kompoen dengan kekuatan yang berbeda satu sama lain, sehingga

masing-masing komponen akan keluar dari kolom dengan waktu retensi (tR

Kolom umumnya terbuat dari baja anti karat dengan tingkat 316 (316 grade

stainless steel) dan dikemas dengan fase diam tertentu. Ukuran panjang kolom untuk

tujuan analitik berkisar antara 10 cm hingga 25 cm dan diameter dalam berkisar 3

mm hingga 9 mm (Brown dan DeAntonis, 1997). Sedangkan untuk tujuan preparatif

panjang berkisar antara 30 cm atau lebih dan diameter dalam berkisar 10 mm hingga

25,4 mm (Meyer, 2004).

) yang juga

berbeda.

2.4.3.5 Detektor

Karakteristik detektor yang baik adalah sensitif, batas deteksi rendah, respon yang

linier, mampu mendeteksi solut secara universal, tidak destruktif, mudah

dioperasikan, memiliki volume pendeteksian (dead volume) yang kecil dan tidak

(50)

Sewell, 1977). Beberapa detektor yang paling sering digunakan dalam KCKT adalah

detektor spektrofotometri ultraviolet/visible, photodiode-array (PDA), fluoresensi,

spektrometri massa, indeks bias dan elektrokimia (Rohman dan Gandjar, 2007).

2.4.3.6 Perekam atau rekorder

Alat pengumpul data seperti komputer, integrator dan rekorder dihubungkan ke

detektor. Alat ini akan menangkap sinyal elektronik dari detektordan memplotkannya

kedalam kromatogram sehingga dapat dievaluasi oleh analis (Brown dan DeAntonis,

1997).

2.5 Validasi Metode

Validasi metode analisis ialah suatu tindakan penilaian terhadap parameter tertentu,

berdasarkan percobaan laboratorium, untuk membuktikan bahwa parameter tersebut

memenuhi persyaratan untuk digunakannya. Tujuan utama validasi adalah untuk

menjamin bahwa metode analisis yang digunakan mampu memberikan hasik yang

cermat dan handal sehingga dapat dipercaya (Harnita, 2004).

Beberapa parameter analisis yang harus dipertimbangkan dalam validasi

metode analisis diuraikan dan didefinisikan sesuai dengan cara penentuannya.

Parameter yang digunakan ialah batas deteksi dan kuantitasi, presisi, akurasi, dan

linearitas. Selain itu digunakan pula parameter keterulangan (repeatability) dan

ketangguhan (rudgedness).

2.5.1 Linieritas

Linieritas menggambarkan hubungan antara respon detektor dengan konsentrasi

analit yang diketahui. Linieritas dapat diperoleh dengan mengukur beberapa

konsentrasi standar yang berbeda antara 50-150% dari kadar analit dalam sampel

kemudian data diproses menggunakan regresi linier sehingga diperoleh slope,

(51)

2.5.2Akurasi (kecermatan)

Akurasi merupakan ukuran yang menunjukkan kedekatan nilai hasil analisis dengan

kadar analit yang sebenarnya. Akurasi dinyatakan sebagai persen perolehan kembali

(recovery) analit yang ditambahkan (Harnita, 2004).Akurasi dapat ditentukan dengan

2 (dua) metode yaitu:

1. Metode simulasi (Spike-placebo recovery) analit murni ditambahkan kedalam

campuran/ sampel, kemudian campuran/ sampel ini dianalisis dan jumlah

analit hasil analisis dibandingkan dengan jumlah analit teoritis yang

diharapkan

2. Metode penambahan standar (Sandard Addition Method) adalah perlakuan

pemasukan langsung analit yang telah diketahui konsentrasinya kedalam

sediaan campuran/ sampel farmasi otentik ( Ermer, 2005; Harmita, 2004 )

2.5.3 Presisi (keseksamaan)

Presisi ialah ukuran yang menunjukkan derajat kesesuaian antarhasil uji individual,

diukur melalui penyebaran hasil individual dari rata-rata jika prosedur diterapkan

secara berulang pada sampel-sampel yang diambil dari campuran yang homogen.

Menurut CDER (1994), presisi dibagi menjadi tiga, yaitu keterulangan

(repeatability), ketertiruan (reproducibility), dan presisi antara (intermediate

precision). Keterulangan ialah presisi metode jika dilakukan berulang kali oleh analis

yang sama pada kondisi sama dan dalam interval waktu yang pendek. Ketertiruan

ialah presisi metode jika dilakukan berulang kali oleh analis yang berbeda pada

kondisi berbeda. Presisi antara merupakan ukuran ketertiruan pada kondisi operasi

normal antara laboratorium dan antaranalis.

2.5.4 Batas deteksi dan batas kuantitasi (LOD dan LOQ)

Batas deteksi adalah konsentrasi analit terendah yang terdapat dalam sampel yang

masih mampu dideteksi. Sedangkan batas kuantitasi adalah konsentrasi analit

Gambar

Tabel 2.1.Standar mutu minyak goreng Kriteria uji
Gambar 2.1Struktur TBHQ
Gambar 2.2  Ilustrasi proses pemisahan yang terjadi didalam kolom kromatografi cair kinerja tinggi (Mayer, 2004)
Gambar 2.3 Kromatogram puncak tunggal hasil analisis KCKT (Ornaf dan Dong, 2005).
+7

Referensi

Dokumen terkait

KCKT merupakan metode yang dapat digunakan baik untuk analisis kualitatif maupun kuantitatif.Penggunaan kromatografi cair secara sukses terhadap suatu masalah yang

Instrumen KCKT yang digunakan terdiri dari detektor UV pada λ 254 nm dan sistem elusi isokratik dengan jenis kolom, fase gerak, laju alir, dan suhu oven yang diubah hingga

Penetapan kadar triklosan yang di lakukan secara kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) memperoleh hasil bahwa triklosan yang terdapat dalam pasta gigi ini memenuhi

Rumus yang dipakai untuk penetapan kadar Betametason Valerat pada sediaan Betametason Krim 0,1% secara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) berdasarkan prosedur tetap yang

Penetapan kadar triklosan yang di lakukan secara kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) memperoleh hasil bahwa triklosan yang terdapat dalam pasta gigi ini memenuhi

Pengujian ini bertujuan untuk menetapkan kadar Pirazinamid dalam sediaan tablet menggunakan kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) dengan kolom Eclipse Plus C 18 (4,6 mm x

karya ilmiah penulis berjudul Penetapan kadar Aspartam Pada Alangsari Secara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT).. Selama proses penulisan tugas akhir, penulis

Dari hasil pengujian yang telah dilakukan, dapat dinyatakan bahwa penetapan kadar Rifampisin dalam sediaan tabletdengan metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)