Tesis
Program Pendidikan Magister Bedah
Departemen Ilmu Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utar
a
ANALISIS KADAR GLIAL FIBRILLARY ACIDIC
PROTEIN DENGAN TINGKAT KEPARAHAN CEDERA
KEPALA
DI RSUP. H. ADAM MALIK
OLEH :
R. DISFAHAN YONANDA SINULINGGA NIM. 097116004
DEPARTEMEN ILMU BEDAH SARAF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah memberikan rahmat dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Penulis sangat menyadari bahwa tanpa bantuan dari semua pihak, tesis ini tidak mungkin dapat penulis selesaikan. Oleh karena itu perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih serta penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Rasa hormat, penghargaan dan ucapan terima kasih sebesar - besarnya penulis sampaikan kepada:
1. Prof. Dr. dr. Iskandar Japardi, SpBS (K) selaku Ketua Departemen Ilmu Bedah Saraf FK USU yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk mengikuti pendidikan serta senantiasa membimbing, memberi dorongan dan kemudahan selama penulis menjalani pendidikan.
2. Prof. dr. Abdul Gofar Sastrodiningrat, SpBS (K) selaku Ketua Program Studi Ilmu Bedah Saraf FK USU yang telah dengan sungguh - sungguh membantu, membimbing, dan memberi dorongan kepada penulis,
3. Pembimbing penulisan tesis ini, Prof. Dr. dr. Iskandar Japardi, SpBS (K) dan Prof. dr. Abdul Gofar Sastrodiningrat, SpBS (K) yang telah memberikan bimbingan, bantuan serta saran - saran yang sangat berharga dalam pelaksanaan penelitian dan penyelesaian tesis ini
5. Jajaran direksi RSUP H. Adam Malik yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk melakukan penelitian
6. Dr. dr. Arlinda Sari Wahyuni, M. Kes sebagai pembimbing statistik dalam penulisan tesis ini
7. Seluruh staf Laboratorium Patologi Klinik RSUP HAM yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian ini
8. Rekan-rekan PPDS Departemen Ilmu Bedah Saraf FK USU
9. Rekan-rekan PPDS Departemen Anestesi dan Terapi Intensif FK USU
10. Perawat di ruang rawat inap RA-4 Bedah Saraf dan Unit Perawatan Intensif RSUP HAM
11. Serta seluruh pihak yang tidak mungkin saya sebutkan satu per satu.
Rasa terima kasih yang tiada terhingga saya haturkan kepada istriku tercinta, dr. Nita Andrini serta anakku Dianindya Hasanah Sinulingga yang telah memberi semangat dalam pelaksanaan studi ini, Kepada orang tua saya, Alm. Ir. R.N. Sinulingga dan Ir. Rosaini Lubis saya haturkan terima kasih sebesar-besarnya atas doa, pengorbanan, nasihat, dan dukungan kepada saya selama ini. Kepada kakak-kakak saya, terima kasih atas dukungannya selama ini.
Semoga tulisan ini berguna untuk kita semua.
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ... i
DAFTAR TABEL ... iii
DAFTAR GAMBAR ... iv
DAFTAR SINGKATAN ... v
BAB I PENDAHULUAN ... 1
2. Peranan Astrogliosis Reaktif setelah Cedera SSP ... 12
a. Perlindungan Neuron ... 12
b. Astrositosis Reaktif dan Sawar Darah Otak ... 13
c. Astrgliosis Reaktif Menghambat Regenerasi Akson ... 14
d. Astrositosis Reaktif Potensial untuk Toksisitas Saraf ... 14
B. Glial Fibrillary Acidic Protein (GFAP) ... 15
1. Fisiologi GFAP ... 15
2. Patofisiologi GFAP ... 15
C. Peran GFAP pada Cedera Kepala ... 18
1. Prognostik Cedera Kepala ... 18
2. GFAP sebagai Alat Diagnostik Cedera Kepala………..22
BAB III : KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN ………...24
A. Kerangka Teori ... 24
B. Kerangka Konsep ... 24
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Fungsi astrosit 11
Tabel 2 Penelitian sebelumnya mengenai GFAP pada 18
trauma kepala
Tabel 3 Penelitian GFAP 20
Tabel 4 Indikasi operasi pada perdarahan intrakranial 34
Tabel 5 Perhitungan konsentrasi sampel 36
Tabel 6 Glasgow coma scale 40
Tabel 7 Skor Marshall 41
Tabel 8 Skor Rotterdam 42
Tabel 9 Interpretasi Barthell indeks 44
Taberl 10 Data subjek penelitian 46
Tabel 11 Karakteristik radiologis subjek penelitian 48
Tabel 12 Perbedaan kadar GFAP kelompok cedera kepala 48
sedang dan berat
Tabel 13 Korelasi kadar GFAP dengan tingkat keparahan 49
cedera kepala
Tabel 14 Gambaran kadar GFAP pada kelompok subjek 51
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Jaras utama yang terjadi saat cedera sekunder 10 setelah cedera kepala
Gambar 2 Kurva standar GFAP 45
Gambar 3 Korelasi kadar GFAP dengan GCS setelah 50 resusitasi
DAFTAR SINGKATAN
AMPA Amino Methyl Phosponic Acid APTT Activated Partial Prothrombin Time ASEAN Association of South East Asian Nations ATLS Advance Traumatic Life Support
BDNF Brain Derived Neurotropic Factor BMR Basal Metabolic Rate
BTF Brain Traumatic Foundation CKB Cedera Kepala Berat
CKS Cedera Kepala Sedang CPP Cerebral Perfusion Pressure CSF Cerebro Spinal Fluid
CT Computed Tomography
EIA Enzyme Immuno Assay
ELISA Enzyme Linked Immune-sorbent Assay GCS Glasgow Coma Scale
GDNF Glial-cell Derived Neurotropic Factor GFAP Glial Fibrillary Acidic Protein
GOS Glasgow Outcome Scale
Hb Hemoglobin
Ht Haematocryte
HIV Human Immunodeficiency Virus ICU Intensive Care Unit
IGD Instalasi Gawat Darurat
INR International Normalized Ratio LMWH Low Molecular Weight Heparin MAP Mean Arterial Pressure
NSE Neuron Specific Enolase
NSAID Non Steroid Anti Inflammatory Drug PPI Proton Pump Inhibitor
PPV Positive Predictive Value
PT Prothrombin Time
ROC Range Over Curve rpm rotation per minute
SGOT Serum Glutamic – Oxaloacetic Transaminase SGPT Serum Glutamic- Pyruvic Transaminase SSP Susunan Saraf Pusat
TIK Tekanan Intra Kranial TNF-a Tissue Necrotizing Factor –a
ANALISIS KADAR GLIAL FIBRILLARY ACIDIC
PROTEIN DENGAN TINGKAT KEPARAHAN CEDERA
KEPALA DI RSUP H ADAM MALIK
R. Disfahan Yonanda Sinulingga, Iskandar Japardi, Abdul Gofar Sastrodiningrat
Departemen Ilmu Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Abstract
Tujuan: Studi ini
Metode: Penelitian ini merupakan studi analitik yang menggunakan metode cross sectional. Penelitian ini berlangsung dari Juni 2013 sampai Maret 2014 di Rumah Sakit Umum Adam Malik. Pasien cedera kepala berat dan sedang dilibatkan dalam penelitian ini jika onset kurang dari 48 jam. Pasien yang dipilih dievaluasi berdasarkan pada temuan CT scan kepala. Pasien diambil dengan cara concecutive sampling, kemudian dilakukan pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan GFAP dan dilakukan pemeriksaan GFAP serum kumulatif.
untuk mengetahui hubungan kadar GFAP serum dengan tingkat keparahan penderita cedera kepala.
Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar GFAP berhubungan signifikan dengan GCS setelah resusitasi (r=-0,631, p=0,0001). Korelasi yang terjadi merupakan korelasi negatif(r=-0,631, p=0,0001). Jika GCS setelah resusitasi semakin tinggi, kadar GFAP serum akan semakin rendah.
Kesimpulan: Kadar GFAP penderita cedera kepala berat (11,9±10,52) lebih tinggi secara signifikan dibandingkan penderita cedera kepala sedang (1,82±1,60, p=0,0001). Terdapat korelasi yang signifikan antara kadar GFAP serum dengan GCS awal setelah resusitasi (r=-0,631; p=0,0001).
GLIAL FIBRILLARY ACIDIC PROTEIN CONTENT
ANALYSIS IN HEAD INJURY SEVERITY IN RSUP H
ADAM MALIK
R. Disfahan Yonanda Sinulingga, Iskandar Japardi, Abdul Gofar Sastrodiningrat
Department ofNeurosurgery, Facultyof MedicineUniversity ofNorth Sumatra
Abstract
Objective: This study was to determine the relationship of serum GFAP levels with severity of head injury patients.
Methods: This study is an analytical study using cross-sectional methods. The study lasted from June 2013 until March 2014 in Adam Malik General Hospital. And severe head injury patients were included in the study if the onset is less than 48 hours. Selected patients were evaluated based on the findings of the CT scan of the head. The patient was taken to the sampling concecutive way, then blood samples were taken for examination and inspection GFAP serum GFAP cumulative.
Results: The results showed that GFAP levels associated significantly with GCS after resuscitation (r = 0.631, p = 0.0001). The correlation is a negative correlation (r = -0.631, p = 0.0001). If the higher GCS after resuscitation, serum GFAP levels will be even lower.
Conclusions: Levels of GFAP severe head injury patients (11.9 ± 10.52) was significantly higher compared to patients with moderate head injury (1.82 ± 1.60, p = 0.0001). There is a significant correlation between serum GFAP levels with initial GCS after resuscitation (r = -0.631, p = 0.0001).
ANALISIS KADAR GLIAL FIBRILLARY ACIDIC
PROTEIN DENGAN TINGKAT KEPARAHAN CEDERA
KEPALA DI RSUP H ADAM MALIK
R. Disfahan Yonanda Sinulingga, Iskandar Japardi, Abdul Gofar Sastrodiningrat
Departemen Ilmu Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Abstract
Tujuan: Studi ini
Metode: Penelitian ini merupakan studi analitik yang menggunakan metode cross sectional. Penelitian ini berlangsung dari Juni 2013 sampai Maret 2014 di Rumah Sakit Umum Adam Malik. Pasien cedera kepala berat dan sedang dilibatkan dalam penelitian ini jika onset kurang dari 48 jam. Pasien yang dipilih dievaluasi berdasarkan pada temuan CT scan kepala. Pasien diambil dengan cara concecutive sampling, kemudian dilakukan pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan GFAP dan dilakukan pemeriksaan GFAP serum kumulatif.
untuk mengetahui hubungan kadar GFAP serum dengan tingkat keparahan penderita cedera kepala.
Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar GFAP berhubungan signifikan dengan GCS setelah resusitasi (r=-0,631, p=0,0001). Korelasi yang terjadi merupakan korelasi negatif(r=-0,631, p=0,0001). Jika GCS setelah resusitasi semakin tinggi, kadar GFAP serum akan semakin rendah.
Kesimpulan: Kadar GFAP penderita cedera kepala berat (11,9±10,52) lebih tinggi secara signifikan dibandingkan penderita cedera kepala sedang (1,82±1,60, p=0,0001). Terdapat korelasi yang signifikan antara kadar GFAP serum dengan GCS awal setelah resusitasi (r=-0,631; p=0,0001).
GLIAL FIBRILLARY ACIDIC PROTEIN CONTENT
ANALYSIS IN HEAD INJURY SEVERITY IN RSUP H
ADAM MALIK
R. Disfahan Yonanda Sinulingga, Iskandar Japardi, Abdul Gofar Sastrodiningrat
Department ofNeurosurgery, Facultyof MedicineUniversity ofNorth Sumatra
Abstract
Objective: This study was to determine the relationship of serum GFAP levels with severity of head injury patients.
Methods: This study is an analytical study using cross-sectional methods. The study lasted from June 2013 until March 2014 in Adam Malik General Hospital. And severe head injury patients were included in the study if the onset is less than 48 hours. Selected patients were evaluated based on the findings of the CT scan of the head. The patient was taken to the sampling concecutive way, then blood samples were taken for examination and inspection GFAP serum GFAP cumulative.
Results: The results showed that GFAP levels associated significantly with GCS after resuscitation (r = 0.631, p = 0.0001). The correlation is a negative correlation (r = -0.631, p = 0.0001). If the higher GCS after resuscitation, serum GFAP levels will be even lower.
Conclusions: Levels of GFAP severe head injury patients (11.9 ± 10.52) was significantly higher compared to patients with moderate head injury (1.82 ± 1.60, p = 0.0001). There is a significant correlation between serum GFAP levels with initial GCS after resuscitation (r = -0.631, p = 0.0001).
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Cedera kepala traumatik merupakan masalah utama kesehatan dan sosial
ekonomi di seluruh dunia (Ghajar, 2000; Cole, 2004). Secara global cedera kepala
traumatik merupakan penyebab utama kematian dan kecacatan pada anak-anak dan
dewasa muda. Di Amerika Serikat diperkirakan lebih dari 1,9 juta orang mengalami
cedera kepala traumatik dimana 50.000 orang diantaranya meninggal akibat cedera
yang dialaminya. Walaupun cedera kepala traumatik kebanyakan tergolong sebagai
cedera kepala ringan, lebih dari 2% dari populasi di Amerika Serikat diperkirakan
mengalami kecacatan akibat cedera kepala traumatik.
Pada negara maju dan berkembang, trauma merupakan penyebab utama
kematian pada populasi dibawah usia 45 tahun. Mengingat kebanyakan korban
berusia muda maka lebih banyak waktu produktif yang hilang yang diakibatkan oleh
trauma daripada penyakit jantung dan kardiovaskuler ataupun dari penyakit kanker
(Rockett et al., 1987). Walaupun kebanyakan kematian akibat trauma sebelum masuk
rumah sakit adalah akibat cedera dada dan multipel, cedera kepala merupakan
penyebab mayoritas kematian akibat trauma setelah masuk rumah sakit.
(Demetriades et al., 2004).
Di negara-negara dengan pendapatan rendah dan menengah, trauma
merupakan penyebab penting dalam hal kematian dan kecacatan. Diperkirakan beban
tahun. (Asian Development Bank, 2003). Pada negara-negara ini peralihan yang besar
dari populasi pedesaan ke perkotaan dan peningkatan yang cepat dalam penggunaan
kendaraan bermotor melampaui upaya dari pencegahan cedera dan terbentuknya
pusat-pusat trauma (Murray et al., 1997; Sethi et al., 1999).
Di Indonesia sendiri masih belum tersedia data secara nasional tentang cedera
kepala, walaupun demikian cedera kepala merupakan kasus yang sering dijumpai di
rumah sakit. Dari data pada tahun 2005, di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
Jakarta terdapat 434 pasien dengan cedera kepala ringan, 315 pasien dengan cedera
kepala sedang dan 28 pasien dengan cedera kepala berat, sedangkan di RS Swasta
Siloam Gleaneagles terdapat 347 pasien cedera kepala secara keseluruhan (Konsensus
nasional penanganan trauma kapitis dan trauma spinal, 2006; Wahjoepramono, 2005).
Di Rumah Sakit Atma Jaya (RSAJ), pada tahun 2007, jumlah pasien trauma kepala
mencapai 125 orang dari 256 orang pasien rawat inap bagian saraf (Irawan et al.,
2010).
Cedera kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan tingkat keparahannya yaitu
sebagai cedera kepala ringan, sedang, dan berat. Masing-masing cedera kepala
tersebut memiliki tantangan medis yang unik. Kasus-kasus cedera kepala ringan
seringkali tidak terdiagnosis karena tidak terdeteksi pada imejing otak (Powell et al.,
2008). Cedera kepala sedang dan berat lebih jarang terjadi dan relatif lebih mudah
untuk dideteksi, tetapi prognosis komplikasi sekunder jangka pendek ataupun
progresifitas jangka panjang masih menjadi tantangan. Deteksi dini dan penanganan
dari cedera kepala dapat memperbaiki hasil akhir (Powell et al., 2008; Ponsford et al.,
2001) dan membantu menurunkan defisit kognitif jangka panjang serta terjadinya
Modalitas diagnosis cedera kepala yang banyak digunakan saat ini adalah
pemeriksaan klinis dan radiologis (Zink, 2001). Interpretasi pemeriksaan fisik dapat
terganggu pada beberapa keadaan seperti intoksikasi alkohol, terapi yang diberikan,
atau tidak terdeteksi dengan baik pada kasus cedera multipel. Antikonvulsan dan
obat-obatan sedatif merupakan obat yang sering digunakan pada penderita cedera kepala
yang dapat mengganggu interpretasi pemeriksaan klinis (Mirski et al, 1995). Banyak
penderita cedera kepala ringan dengan GSS 14-15 juga mengalami intoksikasi alkohol
dan obat-obatan. Ini tentunya juga akan memengaruhi interpretasi pemeriksaan klinis
(Kelly, 1995)
Computed Tomography (CT scan) merupakan modalitas radiologi yang paling
banyak digunakan, tetapi sangat terbatas dalam mendeteksi cedera difus.Walaupun
cedera kepala ringan dapat menyebabkan disabilitas jangka panjang, trauma ringan
sering tidak terdeteksi oleh Ct scan, bahkan oleh MRI. Pada pasien yang dirawat di
ICU, follow up dengan radiologi akan sulit dilakukan. MRI dan CT scan juga
memiliiki kemampuan terbatas dalam memprediksi hasil akhir (Hanlon et al., 1999).
Ada banyak kriteria yang digunakan untuk menilai keparahan CT scan, sistem
yang paling banyak dilaporkan adalah skor Marshall yang sudah terbukti mampu
memprediksi mortalitas, tetapi tidak dapat memprediksi perbaikan fungsi (Wardlaw,
2002). Sistem ini memiliki beberapa kelemahan mendasar, antara lain variasi
inter-observer yang besar. Selain itu sistem ini juga tidak dapat menjelaskan gambaran
scan normal pada GCS rendah. Peneliti lain juga melaporkan bahwa penambahan
beberapa faktor yang spesifik seperti perdarahan intraventrikular atau perdarahan
subarahnoid akan memperbaiki akurasi skor Marshall sebagai faktor prognosis.
awal menunjukkan superioritas Rotterdam dibandingkan Marshall, tetapi masih
diperlukan validasi lebih lanjut (Maas, 2005).
Karena itu, diperlukan modalitas diagnosis tingkat keparahan cedera kepala
yang juga dapat memprediksi hasil akhir. Dalam dekade terakhir, biomarker cedera
saraf telah banyak diteliti. Dengan menganalogikan biomarker infark miokard akut,
luas kerusakan jaringan otak seharusnya dapat diperkirakan dengan biomarker (Dash
et al., 2010).
Walaupun demikian sampai saat ini belum ada biomarker yang diterima oleh
U.S.Food and Drug Administration (FDA) untuk diagnosis ataupun prognosis dari
cedera kepala, dan mekanisme molekuler dari respon cedera kapala masih sedikit
dipahami. Kurangnya pemahaman ini mencerminkan kompleksitas dan keadaan yang
multifaktorial dari respon seluler sekunder pada cedera kepala. (Feala et al., 2013)
Biomarker yang banyak mendapat perhatian saat ini adalah Neuron Spesific
Enolase (NSE), Protein S100B (S100B), dan Glial Fibrillary Acidic Protein (GFAP).
Setelah cedera kepala, protein-protein ini akan dilepaskan menuju cairan
serebrospinal dan darah. Meskipun demikian, NSE dan S100B tidak spesifik pada
kelainan SSP. S100B dilaporkan akan meningkat signifikan setelah fraktur femur
bilateral (Pelinka et al., 2003), dan setelah iskemi hepar, lambung dan ginjal (Pelinka
et al., 2004). NSE juga dilaporkan meningkat pada keganasan paru dan pada keadaan
syok (Pelinka et al., 2005).
GFAP merupakan filamen protein intermediet yang terdapat pada sitoskeleton
astroglia dan tidak terdapat diluar SSP. Filamen intermediet berperan membentuk
jaringan yang menyokong sel. Untuk membentuk jaringan, bentuk dimer GFAP akan
bergabung menjadi sebuah tetramer, yang merupakan sub unit dasar suatu
Pada dasarnya, fungsi GFAP masih belum diketahui sepenuhnya. GFAP
berperan pada proses mitosis dengan menyesuaikan jaringan filamen pada sel. Selain
itu, GFAP juga berperan dalam interaksi astrosit neuron dan komunikasi antar sel.
Jika terjadi cedera otak, astroglia akan bereaksi dengan memproduksi GFAP
yang lebih banyak, yang pada akhirnya akan dilepaskan menuju cairan SSP dan darah
(Zurek, 2012; Fedora, 2012). GFAP secara eksklusif dianggap diproduksi oleh
astrosit, sehingga protein ini spesifik dijumpai di otak.
Pengukuran kualitas hidup dapat menggunakan beberapa parameter, antara
lain Glasgow outcome scale dan Barthel index. GOS merupakan suatu skala hasil
akhir penderita cedera kepala yang dibagi secara hirarkis, mulai kematian sampai
perbaikan total. Ini merupakan salah satu sistem penilaian yang paling banyak
digunakan untuk menilai hasil akhir cedera otak akut. (Teasdale, 1998).
Skala Barthel merupakan skala untuk mengukur kemampuan seseorang dalam
melakukan aktifitas sehari-hari, menggambarkan kemampuan seseorang untuk hidup
mandiri setelah pulang dari rumah sakit. Skala ini telah mengalami beberapa kali
perubahan, mulai dari skala 0-10 sampai menjadi 0-100. Skala ini banyak digunakan
pada penderita kerusakan saraf, terutama setelah kejadian stroke (Mahoney, 1965).
B. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan uraian diatas, diajukan pertanyaan penelitian “Apakah kadar
Glial Fibrillary Acidic Protein (GFAP) serum berhubungan dengan tingkat keparahan
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan kadar GFAP serum dengan tingkat keparahan
penderita cedera kepala
2. Tujuan Khusus
• Mengetahui karakteristik penderita cedera kepala di RSUP H. Adam Malik
Medan
• Mengetahui kadar GFAP serum penderita cedera kepala
• Mengetahui hubungan kadar GFAP serum dengan GCS awal setelah
resusitasi (cedera kepala sedang dan berat)
• Mengetahui hubungan kadar GFAP serum penderita cedera kepala dengan
gambaran CT scan menurut skor Marshall
• Mengetahui hubungan kadar GFAP serum penderita cedera kepala dengan
gambaran CT scan menurut skor Rotterdam
• Mengetahui hubungan kadar GFAP serum penderita cedera kepala dengan
lama rawatan
• Mengetahui hubungan kadar GFAP serum penderita cedera kepala dengan
Glasgow Outcome Scale tiga puluh hari pertama
• Mengetahui hubungan kadar GFAP serum penderita cedera kepala dengan
Barthel Index tiga puluh hari pertama
• Mengetahui perbandingan kadar GFAP berdasarkan kejadian mortalitas
D. Manfaat Penelitian
1. Dari peneltian ini, akan didapatkan kadar GFAP serum yang akan memberikan
tambahan pengetahuan mengenai patologi cedera kepala
2. Dengan didapatkannya kadar tertentu, klinisi dapat melakukan tindakan yang
tepat serta terhindar dari terapi yang berlebihan maupun terapi yang tidak optimal
3. Dengan penanganan pasien yang tepat, dari segi ekonomi akan menurunkan biaya
yang dikeluarkan oleh masyarakat khususnya dan menurunkan beban negara pada
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Prinsip Dasar Cedera Kepala
Ada dua asumsi yang berkembang sehubungan cedera kepala, yaitu ada suatu
cedera biologis yang berkembang beberapa waktu setelah cedera awal terjadi
(secondary insult); dan intervensi yang ditujukan langsung pada secondary insult
dapat menyebabkan terjadinya perbedaan yang bermakna. Dalam beberapa dekade
terkahir kita telah lebih banyak memahami faktor-faktor yang memperburuk hasil
akhir setelah cedera kepala, seperti hipotensi dan hipoksia. Sampai saat ini terdapat
sejumlah besar penelitian mengenai intervensi yang bertujuan memperbaiki fisiologis
sistemik dan intrakranial yang mungkin mengurangi secondary insult, antara lain:
pemilihan cairan resusitasi, pengaturan tekanan darah, pengaturan suhu tubuh,
pengaturan tekanan intrakranial, parameter oksigenasi, dan teknik ventilasi. Sebagai
hasil dari semuanya itu, beberapa institusi telah menerbitkan guidline klinis
penanganan cedera kepala (Park, 2008).
Selain penelitian yang disebutkan diatas, terdapat penelitian lain yang
bertujuan mengurangi cedera sekunder yang terjadi akibat proses subseluler (mis:
toksisitas akibat reactive oxygen species, overstimulasi resptor glutamat, influks
kalsium yang berlebihan, dan proses inflamasi yang berlebihan), tapi sampai saat ini
belum dapat menghasilkan terapi obat spesifik. Ini kemungkinan terjadi akibat
1. Mekanisme Biologis Dasar
Walaupun cedera primer sudah dapat mengakibatkan kerusakan otak yang
bermakna, cedera sekunder dapat memperparah cedera primer secara drastis. Cedera
sekunder merupakan reaksi biologis yang multipel, paralel, saling berinteraksi, dan
saling tergantung (gambar 1). Secara umum, kerusakan sel saraf akan terjadi
berkepanjangan akibat kegagalan sel saraf menghasilkan energi, cedera dan disfungsi
glia (pembengkakan astrosit, gangguan ambilan kembali neurotransmiter, dan
astrositosis reaktif), inflamasi (invasi mikroglia ke tempat cedera dan pelepasan
sitokin proinflamasi), destruksi dan stenosis dari pembuluh darah kecil,
eksitotoksisitas dan gangguan homeostasis neuron, dan kerusakan white matter yang
Gambar 1. Jaras utama yang terjadi saat cedera sekunder setelah cedera kepala. Gangguan sirkulasi mikro seperti stenosis (1) dan kerusakan sawar darah otak dapat terjadi akibat pembengkakan astrosit (2). Proliferasi astrosit (astrogliosis, 3) terjadi khas pada cedera SSP. Disfungsi ini menyebabkan kembalinya glutamat yang sulit diambil (4) dan depolarisasi saraf melaluli mekanisme eksitotoksik. Pada cedera white dan gray matter, influks kalsium (5) merupakan kunci dari sejumlah jaras molekuler yang menyebabkan kematian sel. Pada neuron, influks kalsium dan zink melalui channel pada reseptor AMPA dan NMDA menyebabkan eksitotoksisitas (6), pembentukan radikal bebas, disfungsi mitokondria, dan modifikasi reseptor post sinap. Influks kalsium pada akson (7) menyebabkan terjadinya degradasi protein yang menyebabkan diskoneksi akson (8). Sel inflamasi juga dapat menyebabkan cedera sekunder melalui pelepasan sitokin proinflamasi (9) yang berkontribusi pada jaras kematian sel atau modifikasi reseptor post sinap.Sumber: Park (2008).
Astrosit, juga dikenal sebagai astroglia, merupakan sel terbanyak pada SSP.
Astrosit merupakan sel yang mengekspresikan GFAP sebagai filamen intermediet.
Walaupun awalnya astrosit dianggap hanya berfungsi sebagai tambahan pada jaringan
saraf, saat ini diketahui astrosit memiliki peran aktif di otak. Banyak penelitian
menunjukkan bahwa astrosit mengkespresikan ion channel, baik ligand-gated
maupun voltage-gated (Malarkey, 2008), memiliki fungsi membersihkan
neurotransmitter dan ion pada sinaps (Bogen, 2008), serta peranan yang langsung dan
bahwa astrosit berperan mengatur fungsi oligodendrogliosit (Ishibashi, 2006) dan sel
punca saraf (Petros, 2006).
Tabel 1. Fungsi Astrosit (Ransom, 2012)
Hal Fungsi
Homeostasis
Kalium Uptake atau redistribusi kalium
Neurotransmitter Uptake glutamat
Fungsi pernapasan Mendeteksi pH darah dan memodulasi lepasan neuron
Metabolisme
Siklus glutamat glutamin Sintesis dan melepaskan glutamin
Fungsi ammonium Fiksasi ammonium
Metabolisme glikogen Memecahkan glikogen menjadi laktat Detoksifikasi radikal bebas otak Pengikatan radikal bebas
Sinyal
Interaksi neuron-astrosit yang dimediasi transmitter
Melepaskan transmitter
Pengaturan aliran darah Melepaskan produk siklooksigenase yang dimediasi oleh reseptor glutamat
Pengaturan adenosin Menyesuaikan adenosin melalui adenosin kinase untuk mengatur eksitabilitas
Tropik
Sekresi faktor tropik (bFGF, GDNF) Melepaskan faktor tropic
Pengaturan sinaptogenesis Melepaskan faktorsynaptogenesis Pemandu akson Ekspresi molekul yang menarik akson
Pada beberapa kelainan SSP, astrosit akan bereaksi, menyebabkan pengaktifan
astroglia, yang dikenal dengan astrogliosis (Eng, 1994). Astrogliosis ditandai dengan
peningkatan filamen intermediet yang disertai dengan hipertrofi dan peningkatan
merupakan penanda utama astrogliosis. GFAP merupakan filamen intermediet yang
paling utama pada astrosit matur dan memegang peranan penting dalam integritas
sitoskeleton astrosit. Peningkatan jumlah GFAP saat astrogliosis sudah terbukti pada
beberapa penelitian (Guo, 2007). O’Callaghan (1991) menyatakan bahwa GFAP
merupakan penanda astrogliosis yang sensitif dan langsung meningkat setelah cedera.
Kadar vimentin, filamen intermediet astrosit yang lain, sangat beragam, mulai dari
sangat sedikit sampai minimal, bergantung pada subpopulasi astrosit.
Fungsi astrosit yang reaktif belum diketahui sepenuhnya. Dampak astrogliosis sendiri
dilaporkan dapat menguntungkan maupun merugikan. Jika berkepanjangan,
astrogliosis akan membahayakan dengan membatasi regenerasi akson, memperlambat
perbaikan fungsional, serta menyekresikan senyawa neurotoksik dalam jumlah besar
(Araque, 2001).
2. Peranan Astrogliosis Reaktif setelah Cedera SSP
a. Perlindungan Neuron
Pada keadaan normal, astrosit mempertahankan homeostasis pada SSP untuk
menyokong survival dan fungsi pemrosesan informasi neuron. Setelah aktivasi,
astrosit mengeluarkan sejumlah besar molekul yang menguntungkan sel saraf yang
sudah cedera dengan mengatur berbagai proses biologis. Trauma (Malhotra, 1997),
iskemia (Wakasa, 2009), infeksi (Okamoto, 2005), penyakit saraf (Sofroniew, 2009),
dan senyawa kimia (El-Fawal, 2008) telah terbukti dapat memacu terjadinya
astrogliosis. Aktivasi astrosit lokal ini terjadi pada seluruh kejadian kerusakan SSP,
tanpa dipengaruhi regio otak yang terlibat ataupun jenis sel yang rusak. Meskipun
masih didokumentasi dalam waktu dekat ini. Walaupun kegunaan signifikan dari
astrogliosis masih belum jelas diketahui, terdapat pendapat bahwa astrogliosis
berperan dalam perbaikan karena segera terjadi dengan setelah cedera otak
(Norenberg, 2005). Sebagai contoh fungsi tropik dari astrosit, astrosit yang teraktivasi
meningkatkan ekspresi faktor neurotopik, seperti glial-cell-derived neurorhophic
factors (GDNF) dan BDNF. Penelitian pada tikus transgenik GFAP-GDNF
melaporkan bahwa saat terjadi peningkatan GDNF pada astrosit, terjadi peningkatan
jumlah subpopulasi motoneuron tertentu dengan mengurangi kematian sel terprogram
saat perkembangannya (Oppenheim, 2000). Astrosit juga diketahui memegang
peranan penting dalam mengatur glutamat ekstrasel serta membatasi eksitotoksisitas
glutamat terhadap neuron dan sel lainnya (Struzynska, 2009). Karena itu, gangguan
aktivitas astroglia potensial memperparah disfungsi sel saraf. Ablasi astrosit reaktif
setelah cedera SSP pada tikus transgenik meningkatkan kematian neuron dan
memperberat degenerasi jaringan secara signifikan (Myer, 2006).
b. Astrositosis Reaktif dan Sawar Darah Otak
Sawar darah otak merupakan struktur dinamis yang dapat berubah bentuk
akibat beberapa faktor, seperti sitokin, faktor angiogenik, toksisitas glutamat, dan
stres oksidatif (Weiss, 2009). Astrosit memegang peranan penting untuk
mempertahankan sawar darah otak setelah cedera SSP. Ablasi astrosit reaktif setelah
cedera SSP akan mengganggu sawar darah otak. Sawar darah otak sendiri terdiri dari
beberapa struktur yang dikenal sebagai unit neurovaskular, yang terdiri dari sel
endotel dan ujung astrosit yang dipisahkan oleh lamina basal pada permukaannya.
neurotropin yang diduga berperan dalam pembentukan kapiler otak baru (Igarashi,
1999). Pada tingkat molekuler, peningkatan ekspresi protein tight junction terlihat
disertai dengan adanya faktor yang dihasilkan astrosit (Haseloff, 2005).
c. Astrogliosis Reaktif Menghambat Regenerasi Akson
Aktivasi astrosit yang berkepanjangan akan berefek buruk pada pertumbuhan
akson. Astrosit yang mengalami hipertrofi akan menyebabkan penumpukan matriks
ekstrasel pada tempat cedera, terutama terdiri dari kondroitin sulfat proteoglikan
(Cafferty, 2007) Reaksi ini menyebabkan pembentukan struktur padat yang
menghambat regenerasi akson. Jaringan parut yang terbentuk akibat astrogliosis
reaktif terjadi akibat proses ini. Peningkatan regenerasi akson terjadi pada tikus
transgenik yang mengalami defisiensi GFAP dan vimentin (Menet, 2003). Karena itu,
membatasi astrogliosis dapat saja memperbaiki regenerasi akson sesudah cedera saraf.
d. Astrositosis Reaktif Potensial untuk Toksisitas Saraf
Astrosit reaktif dapat menghasilkan sitokin proinflamasi dan sitotoksik yang
berbahaya untuk neuron atau oligodendrosit pada otak yang cedera, yang pada
akhirnya dapat menyebabkan kerusakan lebih lanjut (Oleszak, 1998). Ekspresi nitric
oxide synthase meningkat pada astrosit pada beberapa kelainan neurologis. Nitrit
oksida yang dihasilkan akan merusak sel saraf, oligodendrosit, dan sel jenis lain
(Estevez, 1998). TNF-a juga diekskresikan oleh astrosit reaktif setelah cedera otak.
Jika astrogliosis dihambat dengan obat-obatan secara in vivo, produksi sitokin akan
Astrogliosis dilaporkan berhubungan dengan durasi kerusakan sel saraf pada
otak dan diyakini menjadi komponen dasar dari berbagai keadaan patologis sel saraf,
termasuk epilepsi (Miyazaki, 2003), multipel sclerosis (Lycke, 1998), amyotrophic
lateral sclerosis(Ferri, 2004), infeksi HIV (Sporer, 2005), stroke (Hayazakawa, 1979),
dan iskemia otak (Zhu, 2007). Cedera saraf akibat cedera otak akut juga berhubungan
erat dengan terjadinya astrogliosis.
B. Glial Fibrillary Acidic protein (GFAP) 1. Fisiologi GFAP
GFAP merupakan protein yang terintegrasi pada sitoskeleton astrosit (Petzold
et al., 2004). GFAP secara eksklusif dianggap diproduksi oleh astrosit, sehingga
protein ini spesifik dijumpai di otak (Vissers et al., 2006). Pada astrosit normal, GFAP
diekspresikan sebagai protein monomer non solubel yang terdiri dari 432 asam amino
dengan berat molekul 49,8 kDa-53 kDa. Monomer GFAP dapat bergabung
membentuk polimer yang berperan sebagai unit struktural yang penting pada
sitoskeleton astrosit (Petzold et al., 2004).
2. Patofisiologi GFAP
Saat astrosit mati, polimer GFAP akan hancur membentuk fragmen larut
dengan berat molekul 41 kDa yang akan dilepaskan pada cairan interstisial di
sekitarnya (Petzold et al., 2004). Peningkatan kadar GFAP pada cairan serebrospinal
terjadi pada beberapa kelainan SSP (Wunderlich et al., 2006), termasuk cedera kepala
(Korfias et al., 2009). Kadar GFAP serum penderita trauma multipel tanpa cedera
kepala ditemukan normal (Hergenroeder et al., 2008). Ini menggambarkan spesifitas
GFAP pada otak.
Pada kasus stroke iskemik, GFAP memasuki aliran darah dari cairan
serebrospinal melalui peningkatan perbedaan konsentrasi CSF dan darah. Pada kasus
stroke iskemik berat, sawar darah otak akan rusak perlahan karena jaringan mati.
Sebaliknya, pada stroke hemoragik, terjadi kerusakan sawar darah otak,
sehingga GFAP dalam jumlah besar memasuki sirkulasi (Foerch et al., 2006). Pada
trauma kepala mekanisme masuknya GFAP ke dalam aliran darah dan waktu
terjadinya peningkatan GFAP masih belum diketahui secara pasti.
Seluruh penelitian menggambarkan bahwa kadar GFAP akan memuncak
dalam 1-2 hari setelah cedera kepala berat dan tetap bertahan diatas normal sampai
beberapa hari sesudah trauma (tabel 2). Meskipun demikian, Nylen et al. melaporkan
bahwa pada pasien yang meninggal kadar GFAP akan memuncak dibawah dua belas
jam (Nylen et al., 2010).
Sejumlah penelitian dalam skala kecil telah mencoba menggambarkan peran
GFAP sebagai alat untuk mendiagnosis dan mengetahui prognosis cedera kepala.
Peneltian- penelitian ini dirangkum dalam tabel 3. Seperti yang terlihat pada tabel 2
hanya 6 uji klinis yang meneliti peran GFAP sebagai penentu prognosis. Seluruh
penelitian tersebut memiliki jumlah sampel yang kecil dan terdapat perbedaan
signifikan nilai cut off yang digunakan. Meskipun demikian, seluruh penelitian yang
Tabel 2. Penelitian sebelumnya mengenai GFAP pada trauma kepala
Penelitian Populasi Waktu pengumpulan sampel Honda et al., 2010 18 penderita
cedera kepala, 16
Nylen et al., 2006 59 penderita cedera kepala berat, 14 kontrol
Hari 0-14 Hari pertama
pada
Penelitian yang menilai GFAP sebagai alat diagnostik sampai hari ini hanya
ada satu, dengan jumlah sampel yang sangat sedikit dan desain penelitian case control
C. Peran GFAP pada cedera kepala 1. Prognostik Cedera Kepala
Pada kebanyakan penelitian yang ada, tingkat keparahan cedera dinilai dengan
GCS, Injury Severity Score (ISS), skor Marshall, efek massa dari lesi, tekanan
intrakranial (TIK), tekanan perfusi otak (cerebral perfussion pressure, CPP), dan
mean arterial pressure (MAP). Hasil akhir dinyatakan dalam GOS dan survival. Nilai
cut off GFAP ditentukan berdasarkan penelitian sebelumnya atau menggunakan kurva
ROC.
Pelinka et al. (2004), menunjukkan kadar GFAP berhubungan dengan tingkat
keparahan cedera kepala dan hasil akhirpasien. Dalam penelitian yang melibatkan 101
penderita cedera kepala (rata-rata GCS 6) penulis menemukan bahwa kadar GFAP
akan meningkat pada keadaan klinis berupa : volume massa > 25 cc (p<0,005); TIK >
25 mmHg, CPP < 60 mmHg, MAP <60 mmHg (p<0,0005). Kadar GFAP serum juga
meningkat dengan signifikan pada penderita yang tidak bertahan hidup (p<0,005).
Pada penderita trauma multipel tanpa cedera kepala, kadar GFAP serum tetap normal.
Nylen et al. (2006), menunjukkan hubungan antara peningkatan kadar GFAP
dengan hasil akhirpasien yang jelek pada 59 penderita cedera kepala. Kadar GFAP
meningkat pada 98% penderita cedera kepala dengan nilai sampai sepuluh kali lebih
besar dibandingkan dengan normal. Kadar GFAP memuncak dalam satu hari sesudah
cedera kepala dan kemudian kembali ke normal dalam satu sampai dua minggu.
Penderita dengan hasil akhir yang lebih buruk mengalami peningkatan GFAP yang
signifikan dibandingkan dengan penderita dengan hasil akhiryang lebih baik. Terdapat
lima pasien dengan peningkatan kadar GFAP sampai seratus kali lebih besar yang
Tabel 3. Penelitian GFAP
Studi GFAP sebagai marker diagnosis
Honda et
Studi GFAP sebagai marker prognosis
Lumpkins
Lumpkins et al. (2008), melaporkan bahwa GFAP merupakan suatu prediktor
mortalitas yang kuat pada kasus trauma kepala. Dalam penelitiannya, mereka
3) dan dua belas orang penderita trauma tanpa cedera kepala saat masuk ke IGD dan
dua hari setelah kecelakaan. Peningkatan kadar GFAP pada hari kedua merupakan
prediktor mortalitas yang signifikan, dengan odds ratio 1,45. Dengan menggunakan
nilai cut off sebesar 0,001 μg/L, spesifisitas mencapai 100 % dan sensitifitas sebesar
50-60 %.
Pelinka et al. (2004), membandingkan GFAP dan S100B serum sebagai
prediktor mortalitas pada 92 orang penderita cedera kepala berat. Kadar kedua
biomarker ini meningkat pada penderita yang tidak bertahan hidup, namun terdapat
perbedaan pola peningkatan. Kadar GFAP serum penderita dengan GOS 4-5 lebih
rendah dibandingkan dengan penderita GOS 2-3 (p<0,05), sementara kadar S100B
kedua kelompok tersebut sama. Kedua biomarker tersebut ditemukan lebih rendah
pada pasien dengan GOS 4-5 dibandingkan dengan pasien GOS 1 (p<0,0005).
Perbedaan pola peningkatan kedua biomarker tersebut juga terlihat sehubungan
dengan klasifikasi CT scan menurut Marshall. Kadar GFAP penderita dengan diffuse
injury grade II lebih rendah dibandingkan diffusse injury grade IV (p<0,0005),
sementara kadar S100B penderita dengan diffuse injury grade III lebih rendah
dibandingkan penderita diffuse injury grade IV (p<0,005). Korelasi antara GFAP dan
S100B ditemukan lebih kuat saat 37-108 jam setelah trauma kepala (r=0,75)
dibandingkan 12-36 jam setelah trauma (r=0,58) dan < 12 jam (r=0,42). Muncul
hipotesis bahwa peningkatan GFAP dan S100B menggambarkan kejadian patologis
yang berbeda.
Vos et al. (2004), mengukur kadar GFAP, S100B, dan NSE pada 85 orang
penderita cedera kepala berat dalam 36 jam pertama. Kadar ketiga biomarker tersebut
meningkat pada penderita cedera kepala dibandingkan kontrol orang normal.
kepala dengan hasil akhir buruk (GOS 1-3) dibandingkan penderita dengan hasil akhir
yang baik (GOS 4-5) saat enam bulan setelah trauma. Dengan menggunakan nilai cut
offsebesar 1,5 μg/L, sensitifitas dan spesifisitas GFAP untuk memprediksi mortalitas
mencapai 85% dan 52% dengan possitive predictive value (PPV) sebesar 46 % dan
negative predictive value (NPV) sebesar 88 %. Untuk memprediksi hasil akhir yang
buruk, sensitifitas dan spesifisitas GFAP ditemukan sebesar 80% dan 59% dengan
PPV sebesar 65% dan NPV sebesar 77%. Pada analisis multivariat, GFAP merupakan
prediktor yang paling kuat dalam memprediksi hasil akhir.
Vos et al. (2010), mengukur kadar GFAP dan S100B pada 79 orang penderita
cedera kepala, 22 orang dengan cedera kepala sedang (GCS 9-12) dan 57 orang
penderita cedera kepala berat (GCS 3-8). Kadar kedua biomarker pada penderita yang
meninggal lebih tinggi dibandingkan penderita yang bertahan hidup (p<0,001) dengan
peningkatan GFAP sebesar 33,4 kali lipat dan S100B sebesar 2,1 kali lipat. Analisis
multivariat menunjukkan bahwa prediktor kematian yang baik adalah GFAP, S100B,
volume perdarahan, dan refleks pupil.
Weismann et al. (2010), melakukan pengukuran kadar GFAP dan S100B pada
60 orang penderita cedera kepala (sepuluh orang penderita cedera kepala ringan, 12
orang penderita cedera kepala sedang, dan 38 orang penderita cedera kepala berat
dalam 24 jam setelah trauma. GFAP memiliki korelasi yang terkuat dengan GOS jika
diukur dalam enam jam setelah trauma (r=0,43; p<0,01). Namun, kadar GFAP
menurun dengan cepat. Jika pengambilan sampel dilakukan antara tujuh sampai 24
jam setelah trauma, korelasi dengan GOS akan semakin lemah (r=0,29; p=0,20).
Sebagai kesimpulan, seluruh penelitian yang ada menggambarkan GFAP
dan hasil akhir pasien, termasuk memprediksi mortalitas meskipun penelitian yang
ada terbatas dengan jumlah sampel yang sedikit
2. GFAP Sebagai Alat Diagnostik Cedera Kepala
Seluruh penelitian di atas dilakukan pada penderita yang sudah didiagnosis
dengan cedera kepala. Karena itu menentukan peran GFAP dalam mendiagnosis
cedera kepala sulit dilakukan. Honda et al. (2010), melakukan pengujian terhadap
GFAP, S100B dan NSE dalam peranannya sebagai alat diagnosis pada suatu
penelitian retrospektif dalam skala kecil. Dalam penelitiannya, cedera kepala
ditegakkan berdasarkan CT scan. Terdapat 34 orang penderita trauma, delepan belas
orang didiagnosis dengan cedera kepala dan enam belas orang tanpa cedera kepala.
Serum dikumpulkan saat pasien masuk, pada hari kedua serta hari ketiga. Kadar
ketiga biomarker tersebut meningkat pada penderita cedera kepala saat pengambilan
pada hari kedua (p<0,001 untuk GFAP, p<0,015 untuk S100B, p<0,025 untuk NSE).
Pada hari ketiga, peningkatan signifikan hanya ditemukan pada GFAP dan NSE
(p<0,001 dan p<0,01), tetapi pada hari pertama, hanya GFAP yang mengalami
peningkatan signifikan (p<0,001). Pada hari pertama, sensitifitas ketiga biomarker
mencapai 100%, tetapi spesifisitas ketiganya berbeda. Spesifisitas GFAP mencapai
88,9%, S100B 27,8%, dan spesifisitas NSE sebesar 22,2%. Meskipun demikian
penelitian ini merupakan penelitian retrospektif dengan sampel sedikit, sehingga perlu
BAB III
KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS
PENELITIAN
B. Kerangka Konsep
C. HIPOTESIS 1. Hipotesis Mayor
Kadar GFAP serum berhubungan dengan tingkat keparahan cedera kepala
2. Hipotesis Minor
a. Kadar GFAP serum berhubungan dengan GCS awal setelah resusitasi
b. Kadar GFAP serum berhubungan dengan gambaran CT scan menurut
kriteria Marshall
c. Kadar GFAP serum berhubungan dengan gambaran CT scan menurut
kriteria Rotterdam
d. Kadar GFAP serum berhubungan dengan lama rawatan
e. Kadar GFAP serum berhubungan dengan Glasgow Outcome Scale tiga
puluh hari setelah cedera
f. Kadar GFAP serum berhubungan dengan Barthel Index tiga puluh hari
setelah cedera
g. Terdapat perbedaan kadar GFAP serum berdasarkan kejadian
mortalitas. GFAP Serum
GCS awal setelah resusitasi Lama rawatan
Hasil CT Scan
• Skor Marshal
• Skor Rotterdam
Mortalitas GOS
BAB IV
METODE PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan pendekatan potong
lintang (cross sectional).
B. Waktu dan Tempat Penelitian
Waktu penelitian dimulai dari Juni 2013 sampai Maret 2014. Tempat
penelitian adalah Departemen Ilmu Bedah Saraf RSUP H. Adam Malik Medan
C. Populasi dan Sampel Penelitian 1. Populasi Target
Populasi yang dilakukan generalisasi/inferensialnya yaitu seluruh penderita
cedera kepala sedang dan berat.
2. Populasi Terjangkau
Kumpulan dari satuan/unit yang dilakukan pengambilan sampel penelitian,
yaitu penderita cedera kepala sedang dan berat yang dirawat di RSUP H.
Adam Malik Medan.
3. Sampel Penelitian
Bagian dari populasi terjangkau yang diambil untuk dilakukan pengukuran,
yaitu penderita cedera kepala sedang dan berat yang dirawat di RSUP H.
Adam Malik Medan. Sampel penelitian diambil dengan cara concecutive
D. Kriteria Sampel Penelitian 1. Kriteria Inklusi
a. Seluruh penderita cedera kepala sedang dan berat yang diterapi
konservatif
b. Usia penderita 17-65 tahun
c. Onset kejadian ≤ 48 jam
2. Kriteria Ekslusi
a. Penderita dengan cedera multipel
b. Penderita hamil
c. Penderita dengan riwayat kelainan darah sebelumnya
d. Penderita dengan komorbid yang akan mempengaruhi hasil akhir,
seperti : diabetes melitus, gagal ginjal kronis, dan gagal hati
E. Besar Sampel Penelitian
Besar sampel dihitung berdasarkan rumus korelasi koefisien menggunakan
transformasi z (Lachin, 1981), sebagai berikut:
Zα : 1,64 (α = 5%)
Zβ : 0,84 (β = 20%)
P : korelasi berdasarkan literatur sebelumnya = 0,43 (Weismann et al.,
2010)
F. Alur Penelitian
G. Cara Kerja
1. Identifikasi pasien cedera kepala sedang dan berat dengan onset kejadian ≤ 48
jam.
2. Kemudian terhadap pasien diberikan penanganan sesuai dengan strandar
Advance Trauma Life Support (ATLS), yaitu dengan memastikan patensi
airway, breathing, dan circulation. Setelah itu dilakukan penilaian disability,
yaitu dengan menilai tingkat kesadaran pasien (dalam GCS).
3. Kemudian dilakukan secondary survey yang dilanjutkan dengan pemeriksaan
penunjang yang diperlukan seperti pemeriksaan laboratorium dan radiologi Penderita cedera kepala sedang & berat
Penanganan cedera kepala secara komprehensif
Seleksi pasien berdasarkan kriteria inklusi & eksklusi
Informed concent
Pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan GFAP
Pemeriksaan GFAP serum kumulatif
4. Pemeriksaan laboratorium standar yang dilakukan adalah darah rutin, elektolit
darah (natrium, kalium, klorida), kadar gula darah sewaktu, fungsi hati
(SGOT, SGPT), fungsi ginjal (ureum, kreatinin), Skrining fungsi pembekuan
darah (PT,INR, aPTT, TT), dan analisa gas darah. Pemeriksaan radiologi
standar yang dilakukan adalah X-ray servikal lateral, thoraks antero posterior,
pelvik antero posterior, dan CT scan kepala. Alat CT scan yang digunakan
adalah merk Hitachi seri W 450. Baik pemeriksaan laboratorium maupun
radiologis dapat saja bertambah jika diperlukan.
5. Dilakukan penilaian CT Scan kepala menurut kriteria Marshall dan Rotterdam
oleh peneliti dan di konfirmasi oleh seorang ahli bedah saraf.
6. Pasien dengan cedera multipel disingkirkan melalui pemeriksaan fisik pada
saat melakukan secondary survey dan pemeriksaan penunjang baik
laboratorium maupun radiologi.
7. Serum seluruh pasien yang masuk dalam kriteria inklusi diambil dan
kemudian dikumpulkan untuk pemeriksaan secara kumulatif.
8. Darah pasien yang diambil sebanyak 6 cc dengan memakai jarum 20 G dari
Vena mediana cubiti oleh seorang petugas laboratorium Patologi Klinik RS H.
Adam Malik. Darah pasien dibiarkan membeku selama 10-15 menit kemudian
disentrifugasi selama 15 menit dengan kecepatan 2000 putaran tiap menit
(Eppendorf 5702). Serum yang terbentuk kemudian dimasukkan ke dalam
aliquot. Tabung aliquot kemudian ditandai dengan nama dan kode pasien,
kemudian dikumpulkan dalam lemari beku pada suhu -20 oC untuk diperiksa
secara kumulatif (Sanyo Biomedical Freezer MDF-U730 Upright Laboratory).
Persiapan dan penyimpanan sampel dilakukan di laboratorium klinik RS H.
9. Kemudian dilakukan penanganan terhadap cedera kepala sesuai dengan
protokol di Departemen Ilmu Bedah Saraf FK USU.
a. Cedera Kepala Sedang
1) Pemberian antibiotika intravena golongan sefalosporin generasi ketiga
(Ceftriaxone) sebagai terapi empiris dan kemudian disesuaikan dengan
kultur.
2) Pemberian analgetik Non Steroid Anti Inflammatory Drug (NSAID)
intravena. Pada penelitian ini digunakan ketolorac intravena dengan dosis
30 mg setiap 8 jam.
3) Pemberian antipsikotik bila diperlukan sebagai penenang, seperti
Haloperidol atau Chlorpromazine intravena
4) Pemberian Mannitol 20% secara bolus dengan dosis 0,5-1 gram dalam 10
menit. Sebelumnya dilakukan pemeriksaan osmolaritas serum dengan batas
maksimal 320 mmol/l untuk mencegah gagal ginjal. Osmolaritas dihitung
berdasarkan kadar ureum, elektrolit, dan kadar gula darah sewaktu.
5) Pemberian Gastric Mucosal Protector dan Acid Supressor Agent dengan
H2 Blocker, PPI (proton Pump Inhibitor) dan gastric mucosal protector.
6) Pemberian Phenytoin intravena sebagai profilaksis kejang. Phenytoin
diberikan dengan dosis 100 mg setiap 8 jam intravena.
7) Nutrisi diberikan sesegera mungkin dengan target 120% dari BMR dengan
kebutuhan protein 1,5 gram/kgBB. Diet diberikan dalam bentuk makanan
cair melalui selang nasogastrik, empat sampai lima kali sehari.
8) Head up kepala 30
9) Tindakan operasi dilakukan pada pasien yang memenuhi indikasi operasi
menurut Brain Traumatic Foundation (BTF, 2007). Pasien tersebut juga
mendapat perlakukan medikamentosa yang sama dengan pasien yang
dirawat konservatif
b. Cedera Kepala Berat
1) Tekanan darah dipertahankan pada keadaan sistol > 90 mmHg serta
oksigenasi dipertahankan pada keadaan PaO2 >60 mmHg dan saturasi
oksigen > 98 %.
2) Pemberian Mannitol 20% dengan dosis 0,5-1 gr/kgBB secara bolus dalam
10 menit
3) Dilakukan intubasi; diberikan antibiotik profilaksis sesuai pola kuman di
Unit Perawatan Intensif RSHAM. Antibiotik empiris yang diberikan adalah
Ceftriaxone dengan dosis 1 gram setiap 12 jam. Antibiotik akan diganti jika
hasil kultur sensitivitas mengacu pada antibiotik lain.
4) Pemasangan kateter vena sentral dan pengukuran tekanan vena sentral
dengan target 8-12 cmH2O pada penderita dengan ventilator dan 5-8
cmH20 pada penderita tanpa ventilator
5) Sedasi dilakukan dengan kombinasi fentanyl intravena (0,5-1,5 μg/kg/jam)
dengan propofol (1,5-6 mg /kg/jam).
6) Analgetik yang diberikan adalah fentanyl intravena dengan dosis awal
0,3-3,5 mg dilanjutkan dengan 1-2 μg/kg/jam.
7) Relaksan yang diberikan adalah atracurium dengan dosis 0,5-1 mg/kg/jam
8) Pemberian Phenytoin intravena sebagai profilaksis kejang. Phenytoin
diberikan dengan dosis 100 mg setiap 8 jam intravena.
9) PaCO2 dipertahankan pada 35-40 mmHg
10) Pemberian Low-molecular-weight heparin (LMWH) untuk mencegah
11) Pada penderita yang sudah terintubasi lebih dari tujuh hari, dilakukan
trakeostomi.
12) Nutrisi diberikan sesegera mungkin dengan target 120% dari BMR
dengan kebutuhan protein 1,5 gram/kgBB. Diet diberikan dalam bentuk
makanan cair melalui selang nasogastrik, empat sampai lima kali sehari.
13) Head up kepala 30
14) Tindakan operasi dilakukan pada pasien yang memenuhi indikasi operasi
menurut Brain Traumatic Foundation (BTF, 2007). Pasien tersebut juga
mendapat perlakukan medikamentosa yang sama dengan pasien yang
dirawat konservatif
0
10. Ada tidaknya indikasi operasi dinilai dengan guidelineBTF (2007) :
Tabel 4. Indikasi Operasi pada Perdarahan Intrakranial (Gteenberg, 2012)
Jenis Perdarahan Indikasi Operasi
Perdarahan Epidural • Volume >30 cc
• GCS < 9 dengan pupil anisokor
Perdarahan Subdural • Ketebalan perdarahan >10 mm • Pergeseran garis tengah > 5 mm • Penurunan GCS > 2 point • ICP > 20 mmHg
Perdarahan Intraserebral
• Volume > 50 cc.
• GCS 6-8 dengan volume > 20cc dengan pergeseran garis tengah dan atau penekanan sisterna basal
11.Setelah jumlah sampel terpenuhi, dilakukan pengukuran kadar GFAP secara
Malik Medan. GFAP serum diukur secara kuantitatif dengan metode Enzyme
Linked Immune-Sorbent Assay (ELISA)
12.Hasil akhir yang dinilai antara lain mortalitas, lama rawatan, dan Glasgow
outcome scale (GOS) serta Barthel index satu bulan setelah cedera. Penilaian
dilakukan dengan teknik wawancara melalui telefon atau saat subjek
penelitian datang ke poliklinik.
H. Batasan Operasional 1. Kadar GFAP serum
a. Definisi : kadar GFAP serum pasien cedera kepala yang diambil dalam
48 jam pertama setelah onset cedera
b. Alat ukur : pemeriksaan kuantitatif dengan metode Enzyme Linked
Immune-Sorbent Assay (ELISA) menggunakan Chemwell 2910 (Awareness
Technology, Inc). Reagensia yang digunakan untuk pemeriksaan adalah
Human GFAP Enzyme Immunoassay Kit produksi SPI-Bio (Prancis)
dengan nomor katalog 10007621, Lot: 0455415-1, kadaluarsa pada 31 Juni
2014. Minimum detectable dose untuk GFAP pada reagnesia ini adalah
kurang dari 0,045 ng/mL dengan coefficient of variation (CV) intra-assay
6,4% dan inter-assay 6,1%.
c. Cara ukur :
Persiapan Sampel
Serum atau plasma diencerkan menggunakan buffer EIA dengan
Persiapan reagnesia
Larutan GFAP standar dicampurkan dengan X µL buffer standar,
sesuai tabel di bawah. Keduanya dibiarkan larut selama setidaknya 15
menit dengan mengaduknya lembut pada suhu kamar. Konsentrasi yang
terbentuk adalah seperti tabel 5. Larutan GFAP Standar
Tabel 5. Perhitungan konsentrasi sampel
Volume
Diluen standar yang terbentuk ditambahkan buffer standar dengan
konsentrasi 1:3 sebelum digunakan (mis. 100 µL sampel dengan 200 µL
Larutan quality control sebesar X µL dicampurkan dengan aquabides.
Volume X tertera pada vial larutan quality control yang ada. Larutan yang
terbentuk kemudian juga diencerkan dengan buffer EIA dengan konsentrasi
1:3 (100 µL quality control dengan 200 µL buffer EIA). Quality Control
Wash buffer sebanyak 100 mL diencerkan sampai 1000 mL
menggunakan aquabides. Wash buffer
Prosedur Pemeriksaan
Seluruh sampel dan reagnesia diperiksa dalam suhu ruangan. Larutan
standar GFAP, larutan standar, larutan quality control, dan sampel
masing-masing dimasukkan ke dalam sumur piringan sebesar 100 µL. Mengambil Reagensia
Inkubasi Piringan
- Piring pemeriksaan kemudian ditutup dengan lapisan penutup dan
diinkubasi dalam suhu ruangan selama dua jam, diaduk dengan
kecepatan 300 rpm.
- Setiap sumur kemudian dibilas tiga kali dengan wash buffer (350
µL/sumur). Piringan kemudian sedikit diaduk selama lima menit dan
dikeringkan dengan membalik piringan pada kertas penyerap.
- Kemudian dilakukan penambahan antibodi anti GFAP dengan label
- Piringan ditutup dengan lapisan penutup dan diinkubasi pada suhu
ruangan selama satu jam, diaduk pada kecepatan 300 rpm.
- Setiap sumur kemudian dibilas tiga kali dengan wash buffer (350
µL/sumur). Piringan kemudian sedikit diaduk selama lima menit dan
dikeringkan dengan membalik piringan pada kertas penyerap.
- Kemudian ditambahkan 100 µL streptavidin-HRP tracer ke setiap
sumur
- Piringan ditutup dengan lapisan penutup dan diinkubasi pada suhu
ruangan selama satu jam, diaduk dengan kecepatan 300 rpm
- Setiap sumur kemudian dibilas tiga kali dengan wash buffer (350
µL/sumur). Piringan kemudian sedikit diaduk selama lima menit dan
dikeringkan dengan membalik piringan pada kertas penyerap.
Pembacaan Hasil
- 100 µL larutan substrat dimasukkan ke dalam 96 sumur dan
diinkubasikan pada kamar gelap dengan suhu ruangan selama 10-15
menit. Paparan langsung terhadap cahaya matahari harus dihindari.
Piringan ditutup dengan aluminium foil
- Kemudian dilakukan penambahan 100 µL stop solution ke dalam
setiap sumur
- Piring dibaca pada panjang gelombang 450 nm lima menit setelah
penambahan stop solution.
2. GCS awal setelah resusitasi
a. Definisi : merupakan tingkat kesadaran penderita cedera kepala setelah
dilakukannya resusitasi (stabilisasi patensi airway, breathing dan
circulation) yang dinillai berdasarkan Glasgow Coma Scale (Teasdale et
al., 1974).
b. Alat ukur : Glasgow Coma Scale (GCS)
c. Cara ukur : Penilaian dengan GCS memiliki tiga komponen, yaitu respon
buka mata, respon mortorik, dan respon verbal. GCS merupakan
penjumlahan dari ketiga komponen tersebut (tabel 6).
Tabel 6. Glasgow Coma Scale (Teasdale, 1972)
A Respon buka mata Nilai
Spontan 4
Atas perintah / suara 3
Rangsangan nyeri 2
Tidak ada 1
B Respon motorik Nilai
Menurut perintah 6
Melokalisir nyeri 5
Fleksi normal (menarik anggota yang dirangsang) 4
Fleksi abnormal (dekortikasi) 3
Ekstensi abnormal (deserebrasi) 2
Tidak ada (flaksid) 1
C Respon bicara Nilai
Berorientasi baik 5
Berbicara meracau / bingung 4
Kata-kata tidak teratur 3
Suara tidak jelas 2
Berdasarkan GCS, penderita kemudian dikelompokkan menjadi dua, yaitu
kelompok cedera kepala sedang (GCS 9-13), dan kelompok cedera kepala
berat (GCS 3-8)
d. Skala ukur : skala nominal (variabel kategorik).
3. Lama rawatan
a. Definisi : lamanya penderita dirawat, mulai masuk rumah sakit sampai
pulang berobat jalan atau meninggal.
b. Alat ukur : kalender Masehi
c. Cara ukur : menghitung secara manual jumlah hari rawatan
d. Skala ukur : numerik
4. Hasil CT scan
a. Definisi : gambaran CT scan penderita cedera kepala,
b. Alat ukur :
i. Skor Marsall ii. Skor Rotterdam
c. Cara ukur :
Tabel 7. Skor Marshall (Marshall, 1992)
Kategori Definisi
1 Tidak ada lesi intrakranial
2 Adanya lesi bervolume < 25 cc dengan sisterna basal yang terbuka dan pergeseran garis tengah 0-5 mm
3 Adanya lesi bervolume < 25 cc dengan sisterna basal yang tertekan dan pergeseran garis tengah 0-5 mm
4 Adanya lesi bervolume < 25 cc dengan pergeseran garis tengah > 5 mm
ii. Skor Rotterdam
Tabel 8. Skor Rotterdam. (Maas, 2005)
Skor
Perdarahan intraventrikel atau subarahnoid
Ada 0
Tidak ada 1
Penambahan Skor +1
d. Skala ukur : Numerik
a. Definisi : kematian subjek penelitian dalam tiga puluh hari pertama
setelah kecelakaan, termasuk kematian batang otak (brain death)
b. Alat ukur : kalender masehi
c. Cara ukur : kematian ditegakkan setelah terjadi henti nafas dan henti
jantung pada subjek penelitian. Kematian batang otak dimasukkan ke dalam
batasan operasional kematian yang ditegakkan berdasarkan kriteria
American Academy of Neurology (Lampiran 8; 1994)
d. Skala ukur : Skala nominal (variabel kategorik).
6. Glasgow Outcome Scale (GOS)
a. Definisi : hasil akhir penderita yang dinilai berdasarkan GOS
b. Alat ukur : tabel GOS (Lampiran 7)
c. Cara ukur : penilaian dilakukan dengan wawancara, disesuaikan dengan
kriteria menurut GOS
d. Skala ukur :numerik
7. Barthel Index
a. Definisi : kemampuan penderita melakukan aktivitas sehari-hari
berdasarkan Barthel Index
b. Alat ukur : tabel Barthel Index (lampiran 6)
c. Cara ukur : penilaian dilakukan dengan wawancara, disesuaikan dengan
kriteria menurut Barthel. Barthel Index berkisar antara 0-100, kemudian
dikelompokkan menjadi empat kelompok, seperti pada tabel 9.
d. Skala ukur : ordinal
Skor Interpretasi
0-20 Ketergantungan total
21-60 Ketergantungan Berat
61-90 Ketergantungan Sedang
91-99 Ketergantungan Ringan
100 Mandiri
I. Analisis Data
Variabel kategorik dianalisis dalam bentuk frekuensi dan persentase yang
disajikan baik dalam bentuk tabel maupun grafik. Analisis deskriptif variabel
numerik dilakukan dalam bentuk ukuran pemusatan (mean, median) dan ukuran
penyebaran (standar deviasi, minimum-maksimum). Jika sebaran data normal,
digunakan pasangan mean dan standar deviasi. Jika sebaran data tidak normal,
digunakan median dengan minimum-maksimum.
Untuk uji normalitas, digunakan uji Kolmogorov-Smirnov dengan batas
kemaknaan p<0,05. Untuk Analisis perbedaan rerata dua kelompok dengan
sebaran normal digunakan uji t –test . Bila sebaran data tidak normal, digunakan
Mann-Whitney U-test.
Korelasi variabel numerik dengan numerikmenggunakan uji korelasi
Pearson bila sebaran data normal. Bila sebaran data tidak normal, digunakan uji
BAB V
HASIL PENELITIAN
Sebanyak 36 subjek mengikuti penelitian ini dengan rincian 18 orang
penderita CKS dan 18 orang penderita CKB (lampiran 1). Pengambilan serum seluruh
subjek penelitain dilakukan dalam waktu 48 jam pertama setelah onset cedera.
Pengukuran kadar GFAP dilakukan di laboratorium patologi klinik RSUP H.
Adam Malik dengan menggunakan metode ELISA dengan memplot densitas optik
Dari total 36 subjek penelitian, sepuluh orang meninggal dalam tiga puluh hari
pertama, terutama pada kelompok cedera kepala berat sebanyak delapan orang
(44,4%). Mortalitas pada kelompok cedera kepala sedang adalah dua orang (11,1%).
A. Karakteristik Subjek Penelitian
Kelompok usia terbanyak dari penderita yang menjadi subjek penelitian
adalah kelompok 17-24 tahun, dengan jenis kelamin terbanyak laki-laki (70%, tabel
10).
Tabel 10. Data subjek penelitian
CKS (n=18) CKB (n=18)
Usia (tahun)
• 17-24 8 6
• 25-32 1 2
• 33-40 4 5
• 41-48 2 2
• 49-56 1 2
• 57-64 2 1
Jenis Kelamin
• Laki-laki 9 (50%) 16 (88,9%)
• Perempuan 9 (50%) 2 (11,1%)
Suku
• Aceh 3 (16,7%) 2 (11,1%)
• Melayu 2 (11,1%) 1 (5,6%)
• Batak 7 (38,9%) 7 (38,9%)
• Lain-lain - 2 (11,1%)
Suku terbanyak yang menjadi subjek penelitian adalah suku Batak (39%),
Jawa (33%), dan Aceh (14%). Rentang antara waktu terjadinya trauma sampai tiba di
rumah sakit sangat variatif, berkisar antara 3-40 jam (tabel 10).
Tabel 11. Karakteristik radiologis subjek penelitian
CKS (n=18) CKB (n=18)
Marshall
• 1 4 (22,2%) 2 (11,1%)
• 2 8 (44,4%) 6 (33,3%)
• 3 6 (33,3%) 10 (55,6%)
Rotterdam
• 1 8 (44,4%) 2 (11,1%)
• 2 6 (33,3%) 6 (33,3%)
• 3 3 (16,7%) 4 (22,2%)
• 4 1 (5,6%) 6 (33,3%)
Dari tabel diatas, terlihat bahwa subjek penelitian pada kelompok CKS
didominasi oleh Marshall 2 dan Rotterdam 1, sedangkan pada kelompok CKB
B. Korelasi Kadar GFAP dengan Cedera Kepala
1.Kadar GFAP pada cedera kepala sedang dan berat
Tabel 12. Perbedaan kadar GFAP kelompok cedera kepala sedang dan berat (dalam ng/mL)
N Rerata Median SD Rentang p
CKS 18 1,82 0,85 1,60 0,52-4,95
0,0001*
CKB 18 11,99 7,86 10,52 2,48-36,58
*Uji Mann Whitney
Pada kelompok CKS, kadar GFAP adalah 1,82±1,60 ng/mL. Pada kelompok
CKB, kadar GFAP adalah 11,99±10,52 ng/mL. Setelah dilakukan uji Mann Whitney,
didapati bahwa perbedaan tersebut bermakna (p=0,0001)
2. Korelasi kadar GFAP dengan tingkat keparahan cedera kepala
Tabel. 13 Korelasi kadar GFAP dengan tingkat keparahan cedera kepala
R p
GCS -0,631 0,0001*
Skor Marshall 0.100 0,561
Skor Roterdam 0,275 0,105
Lama rawatan 0,272 0,109
*signifikan. Seluruh uji dilakukan dengan uji Spearman
Kadar GFAP berhubungan signifikan dengan GCS setelah resusitasi
3). Jika GCS setelah resusitasi semakin tinggi, kadar GFAP serum akan semakin
rendah.
Gambar 3. Korelasi kadar GFAP dengan GCS setelah resusitasi (r=-0,631; p=0,0001)
Pada penelitian ini tidak ditemukan korelasi signifikan antara kadar GFAP
serum dengan gambaran CT scan, baik menurut skor Marshall (r=0,100; p=0,561)
maupun skor Rotterdam (r=0,275; p=0,105, tabel 13).
Selain itu, juga tidak ditemukan korelasi GFAP serum dengan lama rawatan
3. Korelasi kadar GFAP dengan hasil akhir
a. Kadar GFAP pada kelompok subjek penelitian yang hidup dan meninggal
Tabel 14. Gambaran kadar GFAP pada kelompok subjek penelitian yang hidup dan meninggal
N Rerata Median SD Rentang P
Hidup 26 7,09 2,65 10,32 0,52-36,58
0,097*
Meninggal 10 6,43 4,80 4,62 0,77-17,85
*Uji Mann Whitney
Pada penelitian ini, ditemukan perbedaan kadar GFAP kelompok subjek
penelitian yang hidup dan yang meninggal. Setelah dilakukan uji Mann Whitney,
perbedaan tersebut tidak signifikan (p=0,097; tabel 13)
b. Korelasi kadar GFAP dengan hasil akhir klinis
Tabel 15. Korelasi kadar GFAP dengan hasil akhir klinis
R P
GOS -0,332 0,048*
Barthel Indeks -0,128 0,532
*signifikan. Seluruh uji dilakukan dengan uji Spearman
Kadar GFAP serum berhubungan signifikan dengan GOS dalam tiga puluh
hari pertama (r=-0,332; p=0,048; tabel 15). Korelasi yang terjadi merupakan korelasi
negatif (gambar 4). Jika kadar GFAP serum semakin rendah, GOS dalam tiga puluh
Gambar 4. Korelasi kadar GFAP dengan GOS tiga puluh hari pertama (r=-0,332; p=0,048)
Sementara itu, dalam penelitian ini terlihat korelasi negatif antara GFAP
serum dengan Barthel Index (r=-0,128), tetapi korelasi ini tidak signifikan (p=0,532,